You are on page 1of 16

TUGAS UTS HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL (Studi Kasus Mengenai Kejahatan Genosida di Rwanda)

Oleh: Feri Ferdianto 1112O11137

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG 2013

BAB I KASUS POSISI A. Fakta Sometimes in April, sebuah film tentang pelanggaran HAM berat. Terjadi di Rwanda tahun 1994. Tragedi kemanusiaan yang menewaskan sekitar 900.000 jiwa hanya dalam hitungan 100 hari. Sometimes in April diambil dengan sudut pandang korban, a survivor. Lelaki tegap yang di awal muka tadi berdiri di depan kelas. Seorang guru yang ternyata dulunya adalah tentara, yang menikahi perempuan suku Tutsi. Suku dimusuhi oleh suku sebangsanya sendiri. Suku yang dipanggil dengan sebutan "kecoak". Sebagai survivor, lelaki itu belum bisa menyembuhkan trauma hebat yang dialaminya. Kehilangan anak dan istri menjadi pukulan yang lebih kuat daripada tinjunya Mike Tyson, 10 tahun telah berlalu. Lelaki itu bahkan sudah hidup bersama perempuan lain, juga korban. Hingga sebuah surat membawanya ke sebuah kota, Arusakota dimana pengadilan HAM ad hoc dilakukan terhadap para pelaku. Salah satunya, adik kandungnya sendiri. Adik kandungnya, seorang wartawan radio (Radio Television Libre des Mille Collines/RTLM). Diduga dan memang dalam film itu diceritakan terlibat dalam pembantaian tahun 1994 itu. Ironisnya, justru dengan cara kerja jurnalistiknya. Penghasutan besar besaran agar suku Tutsi dihabisi dari tanah Rwanda. Kebebasan pers yang kebablasan? Pers memang harus bebas. Walaupun jelas tidak mungkin bebas nilai. Tapi apa penulis membenarkan penggunaan pers sebagai media agitasi pembantaian massal tersebut?. Agustin adalah salah seorang dari sekian ribu orang yang selamat dalam film sometimes in april.Agustin juga adalah seorang Guru sekolah dasar di Rwanda sekaligua pemeran utama dalam film sometimes in april.Ketika ia memberika pelajaran,ia di bayangi dengan pertanyaan murudnya mengapa pada bulan april selalu terjadi hujan, Agustin pun terdiam karena pertanyaan itu mengingatkan dia tentang sebuah memori yang sangat besar yang tak akan dia lupakan, karena apabila ia menjawab pertanyaan tersebut maka luka batin yang selama ini dia rasakan akan semakin sakit sehinggah ia pun berkata pada gadis itu jikalau pertanyaannya tidak bisadi jawabnya sekarang. Pada tahun 1994,pada bulan awal April, Agustin sedang melatih calon militer di Rwanda sebab sebenarnya agustin adalah seorang kapten di angkatan darat Rwanda. Namun semuanya berubah setelah tanggal 6 april 1994 dimana komandan militer Rwanda melakukan pemberontakan terhadap presiden Rwanda dengan menembaki pesawat yang ditumpangi presiden ketika hendak mendarat.sehinggah presiden Rwanda pun tewas.

