You are on page 1of 25

Artikel KedokteranBlog

Blog mengenai artikel kedokteran

Kamis, 06 Maret 2008


PENANGANAN DAN TERAPI CAIRAN PASCA PEMBEDAHAN
Pendahuluan

Penanganan dan terapi cairan pada pasien pasca bedah sangatlah penting diketahui, untuk menurunkan angka morbilitas dan mortalitas pasien. Pada umumnya banyak pasien akibat proses bedah mengalami gangguan yang menyebabkan mobilisasi pasien dan balance cairan.

kematian bila tidak segera ditangani. Hal yang harus diketahui adalah Pulih dari anestesia umum atau dari analgesia regional secara rutin dikelola di kamar pulih atau, unit perawatan pasca anestesi (RR, Recovery Room atau PACU, Post Anestesia Care Unit). Idealnya bangun dari anestesia secara bertahap, tanpa keluhan dan mulus. Kenyataannya sering dijumpai hal-hal yang tidak menyenangkan akibat stres pasca bedah atau pasca anestesia yang berupa gangguan napas, gangguan kardiovaskular, gelisah, kesakitan, mual-muntah, menggigil dan kadang-kadang pendarahan.

Unit Perawatan Pasca Anestesi (UPPA) harus berada dalam satu lantai dan dekat dengan kamar bedah, sehingga apabila terjadi kegawatan pasca tindakan pembedahan dan perlu segera diadakan pembedahan ulang, tidak akan banyak mengalami banyak hambatan. Selain itu karena segera setelah pasca pembedahan dan setelah anestesia dihentikan, pasien sebenarnya masih dalam keadaan teranestesi dan perlu diawasi dengan ketat.

Pengawasan ketat di UPPA harus dilakukan sampai pasien bebas dari bahaya, karena itu peralatan monitor yang baik harus disediakan. Tensimeter, oksimeter denyut (pulse oximetry), EKG, peralatan resusitasi jantung-paru dan obat - obatan harus tersedia.

Petugas dalam UPPA sebaiknya sudah terlatih dalam penanganan pasien gawat, mahir menjaga jalan napas tetap paten dan tanggap terhadap perubahan dini apabila tanda vital yang membahayakan pasien.

Pemulihan Pasca Anestesi

Setelah operasi selesai pasien dibawa ke ruang pemulihan (recovery room) atau ke ruang perawatan intensif (bila ada indikasi). Secara umum, ekstubasi terbaik dilakukan pada saat pasien dalam anestesi ringan atau sadar. Di ruang pemulihan dilakukan pemantauan keadaan umum, kesadaran, tekanan darah, nadi, pernapasan suhu, sensibilitas nyeri, pendarahan dari drain, dll.

Pemeriksaan tekanan darah, frekuensi nadi, dan frekuensi pernapasan dilakukan paling tidak setiap dalam 15 menit pertama atau hingga stabil, setelah itu dilakukan setiap 15 menit, selama 2 jam pertama. Dan setiap 30 menit selama 4 jam berikutnya Pulse oximetry dimonitor hingga pasien sadar kembali. Pemeriksaan suhu juga dilakukan.

Seluruh pasien yang sedang dalam masa pemulihan dari anestesi umum harus mendapat oksigen 30 40 % untuk mencegah hipoksemia yang mungkin terjadi. Pasien yang memiliki resiko hipoksia adalah pasien yang mempunyai kelainan paru sebelumnya atau yang dilakukan tindakan operasi didaerah abdomen atas atau daerah dada. Pemeriksaan analisa gas darah dapat dilakukan untuk mengkonfirmasi penilaian oksimetri yang abnormal. Terapi oksigen benar-benar

diperhatikan pada pasien dengan riwayat penyakit paru obstruksi kronis atau dengan riwayat retensi CO2 sebelumnya.

Bila keadaan umum dan tanda vital pasien normal dan stabil, maka pasien dapat dipindahkan ke ruang rawat dengan pemberian instruksi pasca operasi.

Gangguan Pernapasan

Obstruksi napas parsial (napas berbunyi) atau total, tak ada ekspirasi (tidak ada suara napas). Pasien pasca anastesia umum yang belum sadar sering mengalami : lidah jatuh menutup faring atau oleh edema laring. Selain itu dapat terjadi spasme laring karena laring terangsang oleh benda asing, darah, ludah sekret atau sebelumnya ada kesulitan pada saat intubasi intubasi trakea.

