You are on page 1of 17

BAB I KASUS POSISI A.

FAKTA Film Sometimes In April ini mengisahkan sebuah kisah dimana kelompok militer garis keras Suku Hutu melakukan pembantaian terhadap suku Tutsi. Berawal dari polemik dan sentimen politik antara Suku Hutu terhadap Suku Tutsis yang muncul akibat pengaruh kolonialisme Prancis dan Belgia. Suku Hutu merasa memiliki posisi yang lemah secara politik kekuasaan, karena pada saat itu hubungan kolonialisme lebih terjalin dan diturunkan kekuasaannya pada Suku Tutsi. Pada akhirnya setelah memasuki fase kemerdekaan, Suku Tutsi memiliki peran yang cukup besar dalam menjalankan roda pemerintahan Rwanda, dan Suku Hutu melihat hal ini sebagai sebuah hal yang cenderung melemahkan posisi mereka. Pada konteks ini penulis melihat mulai muncul bentuk primordialisme yang ditonjolkan oleh Suku Hutu karena merasa tertindas dan berusaha bangkit dari pengaruh dan kekuasaan Suku Tutsi. Maka untuk merebut kekuasaan di Rwanda yang dibawah kendali Rwandan Patriotic Front, kelompok militer garis keras Suku Hutu berusaha mengkudeta dan mengambil alih pemerintahan di bawah rezim Hutu. Langkah pertama yang dilakukan tak tanggung-tanggung, kelompok militer Hutu disokong dukungan senjata tentara bayaran dari Prancis mampu membunuh presiden yang berkuasa saat itu, dengan meledakkan pesawat kepresidenan yang berisi presiden Rwanda serta beberapa stafnya. Maka kondisi inilah yang kemudian menjadi batu loncatan rezim Hutu untuk berkuasa penuh di Rwanda dan melakukan genosida terhadap Suku Tutsi. Setelah kudeta yang dilakukan oleh rezim Hutu, Rwanda semakin porak poranda. Posisi Suku Tutsi pun diperlakukan layaknya sebuah kecoa yang harus dimusnahkan dari bumi Rwanda. Militer memiliki andil besar dalam mempengaruhi masyarakat sipil bersuku Hutu. Ditambah lagi peran salah satu radio nasional Rwanda yang terus memprovokasi pergerakan Suku Hutu melawan Suku Tutsi semakin menyumbang gejolak masyarakat Hutu untuk melakukan pembunuhan massal. Pada awalnya sweeping dilakukan untuk menselektif mana yang Hutu atau Tutsi, tetapi gerakan kemudian menjadi massive dan tidak terkendali dipengaruhi oleh provokasi, power, dan emosi terkadang masyarakat sipil dan tentara Hutu brutal tanpa membedakan mana yang Hutu atau bukan. Dari sumber yang dilihat dan dibaca penulis, penulis melihat banyak pelanggaran yang terjadi dalam peristiwa konflik Suku Hutu dan Suku Tutsi, yaitu: 1. Penindasan terhadap suatu kelompok 2. Pembunuhan kepala Negara (Presiden) dengan melakukan penembakan ke pesawat yang dilakukan oleh Suku Hutu 3. Perampasan hak asasi manusia dan pemerkosaan terhadap wanita
1

B. Pihak Pihak Yang Bersengketa Berdasarkan uraian diatas, pihak pihak yang bersengketa dalam film Sometimes In April yakni: 1. Suku etnis Hutu Mayoritas 2. Suku etnis Tutsi Minoritas

BAB II MASALAH HUKUM DAN TINJAUAN TEORITIK

A. Masalah Hukum Berdasarkan kasus posisi diatas, maka penulis akan menganalisis bagaimana perang tersebut dapat terjadi ? Dan bagaimana menurut HHI tentang kasus yang terjadi pada peristiwa tersebut ? Bagaimana peran pasukan perdamaian UNAMIR PBB di konflik Rwanda? B. Tinjauan Teoritik Awal mula dari tragedi genosida ini adalah kudeta yang dilakukan oleh petinggi militer, karena presiden dianggap tidak tegas dalam menyelesaikan konflik etnis yang terjadi. Keadaan semakin diperparah oleh sebuah siaran radio yang sangat jelas memercikkan api permusuhan diantara Suku Hutu dan Tutsi. Genosida dimulai setelah pesawat kepresidenan di bom jatuh oleh pihak militer. Menurut HHI, kasus yang terjadi di Rwanda digolongkan kedalam sengketa bersenjata non internasional. Walaupun ini bukanlah sengketa internasional, namun hal ini diatur oleh HHI, sehingga idealnya jalannya konflik harus sesuai dengan kaedah kaedah yang berlaku dalam HHI. 1Pasal 3 konvensi Jenewa tahun 1949 menentukan aturan-aturan HHI dan kewajiban para pihak yang berkonflik untuk melindungi korban perang dalam perang yang tidak bersifat internasional, namun belum dijelaskan kriteria atau definisi sengketa bersenjata non-internasional. Kriteria tentang sengketa bersenjata non internasional dimuat dalam Protokol Tambahan II/ 1977 tentang perlindungan Korban Sengketa Bersenjata Non-Internasional, yaitu: sengketa bersenjata yang terjadi dalam wilayah suatu negara antara pasukan bersenjata negara tersebut dengan pasukan bersenjata pemberontak atau dengan kelompok bersenjata terorganisasi lainnya yang terorganisasi di bawah komando yang bertanggung jawab melaksanakan kendali sedemikian rupa atas sebagian dari wilayahnya sehingga memungkinkan kelompok tersebut melakukan operasi militer yang berkelanjutan dan berkesatuan serta menerapkan aturan-aturan HHI yang termuat dalam Protokol Tambahan II/ 1977.2 Dengan pencantuman tentang konflik non internasional dalam Protokol Tambahan, maka HHI tidak lagi hanya mencakup konflik bersenjata internasional, tapi juga non internasional, atau dengan kata lain, aturan aturan HHI harus

