You are on page 1of 22

BAB I KASUS POSISI A. FAKTA-FAKTA 1.

Fakta Mengenai Film Sometimes in April

Film Sometimes In April merupakan sebuah film yang mengisahkan pembantaian yang dilakukan oleh kelompok militer garis keras Suku Hutu terhadap Suku Tutsi. Berawal dari polemik dan sentimen politik antara Suku Hutu terhadap Suku Tutsi yang muncul akibat pengaruh kolonialisme Prancis dan Belgia. Suku Hutu merasa memiliki posisi yang lemah secara politik kekuasaan, karena pada saat itu hubungan kolonialisme lebih terjalin dan diturunkan kekuasaannya pada Suku Tutsi. Pada akhirnya setelah memasuki fase kemerdekaan, Suku Tutsi memiliki peran yang cukup besar dalam menjalankan roda pemerintahan Rwanda, dan Suku Hutu melihat hal ini sebagai sebuah hal yang cenderung melemahkan posisi mereka. Maka untuk merebut kekuasaan di Rwanda yang dibawah kendali Rwandan Patriotic Front, kelompok militer garis keras Suku Hutu berusaha mengkudeta dan mengambil alih pemerintahan di bawah rezim Hutu. Langkah pertama yang dilakukan ditanggung-tanggung, kelompok militer Hutu disokong dukungan senjata tentara bayaran dari Prancis mampu membunuh presiden yang berkuasa saat itu, dengan meledakkan pesawat kepresidenan yang berisi presiden Rwanda serta beberapa stafnya. Maka kondisi inilah yang kemudian menjadi batu loncatan rezim Hutu untuk berkuasa penuh di Rwanda dan melakukan genosida terhadap Suku Tutsi. Film ini berawal pada tahun 2004, ketika Augustin Muganza, yang bekerja sebagai guru sebuah sekolah berusaha memperlihatkan catatan kelam negara Rwanda kepada muridnya. Dan inilah yang menjadi sebuah bentuk ingatan flashback dari Augustin atas pengalaman pahit dan kelam yang dialaminya ketika di masa rezim Hutu. Pada tahun 1994,pada bulan awal April, Agustin sedang melatih calon militer di Rwanda karena sebenarnya agustin adalah seorang kapten di angkatan darat Rwanda Ia sendiri merupakan orang yang berlatar belakang Suku Hutu. Memiliki seorang istri berdarah Tutsi yang diperankan oleh tokoh Jeanne. Konsekuensi yang kemudian muncul adalah anak-anak Augustin memiliki darah beraliran Tutsi dan ini yang kemudian menjadi problematika utama ditengah rezim Hutu kemudian. Semuanya berubah setelah tanggal 6 april 1994 dimana komandan militer Rwanda melakukan pemberontakan terhadap presiden Rwanda dengan menembaki pesawat yang ditumpangi presiden ketika hendak mendarat sehinggah presiden Rwanda pun tewas.

Setelah kejadian terbunuhnya Presiden Rwanda Juvenal Habyarimana, malam itu terjadilah pembantaian besaran oleh suku dominan Hutu kepada suku Tutsi, dalam sehari 8000 nyawa dari suku tutsi melayang dalam pembantaian itu. Agustin merupakan kaum dari suku dominan hutu namun isterinya berasal dari suku Tutsi sehinggah ia menyadari bahwah nyawa isteri dan ketiga anaknya berada dalam masalah, ketakutan selalu menyelimuti ia akan hal buruk yang akan menimpa keluarganya. Kudeta yang dilakukan oleh rezim Hutu, Rwanda semakin porak poranda. Posisi Suku Tutsi pun diperlakukan layaknya sebuah kecoa yang harus dimusnahkan dari bumi Rwanda. Militer memiliki andil besar dalam mempengaruhi masyarakat sipil bersuku Hutu. Ditambah lagi peran salah satu radio nasional Rwanda yang terus memprovokasi pergerakan Suku Hutu melawan Suku Tutsi semakin menyumbang gejolak masyarakat Hutu untuk melakukan pembunuhan massal. Pada awalnya sweeping dilakukan untuk menselektif mana yang Hutu atau Tutsi, tetapi gerakan kemudian menjadi massive dan tidak terkendali dipengaruhi oleh provokasi, power, dan emosi terkadang masyarakat sipil dan tentara Hutu brutal tanpa membedakan mana yang Hutu atau bukan. Akhirnya iapun meminta saudaranya Marthin(Honore Butera) untuk mengungsikan isteri dan anaknya ke hotel. Karena disana merupan tempat yang aman, target pembantaian suku hutu bukan hanya pada suku tutsi saja melainkan juga pada suku hutu yang moderat , pembantaian kepada suku hutu moderat dilakukan dengan mengumumkan nama mereka di stasiun radio. Hal itu diberitakan oleh adik dari Agustin sendiri Marthin. Dan ia memberitahukan kalau sebenarnya nama dari agustin sendiri juga tercantum dalam daftar suku hutu yang akan dibantai namun ia telah mengeluarkan nama tersebut dari daftar yang akan di bantai dalam genosida itu. Pada tahun 2008 Agustin menghadiri sidang mahkamah interasional yang mendakwakan adiknya Marthin(Honore Butera) sebagai salah satu pelaku kejahatan karena telah menyiarkan dan membaca nama-nama korban genosida pada stasiun radionya.Setelah bertemu dengan Marthin barulah Agustin mengetahui bahwa semua keluarganya telah mati dan isterinya juga mati bunuh diri yang sebelumya telah di perkosa oleh militer Rwanda. Dalam kurun waktu 100 hari dari 6 April hingga 16 Juli 2004, diperkirakan 800.000 hingga 1 juta suku Tutsi dan Hutu moderat meninggal. Lebih dari 6 pria, wanita dan anak-anak dibunuh setiap menit

setiap jam dalam setiap hari. Antara 250.000 dan 500.000 wanita mengalami kekerasan seksual1.

2.

Fakta Mengenai Perang di Rwanda

Perang Saudara Rwanda adalah konflik yang berlangsung antara pemerintahan Presiden Juvnal Habyarimana dengan pemberontak dari Front Patriotik Rwanda. Konflik ini meletus pada 1 Oktober 1990 saat Front Patriotik Rwanda melancarkan serangannya dan berakhir pada 4 Agustus 1993 setelah ditandatanganinya Persetujuan Arusha yang membagi kekuasaan dalam pemerintahan. Namun, pembunuhan Habyarimana pada April 1994 memicu Genosida Rwanda yang menewaskan hingga 800.000 orang. Setelah terjadinya pembunuhan massal tersebut, Front Patriotik Rwanda melancarkan kembali serangannya, dan akhirnya mengambil alih seluruh Rwanda. Pemerintahan Hutu dalam pengasingan kemudian menggunakan kemah pengungsi di negara tetangga untuk menyerang pemerintahan Front Patriotik Rwanda. Front Patriotik Rwanda dan tentara pemberontaknya lalu melancarkan Perang Kongo Pertama (19961997), yang kemudian berlanjut menjadi Perang Kongo Kedua (19982003). Maka, walaupun perang saudara secara resmi berakhir pada 1993, beberapa sumber menganggap perang ini berakhir ketika Kigali direbut oleh Front Patriotik Rwanda pada tahun 1994 atau pada saat pembubaran kemah pengungsi pada tahun 1996, sementara sumber lain menganggap keberadaan kelompok pemberontak kecil di sepanjang perbatasan Rwanda sebagai pertanda bahwa perang saudara masih berlangsung.