Setelah kejadian terbunuhnya Presiden Rwanda Juvenal Habyarimana, malam itu terjadilah pembantaian besaran oleh suku dominan Hutu kepada suku Tutsi, dalam sehari 8000 nyawa dari suku tutsi melayang dalam pembantaian itu. Agustin merupakan kaum dari suku dominan hutu namun isterinya berasal dari suku Tutsi sehinggah ia menyadari bahwah nyawa isteri dan ketiga anaknya berada dalam masalah, ketakutan selalu menyelimuti ia akan hal buruk yang akan menimpa keluarganya. Akhirnya iapun meminta saudaranya marthin untuk mengungsikan isteri dan anaknya ke hotel.karena disana merupan tempat yang aman, target pembantaian suku hutu bukan hanya pada suku tutsi saja melainkan juga pada suku hutu yang moderat , pembantaian kepada suku hutu moderat dilakukan dengan mengumumkan nama mereka di stasiun radio. Hal itu diberitakan oleh adik dari Agustin sendiri Marthin. Dan ia memberitahukan kalau sebenarnya nama dari agustin sendiri juga tercantum dalam daftar suku hutu yang akan dibantai namun ia telah mengeluarkan nama tersebut dari daftar yang akan di bantai dalam genosida itu. Pada tahun 2008 Agustin menghadiri sidang mahkama internasional yang mendakwakan adiknya Marthin sebagai salah satu pelaku kejahatan karena telah menyiarkan dan membaca nama-nama korban genosida pada satsiun radionya. Setelah bertemu dengan Marthin barulah Agustin mengetahui bahwa semua keluarganya telah mati dan isterinya juga mati bunuh diri yang sebelumya telah di perkosa oleh militer Rwanda. Dalam kurun waktu 100 hari dari 6 April hingga 16 Juli 2004, diperkirakan 800.000 hingga 1 juta suku Tutsi dan Hutu moderat meninggal. Lebih dari 6 pria, wanita dan anak-anak dibunuh setiap menit setiap jam dalam setiap hari. Antara 250.000 dan 500.000 wanita mengalami kekerasan seksual. Dari sumber yang dilihat dan yang dibaca penulis, mengenai genocide yang terjadi pada kasus di Rwanda ini maka yang di sebut dengan kejahatan genocide adalah atau dalam bahasa disebut sebagai genosida secara harfiah dapat diartikan sebagai sebuah usaha pembantaian suatu kelompok etnis, yang dilakukan secara sistematis, dan bertujuan untuk memusnahkan suatu kelompok etnis tertentu. penulis pada awalnya memahami genosida hanya dalam tataran teoritis belaka, pengertian secara harfiah. Berikut jenis jenis kejahatan genosida yang di dapat penulis dari kasus ini yaitu : 1. Memperkosa dan membunuh dengan kejam atau tidak wajar. 2. Membunuh wanita dan anak-anak dibunuh setiap menit setiap jam dalam setiap hari. 3. Antara 250.000 dan 500.000 wanita mengalami kekerasan seksual. 4. Pemusnahan kelompok etnis 5. Tidak harus berarti pemusnahan segera suatu bangsa 6. Ada unsur niat yang direncanakan

7. Ditujukan untuk menghancurkan fondasi utama bangsa

8. Cara : memecah belah institusi politik, social, budaya, bahasa, perasaan kebangsaan, dll. 9. Pemusnahan terhadap keamanan pribadi, kemerdekaan, kesehatan, martabat, bahkan kehidupan individu suatu kelompok.

B. Pihak-Pihak Yang Bersengketa Berdasarkan uraian di atas, pihak-pihak yang terlibat dalam sengketa tersebut adalah : 1. Komandan Militer Rwanda (suku hutu) 2. Suku Tutsi 3. Pemerintah Presiden Rwanda

BAB II MASALAH HUKUM DAN TINJAUAN TEORITIK A. Masalah Hukum Dalam film ini ada banyak pelanggaran genosida yang terjadi, . Pada kesempatan ini, penulis ingin menganalisis pelanggaran-pelangaran apa saja yang dilakukan para pihak pemberontakan tersebut? Dan dimanakah pengaturan pelanggaran genosida tersebut diatur? B. Tinjauan Teoritik a. Pengaturan Hukum Kejahatan terhadap kemanusiaan, selain di Statuta Roma, juga dapat ditemukan dalam sejumlah instrumen hukum internasional : Pasal 6c Nuremberg Charter Pasal 5c Tokyo Charter Article 2 (1) ayat c Control Council Law No. 10 Pasal 5 (i) of International Crimnal Tribunal for the Former Yugoslavia (selanjutnya disebut ICTY) Pasal 3 (i) Statuta International Criminal Tribunal for Rwanda (selanjutnya disebut ICTR) Pasal 2 ayat (i) Special Court for Sierra Leone (SCSL). Dalam yurisprudensi putusan pengadilan internasional, khususnya praktek ICTY disebutkan, Pasal 5(i) ICTY (tindakantindakan tidak manusiawi) adalah suatu klausul sisa, yang berlaku pada tindakantindakan yang tidak termasuk dalam subklausul manapun dalam Pasal 5 Statuta namun secara memadai sama tingkat kejahatannya dengan kejahatankejahatan lainnya yang telah disebutkan.1