Konvensi Jenewa I/1949 Tentang Pebaikan Kondisi Angkatan Bersenjata yang Luka dan Sakit di Lapangan 2 Protokol Tambahan II/1977 Tentang Perlindungan Korban Perang Pada Situasi Sengketa Bersenjata Non Internasional.

ditaati pada setiap konflik yang berlangsung, baik yang bersifat internasional maupun tidak. 1. Ketentuan ketentuan minimal HHI Dalam rangka mendorong para pihak yang berkonflik menerpkan HHI dalam situasi konflik bersengjata, HHI telah dilengkapi dengan ketentuan minimal yang harus diberlakukan dalam setiap situasi konflik bersenjata internasional maupun konflik bersenjata noninternasional. 3Ketentuan minimal itu adalah sebagai berikut: a) Orang orang yang tidak ikut serta dalam pertempuran, termasuk anggota angkatan bersenjata yang telah meletakkan senjatanya dan orang orang yang telah tidak ikut bertempur lagi karena sakit, luka, ditahan, atau sebab lainnya, harus selalu diberlakukan secara manusiawi, tanpa ppembedaan yang merugikan baik karena ras, warna kulit, agama atau kepercayaan, jenis kelamin, kelahiran atau kekayaan, ataupun kriteria lainnya yang serupa. b) Mereka yang tidak ikut bertempur tersebut, dalam setiap waktu dan ditempat mana pun, tidak boleh dikenakan tindakan tindakan berikut: i. Kekerasan terhadap kehidupan, pribadi, dan fisiknya, khususnya pembunuhan dalam bentuk apa pun, mutilasi, perlakuan kejam, dan penganiayaan. Kekerasan terhadap martabat pribadinya, khusunya penghinaan dan perlakuan yang merendahkan; serta Pemberian hukuman dan pelaksanaan eksekusisbelum adanya putusan yang ditetapkan oleh suatu pengadilan yang sah yang dilengkapi dengan jaminan hukum yang diakui oleh masyarakat beradab.

ii. iii.

c) Sebuah badan kemanusiaan yang tidak berpihak, seperti ICRC, boleh menawarkan jasanya kepada pihak yang berkonflik. d) Pihak pihak yang berkonflik seharusnya berusaha memberlakukan semua atau sebagian ketentuan HHI lainnya melalui perjanjian khusus. e) Penerapan ketentuan ketentuan HHI, khusunya pada waktu sengketa bersenjata yang tidak bersifat internasional, tidak mengubah status hukum pihak pihak yang berkonflik 2. Prinsip Prinsip HHI Dalam kasus yang terjadi di Rwanda, dimana awalnya kasus digolongkan sebagai sengketa bersenjata non internasional, yang berarti semua pihak yang
3

Ambarwati, Hukum Humaniter Internasioanal dalam Studi HubunganInternasional, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2009, hlm 51

terlibat harus tunduk pada aturan aturan HHI, namun yang terjadi justru pelanggaran terhadap semua prinsip prinsip dan aturan aturan HHI, sehingga keadaan tidak dapat dikendalikan dan berujung pada genosida yang merenggut nyawa ratusan ribu jiwa.

HHI memiliki delapan prinsip, yaitu:4 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. Kemanusiaan Necesity (kepentingan) Proporsional (Proportionality) Distinction (pembedaan) Prohibition of causing unnecessary suffering (prinsip HHI tentang larangan menyebabkan penderitaan yang tidak seharusnya). Pemisahan antara ius ad bellum dengan ius in bello. Ketentuan minimal HHI Tanggungjawab dalam pelaksanaan dan penegakan HHI.