B. PIHAK-PIHAK YANG BERSENGKETA Suku Hutu Suku Tutsi

Patrik Galugu, Sinopsis Film Sometimes in April, http://id.shvoong.com/entertainment/movies/2274202-sinopsis-film-april/#ixzz2ScNGRdJn [07/05/2013]

BAB II PERMASALAHAN DAN TINJAUAN TEORITIK


A. MASALAH HUKUM 1. Film Sometimes in April ini merupakan gambaran yang diangkat dari kisah nyata kejadian perang saudara di Rwanda, dari kejadian tersebut dan dari latar belakang terjadinya perang tersebut apakah dapat dibenarkan kejahatan genosida tersebut? 2. Jika tidak dapat dibenarkan, apakah para pelaku tersebut dapat dikatakan sebagai penjahat perang dan dapat diadili di Mahkamah Internasional? B. TINJAUAN TEORITIK Hukum perang terdiri dari sekumpulan pembatasan dari hukum internasional dimana kekuatan yang dibutuhkan untuk mengalahkan musuh boleh digunakan dan prinsip prinsip yang mengatur perlakuan terhadap individu individu pada saat berlangsungnya perang dan konflik konflik bersenjata2. Hukum humaniter adalah Bagian dari hukum yang mengatur ketentuan ketentuan perlindungan korban perang, berlainan dengan hukum perang yang mengatur perang itu sendiri dan segala sesuatu yang menyangkut cara melakukan perang itu sendiri3. Hukum humaniter berlaku pada saat peperangan berlangsung dan tujuan utama hukum humaniter adalah memberikan perlindungan dan pertolongan terhadap korban perang baik korban yang terlibat secara langsung dalam peperangan maupun warga sipil4. Pergantian nama hukum perang menjadi hukum humaniter adalah karena masuknya kaidah kaidah hak hak manusia dan standar standar hidup manusia kedalam hukum konflik bersenjata5. Sumber hukum humaniter terdapat dalam konvensi konvensi Den Haag 1907, konvensi konvensi Jenewa 1949 , dan protokol protokol tambahan 1977. Tujuan pokok dari kaidah kaidah hukum tersebut bukan menjadi semacam kitab yang mengatur permainan perang melainkan
2 3

J.G. Starke, Pengantar hukum internasional, Jakarta : Sinar Grafika, hlm. 727. Mochtar Kusumaatmadja, Hukum Internasional Humaniter dalam Pelaksanaan dan Penerapannya di Indonesia, Bandung : Binacipta, hlm. 5. 4 Haryomataram, Pengantar Hukum Humaniter, Jakarta : Raja Grafindo, hlm. 3. 5 Frederic de Mullinen, Handbook on the Law of the War for Armed Forces, ICRC, Geneva, 1987, hlm. 2, yang menyatakan bahwa: The Law of War aims at limiting and alleviating as much as possible the calamities of war. Therefor, the law of conciliates military needs and requirements of humanity.

untuk alasan perikemanusiaan guna mengurangi atau membatasi penderitaan individu individu, serta untuk membatasi kawasan di dalam mana kebiasaan konflik bersenjata diizinkan. Memang benar kaidah kaidah ini seringkali diabaikan, namun tanpa adanya kaidah tersebut kebrutalan perang umum sama sekali tidak dapat dikendalikan. Bila dilihat dari kacamata sumber hukum yang dapat digunakan, maka Hukum Humaniter Internasional mempunyai 2 cabang, yaitu: 1) Hukum Jenewa, menekankan pada aspek non-kombatan yang disusun guna melindungi personel militer yang tidak lagi ikut berperang dengan alasan tertentu, misalnya luka dan sebagainya serta juga untuk melindungi warga sipil yang tidak terlibat aktif. 2) Hukum Den Haag, menekankan pada cara-cara yang dianggap patut dalam peperangan yang menetapkan hak dan kewajiban para pihak yang terlibat dan melaksanakan operasi militer, yaitu dengan jalan member batasan-batasan tertentu mengenai sarana yang boleh dan tidak boleh dipakai untuk menundukkan lawan.6 Lalu apakah hubungan antara kedua hukum tersebut? Jadi, Hukum Den Haag inti nya mengatur hal-hal yang berkaitan dengan cara dan alat perang. Hukum Jenewa mengatur hal-hal yang berkaitan dengan perlindungan korban perang. Dan, hukum campuran, menggabungkan keduanya, cara dan alat perang serta perlindungan terhadap korban perang disebut hukum campuran.7 Instrumen Hukum Humaniter Internasional yang paling utama sebenarnya adalah pada konvensi Jenewa 12 Agustus 1949 yang merupakan perlindungan bagi korban perang yang telah diterima secara luas oleh Negara-negara di dunia. Untuk melengkapinya, Konvensi Jenewa mengadopsi dua protokol pada 1977 yaitu Protokol Tambahan I untuk Konvensi-konvensi Jenewa 12 Agustus 1949 tentang Perlindungan Korban Konflik Bersenjata Internasional dan Protokol Tambahan II untuk Konvensi-konvensi Jenewa 12 Agustus 1949 tentang Perlindungan Korban Konflik Bersenjata Non-internasional. Dengan demikian instrumen utama hukum humaniter adalah Konvensi Jenewa 1949 dan Protokol Tambahan tahun 1977.8 Kaidah hukum humaniter internasional adalah mengikat bukan saja terhadap negara- negara itu sendiri melainkan terhadap individu individu termasuk anggota angkatan bersenjata, kepala negara, menteri menteri dan pejabat - pejabat lain. Juga kaidah kaidah hukm tersebut perlu mengikat terhadap pasukan pasukan Perserikatan Bangsa Bangsa yang terlibat dalam suatu konflik militer, terutama karena Perserikatan Bangsa
6 7

ICRC, Hukum Humaniter Internasional, 2008, hlm. 4. Supardan Mansyur, "Prinsip-prinsip Kemanusiaan (Hukum Humaniter dan HAM Dalam Pelaksanaan Tugas Kepolisian", Jurnal HAM, Vol. 1 No. 1, Oktober 2004, hlm. 2. 8 Arlina Permanasari, Pengantar Hukum Humaniter, Jakarta: Penerbit ICRC, 1999, hlm. 33.

