Professional Documents
Culture Documents
CRITICAL REVIEW
IDENTITAS BUKU
Judul Buku Penulis Tahun Terbit Penerbit Tempat Terbit ISBN : Masyarakat dan Pilihan Hukum : Dr. Indah S. Utari, S.H., M.Hum. : 2012 : CV. Sanggar Krida Aditama : Semarang : 978-602-17954-2-2
PENDAHULUAN
Bagian pendahuluan buku ini menjelaskan tentang pilihan hukum masyarakat. Utari menyatakan bahwa masyarkat dalam menyikapi pluralisme fakta dan fenomena hukum perlu memiliki pilihan-pilihan hukum, yang pada hakikatnya untuk mewujudkan tertib sosial. Masyarkat memiliki pemaknaan yang berbeda-berbeda terhadap hukum tertentu, sehingga masing-masing individu akan memiliki pilihan yang berbeda pula. Bagian awal ini juga menjelaskan secara sekilas tentang varian hukum yang berkembang di masyarakat, yang familier adalah hukum negara. Bagi kalangan awam hukum negara adalah aturan-aturan dan sanksi-sanksi tertulis yang disusun oleh pemerintah serta bersifat memaksa, eksklusif, dan istimewa. Hasil penelitian FalkMoore menyatakan bahwa justru sistem normatif lainnya selain produk negara dianggap lebih efektif dibanding hukum negara. Galanter menjelaskan alasan mengapa demikian, karena pesan-pesan normatif dan keadilan tidak hanya diperoleh melalui forum negara, tetapi juga dapat diperoleh melalui ruang-ruang sosial lain di luar negara. Utari dengan baik menjelaskan pergeseran pendekatan yang digunakan untuk memahami pilihan hukum masyarakat. Pendekatan yang digunakan saat ini adalah analisis situasional, setelah menggantikan pendekatan lama yakni melalui analisis struktural-fungsional. Bagain pendahuluan ini juga membahas secara sekilas tentang konsep-konsep utama dalam pilihan hukum masyarakat. Konsep-konsep tersebut terangkum dalam sub-bab berikut ini: Pilihan Hukum dan Makna Sosial Hukum, Pilihan Hukum dan Fungsi Hukum, Relevansi Studi Pilihan Hukum dan Makna Sosial Hukum, Konteks Perubahan Sosial, dan Sifat Pendekatan. Saya kiranya perlu untuk membahas sedikit tentang konsep-konsep di atas, tujuannya agar pembaca memahami batasan buku ini dan memiliki bekal akademik untuk membaca buku ini secara keseluruhan.
Sarana formal untuk mencapai makna di atas adalah peradilan negara. Namun dalam penerapannya di Indonesia, legitimasi peradilan negara akan berhadapan dengan legitimasi lokal/kultural. Legitimasi mana yang lebih besar, itulah yang akan menjadi pilihan hukum masyarakat untuk menyelesaikan masalah. Hal ini dapat diketahui lebih jauh melalui kajian tentang penggunaan pengadilan oleh masyarakat. Hal yang menambah rumit adalah bahwa pengadilan bukanlah sumber tunggal bagi masyarakat dalam memperoleh nilai-nilai hukum, secara riil masyarakat dalam memperolehnya dari sumber-sumber lain semisal pranata keluarga, lingkungan sekitar, adat-istiadat, tempat kerja, dan sebagainya. Hal yang dikhawatirkan dari legitimasi sosio-kultural adalah tindak main hakim sendiri. Kasus lain tentang masalah pilihan hukum adalah kasus yang sudah diajukan ke pengadilan kemudian ditarik untuk diselesaikan dengan jalan damai. Secara etis, pengadilan bukanlah hanya tempat proses administratif dan kearsipan perkara. Faktor-faktor yang menentukan dipilih atau tidaknya pengadilan diantaranya: a. faktor tujuan, sumber daya, dan strategi yang ditempuh oleh para pihak; b. proses yang harus ditempuh individu di pengadilan; c. terkadang, keputusan pengadilan tidak sesuai dengan ekspektasi para pihak Point terakhir yang menarik untuk dibicarakan, bahwa hal tersebut terjadi karena ada pemaknaan ganda atas norma-norma otoritatif. Norma-norma tersebut sejatinya disusun agar bisa mencakup semua dan tidak ada celah hukum di dalamnya. Faktanya tidak demikian. Oleh karena itu untuk menyelesaikan masalah tersebut perlu ada program penyeragaman hukum yang beroperasi agar tunduk terhadap hukum formal yang uniform. Kiranya perlu disampaikan di sini beberapa dampak dari adanya pengadilan, harapannya pilihan-pilihan hukum masyarakat dijatuhkan pada pilihan yang tepat. Dampak pengadilan diantaranya: a. dampak khusus; b. dampak umum; c. dampak fasilitatif; d. dampak mobilisasi dan demobolisasi Kritikan yang saya sampaikan kaitannya dengan materi ini adalah perlu ada kajian sosiologis yang lebih mendalam untuk dapat menyajikan analisis-analisis sosiologis yang lebih baik. Jadi ketika ada pilihan-pilihan hukum yang ditempuh oleh masyarakat, dan yang dipilih bukan lah hukum negara, maka hal ini tidak dapat disalahkan sepenuhnya. Buku ini secara implisit seolah menempatkan masyarakat yang tidak memilih hukum negara sebagai suatu bentuk kekeliruan. Sebagaimana dikutipkan pendapat Galanter di halaman 9-10. Dalam konsep sosiologi dikenal banyak sekali proses sosial, termasuk diantaranya adalah interaksi sosial, baik yang asosiatif maupun disosiatif. Di tengah dikotomi tersebut terdapat proses sosial yang disebut akomodasi. Akomodasi wajar adanya sebagai salah satu proses sosial, dan itulah cara masyarakat berinteraksi dengan sesamanya. Akomodasi juga sangat beragam jenisnya, diantaranya koersi, kompromi,
arbitrasi, mediasi, konsiliasi, toleransi, stalemate, ajudikasi, segregasi, eliminasi, subjugasi/dominasi, keputusan mayoritas, konversi, dan gencatan senjata.