Kasus yang terjadi di Rwanda telah melanggar setidaknya lima dari delapan prinsip yang ada. Penyerangan yang dilakukan oleh Suku Hutu sama sekali sudah jauh melenceng dari koridor kemanusiaan, azaz distiction (pembedaan), dan kepentingan. Mereka menyerang secara serampangan, tak peduli anak anak, wanita, atau orang tua, selama mereka bersuku Tutsi, atau terkait dengan suku Tutsi, maka suku Hutu akan melakukan penyerangan kepada mereka. Penyerangan yang dilakukan juga tidak memandang tempat. Mereka melakukan penyerangan di tempat tempat yang menurut aturan HHI tidak boleh diadakan penyerangan, seperti rumah ibadah dan sekolah. Diatas semua itu, pelanggaran terberat yang terjadi adalah genosida. Pembantaian yang terjadi selamanya akan menjadi sejarah hitam bangsa Rwanda. Kesakitan dan trauma yang diakibatan oleh kejadian itu akan selamanya membekas dalam pikiran rakyat Rwanda, terutama para korban selamat yang mengalami langsung kejadian itu, ataupun mereka yang kehilangan anggota keluarganya. 3. Pelanggaran Berat Dalam HHI Dalam suatu peristiwa pasti terdapat pelanggaran berat hukum humanite internasional, yakni didasari pada beberapa kejahatan internasional yaitu:5 a) Genosida
4

Ambarwati, Op.Cit., hlm.41

Menurut pasal 6 statuta, Genosida berarti tindakan yang dilakukan secara sistematis dengan tujuan untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian bangsa, etnis, rass, atau kelompok. b) Kejahatan terhadap kemanusiaan Tindak pidana terhadap kemanusiaan menurut pasal 7 statuta adalah salah satu atau lebih dari beberapa perbuatan yang dilakukan dengan sengaja sebagai bagian dari serangan yang sistematis dan meluas yang langsung ditujukan terhadap penduduk sipil. c) Tindak pidana perang atau kejahatan kejahatan perang Tidak pidana perang diuraikan secara rinci dalam pasal 8 statuta, yaitu tindakan yang dilakukan sebagai bagian dari rencana atau kebijakan atau bagian dari skala besar perintah untuk melakukan tindak pidana tersebut. d) Kejahatan agresi Kejahatan agresi hanya dapat ditangani oleh mahkamah, apabila majelis Negara Negara pihak telah mencapai kesepakatan mengenai definisi, unsur unsur, dan kondisi dari agresi itu sendiri. Sebagai perbandingan, terminologi tindak pidana agresi merupakan perubahan dari terminology yang pernah digunakan dalam pengadilan Nurenberg, yaitu tindak pidana terhadap perdamaian.

Boer Mauna, Hukum Internasional: Pengertian, Peranan, dan Fungsi dalam Era Dinamika Global, Bandung: Alumni, 2005, hlm. 294-295

BAB III TUNTUTAN PELANGGARAN PERANG HUKUM HUMANITER

Berdasarkan fakta, asas, serta kaedah yang sebelumnya telah diuraikan pada sub bab sub bab sebelumnya, jelas dalam serangan peristiwa konflik pada film Sometimes in April yang melibatkan 2 suku yaitu Suku Hutu dan Suku Tutsi terdapat berbagai pelanggaran yakni: 1. 2. Pelanggaran HAM yang dilakukan oleh Suku Hutu terhadap Suku Tutsi dan Suku Hutu moderat. Pelanggaran hukum humaniter yang tidak bersifat internasional

BAB IV ANALISIS PELANGGARAN HUKUM HUMANITER Masalah yang akan di analisis adalah: 1. Pelanggaran HAM yang dilakukan oleh Suku Hutu terhadap Suku Tutsi dan Suku Hutu moderat.
6

Hal ini di atur dalam UU Hak Asasi Manusia No. 39/1999 ditegaskan dalam pasal 4 sebagai berikut: Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut berdasarkan hukum yang berlaku surut adalah hak asasi yang tak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun. Hak asasi manusia dan Hukum humaniter pada prinsipnya sama-sama melindungi hak-hak perorangan. Akan tetapi saat berlakunya berbeda. Hak Asasi manusia berlaku pada masa damai, sedangkan hukum humaniter yang terdiri atas Hukum Den Haag dan Hukum Jenewa serta gabungan dari keduanya berlaku pada masa sengketa bersenjata.7 Hak-hak asasi yang tak dapat disimpangi ini berlaku sepenuhnya dalam keadaan apa pun, termasuk keadaan darurat bahkan juga dalam keadaan perang. Dalam keadaan demikian, masih ada kesenjangan dalam penerapan hukum di bidang ini. Untuk mengisi kesenjangan ini diperlukan pendekatan baru untuk melindungi orang perorangan. Inilah yang melatarbelakangi penerimaan Deklarasi Standar Minimum Kemanusiaan, atau yang sering disebut Turku Declaration, yang menegaskan berlakunya prinsip ini dalam segala keadaan, mencakup:
6

www.balitbangham.go.id/.../Jurnal%20HAM%20I%20SUPARDAN.pdf

Lihat Ana Siphie Gindroz, Hubungan Hukum Humaniter dan Hak Asasi Manusia, Bahan Penataran Hukum Humaniter bagi Para Dosen Perguruan Tinggi, 1996, hlm.1