Bangsa adalah subjek hukum Internasional dan terikat oleh seluruh kaidah hukum internasional, dimana hukum humaniter termasuk bagian daripadanya9. Meskipun kaidah kaidah hukum humaniter internasional seringkali dilanggar, hukum internasional tidak seluruhnya tanpa sarana untuk memaksa negara negara menaatinya. Salah satu dari metode tersebut adalah pembalasan. Dalam kaitan ini, pengadilan pengadilan atas penjahat perang, setelah berakhirnya perang dunia kedua oleh pihak sekutu dapat menjadi preseden yang penting. Dalam hukum humaniter dikenal ada tiga asas utama, yaitu: 1. Asas kepentingan militer (military necessity) Berdasarkan asas ini maka pihak yang bersengketa dibenarkan menggunakan kekerasan untuk menundukkan lawan demi tercapainya tujuan dan keberhasilan perang 2. Asas Perikemanusiaan (humanity) Berdasarkan asas ini maka pihak yang bersengketa diharuskan untuk memperhatikan perikemanusiaan, dimana mereka dilarang untuk menggunakan kekerasan yang dapat menimbulkan luka yang berlebihan atau penderiataan yang tidak perlu. 3. Asas Kesatriaan (chivalry)Asas ini mengandung arti bahwa di dalam perang, kejujuran harus diutamakan. Penggunaan alat-alat yang tidak terhormat, berbagai macam tipu muslihat dan cara - cara yang bersifat khianat dilarang. Orang orang yang dapat dipersalahkan melakukan kejahatan kejahatan perang yaitu : a. Orang orang sipil, juga anggota angkatan bersenjata b. Orang orang yang tidak memiliki kebangsaan negara musuh, misalnya mereka yang memiliki afiliasi dengan musuh c. Orang orang yang dipersalahkan karena melakukan kegagalan besar muntuk mengendalikan bawahannya yang bertanggung jawab atas kekejaman kekejaman10. Perintah perintah oleh atasan atau penaatan pada undang undang atau peraturan peraturan nasional, bukan suatu pembelaan terhadap kejahatan perang melainkan dianggap sebagai suatu peringanan dalam pengadilan. Pelanggaran hukum oleh para bawahan yang dilakukan demi ketaatan pada perintah perintah atasan merupakan suatu pelanggaran dan tanggung jawab para atasanlah tindakan tindakan lain yang dilakukan para bawahan itu.
9

Michael Akherust, A Modern Introduction to International Law, George Allen & Unwin Publisher Ltd, 5th Edition 1984. Hal. 8-9. 10 Lihat Yamashita Trial 4 War Crimes Trial Report 1-96

Sebagaimana diatur dalam Yamashita Trial Case, kelalaian besar untuk mengendalikan orang yang bertanggung jawab atas kekejaman kekejaman, yang hampir sama dengan memberikan izin diam diam untuk perbuatan perbuatan mereka, akan melibatkan tanggung jawab komando. Pengaturan The Hague memiliki ketentuan mendefiniksikan status pihak pihak yang berperang11, yaitu mereka yang dapat dianggap sebagai prajurit sah, Pasukan pasukan gerilya atau milisi milisi korp sukarelawan apabila merka memenuhi empat syarat, yaitu bahwa mereka benar benar diberi komando yang selayaknya, memiliki suatu lambang yang dapat dilihat dari jarak tertentu, membawa senjata senjata secara terbuka atau terang terangan dan melakukan tindakan operasi mereka sesuai hukum dan kebiasaan perang. Apabila terdapat leeves en masse misalnya diorganisasikan dan timbul secara spontan dari penduduk sipil untuk melawan musuh, yang dipersenjatai oleh pihak pihak yang berwenang / berkuasa harus memenuhi syarat yang telah disebutkan untuk dapat dianggap sebagai pranjurit yang sah, sedangkan mereka yang dianggap secara spontanitas mengangkat senjata untuk menghadapi musuh hanya perlu memenuhi dua syarat yaitu membawa senjata secara terang terangandan menghormati hukum dan kebiasaan perang. Terkait dengan kewajiban terhadap tawanan perang terdapat beberapa ketentuan khusus untuk menjamin bahwa tawanan tersebut tidak diperlakukan secara kejam dan tidak sepantasnya sebagai akibat dari tertawannya mereka pada saat pihak penawannya berusaha untuk memperoleh informasi yang bermanfaat untuk melakukan operasi operasi. Atas dasar perikemanusiaan pula bahwa tawanan harus dibebaskan dan dipulangkan ke tanah airnya segera setelah berlangsungnya permusuhan aktif. Dalam film Sometimes in April ini diperlihatkan bagaimana pers dalam hal menjalankan tugas nya tetapi peran pers disini tidak menunjukkan itikad baik terhadap kedamaian negaranya mereka malah memprovokasi dan melebih-lebihkan berita yang disampaikan hingga pada saatnya terjadilah perang saudara. Namun, kemerdekaan pers masih saja menghadapi permasalahan terutama terkait kekerasan fisik.12
11

Lihat Greenspan, The Modern Law of Land Warfare (1959); The Law of Warfare (1973); G.I.A.D Draper, Rules Governing The Conduct of Hosties The Laws of War and Their Enforcement 62 US Naval War College International Studies (1980) 247-262. 12 Anita Marianche, "Hak Kemerdekaan Mengeluarkan Pendapat Bagi Wartawan Melalui Media Massa", Jurnal HAM, vol. 3 no. 2, Desember 2012, hlm. 118.

BAB III TUNTUTAN PELANGGARAN HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL


Untuk dapat menjawab permasalahan yang tengah kita bahas sebelumnya yaitu tentara RPA yang waktu itu jelas melanggar hukum humaniter, khususnya konvensi Jenewa 1949. Seperti diketahui bersama, sebelum lahirnya Konvensi Jenewa 1949, tidak ada ketentuan-ketentuan yang mengatur mengenai perang saudara atau pemberontakan. Baru setelah lahirnya Konvensi-Konvensi Jenewa tahun 1949, maka mengenai sengketa bersenjata yang bersifat ini diatur , maka penulis menggunakan instrument Hukum Internasional, dalam hal ini adalah Konvensi Jenewa 1949. Konvensi Jenewa sendiri terdiri dari Konvensi I sampai dengan Konvensi IV dan dilengkapi dengan dua Protokol Tambahan I dan II pada tahun 1977. A. KONVENSI JENEWA 1949 Konvensi Jenewa 1949 yang merupakan Konvensi yang digunakan untuk perlindungan korban perang dan luka juga dikenal dengan sebutan Konvensi-Konvensi Palang Merah, terdiri dari empat konvensi, yaitu13: 1) Konvensi Jenewa I, untuk Perbaikan Keadaan yang Luka dan Sakit dalam Angkatan Perang di Medan Pertempuran Darat; 2) Konvensi Jenewa II, untuk Perbaikan Keadaan Anggota Angkatan Perang di Laut yang Luka, Sakit, dan Korban Karam di Laut; 3) Konvensi Jenewa III, mengenai Perlakuan Tawanan Perang; 4) Konvensi Jenewa IV, mengenai Perlindungan Warga Sipil di waktu Perang. Pada tahun 1977, keempat konvensi Jenewa tersebut ditambahkan lagi dengan Protokol Tambahan 1977 yaitu14: 1) Protokol Tambahan I, untuk Konvensi-konvensi Jenewa 12 Agustus 1949 tentang Perlindungan Korban Konflik Bersenjata Internasional. 2) Protokol Tambahan II, untuk Konvensi-konvensi Jenewa 12 Agustus 1949 tentang Perlindungan Korban Konflik Bersenjata Noninternasional. Dua Protokol Tambahan tahun 1977 merupakan pelengkap bagi konvensikonvensi Jenewa yang bertujuan membatasi penggunaan kekerasan dan melindungi penduduk sipil dan orang-orang yang juga tidak terlibat dalam peperangan (non-kombatan).