selama ini hukum di Indonesia dipersepsikan sebagai hukum yang berkedudukan istimewa dan memiliki kemampuan sebagai alat perubahan sosial yang efektif. c. studi tentang pilihan hukum dan makna sosial hukum dilihat sebagai sebuah ajakan untuk melihat hukum negara dalam konteks pluralisme hukum masyarakat Indonesia yang sangat majemuk. d. Studi tentang pilihan hukum dan makna sosial hukum di Indonesia belum begitu diminati, oleh karena itu belum ada model, konsep, dan gambaran yang cukup komprehensif tentang sosok, dinamika, dan implikasi makna sosial hukum dalam masyarakat. Pluralitas di Indonesia menciptakan beberapa dampak, diantaranya a. Persaingan kebenaran antara hukum negara dan kearifan lokal, inilah yang kemudian menciptakan kemacetan pemberlakuan hukum negara. Alasannya, masyarakat merupakan kumpulan manusia yang sudah memiliki sistem kehidupannya sendiri (ordering belief framework). Yang perlu diperhatikan agar hukum negara itu dapat diterima adalah hukum tersebut harus rasional-logis dan dapat dipertanggungjawabkan dalam kerangka sosial, budaya, dan struktural. b. Klaim kebenaran tidak bisa mutlak dilakukan, susah untuk menentukan mana yang mutlak benar, dan mana yang mutlak salah. Ada beberapa pilihan masyarakat, tidak memilik atau melakukan sintesa atas beberapa fakta untuk menentukan pilihan. c. Terjadi persaingan antara hukum dan kebiasaan. d. Kesenjangan antara hukum dan pemaknaannya oleh masyarakat mempengaruhi pola kepatuhan masyarakat terhadap hukum dan efektivitas bekerjanya hukum. e. Perbedaan persepsi masing-masing masyarakat pendukung kebudayaan tertentu, faktor-faktor yang menyebabkan diantaranya: komitmen masyarakat pada nilai dan norma lokal; minimnya pengetahuan hukum; perilaku yang berseberangan dengan hukum; dan kendala biaya serta kemampuan beracara Bab ini sudah dengan lugas membicarakan pilihan hukum dan makna sosial hukum yang menjadi hak masyarakat untuk melakukannya. Ada beberapa kekurangan, salah satunya adalah penyebutan undang-undang dan pasal-pasal tanpa ada penjelasan mengenai isi undang-undang dan pasal-pasal tersebut. Bagi pembaca yang telah banyak berkecimpung di dunia ilmu hukum mungkin ini tidak menjadi masalah. Namun ketika pembaca bukanlah orang yang awam tentang hukum, akan susah untuk mengikuti pembicaraan tentang masalah tersebut.
f. norma hukum negara, hukum agama, hukum adat dan lain sebagainya memiliki peluang yang sama untuk mengatur dan mengendalikan masyarakat. Bahasan selanjutnya terlihat tidak relevan dengan judul sub bab, karena yang dibahas adalah hasil penelitian penulis tentang pilihan hukum masyarakat ketika sedang mengalami sengketa tanah.
Sifat Pendekatan
Tiga pendekatan kualitatif yang digunakan dalam penelitian ini adalah: a. Pendekatan Empirik Pendekatan ini dapat mengungkapkan bagaimana relasi antara manusia yang bertindak dengan aneka sistem normatif yang ada. b. Pendekatan Antropologi Hukum Pendekatan ini menyoroti tindakan manusia yang memiliki makna tertentu akibat responsnya sebagai aktor terhadap aneka sistem normatif yang ada. c. Studi Sengketa Pendekatan ini dapat digunakan untuk menelusuri argumen-argumen yang dikemukakan oleh para pihak yang terlibat sengketa, siapa saja yang dilibatkan, serta hukum apa yang dipakai sebagai dasar penyelesaian. Hal yang dapat diungkapkan dari pendekatan ini adalah sejarah sengketa, norma/forum yang bermakna sosial bagi masyarakat, dan simpulan tentang preferensi masyarakat. Ketiga pendekatan ini kiranya tepat guna mengungkap fakta-fakta lapangan sehingga kajian tentang pilihan hukum dan makna sosial hukum dapat digali dengan baik dan objektif.