kekerasan, kerusuhan, ketegangan dan daurat umum dalam negeri dan tak dapat disimpangi dalam keadaan apa pun.8 Dokumen Standar Minimum Kemanusiaan yang disusun oleh oleh kelompok pakar hak asasi manusia dan hukum humaniter itu, memberikan pedoman dalam melakukan tindakan operasional dari badan-badan penegak hukum selama keadaan kerusuhan dan ketegangan dalam negeri atau dalam keadaan darurat umum, terdiri atas 18 pasal dan mengatur hal-hal berikut: lingkup dan tujuan ketentuan (pasal 1) persamaan dan non diskriminasi (pasal 2) hak-hak pribadi dan tindakan-tindakan yang dilarang dalam segala keadaan (pasal 3) aturan yang berkaitan dengan pencabutan kebebasan (pasal 4) larangan serangan terhadap orang yang tidak ambil bagian dalam tindakan kekerasan, penggunaan kekerasan harus berdasarkan keseimbangan, larangan penggunaan sennjata yang dilarang (pasal 5) larangan tindakan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan teror di antara penduduk (pasal 5), aturan yang berkaitan dengan pemindahan (displacement) (pasal 7) ketentuan mengenai hak untuk hidup (pasal 8) aturan yang berkaitan dengan proses hukum dan putusan (pasal 9) perlindungan anak (pasal 10), tempat yang ditunjuk, interniran (internment), penahanan administrative (pasal 15) personil kesehatan dan agama (pasal 14) organisasi kemanusiaan dan kegiatan mereka (pasal 15) pedrlindungan atas hak kelompok, minoritas dan (suku) bangsa (peoples) (pasal 16) ketentuan penutup (pasal 18). Khusus mengenai penahanan dalam keadaan darurat umum, Turku Declaration mengidentifikasi asas-asas berikut bagi mereka yang dicabut kemerdekaannya, yaitu: (1) ditahan di tempat penahanan yang diketahui, informasi tepat mengenai tempat penahanan dan tempat mereka berada segera disampaikan kepada para anggota keluarga, penasihat hukum dan orang yang memiliki kepentingan di dalamnya (pasal 4.1), (2) hak berkomunikasi dengan penasihat hukum dan dunia luar (pasal 4.2), (3) penyelesaian efektif untuk menetapkan tempat mereka berada atau keadaan kesehatan mereka. Mereka juga berhak atas proses hukum untuk menetapkan keabsahan penangkapan atau penahanannya (pasal 4.3), (4) aturan-aturan minimum untuk menjamin kesehatan mereka (pasal 4.4), (5) hak atas peradilan yang jujur dengan jaminan pembelaan, praduga tak
8

Doswald-Beck, Vite International Humanitarian Law and Human Rights Law, dalam International Review of the Red Cross, No. 293, 1 Maret 1993

bersalah, ne bis in idem, dan hukum pidana yang tidak berlaku surut (pasal 4.5). Selain itu juga disarankan untuk mematuhi ketentuan-ketentuan pasal 3 yang bersamaan pada keempat Konvensi, yang menentukan hal-hal sebagai berikut: (1) perlakuan manusiawi dan non diskriminasi terhadap orang yang ditahan, (2) larangan kekerasan terhadap kehidupan dan pribadi, segala jenis pengudungan, perlakuan kejam dan penyiksaan, (3) merendahkan martabat pribadi, khususnya perlakuan yang bersifat menghina dan merendahkan, (4) menjatuhkan hukuman dan melaksanakan eksekusi tanpa putusan yang diumumkan lebih dahulu oleh pengadilan yang dibentuk secara reguler yang memberikan semua jaminan peradilan yang diakui sebagai sangat diperlukan oleh bangsa-bangsa beradab. 2. Pelanggaran hukum humaniter yang tidak bersifat internasional

Sengketa bersenjata yang tak bersifat internasional atau sengketa bersenjata internal terjadi antara angkatan bersenjata pemerintah dengan angkatan bersenjata yang membangkang atau oleh kelompok-kelompok bersenjata terorganisir lainnya yang memberontak terhadap pemerintah. Ketentuan ketentuan yang berkaitan dengan perlindungan terhadap mereka yang melakukan pemberontakan itu diatur dalam pasal 3 yang bersamaan pada Konvensi-konvensi Jenewa 1949 dan Protokol Tambahan II tahun 1977 (selanjutnya disebut Protokol II). Pasal 1 Protokol Tambahan II 1977 menegaskan bahwa Protokol ini akan berlaku pada semua sengketa yang tidak tercakup oleh Protokol I dan yang terjadi di wilayah negara pihak antara angkatan bersenjatanya dan angkatan bersenjata pembrontak (dissident armed forces) atau kelompok-kelompok bersenjata terorganisasi lainnya yang berada di bawah komando yang bertanggung jawab, melaksanakan pengawasan atas sebagian wilayahnya sehingga memungkikan mereka melaksanakan operasi militer yang berkelanjutan dan serentak dan melaksanakan Protokol ini. Dari ketentuan ini, maka dapat dikatakan bahwa agar dapat memiliki status pemberontak harus dipenuhi syarat struktural, yaitu adanya komando yang bertanggung jawab, dan syarat intensitas berupa penguasaan suatu wilayah yang memungkinkan mereka melaksanakan operasi militer secara berkelanjutan dan serentak. Di samping hukum nasional, dan ketentuan-ketentuan hak asasi manusia, bagi negara-negara yang menjadi pihak pada Protokol II, berlaku ketentuan pasal 3 yang bersamaan pada Konvensi-konvensi Jenewa 1949 dan Protokol II 1977, sedangkan bagi negara-negara tidak menjadi pihak pada Protokol II tersebut hanya berlaku ketentuan yang bersamaan pada keempat Konvensi Jenewa 1949. Pasal 3 yang bersamaan pada Konvensi Jenewa 1949 menyatakan sebagai berikut: Dalam hal sengketa bersenjata yang tidak bersifat internasional