13

Ria Wierma Putri, Hukum HumaniterInternasional, Bandarlampung: Penerbit Universitas Lampung, 2011, hlm. 9. 14 Ibid.

Aturan yang secara garis besar substansinya adalah dalam hal pertanggungjawaban komando serta melindungi orang-orang sipil yang tidak ikut berperang (dalam hal ini juga para wartawan) dapat ditemukan dalam Pasal-pasal tertentu yang ada didalam Konvensi Jenewa dan Protokol Tambahan nya, antara lain: A. Pasal 13 Angka (4) Konvensi Jenewa I, Konvensi ini akan berlaku terhadap yang luka dan yang sakit yang termasuk dalam golongangolongan berikut, Orang-orang yang menyertai angkatan perang tanpa dengan sebenarnya menjadi anggota dari angkatan perang itu, seperti anggota sipil awak pesawat terbang militer, wartawan perang, pemasok perbekalan, anggota-anggota kesatuan kerja atau dinas-dinas yang bertanggung jawab atas kesejahteraan angkatan perang, asal saja mereka telah mendapat pengesahan dari angkatan perang yang mereka sertai.

B. (diperjelas) oleh Pasal 79 Protokol Tambahan I Tahun 1977: (i) Wartawan-wartawan yang melakukan tugas-tugas pekerjaanya yang berbahaya di daerah-daerah sengketa bersenjata harus dianggap sebagai orang sipil di dalam pengertian Pasal 50 ayat (1). (ii) Mereka ini akan dilindungi sedemikian rupa di bawah Konvensi dan Protokol ini, asalkan saja mereka tidak mengambil tindakan yang secara merugikan dapat mempengaruhi kedudukan mereka sebagai orang-orang sipil, dan tanpa mengurangi hak mereka sebagai wartawan perang yang ditugaskan pada angkatan perang dengan kedudukan seperti yang ditetapkan dalam Pasal 4 A angka (4) dari Konvensi Ketiga. (iii) Mereka ini dapat memperoleh kartu pengenal yang sama dengan model kartu pengenal dalam Lampiran II dari Protokol ini. Kartu ini, yang harus dikeluarkan oleh Pemerintah dari Negara, dari mana wartawan itu adalah warganegaranya atau yang wilayahnya ia bertempat tinggal atau dimana alat pemberitaan yang mempekerjakannya berada, harus menyatakan sebenarnya kedudukannya sebagai seorang wartawan. C. Pasal 27 Konvensi Jenewa IV 1949, menyebutkan bahwa kejahatan perang karena terjadi pada situasi perang dan yang diserang dan dibunuh adalah penduduk sipil termasuk didalamnya wanita dan anak-anak dan penyerangan dilakukan secara membabi buta tanpa membedakan sasaran militer dan bukan serta dilakukan dalam skala besar, pembunuhan dilakukan dengan sengaja, melakukan tindakan penganiayaan, perlakuan tidak berperikemanusiaan dan

penahanan sewenang-wenang, yang seharusnya merupakan kelompok orang yang wajib dilindungi menurut konvensi. D. Pasal 86 Ayat (2) Protokol 1977 menetapkan ketentuan, Kenyataan bahwa suatu pelanggaran terhadap Konvensi atau Protokol ini dilakukan oleh seorang bawahan sama sekali tidak membebaskan para atasannya dari tanggung jawab pidana atau disiplin, maka dalam hal ini dapat terjadi, apabila para atasannya mengetahui, atau telah mendapat keterangan yang seharusnya memungkinkan mereka dalam keadaan pada saat itu untuk menyimpulkan bahwa bawahannya itu tengah melakukan atau akan melakukan pelanggaran dan apabila mereka itu tidak mengambil segala tindakan yang dapat dilakukan dalam batas kekuasaan mereka untuk mencegah atau menindak pelanggaran itu. E. Pasal 35 Konvensi Jenewa IV 1949, menyebutkan masalah orang sipil yang berada di wilayah musuh harus diperbolehkan untuk pergi. Dua Protokol Tambahan tahun 1977 merupakan pelengkap bagi konvensi-konvensi Jenewa yang bertujuan membatasi penggunaan kekerasan dan melindungi penduduk sipil dengan memperkuat aturan-aturan yang mengatur tindak permusuhan. F. Pasal 49 Konvensi Jenewa IV 1949, menyebutkan bahwa setiap kasus yang termasuk kejahatan internasional (pelanggaran berat) maka pelaku harus mempertanggunjawabkannya secara individu. Orang yang pertama kali diminta pertanggungjawabannya ketika terjadi pelanggaran adalah orang yang secara langsung melakukan pelanggaran tersebut. G. Pasal 50 Konvensi Jenewa IV 1949, menyebutkan bahwa pelanggaran hukum humaniter yang digolongkan sebagai pelanggaran berat, apabila pelanggaran tersebut dilakukan terhadap orang-orang atau objek yang dilindungi oleh Konvensi, meliputi perbuatan : (iv) pembunuhan disengaja; (v) penganiayaan dan atau perlakuan yang tidak berperikemanusiaan; (vi) percobaan-percobaan biologi yang menyebabkan penderiataan besar atau luka atas badan atau kesehatan yang berat; (vii) penghancuran yang luas; dan (viii) tindakan perampasan harta benda yang tidak dibenarkan oleh kepentingan militer dan dilaksanakan dengan melawan hukum serta semena-mena. H. (diperjelas) oleh Pasal 51 ayat 3 Protokol Tambahan I 1977, menyebutkan bahwa yang tergolong kejahatan perang adalah pada saat situasi perang maka penyerangan dilakukan terhadap penduduk sipil termasuk didalamnya wanita dan anak-anak yang seharusnya wajib dilindungi, sedangkan pada ayat 4 disebutkan

