You are on page 1of 17

BAB I KASUS POSISI

A. FAKTA-FAKTA 1) Fakta Tentang Film Sometime in April Sometimes In April merupakan sebuah film yang mengisahkan pembantaian yang dilakukan oleh kelompok militer garis keras Suku Hutu terhadap Suku Tutsi. Berawal dari polemik dan sentimen politik antara Suku Hutu terhadap Suku Tutsis yang muncul akibat pengaruh kolonialisme Prancis dan Belgia. Suku Hutu merasa memiliki posisi yang lemah secara politik kekuasaan, karena pada saat itu hubungan kolonialisme lebih terjalin dan diturunkan kekuasaannya pada Suku Tutsi. Pada akhirnya setelah memasuki fase kemerdekaan, Suku Tutsi memiliki peran yang cukup besar dalam menjalankan roda pemerintahan Rwanda, dan Suku Hutu melihat hal ini sebagai sebuah hal yang cenderung melemahkan posisi mereka. Pada konteks ini saya melihat mulai muncul bentuk primordialisme yang ditonjolkan oleh Suku Hutu karena merasa tertindas dan berusaha bangkit dari pengaruh dan kekuasaan Suku Tutsi. Maka untuk merebut kekuasaan di Rwanda yang dibawah kendali Rwandan Patriotic Front, kelompok militer garis keras Suku Hutu berusaha mengkudeta dan mengambil alih pemerintahan di bawah rezim Hutu. Langkah pertama yang dilakukan ditanggung-tanggung, kelompok militer Hutu disokong dukungan senjata tentara bayaran dari Prancis mampu membunuh presiden yang berkuasa saat itu, dengan meledakkan pesawat kepresidenan yang berisi presiden Rwanda serta beberapa stafnya. Maka kondisi inilah yang kemudian menjadi batu loncatan rezim Hutu untuk berkuasa penuh di Rwanda dan melakukan genosida terhadap Suku Tutsi Cerita ini berawal pada tahun 2004, ketika Augustin Muganza, yang bekerja sebagai guru sebuah sekolah berusaha memperlihatkan catatan kelam negara Rwanda kepada muridnya. Dan inilah yang menjadi sebuah bentuk ingatan flashback dari Augustin atas pengalaman pahit dan kelam yang dialaminya ketika di masa rezim Hutu. Augustin tadinya merupakan seorang Kapten Tentara Nasional Rwanda. Ia sendiri merupakan orang yang berlatarbelakang Suku Hutu. Memiliki seorang istri berdarah Tutsi yang diperankan oleh tokoh Jeanne. Konsekuensi yang kemudian muncul adalah anak-anak Augustin memiliki darah beraliran Tutsi dan ini yang kemudian menjadi problematika utama ditengah rezim Hutu kemudian. Setelah kudeta yang dilakukan oleh rezim Hutu, Rwanda semakin porak poranda. Posisi Suku Tutsi pun diperlakukan layaknya sebuah kecoa yang harus dimusnahkan dari bumi Rwanda. Militer memiliki andil besar dalam mempengaruhi masyarakat sipil bersuku Hutu. Ditambah lagi peran salah satu radio nasional Rwanda yang terus memprovokasi pergerakan Suku Hutu melawan Suku Tutsi semakin menyumbang gejolak masyarakat Hutu untuk melakukan pembunuhan massal.