Apabila terjadi obstruksi saat pasien masih dalam anestesi dan lidah menutup faring, maka harus dilakukan manufer tripel dengan cara pasang jalan napas mulut-faring, hidung faring dan tentunya berikan O2 100%. Jika tidak berhasil menolong, pasang sungkup laring.

Bila terjadi obstruksi karena kejang laring atau edema laring, selain perlu O2 100%, harus dibersihkan jalan napas, berikan preparat, kortokosteroid (oradekson) dan kalau tak berhasil perlu dipertimbangkan memberikan pelumpuh otot.

Obstruksi napas mungkin tidak terjadi, tetapi pasien sianosis (hiperkarbi, hiper-kapni, PaCO2>45 mmHg) atau saturasi O2 menurun (hipoksemi, SaO2<90 style=""> dangkal sering akibat pelumpuh otot masih bekerja. Kalau penyebab jelas karena opioid dapat diberikan nalokson dan kalau oleh pelumpuh otot dapat diberikan prostikmin-atropin. Hipoventilasi yang

berlanjut akan menyebabkan asidosis, hipertensi, takikardi yang dapat berakhir dengan depresi sirkulasi dan henti jantung.

Gangguan Kardiovaskular

Hipertensi dapat disebabkan karena nyeri akibat pembedahan, iritasi pipa trakea, cairan infus berlebihan, buli-buli penuh atau aktivasi saraf simpatis karena hipoksia, hiperkapni dan asidosis. Hipertensi akut dan berat yang berlangsung lama akan menyebabkan gagal ventrikel kiri, infark miokard, disritmia, edema paru atau pendarahan otak. Terapi hipertensi ditujukan pada faktor penyebab dan kalau perlu dapat diberikan klonidin (catapres) atau nitroprusid (niprus) 0,5 1,0 g/kg/ menit.

Hipotensi yang terjadi isian balik vena (venous return) menurun disebabkan pendarahan, terapi cairan kurang adekuat, diuresis, kontraksi miokardium kurang kuat atau tahanan veskuler perifer menurun. Hipotensi harus segera diatasi untuk mencegah terjadi hipoperfusi organ vital yang dapat berlanjut dengan hipoksemia dan kerusahan jaringan. Terapi hipotensi disesuaikan dengan faktor penyebabnya. Berikan O2 100%dan infus kristaloid RL atau Asering 300-500 ml.

Distritmia yang terjadi dapat disebabkan oleh hipokalemia, asidosis-alkalosis, hipoksia, hiperkapnia atau penyakit jantung.

Gelisah

Gelisah pasca anestesia dapat disebabkan oleh hipoksia, asidosis, hipotensi, kesakitan, efek samping obat misalnya ketamin atau buli-buli penuh. Setelah disingkirkan sebab-sebab tersebut diatas, pasien dapat diberikan penenang midazolam (dormikum) 0.05 0.1 mg/kgBB.

Nyeri

Nyeri pasca bedah dikategorikan sebagai nyeri berat, sedang dan ringan. Untuk meredam nyeri pasca bedah pada anestesi regional untuk pasien dewasa, sering ditambahkan morfin 0.05-0.10 mg saat memasukkan anestesi lokal ke ruang subaraknoid atau morfin 2-5 mg ke ruang epidural. Tindakan ini sangat berbiasanya manfaat karena dapat membebaskan nyeri pasca bedah sekitar 10-16 jam. Setelah itu nyeri yang timbul bersifat sedang atau ringan dan jarang diperlukan tambahan opioid dan kalaupun perlu cukup diberikan analgetik golongan NSAID (anti inflamasi non steroid) misalnya ketorolak 10-30 mg IV atau IM.

Opioid lain seperti petidin atau fentanil jarang digunakan intradural atau epidural, karena efeknya lebih pendek sekitar 3-6 jam. Efek samping opioid intratekal atau epidural ialah gatal di daerah muka. Pada manula dapat terjadi depresi napas setelah 10-24 jam. Gatal di muka dan depresi napas dapat dihilangkan dengan nalokson. Opioid intratekal atau epidural tidak dianjurkan pada manula kecuali dengan pengawasan ketat.

Kalau terjadi nyeri pasca bedah di UPPA diberikan obat golongan opioid secara bolus dan selanjutnya dengan titrasi perinfus.