10

yang berlangsung dalam wilayah satu dari Pihak Peserta Agung; tiap pihak dalam sengketa itu akan diwajibkan untuk melaksanakan ketentuan - ketentuan berikut: 1). Orang yang tidak ikut dalam sengketa termasuk anggota angkatan perang yang meletakkan senjata serta tidak lagi turut serta (hors decombat) karena sakit, luka-luka, penahanan atau sebab lain apa pun, dalam keadaan bagaimana pun harus diperlakukan secara manusiawi, tanpa pembedaaan merugikan berdasarkan suku, warna kulit, agama atau kepercayaan, jenis kelamin, keturunan atau kekayaan atau kriteria sejenis lainnya. Untuk maksud ini maka terhadap orangorang tersebut kapan dan dan di mana pun juga tidak boleh dilakukan tindakan tindakan berikut: - kekerasan terhadap jiwa, raga, terutama segala macam pembunuhan, pengudungan, perlakuan kejam dan penganiayaan, - penyanderaan, - perkosaan terhadap kehormatan pribadi, terutama perlakuan yang menghina dan merendahkan martabat, - menghukum dan menjalankan hukuman mati tanpa didahului oleh keputusan yang dijatuhkan oleh pengadilan yang dibentuk secara teratur, yang memberikan segenap jaminan peradilan yang diakui sebagai keharusan oleh bangsa-bangsa yang beradab. 2). Yang luka dan sakit harus dikumpulkan. Sebuah badan humaniter tidak berpihak dapat menawarkan, seperti Komite Palang Merah Internasional dapat menawarkan jasa-jasanya kepada Pihak - pihak dalam sengketa. Pihak-pihak dalam sengketa, selanjutnya harus berusaha untuk menjalankan dengan jalan persetujuan-persetujuan khusus, semua atau sebagian dari ketentuan lainnya dari Konvensi ini. Pelaksanaan ketentuan-ketentuan tersebut diatas tidak akan mempengaruhi kedudukan hukum Pihak-pihak dalam sengketa. Ketentuan-ketentuan yang berlaku dalam sengketa bersenjata internal dalam Protokol II 1977, pada prinsipnya mengembangkan dan memperluas ketentuanketentuan pasal 3 yang bersamaan pada keempat Konvensi Jenewa 1949, yang pada intinya memuat halhal berikut:9 prinsip yang memberikan jaminan mendasar bagi perlakuan manusiawi diulangi kembali (pasal 4) sama dengan jaminan yang diberikan dalam pasal 3 yang bersamaan. minimum perlakuan yang ditetapkan terhadap orang yang diasingkan atau ditahan karena alasan yang terkait dengan sengketa bersenjata (pasal 5.1 (a) sampai (e), meliputi: (a) perawatan atas orang yang luka dan sakit, (b) persedian makanan, air, fasilitas kesehatan dan gizi, dan perlindungan, (c) hak menerima bantuan perorangan atau kolektif (f) hak melaksanakan agama dan menerima bantuan spiritual, dan (g) kondisi kerja dan jaminan yangsama dengan yang diberikan kepada penduduk setempat. Mereka yang bertanggung jawab atas pengasingan dan penahanan, sampai batas kemampuan mereka harus menghormati ketentuan - ketentuan yang
9

Cess de Rover, To Serve & To Protect, Human Rights and Humanitarian Law for Police and Security Forces, diterjemahkan oleh Supardan Mansyur, To Serve & To Protect, Acuan Universal Penegakan HAM, Rajawali, 2000, hlm. 256-257

11

berkaitan dengan orang-orang tersebut (pasal 5.2 (a) sampai (e): (a) tempat penahanan yang terpisah antara laki-laki dan perempuan (kecuali dalam kasus keluarga), dan pengawasan perempuan oleh perempuan (b) hak menerima dan mengirim surat dan kartu (c) tempat pengasingan dan penahanan tidak boleh dekat dengan kawasan pertempuran (d) hak atas keuntungan pemeriksaan kesehatan (e) kesehatan dan keutuhan jasmani dan rohani mereka tidak boleh dibahayakan karena perbuatan atau kealpaan yang takdapat dibenarkan. Perlindungan padal 4 dan 5.1 (a), (c) dan (d) dan 5.2 (b) diperluas kepada orang-orang yang dicabut kemerdekaannya karena alasan yang berkaitan dengan sengketa bersenjata, yang tidak tercakupoleh ayat 1 (pasal 5.3). Pasal 6 secara khusus menetapkan jaminan minimum kemerdekaan dan ketidakberpihakan dalam proses peradilan: (a) informasi segera atas dakwaan pidana, (b) asas tanggung jawab pidana perorangan, (c) tidak berlaku surutnya hukum pidana, (d) asas praduga tak bersalah, (e) hak untuk hadir di pengadilan (f) tidak ada kewajibanuntuk memberikan keterangan atau mengaku salah.