2) Fakta Tentang Perang Saudara Suku Tutsi dan Hutu Konflik di Rwanda, awalnya dapat dikategorikan sebagai konflik internal, menyusul perebutan kekuasaan antara etnis Tutsi dan Hutu yang mengakibatkan perang sipil di tahun 1959. Akan tetapi konteks konflik internal dan konflik etnis di Rwanda menjadi hirauan internasional karena adanya upaya pemusnahan etnis secara besar-besaran. Rwanda merupakan salah satu negara di belahan Benua Afrika yang terdiri dari 3 kelompok etnis: Hutu (88%), Tutsi (11%), dan Twa pygmies (1%). Setidaknya ada beberapa faktor yang melatarbelakangi munculnya kebencian terhadap suku Tutsi dan akhirnya berujung pada Genosida. Pertama, fanatisme dari etnis Hutu muncul tidak lepas dari sakit hati dan reprisals methods suku Hutu yang mengalami marginalisasi dan stigmatisasi dimasa pendudukan Belgia atas Rwanda dan perang sipil di tahun 1959. Di tahun 1961, partai gerakan emansipasi Hutu Parmehutu menang dalam referendum PBB. Pemerintahan Parmehutu, yang dibentuk sebagai hasil dari pemilihan umum tahun 1961 diberi jaminan otonomi oleh Belgia tanggal 1 Januari 1962. Juni 1962 resolusi Majelis Umum PBB mengakhiri pemerintahan Belgia dan memberikan kemerdekaan penuh atas Rwanda (dan Burundi) yang mulai berlaku sejak 1 Juli 1962. Berawal disaat Presiden Rwanda Juvnal Habyarimana dibunuh ketika sebuah granat roket meledakkan pesawat yang membawanyadan presiden Burundi Cyprien Ntaryamira, setelah negosiasi mengenai Piagam Arusha. Secara etnis pembantaian terencana terhadap Tutsi oleh Hutu radikal dimulai. Pemblokiran jalan dibuat oleh Angkatan Bersenjata Rwanda (FAR) dan Interahamwe. Anggotanya dan organisasi Kekuasaan Hutu memulaikampanye pintu ke pintu, dimulai di utara negara dan menyebar ke selatan, menargetkan Rwanda Tutsi juga Hutu moderat. Perdana Menteri Agathe Uwilingiyimana, bersama dengan ribuan orang lainnya dibunuh. Front Patriotik Rwanda, dipimpin oleh calon presiden Rwanda Paul Kagame, melancarkan pertahanan besar untuk mengakhiri genosida dan menyelamatkan tentara yang terperangkap di Kigali. Jumlahnya sangat banyak, mereka mengikuti strategi menyerang pertahanan pemerintah tapi mengizinkan pemunduran, mencegah perang habis-habisan. Setelah eksekusi sepuluh tentara Belgia yang menjaga Uwilingiyimana, PBB mengurangi pasukannya dari 2.500 hingga 250 orang. Sejumlah besar Rwanda, terutama Hutu, menghindari serangan RPF, karena takut disiksa. Krisis yang berlanjut, dimana ratusan ribu orang memasuki Burundi, Tanzania, dan timur Republik Demokratik Kongo, disiarkan ke seluruh dunia, dan banyak orang menyalah artikan pengungsi sebagai korban genosida. Sementara itu, PBB membicarakan krissi di Rwanda, secara hati-hati menghindari penggunaan sebutan 'genosida', meski mereka dapat melakukan aksi yang lebih kejam. PBB setuju mengirim 6.800 polisi, untuk menjaga warga sipil, sementara pembunuhan Tutsi berlanjut. Opration Turquoise dibuat, untuk menjaga Genocidaires Hutu dan menggagalkan serangan RPF. Polisi PBB yang dijanjikan, belum juga tiba.

Sementara pemerintahan Hutu mengungsi ke Zaire, RPF menduduki Kigali. Epidemi kolera di Zaire menewaskan ribuan pengungsi Hutu. Pembunuhan tersebar terjadi. Sebuah perjanjian untuk membentuk lembaga pengadilan penjahat perang, yang kemudian menjadi International Criminal Tribunal for Rwanda, disetujui. B. PIHAK-PIHAK YANG BERSENGKETA Suku Tutsi Suku Huti

BAB II MASALAH HUKUM DAN TINJAUAN TEORITIK


A. MASALAH HUKUM Sometimes In April merupakan sebuah film yang mengisahkan pembantaian yang dilakukan oleh kelompok militer garis keras Suku Hutu terhadap Suku Tutsi. Dalam hal ini apakah yang membedakan kombatan (pihak berperang) dengan penduduk sipil yang harus dilindungi? B. TINJAUAN TEORITIK Perang adalah sebuah aksi fisik dan non fisik atau kondisi permusuhan dengan menggunakan kekerasan antara dua atau lebih kelompok manusia untuk melakukan dominasi di wilayah yang dipertentangkan. Perang terjadi semenjak ribuan tahun yang lalu sampai sekarang. Apa sebabnya? Tiada lain karena manusia tidak pernah mau mengakui kesalahan pribadi, melainkan melontarkan sebab kesalahan kepada orang lain. Karena manusia selalu dipenuhi oleh kehendak, dipenuhi oleh keinginan, dipengaruhi oleh ingatan-ingatan akan kenikmatan duniawi, akan kedudukan tinggi, akan kekayaan, kemakmuran dan lain sebagainya yang sudah dikenalnya dan didengung-dengungkan prang semenjak kecil! Dari kehendak-kehendak yang demikian banyaknya, yang dimiliki oleh seluruh manusia, tentu saja timbul pertentangan karena masingmasing hendak mendapatkan apa yang dikehendakinya. Pertentangan inilah yang menimbulkan permusuhan, melahirkan kebencian, memperebutkan kebenaran masing-masing yang sesungguhnya hanyalah kebenaran palsu belaka, dan sebagi pelaksanaannya terjadilah perang. Perang sendiri akan menimbulkan banyak hal negatif pada kedua belah pihak yang berperang, dan sangat merugikan, terutama dari segi ekonomi, bukan hanya itu perang menimbulkan banyak korban perang, banya diantaranya anak kecil wanita dan para lanjut usia, umumnya yang menjadi korban perang adalah ia yang tidak mengetahui perang tersebut, segala sarana dan prasarana tak luput dari sasaran kehancuran. Atas dasar itulah, dibuatlah sebuah hukum yang dapat mengatur peperangan tersebut, untuk melindungi para penduduk sipil, dan segala sesuatu yang tidak seharusnya dalam perang. Hukum humaniter internasional adalah seperangkat aturan yang karena alasan kemanusiaan dibuat untuk membatasi akibat-akibat dari pertikaian senjata. Hukum ini melindungi mereka yang tidak atau tidak lagi terlibat dalam pertikaian, dan membatasi cara-cara dan metode-metode berperang. Hukum humaniter internasional adalah istilah lain dari hukum perang (laws of war) dan konflik bersenjata (laws of armed conflict). Hukum humaniter internasional adalah bagian dari hukum internasional, sedangkan hukum internasional adalah hukum