Mual-Muntah

Mual-muntah pasca anestesi sering terjadi setelah anestesi umum terutama pada penggunaan opioid, bedah intra-abdomen, hipotensi dan pada analgesia regional. Obat mual-muntah yang sering digunakan pada perianestesia ialah :

1. Dehydrobenzoperidol (droperidol) 0,05-0,1 mg/kgBB (amp 5 mg/ml) i.m atau i.v.

2. Metoklopramid (primperan) 0,1 mg/kgBB i.v.,supp 20 mg

3. Ondansetron (zofran, narfoz) 0,05-0,1 mg/kgBB i.v

4. Cyclizine 25-50 mg.

Menggigil

Menggigil (shivering) terjadi akibat hipotermia atau efek obat anestesi, Hipotermi terjadi akibat suhu ruang operasi, ruang UPPA yang dingin, cairan infus dingin, cairan irigasi dingin, bedah abdomen luas dan lama. Terapi petidin 10-20 mg i.v. pada pasien dewasa, selimut hangat, infus hangat dengan infusion warmer, lampu t untuk menghangatkan suhu tubuh.

Nilai Pulih dari Anestesi

Tabel 1. Skor Pemulihan Pasca Anestesi

Penilaian Warna

Merah muda Pucat Sianosis Dapat bernapas dalam dan batuk Dangkal namun pertukaran udara adekuat Apnoea atau obstruksi Tekanan darah menyimpang <20%> Tekanan darah menyimpang 20-50 % dari normal Tekanan darah menyimpang >50% dari normal Sadar, siaga dan orientasi

Nilai 2 1 0 2 1 0 2 1 0 2

Pernapasan

Sirkulasi

Kesadaran

Bangun namun cepat kembali tertidur Tidak berespons Seluruh ekstremitas dapat digerakkan Dua ekstremitas dapat digerakkan Tidak bergerak

1 0 2 1 0

Aktivitas

Sumber : Aldrete JA, Kronik D; A postanesthetic recovery score. Anesth analg 1970;49;924

Komposisi Cairan Tubuh Air dalam tubuh terdapat pada ruangan intraseluler 40 %, ekstraseluler 20%. Ekstraseluler dibagi menjadi antarsel (intestinal) 15% dan plasma 5% Terapi cairan ialah tindakan untuk memelihara, mengganti dalam batas-batas fisiologis dengan cairan kristaloid (elektrolit) atau koloid (plasma ekspander) secara intravena. Pembedahan dengan anestesi memerlukan puasa sebelum dan sesudah pembedahan. Terapi cairan parenteral diperlukan untuk mengganti defisit cairan saat puasa sebelum dan sesudah pembedahan , mengganti kebutuhan rutin saat pempedahan, mengganti perdarahan yang terjadi dan mengganti cairan pindah ke rongga peritoneum atau keluar tubuh. Kebutuhan cairan basal (rutin, rumatan) ialah: 4 ml/kg BB/ jam untuk berat badan 10 kg pertama. 2 ml/kgBB/ jam tambahan untuk berat badan 10 kg kedua. 1 ml/kgBB/ jam tambahan untuk sisa berat badan. Contoh pasien berat 23 kg, kebutuhan basal; (4 x 10) + (2 x 10) + (1 x 3) = 63 ml/jam Pembedahan akan menyebabkan cairan pindah keruang ketiga . Untuk menggantinya tergantung besar kecilnya pembedahan.

6-8 ml/kg untuk bedah besar. 4-6 ml/kg untuk bedah sedang. 2-6 ml/kg untuk bedah kecil.

Tabel 2. Normal Elektrolit Cairan Kalium Urine Keringat Uap air nafas Gastrointestinal ECK LCF Ringer laktat NaC 0,9% Nilai Normal Na = 130 145 meq/L K = 3,8 4,4 meq/L Cl = 100 110 meq/L Gangguan komposisi cairan tubuh Gangguan komposisi cairan tubuh dapat berupa gangguan pada : 1. Natrium 2. Air 40 60 0 0 10 4 150 170 4 5 60 75 10 20 0 75 100 135 150 10 135 155 Natrium

3. Kalium 4. Asam Basa A. Natrium Eksresi air hampir selalu disertai oleh ekskresi natrium baik lewat urine, tinja, atau keringat, karena itu terapi kekurangan air (dehidrasi) selalu diberi cairan infus yang mengandung natrium. Natrium berperan memelihara tekanan osmotik dan volume cairan ekstraselular dan natrium sebagian besar (84%) berada di cairan ekstraselular. Kebutuhan natrium perhari sekitar 50-100 mEq atau 3-6 gram sebagai NaCl. 1. Hiponatremia Kadar Na < style=""> Terapi diberikan ringer laktat, NaCl 0,9%, kebutuhan normal Natrium : 24 mEq/kgBB/hari. 2. Hypernatremia Kadar Na > 145 mEq/L. Disebabkan pemberian infus elektrolit berlebihan, retensi pada payah jantung dan retensi pada acute renal failure. Manifestasi klinik antara lain circulatory overload, edema, sesak nafas, tachycardia, rasa haus, demam, dan koma. Therapy dengan pemberian diuretik atau hemodialisa. B. Air Kebutuhan harian air 50 ml/kgBB/hari, Natrium 2 mEq/kgBB, Kalium 1 mEq/kgBB. Dehidrasi ialah kekurangan air dalam tubuh yang dapat dikategorikan menjadi ringan (<> 10%), IWL = 0,4 s/d 0,5 ml/jam/kgBB (650-850 cc/hari 70 kg). 50-75 ml tambahan untuk setiap derajat kenaikan temperatur. 1. Kekurangan cairan / volume depletion