R. Herlambang Perdana Wiratraman, konsep dan Hukum Kejahatan Terhadap Kemanusiaan, jurnal ilmu hukum yuridika, Vol 23 No 2, Tahun 2008, Hlm 8

b. Mahkamah Pidana Internasional Dalam Kasus Rwanda 1994 Yurusdiksi Mahkamah Sama sepertinya Mahkamah bekas Yugoslavia, Mahkamah Rwanda juga memiliki yurisdiksi personal, territorial, temporal, dan criminal. Dibawah ini masingmasing yurisdiksi Mahkamh itu akan dipaparkan secara singkat satu per satu. Yurisdiksi personalnya adalah terhadap orang-orang yang bertanggungjawab atas pelanggaran serius terhadap hukum humaniter internasional. Hanya saja yurisdiksi personalnya itu terbatas pada individu-individu, bukan terhadap pribadi-pribadi hukum lain selain daripada individu, seperti Negara, organisasi internasional, badan-bdadan atau pribadi-pribadi hukum public ataupun privat. Individuindividu tersebut sebagaimana ditegaskan dalam pasal 2, adalah individu-individu yang merencanakan, memerintahkan, melakukan, memberikan bantuan atau turut serta dalam perencanaan, persiapan, atau pelaksanaan kejahatan yang ditentukan dalam pasl 2-4 Statuta. Sedangkan yurisdiksi kriminalnya adalah berupa pelaanggaran serius atasw hukum humaniter internasional yang meliputi genocide (pasal 2), crimes against humanity (kejahatan terhadap kemanusiaan) (pasal 3), violationsof Article 3 common to the Geneve Conventions and of Additional Protocol II (pelanggaran atas pasal 3 (kembar) atas konvensi-konvensi jenewa 1949 dan protocol Tambahan II) (pasal 4). Yurisdiksi teritorialnya adalah seperti ditegaskan dalam pasam 7 yaitu, di wilayah Rwanda yang meliputi permukaan daratan, ruang udara, termasuk sampai ke wilayah Negara tetangga yang berkenaan dengan pelanggaran serius terhadap hukum humaniter internasional yang dilakukan oleh warganegara Rwand Yurisdiksi temporalnya sebagaimana ditegaskan dalam pasal 7 adalah terhadap kejahatan yang terjadi antara periode 1 januari 1994 sampai dengan 31 Desember 1994 Disamping itu, sama seperti Mahkamah bekas Yugoslavia, Mahkamah Rwanda pun mengenal yurisdiksi bersama (concurrent jurisdiction) Struktur Organisasi Dan Pemeriksaan Perkara di Hadapan Mahkamah Srutur organisasi Mahkamah Rwanda ini terdiri dari organ-organ sebagai berikut (pasl 10) : a. Kamar-Kamar, yang terdiri dari tiga Kamar Pengadilan, dan satu Kamar Banding; b Jaksa Penuntut (prosecutor); c.Kepaniteraan (a registry). Para Hakim Mengenai susunan hakimnya diatur dalam pasal 11. Menurutb pasal 11, KamarKamar tersebut terdiri dari empat belas orang hakim independen dan tidak bole dua atau lebih yang berkewarganegaraan dari satu Negara. Masing-masing orang hakim bertugas pada Kamar Pengadilan. Oleh karena jumlah Kamar Pengadilan ada tiga, maka ada Sembilan orang hakim yang menjalankan tugasnya pada ketiga