l. Masyarakat yang belum sepenuhnya merasakan kehadiran hukum, atau unthinking law. Hal ini disebabkan oleh: Hukum belum ditunjang oleh pertumbuhan masyarakat yang sesuai dengan tuntutan hukum Konstruksi hukum yang bertelingkah dengan kondisi objektif masyarakat Aturan hukum berada di luar kepentingan masyarakat Dari masalah-masalah tersebut di atas, solusi yang ditawarkan dalam bab ini adalah: a. Hukum disusun sedemikian rupa sehingga compatible dengan kebutuhan masyarakat, hukum harus menjadi jawaban sah/paspor lokal yang fungsional dan kontekstual untuk menyelesaikan masalah riil yang dihadapi masyarakat. b. Kebijakan hukum yang memperhitungkan secara adil dan seimbang dari segi keBhineka-annya. c. Fungsi hukum untuk menyelesaikan masalah tidak hanya dipusatkan pada pengadilan sebagai sebuah organisasi, tetapi justru pada cara-cara yang harus ditempuh dalam menangani masalah. d. Pihak-pihak yang bermasalah diharuskan melakukan proses mediasi sebelum diizinkan diperiksa oleh pengadilan. Kaitannya dengan pilihan hukum sebagai tindakan sosial, kiranya yang perlu digarisbawahi adalah pendapat Keebet Von Benda Beckmann, bahwa kecenderungan pihak-pihak yang bersengketa menentukan pilihan diantara lembaga-lembaga yang ada (lembaga adat dan pengadilan negeri) adalah pada lembaga yang dipandang menguntungkan sesuai dengan apa yang diharapkan.
10
11
produk yang ditentukan oleh struktur atau situasi obyektif tapi sebagaian merupakan aktor-aktor yang bebas. Seidman lebih melihat bahwa tindakan yang dilakukan seseorang sebagai pemegang peran berkaitan dengan ganjaran dan hukuman. Setiap orang selalu memperhatikan keuntungan dan kerugian yang akan diterimanya jika pilihan tindakan itu dilakukan atau dipilih. Homans sebagai pencetus teori pertukaran menyatakan bahwa bahwa suatu tindakan adalah rasional apabila berdasarkan perhitungan untung rugi Semakin tinggi biaya yang dikeluarkan maka semakin kecil kemungkinan tingkah laku serupa akan diulang. Sedangkan Blumer penganut aliran interaksionis simbolik berpendapat bahwa manusia tidak dilihat sebagai produk yang ditentukan oleh struktur tapi merupakan aktor-aktor yang bebas. Budaya, sistem sosial, stratifikasi sosial tidak menentukan tindakan individu. Berdasarkan otonomi yang dimilikinya individu mempu memebuat pilihan-pilihan yang bersifat independen mengenai tindakan apa yang ia lakukan. Pilihan tersebut berkaitan dengan makna atas obyek. Makna pada dasarnya merupakan intepretasi yang diberikan seseorang atas suatu obyek. Dalam suatu tindakan makna tersebut dipakai sebagai instrumen yang mengarahkan suatu tindakan. Dengan makna tersebut bisa saja orang menganggap bahwa berperkara ke pengadilan merupakan suatu cara yang ideal oleh karena pengadilan dilihat sebagai tempat memperoleh perlindungan atas hak-hak yang diperjuangkannya. Tapi mungkin bagi orang lain berperkara ke pengadilan dianggap sebagai aksi gagah-gagahan yang kurang terpuji Penyelesaian sengketa baik melalui pengadilan atau di luar pengadilan menurut Giddens adalah suatu pilihan tindakan strategis. Dalam setiap tindakan aktor memperhatikan sumber sebagai media yang menjadi suatu kekuatan yang digunakan dalam suatu tindakan. Adapun sumber yang dimaksud bisa berupa kedudukan, kemamuan keuangan, mempunyai bukti-bukti yang kuat atas pemilikan tanah dsb. Sumber-sumber semacam ini dalam pilihan stratgis dapat digunakan oleh aktor sebagai sarana mencapai hasil atau tujuan yang diharapkan. Beragam teori tersebut memberikan gambaran bahwa pilihan bentuk penyelesaian sengketa bukan didasari oleh sebab tunggal.
12
13
lain, masing-masing berpedoman pada orientasi religius yang berbeda, dan terdapat perasaan saling curiga diantara mereka. Beberapa orang yang memilih pengadilan untuk menyelesaikan sengketa karena beberapa alasan antara lain mempertahankan harga diri sebagai pemilik, jalur negosiasi mengalami kebuntuan , dan pengadilan dianggap memiliki otoritas yang kuat dan adanya keputusan yang dapat dipaksakan. Dilihat dari sisi penggugat terdapat beberapa fakta yang memungkinkan mereka memilih pengadilan yaitu memiliki bukti formal, memiliki relasi dan kemampuan untuk membayar pengacara, dan memiliki bukti berupa sertifikat. Dilihat dari sudut hukum negara penyelesaian sengketa melalui pengadian memilki kelebihan khususnya dalam hal jaminan kepastian hukum. Tiap putusan pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum yang tetap apabila tidak dilaksanakan secara sukarela maka putusan tersebut dapat ditegakkan secara paksa. Hal ini berbeda dengan penyelesaian di luar pengadilan tidak tertutup kemungkinan salah satu pihak yang berperkara membuka kembali persoalan tersebut di kemudian hari. Sedangkan alasan tidak memilih pengadilan untuk menyelesaikan sengketa adalah faktor ekonomi dan juga menghindari permusuhan, karena jika diselesaikan lewat pengadilan mereka khawatir akan mengancam hubungan baik dan persaudaraan karena pola menang kalah.