Merupakan kehilangan air tanpa Na yang dijumpai pada kasus demam tinggi yang lama, suhu ruangan tinggi dan keringat banyak, high out put renal failure, dehidrasi, manifestasi klinis yaitu : haus, penurunan kesadaran, gelisah dan konvulsi. Penanganan rehidrasi lambat adalah 8 jam I = defisit maintenance dan 16 jam II = defisit + maintenance. Sedangkan rehidrasi cepat pemberian 20-40 cc/kgBB/ -1 jam. Kemudian evaluasi hemodinamik. Bila buruk diulangi sampai baik kemudian dilanjutkan rehindrasi lambat, bila baik ( Tb 100 mmHg, dan Nadi <> Tabel 3. Pedoman Who untuk Menilai Dehidrasi Dehindrasi Ringan Dehidrasi Sedang (5%) (5-10%) Baik, kompos mentis Normal Air mata Ada Mulut atau lidah kering Lembab Haus Minum normal Turgor Baik Nadi Normal Tekanan darah Normal Air kemih Normal 2. Kelebihan cairan / overload Ditandai dengan berat badan meningkat dan edema perifer, edema otak dan ascites. Penyebabnya antara lain asupan natrium meningkat. Terapy adalah restriksi air / D5 dan NaCl hipertonis. Kurang. Oliguri Kurang sekali Turun Turun sekali Cepat Cepat sekali Jelek Sangat jelek Haus Tak bisa minum Kering Kering Sangat kering, pecahpecah Gelisah, rewel, lesu Cekung Kering sekali Dehindrasi Berat (>10%) Letargik, tak sadar Sangat cekung

Klinis Kaadaan Umum Mata cekung, kering

C. Kalium Sebagai besar K terdapat dalam sel (150 mEq/L). Kebutuhan akan Kalium cukup diatas dengan kebutuhan rutin saja sekitar 0,5 mEq/kgBB/hari 1. Hipokalemia Kadar K < k =" 1"> 2. Hiperkalemia Kadar K > 5,0 mEq/L, penyebabnya pada gagal ginjal, asidosis, manifestasi klinis yaitu lemah, paralisis, fibrilasi, ventrikel, therapi Ca.Glukonat 10% 10-30 mL IV. Tabel 4. Nilai Normal Astrup (AGDA) Darah Arteri Darah Campuran (Arteri + Vena)

pH pO2 O2 saturasi pCO2 HCO3 Base Excess

7,40 (7,35-7,45) 80-100 mmHg 95% greater 35-45 mmHg 22-25 mEq/L - 2 - +2

7,38 (7,33-7,43) 35-49 mmHg 70-75% 41-45 mmHg 24-28 mEq/L 0-4

Tabel 5. Barometer Gangguan Keseimbangan Asam Basa pH ASIDOSIS RESPIRATORI - Murni turun turun pCO2 naik naik HCO3 normal naik sedikit

- Terkompensasi sebagian - Terkompensasi penuh ASIDOSIS METABOLIK - Murni - Terkompensasi sebagian - Terkompensasi penuh ASIDOSIS METABOLIK ALKALOSIS RESPIRATORI - Murni - Terkompensasi sebagian - Terkompensasi penuh 1. Therapi = memperbaiki ventilasi 2. Therapi = Na Bikarbonat 50 100 mEq/L IV RESPIRATORI +

normal

naik

Naik

turun turun normal

normal turun sedikit turun

turun turun turun

turun

naik

turun

naik naik normal

turun turun turun

normal normal turun

3. Therapi = Pem HCl 0,1 mol/L diinfuskan pada vena centralis 4. Therapi = menyunkup kepala dengan kantongan kertas PCO2 Transfusi Darah pada Pembedahan

1. Pengertian Transfusi

Transfusi darah = hemoterapi

Yang dimaksud hemoterapi adalah pemberian komponen darah serta derivat-derivatnya untuk terapi dengan cara transfusi.