Kamar tersebut. Sedangkan lima orang hakim lainnya bertugas pada Kamar Banding. Dalam pasal 11 ayat 2 terdapat penegasan tentang anggota dari Kamar Banding dalam Mahkamah bekas Yugoslavia juga akan berfungsi sebagai anggota Kamar Banding dari kedua Mahkamah. Tampaknya hal ini didasrkan atas pertimbangan praktis dan efiensi, supaya tidak perlu ditunjuk hakim baru untuk Kamar Banding Rwanda Mengenai hukum acara dan pembuktiannya diatur dalam pasal 14, bahwa untuk mengatur acara persidangan, para hakim Rwanda akan mengadopsi peraturan hukum acara dan pembuktian dari Mahkamah bekas Yugoslavia dengan melakukan perubahan-perubahan yang dipandang perlu. Jaksa Penuntut Jaksa Penuntut (the prosecutor) dalam Mahkamah Rwanda ini sebagaimana diatur dalam pasal 15 Statuta, memiliki tugas dan kewenangan yang sama dengan Penuntut dalam Mahkamah Yugoslavia. Tegasnya, menurut pasal 1, jaksa Penuntut bertangguingjawab dalam penyidikan dan penuntutan terhadap individuindividu yang dituduh telah melakukan pelanggaran serius hukum humaniter internasional yang terjadi diwilayah Rwanda terhadap warganegara Rwanda yang bertanggungjawab atas pelanggaran tersebut yang dilakukan di wilayah Negaranegara tetangganya, antara tanggal 1 januari 1994 sampai 31 Desember 1994. Menurut ayat 2, Jaksa Penuntut bertindak secara mandiri, sebagai organ yang terpisah dari Mahkamah. Dia tidak akan mencari atau menerima perintah dari suatu pemerintah ataupun dari sumber-sumber lainnya. Dalam ayat 3 terdapat penegasan yang serupa sengan penegasan dalam pasal 12 ayat 2, yakni, tentang Penuntutan dalam Mahkamah bekas Yugoslavia juga menjadi penuntut dalam mahkamah Rwanda Kepaniteraan Kepaniteraan dikepalai oleh panitera yang bertugas dan berwenang serta bertanggungjawab dalam masalah administrasi serta melayani administrasi Rwanda. Tidak jauh berbeda denganm apa yang diatur dalam Statuta Mahkamah bekas Yugoslavia.

BAB III TUNTUTAN PELANGGARAN HUKUM HUMANITER

Berdasarkan fakta yang telah dibeberkan pada bab-bab sebelumnya, serta pengaturan hukum yang telah dipaparkan pada sub bab landasan teoritik, pelanggaran-pelanggaran yang dapat dituntutkan terhadap kasus tersebut ialah: 1. konflik internal telah merebak ke banyak negara dan menimbulkan aksiaksi kekerasan.. 2. konflik internal telah menyengsarakan masyarakat yang menjadi korban yang tidak berdaya akibat konflik, seperti pembunuhan, penyiksaan, pemerkosaan, dan pengusiran. Konflik jelas akan membawa masyarakat pada kesengsaraan karena terjadi ketidakadilan, apalagi jika yang terjadi adalah konflik etnis yang menempatkan etnis tertentu sebagai penguasa dari etnis yang lain dengan taruhannya adalah nyawa. 3. Intervensi Kemanusiaan melalui UNAMIR

