You are on page 1of 19

DIALEKTIKA BAHASA JAWA REMAJA DI SURABAYA: POTRET KEDWIBAHASAAN DAN MODEL PILIHAN BAHASA DI LINGKUNGAN MASYARAKAT Oleh: Udjang

Pr. M. Basir *) Abstraction In society represent the part of modern life characteristic having the character of global. Assocciation aspect usher the society member, cultural touch, education, and growth of science and technology which progressively massif as especial impeller. Its impact there is having the character of positive if barbed with the Ianguage development, but can have the character of the negativity if Ianguage wearer cannot control in context. Adolescent of Java as part of observation object, look as bilingual is which gristle to influence sit side by side Ianguage in its environment. Even if that way, in its fact there are three adolescent bilingual group of Java in Surabaya, that is: Selective (Ianguage controlled), variatif (Ianguage intrude), and passive of reseptif (understanding Ianguage). And by asumtif, that matter can be viewed as by the part of step of Ianguage study (interlanguage). Keyword: Adolescent Javanese, bilingual portrait, Ianguage choice, environmental of society. Pengantar Tidak dipungkiri bahwa pergaulan antar manusia, suku, dan bangsa saat ini berlangsung demikian masif dan tidak terhindarkan. Hal itu sebagai konsekuensi logis manusia sebagai mahluk sosial yang senantiasa berkembang dan membutuhkan komunikasi, baik antar anggota masyarakat atau antar komunitas bahasa berbeda. Karena alasan tertentu (pergaulan, perdagangan, pendidikan), komunikasi antar kelompok komunitas masyarakat yang berbeda bahasa atau ragam bahasa secara jangka panjang akan menimbulkan proses akulturasi bahasa dan budaya terjadi secara alamiah. Persentuhan budaya tersebut menjadi rentan terhadap netralitas bahasa dan proses interferensi bahasa menjadi bagian sistem komunikasi masyarakat secara luas dan tidak terbendung. Kondisi demikian umumnya berjalan dua arah dan saling ketergantungan. Secara linguistis, corak kebahasaan masyarakat yang berkembang secara interferensif sebagai ciri suatu masyarakat yang dwibahasawan. Kedwibahasaan masyarakat satu sisi dipandang posistif, namun tidak jarang orang menganggapknya negatif sebab sebagai ancaman eksisitensi suatu bahasa. Pa*) Penulis adalah peneliti dan dosen FBS UNESA da tataran yang lebih luas, kedwibahasaan menjadi petunjuk luasnya tata pergaulan masyarakat dan media pengembangan bahasa menuju kesempurnaannya sebagai alat

komunikasi modern masyarakat. Sebagai media komunikasi masyarakat, bahasa yang baik harus dapat mewadahi ide dan kepentingan komunitas masyarakatnya, dan salah satunya melalui pengembangan kosa kata baru dengan teknik penyerapan dari bahasa lain. Namun dalam tataran pragmatis, memang tidak jarang pengaruh unsur bahasa lain (interferensi) menjadikan seseorang tidak dapat mengontrol diri secara linguistis paradigmatis saat berkomunikasi, sehingga corak bahasa narasinya menjadi tidak jelas identitasnya. Namun demikian, kondisi sistem komunikasi yang cenderung variatif dan fluktuatif itu tidak jarang merupakan bagian dari proses interlanguage (pembelajaran kemampuan berbahasa) menuju kompetensi bahasa yang sesungguhnya. Corak Kedwibahasaan Dengan demikian, fenomena kedwibahasaan pada suatu masyarakat atau bangsa lebih disebabkan oleh adanya kontak budaya yang berjalan secara masif dan terus-menerus. Kontak hubungan antar budaya yang berjalan lama menyebabkan terjadinya simbiosis mutualistis (saling membutuhkan) yang mengarah pada bentuk sinkretisme akulturatif budaya dan bahasanya. Hal yang segera tampak adalah pada perkembangan bahasa yang saling mempengaruhi satu sama lainnya. Kedwibahasaan adalah istilah umum untuk menengarai adanya saling pengaruh-mempengaruhi antar satu bahasa terhadap bahasa yang lain. Kedwibahasaan atau bilingualisme dalam perkembangannya banyak mengalami perubahan maknanya. Bloomfild (1933) mengemukakan bahwa kedwibahasaan itu merupakan bentuk penguasaan dua bahasa yang sama baiknya seperti penutur asli. Pendapat ini banyak mendapat reaksi, se-bab ukurannya tidak jelas. Penutur asli sendiri cenderung memiliki kemampuan bahasa yang berbeda-beda. Pendapat lain dikemukakan Weinreich (1953). Dijelaskannya bahwa kedwibahasaan merupakan bentuk penggunaan dua bahasa secara bergan-tiganti tanpa mempersoalkan tingkat penguasaan bahasanya. Pendapat senada dikemukakan Haugen dan Dill (1972) serta Diebold (Hymes, 1964). Dijelaskannya, dwibahawan minimal harus mampu melahirkan ujaran bermakna dari bahasa sasaran (Haugen dan Dill) serta memiliki apresiasi dan pengetahuan dasar sekalipun belum mampu bertutur secara lengkap termasuk mereka yang mempelajari bahasa secara pasif. Pembelajar tahap ini disebut dwibahasawan pemula (Incipient bilingualism). Dari berbagai pandangan tentang kedwibahasaan, barang-kali pendapat Mackey tergolong lebih rinci. Pembahasan ten-tang kedwibahasaan itu mencakup 5 hal, yaitu: (1) tingkat kedwibahasaan, (2) fungsi kedwibahasaan, (3) proses pergan-