yang mengatur hubungan antar negara.1 Hukum kemanusiaan internasional, hukum humaniter internasional (HHI), yang sering kali juga disebut sebagai hukum konflik bersenjata (international humanitarian law), adalah batang tubuh hukum yang mencakup Konvensi Jenewa dan Konvensi Den Haag beserta perjanjian-perjanjian, yurisprudensi, dan hukum kebiasaan internasional yang mengikutinya.2 HHI menetapkan perilaku dan tanggung jawab negara-negara yang berperang, negara-negara netral, dan individu-individu yang terlibat peperangan, yaitu terhadap satu sama lain dan terhadap orang-orang yang dilindungi, biasanya berarti orang sipil. HHI adalah wajib bagi negara yang terikat oleh perjanjian-perjanjian yang relevan dalam hukum tersebut. Ada juga sejumlah aturan perang tak tertulis yang merupakan kebiasaan, yang banyak di antaranya dieksplorasi dalam Pengadilan Perang Nuremberg. Dalam pengertian yang diperluas, aturan-aturan tak tertulis ini juga menetapkan sejumlah hak permisif serta sejumlah larangan perilaku bagi negara-negara yang berperang bila mereka berurusan dengan pasukan yang tidak reguler atau dengan pihak non-penandatangan. Pelanggaran hukum kemanusiaan internasional disebut kejahatan perang. Dalam hukum kemanusiaan internasional, terdapat pemisahan antara konflik bersenjata internasional dan konflik bersenjata non-internasional. Pemisahan ini telah banyak dikritik.3

Genocide atau dalam bahasa disebut sebagai genosida secara harfiah dapat diartikan sebagai sebuah usaha pembantaian suatu kelompok etnis, yang dilakukan secara sistematis, dan bertujuan untuk memusnahkan suatu kelompok etnis tertentu. Haryomataram membagi hukum humaniter menjadi dua aturan-aturan pokok, yaitu:4 1. Hukum yang mengatur mengenai cara dan alat yang boleh dipakai untuk berperang (Hukum Den Haag/The Hague Laws); 2. Hukum yang mengatur mengenai perlindungan terhadap kombatan dan penduduk sipil dari akibat perang (Hukum Jenewa/The Genewa Laws). Pada tanggal 21 November 1947, pasca perang dunia kedua, PBB membentuk Komisi Hukum Internasional (International Law Commission) melalui Resolusi
1

Ahmad Baharuddin Naim. Hukum Humaniter Internasional. Universitas Lampung Bandar Lampung. 2010. Hal 14 2 ICRC What is international humanitarian law? 3 Stewart, James (30). "Towards a Single Definition of Armed Conflict in International Humanitarian Law". International Review of the Red Cross 850: 313350. 4 Haryomataram, Sekelumit tentang Hukum Humaniter, Surakarta: Sebelas Maret University Press, 1994, hlm. 1.

Majelis Umum PBB no.174(II). Komisi ini bertugas untuk menyusun sebuah standar hukum internasional yang menjadi pegangan setiap negara anggota PBB. Pada sessi pertemuan yang ke 48, yang berlangsung bulan Mei sampai Juli 1996, Komisi Hukum Internasional ini berhasil menyepakati untuk mengadopsi serangkaian norma-norma atau prinsip-prinsip hukum internasional yang terangkum dalam 20 pasal Draft Code of Crimes Against Peace and Security of Mankind.5 Pengadilan Kriminal Internasional untuk Rwanda adalah pengadilan internasional yang didirikan oleh Dewan Keamanan Perserikatan BangsaBangsa yang bertujuan untuk mengadili orang yang bertanggung jawab atas terjadinya Genosida Rwanda dan pelanggaran hukum internasional lain di Rwanda
ICRC merupakan organisasi non-pemerintah yang menjaga hak-hak korban perang, berupaya memelihara standar kemanusiaan di tengah kancah peperangan, dengan prinsip yang menjadi pedoman yaitu bahwa dalam perang pun ada batasanbatasannya. ICRC atau Komite Internasional Palang Merah didirikan hampir setengah abad yang lalu, tepatnya pada tahun 1863. Misi ICRC adalah melindungi dan membantu korban konflik bersenjata dan situasi gangguan dalam negeri, sipil maupun militer, secara netral dan tidak memihak.6