10

bahwa penyerangan yang dilakukan secara membabi buta tanpa membedakan sasaran militer dan yang bukan sasaran militer serta dilakukan dalam skala besar, pembunuhan dengan sengaja, penganiayaan, perlakuan tidak berperikemanusiaan dan penahanan sewenang-wenang. I. Pasal 52 Protokol Tambahan II 1977, menyebutkan bahwa apabila ada keraguan untuk menentukan apakah itu sasaran militer atau bukan maka sasaran itu harus dianggap bukan sasaran militer. J. Pasal 57 ayat 2(b) Protokol Tambahan II 1977, menyebutkan bahwa suatu serangan harus dibatalkan atau ditunda apabila menjadi jelas bahwa sasarannya adalah bukan sasaran militer atau dibawah perlindungan khusus, atau apabila serangan itu akan mengakibatkan kerugian yang tidak perli berupa tewasnya penduduk sipil atau rusaknya obyek-obyek sipil. K. pasal 3 Konvensi Jenewa I 1949 menyatakan Dalam hal sengketa bersenjata yang tidak bersifat internasional yang berlangsung di dalam wilayah salah satu Pihak Agung penandatangan, tiap Pihak dalam sengketa itu akan diwajibkan untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan sebagai berikut : Orang-orang yang tidak mengambil bagian aktif dalam sengketa itu, termasuk anggotaanggota angkatan perang yang telah meletakkan senjata-senjata mereka serta mereka yang tidak lagi turut serta (hors de combat) karena sakit, luka-luka, penawanan atau sebab lain apapun dalam keadaan bagaimanapun harus diperlakukan dengan perikemanusiaan, tanpa perbedaan merugikan apapun juga yang didasarkan atas ras, warna kulit, agama atau kepercayaan, kelamin, keturunan atau kekayaan, atau setiap kriteria lainnya serupa itu. Untuk maksud ini, maka tindakan-tindakan berikut dilarang dan akan tetap dilarang untuk dilakukan terhadap orang orang tersebut di atas pada waktu dan di tempat apapun juga : a) Tindakan kekerasan atas jiwa dan raga, terutama setiap macam pembunuhan, penyekapan, perlakuan kejam dan penganiayaan; b) Penyanderaan. c) Perkosaan atas kehormatan pribadi, terutama perlakuan yang menghina dan merendahkan martabat; d) Menghukum dan menjalankan hukuman mati tanpa didahului keputusan yang dijatuhkan oleh suatu pengadilan yang dibentuk secara teratur, yang memberikan segenap jaminan peradilan yang diakui sebagai keharusan oleh bangsa-bangsa beradab.

11

BAB IV ANALISIS PELANGGARAN


Dalam kaitannya dengan pelanggaran hukum humaniter, konflik yang terjadi antara Hutu dan Tutsi ini menewaskan banyak korban anak kecil dan wanita serta orang-orang yang tidak bersalah. Maka, banyak pihak menilai Rwanda sebagai salah satu failed state. Persoalan semakin menjadi besar ketika Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mencoba untuk ikut terlibat dalam proses penyelesaian konflik ini. Namun, sedikit banyak tidak mengurangi persoalan yang ada. Pasukan peacekeeping PBB, United Nations Assistance Missions for Rwanda (UNAMIR), gagal melakukan tugasnya ketika Presiden Rwanda mengalami kecelakaan pesawat dan negera kemudian dikuasai oleh kelompok pemberontak yang militan. Dalam hal ini seharusnya pemerintah dapat dengan segera menggantikan pemerintahan presiden yang mati terbunuh sehingga dapat mencegah pemberontak untuk berkuasa di dalam negara, pada kenyataanya perang tersebut terjadi pada saat negara dalam keadaan vakum. Kejahatan Genosida dalam peristiwa ini tidak dapat dibenarkan sama sekali karena itu merupakan salah satu bentuk pelanggaran HAM berat dan juga termasuk pelanggaran terhadap hukum humaniter internasional A. KEJAHATAN GENOSIDA DALAM HUKUM INTERNASIONAL 1. Deklarasi Universal HAM15 Ketentuan hukum yang berkaitan dengan ras, suku atau agama, diatur dalam Pasal 2 Deklarasi ini, yang menyatakan bahwa setiap orang berhak atas semua hak dan kebebasan yang dimuat dalam deklarasi ini tanpa pengecualian apapun, seperti perbedaan ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik atau pandangan lain, asal usul kebangsaan atau kemasyarakatan, hak milik, kelahiran ataupun status lainnya. Ada sejumlah formulasi hukum dalam Konvensi ini, yang berkaitan dengan penghormatan terhadap suku, agama atau ras. 1. Ketentuan Pasal 1, yang mewajibkan tiap Negara untuk menguatkan bahwa kejahatan genosida, apakah dilakukan pada masa damai atau pada waktu perang, merupakan kejahatan menurut hukum internasional, di mana mereka berusaha untuk mencegah dan menghukumnya. 2. Pasal 2 yang menyebutkan bahwa genosida dimaksudkan sebagai perbuatan-perbuatan yang ditujukan untuk menghancurkan, baik keseluruhan atau sebagian, suatu kelompok bangsa, etnis, rasial atau agama dengan cara : (a) Membunuh para anggota kelompok; (b) Menyebabkan luka-luka pada tubuh atau mental para anggota kelompok;

15

Internasional Covenant on Economic, Social And Cultural Rights, tanggal 16 Desember 1966, dan berlaku pada bulan Januari tahun 1976.

12

(c) Dengan sengaja menimbulkan Kesusahan pada kelompok tersebut yang setelah diperhitungkan menyebabkan kerusakan fisik, baik keseluruhan atau sebagian; (d) Melakukan tindakan-tindakan yang dimaksudkan untuk mencegah kelahiran di dalam kelompok tersebut; dan (e) Dengan paksa memindahkan anak-anak dari suatu kelompok ke kelompok lainnya. 3. Pasal 3 yang menyebutkan bahwa tindakan-tindakan yang juga dapat dihukum sebagai kejahatan genosida adalah : (a) Kejahatan genosida; (b) Persekongkolan untuk melakukan kejahatan genosida; (c) Hasutan langsung dan di depan umum, untuk melakukan kejahatan genosida; (d) Mencoba melakukan kejahatan genosida; dan (e) Keterlibatan dalam kejahatan genosida 4. Pasal 4 yang menyebutkan bahwa orang-orang yang melakukan kejahatan genosida atau tiap perbuatan-perbuatan lain yang disebutkan dalam Pasal 3 harus dihukum, apakah mereka adalah penguasa yang bertanggung jawab secara konstitusional, para pejabat Negara, atau individu-individu biasa. 5. Pasal 5 yang menyebutkan bahwa Negara-negara, berdasarkan konstitusinya masing-masing, harus membuat perundang-undangan yang diperlukan untuk memberlakukan ketentuan-ketentuan dalam Konvensi ini, dan terutama untuk menjatuhkan hukuman-hukuman yang efektif bagi orang-orang yang bersalah melakukan kejahatan genosida atau tiap perbuatan lain yang disebutkan dalam Pasal 3. B. PERTANGGUNGJAWABAN KOMANDO

Ketentuan yang dapat dijadikan dasar hukum pertanggung jawaban komando adalah Pasal 86 dan 87 Protokol Tambahan I 1977. Ketentuan-ketentuan hukum humaniter yang mengatur tentang pertanggungjawaban komando tersebut mengandung setidaknya tiga elemen yang harus dipenuhi untuk menentukan seorang atasan harus bertanggung jawab atas tindakan kejahatan yang dilakukan oleh bawahannya. Muladi menyebutkan ketiga elemen tersebut antara lain16: a) Ada hubungan atasan-bawahan dalam kasus terjadinya tindakan kejahatan yang telah dilakukan. Ini ditunjukkan dengan bukti-bukti yang jelas, saksi, dokumen, dsb. b) Atasan mengetahui atau diduga patut mengetahui adanya tindakan kejahatan yang dilakukan oleh bawahan.