tian, (4) model interferensi, dan (5) sifat kedwibahasaan. Secara garis besar masingmasing dapat diilustrasikan sebagai berikut. Tingkat kedwibahasaan, berkaitan dengan klasifikasi pemahaman dwibahasawan terhadap penggunaan bahasa tertentu (tingkat permulaan, tingkat menengah, dan tingkat tinggi). Fungsi kedwibahasaan berkaitan dengan peranan unsur bahasa, digunakan karena kebutuhan atau asal-asalan. Proses pergantian dimaksudkan sebagai kecenderungan alih kode dan campur kode. Interferensi berkaitan dengan adanya kecenderungan saling pengaruh antara bahasa, masih wajar atau sudah masuk zona yang membahayakan. Sedangkan sifat kedwibahasaan dijelaskannya merupakan gejala bahasa yang bersifat parole (gaya/stail) atau bersifat perorangan (Mackey dalam Fishman, 1972). Sehubungan dengan pendapat Mackey, Oksaar (dalam Sebeok, 1972) tidak setuju. Kedwibahasaan bukan hanya merupakan gejala parole (perseorangan) namun merupakan gejala langue (kelompok). Menurutnya kedwibahasaan bukan bersifat perorangan melainkan sebagai gejala kelompok, bahkan wilayah atau negara seperti terjadi di Belgia dan Finlandia. Dalam hal kadar kedwibahasaan, Weinreich menggolongkannya menjadi 3 tipe (corak), yaitu tipe coordinate, compound, dan subordinat (Weinreich dalam Rusyana, 1989:15-17; Roger T. Bell dalam Ibrahim, 1995:179-189). Masing-masing tipe tersebut memiliki karakternya sendiri-sendiri dalam konteks sistem komunikasi di masyarakat. Gambaran umunya dapat dijelaskan secara ilustratif sebagai berikut. Tipe coordinate adalah sebutan bagi dwibahasawan tingkat tinggi. Dwibahasawan tipe ini menguasai dua bahasa sama baiknya. Mereka dapat memilah dan memilih penggunaan bahasa yang satu dengan bahasa yang lain tanpa harus terjebak dalam situasi pencampuradukan antar bahasa secara tidak terkontrol. Bagi orang Jawa (B1) yang menguasai bahasa Indonesia sebagai B2, maka memaknai "binatang ternak kecil bertanduk" dikonsepkan secara semantik sebagai /wedhus/ dalam bahasa Jawa; dan /kambing/ dalam bahasa Indonesia. Tipe compound merupakan dwibahasawan yang memiliki penguasaan dua bahasa secara serentak. Mereka memiliki dasar pemahaman semantik campuran, sehingga tanda-tanda bahasa yang dibangun juga berupa konsep campuran. Misalnya anak Jawa yang dibesarkan diperkotaan (kaum imigran), memahami suatu konsep akan berjalan serentak antara /wedhus/ dan /kambing/ sebab bahasa Jawa dan Indonesia diperoleh secara bersamaan. Mereka akan sulit membedakan antara 2 istilah itu. Dalam benaknya hanya ada satu makna semantik saja: wedhus ya kambing, dan kambing ya wedhus. Kondisi semacam ini juga dialami oleh anak-anak di wilayah perbatasan antar dua suku atau dua bangsa yang berbeda adat dan

bahasanya. Namun keadaan itu bisa juga dialami oleh mereka yang dalam tataran belajar B2. Kare-na intensitas pembelajaran B2 yang cukup intensif, sedangkan dasar B1 belum begitu kuat, maka dalam penggunaan B1 dan B2 saling bercampur secara semantis. Sedangkan tipe subordinate adalah merupakan gambaran tingkat penguasaan B2 dalam tataran yang masih rendah. Pada tipe ini penguasaan B1 lebih baik dibandingkan dengan B2, sehingga pemahaman suatu benda sangat bergantung pada makna yang dibangun menurut konsep B1. Kondisi semacam ini tampak pada pembelajar pemula bahasa asing. Kebanyakan pelajar Pendidikan Tingkat Dasar (SD dan SLTP) di Indonesia yang pertama kali belajar bahasa Inggris, saat diperlihatkan gambar bina-tang air "ikan" maka pemaknaan semantisnya, pertama-tama mengambil konsep B1, yaitu iwak (Jawa), lauk (Sunda), atau "ikan" (Indonesia); bukan fish (Inggris). Ketiga tipe kedwibahasaan tersebut sebenarnya merupakan ciri umum dalam proses bembelajaran B2, bermula dari tingkat subordinat, compound", kemudian menuju tataran coordinat. Tentang tipe kedwibahasaan ini, Ardiana membuat klasifikasi secara berbeda. Berdasarkan pemerolehannya, kedwibahasaan dibedakan menjadi 3 tipe, yaitu kedwibahasaan (1) masa kecil, (2) masa kanak-kanak, dan (3) masa remaja. Pembagian tipe kedwibahasaan didasarkan atas kapan dan usia berapa kedua bahasa itu diperoleh seorang anak. Sebagai tesis, Ardiana menjelaskan bahwa tipe kedwibahawasaan anak Jawa-Madura di Kabupaten Pasuruan diperoleh secara alamiah. Mereka umumnya memperoleh kedwibahasaan dari lingkungan keluarga, lingkungan bermain, dan lingkungan sekolahnya (Ardiana, 1992:110-111). Berkaitan dengan kedwibahasaan ini, Padilla dan Leabman ( Lyon, 1996) dalam teori alternatifnya menyatakan bahwa pada anak-anak dwibahasa, penguasaan dua bahasa itu secara konsep sudah terpisah dari awal. Pengaruh antar bahasa tersebut terbatas pada peminjaman kata-kata dan ungkapan saja (2%). Ditambahkannya, bahwa pengaruh itu hanya menyangkut aspek fonologi, leksikon, dan kalimat, tetapi tidak dalam hal struktur (Padilla dan Leabman dalam Musyahda, 2002:15-18). Norma Bahasa dan Fakta Sosial Bahasa adalah alat komunikasi utama dalam hidup dan ke-hidupan manusia. Hampir tidak ada celah kehidupan manusia tanpa berkepentingan dengan pemanfaatan jasa bahasa. Sebagai bagian dari budaya, bahasa memiliki seperangkat norma (tata aturan) sebagai pedoman bersama antar masyarakat pemakainya (Alwasilah, 1987; Basir, 1994).