5 6

Lihat Human Rights Law Journal, vol.18 no.1-4, hal 96-98 Ikhwan, Peran International Committee Of The Red Cross (Icrc) Dalam Menanggulangi Krisis Kemanusiaan Di Kolombia Tahun 2006 2010, Jurnal Hukum hlm. 01 Januari (2013)

BAB III DASAR PEMIKIRAN


A. HUKUM DEN HAAG 1907 Hukum Den Haag atau The Hague Laws adalah istilah yang dipakai untuk menunjukkan serangkaian ketentuan hukum humaniter yang mengatur mengenai alat (sarana) dan cara (metode) berperang (means and methods of warfare).[8] Disebut dengan The Hague Laws, karena pembentukan ketentuan-ketentuan tersebut dihasilkan di kota Den Haag, Belanda. Hukum Den Haag terdiri dari serangkaian ketentuan yang dihasilkan dari Konferensi 1899 dan ketentuanketentuan yang dihasilkan dari konferensi 1907. Hukum Den Haag merupakan ketentuan hukum humaniter yang mengatur mengenai cara dan alat berperang. Hukum Den Haag bersumber dari hasil-hasil Konferensi Perdamaian I yang diadakan pada Tahun 1899 dan Konferensi Perdamaian II yang diadakan pada tahun 1907. Di samping itu, ada beberapa intrumen hukum humaniter yang dibuat setelah dua konferensi oerdamaian tersebut yang juga termasuk dalam kelompok Hukum Den Haag, misalnya Konvensi-konvensi tentang Senjata Konvensional tahun 1980. Terselenggaranya konferensi ini atas prakarsa Tsar-Nikolas II dari Rusia yang berusaha melanjutkan usaha tsar Aleksander I yang menemui kegagalan dalam mewujudkan suatu konferensi internasional di Brussel pada tahun 1874.7 Konferensi Den Haag 1899 diadakan mulai tanggal 20 Mei 1899 hingga 29 Juli 1899 yang menghasilkan tiga konvensi (perjanjian internasional) dan tiga deklarasi (pernyataan) pada tanggal 29 Juli 1899. Adapun tiga konvensi tersebut adalah :8 1. Konvensi I tentang Penyelesaian Damai Persengketaan Internasional 2. Konvensi II tentang Hukum dan kebiasaan perang di darat 3. Konvensi III tentang Adaptasi Asas-asas Konvensi Janewa Tanggal 22 Agustus 1964 tentang Hukum Perang di Laut. Sedangkan tiga deklarasi yang dihasilkan adalah sebagai Berikut : A. Deklarasi tentang Larangan, untuk jangka waktu lima tahun, Peluncuran Proyektil-proyektil dan Bahan Peledak dari Balon, dan Cara-cara serupa lainnya; B. Deklarasi tentang Gas-gas yang mengakibatkan sesaknya pernafasan (gas cekik atau asphyxiating gases;

Ria Wierma Putri. Hukum Humaniter Internasional. Universitas Lampung. Bandarlampung. 2011. Hlm. 07 8 Ahmad Baharuddin Naim, Hukum Humaniter Internasional, Op.Cit., hlm. 66