16

Muladi, Pertanggungjawaban Pidana Komandan , Semarang: Makalah Kuliah Umum FH Undip, 2003, hlm.7.

13

c) Komandan atau atasan gagal untuk mencegah atau menindak (menghukum) pelaku kejahatan tersebut atau menyerahkan pelakunya kepada pihak yang berwenang. Francoise Hampson mengemukakan tiga alasan (rationale) yang mendasari pemikiran tentang prinsip pertanggungjawaban komando bagi para komandan militer, atasan polisi maupun atasan sipil lainya, yaitu17: a) Komandan atau atasan yang mempunyai kekuasaan, di satu sisi dapat memberi perintah pada pihak lain, namun di sisi lain ia pun senantiasa bertanggung jawab terhadap perintah yang ia berikan maupun atas tindakan mereka yang berada dibawah kekuasaannya. b) Komandan atau atasan bertanggung jawab atas rusaknya reputasi dari pasukan maupun negaranya, karena kegagalan mengendalikan atau mengontrol anak buahnya yang melakukan pelanggaran HAM berat. c) Negara bertanggung jawab atas perilaku kekuatan bersenjatanya yang melakukan pelanggaran HAM berat di dalam maupun di luar wilayahnya yang mengancam perdamaian dan keamanan. Dan adapun hal-hal yang harus dibuktikan antara lain: a) Prajurit pelaku kejahatan berada di bawah komando atau kontrol atasan tertuduh. b) Atasan tertuduh mengetahui secara aktual (actual notice), yaitu mengetahui atau diberitahu tentang terjadinya tindak kejahatan perang dan kemanusiaan pada saat tindak kejahatan tersebut berlangsung. c) Atasan tertuduh mengetahui secara konstruktif (constructive notice) yaitu telah terjadi tindak pelanggaran dalam skala besar sehingga tertuduh atau seseorang pasti sampai pada kesimpulan bahwa ia mengetahui tindak kejahatan tersebut. d) Atasan tertuduh mengetahui ada tindak kejahatan tetapi menunjukkan sikap yang secara sengaja tidak acuh terhadap konsekuensi dari sikap membiarkan tersebut (imputed notice). e) Atasan tertuduh gagal mengambil langkah-langkah yang perlu dalam kewenangannya untuk mencegah atau menghukum tindak kejahatan ketika ia mempunyai wewenang dan kekuasaan untuk melakukan hal tersebut. Meskipun terdapat variasi dalam praktik internasional dan nasional, dikenal tiga unsur utama yang memang telah diakui dan menjadi dasar dari pertanggungjawaban komando, yaitu unsur hubungan antara atasan dan

17

Prasetyohadi dan Anton Prajasto, Tentang Tanggung Jawab Komando: Mengembalikan Kehormatan Komandan, Makalah Lokakarya Internasional Kejahatan Terhadap Kemanusiaan Jakarta, Komnas HAM, 2001.

14

bawahan, unsur kesengajaan (mens rea) dan unsur tindakan yang diharuskan (actus reus).18

Dari hasil analisa film tersebut terkait dengan kejahatan genosida yang merupakan pelanggaran HAM berat yaitu : 1. Membunuh anggota kelompok yaitu kelompok hutu membunuh kelompok tutsi 2. Pembantaian terhadap anak dan wanita oleh suku hutu terhadap suku tutsi 3. Kekerasan seksual dan pembantaian yang dilakukan oleh suku hutu terhadap suku tutsi 4. Persekongkolan untuk melakukan kejahatan genosida yang dilakukan oleh pasukan militer Rwanda 5. Melakukan hasutan langsung dan di depan umum, untuk melakukan kejahatan genosida; yatitu dengan media lokal seperti surat kabar dan radio Radio Rwanda dan Radio Television Libre des Mille Collines (RTLM) memulai pidato dan dialog-dialog yang berisi kebencian terhadap suku Tutsi, propaganda ini kemudian menjadi sangat sistematis dan berubah menjadi sebuah norma. Surat kabar yang dikuasai oleh negara Kangura memiliki peran pusat, memulai gerakan anti-Tutsi dan anti-RPF, surat kabar itu memuat artikel berisi tindakan yang harus dilakukan untuk melengkapi revolusi sosial di tahun 1959, di tahun 1990, ada artikel yang berisi The Hutus Commandments yang secara ekstrim menyatakan kebencian atas Tutsi.

Pembantaian yang dilakukan etnis hutu terhadap seorang pria beretnis tutsi (Xavier Miango)

18

Natsri Anshari, "Tanggung Jawab Komando menurut HI dan Hukum Nasional Indonesia", Jurnal Internasional Universitas Trisakti, Vol. 1 No. 1, Juli 2005.