Namun tidak dipungkiri, bahwa bahasa sebagai media sosial dipengaruhi oleh tingkat dinamika pemakainya. Semakin luas pergaulan antar manusia dan antar bangsa di dunia ini, menjadikan proses sinkretisme antar budaya dan bahasa berjalan secara alamiah dan tak terbendung. Apalagi pengaruh perkembangan iptek yang semakin canggih, seperti radio, televisi, internet, dan pengajaran multi bahasa di lembaga pendidikan, menjadikan kesakralan suatu bahasa sebagai sesuatu yang nisbi. Hal yang terjadi secara luas, bahwa penggunaan bahasa oleh seseorang akan diwarnai bentuk pergeseran dan percampur-an antar bahasa yang saling berdekatan baik secara geografis maupun politis. Baik disadari ataupun tidak, pemakai bahasa sering beralih dari satu bahasa ke dalam bahasa yang lain sekalipun hanya bersifat sementara. Demikian pula tidak jarang unsur-unsur bahasa lain terselip dalam suatu pertuturan karena berbagai alasan. Keadaan demikian yang dalam studi sosiolinguistik diistilahkan dengan alih kode dan campur kode. Alih kode (code switching) pada dasarnya merupakan peralihan penggunaan satu kode ke dalam kode yang lain. Peristiwa ini pada hakekatnya merupakan salah satu aspek saling ketergantungan bahasa (language dependency) dalam masyarakat bilingual karena perubahan situasi (Appel, 1976:99). Keadaan demikian dapat bersifat permanen (konteks khusus), dan umumnya bersifat sementara. Peristiwa alih kode ditandai proses pengambilan unsur klausa atau kalimat dari bahasa lain oleh penutur di tengah percakapannya (Poedjasoedarma,1979:37; Sobarna, 1997:18). Campur kode (code mixing) sendiri merupakan bentuk penyelipan kata atau frase yang berasal dari bahasa atau ragam bahasa yang berbeda. Berdasarkan dampaknya, campur kode dapat bersifat positif (aspek pengayaan bahasa) dan dapat pula bersifat negatif (perancuan bahasa). Peristiwa campur kode adalah proses pengambilan unsur bahasa lain sebatas aspek kata atau frase (Kachru dan Thelander dalam Sobarna, 1997; Poedja-soedarma, 1979; Nababan, 1984; Wardhaugh, 1988). Kedwibahasaan Remaja Jawa Tulisan ini memaparkan hasil kajian terhadap Bahasa Jawa Remaja (BJR) di Kota Surabaya. Sebagaimana karakter penduduknya yang mayoritas orang Jawa, maka dominasi bahasa ini melekat erat pada sebagian besar tuturan remajanya. Dalam tulisan ini akan dibahas 5 hal, yaitu: (1) karakteristik bahasa Jawa remaja, (2) bahasa Jawa remaja dan penggunaannya, (3) tipe kedwibahasaan, (4) dampak kedwibahasaan terhadap bahasa remaja, dan (5) kontribusi bahasa remaja. Karakteristik Bahasa Jawa Remaja

Remaja merupakan tingkatan usia peralihan dari masa anak-anak ke masa dewasa (umur 12 s/d 19 tahun). Masa remaja sering disebut juga masa pubertas (adolesen) dan masa pencarian jati diri (pancaroba). Masa ini selain tampak pada pesatnya perkembangan fisik juga ditandai oleh emosi yang labil, sikap memberontak dan kadangkala terkesan keras kepala. Dari aspek bahasa juga seringkali menampilkan model karakter yang berbeda. Berdasarkan data tuturan remaja Jawa di Kota Surabaya yang berhasil dikumpulkan dapat diklasifikasikan ke dalam 4 karakter, yaitu bersifat: terbuka, dinamis, fulgar, dan kombinasi pemakaian slang. Bersifat terbuka, artinya bahwa remaja jarang menggunakan bahasa yang disamarkan. Apa yang dipikirkan dan diinginkan biasanya disampaikan dengan kalimat langsung dan bahasa yang lugas, tanpa menggunakan ungkapan basabasi (efimisme) seperti sering dilakukan orang dewasa. Mereka banyak menggunakan kata-kata penegas dalam menyampaikan pikirannya, seperti: gelem (mau), njuk (njaluk, meminta), emoh (tidak mau), ayu (cantik), koen (kamu), goblog (bodoh), setan (umpatan), jiancuk (sialan), nggatheli (sialan), dobol (rusak berat), taksikat (saya pukul), takcipok (saya cium), takgibeng atau takglibeng (saya tempeleng), dsb. Bersifat dinamis, artinya bahwa dalam penggunaan bahasa, remaja paling kaya akan imajinasi dalam pengembangan kosa kata dan peristilahan baru. Banyak kosa kata baru atau menghadirkan makna baru dalam setiap tuturannya sekalipun belum lazim digunakan dalam percakapan umum. Penambahan kosa kata dan ungkapan baru tersebut dikembangkan dengan berbagai cara dan diambil dari berbagai sumber, misalnya bahasa Indonesia, Inggris, Arab, cina, dialek; istilah iptek; atau hasil bentukan dengan sistem akronimisasi. Bahasa remaja sering bersifat fulgar. Sesuai dengan jiwa remaja yang cenderung terbuka, maka tidak jarang bahasanya terasa terlalu langsung dan terus terang (fulgar) sehingga terkesan kasar. Jika menginginkan sesuatu digunakan penegas: njuk (minta), bagehi (bagi), joint (dipakai bersama), dsb. Kekaguman pada sesuatu diungkapkannya dengan penegas: masaallah, ayune (cantik sekali); edan, okonge-okonge (bagus sekali postur tubuhnya); dll. Apabila marah maka ungkapan penegas yang digunakan: goblok (bodoh), matamu (umpatan: matamu), raimu/dapurmu mukamu (umpatan: sialan), jiancuk (umpatan: sialan), jiangkrik (umpatan: sialan), asu (umpatan: anjing), setan (umpatan: setan), dhapurmu (umpatan: sama dengan raimu), dan lain sebagainya. Penggunaan slang di lingkungan remaja. Sebagai kelompok umur yang sedang mengalami perkembangan fisik dan mental, remaja juga tampil sebagai komunitas tersendiri. Dalam penam-pilan bahasanya seringkali menampakan