C. Deklarasi tentang Peluru-peluru yang bersifat mengembang di dalam tubuh manusia (peluru-peluru yang bungkusnya tidak sempurna menutup bagian dalam sehingga dapat pecah dan membesar dalam tubuh manusia). Sedangkan pada Konvensi Perdamaian Ke II yang merupakan kelanjutan dari Konvensi Perdamaian I Tahun 1899 menghasilkan 13 Konvensi, yaitu : 1. Konvensi I tentang Penyelesaian Damai Persengketaan Internasional 2. Konvensi II tentang Pembatasan Kekerasan Senjata dalam Menuntut Pembayaran Hutang yang berasal dari perjanjian perdata 3. Konvensi III tentang Cara memulai Peperangan 4. Konvensi IV tentang hukum dan Kebiasaan Perang Di Darat dilengkapi dengan Peraturan Den Haag 5. Konvensi V tentang Hak-hak dan kewajiban Negara dan warga negara Netral dalam Perang di Darat 6. Konvensi VI tentang Status Kapal dagang Musuh pada saat Permulaan, Peperangan 7. Konvensi VII tentang Status Kapal Dagang menjadi Kapal Perang 8. Konvensi VIII tentang Penempatan Ranjau Laut Otomatis didalam Laut 9. Konvensi IX tentang Pemboman oleh Angkatan Laut di waktu Perang 10. Konvensi X tentang Adaptasi Asas-Asas Konvensi Janewa tentang Perang di Laut 11. Konvensi XI tentang Pembatasan Tertentu terhadap Penggunaan Hak Penangkapan dalam Perang Angkatan Laut 12. Konvensi XII tentang Mahkamah Barang-Barang Sitaan 13. Konvensi XIII tentang Hak-Hak dan kewajiban Negara Netral dalam Perang di Laut. Pada konvensi ke III Den Haag 1907 mengenai Cara Memulai Permusuhan yang judul lengkapnya adalah Convention relative to the Opening of Hostilities, mengatur mengenai cara memulai perang. Dengan melihat isi pasal tersebut maka Pihak Peserta Agung mengakui bahwa perang diantara mereka tidak akan dimulai tanpa adanya : 1. Pernyataan perang yang disertai alasan, atau 2. Dengan suatu ultimatum yang disertai dengan pernyataan perang apabila ultimatum itu tidak dipenuhi Berkaitan dengan ketentuan konvensi Den Haag ke III tahun 1907 tersebut di atas, sering timbul salah pengertian bahwa hukum humaniter hanya berlaku dalam perang yang dimulai dengan adanya pernyataan perang atau ultimatum. Berkaitan dengan ini pula, Pasal 2 ayat (1) Konvensi Janewa 1949 mengatur bahwa Konvensi berlaku untuk semua peristiwa perang yang diumumkan atau sengketa bersenjata lainnya yang mungkin timbul antara dua pihak atau lebih, sekalipun keadaan perang tidak diakui oleh salah satu pihak. Dengan demikian jelas bahwa hukum humaniter berlaku untuk setiap sengketa bersenjata, baik yang dimulai

dengan deklarasi perang atau ultimatum maupun yang tidak dimulai dengan deklarasi perang atau ultimatum. Pada Bagian I tentang pihak-pihak yang bersengketa terdapat 3 (tiga) Bab. Bab I membahas mengenai kualifikasi dari pihak-pihak yang bersengketa. Dalam Pasal 1 menerangkan bahwa Hukum mengenai hak-hak dan kewajiban-kewajiban berperang tidak hanya diterapkan kepada tentara, tetapi juga kepada milisi dan kelompok sukarelawan yang memenuhi persyararatan-persyaratan sebagai berikut: 1. Dipimpin oleh seorang komandan yang bertanggung jawab atas anak buahnya; 2. Mempunyai suatu lambang pembeda khusus yang dapat dikenali dari jarak jauh; 3. Membawa senjata secara terbuka; dan 4. Melakukan operasinya sesuai dengan peraturan-peraturan dan kebiasaankebiasaan perang. Dalam Pasal 2 menerangkan penduduk yang wilayahnya belum dikuasi musuh kemudian mengangkat senjata secara terbuka meski tidak terorganisir harus dianggap sebagai beligeren. Kemudian angkatan bersenjata yang dapat terdiri dari kombatan dan non-kombatan jika tertangkap oleh musuh maka keduanya mempunyai hak untuk diperlakukan sebagai tawanan perang (Pasal 3). Bab II membahas mengenai Tawanan Perang. Pada Bab II ini terdapat 17 (tujuh belas) Pasal mengenai hak dan kewajiban dari tawanan perang dan bagaimana pemerintah musuh memperlakukan hal yang pantas pada tawanannya. Bab III mengenai orang-orang yang sakit dan luka-luka. Di dalam Pasal 21 dikatakan kewajiban para pihak yang berperang berkaitan dengan orang yang sakit dan luka-luka diatur oleh Konvensi Jenewa. Bagian II tentang Permusuhan terdapat 5 (lima) Bab. Bab I mengatur mengenai alat-alat melukai musuh, pengepungan dan pengeboman. Di dalamnya terdapat bagian terpenting, yaitu klausula pokok yang menyatakan bahwa : hak para pihak yang berperang untuk menggunakan alat-alat untuk melukai musuh adalah tidak tak berbatas (Pasal 22). Bagian ini juga memuat larangan-larangan seperti: Larangan penggunaan racun atau senjata beracun, tindakan licik; Larangan membunuh atau melukai musuh yang terluka dan telah meletakkan senjatanya, atau tidak memiliki senjata lagi untuk bertahan; Larangan untuk membunuh atau melukai mereka yang telah menyerah; Larangan menyatakan tidak ada pertolongan yang akan diberikan; Larangan penggunaan senjata, proyektil atau material yang dapat menyebabkan penderitaan yang tidak perlu; Larangan menggunakan bendera perdamaian, bendera nasional, tanda-tanda militer, seragam musuh atau tanda pembedaan dalam Konvensi Jenewa yang

tidak pada tempatnya. Juga larangan penjarahan, penyalahgunaan bendera perdamaian (Pasal 23).