BAB IV ANALISIS PUTUSAN Konflik Hutu-Tutsi sebagai Konflik Internal Rwanda Konflik internal yang terjadi atas dasar konflik etnis di Rwanda antara suku Hutu sebagai mayoritas dan suku Tutsi sebagai minoritas telah memunculkan konflik berkepanjangan. Menurut Michel E. Brown berkaitan dengan konflik internal, antara lain pertama, konflik internal telah merebak ke banyak negara dan menimbulkan aksi-aksi kekerasan. Konflik Rwanda membawa pengaruh bangsa lain seperti Uganda, Perancis, dan Belgia. Uganda sebagai daerah perbatasan memiankan peran penting bagi keberlengsungan FPR yang bermuara dari aliansi antara FPR dengan National Resistence Army di Uganda yang membawa Museveni ke tampuk kepresidenan. Uganda menyediakan persenjataan, bahan makanan, bakah bakar dan secara sengaja membuka perbatasan sebelah selatan negara sebagai pangkalan serangan militer dan tempat pengungsian. Sebaliknya, Rwanda bekerjasama dengan Perancis dan Belgia dalam menghadapi anacaman FPR dengan mengirimkan tentara, melakukan pelatihan militer, dan menyediakan pasokan senjata2[7]. Kedua, konflik internal telah menyengsarakan masyarakat yang menjadi korban yang tidak berdaya akibat konflik, seperti pembunuhan, penyiksaan, pemerkosaan, dan pengusiran. Konflik jelas akan membawa masyarakat pada kesengsaraan karena terjadi ketidakadilan, apalagi jika yang terjadi adalah konflik etnis yang menempatkan etnis tertentu sebagai penguasa dari etnis yang lain dengan taruhannya adalah nyawa. Pelanggaran-pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang dilakukan tidak bisa ditawar lagi karena satu tujuan adalah penghancuran etnis lain yakni Tutsi3[8]. Ketiga, konflik internal penting karena sering melibatkan negara-negara tetangga sehingga bisa menimbulkan konflik perbatasan. Pengungsi yang menyeberang ke negara tetangga atau pemberontakan yang mencari perlindungan ke negara tetangga dapat menimbulkan permasalahan baru yang dapat memicu konflik bersenjata antar negara yang bertetangga. Hal ini terjadi di Rwanda saat suku Tutsi yang terdiskriminasi mengungsi ke Uganda secara besar-besaran. Namun, Uganda yang saat itu sedang dalam pemerintahan diktator dibawah Idi Armin maupun Milton Obote justru mendapat tekanan sehingga penderitaan dan kesulitan yang terjadi membuat mereka sangat ingin kembali ke Rwanda. Dibentuklah the Rwandan Patriotic Front (RPF) yang merupakan sebuah

2[7]

http://politik.kompasiana.com/2010/12/23/konflik-rwanda/, diakses pada 19 Mei 2012

3[8]

Ibid,

kelompok politik dan militer yang bertujuan untuk mengembalikan warga Rwanda dari pengungsian dan membentuk pemerintahan nasional bersama-sama dengan etnis Hutu. Keempat, konflik internal penting karena sering mengundang perhatian dan campur tangan dari negara-negara besar yang terancam kepentingannya dan organisasi internasional. Campur tangan atas konflik Rwanda tidak serta merta menurunkan bantuan dari negara besar seperti AS, Inggris, Perancis, dan Belgia yang tidak memiliki kepentingan nasional atas Rwanda. Justru karena tidak adanya dukungan dan partisipasi dari negara-negara besar membuka jalan bagi PBB yang sudah mengiringi langkah perdamaian sejak digulirnya perjanjian Arusha melalui UNAMIR. Konflik Rwanda sebagai sebuah Genosida Berdasarkan Statuta Roma dan Undang-Undang no.26 tahun 2000, ada beberapa unsur yang dikategorikan sebagai kejahatan genosida : a. Membunuh anggota kelompok

b. Mengakibatkan penderitaan fisik/mental berat c. Sengaja menimbulkan kehancuran fisik secara keseluruhan maupun sebagian

d. Memaksa tindakan yang dimaksud untuk mencegah kelahiran dalam kelompok e. Memindahkan anak-anak dari kelompok ke kelompok lain secara paksa

Konflik Rwanda memenuhi statuta Roma tentang pembunuhan massal/genosida yang dilakukan oleh etnis mayoritas Hutu terhadap etnis minoritas Tutsi tanpa ampun, brutal, dan membabi buta. Bahkan, suku Tutsi tidak dianggap sebagai manusia, melainkan disamakan dengan kecoa yang harus dibersihkan dari Rwanda. Penyerbuan militan Hutu dengan membunuh langsung maupun melakukan pemerkosaan terhadap wanita-wanita Tutsi serta membantai anak-anak Tutsi agar kelak tidak ada generasi penerus dari suku Tutsi merupakan pelanggaran HAM berat karena dilakukan dengan sadar dan sengaja untuk melenyapkan keseluruhan etnis. Sudah tidak dapat dipungkiri bahwa yang dilakukan oleh militan dan militer dari masing-masing pihak telah menetapkan tujuan pemusnahan etnis dari suku lawan terutama Tutsi yang dikhawatirkan akan merebut kembali kontrol kekuasaan dan mengulangi diskriminasi seperti yang terjadi di masa lalu.