14
PERADILAN KONSILIASI
Harus diakui bahwa persoalan utama yang dihadapi masyarakat pedesaan di bidang peradilan dewasa ini adalah bagaimana memperoleh kepastian hukum tanpa mengorbankan keadilan dan jaminan kerukunan serta bagaimana memperoleh keadilan dan jaminan kerukunan yang didukung oleh kepastian hukum.Tantangan paling keras di bidang peradilan dewasa ini adalah menemukan forum yang mampu memenuhi kebutuhan rasa keadilan dan kerukunan masyarakat sekaligus jaminan kepastian hukum. Dibutuhkan sistem beracara yang dapat dimasuki rakyat biasa yang paling sederhana sekalipun untuk mendialokkan kepentingan mereka secara lebih komunikatif tanpa banyak dibebani halangan-halangan teknik, prosedur, dan biaya mahal. Sistem beracara yang demikian yang disebut dengan peradilan konsiliasi. Konsep di sini menunjuk pada mekanisme dan prosedur mengadili yang berbeda dengan pengadilan sebagai lembaga. Peradilan yang dikehendaki adalah peradilan yang mengakomodasi secara seimbang sistem formal dan sistem informal. Peradilan konsiliasi merupakan bentuk peradilan yang mampu mengakomodasi secara proposional dan adil aspek formal dan informal (aspirasi dan kebutuhan sosial ) dalam mekanisme, pertimbangan, dan keputusannya. Unsur dan mekanisme forum yang diharapkan antara lain: Pertama adanya semacam dokumen yang berisi keluhan kedua belah pihak yang bersengketa. Dokumen ini menjadi dasar penyelesaian sengketa dalam forum tersebut. Kedua adanya komisi penyelesaian sengketa yang terdiri dari hakim dan wakil para pihak sebagai konsiliator. Para wakil tersebut adalah mereka yang sungguh-sungguh mengetahui perihal obyek sengketa dan memahami nilai-nilai sosial budaya dara masyarakat tempat para pihak berasal. Ketiga diharapkan jangka waktu persidangan ditetapkan batas maksimum tidak lebih dari tiga bulan. Batasan waktu tersebut terkait dengan kebutuhan warga masyarakat dalam memanfaatkan tanah bagi pemenuhan kebutuhan mereka (terutama yang mengantungkan hidupnya dari tanah). Keempat dalam memutuskan kasus lebih diutamakan pendekatan konsensus dalam mempertemukan kepentingan pihak yang bersengketa. Kelima, keputusan harus merupakan hasil dari korespondensi antara realitas sosial dari kasus dengan premis-premis aturan hukum. Keenam, keputusan komisi tersebut (entah berupa kesepakatan ataupun hukuman) harus berkekuatan hukum sebagaimana putusan pengadilah, dan bersifat final. Ketujuh, kekpeutusan tersebut dituangkan dalm bentuk tertulis sebagai dasar hukum yang pasti. Beberapa argumentasi yang dipakai untuk menyebut peradilan tersebut sebagai peradilan rekonsiliasi yaitu: Pertama selamaini menyangkut hukum dan peradilan pihak negara selalu berada dalam posisi yang berseberangan. Hukum dan pengadilan negara terlalu teknis, formalitis, prosedural sehingga sulit dimasuki oleh rakyat. Di pihak lain rakyat yang begitu plural memilihi aspirasi yang juga begitu heterogen sehingga amat sulit diartikulasi dalam bingkai hukum yang menuntut perumusan yang jelas, tegas, dan spesifik. Kedua, pengadilan yang selama ini dipakai sebagai pengadilan standar dikelola sepenuhnya oleh aparatur peradilan dengan sedikit sekali partisipasi para pihak dalam menentukan putusannya. Putusan pengadilan tersebut lebih banyak bersifat win los solution yang secara diametral berseberangan dengan sifat tepa seliro dan menang tanpa ngalahake dalam budaya Jawa untuk mengatasi konflik. Ketiga, putusan-putusan pengadilan lebih banyak bersifat win loss sulution
15
atau winner takes all. Keempat, jika dilihat dari berbagai regulasi menyangkut pengadilan, maka pengadilan negara merupakan pengadilan yang legitimasinya bersandar pada kekuatan legalitas dan legitimasi negara bukan pada kekuatan legitimasi kultural yang bersifat lokal. Model peradilan konsiliasi memiliki signifikansi karena beberapa alasan yaitu: Pertama, berkaitan dengan asas bahwa pengadilan dilakukan dengan sederhana, cepat, dan biaya yang ringan. Kedua, bahwa realitas masyarakat kontemporer Indonesia lebih bersifat prismatik ketimbang tradisional ataupun modern. Yakni masyarakata yang ditandai oleh adanya struktur sosial berbagai komunitas yang terdapat dalam masyarakat yang bersifat polycomunal. Ketiga, dewasa ini sering terjadi krisis kepercayaan terhadap hukum dan pengadilan akibat manipulasi yang dilakukan aparat penegak hukum. Keempat, pengadilan konsiliasi merupakan forum yang searah dengan sejumlah peraturan perundang-undangan yang menawarkan penyelesaian alternatif. Kelima, pengadilan konsiliasi yang memungkinkan keterlibatan aktiv dari masyarakat selain dapat mengurangi permainan kotor dalam lembaga peradilan juga dapat menjadi tempat sosialisasi hukum demi meningkatkan kepercayaan dan kesadaran hukum masyarakat. Keenam, pengadilan konsiliasi dapat memperlancar akses masyarakat pada keadilan karena masyarakat ikut menentukan substansi penyelesaiannya. Lewat mekanisme tersebut terbuka kesempatan bagi tercapainya penyelesaian yang dapat diterima oleh semua pihak.