mata-mata

dan

Peraturan-peraturan dasar diatas telah terbentuk menjadi kebiasaan yang diterima oleh negara-negara sebagai hukum kebiasaan internasional.9 Sementara tipu daya perang dan penggunaan cara-cara yang diperlukan untuk memperoleh informasi mengenai musuh dan negaranya diperbolehkan (Pasal 24). Sedangkan mengenai ketentuan bagaimana cara pengepungan dan pemboman diatur secara tegas dalam Pasal 25 sampai dengan Pasal 27. Di Pasal 28 segala bentuk penjarahan terhadap sebuah kota atau tempat dilarang, walaupun diperoleh dengan cara penyerangan. B. HUKUM JANEWA 1949

Latar belakang sejarah kelahiran Konvensi Jenewa 1949 tidak bisa dipisahkan dengan peristiwa perang dunia kedua yang berakhir tahun 1945. Peperangan yang berskala luas dan kejam itu menumbuhkan kesadaran dunia internasional untuk melindungi korban peperangan, khususnya warga sipil.10 Oleh karena itu, akhirnya negara-negara bersepakat untuk membuat Konvensi Jenewa 1949 yang terdiri dari : 1) Konvensi mengenai Perbaikan Keadaan Anggota Angkatan Bersenjata yang Luka dan Sakit pada waktu Peperangan di Darat (Convention for the Amelioration of the Condition of the Wounded and Sick in Armed Forces in the Field) Konvensi mengenai Perbaikan Keadaan Anggota Angkatan Bersenjata yang Luka, Sakit dan Korban Karam pada waktu Peperangan di Laut (Convention for the Amelioration of the Condition of Wounded, Sick and Shipwrecked Members of Armed Forces at Sea) Konvensi mengenai Perlakuan terhadap Para Tawanan Perang (Convention relative to the Treatment of Prisoners of War) Konvensi mengenai Perlindungan Orang-orang Sipil pada waktu Perang ( Convention relative to the Protection of Civilian Persons in Time of War)

2)

3) 4)

Konvensi IV Jenewa 1949 mengatur tentang perlindungan penduduk sipil saat terjadinya perang. Kewajiban perlindungan terhadap penduduk sipil dalam perang merupakan suatu hal yang baru. Hal ini terkait dengan keganasan Nazi selama perang dunia kedua yang banyak menelan korban penduduk sipil
9

________, Bahan Ajaran Hukum Humaniter, Jakarta: Direktorat Hukum TNI AD dan ICRC, 2004, File 2, hlm. 13 10 Philip Spoerri, The Geneva Conventions of 1949 : Origins and Current Significance, diakses dari http://www.icrc.org pada tanggal 22 November 2010.

Kewajiban negara untuk melindungi penduduk sipil terdapat dalam Pasal 4. Perlindungan tersebut tidak boleh membedakan nasionalitas, ras, agama atau pandangan politik (Pasal 13). Bentuk kewajiban itu lalu diperinci dalam Pasal 2734 yang berisi perlindungan penduduk sipil atas tindakan yang menimbulkan penderitaan jasmani, menjatuhkan hukum kolektif, intimidasi, terror dan perampokan, pembalasan, dijadikan sandera serta tindakan yang menumbulkan penderitaan jasamani dan pembasmian.