3. Intervensi Kemanusiaan melalui UNAMIR Dibutuhkannya intervensi kemanusiaan melalui organisasi internasional seperti PBB jelas-jelas diperlukan dimana negara-negara besar seperti AS, Inggris, perancis, dan Belgia tidak memberi dukungan dan partisipasi dalam penciptaan kemanan dan perlindungan HAM di Rwanda. Ketidakmauan penyelesaian konflik atau pembunuhan massal yang terjadi atas dorongan dari pemerintah Rwanda dan keinginan masyarakatnya yang sebagian besar merupakan etnis Hutu memenuhi ketentuan diijinkannya intervensi kemanusiaan seperti yang diungkapkan oleh Grotius. Pemerintah Rwanda seakan tutup mata atas legitimasi keberadaan peran pasukan perdamaian UNAMIR PBB di Rwanda atas jalinan kerjasama pemerintah Rwanda dengan Perancis dan Belgia. Perancis memberi pelatihan militer terhadap militer Rwanda dan memasok senjata-senjata pada militer, seperti halnya yang dilakukan oleh Belgia. Sebaliknya, RPF mendapat bantuan dari Uganda atas bantuan RPF menggulingkan pemerintahan Uganda sebelumnya. Keterbatasan otoritas tersebut ditarik tanpa daya dari Rwanda dan membuat DK PBB mengesahkan terbentuknya UNAMIR II pada 17 Mei 1994 dengan mandat diperluas atas beberapa pertimbangan dengan tambahan pasukan untuk menghentikan genosida dan menjamin keamanan organisasi-organisasi kemanusiaan yang sedang melakukan perannya di Rwanda. Dan yang terpenting adalah menciptakan rasa aman bagi penduduk sipil Rwanda. Upaya DK PBB tidak emndapat dukungan dari negara-negara besar dimana hanya negara-negara Afrika yang menyatakan pemberian pasukan dalam misi UNAMIR II. Ketersediaan negara-negara Afrika itupun dengan syarat bahwa seluruh biaya akan ditanggung oleh PBB. Persyaratan tersebut membuat badan dunia tersebut memikirkan kembali dikarenakan kondisi keuangan PBB juga sedang defisit akibat operasi perdamaian sebelumnya dimana UNAMIR mengalami
12

ketidaksediaan suplai makanan pasukan dikarenakan kekurangan dana. UNAMIR II mengalami kevakuman gerak dikarenakan kurangnya dukungan dan partisipasi yang disaat bersamaan genosida tetap berjalan di Rwanda. PBB kemudian memberikan otorisasi pada pasukan Perancis untuk melakukan operasi Torquise melalui resolusi PBB nomor 929 pada 22 Juni 1994. Hal tersebut sebagai respon atas penawaran Perancis agar dapat menerjunkan pasukan untuk menghadapi krisis kemanusiaan di Rwanda sampai UNAMIR II siap mengambil alih tugasnya kembali. Resolusi tersebut memberi Perancis legitimasi untuk melakukan intervensi bersenjata atas dasar alasan kemanusiaan. Intervensi kemanusiaan PBB seakan tidak memiliki taring dikala tidak ada negara-negara besar seperti AS, Inggris, dll yang mendukung dan berpartisipasi dalam UNAMIR, keengganan dari pemerintah dan masyarakat Rwanda yang berasal dari suku Hutu yang melakukan pengusiran dan memberi perlawanan pada pasukan DK PBB membuat PBB tidak bisa melakukan apa-apa jika Rwanda menolak mandat yang diberikan. Konflik Rwanda mulai menemukan titik terang atas ditandatanganinya persetujuan damai dari seluruh kelompok politik di Burundi yang secara jelas menginginkan adanya perdamaian pada tahun 2000. Tahun 2003, terjadi gencatan senjata yang disetujui oleh pemerintah Buyoya dan kelompok pemberontak Hutu terbesar, yakni CNDD-FDD. PBB juga membetuk International Criminal Tribunal for Rwanda (ICTR) yang bertujuan mengadili orang-orang yang bertanggungjawab atas kasus genosida dan kejahatan kemanusiaan lain yang terjadi di Rwanda pada 1994.10 Dalam hal ini, Pengadilan Kriminal Internasional untuk Rwanda (ICTR) adalah pengadilan internasional yang didirikan pada November 1994 oleh Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa berdasarkan Resolusi 955. Menyimpulkan terjadinya pembunuhan sistematis terhadap setengah sampai satu juta orang etnis Tutsi yang dilakukan oleh ekstrimis Suku Hutu di Rwanda dari 6 April 1994 sampai 15 Juli 1994. Tujuannya adalah untuk mengadili orang yang bertanggung jawab atas terjadinya genosida Rwanda dan pelanggaran hukum humaniter internasional di Rwanda dari 1 Januari hingga 31 Desember 199411. Pada tahun 1995, berdasarkan Resolusi 977, pengadilan ini terletak di Arusha, Tanzania. Dari tahun 2006, Arusha juga menjadi tempat berdirinya Pengadilan Hak Asasi Manusia dan Rakyat Afrika. Pada tahun 1998, pengoperasian pengadilan ini diperluas oleh Resolusi 1165. Melalui beberapa resolusi12, Dewan Keamanan menyerukan agar pengadilan ini menyelesaikan penyelidikannya pada akhir tahun 2004, menyelesaikan semua pengadilan pada akhir tahun 2012, dan menyelesaikan semua pekerjaan pada tahun 2012. Yurisdiksi atau kewenangan pengadilan ini yaitu ditujukan untuk kejahatankejahatan seperti, genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, hanya apabila dilakukan on national, politicial, ethnic; racial or other religios ground. Dengan
10 11

