You are on page 1of 14

REFERAT

PATOMEKANISME VARICELLA ZOSTER VIRUS (VZV)


Disusun Untuk Memenuhi Tugas Dokter Muda Stase Ilmu Kulit dan Kelamin

Dokter Pembimbing :

dr. Sunaryo, Sp.KK

Diajukan Oleh: DIEN KALBU ADY J500050040

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2010 1

REFERAT

PATOMEKANISME VARICELLA ZOSTER VIRUS (VZV)


Yang Diajukan Oleh : DIEN KALBU ADY J500050040

Telah disetujui dan disahkan oleh Bagian Program Pendidikan Profesi Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta Pada hari , 2010

Pembimbing : dr. Sunaryo, Sp.KK (..................................)

Dipresentasikan di hadapan : dr. Sunaryo, Sp.KK (.................................)

Disahkan Ketua Program Profesi : dr. Yuni Prasetyo, M.Kes (.................................)

ii 2

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL............................................................................................. HALAMAN PERSETUJUAN.............................................................................. DAFTAR ISI......................................................................................................... I. PENDAHULUAN ............................................................................................. A. Latar Belakang ........................................................................................... B. Rumusan Masalah ...................................................................................... C. Tujuan ...... ................................................................................................ D. Manfaat ..... ............................................................................................... II. TINJAUAN PUSTAKA .................................................................................. A. Definisi .................................................................................................

i ii iii 4 4 5 5 5 6 6 7 9 12 13

B. Patomekanisme ......................................................................................... C. Patomekanisme seluler ............................................................................. III. KESIMPULAN............................................................................................... DAFTAR PUSTAKA............................................................................................

iii 3

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Varicella Zoster Virus (VZV) merupakan family human (alpha) herpes virus. Virus terdiri atas genome DNA double-stranded, tertutup inti yang mengandung protein dan dibungkus oleh glikoprotein. Virus ini dapat menyebabkan dua jenis penyakit yaitu varicella (chickenpox) dan herpes zoster (shingles) (Lubis, 2008). Varicella terdapat di seluruh dunia dan tidak ada perbedaan ras maupun jenis kelamin. Varicella terutama mengenai anak-anak yang berusia dibawah 20 tahun terutama usia 3-6 tahun dan hanya sekitar 2% terjadi pada orang dewasa. Di Amerika, varicella sering terjadi pada anak-anak di bawah usia 10 tahun dan 5% kasus terjadi pada usia lebih dari 15 tahun. Di Jepang, umunya terjadi pada anak-anak di bawah usia 6 tahun sebanyak 81,4% (Lubis, 2008). Insiden terjadinya herpes zoster meningkat sesuai dengan pertumbuhan umur dan biasanya jarang mengenai anak-anak. Insiden herpes zoster berdasarkan usia yaitu sejak lahir-9 tahun : 0,74/1000, usia 10-19 tahun : 1,38/1000, usia 20-29 tahun : 2,58/1000. Di Amerika, herpes zoster jarang mengenai anak-anak, dimana lebih dari 66% mengenai usia lebih dari 50 tahun, kurang dari 10% mengenai usia dibawah 20 tahun dan 5% mengenai usia kurang dari 15 tahun. Walaupun herpes zoster merupakan penyakit yang sering dijumpai pada orang dewasa, namun herpes zoster dapat juga terjadi pada bayi yang baru lahir apabila ibunya menderita herpes zoster pada masa kehamilan. Dari hasil penelitian, ditemukan 3% herpes zoster pada anak, biasanya ditemukan pada anak-anak yang imunokompromis dan menderita penyakit keganasan (Lubis, 2008). Varicella dimulai dengan pemasukan virus ke mukosa yang dipindahkan dalam sekresi saluran pernafasan atau dengan kontak langsung lesi kulit varicella atau
4 4

herpes zoster (Nelson, 1996). Setelah terjadinya infesi primer, virus ini berdiam di ganglion posterior susunan saraf tepi dan ganglion kranialis. Kelainan kulit yang timbul memberikan lokasi yang setingkat dengan daerah persarafan ganglion tersebut. Kadang-kadang virus ini juga menyerang ganglion anterior, bagian motorik kranialis sehingga memberikan gejala-gejala gangguan motorik (Handoko, 2007). Komplikasi variccella pada anak-anak umumnya jarang timbul dan lebih sering pada orang dewasa. Penyebaran viseral virus menyertai kegagalan respon host untuk menghentikan viremia, yang menyebabkan infeksi paru, hati, otak dan organ lain (Nelson, 1996). Mengingat insidensi varicella yang tinggi terutama pada anak-anak dan insiden terjadinya herpes zoster meningkat sesuai dengan pertumbuhan umur, serta dapat terjadinya komplikasi walaupun jarang terjadi, maka penulis tertarik untuk mengetahui lebih dalam tentang patomekanisme Varicella Zoster Virus (VZV). B. Rumusan Masalah Masalah yang dapat dirumuskan yaitu insidensi varicella yang tinggi terutama pada anak-anak dan insiden terjadinya herpes zoster meningkat sesuai dengan pertumbuhan umur, serta dapat terjadinya komplikasi walaupun jarang terjadi. C. Tujuan Tulisan ini akan membahas tentang patomekanisme Varicella Zoster Virus (VZV). D. Manfaat Tulisan ini diharapkan dapat menjadi salah satu sumber informasi baik bagi tenaga kesehatan ataupun masyarakat umum patomekanisme Varicella Zoster Virus (VZV).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi Varicella Zoster Virus (VZV) termasuk ke dalam famili herpesvirus (herpesviridae). Klasifikasi ini berdasarkan karakteristik morfologi, fisik, dan kimia virus. The Herpesvirus Study Group of the International Committee on the Taxonomy of Viruses (ICTV) membagi anggota dari famili ke dalam 3 subfamili yaitu Alphaherpesvirinae, Betaherpesvirinea and Gammaherpesvirinea. Berdasarkan host spektrum, panjang siklus replikasi, efek sitopatik in vitro dan sifat laten, VZV bersama herpes simplex virus tipe 1 dan 2 dikelompokkan ke dalam subfamili Alphaherpesvirinae (Rahaus et al, 2006). Gambar 1. Bentuk VZV secara biologi molekuler