BAB IV ANALISIS Dalam peristiwa yang ada dalam film Sometimes in April, dimana penduduk sipil yang tidak bersalah dibunuh secara keji telah melanggar ketentuan-ketentuan yang ada dalam hukum humaniter itu sendiri, dimana hukum humaniter mementingkan prikemanusiaan dan prikeadilan sesuai dengan Pasal 27 konvensi Janewa Keempat "Orang yang dilindungi berhak, dalam segala keadaan, untuk memperoleh penghormatan atas dirinya, martabatnya, hak-hak keluarganya, keyakinan dan ibadah keagamaannya, dan kebiasaan serta adat-istiadatnya. Mereka setiap saat diperlakukan secara manusiawi dan dilindungi, terutama terhadap segala bentuk kekerasan atau ancaman kekerasan dan terhadap penghinaan dan keingintahuan publik. Perempuan dilindungi secara istimewa terhadap setiap penyerangan atas martabatnya, terutama terhadap pemerkosaan, pelacuran paksa, atau setiap bentuk penyerangan tidak senonoh (indecent assault). Tanpa merugikan ketentuan-ketentuan mengenai keadaan kesehatan, usia, dan jenis kelamin, semua orang yang dilindungi diperlakukan dengan penghormatan yang sama oleh Peserta konflik yang menguasai mereka, tanpa pembeda-bedaan merugikan yang didasarkan pada, terutama, ras, agama, atau opini politik. Namun, Peserta konflik boleh mengambil langkah-langkah kontrol dan keamanan menyangkut orang-orang yang dilindungi sebagaimana yang mungkin diperlukan sebagai akibat dari perang yang bersangkutan." (Pasal 27, Konvensi Jenewa Keempat) Pasal 3 Konvensi Janewa I mengatakan dalam hal sengketa bersenjata yang tidak bersifat internasional yang berlangsung dalam wilayah salah satu dari pihak Peserta Agung; tiap Pihak dalam sengketa itu akan diwajibkanuntuk melaksanakan sekurang-kurangnya ketentuan-ketentuan berikut : 1. Orang-orang yang tidak turut serta aktif dalam sengketa itu,termasuk anggota angkatan perang yang telah meletakkan senjata-senjata mereka serta mereka yang tidak lagi turut serta (hors de combat) karena sakit, luka-luka,penahanan atau sebab lain apapun, dalam dalam keadaan bagaimanapun harus diperlakukan dengan kemanusiaan, tanpa perbedaan merugikan apapun yang didasarkan atas suku (ras), warna kulit, agama atau kepercayaan, kelamin, keturunan atau kekayaan, atau setiap kriteria lainnya. Untuk maksud ini, maka tindakan-tindakan berikut dilarang dan akan tetap dilarang untuk dilakukan kepada orang-orang tersebut diatas pada waktu dan ditempat apapun juga : a. Tindakan kekerasan terhadap hidup seseorang terutama segala bentuk pembunuhan, mutilasi, perlakuan kejam dan penganiayaan. b. Penyanderaan c. Pemerkosaan atas kehormatan pribadi, terutama perlakuan yang menghina dan merendahkan martabat. d. Menghukum dan menjalankan hukuman mati tanpa didahului keputusan yang dijatuhkan oleh suatu pengadilan yang dibentuk secara teratur, yang

memberikan segenap jaminan peradilan yang diakui sebagai keharusan oleh bangsa-bsangsa beradab. 2. Yang luka dan sakit harus dikumpulkan dan dirawat. Pasal 13 Angka (4) Konvensi Jenewa I, Konvensi ini akan berlaku terhadap yang luka dan yang sakit yang termasuk dalam golongan-golongan berikut, Orangorang yang menyertai angkatan perang tanpa dengan sebenarnya menjadi anggota dari angkatan perang itu, seperti anggota sipil awak pesawat terbang militer, wartawan perang, pemasok perbekalan, anggota-anggota kesatuan kerja atau dinas-dinas yang bertanggung jawab atas kesejahteraan angkatan perang, asal saja mereka telah mendapat pengesahan dari angkatan perang yang mereka sertai. Pasal 51 ayat 3 Protokol Tambahan I 1977, menyebutkan bahwa yang tergolong kejahatan perang adalah pada saat situasi perang maka penyerangan dilakukan terhadap penduduk sipil termasuk didalamnya wanita dan anak-anak yang seharusnya wajib dilindungi, sedangkan pada ayat 4 disebutkan bahwa penyerangan yang dilakukan secara membabi buta tanpa membedakan sasaran militer dan yang bukan sasaran militer serta dilakukan dalam skala besar, pembunuhan dengan sengaja, penganiayaan, perlakuan tidak berperikemanusiaan dan penahanan sewenang-wenang. Pasal 52. Perlindungan Umum Objek-objek Sipil a. Objek-objek sipil bukan merupakan sasaran serangan atau tindakan balasan. Objek-objek sipil adalah semua objek yang bukan merupakan sasaran militer sebagaimana dimaksud dalam Ayat (2) b. Serangan harus hanya ditujukkan pada sasaran militer. Sasaran militer adalah terbatas pada objek-objek yang karena sifatnya, lokasinya, tujuan atau kegunaaannya dapat memberikan kontribusi yang efektif pada operasi militer apabila (objek-objek tersebut) dihancurkan baik keseluruhannya maupun sebagian, dikuasai atau dinetralisir, dalam situasi yang terjadi pada saat itu, maka hal tersebut dapat memberikan keuntungan militer yang pasti c. Dalam hal terdapat keragu-raguan tentang apakah suatu objek biasanya digunakan untuk tujuan-tujuan non-militer, seperti tempat ibadah, rumah atau sekolahm digunakan untuk memberikan kontribusi yang efektif pada operasi militer, maka hal demikian harus dianggap (sebagai) tidak digunakan untuk tujuan-tujuan muliter, Berdasarkan ketentuan di atas, maka suatu sasaran militer, harus memiliki beberapa syarat tertentu sehingga penghancurannya dapat dibenarkan menurut prinsip kepentingan militer. Syarat tersebut adalah : a. Objek yang karena sifatnya, lokasinya, atau tujuan pengguanaannya dapat memberikan kontribusi yang efektif pada operasi militer. b. Objek yang apabila dihancurkan (seluruhnya maupun sebagian), dikuasai atau dinetralisir, maka dapat memberikan jeuntungan militer yang pasti.`