Untuk mengetahui jumlah volume darah seseorang, biasanya digunakan patokan berat badan (tabel 1). Makin aktif secara fisik seseorang, makin besar pula volume darahnya untuk setiap kilogram berat badannya.

Tabel 6. Volume darah

Usia Prematur Cukup bulan Anak kecil Anak besar Dewasa Pria Wanita 2. Pengertian Darah

ml/kgBB 95 85 80 75-80 75 65

Untuk orang dewasa kadar Hb normal angka patokannya ialah 20%. Cairan kristaloid (ringerlaktat, asering) untuk mengisi ruang intravaskular diberikan 3 kali lipat jumlah darah yang hilang, sedangkan koloid diberikan dengan jumlah sama.

3. Indikasi Transfusi Darah

Transfusi darah umumnya > 50% diberikan pada saat perioperatif dengan tujuan untuk menaikkan pengangkutan oksigen dan volume intravaskular. Kalau hanya menaikkan volum intravaskular saja cukup dengan koloid atau kritaloid.

Indikasi tranfusi darah adalah :

1. Perdarahan akut sampai Hb <>

Pada orangtua, kelainan paru, kelainan jantung Hb <>

2. Bedah mayor kehilangan darah > 20% volum darah.

4. Jenis Komponen Darah

1. Whole Blood (WB)

Merupakan

darah lengkap = 450 ml darah + 63 ml pengawe, Ht : 3t : 36-40%

Segar

(<>

Indikasi

: - Sebagai O2 carryng capasity dan blood volume ekpansion

- Kehilangan darah akut dan banyak (> 1500 ml)

- Menaikkan massa RBC

- Menaikkan volume plasma

- WBC dan PLT tidak berfungsi


Kontra indikasi : tidak diberikan pada anemia kronik Dosis : - 5 x (Hb yang diharapkan Hb pasien) x BB

Contoh = Hb yang diharapkan 10 gr%, Hb pasien 7 gr% - BB 50 kg. = 5 x (10 7) x 50

= 750 cc - Pada dewasa 1 bag 1 gr %, Ht 3 4 % - Pada anak 8 ml/kg BB 1 gr%

- Pemberian harus selesai dalam 4 jam

2. RBC/PRC/SDM unit packed cell berisi 240 340 ml dengan Ht 75 80 % dan HB 24 gr/dl

Satu

40

5% plasma dikeluarkan RBC 1 60C tahan 35 hari

Stored

Indikasi

: - Anemia defisiensi berat

- Anemia chronik disease

- Anemia GGK

- Anemia gagal sumsum tulang

- Pasien dengan reguler transfusi

- Pada perdarahan lambat

- Pada kelainan jantung

Dosis : - 4 x (Hb yang diharapkan Hb pasien) x BB

Atau

- Pada dewasa untuk menaikkan Hb 1gr/dl

Diperlukan packed cell 4 ml/kg atau 1 unit dapat menaikkan kadar Ht 3-5%.

3. Platelet Concentrates bag = 5,5 x 1010 / 50 70 ml plasma disimpan 5 hari pada 20 240C dan 48 jam oada 1 60C

Tiap

Dapat

Indikasi

: - Anemia aplastik

- Kelainan fungsi trombosit

- Sekunder trombopati : uremia - Dilution trombositopenia OK transfusi masif (PLT<>3/mm3)

- Penggunaan alat kardio-pulmonair (heart lung machine)

- Penderita ITP = trombositopenia berat.

Kontraindikasi

- Pasien dengan rapid platelets destruction

- Idiopatik autoimmun trombositopenia purpura (ITP)

- DIC

- Septikemia

- Hypersplenisme

4. Granulocytes bag = > 1,0 x 1010 granul0cytes

Jumlah

limfosit, trombosit, RBC bervariasi 200 300 plasma

Suspensi

Harus

segera ditransfusikan paling lama 24 jam

Indikasi

: - Bone marrow hypoplasia

- Netropenia <>3 - Fever 24 48 jam, tidak respons terhadap antibiotik terapi

5. Freshfrozen Plasma (FFD)

Volume

200 250 ml

Semua

faktor pembekuan ada kecuali faktor V dan faktor VIII

Indikasi

: - Liver disease

- DIC

- Dilution coagulopathy oleh karena massive blood replacement

- Mid hemafilia B

6. Liquid Plasma

Dibuat

pemisahan plasma dari whole blood 200 250 ml (bag 450) atau 100 125 ml (bag 250 ml)

