You are on page 1of 5

Faktor Pemicu Terjadinya Amuk Massa

Oleh Anissa Permatadietha Ardiellaputri, 1006661203

Judul : Menyingkap Tabir Amuk Massa Pengarang : Tardjo Ragil, Peneliti Departemen Politik The Akbar Tandjung Institute Data Publikasi : http:// unik.kompasiana.com/2010/08/25/menyingkap-tabir-amukmassa.html diakses pada 2 November 2010, pukul 08.51

Judul : Main Hakim Sendiri dan Budaya Hukum Pengarang : T. Gayus Lumbun Data Publikasi : http://regional.kompas.com/read/2010/09/03/0058031/Main.hakim.sendiri. dan.budaya.hukum diakses pada 2 November 2010, pukul 09.03

Judul : Faktor-Faktor Yang Melahirkan Peradilan Massa dilihat dari Aspek Sosiologi Hukum Pengarang : Haetami Data Publikasi : Kumpulan Karya Tulis Menghormati 70 Tahum Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmaja, SH. LL. M., Editor Mieke Komar, Etty R. Agoes, Eddy Damian, Penerbit Alumni Bandung, 1999.

I. Pendahuluan Dalam satu dasawarsa terkahir, beberapa tragedi kemanusiaan yang memilukan sekaligus mengkhawatirkan berlangsung silih berganti di Indonesia. Serentetan peristiwa kerusuhan sosial itu telah membelalakkan mata semua orang tentang apa yang sedang terjadi di negara yang dulunya dikenal damai dan adem ayem ini.Konflik sosial yang sejatinya merupakan bagian dari kedinamisan masyarakat yang bersiifat positif kini telah berubah menjadi amuk massa yang anarkis dan sulit diprediksi kapan berakhirnya. Tidak hanya skala konfliknya yang terus bertambah, sifat konflik pun terus berkembang tidak hanya horizontal tetapi juga vertikal.

II. Faktor Pemicu Terjadinya Amuk Massa Apabila sila kelima yang berbunyi Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia berhasil di baea turun ke bumi nusantara Indonesia, rasanya tidak akan sebanyak ini darah anak bangsa harus tumpah. Masih segar diingatan kita tragedi Poso yang merupakan salah satu ranting di pohon republik yang mengalami kerapuhan moral, di tahun 1998. Persis bersamaan dengan tahun mulai bergulirnya era reformasi yang telah

menumbangkan pohon otoritarian yang sebelumnya membunuh kemerdekaan warga selama sekian dasawarsa. Sayangnya, era reformasi gagal menjaga kekuatan utamanya yakni demokrasi yang bebas namun bertanggung jawab. Berdasarkan dari segelintir hal yang terjadi di Indonesia itu, ada kejanggalan yang mengundang pertanyaan. Fakta-fakta memilukan ini tentu perlu dikaji, apa sebenarnya faktor pemicu mengapa terjadi amuk massa yang demikian besar? Mengingat ini konflik di tengah masyarakat, perlu dicarikan alasan-alasan sosial apa yang mendukungnya? Alasan-alasan yang dapat menjadi dasar dari tindakan amuk massa ini dapat ditinjau dari tiga faktor yang mencerminkan Indonesia secara keseluruhan, antara lain sebagai berikut : 1. Kondisi Ekonomi Rakyat Indonesia Pertanyaan yang pertama muncul ialah apakah benar kondisi ekonomi kita mempengaruhi masyarakat Indonesia untuk melakukan tindakan anarkis seperti amuk massa? Jawabannya hanya satu kata, yakni iya. Karena ketimpangan ekonomi ini mampu merubah cara berpikir dan bertindak serta khayalan sosial dari kelompok Have Nothing untuk memaksakan diri dengan realitas sosial yang sebenarnya. Peran Kelompok The Have adalah merupakan pembanding mereka atas realita sosial, namun khayalan hanyalah khayalan yang tidak mampu direalisasikan hingga timbul kecemburuandan frustasi berlebihan (dipengaruhi juga oleh faktor ketidak stabilan emosi seseorang). Sudah tentu orang yang tidak stabil ini mudah sekali terpengaruh ataupun dipengaruhi. Hal ini yang sering menyebabkan orang itu mudah tersinggung dan marah hingga terjadi pertengkaran yang bahkan berpotensi menimbulkan kerusuhan masal. Untuk mencegah ini semua terjadi, seharusnya pemerintah segera memikirkan cara mensejahterakan mereka melalui kebijakan-kebijakan ekonomi dan diikuti oleh langkah konkrit pada sektor ril guna menumbuhkan kesejahteraan rakyat Indonesia. Inilah yang kemudian menjadi PR-nya pemerintah untuk menentukan suatu kebijakan yang dapat diterima akal sehat masyarakat Indonesia, kemudian tugas mereka akan semakin sulit karena mereka juga harus mempertimbangkan kemungkinan-kemungkinan yang terjadi saat sosialisasi akan suatu kebijakan baru dilakukan agar tidak terjadi kekerasan masal lainnya. 2. Kondisi Sosial Rakyat Indonesia Berdasarkan refleksi sosial yang realitanya dapat kita lihat dimasyarakat, amuk massa itu terjadi karena dua faktor, yakni kesalahan pemahaman tentang konflik, dan tindakan kekerasan. Pada tingkat pemahaman konflik, sistem sosial beserta komponen-komponen pendukungnya memiliki pemahaman yang keliru tentang pemecahan konflik dalam medan