karakter tutur yang khas. Remaja membuat ungkapan dan peristilahan bagi kelompoknya yang dikenal dengan slang. Istilah slang sendiri merupakan ragam bahasa tidak resmi dan bersifat musiman, yang digunakan oleh kelompok tertentu dan bersifat intern sebagai bahasa penyamaran. Pada umumnya, proses pembentukannya dengan cara mengkomunikasikan kata-kata lama dengan makna baru. Dari data yang berhasil diidentifikasi penulis, ada beberapa pola slang remaja (Jawa) di Surabaya, yaitu (1) model akronimisasi: JAP (Jadikan Aku Pacarmu), PDKT (pendekatan), BIMOLI (Bibir Monyong Lima Senti), EMBER (Emang Benar), dll.; (2) model susun balik: AURA (suara), SELEK (kesel), KECAP (cakep), OJOB (bojo, pacar), SINGIN (isin), LIBOM (mobil), dll.; (3) adaptasi dari bahasa asing: FAVE (favorit), BETE (sampai malam, betah), I FEEL (ilang feeling), SAY (sayang), KISSBY (cium jauh), dll.; dan (4) bentuk berubah makna tetap: BEGINDAN (begitu), CANTAK (cantik), CUCOK (cocok), EMBRONG (emang), GILINGAN PADI (gila), OTRE (oke), LEPRA (lapar), ADINDA (ada), LUMPIA (lupa), SUTRA (sudah), dsb. Bahasa Jawa Remaja dan Penggunaannya Sekalipun hidup di perkotaan, remaja Jawa ternyata masih kental dengan penggunaan bahasa ibu (Jawa) sebagai basis pertuturannya. Mereka menggunakan bahasa Jawa (campuran) untuk memperbincangkan berbagai macam persoalan diri dan kelompoknya. Paling tidak ada 7 topik pembicaraan yang berhasil diidentifikasi dari bahasa Jawa remaja di Kota Madia Surabaya, yaitu perbincangan tentang (1) persahabatan, (2) cita-cita, (3) sekolah, (4) cinta asmara, (5) hobi dan kebiasaan, (6) orang tua, dan (7) sikap marah atau emosi. Tipe Kedwibahasaan Remaja Jawa Weinreich (1953) mengklasifikasikan tipe kedwibahasaan berdasarkan kadar kedwibahasaan yang melekat pada seseorang. Dijelaskannya bahwa tipe kedwibahasaan dibedakan atas 3 tipe, yaitu tipe coordinate (tinggi), compound (sedang, campuran) dan subordinate (rendah, gantung). Sedangkan Ardiana (1992) memandang tipe kedwibahasaan berdasarkan saat pemerolehannya. Dari aspek tersebut, tipe kedwibahasaan dipilah menjadi 3 macam, yaitu tipe kedwibahasaan masa kecil, masa kanak-kanak, dan masa remaja. Dalam penelitian ini pembagian tipe kedwibahasaan dikaitkan dengan aspek performnsi penggunaan bahasa Jawa oleh para remaja (Jawa) di Kota Surabaya. Berdasarkan data yang berhasil dikumpulkan peneliti di lapangan, ada 3 tipe kedwibahasaan yang secara fenomenal sangat menonjol tergambar pada tuturan

remaja. Ketiga tipe kedwibahasaan dimaksud, yaitu tipe: (1) aktif selektif, (2) aktif variatif, dan (3) pasif reseptif. Tipe aktif selektif dimaksudkan sebagai dwibahasawan yang memiliki kemampuan menggunakan bahasa Jawa (B1) secara relatif baik jika ditinjau dari aspek struktur ataupun pilihan katanya. Sekalipun ada kombinasi dengan unsur bahasa lain (B2), namun pemakaiannya tepat guna dan tepat sasaran. Penempatan bahasa dan unsur bahasa lain (B2) dilandasi oleh suatu kepentingan tertentu, baik karena demi maksimalnya proses komunikasi atau karena keterbatasan B1 sebagai sarana komunikasi. Sekalipun prosentasenya kecil, namun remaja Jawa tipe ini eksisitensinya tetap tampak jelas dalam setiap tu-turannya. Dari data wawancara, kemampuan remaja tipe ini didukung oleh 3 hal, yaitu: (1) berasal dari keluarga Jawa asli, (2) adanya tradisi basa (hormat) di lingkungan keluarga, dan (3) basis B1 Jawanya cukup kuat. Tipe aktif variatif merupakan gambaran dwibahasawan yang secara aktif menggunakan bahasa Jawa, namun disana-sini terdapat penggunakaan bahasa atau unsur bahasa lain secara campur aduk. Penutur kurang menguasai B1 dan B2 secara baik, sehingga dalam penerapannya, baik pilihan kata maupun secara pola (kaidah) tampak rancu. Dwibahasawan tipe ini sering me-masukan unsur bahasa lain (B2) secara sembarangan tanpa memperhitungkan tepat tidaknya istilah yang dipakai. Mereka menggunakan unsur bahasa tertentu karena pengaruh pergaulan dan media massa sehingga mendorong citarasa prestise-modernis yang salah kaprah. Dari data lapangan, kelompok ini prosentasenya tergolong paling besar. Berdasarkan data wawancara dapat disimpulkan bahwa penyebab keadaan itu paling tidak ada 3 hal, yaitu: (1) basis B1 campuran, (2) perhatian orang tua kurang, (3) lingkungannya heterogin. Tipe pasif reseptif dimaksudkan sebagai gambaran ter-hadap keadaan dwibahasawan yang tampak pasif namun tetap dapat memahami makna suatu tuturan dalam bahasa Jawa berkat pemilikan dasar B1 sejak lama atau pergaulan di masyarakat. Keterlibatan dalam kegiatan komunikasi bahasa Jawa terbatas pada proses penyimakan informasi, namun saatnya memberikan tanggapan digunakan bahasa lain. Dari data wawancara diketahui, terdapat beberapa faktor sebagai penyebabnya, yaitu (1) penggunaan bahasa Indonesia di lingkungan keluarga, (2) keluarga sibuk dan terpandang, dan (3) tumbuhnya faham nasionalis sempit.