Volume

Mengandung

stabil faktor yang cukup, labil faktor kurang (FV dan FVIII)

Penyimpan

< (-180C) tahan 5 tahun

Indikasi

: - Defisiensi stabil faktor

- Liquid plasma dapat disubstitusi FFP

- Tidak untuk F-V, F-VIII deff., DIC

7. Cryoprecipitated AHF

Supernatant

dikeluarkan, tinggal cold preciptate protein + 10-15 ml plasma

Pada

(-180C) tahan 1 tahun

Mengandung

= E VII C (prokoagulant activity), F-VIII, fibrinogen, F-XIII fibronectin.

bag = 80 120 unit F-VIII; C, 250 mg fibrinogen, 20 30% F-XIII

Indikasi

: - Hemofilia A

- Deff fibrinogen congenital / aquired

- DIC

Komplikasi Transfusi Darah

1. Reaksi hemolitik

Kekerapan 1:6000 akibat destruksi eritrosit-donor oleh antibodi resipien dan sebaliknya. Jika jumlah transfusi <5%>

Pada pasien sadar ditandai oleh demam, menggigil, nyeri dada-panggul dan mual.

Pada pasien dalam anestesi ditandai oleh demam, takikardi tak jelas asalnya, hipotesi, perdarahan merembes di daerah operasi syok, spasme bronkus dan selanjutnya Hb-uria, ikterus dan renal shut down

2. Infeksi

Virus (hepatitis, HIV-AIDS, CMV)

Bakteri (stafilokok, yesteria, citrobakter)

Parasit (malaria) 3. Lain lain

Demam, urtikaria, anafilaksis, edema paru non-kardial, pupura, intoksikasi sitrat, hiperkalemia, asidosis.

Penanggulangan Reaksi Transfusi

1. Stop transfusi.

2. Naikkan tekanan darah dengan koloid, kristaloid, jika perlu tambah vasokonstriktor, inotropik.

3. Berikan oksigen 100%

4. Diuretika manitol 50 mg atau furosemid (lasix) 10-20 mg

5. Antihistamin

6. Steroid dosis tinggi 7. Jika perlu exchange transfusion

8. Periksa analisa gas dan pH darah.

DAFTAR PUSTAKA Fleeley TW, Macario A. The Postanestesia Care Unit, In Miler RD-Anesthesia 5 th ed, Churchill Livingstone Philadelphia, 2000.

Jhon J. Marini, MD, Arthur P. Wheeler, MD, Critical Care Medicine The Essentials 3 rd ed, Fluid and Electrolyte Disorders. Jhon J. Marini, MD, Arthur P. Wheeler, MD, Critical Care Medicine The Essentials 3 rd ed, Transfusion and Blood Component; 247-257. Kesuma Adi, Sp.PK, Bagian Patologi Fakultas Kodokteran USU Medan, Transfusi Darah. Loebis, Amin, Sp.A, Bagian Anestesi, Reanimasi, Fakultas Kedokteran USU Medan, Terapi Cairan. Said A. Latief, dkk, Petunjuk Praktis Anestesiologi, 2 nd ed., Tatalaksana Pasca Anestesia ; hal: 125 128. Diposkan oleh HSI MD di 3/06/2008 09:56:00 AM 1 komentar:

doctor monte mengatakan... good blogs doc. sincerely, dr. Monte SLK www.pkugombong.tk www.doktermonte.co.cc 1 Maret 2009 22.42 Poskan Komentar Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda Langganan: Poskan Komentar (Atom)

Arsip Blog

2011 (6) 2008 (28) o Maret (26) Kriteria Diagnosis Praktis ATHETOSIS PAPIL EDEMA

MUSCULAR DYSTROPHY DEMENSIA FACIAL PALSY LIMFOMA PENANGANAN DAN TERAPI CAIRAN PASCA PEMBEDAHAN ABORTUS PENYAKIT PAGET PADA MAMAE PENDAHULUAN Tn. Jam... PENYAKIT PAGET PADA TULANG PENDAHULUAN Pen... SINDROMA NEFROTIK Sekitar Etika Kedoktera HIRSCHSPRUNG'S DISEASE AUTISME KERUGIAN PENGGUNAAN SUSU FORMULA PADA BAYI ENSEFALITIS BULIMIA NERVOSA BATUK ANOREKSIA NERVOSA NUTRISI IBU HAMIL KANKER PARU BRONKOPNEUMONIA Korioretionopati Serosa Sentral MARASMUS STURGE-WEBER SYNDROME Februari (2)