sosial. Bagi kita, sekarang konflik adalah penghancuran. Sistem sosial mewadahi gagasan ini. Contoh, organisasi massa yang mengatasnamakan agama beroperasi dengan cara anarki di tengah-tengah masyarakat. Ketika pemerintah tidak memberikan sanksi yang tegas terhadap pelaku dan kelompok tempat berlindung, pemerintah dapat dianggap turut serta di dalam kekerasan itu. Pemerintah lalai melindungi warga negara dari kekerasan di tengah-tengah masyarakat. Contoh lain, atribut-atribut militer yang dijadikan simbol-simbol perilaku sosial memberikan ilustrasi tentang pentingnya kekuatan fisik untuk menyelesaikan konflik. Praktik-praktik politik yang korup, produk-produk putusan hukum yang timpang, serta orientasi pada jabatan dan kekayaan adalah bagian dari penghapusan norma sosial dalam masyarakat. Warisan masa lalu manusia mengungkap kenyataan bahwa kita sesungguhnya menyukai kekerasan. Itulah kenapa kekerasan yang terjadi berurutan itu berada dalam satu alur: berawal dari bentrok individual menuju amuk massa. Pemerintah kehilangan daya membangun manusia Indonesia yang mampu memahami solusi konflik melalui komunikasi, empati, dan sikap saling memaafkan. 3. Kondisi Budaya Rakyat Indonesia Melihat realita yang terjadi bahwa amuk massa bukan lagi hal yang baru di dalam masyarakat kita menghadirkan adanya pandangan baru bahwa main hakim sendiri adalah budaya hukum baru. Sering kita saksikan pemberitaan di media massa yang gencar memberitakan fenomena kekerasan dan main hakim sendiri terhadap pelaku tindak kriminal. Sudah banyak korban tewas. Reaksi sementara anggota masyarakat tidak menunjukkan penyesalan bahkan justru menyatakan kepuasannya. "Biar kapok," begitu kira-kira pernyataan masyarakat. Sebagian lainnya menyatakan, kekerasan dan main hakim sendiri adalah akibat kurangnya kepercayaan masyarakat terhadap aparat penegak hukum. Bukan hanya kekerasan terhadap pelaku kejahatan, kekerasan tampaknya sudah mewabah. Lihat saja tawuran pelajar, bentrokan fisik antarwarga desa, bahkan bentrokan yang tak kunjung padam bernuansa SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), memakan korban nyawa yang tidak sedikit. Harta benda yang musnah tak terhitung karena perusakan dan pembakaran rumah, sehingga terjadi gelombang pengungsian di negeri sendiri, kantor polisi, gedung DPRD dan gedung pemerintah daerah pun tak luput jadi korban perusakan massa. Semua itu terjadi justru saat masyarakat sedang dalam era reformasi. Gejala apakah ini sesungguhnya? Apakah hal itu menunjukkan "kesadaran hukum" masyarakat yang masih rendah atau inikah "budaya hukum" masyarakat kita? Sebagai catatan bahwa kesadaran