12

Putri, Widya, keterlibatan UNAMIR Dalam Genoside Rwanda, skripsi, Universitas Veteran Ria Werma Putri, Hukum Humaniter Internasional, Bandar Lampung: Penerbit Universitas Lampung, 2011, hlm.58. Ibid.

13

demikian, dilakukan dengan sengaja untuk melakukan diskriminasi. dan kejahatan perang, yang didefinisikan sebagai pelanggaran terhadap pasal tiga Konvensi Jenewa 1949 dan Protokol Tambahan II 1977 (berkaitan dengan kejahatan perang yang dilakukan selama konflik internal)13. Sejauh ini, pengadilan ini telah menyelesaikan 50 pengadilan dan mendakwa 29 orang. Sebelas pengadilan lain masih berlangsung. Empat belas orang menunggu pengadilan, namun 5 orang direncanakan untuk ditransfer ke pengadilan nasional. Tiga belas orang lain masih dicari, beberapa kemungkinan sudah meninggal. Pengadilan pertama, yaitu pengadilan Jean-Paul Akayesu, dimulai tahun 1997. Jean Kambanda, Perdana Menteri interim, mengaku bersalah. Menurut Strategi Penyelesaian ICTR, berdasarkan Resolusi 1503, semua kasus tingkat satu harus diselesaikan pada akhir 2008 (kemudian diperpanjang menjadi akhir 2009) dan semua pekerjaan harus selesai pada tahun 2012. Dewan Keamanan PBB telah menyerukan agar pengadilan ini menyelesaikan pekerjaannya pada 31 Desember 2012 dan mempersiapkan penutupannya dan penyerahan tanggung jawabnya kepada Mekanisme Residual Internasional untuk Pengadilan Kriminal. Pengadilan ini terdiri dari tiga organ, yaitu Majelis Hakim, Kantor Panitera, dan Kantor Penuntut Umum. Majelis Hakim terdiri dari tiga Majelis Persidangan dan satu Majelis Banding. Majelis Persidangan beranggotakan tiga orang hakim dan Majelis Banding lima orang hakim. Setiap hakim dipilih oleh Majelis Umum PBB dan bekerja untuk waktu empat tahun, hal ini sama dengan PPIBY ( Pengadilan Pidana Internasional Bekas Yugoslavia yang bertempat di Den Haag)14. Kantor Panitera menjalankan tiga fungsi: membantu Majelis Hakim dalam pekerjaan yudisial; mengurus pengadilan; dan menjalankan administrasi. Tugasnya termasuk penjadwalan kasus dan ruang sidang, memberikan penerjemahan, transkripsi, keputusan dan perintah resmi, penelitian dan penyusunan rancangan, serta perlindungan saksi dan korban. Karena tugasnya banyak, kantor panitera menggunakan 70-75% dari seluruh anggaran pengadilan. Kantor Penuntut Umum bertugas menyelidiki kejahatan dan menuntut kejahatan. Kantor Penuntut Umum di Den Haag mempunyai 346 staf yang dibagi ke dalam Bagian Penyidikan dan Penuntutan. Bagian Penyidikan dilengkapi oleh Unit Forensik, Tim Analisis Militer, Tim Riset, Unit Intelijen dan Unit Pelayanan Sensitif. Bagian Penuntutan terdiri dari Seksi Persidangan yang terdiri dari delapan orang Pembela Hukum Senior, delapan orang Pejabat Hukum, delapan orang asisten pendukung, delapan orang manager kasus, dan 16 Pembela. Sebuah Tim Persidangan terdiri dari satu orang Pembela Hukum Senior, dua orang Pembela, seorang Pejabat Hukum, seorang asisten pendukung, dan seorang Manager Kasus. Kantor Penuntut Umum juga dilengkapi dengan Unit Informasi dan Bukti yang terdiri dari 60 staf. Tugasnya adalah memproses dan menyimpan bukti, dokumen, dan informasi lainnya. Anggaran dua pengadilan ini
13

Ibid. Mappasessu, Perbandingan Yurisdiksi Antara International Criminaal Tribunal for the Former Yugoslavia (ICTY) dan International Criminal Tribunal forRwanda (ICTR), Makasar: Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, 2005, hlm.62-65.
14