16
17
kedudukannya sebagai sesuatu institusi yang melakukan pengintegrasian terhadapa proses-proses yang berlangsung dalam masyarkat, maka hukum menerima masukanmasukan dari bidang ekonomi, politik, dan budaya untuk kemudian diolah menjadi keluaran-keluaran yang dikembalikan dalam masyarakat. Jika institusi hukum hendak berfungsi sebagai sarana pengintegrasi, maka ia harus diterima oleh masyarakat untuk menjalankan fungsinya itu. Hal ini berarti bahwa para anggota harus dapat dimotivasikan untuk menggunakan institusi hukum sebagai sarana penyelesaian konflik-konfliknya. Kaitannya dengan berbagai fenomena sosial, dalam hal ini perlu ada motivasi dari warga masyarakat untuk menggunakan sarana hukum, pengadilan untuk menyelesaikan sengketa yang mereka hadapai. Artinya, pengadilan baru melaksanakan fungsinya jika ada perkara yang diajukan padanya. Selama tidak ada perkara yang masuk, pengadilan tidak dapat melakukan fungsinya tersebut. Khususnya dalam bidang perdata, termasuk sengketa tanah, badan peradilan dapat melakukan fungsinya untuk menyelesaikan sengketa, sangat tergantung pada pihakpihak yang berperkara. Tentu saja, terdapat beragam faktor yang menentukan dipakai tidaknya pengadilan sebagai dforum penyelesaian sengketa. Menurut Seidman, hukum mempengarui pilihan tindakan manusia dlam dua cara yaitu secara langsung dan tidak langsung. Hukum mempengaruhi secara langsung karena beberapa hal antara lain: Pertama, individu yang bersangkutan merasa hukum itu merupakan perintah yang bersifat memaksa. Kedua, hukum itu memberikan perangsang yang harus diperhitungkan. Ketiga, bahwa hukum itu benar sehingga perlu dipatuhi. Sedangkan hukum mempengaruhi secara tidak langsung, karena individu memperhatikan dan mengikuti pola-pola perilaku yang dilakukan orang lain secara berulang-ulang atau sudah melembaga dalam kehidupan masyarakat. Menggunakan atau tidak menggunakan pengadilan, bisa disebabkan oleh adanya faktor korelasi antara tujuan yang hendak dicapai dan stratifikasi masyarakat yang bersangkutan.
18
Buku berjudul Masyarakat dan Pilihan Hukum yang ditulis oleh Dr. Indah Sri Utari sangat lugas dan memang sesuai dengan konteks masyarakat sekarang. Buku ini memeberikan gambaran yang sangat lugas dan sangat jelas bagaimana proses masyarakat biasa mencari keadilan dalam sebuah sengketa yang dialaminya. Tidak hanya mengkritik tentang hukum positif yang selama ini banyak digunakan oleh masyarakat Indonesia tapi buku ini juga memberikan solusi sebuah peradilan baru yang tidak hanya memberikan kepastian hukum tapi juga memberikan sebuah keadilan dengan memperhatikan kondisi sosio-kultural masyarakat yang dalam buku ini disebut sebagai peradilan konsoliasi. Buku ini benar-benar menggambarkan realitas yang ada di masyarakat. Bahwa betapa banyak masyarakat yang masih kesulitan dalam mencari sebuah keadilan karena keterbatasn sumber daya yang mereka miliki. Peradilan konsiliasi ini memberi alternatif solusi. Konsep seperti ini sudah seharusnya bisa ditindaklanjuti oleh pemerintah. Bahwa produk hukum yang ada harus sesuai dengan jiwa rakyat Indonesia. Buku ini juga sangat ilmiah karena beragam teori diungkap secara detail sebagai pisau analisis untuk memahami fenomena yang ada di masyarakat khususnya untuk masalah sengketa yang dihadapi. Teori-teori sosial mulai dari Parson, Van peursen, Homans, Mead, sampai dengan Antony Giddens diulas secara detail dan digunakan oleh penulis secara tajam memberikan gambaran yang jelas tentang fenomena sosial yang ada. Diungkap bagaimana ketika seseorang menentukan pilihan dalam tindakan sosialnya dalam hal ini pilihan dalam memilih forum hukum dalam menyelesaikan masalah menjadi semakin ilmiah karena dibingkai dengan beberapa asumsi yang ada. Buku ini mengungkap betapa tidak mudah untuk memahami posisi hukum dalam masyarakat. Ketidakmudahan itu dimungkinkan banyak misalnya saja berkenaan dengan pemahaman terhadap hukum itu sendiri. Pemamahan publik terhadap hukum tidaklah sama. Akan tetapi hal itu tidaklah sekaligus berarti apa yang dinamakan dengan hukum itu menjadi sesuatu yang abstrak. Artinya publik maupun kalangan hukum sendiri bisa dengan mudah memahami esensi dari apa yang disebut dengan hukum. Tapi hal itu tidak sekaligus menjelaskan bagaimana posisi hukum dalam masyarakat. Kelebihan dalam