15

Sebagian kecil dari para korban pembantaian A. PELANGGARAN TERHADAP KETENTUAN HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL SERTA TENGGUNGJAWAB KOMANDO Jelas dalam serangan tersebut telah terjadi pelanggaran HAM sekaligus juga pelanggaran hukum humaniter. Dalam konteks hukum humaniter, apa yang dilakukan oleh oleh tentara RPA waktu itu jelas melanggar hukum humaniter, khususnya konvensi Jenewa 1949. Seperti diketahui bersama, sebelum lahirnya Konvensi Jenewa 1949, tidak ada ketentuan-ketentuan yang mengatur mengenai perang saudara atau pemberontakan. Baru setelah lahirnya Konvensi-Konvensi Jenewa tahun 1949, maka mengenai sengketa bersenjata yang bersifat ini diatur. Namun demikian, apabila pihak pemberontak memperoleh status sebagai pihak yang berperang (belligerent), maka hubungan antara pemerintah de jure dan pihak pemberontak akan diatur oleh hukum internasional khususnya yang mengenai perang dan netralitas. Konsekuensi dari hal ini adalah akan mengakibatkan berakhirnya status sifat intern (internal character) dari konflik bersenjata tersebut. Hal ini disebabkan karena pengakuan atas status belligerent tersebut oleh pemerintah de jure atau pihak ketiga akan memperkuat kedudukan pihak belligerent, sehingga apabila hal ini dilihat dari sudut pandang pemerintah de jure, maka secara politis tentunya akan merugikan pemerintah de jure. Oleh karena itu, pemerintah de jure akan selalu berusaha untuk menyangkal adanya status resmi apapun dari pihak pemberontak. Dalam kasus Rwanda, hal ini terjadi. Walaupun pada tahun 1994 ketika terjadi pembantaian besar-besaran, posisi pemerintah dalam keadaan vakum, kenyataan bahwa hukum humaniter tetap menjadi hukum yang harus ditaati merupakan hal yang mutlak. Pada saat itu, dan kemudian terjadi lagi pada tahun 2008, banyak anak dan wanita yang terbunuh oleh tentara saat itu, Jadi jelas bahwa baik suku Tutsi dan Hutu melakaukan berbagai pelanggaran terhadap aturan-aturan dalam hukum humaniter. Kemudian, pasal 3 Konvensi Jenewa 1949 menyatakan Dalam hal sengketa bersenjata yang tidak bersifat internasional yang berlangsung di dalam wilayah salah satu Pihak Agung penandatangan, tiap Pihak dalam sengketa itu akan diwajibkan untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan sebagai berikut : Orangorang yang tidak mengambil bagian aktif dalam sengketa itu, termasuk anggota16

anggota angkatan perang yang telah meletakkan senjata-senjata mereka serta mereka yang tidak lagi turut serta (hors de combat) karena sakit, luka-luka, penawanan atau sebab lain apapun dalam keadaan bagaimanapun harus diperlakukan dengan perikemanusiaan, tanpa perbedaan merugikan apapun juga yang didasarkan atas ras, warna kulit, agama atau kepercayaan, kelamin, keturunan atau kekayaan, atau setiap kriteria lainnya serupa itu. Untuk maksud ini, maka tindakan-tindakan berikut dilarang dan akan tetap dilarang untuk dilakukan terhadap orang orang tersebut di atas pada waktu dan di tempat apapun juga : a. Tindakan kekerasan atas jiwa dan raga, terutama setiap macam pembunuhan, penyekapan, perlakuan kejam dan penganiayaan; b. Penyanderaan; c. Perkosaan atas kehormatan pribadi, terutama perlakuan yang menghina dan merendahkan martabat; d. Menghukum dan menjalankan hukuman mati tanpa didahului keputusan yang dijatuhkan oleh suatu pengadilan yang dibentuk secara teratur, yang memberikan segenap jaminan peradilan yang diakui sebagai keharusan oleh bangsa-bangsa beradab. Pasal 3 mengharuskan pihak-pihak penandatangan untuk memperlakukan korban sengketa bersenjata internal menurut prinsip-prinsip yang diatur dalam Pasal 3 ayat 1. Selain itu, Pasal 3 Konvensi-Konvensi Jenewa 1949 memberikan jaminan perlakuan menurut asas-asas perikemanusiaan, terlepas dari status apakah sebagai pemberontak atau sifat dari sengketa bersenjata itu sendiri. Dalam Pasal 3 keempat Konvensi tahun 1949 ini terdapat semua pokok utama perlakuan korban perang menurut Konvensi-konvensi 1949, sehingga pasal ini dinamakan juga Konvensi Kecil (Convention in Miniature). Selanjutnya Pasal 3 ayat 2 Konvensi-konvensi Jenewa 1949 menyatakan bahwa yang luka dan sakit harus dikumpulkan dan dirawat. Sebuah badan humaniter tidak berpihak, seperti Komite Palang Merah Internasional dapat menawarkan jasajasanya kepada pihakpihak dalam sengketa. Pihak-pihak dalam sengketa selanjutnya harus berusaha untuk melaksanakan dengan jalan persetujuan-persetujuan khusus, semua atau sebagian dari ketentuan lainnya dari konvensi ini. Pelaksanaan ketentuanketentuan tersebut di atas, tidak akan mempengaruhi kedudukan hukum pihakpihak dalam sengketa. Ketentuan yang menyatakan bahwa Pihak-pihak dalam sengketa selanjutnya harus berusaha untuk melaksanakan dengan jalan persetujuan-persetujuan khusus, menunjukkan bahwa dalam peristiwa terjadinya sengketa dalam negara tidak dengan sendirinya seluruh konvensi berlaku, melainkan hanya ketentuan yang terdapat dalam Pasal 3 ayat 1. Selanjutnya, kalimat diadakannya perjanjian-perjanjian demikian antara pemerintah de jure dan kaum pemberontak tidak akan mempengaruhi kedudukan hukum pihak-pihak dalam pertikaian, yang berarti bahwa maksud dari Pasal 3 adalah semata-mata didorong cita-cita perikemanusiaan dan tidak dimaksudkan untuk mencampuri urusan dalam negeri suatu negara. Namun demikian, walaupun

17

sudah ada ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 3, harus pula diperhatikan bahwa : 1. Dengan adanya Pasal 3 tidak dengan sendirinya seluruh konvensi berlaku dalam sengketa senjata yang bersifat intern, melainkan hanya asas-asas pokok yang tersebut dalam Pasal 3. 2. Pasal 3 tidak mengurangi hakpemerintah de jure untuk bertindak terhadap orang-orang yang melakukan pemberontakan bersenjata, menurut undang-undang atau hukum nasionalnya sendiri. Pasal ini semata-mata bermaksud memberikan jaminan perlakuan korban sengketa bersenjata internal, berdasarkan asas-asas perikemanusiaan. Jelaslah bahwa baik dalam konteks konflik internal Rwanda, maupun dari sisi pelanggaran terhadap hukum humaniter dengan membunuh anak kecil dan wanita. Dalam proses selanjutnya dalam penyelesaiannya, konflik Tutsi dan Hutu ini sekiranya harus diselesaikan secara proporsional antara pemerintah Rwanda sendiri dan kedua pihak yang bertikai. Persoalan bahwa antara Tutsi maupun Hutu berusaha untuk menancapkan kekuasaannya dalam tubuh pemerintah menjadi tantangan tersendiri. Tutsi dan Hutu harus membuka diri bagi persoalan ini. Peran dunia Internasional harus ditingkatkan demi terwujudnya Rwanda yang lebih baik. Negara-negara Afrika sebagai tetangga terdekat harus turun tangan. Demikian pun halnya dengan PBB dan Uni Eropa.19 Dari uraian diatas banyak sekali pelanggaran terhadap Azas Hukum Humaniter (Humanity) yaitu Azas Perikemanusiaan, Konvensi Jenewa IV tahun 1949 dan Protokol Tambahan I 1977 yang dilakukan saat perang saudara di Rwanda, dapat dibuat uraian para komandan telah melakukan pelanggaran terhadap Konvensi Jenewa 12 Agustus 1949 antara lain : a) Pembunuhan yang disengaja terhadap Presiden Rwanda; b) Penganiayaan atau tindakan yang merendahkan martabat manusia, termasuk kekerasan seksual dan percobaan biologi, dengan sengaja mengkibatkan penderitaan hebat; c) Pemilikan dan perusakan harta benda secara meluas yang tidak dapat dibenarkan berdasarkan kepentingan militer dan dilakukan secara tidak sah dan dengan semena-mena; Pertanggungjawaban komando disini memiliki andil besar dalam terjadinya kasus-kasus pelanggaran HAM berat Dalam sejarah perkembangan HI, pelanggaran HAM berat kategori kejahatan terhadap kemanusiaan yang para pelakunya dapat dituntut dan diadili berdasarkan prinsip pertanggungjawaban komando merupakan bagian dari kejahatan internasional.20 Pelanggaran HAM berat kategori kejahatan terhadap kemanusiaan, dapat terjadi pada konflik bersenjata baik yang bersifat internasional maupun non internasional.21 Sejumlah
19