Dampak Kedwibahasaan terhadap Bahasa Remaja

Remaja Jawa sebagai dwibahasawan yang senantiasa terlibat dengan penggunaan dua bahasa atau lebih dalam setiap komunikasinya, tentu tidak lepas dari akibat-akibat penyerta sebagai konsekuensinya. Hal yang seringkali tampak pada dwibahasawan semacam itu adalah adanya kecenderungan menggunakan sistem bahasa yang tumpang tindih (rancu) dalam setiap kegiatan bertutur kata. Selain itu hal yang mudah terjadi adalah adanya kecenderungan melakukan proses alih kode dan campur kode baik secara sadar maupun tidak disadarinya. Kerancuan Sistem Sebagaimana disinggung pada tipe kedwibahasaan di atas, bahwa usia remaja pada umumnya masih dalam tataran belajar berbahasa. Proses belajar bahasa tersebut berlangsung secara bertahap, baik dilakukan secara formal di lembaga pendidikan (sekolah) ataupun secara nonformal yang terjadi di masyarakat. Oleh karena itu penguasaan antar bahasa yang dipakainya relatif masih belum baik. Hal itu termasuk pemakaian sistem kebahasaan yang seringkali saling bertukar secara kurang disadari, terutama menyangkut struktur bahasanya. Data tuturan remaja banyak yang dibangun dari sistem kombinasi antara kata Indonesia dengan afiks bahasa Jawa, dan sebaliknya, seperti: takbilangi (takkandhani), ambilen (jupuken), mandio (adusa), takajak (takjaki), ngerjakno (nggarap), dan kata mulute (cangkeme, tutuke); potlotku (pensilku), ebesnya (ayahnya), embahnya (nenek/kakeknya), dan lain sebagainya. Bersamaan dengan meningkatnya umur, pengalaman (pendidikan atau pergaulan), maka akan berkembang pula tingkat kesadaran, pengetahuan, dan pengalamannya, sehingga kesalahan sebagaimana gambaran tersebut lambat laun akan berkurang menuju aplikasinya secara benar. Peran orang tua di rumah, guru (bahasa Jawa) di sekolah, dan kesadaran budaya anak, tentunya turut memberikan kontribusi pada proses pembentukan karakter seseorang yang secara akademik dapat menempatkan penggunaan suatu bahasa pada tataran pragmatis proporsional. Bahasa yang baik dan benar adalah saat pemakaiannya berlangsung efektif dan komunikatif serta sesuai konteks. Bentuk Alih Kode Pada bab terdahulu dijelaskan bahwa alih kode (code switching) pada dasarnya merupakan peristiwa peralihan penggunaan satu kode bahasa ke dalam kode bahasa yang lain. Berdasarkan data yang diperoleh, terjadinya alih kode dalam tuturan remaja Jawa di Kotamadia Surabaya dipengaruhi oleh empat hal, yaitu: (1) lemahnya penguasaan B1, (2) pengaruh konteks dan tempat bicara, (3) pengaruh materi bicara, dan (4) ungkapan basa-basi.

a. Lemahnya Penguasaan Bahasa Jawa Para remaja yang pada umumnya masih dalam proses pembe-lajaran tampak pada tidak dikuasainya aturan berbahasa secara benar. Mereka sering kali menerapkan aturan kebahasaan secara tidak konsisten, terutama sistem morfologisnya. Hal itu ter-gambar pada kutipan data berikut. (1) Sakna Si Darmanto, bapaknya meninggal. Padahal ibue nyambut ana Arab pisan. Padahal adhiknya 3, masih ciling-ciling. (Kasihan Darmanto, bapaknya meninggal dunia padahal ibunya berkerja di Arab dan dia menanggung 3 adik yang masih kecil-kecil). Kula boten pirsa nek Paklek ajeng mriki. Sayang, nek ngabari mesthi takjemput, jane. (Saya tidak tahu kalau Om akan kemari. Kalau mengirim kabar lebih dahulu pasti saya jemput).

(2)

Pada kedua contoh kutipan wacana tutur di atas ada beberapa penerapan aturan bahasa Jawa (sistem morfologis) yang kurang tepat. Pada contoh (1) kesalahannya menyangkut pema-kaian akhiran /-a/ pada sakna (mesakake kasihan), /-e/ pada kata ibue (ibune ibunya). Ada pula kesalahan penerapan sistem unggahungguh (2), yaitu menyangkut penerapan tembung krama (kata hormat) yang semestinya bukan untuk diri sendiri, tapi bagi pihak lain. Penggunaan kata pirsa (tahu) seharusnya diperuntukan bagi pihak lain (menghormat), sedang untuk diri sendiri dipakai kata ngertos (tahu). Demikian pula digunakannya istilah Indonesia yang tidak seharusnya, seperti kata meninggal (seda), sayang (eman), dan jemput (pethuk). Alih kode yang menonjol terjadi dari penggunaan bahasa Jawa ke dalam bahasa Indonesia (1); dan dari bahasa Jawa ragam krama (hormat) ke dalam bahasa Jawa ragam ngoko (2). b. Pengaruh Konteks dan Tempat Bicara Konteks dan di mana peristiwa tutur terjadi juga dapat menyebabkan proses alih kode itu terjadi. Orang yang berbica-ra sesama teman akrab cenderung bertutur bahasa secara bebas, terbuka dan tidak jarang sangat fulgar. Apalagi pertuturan itu berlangsung di wilayah dialek tertentu seperti Surabaya, maka pengaruh bahasa dan budaya setempat (dialek) sangat besar. Contoh wacana kutipan berikut akan menggambarkan hal tersebut. (3) Koen nggak dolin ana omahku maneh Rin? Mesti kapok, dipingit ya? (Rini, kamu tidak mau ke rumahku lagi ya? Kamu pasti kapok atau sedang dipingit?)

(4)

Wah Koen iku nggatheli, ditunggu dua jam nggak nongol-nongol! (Kamu ini menyebalkan sekali, masa sudah ditunggu 2 jam tidak muncul juga).

Alih kode pada contoh kutipan di atas nampak berlangsung dari bahasa Jawa ke dalam bahasa Indonesia. Hal itu sangat dipengaruhi lingkungan pendidikan baru di sekolah yang setiap harinya menggunakan bahasa Indonesia. Namun demikian mereka tampak belum bisa melepaskan diri dari pengaruh bahasa ibu yang dikuasainya lebih dahulu, yaitu bahasa Jawa. Pemakaian bahasa Jawa anak-anak remaja di wilayah penelitian (Surabaya) rata-rata menggunakan ragam dialek Surabaya. Hal itu tampak pada penggunaan kosa kata khas seperti: koen (kamu), nggak (tidak), dolin (bermain), nggatheli (kata umpatan kasar yang merujuk pada kelamin laki-laki penis, yang bermakna kurang ajar), la apa (mengapa), mene (besok), pa'a (seperti partikel "lah"). c. Pengaruh Materi Pembicaraan Apa yang menjadi pokok perbincangan dalam suatu tuturan juga berpengaruh pada kemungkinan terjadinya proses alih kode. Apalagi jika berkaitan dengan perbincangan sesuatu yang khas, misalnya bidang keagamaan, iptek, dll. maka bahasa Jawa (B1) bahkan bahasa Indonesia (B2) sekalipun belum mampu mengakomodasinya secara tepat. Oleh karena itu proses adopsi dan adaptasi dipandang lebih efektif sekaligus sebagai masukan baru. Konteks tersebut sebagaimana tergambar pada kutipan dialog sebagai berikut. (5) Eh, aja rame Pak Hamdan teka! "Assalamualaikum", selamat sore Pak Ustad! (Jangan rame, Pak Hamdan datang: "Assalamualaikum". dan selamat sore Pak Ustad!) Terima kasih, "Waalaikumsalam warohmatullah hiwabarokatuh". Selamat sore, sugeng sonten anak-anak! (Terima kasih: "Waalaikumsalam warohmatullah hiwabarokatuh". Selamat sore juga anak-anak!) Sing dikarepake Bu In tentang abrasi yaiku "proses tergerusnya pantai karena pengaruh terpaan air laut". Elingku ngono. (Yang dimaksudkan Bu In bahwa abrasi itu adalah proses tergerusnya pantai karena terpaan air laut).