buku yang sangat menarik adalah betapa solusi yang ditawarkan begitu sangat berharga. Konsep peradilan konsiliasi yang ditawarkan sudah seharusnya mendapat perhatian dari pemerintah. Saya sepakat bahwa itulah yang dibutuhkan oleh masyarakat Indonesia yang masih memegang teguh adat dan nilainilai lokal yang ada. Solusi ini membuka cakrawala baru bagi dunia peradilan di Indonesia yang kini makin jauh dari rasa kepercayaan rakyatnya. Rakyat berusaha mencari keadilan lain di luar forum negara. Buku ini mengungkap bahwa pemahaman yuridis para yuris bukan satu-satunya makna sosial hukum yang mutlak diterima semua pihak sebagaimana kecenderungan deewasa ini. Lebih tepat dikatakan bahwa masing-masing individu maupunkelompok memiliki kesempatan untuk memaknai hukum dalam konteks pergumulan dan sistem situasi yang mereka hadapi. Buku ini sangat bagus karena mengungkap bagaimana pranata-pranata formal memang menikmati keadaan yang hampir seluruhnya monopoli dalam memaksa rakyat untuk
19
memenuhi suatu aturan, namun pranata-pranata tersebut tidak mempunyai monopoli jenis apapun terhadap aneka bentuk pemaksaan efektif dan bujukan efektif lainnya pada seseorang. Kelebihan lain dari buku ini adalah bahwa buku tentang pilihan hukum dan penggunaan makna sosial ntuk sebagai perspektif sangat bermanfaat untuk mengkaji fenomena yang muncul dalam konteks pluralisme hukum. Sebab secara teoritis maupun faktual, pluralisme hukum merupakan realitas yang memungkinkan warga masyarakat melakukan pilihan norma dan dan forum hukum untukmenyelesaikan sengketa yang mereka hadapi. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa secara sosiologis, aneka norma dan lembaga hukum yang ada, tidak lebih dari suatu kenyataan sosial yang dihadapi seseorang, dan sekalian itu dapat dimaknai secara sosial oleh warga masyarakat. Jelas di sini, bahwa warga masyarakatlah yang menentukan makna dari semua norma / forum hukum itu. Dengan kata lain secara faktual, bukan hukum yang mengontrol warga masyarakat, tetapi sebaliknya warga masyarkatlah yang mengontrol hukum. Dipilih tidaknya suatu norma atau forum hukum, sangat ditentukan oleh kebutuhan dan sistem situasi yang dihadapi sesorang. Tidak banyak kekurangan dari buku ini. Beberapa hal yang bisa saya kritiki sebagai berikut: 1. Masalah sistematika Dalam beberapa bab yang disampaikan menurut saya akan lebih sistematis jika maslah fungsi hukum dalam masyarakat yang ditulis di bab VIII akan lebih baik jika disajikan dalam bab awal. Dimana para pembaca akan lebih memahami fungsi hukum itu sendiri sebelum mengetahui lebih jauh dan memaknai lebih jauh tentang pilihan hukum yang akan ditempuh masyarakat. Salah satu fungsi hukum adalah sebagai alat penyelesaian sengketa atau konflik, disamping fungsi yang lain sebagai alat pengendalian sosial dan alat rekayasa sosial. Pembicaraan tentang hukum barulah dimulai jika terjadi suatu konflik antara dua pihak yang kemudian diselesaikan dengan bantuan pihak ketiga. Dalam hal ini munculnya hukum berkaitan dengan suatu bentuk penyelesaian konflik yang bersifat netral dan tidak memihak. Pelaksanaan hukum di Indonesia sering dilihat dalam kacamata yang berbeda oleh masyarakat. Hukum sebagai dewa penolong bagi mereka yang diuntungkan, dan hukum sebagai hantu bagi mereka yang dirugikan. Hukum yang seharusnya bersifat netral bagi setiap pencari keadilan atau bagi setiap pihak yang sedang mengalami konflik, seringkali bersifat diskriminatif, memihak kepada yang kuat dan berkuasa. Dengan mengerti fungsi hukum akan lebih mudah juga memaknai makna sosial hukum. Hal ini sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Roberto M. Unger (2011;54), tampaknya hukum adalah subjek kajian yang bermanfaat karena upaya untuk memahami signifikansinya akan mengarahkan kita lansung menuju inti tiap-tiap masalah besar yang belum terpecahkan dalam teori sosial. Lebih jauh dikemukakan Roberto M. Unger, bahwa hukum terlihat dalam masalah metode. Setelah paham Aristoteles ditolak dalam pemikiran politik, fenomena atau gejala sosial perlu dijelaskan dan digambarkan dalam istilah-istilah yang berbeda dengan istilah-istilah tradisional untuk tujuan dan manusia. Namun, pada saat yang sama menjadi jelas bahwa kita memang mengandalkan peraturan-peraturan preskriktif. Peraturanperaturan ini bukan sekedar fakta tanpa signifikansi moral bagi orang-orang yang