Intervensi Kemanusiaan melalui UNAMIR Dibutuhkannya intervensi kemanusiaan melalui organisasi internasional seperti PBB jelas-jelas diperlukan dimana negara-negara besar seperti AS, Inggris, perancis, dan Belgia tidak memberi dukungan dan partisipasi dalam penciptaan kemanan dan perlindungan HAM di Rwanda. Ketidakmauan penyelesaian konflik atau pembunuhan massal yang terjadi atas dorongan dari pemerintah Rwanda dan keinginan masyarakatnya yang sebagian besar merupakan etnis Hutu memenuhi ketentuan diijinkannya intervensi kemanusiaan seperti yang diungkapkan oleh Grotius. Pemerintah Rwanda seakan tutup mata atas legitimasi keberadaan peran pasukan perdamaian UNAMIR PBB di Rwanda atas jalinan kerjasama pemerintah Rwanda dengan Perancis dan Belgia. Perancis memberi pelatihan militer terhadap militer Rwanda dan memasok senjata-senjata pada militer, seperti halnya yang dilakukan oleh Belgia. Sebaliknya, RPF mendapat bantuan dari Uganda atas bantuan RPF menggulingkan pemerintahan Uganda sebelumnya. United Nations Assistance Missions for Rwanda (UNAMIR) dibentuk atas resolusi nomor 872 melalui sidang pada 5 Oktober 1993 sebagai pasukan khusus yang membawa misi perdamaian PBB untuk menjaga perdamaian di Rwanda selama enam bulan. Kelemahan dan kekurangan dari keberadaan UNAMIR adalah tidak adanya izin dari para misonaris PBB untuk menggunakan senjata ketika terjadi kerusuhan atau keadaan perang oleh kaum militan Hutu maupun pemberontak Tutsi. Resolusi Dewan Keamanan (DK) PBB hanya menetapkan kontribusi UNAMIR terhadap keamanan kota Kigali dalam area terbatas dengan penetapan weapons secure area yang telah disepakati oleh kedua belah pihak yang bertikai di dalam dan di sekitar kota Kigali. Pembatasan kinerja pasukan dalam melakukan pengamanan Mandat PBB yang diberikan pada UNAMIR antara lain : a. Memonitor pengawasan gencatan senjata

b. Memonitor situasi keamanan selama periode akhir mandat pemerintahan transisi sampai diadakannya pemilu c. Membantu pembersihan ranjau

d. Melakukan investigasi e. Mencari kejadian-kejadian sejenis dan melaporkan ke Sekretaris Jenderal PBB. f. Memonitor proses pemulangan kembali pengungi Rwanda.