(6)

(7)

Petikan wacana tutur (5) dan (6) merupakan data yang diambil dari konteks "les ngaji" di wilayah Jambangan. Tampak sebelum guru les datang anak-anak berbincang-bincang bebas dengan bahasa Jawa. Namun begitu datang gurunya, sertamerta mereka menyambutnya dengan ucapan salam (dalam bahasa Arab). Demikian juga balasan dari Sang Guru menggunakan bahasa yang karakternya mirip. Sedangkan wacana tutur (7) merupakan obrolan bebas saat siswa SMU 18 istirahat di halaman sekolah sehabis melaksanakan ujian (THB). Mereka merasa kurang yakin dengan jawabannya, sehingga terjadi tukar pikiran sesama teman. Semula perbincangan itu menggunakan bahasa Jawa, tetapi setelah menjelaskan tentang "abrasi" maka penggunaan bahasa Indonesia menjadi pilihannya. d. Ungkapan Pujian dan Basa-Basi Model bahasa pujian dan sikap basa-basi juga sering kali mewarnai tuturan remaja (Jawa), khususnya anak-anak tingkatan usia SMA. Mereka saling bercanda dengan sesama temannya menggunakan ungkapan yang bernilai puja-puji, sekalipun maksudnya berbeda. Petikan data berikut kiranya dapat memperjelas maksud di atas. (8) Nik, Koen iku marah melulu! Kenapa sih? Tapi nggak apa kok, kalau marah malah tambah manis. (Ninik, kamu itu selalu marah-marah, kena apa sih? Tapi kalau marah malah tambah manis saja). Wis Dit, uwis ngguantheng! Ayo cepat, keburu masuk nih. Entar Pak Agus marah-marah lagi lo! (Didit sudahlah, sudah cakep! Ayo cepat, keburu masuk. Nanti Pak Agus marah kalau terlambat lagi). Sayang koen Nang, mau-mau pa'a tekoe masih lumayan komplit. Sory ya, tinggal karen-karen. (Sayang Nang, kamu datangnya terlambat akhirnya hanya tinggal sisanya saja. Maaf ya?)

(9)

(10)

Alih kode pada contoh kutipan di atas secara normatif berawal dari narasi bahasa Jawa yang karena pertimbangan tertentu berpindah ke dalam bahasa Indonesia. Ungkapan "kalau marah malah tambah manis" pada contoh (8) jelas bukan memuji yang sebenarnya, melainkan hanya untuk kepentingan meredam kemarahan Ninik agar tidak marah terus-menerus. Begitu pula yang tertera pada contoh (9), pernyataan wis ngguantheng (sudah cakep) hanya untuk tujuan agar Didit

berdandan lebih cepat sebab takut terlambat masuk, jam istirahat sudah habis. Berbeda halnya dengan contoh tuturan (10), pernyataan bernada efimisme "sayang" dan sory lebih ditujukan agar tamunya (Nanang) tidak tersinggung sekalipun dijamu seadanya. e. Bentuk Campur Kode Pemakaian bahasa dalam konteks bilingualisme selain ada kecenderungan terjadinya alih kode juga menyebabkan banyaknya proses campur kode (Code mixing). Sebagaimana dijelaskan ter-dahulu bahwa "campur kode" diartikan sebagai proses pemakaian dua bahasa atau lebih dengan saling memasukan unsur-unsur bahasa yang satu ke dalam bahasa yang lain dalam satu tuturan yang sama. Alasan seseorang mencampurkan beberapa unsur kode bahasa yang berbeda dalam suatu tindak berbahasa adalah ingin menciptakan adanya situasi yang santai sehingga pertuturan berlangsung tanpa beban. Berdasarkan data yang ditemukan di lapangan, peristiwa campur kode disebabkan oleh 4 hal, yaitu, yaitu: (1) keterbatasan padanan, (2) pengaruh pihak kedua, (3) kurang menguasai kode (sistem) bahasa yang dipakai, dan (4) unsur prestise. Gambaran peristiwa campur kode yang terdapat pada baha-sa remaja (Jawa) di Kotamadia Surabaya dirinci dalam pembahasan di bawah ini.

f. Keterbatasan Padanan Tidak disangkal bahwa semua bahasa memiliki keterbatasan jika dihadapkan pada konteks perkembangan global. Keterbatasan itu terutama berkaitan dengan aspek perkembangan peristi-lahan (iptek) yang demikian cepat. Kondisi itu juga dirasakan para pemakai bahasa Jawa yang fungsinya lebih bersifat lokal kedaerahan. Oleh karena itu pemakaian bahasa Jawa yang sudah melibatkan kepentingan komunikasi yang lebih luas, maka pemakaian unsur bahasa lain yang representatif tidak dapat dihindarkan. Hal itu tergambar pada contoh tuturan remaja (siswa) sebagai berikut. (11) Bukune komputer sampeyan gawa tah, Nus? Mesisan DOS karo WSse pa'a. Mene aku tinggal nggabung, ketemu ana rental Atlas.

(Buku komputer kamu bawa saja Nus! Sekalian DOS dan program WS-nya jangan ketinggalan. Besok kita ketemu di rental Atlas). (12) Tapi gurung tuku diskete, Nar! Padahal paling ora butuh telu maneh. Loro kanggo ngopi disket program, sijine kanggo disket data. (Narti, kita butuh membeli disket paling tidak 3 buah. Dua disket untuk mengkopy program dan DOS, dan yang satu sebagai penyimpan data).