hukum bukanlah budaya hukum karena budaya hukum yang baik akan melahirkan sebuah proses sosial, yaitu kesadaran hukum. Kita mengenal beberapa budaya daerah yang membangun kerangka-kerangka hukum dan ditaati oleh kelompok masyarakat daerahnya, seperti di daerah Sumatera Barat dikenal Tuah Sakato: Saciok Bak Ayam, Sadanciang Bak Basi, sedang pada masyarakat Batak ada adat Delihan natolu dan Pardomoan di mana peran "Raja Marga" dalam menyelesaikan perselisihan antarmarga sendiri maupun antarmarga sangat dihormati. Demikian pula masyarakat Sulawesi Utara ada Torang budaya semua basodara yang menjiwai masyarakat Sulawesi Utara menjadi ramah dan senantiasa berupaya menghindari pertikaian sesama. Di Jawa umumnya ada Silih Asih, Silih Asah, Silih Asuh. Pada masyarakat Indonesia dikenal gotong royong sebagai perwujudan semangat hidup dalam kebersamaan. Sistem nilai dalam kelompok masyarakat itu menjadi budaya hukum dalam menyelesaikan perselisihan atau sengketa di luar pengadilan menurut hukum positif. Begitu pentingnya peran budaya hukum sehingga kesadaran hukum dalam pelaksanaannya akan lebih efektif, maka budaya hukum yang melahirkan kesadaran hukum perlu kajian lebih mendalam dan pembinaan yang lebih terarah, sehingga tercapai masyarakat yang aman, tenteram dan sejahtera. Begitulah hendaknya masyarakat yang taat hukum. Di luar dari konteks ekonomi, sosial, dan budaya adal satu aspek lagi yang mungkin bisa menjawab permasalahan amuk massa ini, yakni aspek hukum. Sebenarnya bagaimana dan sejauh apa penegakan hukum di Indonesia mempengaruhi tindak peradilan secara massa ini? Dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 dinyatakan secara tegas bahwa Negara Indonesia adalah Negara Hukum. Sebagai negara hukum tentu saja harus mampu mewujudkan supremasi hukum, sebagai salah satu prasyarat bagi suatu negara hukum. Realitas tersebut ditandai dengan harapan masyarakat yang menghendaki terciptanya persamaan di depan hukum (equality before the law), peradilan yang independen dan tidak memihak (fair tribunal and independence of judiciary). Hal ini telah ditegaskan pula dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945. Kaidah tersebut mengisyaratkan bahwa hukum bukan menjadi alat untuk kepentingan penguasa ataupun kepentingan politik yang dapat menimbulkan sikap diskriminatif dari aparat penegak hukum dalam melaksanakan tugasnya. Hukum ditegakkan demi pencapaian keadilan dan ketertiban bagi seluruh kehidupan masyarakat, bangsa dan negara. Oleh karena itu, penegakan hukum merupakan syarat mutlak bagi upaya penciptaan Indonesia yang damai dan sejahtera. Apabila hukum dapat ditegakkan, maka keadilan,

ketertiban, kepastian hukum, rasa aman, tenteram dan kehidupan yang rukun akan dapat diwujudkan. Dalam kaitannya dengan masalah penegakan hukum terhadap praktik main hakim sendiri yang dilakukan masyarakat seperti apa yang sering kita saksikan di media televisi menunjukkan bahwa tindakan tersebut merupakan suatu kekecewaan terhadap aparat penegak hukum karena banyaknya pelaku kejahatan yang lolos dari jerat hukum serta lemahnya penegakan hukum sehingga menyebabkan tindakan tersebut sering terjadi dan terus berulang di kalangan masyarakat kita. Aksi anarkisme di luar batas perikemanusiaan itu terjadi karena akumulasi kekecewaan atas kenyataan tidak tuntasnya sejumlah kasus yang mereka tangani. Masyarakat sudah lelah menantikan penegakan hukum yang bertele-tele dan sekadar menjadi panggung politik. Untuk menghentikan aksi-aksi massa yang primitif itu, harus ada counter dengan cara pembelajaran kolektif yang lain yang lebih beradab. Tunjukanlah cara-cara menghukum yang baik terhadap para maling, misalnya. Jika ada maling dibawa ke polisi, diadili sesuai kesalahannya, dan dihukum sesuai aturan hukum. Juga harus ada bukti yang berlawanan untuk menunjukkan kepada masyarakat tindakan yang beradab. Sehingga akan timbul pembelajaran kolektif yang lebih benar. Masyarakat dididik menyalurkan ketidakpuasan sosialnya dengan cara yang benar yang dapat diterima oleh nurani. Bagaimana pun istilah "pengadilan rakyat" itu tidak semestinya muncul di sebuah negeri yang lama disebutkan "adil dan beradab" ini.

III. Penutup Kondisi kebangsaan yang tengah terkoyak akibat rentetan kekerasan massa tak boleh dibiarkan berlarut-larut. Nasib negeri ini mesti mendapatkan penanganan ekstra agar tidak terperosok ke dalam krisis sosial yang berkepanjangan. Secepatnya kewibawaan negara di mata rakyat mesti dipulihkan kembali. Karenanya, keteladanan elit negara menjadi kunci untuk memulihkan kembali legitimasi etis kepemimpinanya di mata rakyat. Bercermin pada kepemimpinan Mahatma Gandhi, keteladanan pemimpin sesungguhnya tercermin dari kesungguhannya merasakan kepedihan hidup yang dialami rakyat. Bukan sebaliknya, abai terhadap kesengsaraan nasib rakyat. Semoga elit di negeri segera sadar bahwa akibat mentalitas serakah yang merajalela dapat mengakibatkan nasib negara ini selalu dirundung nestapa dan tidak beranjak maju.

You might also like