Mengenai Saya

HSI MD HSI singkatan dari Hendy Stio Iwantono. MD = Medical doctor? bener sih tapi lokal bukan impor alias dokter umum. Disini saya tuangkan hasil tulisan saya selam 2 tahun menjalani koasistensi sekaligus pembuat paper, dimana paper-paper tersebut dibuat untuk memenuhi pesanan teman-teman saya dan sekaligus sebagai usaha untuk tetap bikin perut terisi. karena sebagai ko ass yang jatah kiriman ortu tiap bulan minimalis, saya harus berusaha memenuhi kebutuhan hidup saya sendiri sebagai pembuat paper. Lihat profil lengkapku Template Awesome Inc.. Diberdayakan oleh Blogger.

hipotermia akibat anasthesi


PENGARUH ANESTESI TERHADAP TERMOREGULASI

Anestesi dan operasi merupakan hal-hal yang dapat mengganggu termoregulasi. Hipotermia merupakan suatu keadaan yang sering terjadi selama penderita mengalami pembedahan. Hipotermia ini merupakan kombinasi dari gangguan termoregulasi karena anestesi, ruangan operasi yang dingin dan faktor-faktor pembedahan yang menyebabkan hilangnya panas tubuh 1.Anasthesi umum Hampir semua penderita yang mendapatkan anestesi umum menjadi hipotermia. Hal ini disebabkan anestesi umum mengakibatkan gangguan pada termoregulasi tubuh. Anestesi umum menyebabkan peningkatan nilai ambang respon terhadap panas dan penurunan nilai ambang respon terhadap dingin. Dengan kata lain, interthreshold range menjadi melebar dari 0,4C menjadi sekitar 2-4C. Klasifikasi mengenai hipotermia masih belum mendapatkan suatu kesepakatan diantara ahli-ahli anestesiologi. Ada yang membagi hipotermia menjadi hipotermia ringan antara 32-35C, hipotermia sedang 28-32 C dan hipotermia berat kurang dari 28C. Tetapi ada yang menggunakan batasan untuk hipotermia ringan antara 33-36,4C dan tidak menetapkan batasan antara hipotermia sedang dan berat. Penggunaan batasan ini karena pada suhu ini kemungkinan disfungsi organ akan mulai timbul. Beberapa hal yang menyebabkan penderita menjadi hipotermia pada saat menjalani operasi adalah:

Anestesia menurunkan produksi panas. Panas tubuh yang hilang tinggi karena ruang operasi yang dingin, pemberian cairan yang dingin, irigasi cairan pada luka operasi dan evaporasi serta radiasi dari luka operasi. Kompensasi tubuh tidak terjadi karena penderita tidak sadar dan kadang-kadang lumpuh karena obat pelumpuh otot serta respon otonom termoregulasi terganggu.

Hipotermia selama anestesi umum mengikuti suatu pola tertentu, yaitu terbagi menjadi 3 fase. Fase tersebut adalah fase redistribusi, fase linear dan fase plateau Fase Redistribusi Induksi anestesi umum akan menyebabkan terjadinya vasodilatasi. Hal ini terjadi melalui dua mekanisme, yaitu obat anestesi secara langsung menyebabkan terjadinya vasodilatasi pembuluh darah dan anestesi umum menurunkan nilai ambang vasokonstriksi dengan menghambat fungsi termoregulasi sentral.

Vasodilatasi ini akan mengakibatkaan panas tubuh dari bagian sentral suhu inti mengalir ke bagian perifer. Redistribusi panas tubuh ini akan menyebabkan peningkatan suhu perifer tetapi menyebabkan penurunan suhu inti. Penurunan suhu inti pada fase ini terjadi dengan cepat. Suhu inti turun 1-1,5C selama jam pertama. Fase Linear Setelah fase redistribusi, suhu inti akan turun dengan lambat selama 2-4 jam berikutnya. Penurunan ini sekitar 0,5C setiap jamnya. Hal ini terjadi karena panas tubuh yang hilang lebih basar daripada panas yang diproduksi. Metabolisme tubuh menurun sebesar 15-40% selama anestesi umum. Pada fase ini, panas yang hilang tergantung dari jenis operasi. Hipotermia lebih banyak terjadi pada operasi besar dibanding operasi kecil. Juga pada suhu ruangan operasi yang lebih rendah. Pada fase ini, penggunaan insulator atau pemanasan intra operatif paling efektif dilakukan. Fase Plateau Setelah penderita teranestesi dan melewati fase linear, suhu tubuh akan mencapai keseimbangan. Pada fase ini, produksi panas seimbang dengan panas yang hilang. Fase ini terbagi menjadi dua, yaitu fase pasif dan aktif.