Dua contoh di atas merupakan bagian dari tuturan para remaja yang sedang mempelajari komputer sebagai bagian dari tugas wajib di sekolahnya. Sehubungan dengan pengenalan komputer sebagai bagian dari kemajuan iptek masa kini, maka peristilahan yang digunakan belum dikenal dalam bahasa Jawa. Oleh karena itu istilah yang berkaitan dengan perangkat kom-puter digunakan apa adanya, seperti: komputer, DOS, WS, rental (11); disket, copy, disket data (12). Sebenarnya masih banyak istilah lain yang berkaitan dengan perangkat komputer, seperti: monitor, spiou, hardise, printer, keyboard; format, saving, insert, delete, enter, dll. Selain iptek yang berkaitan dengan komputer, bidang-bidang tertentu juga memungkinkan untuk dilakukan pengambilan kode secara langsung, seperti misalnya istilah hukum, kedokteran, pertanian, ekonomi, perbankan, keagamaan, politik, dll. g. Pengaruh Pihak Kedua Dalam suatu percakapan, pihak kedua sebagai mitra bicara juga dapat mempengaruhi model bahasa yang digunakan. Mereka yang berbicara dengan teman akrab, maka model pilihan katanya akan bernuansa akrab, bebas, dan kadang kala kasar tanpa beban. Berbeda saat kita berbincang dengan orang baru dan terhormat, maka secara diktif kata yang digunakannya akan selektif. Begitu pula jika ada pihak lain (O3) yang seasal, maka penggunaan istilah bahasa yang bernuansa kultur akan dirasakan lebih enak dan mengena. Wacana tutur berikut akan menggambarkan konteks dimaksud. (13) Koen iku katene apa, balik maneh? Ngewangi korah-korah tah? Kok nantang perkara. (Kami itu kok kembali lagi, mau apa? Apa mau membantu mencuci piring? Kamu ini kok mencari kesulitan saja). Ayo sikat ae! Rejeki nggak apik ditolak. Lumayan ngirit thithik.

(14)

(Ayo dimakan! Ini rejeki, jangan ditolak. Lumayan kan dapat mengirit uang jajan). (15) Koen iku banci tenan kok, masak karo arek cewek nggak PD blas. (Kamu itu seperti orang banci saja, masak dengan anak perempuan saja begitu minder).

(16)

Jancuk rek, dompetku ketinggalan ana saku clana sijine. Tulung koen bayari, emben takganti. (Sialan sekali ternyata dompetku ketinggalan di rumah. Tolong dibayar dulu, besok saya ganti). Tuturan di atas merupakan pragmen-pragmen dialog antar siswa SMA saat beristirahat dan ngobrol di kantin sekolah. Ragam tuturnya demikian khas anak muda yang berciri dialek Jawatimuran (Surabayan). Pilihan kata yang digunakan dalam bertutur mengarah pada kesan bebas dan kasar (fulgar). Hal itu dikarenakan pengaruh pergaulan sebaya yang kelewat akrab, sehingga aspek aturan dan norma bahasa tidak menjadi pertimbangan utama. Hal itu tampak pada penggunaan kata: koen (kamu), katene (mau apa), korah-korah (mencuci piring), sikat (makan), banci (penakut), arek (anak), cewek (perempuan), PD (percaya diri), jiancuk (sialan), dan kata saku (pesak). h. Kurang Menguasai Kode Bahasa Kurangnya menguasai kode bahasa berakibat pula pada lemahnya pengendalian terhadap pemakaian bahasa secara benar. Hal demikian tentunya akan berkurang secara bertahap sejalan dengan semakin semakin matangnya memahami aturan bahasa. Gambaran kerancuan dalam penerapan aturan bahasa tersebut tampak pada petikan tuturan remaja saat berinteraksi dengan teman dan lingkungannya. (17) (18) (19) Pak, permisi napa Tosan enten? Kula berdua niki koncoe SMA kriyin. (Pak mohon tanya apa Tosan ada di rumah? Saya ini temannya saat di SMA dulu). Koen iku longgone aja ngono pa'a, Prap! Delengen ditontok wong. (Kamu itu kalau duduk jangan begitu. Lihat banyak orang yang melihat). Wis takbilangi bolak-balik, nanging pancet ae nekad. Dasar rai gedheg, sontoloyo tenan kok! (Sudah saya nasehati berkali-kali, tapi tetap saja tidak memperdulikannya. Dasar tidak tahu malu, sialan sekali).

Beberapa penggunaan kata dalam pertuturan itu secara morfologis terdapat kesalahan penerapan. Hal yang dimaksud misalnya, kata koncoe (kancane), napa (menapa), enten (wonten), niki (menika), kriyin (rumiyin); longgone (lungguhe), pa'a (semacam partikel lah), ditontok (dilihat), takbilangi (saya nasehati), pancet (tetap) Rai gedheg (tidak tahu malu), dan sontoloyo (sialan, kurang ajar. i. Unsur Prestise Remaja itu masuk pada usia pencarian jati diri. Mereka ingin selalu tampak hebat baik dalam perilaku (tindakan) maupun pemakaian bahasa. Dalam hal tindakan seringkali lebih mengutamakan otot dibandingkan dengan akalnya. Demikian pula dalam bertutur bahasa ia ingin nampak modern dan intelek. Oleh karena itu tidak jarang menaburi bahasanya dengan peristilahan yang sedang populer dan juga bahasa asing. Gaya yang demikian hanya untuk tujuan prestise (harga diri) belaka tanpa mempertimbangkan aspek moral dan norma bahasa. Kecenderungan semacam itu tergambar pada wacana tutur berikut. (20) (21) Iya deh, aku salah. Minta maaf ya? Wis tah, entar takganti saanake. (Saya mengaku salah, minta maaf ya? Jangan kawatir nanti saya ganti uang itu dengan bunganya). Sory ya, wingi aku nggak isa teka. Ngeterna mamiku nyang Mojokerto, sih. Biasa ana ponakan sing married.