Heru Cahyono, Kejahatan Perang Yang Diatur Dalam Hukum Internasional Dan Hukum Nasional, Jurnal Hukum Humaniter, 1 : 1, hlm 72, 2005 20 Romli Atmasasmita, Pengantar Hukum Pidana Internasional, Bandung: Rafika Aditama, 2000, hlm. 42. 21 Pietro Vierri, Dictionary of the International Law of Armed Conflict, ICRC, Geneva, 1992, hlm. 35.

18

model pertanggungjawaban pelanggaran HAM yang terjadi terus mengalami perkembangan, yang dapat dilakukan dalam berbagai bentuk pertanggungjawaban dan proses penuntutan melalui pengadilan baik dalam level internasional, regional, maupun domestik.22 Dalam hal ini suatu perbuatan yang melanggar salah satu ketentuan hukum humaniter, dikenal apa yang disebut collective responsibility, yaitu selain pelaku yang harus mempertanggung jawabkan segala perbuatannya, juga negara tidak lepas dari tanggung jawab yaitu dalam hal ini para petinggi militer membiarkan anak buahnya untuk melakukan pelanggaran HAM berat maka dari itu pertanggungjawabannya tidak hanya sebatas pada orang yang melakukan secara langsung namun petinggi-petinggi dari negara itulah yang memang harus dihukum dalam kasus ini.

22

Zainal Abidin, "Kerangka Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat di Indonesia dan Negara-negara Lain", Vol. VIII No. 1, Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu, 2012, hlm. 60.

19

BAB V KESIMPULAN

1) Tindakan yang dilakukan oleh pers yang sengaja memprovokasi dan membuat tulisan-tulisan yang sengaja menebar kebencian terhadap suku tutsi adalah merupakan suatu bentuk kejahatan Genosida 2) Pembunuhan yang sengaja dilakukan terhadap presiden Rwanda merupakan titik awal agar kaum pemerintahan dapat jatuh kepada kaum pemberontak 3) Pembantaian yang membabibuta tidak dapat dibenarkan dalam perang saudara di Rwanda dan merupakan Pelanggaran HAM berat 4) Tindakan yang dilakukan tersebut dapat diadili di pengadilan Internasioanal yang berwenang khususnya pengadilan kriminal internasional untuk Rwanda (ICTR) 5) Yang bertanggung jawab dalam kaus ini adalah para pelaku kejahatan itu sendiri khususnya pers dan para petinggi negara tersebut karena telah membiarkan terjadinya perang saudara tersebut.

20

DAFTAR PUSTAKA Anita Marianche, "Hak Kemerdekaan Mengeluarkan Pendapat Bagi Wartawan Melalui Media Massa", Jurnal HAM, vol. 3 no. 2, Desember 2012. Arlina Permanasari, Pengantar Hukum Humaniter, Jakarta: Penerbit ICRC, 1999. Frederic de Mullinen, Handbook on the Law of the War for Armed Forces, ICRC, Geneva, 1987, hlm. 2, yang menyatakan bahwa: The Law of War aims at limiting and alleviating as much as possible the calamities of war. Therefor, the law of conciliates military needs and requirements of humanity. Greenspan, The Modern Law of Land Warfare (1959); The Law of Warfare (1973); G.I.A.D Draper, Rules Governing The Conduct of Hosties The Laws of War and Their Enforcement 62 US Naval War College International Studies (1980) 247-262. Haryomataram, Pengantar Hukum Humaniter, Jakarta : Raja Grafindo, hlm. 3. Heru Cahyono, Kejahatan Perang Yang Diatur Dalam Hukum Internasional Dan Hukum Nasional, Jurnal Hukum Humaniter, 1 : 1,2005. ICRC, Hukum Humaniter Internasional, 2008. Internasional Covenant on Economic, Social And Cultural Rights, tanggal 16 Desember 1966, dan berlaku pada bulan Januari tahun 1976. J.G. Starke, Pengantar hukum internasional, Jakarta : Sinar Grafika. Michael Akherust, A Modern Introduction to International Law, George Allen & Unwin Publisher Ltd, 5th Edition 1984. Mochtar Kusumaatmadja, Hukum Internasional Humaniter dalam Pelaksanaan dan Penerapannya di Indonesia, Bandung : Binacipta. Muladi, Pertanggungjawaban Pidana Komandan, Semarang: Makalah Kuliah Umum FH Undip, 2003. Natsri Anshari, "Tanggung Jawab Komando menurut HI dan Hukum Nasional Indonesia", Jurnal Internasional Universitas Trisakti, Vol. 1 No. 1, Juli 2005. Patrik Galugu, Sinopsis Film Sometimes in April, http://id.shvoong.com/entertainment/movies/2274202-sinopsis-filmapril/#ixzz2ScNGRdJn [07/05/2013] Prasetyohadi dan Anton Prajasto, Tentang Tanggung Jawab Komando: Mengembalikan Kehormatan Komandan, Makalah Lokakarya Internasional Kejahatan Terhadap Kemanusiaan Jakarta, Komnas HAM, 2001. Pietro Vierri, Dictionary of the International Law of Armed Conflict, ICRC, Geneva, 1992. Ria Wierma Putri, Hukum Humaniter Internasional, Bandarlampung: Penerbit Universitas Lampung, 2011.

21

Romli Atmasasmita, Pengantar Hukum Pidana Internasional, Bandung: Rafika Aditama, 2000. Supardan Mansyur, "Prinsip-prinsip Kemanusiaan (Hukum Humaniter dan HAM Dalam Pelaksanaan Tugas Kepolisian", Jurnal HAM, Vol. 1 No. 1, Oktober 2004. Yamashita Trial 4 War Crimes Trial Report 1-96 Zainal Abidin, "Kerangka Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat di Indonesia dan Negara-negara Lain", Vol. VIII No. 1, Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu, 2012.

22

You might also like