20
membuat, menerapkan, dan menaatinya, serta memberikan penghargaan atau kecaman dengan berpedoman pada peraturan-peraturan tersebut. 2. Kajian dalam buku ini memerlukan analisis sosiologis dan antropologis yang lebih mendalam. Artinya sebaiknya harus mulai mempelajari proses-proses non formal yang terjadi di masyarakat . Peran analisis sosiologis dan antropologis digunakan, karena kajian ini ingin melihat berbagai aspek sosial-budaya dari kebijakan, yakni keterkaitan antara kebijakan dengan manusia-manusia pembuat dan pelaksana kebijakan tersebut. Pemelahan hukum secara sosiologi menunjukan bahwa hukum merupakan refleksi dari kehidupan masyarakat. Yakni merupakan refleksi dari unsur unsur sebagai berikut: a. Hukum merupakan refleksi dari kebiasaan, tabiat, dan perilaku masyarakat. b. Hukum merupakan refleksi hak dari moralitas masyarakat maupun moralitas universal. c. Hukum merupakan refleksi dari kebutuhan masyarakat terhadap suatu keadilan dan ketertiban sosial dalam menata interaksi antar anggota masyarakat. Dalam masyarakat modern, hubungan antar warga tidak lagi sebatas kekerabatan, klen, suku dan sebagainya, tetapi lebih luas lagi menyangkut hubungan antara warga dan pemerintah. Perluasan konteks hubungan sosial ini sebagai akibat dari semakin terintegrasinya komunitas-komunitas lokal ke dalam organisasi negarabangsa. Hubungan antar warga negara-bangsa diatur oleh suatu penyelenggara negara yang biasa dikenal sebagai pemerintah dan lembaga-lembaga legislatif. Institusi penyelenggara negara selalu berkeinginan untuk mempengaruhi masyarakat dengan usaha menata dan mengatur warga masyarakat. Dalam negara modern warga masyarakat diatur oleh berbagai peraturan yang tidak terhitung jumlahnya yang dibuat oleh kaum birokrat di pemerintahan. (Haviland dalam Britan dan Cohen, 1980b). Berbagai peraturan yang dikeluarkan itu adalah refleksi dari kebijakan institusi atau birokrasi negara. Untuk mengkaji suatu kebijakan, paling tidak ada dua cara yang harus diketahui, yaitu kajian yang melihat isi kebijakan (policy content) dan kajian yang melihat bagaimana kebijakan sebenarnya dibuat dan dilaksanakan (policy process). Kajian isi kebijakan (policy content) kebanyakan berupa analisis legal-normatif. Kajian antara lain ingin melihat konsistensi kebijakan yang ada dalam peraturan perundang-undangan, perubahan kebijakan dari waktu ke waktu serta ketercakupan prinsip-prinsip keadilan dalam isi kebijakan. Kajian proses kebijakan (policy process) lebih mengarah pada analisis sosiologis dan antropologis, disamping analisis yang berkembang dalam kajian organisasi (administrasi). Peraturan Nagari tidak bisa dilihat dari perspektif Hukum Negara saja, namun secara luas juga merupakan perwujudan dari kearifan lokal yang ada disuatu masyarakat hukum adat. Jika dahulunya, masyarakat adat identik dengan hukum adat yang tidak tertulis dan merupakan kesepakatan bersama dalam suatu kesatuan masyarakat hukum adat, maka saat ini hukum adat yang tidak tertulis itu diharapkan berevolusi menjadi sebuah aturan yang tertulis namun tetap bernafaskan kearifan lokal. Namun dalam perkembangan saat ini bagi masyarakat modern terjadi pergeseranpergeseran dimana akibat faktorfaktor tertentu menyebabkan kurang percayanya masyarakat terhadap hukum yang ada, diantaranya faktor penegak hukum yang menjadikan hukum atau aturan sebagai alasan untuk melakukan tindakantindakan yang dianggap oleh masyarakat mengganggu. Bahkan banyak masyarakat yang merasa telah dirugikan oleh oknumoknum penegak hukum disebabkan keawaman mereka tentang masalah hukum sehingga dengan mudah dapat dimanfaatkan sebagai objek penderita. Dalam abad Ke-21 terjadi perkembangan diberbagai bidang hukum dimana
21