Pada dua contoh di atas tampak jelas adanya sikap latah (sok modern) dari pihak penuturnya. Kecenderungan itu banyak berkembang di kalangan remaja baik yang cukup berpendidikan ataupun kalangan remaja pada umumnya. Keadaan demikian diperkirakan karena dampak kemajuan teknologi komunikasi, khusus-nya radio dan televisi yang banyak menayangkan program-program bertitel kehidupan kaum selebritis yang menjadi idola remaja. Proses peniruan itu bukan sekedar dalam bentuk peri-lakunya saja, melainkan juga termasuk bahasa dan gaya bicaranya. Misalnya, penggunaan ungkapan Betawi seperti: deh, dong, entar, ngapain, biarin, elu, gua, dll. Begitu pula pemakaian ungkapan berbau bahasa asing (Inggris) sering menyertai tuturan para remaja, seperti: sory (maaf), mami (ibu), papi (ayah), married (kawin, perkawinan), love (cinta), week-end (akhir Minggu), meeting (rapat), dll.

Nilai Kontribusi Remaja sebagai generasi penerus memiliki nilai strategis dalam menentukan arah perkembangan bangsanya. Oleh karena itu pengelolaan usia remaja menjadi penting jika menginginkan kejayaan di masa depan. Bukan saja menyangkut urusan negara, bahkan kelestarian budaya dan bahasanya juga bergantung bagaimana proses sambung rasa antar generasi tua dengan generasi muda (remaja) berlangsung. Jika hal itu tidak ditangani dengan baik dan bijaksana, maka akan terjadi penolakan dan terputusnya kesinambungan budaya, termasuk bahasanya. Oleh karena itu generasi tua harus memahami dan peka terhadap adanya perkembangan (tuntutan perubahan) dalam setiap zaman. Melihat fenomena pemakaian bahasa Jawa remaja yang berbeda, generasi tua tidak perlu silau dan resah sebab hal itu telah menjadi hukum alam. Tugasnya menjadi mediasi yang baik agar nilai-nilai budaya yang adiluhung (tinggi) tetap dapat diselipkan dalam rangka pelestarian serta menjadikan bahasa Jawa tetap eksis sebagai bahasa yang komunikatif dan modern. Dari keseluruhan perkembangan bahasa (Jawa) remaja dalam penelitian ini memang sangat terbatas. Namun demikian dapat dipastikan bahwa pemakaian istilah yang terkait dengan dunia iptek merupakan sesuatu yang tidak dapat ditolak. Hal itu berkaitan dengan tuntutan kemajuan jaman yang juga dialami oleh generasi Jawa. Selain itu ketidaktersediaan unsur kosa kata bahasa Jawa untuk mendukung istilah dan konsep baru dalam dunia iptek menjadikan bentuk pendekatan adaptasi (penyerapan) dipandang lebih efektip. Dengan demikian kecenderungan campur kode bahasa Jawa remaja yang bernilai positif (konvergensi) dapat dijadikan embrio pengembangan bahasa Jawa yang lebih memenuhi harapan masyarakat saat ini. Berdasarkan data yang diperoleh menyangkut bidang pe-ngembangan kosa kata di atas memang terbatas seputar wilayah olah bahasa dan bidang studi yang terkait pelajaran sekolah. Hal itu seperti peristilahan dalam bidang: komputer, fisika, matematika, bahasa Indonesia, agama, dll. Akan tetapi dalam pengembangan bahasa Jawa dapat diperluas mengenai bidang-bidang lainnya yang belum sempat terekam dalam penelitian ini, seperti bidang: hukum, politik, kedokteran, perbankan, pertanian, kehutanan, dan lain sebagainya.

Penutup Hasil elaborasi dalam penelitian ini baru menggambarkan sebagian dari perilaku bahasa para remaja Jawa di Kota Surabaya. Sebagai unsur penentu perkembangan bahasa Jawa ke depan, kecenderungan para remaja dalam berbahasa (Jawa) perlu diidentifikasi secara cermat. Oleh karena itu perlu ada kajian lanjutan yang memusatkan pada karakter bahasa remaja yang lain, yaitu tentang: (1) ragam bahasa, (2) intensitas bahasa, (3) sikap bahasa, (4) perbandingan wilayah bahasa, dan (5) kemampuan bahasa Jawa sebagai basis B1.

DAFTAR PUSTAKA
Alwasilah, A. Chaedar. 1987. Sosiologi Bahasa. Bandung: Penerbit Angkasa. Ardiana, Leo Idra. 1992. Dampak Kedwibahasaan Jawa-Madura terhadap Pemerolehan Bahasa Indonesia Siswa Kelas VI Sekolah Dasar Kabupaten Pasuruan. Surabaya: Depdikbud. Basir, Udjang Pairin, M. 1994. "Berbagai Dimensi Variasi Kebahasaan di Masyaraat" dalam Media Pendidikan. Surabaya: Univerrsity Press IKIP Surabaya. --------, 2002. Sosiolinguistik. Pengantar Kajian Tindak Berbahasa. Unesa University Press. Anggota IKAPI. Surabaya. Bloomfield, Leonard. 1933. Language. Hold: Rinehart and Winston, Inc. Fishman, Joshua A. 1972. The Sociology of Language. Rowley-Massachussetts: New Bury House Publishers. Grosjean, Franqois. 1982. Life With Two Languages. An Introduction to Bilingualism. Cambridge Massachusetts and London: Harvard University Press. Haugen, E. 1972. "Dialect, Language, Nation" dalam American Anthropologist 68: 922-935. Hymes, Dell (ed.). 1964. Language in Culture and Society. New York: Harper and Row. Ibrahim, Abdul Syukur. 1995. Sosiolinguistik. Sajian, Tujuan, Pendekatan, dan Problem. Surabaya: Usaha Nasional. Nababan, P.W.J. 1979. "Sosiolinguistik, Selayang Pandang", dalam Pengajaran Bahasa dan Sastra, Tahun ke V, No.1. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.

Poedjasoedarma, Soepomo. 1979. Tingkat Tutur Bahasa Jawa. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Romaine, Suzanne. 1989. Bilingualism. New York: Basil Blackell, Ltd. Rusyana, Yus. 1989. Perihal Kedwibahasaan (Bilingualisme). Jakarta: Depdikbud, Dirjen Dikti, Proyek Pengembangan Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan. Sebeok, A. Thomas (ed.) 1972. Current Trends in Linguistics. Volume 9. Linguistics in Western Europe. The Hauge: Mouton. Sobarna, Cece, dkk. 1997. Kehidupan Bahasa Sunda di Lingkungan Remaja Kodya Bandung. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Wardaugh, Ronald. 1988. An Introduction to Sociolinguistics. New York: Basil Blacwell. Weinreich, U. 1953. Language in Contact. Mouton and Co: The Hague (Cetakan ke7, tahun 1970).

You might also like