14

ditetapkan oleh Majelis Umum PBB. Anggaran tahunan PPIBY untuk 2000-2001 besarnya USD 96.443.900. Selain itu, PPIBY menerima sumbangan sukarela sebesar USD 32 juta. Stafnya berjumlah 968. Sementara anggaran tahunan PPIUR 2000-2001 adalah USD 86.154.900. Stafnya berjumlah 810. Anggaran tahunan dua pengadilan tersebut merupakan 10 persen dari seluruh anggaran PBB. Untuk menyelesaikan tugas masing-masing, kedua pengadilan tersebut memerlukan waktu sepuluh tahun lagi dan anggaran USD 2 milyar. Perbedaan antara ICTY dan ICTR adalah sebagai berikut: pertama, ICTY memiliki yurisdiksi terhadap kejahatan baik dalam international armed conflict maupun internal armed conflict, sedangkan ICTR memiliki yurisdiksi hanya terhadap kejahatan yang dilakukan dalam internal armed conflict. Kedua, ICTY memiliki yurisdiksi terhadap kejahatan terhadap kemanusiaan hanya apabila dilakukan di dalam suatu konflik bersenjata, sedangkan ICTR mempunyai yurisdiksi terhadap kejahatan terhadap kemanusiaan hanya apabila dilakukan on national, political, athnics, racial, or other religion ground. Dengan demikian hal ini dilakukan dengan sengaja untuk melakukan diskriminasi. Ketiga, ICTY mempunyai yurisdkisi terhadap kejahatan yang dilakukan di wilayah bekas Yugoslavia sejak 1991, sedangkan ICTR memiliki yurisdiksi terhadap kejahatan yang dilakukan di Rwanda atau negara-negara tetangga Rwanda. Keempat, prosedur beracara ICTY mengikuti common law system, sedangkan ICTR mengikuti campuran antara common law dan civillaw system15. Jumlah terdakwa yang diperiksa dalam ICTR sebanyak 16 orang dan 1 orang di antaranya diputus bebas sedang yang lain dijatuhi pidana dengan jumlah pidana terbanyak yang dijatuhkan adalah pidana penjara seumur hidup.

15

Supardan Mansyur, Prinsip-Prinsip Kemanusiaan (Hukum Humaniter dan Ham) Pelaksanaan Tugas Kepolisian, Jurnal Humaniter,vol 2 no 1,2012 hlm 5

dalam

15

BAB V KESIMPULAN Kejahatan perang adalah pelanggaran pelanggaran serius terhadap hukum perang, baik berasal dari konvensi konvensi internasional mauoun dari kebiasaan, yang dilakukan dalam situasi pertikaian bersenjata, di mana pertanggungjawaban pidana berlaku sesuai dengan yang ditentukan dalam aturan aturan tersebut.16Akhirnya terciptanya dunia internasional yang lebih baik merupakan cita-cita bersama. Walaupun konflik akan terus terjadi, tapi penyelesaian pasti selalu ada. Pelanggaran hukum humaniter yang terjadi diantara Suku Hutu dan Suku Tutsi kiranya harus diselesaikan setuntas-tuntasnya supaya tidak meledak untuk kedua kalinya lagi. Jutaan orang sudah tewas terbunuh selama konflik berlangsung. Walau kaum realis pesimis soal perdamaian dunia, tapi perdamaian memang kebutuhan yang paling penting di dunia ini.

16

H. Jaka TriyanA.,Peradilan Internasional Atas Pelanggararan Berat Hukum Humaniter Internasional, Makalah, Basic Course On International Humanitarian Law, kerja sama antara Fakultas Hukum UGM dengan ICRC Delegasi Indonesia, 19-24 Desember 2005.

16

DAFTAR PUSTAKA BUKU :


Ambarwati, Hukum Humaniter Internasioanal dalam Studi HubunganInternasional, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2009. Gindroz, Siphie . Hubungan Hukum Humaniter dan Hak Asasi Manusia , Bahan Penataran

Hukum Humaniter bagi Para Dosen Perguruan Tinggi, 1996.


Doswald-Beck, Vite International Humanitarian Law and Human Rights Law, dalam

International Review of the Red Cross.1993.


Cess de Rover, To Serve & To Protect, Human Rights and Humanitarian Law for Police and Security Forces, diterjemahkan oleh Supardan Mansyur, To Serve & To Protect,

Acuan Universal Penegakan HAM, Rajawali. 2000.


Mappasessu, Perbandingan Yurisdiksi Antara International Criminaal Tribunal for the Former Yugoslavia (ICTY) dan International Criminal Tribunal forRwanda (ICTR), Makasar: Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, 2005. Putri, Widya, keterlibatan UNAMIR Dalam Genoside Rwanda, skripsi, Universitas Veteran Ria Werma Putri, Hukum Humaniter Internasional, Bandar Lampung: Penerbit Universitas

Lampung, 2011.
INTERNET :
www.balitbangham.go.id/.../Jurnal%20HAM%20I%20SUPARDAN.pdf

KONVENSI DAN PROTOKOL :


Konvensi Jenewa I/1949 Tentang Pebaikan Kondisi Angkatan Bersenjata yang Luka dan Sakit di Lapangan Protokol Tambahan II/1977 Tentang Perlindungan Korban Perang Pada Situasi Sengketa Bersenjata Non Internasional.

JURNAL :
Supardan Mansyur, Prinsip-Prinsip Kemanusiaan (Hukum Humaniter dan Ham) Pelaksanaan Tugas Kepolisian, Jurnal Humaniter,vol 2 no 1,2012 hlm 5 dalam

17

You might also like