Fase plateau pasif terjadi jika produksi panas seimbang dengan panas yang hilang tanpa disertai aktivitas dari termoregulasi, yaitu tanpa disertai terjadinya vasokonstriksi. Tapi kombinasi dari penurunan produksi panas karena anestesi dan faktor-faktor operasi yang lain menyebabkan fase ini jarang terjadi. Fase ini lebih sering terjadi pada operasi-operasi kecil pada penderita yang terselimuti atau terbungkus oleh insulator yang baik. Fase palteau aktif terjadi saat suhu tubuh telah mencapai keseimbangan dengan terjadinya mekanisme vasokonstriksi. Pada saat suhu inti mencapai 33-35C akan memicu sistem termoregulasi untuk vasokonstriksi untuk mengurangi panas tubuh yang hilang dengan membatasi aliran panas dari jaringan inti ke jaringan perifer.

Pada fase ini, panas tubuh yang dihasilkan akan dipergunakan untuk mempertahankan suhu inti tetap stabil atau tidak turun lagi. Oleh karena itu suhu perifer akan menurun karena tidak mendapatkan suplai panas dari suhu inti walaupun suhu inti tetap dipertahankan konstan.

2. Anasthesi Regional Anestesi regional baik spinal maupun epidural menurunkan nilai ambang vasokonstriksi dan shivering di atas level blok simpatis sekitar 0,6C . Penurunan ini tidak disebabkan karena resirkulasi dari obat anestesi lokal, karena gangguan yang ditimbulkan hampir sama antara spinal dan epidural, meskipun jumlah dan lokasi obat anestesi lokal antara keduanya berbeda. Perubahan nilai ambang ini terjadi karena anestesi regional menghalangi semua informasi suhu dari bagian yang terblok, tetapi yang terbanyak adalah informasi suhu dingin. Otak kemudian menginterpretasikan sebagai kaki yang relatif hangat. Hal ini akan memberikan informasi terhadap sistem termoregulasi untuk menurunkan nilai ambang vasokonstriksi dan shivering. Penurunan nilai ambang ini sebanding dengan jumlah segmen yang terblok. Seperti pada penderita dengan anestesi umum, pada penderita dengan anestesi regional baik spinal maupun regional juga mengalami redistribusi panas tubuh dari jaringan inti ke perifer. Anestesi regional menghambat kontrol termoregulasi secara sentral tapi yang lebih penting adalah pengaruh anestesi regional dalam menghambat aktivitas saraf simpatis yang menyebabkan tak terjadinya vasokonstriksi dan shivering pada bagian tubuh yang terblok. Oleh karena itu, redistribusi anestesi regional terbatas pada kaki . Seperti halnya anestesi umum, redistribusi panas dari sentral ke perifer ini akan menyebabkan terjadinya hipotermia, walaupun tak seberat pada anestesi umum. Hipotermia pada anestesi regional juga diikuti oleh fase linear, fase penurunan suhu tubuh yang lambat karena pembentukan panas lebih kecil dibandingkan dengan produksi panas. Tapi pada anestesi regional, fase linear tidak diikuti oleh fase plateau. Hal ini terjadi karena, hipotermia pada anestesi regional akan memicu vasokonstriksi dan shivering pada bagian tubuh yang tidak terblok. Tapi hal ini tak cukup untuk mencegah hipotermia yang terjadi. Sedangkan kehilangan panas tubuh terus berlanjut karena bagian tubuh yang terblok tidak terjadi vasokonstriksi dan vasodilatasi yang terjadi akan menyebabkan tubuh terus kehilangan panas. Hipotermia pada anestesia regional tidak memicu sensasi dingin dari penderita. Hal ini disebabkan karena persepsi terhadap dingin tergantung dari informasi suhu kulit, sedangkan vasodilatasi dari pembuluh darah kulit yang disebabkan oleh anestesi regional akan memberikan sensasi panas / hangat di kaki. Redistribusi panas tubuh merupakan penyebab utama hipotermia selama jam pertama baik pada anestesi umum maupun regional Selama tindakan pembedahan yang relatif singkat, hipotermia lebih berat pada penderita yang menjalani anestesi umum. Tetapi pada operasi yang lama dan besar, pada saat penderita dengan anestesi umum mengalami fase plateau sehingga suhunya cenderung stabil, penderita dengan anestesi regional sering makin menjadi hipotermia

You might also like