g. Membantu koordinasi bantuan kemanusiaan. Otoritas pasukan UNAMIR terbatasi oleh rules of engagement yang diberlakukan termasuk diantaranya larangan penggunaan senjata dan UNAMIR harus bekerjasama dengan militer Rwanda dalam operasi-operasi militernya sehingga membuat Jenderal Dallaire mengirimkan sebuah rancangan yang diantaranya secara khusus meminta persetujuan kantor pusat PBB pada 23 November 1993 untuk mengizinkan misi tersebut agar dapat mengambil tindakan sebagai respon atas kejahatan-kejahatan kemanusiaan yang terjadi. Namun, permintaan tersebut tidak mendapat respon dari markas besar PBB. Keterbatasan otoritas tersebut ditarik tanpa daya dari Rwanda dan membuat DK PBB mengesahkan terbentuknya UNAMIR II pada 17 Mei 1994 dengan mandat diperluas atas beberapa pertimbangan dengan tambahan pasukan untuk menghentikan genosida dan menjamin keamanan organisasi-organisasi kemanusiaan yang sedang melakukan perannya di Rwanda. Dan yang terpenting adalah menciptakan rasa aman bagi penduduk sipil Rwanda. Upaya DK PBB tidak emndapat dukungan dari negara-negara besar dimana hanya negara-negara Afrika yang menyatakan pemberian pasukan dalam misi UNAMIR II. Ketersediaan negara-negara Afrika itupun dengan syarat bahwa seluruh biaya akan ditanggung oleh PBB. Persyaratan tersebut membuat badan dunia tersebut memikirkan kembali dikarenakan kondisi keuangan PBB juga sedang defisit akibat operasi perdamaian sebelumnya dimana UNAMIR mengalami ketidaksediaan suplai makanan pasukan dikarenakan kekurangan dana. UNAMIR II mengalami kevakuman gerak dikarenakan kurangnya dukungan dan partisipasi yang disaat bersamaan genosida tetap berjalan di Rwanda. PBB kemudian memberikan otorisasi pada pasukan Perancis untuk melakukan operasi Torquise melalui resolusi PBB nomor 929 pada 22 Juni 1994. Hal tersebut sebagai respon atas penawaran Perancis agar dapat menerjunkan pasukan untuk menghadapi krisis kemanusiaan di Rwanda sampai UNAMIR II siap mengambil alih tugasnya kembali. Resolusi tersebut memberi Perancis legitimasi untuk melakukan intervensi bersenjata atas dasar alasan kemanusiaan. Intervensi kemanusiaan PBB seakan tidak memiliki taring dikala tidak ada negara-negara besar seperti AS, Inggris, dll yang mendukung dan berpartisipasi dalam UNAMIR, keengganan dari pemerintah dan masyarakat Rwanda yang berasal dari suku Hutu yang melakukan pengusiran dan memberi perlawanan pada pasukan DK PBB membuat PBB tidak bisa melakukan apa-apa jika Rwanda menolak mandat yang diberikan. Konflik Rwanda mulai menemukan titik terang atas ditandatanganinya persetujuan damai dari seluruh kelompok politik di Burundi yang secara jelas menginginkan adanya perdamaian pada tahun 2000. Tahun 2003, terjadi gencatan senjata yang disetujui oleh pemerintah Buyoya dan kelompok pemberontak Hutu terbesar, yakni CNDD-FDD. PBB juga membetuk International Criminal Tribunal for Rwanda (ICTR) yang bertujuan mengadili orang-orang yang

bertanggungjawab atas kasus genosida dan kejahatan kemanusiaan lain yang terjadi di Rwanda pada 1994.

BAB V KESIMPULAN Dengan melihat konflik antar etnis yang terjadi di Rwanda pada tahun 1994 tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa bentuk kolonialisasi yang tidak terarah seperti yang dilakukan pada kasus ini hanya akan meninggalkan bekas luka di dalam hati dan kehidupan suku Hutu sehingga memicu timbulnya perpecahan. Sebagai sesama manusia kita memiliki banyak kekurangan dan juga kelebihan yang telah diberikan oleh Tuhan. Tidak ada manusia yang sempurna untuk itu klasifikasi, diversivikasi, dan stratifikasi terhadap suatu kelompok etnis, ataupun ras, adalah hal-hal yang tidak sepantasnya dilakukan di dalam kehidupan bersosial umat manusia. Hal tersebut hanya akan menjadikan api dalam sekam yang suatu saat akan meledak ke berbagai arah. Dalam konflik etnis di Rwanda, seharusnya dari awal Hutu dan Tutsi saling bekerjasama dalam mencapai kesejahteraan hidup. Walaupun Belgia datang untuk menjajah dan membuat kecemburuan sosial, dengan iming-iming membantu memajukan Rwanda, namun seharusnya mereka tetap saling bersama. Belgia sengaja mengadudomba keduanya agar terjadi perpecahan di Rwanda, sehingga Belgia dapat menguasai wilayahnya. Namun di saat genosida berlangsung, seharusnya kedua etnis ini berpikir, bahwa kejadian masa lampau tidak baik untuk diingat di masa mendatang, karena faktanya warga-warga tak berdosa pun ikut menjadi korban atas tindakan genosida tersebut. Seharusnya mereka malu terhadap dunia internasional, dan sebaiknya mereka saling bergotong-royong untuk membangun perdamaian di antaranya agar keduanya saling sejahtera dan saling menguntungkan. Dilihat dari peran komunitas internasional dalam konflik Rwanda ini, PBB yang merupakan organisasi internasional yang berperan penting dalam menjaga keamanan dan perdamaian dunia, seharusnya lebih bertanggung jawab dan mampu menyelesaikan konflik ini. Namun PBB terlihat tidak sungguh-sungguh dan kurang tegas dalam membuat keputusan, terutama dalam pengiriman pasukan perdamaian PBB ke Rwanda.