sebagian hukum disebagian negara sudah menyelesaikan pengaturannya secara tuntas, tetapi sebagian hukum di negara lain masih dalam proses pengaturannya yang berarti hukum dalam bidang-bidang tersebut masih dalam proses perubahannya. Hukum merupakan kaidah untuk mengatur masyarakat, karena itu hukum harus dapat mengikuti irama perkembangan masyarakat, bahkan hukum harus dapat mengarahkan dan mendorong berkembangnya masyarakat secara lebih tepat dan terkendali. Kerena terdapatnya ketertiban sebagai salah satu tujuan hukum, dengan begitu terdapat interaksi antara hukum dan perkembangan masyarakat. Namun faktor lain yang perlu diperhatikan juga adalah kesadaran hukum masyarakat itu sendiri. Faktor kesadaran hukum ini sangat memainkan peran penting dalam perkembangan hukum artinya semakin lemah tingkat kesadaran masyarakat, semakin lemah pula kepatuhan hukumnya sebaliknya semakin kuat kesadaran hukumnya semakin kuat pula faktor kepatuhan hukum. Sehingga proses perkembangan dan efektifitas hukum dapat dirasakan langsung oleh masyarakat. 3. Dari penjelasan buku yang ada masalah hukum negara yang superlatif selayaknya dikaji secara tersendiri. Hal ini dilakukan agar pembaca secara mudah menangkap maksud mengapa orang sekarang cenderung menyelesaikan sengketanya di luar pengadilan. Pertanyaan yang kemudian muncul apakah hukum negara begitu superlatif di atas norma-norma lain? Dan dapat efektif mengatur perilaku masyarakat Indonesia yang begitu plural? Pertemuan norma antara hukum negara dengan norma kebiasaan tidak selalu berwujud keterbauran yang padu/tidak padu, tetapi juga melahirkan benturan kesenjangan. Ada persaingan antar kebenaran dari hukum dan budaya; formal dan informal. Benturan yang timbul disekitar pertemuan hukum nasional dan hukum lokal melahirkan kemacetan pemberlakuan hukum ditingkat lokal. Terhadap gejala yang demikian itu, tidak sedikit orang memahaminya sebagai fenomena ketidaksadaran hukum, bukan dimengerti sebagai ketidakpatuhan hukum. Melalui proses intelektual dan proses hati nurani, pembaca akan lebih mengerti sampai pada kesepakatan bersama, yaitu berkehendak atas kebenaran dan kebaikan serta keindahan sebagai nilai yang berguna, bermanfaat bagi semua pihak. Nilai kegunaan (utility value) adalah hal yang benar, yang baik, yang indah karena bermanfaat bagi semua pihak. Nilai kegunaan adalah menyenangkan, saling menguntungkan, dan mensejahterakan semua pihak. Akhirnya manusia menjadi penentu, untuk berkehendak memilih yang benar menurut akal dan sekaligus baik menurut hati nurani karena pilihan itulah yang indah dan bermanfaat. Manusia kodrati ciptaan Tuhan Yang Maha Kuasa selalu mengambil keputusan yang benar menurut akal (intelektual) dan baik serta indah menurut hati nurani. Ukuran benar menurut intelektual dan baik serta indah menurut hati nurani adalah bermanfaat bagi diri sendiri dan bagi orang lain. 4. Perlu dikaji apakah pengakuan terhadap masyarakat adat yang dilakukan oleh berbagai pihak saling menguatkan apa malah sebaliknya melemahkan. Konsep kerja masyarakat adat jelas berhubungan langsung dengan tanah. Diperlukan penegasan perlindungan terhadap hak-hak masyarakat adat sebagai warga Negara dalam mengakses keadilan dan HAM. Bagaimana warga negara mempunyai HAM yang harus dijunjung tinggi oleh pemerintah sebagai pelindung rakyatnya dalam menegakkan HAM dan mencari sebuah keadilan. Mengabaikan aspek kehidupan yang dipedomani peraturan ini berarti mengabaikan makna subjektif prilaku. Karena itu harus ditentukan hubungan antara kajian ilmiah untuk mencari keteraturan faktual dalam masyarakat dengan penggunaan peraturan
22
dalam kehidupan sehari-hari. Inti teori masyarakat adalah menerangkan hubungan antara hukum yang menerangkan (law that describes) dan hukum yang bersifat mengatur (law that ordains). Kajian terhadap hukum berhubungan erat dengan masalah tatanan sosial. Doktrin kepentingan pribadi dan doktrin konsensus mencakup dan bergantung pada pandangan-pandangan yang bertentangan mengenai peraturan. Jika kita mengetahui dalam keadaan seperti apa berbagai jenis hukum akan muncul, mungkin kita pun mampu melihat batasan-batasan dan kegunaan kedua padangan dasar tentang tatanan itu dan menyusun cara untuk menyatakannnya. Resolusi untuk masalah komodernan mengharuskan kita menemukan hubungan antara ideologi dominan yang menempatkan hukum impersonal sebagai pusat masyarakat dan pengalaman keseharian taktala hukum tersebut hanya berdiri di pinggiran kehidupan sosial. Jadi kajian tentang posisi hukum dalam masyarakat modern mempersatukan hal-hal penting dalam teori sosial, namun juga mengarahkan hal-hal itu pada topik yang dapat didefenisikan secara sangat kongkrit. Dengan semua itu kita bisa mencermati apakah hukum lokal lebih bisa menguatkan dalam mencari keadilan dibandingkan hukum negara yang superlatif.
23