Tidak semua pelanggaran atas Konvensi-konvensi Jenewa diperlakukan setara. Kejahatan yang paling serius disebut dengan istilah pelanggaran berat (grave breaches) dan secara hukum ditetapkan sebagai kejahatan perang (war crime). Pelanggaran berat atas Konvensi Jenewa Kedua dan Ketiga antara lain adalah tindakan-tindakan berikut ini jika dilakukan terhadap orang yang dilindungi oleh konvensi tersebut: 1. pembunuhan sengaja, penyiksaan, atau perlakuan tidak manusiawi, termasuk eksperimen biologi 2. dengan sengaja menyebabkan penderitaan besar atau cedera serius terhadap jasmani atau kesehatan 3. memaksa orang untuk berdinas di angkatan berrsenjata sebuah negara yang bermusuhan 4. dengan sengaja mencabut hak atas pengadilan yang adil (right to a fair trial) dari seseorang Tindakan berikut ini juga dianggap sebagai pelanggaran berat atas Konvensi Jenewa Keempat: 1. penyanderaan 2. penghancuran dan pengambilalihan properti secara ekstensif yang tidak dapat dibenarkan berdasarkan prinsip kepentingan militer dan dilaksanakan secara melawan hukum dan secara tanpa alasan. 3. deportasi, pemindahan, atau pengurungan yang melawan hukum

BAB V KESIMPULAN Dalam dimensi internasional, terjadi perkembangan pemahaman yang luar biasa terhadap hukum pidana internasional (international criminal law), yang merupakan hukum yang banyak berkaitan dengan pengaturan tentang kejahatan internasional (international crimes). Dengan demikian sebenarnya dapat dikatakan bahwa hukum pidana internasional mencakup dua dimensi pemahaman yaitu "the penal aspects of international law" di satu pihak termasuk hukum yang melindungi korban konflik bersenjata (international humanitarian law) dan di lain pihak merupakan "the international aspects of national criminal law". 11 Dalam konteks kaitannya dengan konflik yang terjadi di Rwanda, jelas bahwa apa yang terjadi melanggar hukum pidana internasional yang di dalamnya terdapat hukum humaniter internasional. Pembantaian yang diprakarsai oleh kaum ekstrimis Hutu menyebabkan banyak korban dari kaum perempuan dan anak serta merekamereka yang tidak bersalah.

11

Prof. Dr. Muladi, s.H., Peradilan Hak Asasi Manusia Dalam Konteks Nasional dan Internasional, dalam http://www.lfip.org/emglish/pdf/baliseminar/Pengadilaan%20ham%20dalam%20konteks%20nasional%20dan%20internasional%20%muladi.pdf

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Baharuddin Naim. Hukum Humaniter Internasional. Universitas Lampung Bandar Lampung. 2010. Hal 14 ICRC What is international humanitarian law? Stewart, James (30). "Towards a Single Definition of Armed Conflict in International Humanitarian Law". International Review of the Red Cross 850: 313350. Haryomataram, Sekelumit tentang Hukum Humaniter, Surakarta: Sebelas Maret University Press, 1994, hlm. 1. Lihat Human Rights Law Journal, vol.18 no.1-4, hal 96-98 Ikhwan, Peran International Committee Of The Red Cross (Icrc) Dalam Menanggulangi Krisis Kemanusiaan Di Kolombia Tahun 2006 2010, Jurnal Hukum hlm. 01 Januari (2013) Ria Wierma Putri. Hukum Humaniter Internasional. Universitas Lampung. Bandarlampung. 2011. Hlm. 07 ________, Bahan Ajaran Hukum Humaniter, Jakarta: Direktorat Hukum TNI AD dan ICRC, 2004, File 2, hlm. 13 Philip Spoerri, The Geneva Conventions of 1949 : Origins and Current Significance, diakses dari http://www.icrc.org pada tanggal 22 November 2010. Prof. Dr. Muladi, s.H., Peradilan Hak Asasi Manusia Dalam Konteks Nasional dan Internasional, dalam http://www.lfip.org/emglish/pdf/baliseminar/Pengadilaan%20ham%20dalam%20konteks%20nasional%20dan%20inte rnasional%20-%muladi.pdf

TUGAS HUKUM HUMANITER ANALISIS FILM SOMETIMES IN APRIL

DISUSUN OLEH : DEWI SARTIKA 1112011105

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

You might also like