Seharusnya negara yang tergabung dalam PBB, khususnya anggota tetap Dewan Keamanan PBB, mampu bekerjasama dan mengesampingkan unsur kepentingan masing-masing dalam penyelesaian konflik di Rwanda ini. Namun faktanya, pembantaian massal ini tidak mendapatkan perhatian dari Belgia, Perancis, Inggris, dan Amerika Serikat. Padahal masalah ini merupakan pelanggaran HAM, seperti yang sering dikemukakan di forum internasional. Ini menunjukkan bahwa PBB hanya seperti wadah kepentingan negara-negara maju.

DAFTAR PUSTAKA
Admawi, Perlindungan Korban dalam Konflik Bersenjata Non-Internasional, jurnal Ilmu Hukum kanun, vol XVIII No. 43, 2008, hlm 21 Aryuni, Yuliantiningsih, agresi Israel Terhadap Palestina Perspektif Hukum Humaniter Internasional, jurnal Humaniter, vol 9: no. 2, hlm 4, 2009 Aryuni Yuliantiningsih, perlindungan Terhadap Pengungsi Domstik Menurut Hukum Humaniter dan Hak Asasi Manusia, jurnal dinamika hukum, vol 8 no 3, 2008, hlm 21 GPH, Heryomataram, Sekelumit Tentang Hukum Humaniter ,Surakarta: sebelas maret universty press, 1994, hlm 102, dalam Ria Wierma putri ,Hukum Humaniter Internasional Huala Adolf, Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional, Jakarta, Sinar Grafika, 2012 ICRC, Hukum Humaniter Internasional, 2008 Jawahir Thontowi dan Pranoto Iskandar, Hukum Internasional Kontemporer, Bandung, Refika Aditama, 2006

Masyur Efendi, Perkembangan Hukum Internasional Humaniter Dan Sikap Indonesia di Dalamnya, Surabaya, Airlangga University, 1986
M. Gaussyah, Konflik Aceh dan Pembinaan Anggota Gerakan Aceh Merdeka yang Menyerahkan Diri Melalui Program Pembinaan, jurnal ilmu hukum kanun, Vol XV no 42, 2003, hlm 202 Ria Wierma Putri, Hukum Humaniter Internasional, Bandar Lampung, Universitas Lampung, 20011 Sefriani, Ketaatan Masyarakat Internasional Terhadap Hukum Internasional dalam Perspektif Filsafat Hukum, jurnal hukum, vol 3 no 405, hlm 8, 2011 Sri Setianingsih Suwardi, Serangan Israel Ke Libanon dikaitkan dengan Prinsip-prinsip Hukum Humaniter, jurnal HI Jakarta, UI, VOL 4 No 1, hlm 11, 2006 Suhaidi, Analisis Yuridis Tentang Perdagangan orang Indonesia, Jurnal Hukum Mizan, Vol I No 1, 2011, hlm 106 Supardan Mansyur, Prinsip-Prinsip Kemanusiaan (Hukum Humaniter dan Ham) dalam Pelaksanaan Tugas Kepolisian, Jurnal Humaniter,vol 2 no 1, 2012 hlm 5 Syahmin AK, Hukum Internasional Humaniter 2 Bagian Khusus, Bandung: Armico Bandung

Teguh Sulista, Pengaturan Perang dan Konflik Bersenjata dalam Hukum Humaniter Internasional, Jurnal Hukum Internasional, vol 4 no 3, 2007, hlm 535

You might also like