B. Patomekanisme Masa inkubasi varicella 10-21 hari pada anak imunokompeten (rata-rata 1417 hari) dan pada anak yang imunokompromis biasanya lebih singkat yaitu kurang dari 14 hari. VZV masuk ke dalam tubuh manusia dengan cara inhalasi dari sekresi pernafasan (droplet infection) ataupun kontak langsung dengan lesi kulit. Droplet infection dapat terjadi 2 hari sebelum hingga 5 hari setelah timbul lesi di kulit (Lubis, 2008). Varicella pada anak yang lebih besar (pubertas) dan orang dewasa biasanya didahului dengan gejala prodormal yaitu demam, malaise, nyeri kepala, mual dan anoreksia, yang terjadi 1-2 hari sebelum timbulnya lesi di kulit sedangkan pada anak lebih kecil (usia lebih muda) yang imunokompeten, gejala prodormal jarang dijumpai hanya demam dan malaise ringan dan timbul bersamaan dengan munculnya lesi di kulit (Lubis, 2008). VZV masuk ke dalam tubuh manusia melalui mukosa saluran pernafasan bagian atas, orofaring ataupun conjunctiva. Siklus replikasi virus pertama terjadi pada hari ke 2-4 yang berlokasi pada lymph nodes regional kemudian diikuti penyebaran virus dalam jumlah sedikit melalui darah dan kelenjar limfe, yang mengakibatkan terjadinya viremia primer (biasanya terjadi pada hari ke 4-6 setelah infeksi pertama). Pada sebagian besar penderita yang terinfeksi, replikasi virus tersebut dapat mengalahkan mekanisme pertahanan tubuh yang belum matang sehingga akan berlanjut dengan siklus replikasi virus kedua yang terjadi di hepar dan limpa, yang mengakibatkan terjadinya viremia sekunder. Pada fase ini, partikel virus akan menyebar ke seluruh tubuh dan mencapai epidermis pada hari ke 14-16, yang mengakibatkan timbulnya lesi di kulit yang khas (Lubis, 2008). Erupsi kulit berupa papul eritematosa yang dalam waktu beberapa jam berubah menjadi vesikel. Bentuk vesikel ini khas berupa tetesan embun (tear drops). Vesikel akan berubah menjadi pustul dan kemudian menjadi krusta. Sementara
7

proses ini berlangsung, timbul lagi vesikel-vesikel yang baru sehingga menimbulkan gambaran polimorfi (Handoko, 2007). Gambar 2. Patogenesis VZV secara skematis (Grose, 2006)

Pada herpes zoster, patomekanismenya belum seluruhnya diketahui. Selama terjadinya varicella, VZV berpindah tempat dari lesi kulit dan permukaan mukosa ke ujung saraf sensoris dan ditransportasikan secara centripetal melalui serabut saraf sensoris ke ganglion sensoris. Pada ganglion tersebut terjadi infeksi laten (dorman), dimana virus tersebut tidak lagi menular dan tidak bermultiplikasi, tetapi tetap mempunyai kemampuan untuk berubah menjadi infeksius apabila terjadi reaktivasi virus. Reaktivasi virus tersebut dapat diakibatkan oleh keadaan yang menurunkan

imunitas seluler seperti pada penderita karsinoma, penderita yang mendapat pengobatan immunosuppresive termasuk kortikosteroid dan pada orang penerima organ transplantasi. Pada saat terjadi reaktivasi, virus akan kembali bermultiplikasi sehingga terjadi reaksi radang dan merusak ganglion sensoris. Kemudian virus akan menyebar ke sumsum tulang serta batang otak dan melalui saraf sensoris akan sampai ke kulit dan kemudian akan timbul gejala klinis (Lubis, 2008). Sebelum timbul gejala kulit terdapat gejala prodromal baik sistemik (demam, pusing, malaise), maupun gejala prodromal lokal (nyeri otot tulang, pegal, dan sebagainya). Setelah itu timbul eritema yang dalam waktu singkat menjadi vesikel yang berkelompok dengan dasar kulit yang eritematosa dan edema. Vesikel ini berisi cairan yang jernih, kemudian menjadi keruh (berwarna abu-abu), dapat menjadi pustul dan krusta. Sapat pula timbul infeksi sekunder sehingga menimbulkan ulkus dengan penyembuhan berupa sikatriks. Masa tunasnya 7-12 hari. Masa aktif penyakit ini berupa lesi-lesi baru yang tetap timbul berlangsung kira-kira seminggu, sedangkan masa resolusi berlangsung kira-kira 1-2 minggu (Handoko, 2007).

C. Patomekanisme tingkat seluler Patomekanisme infeksi VZV melibatkan tiga aktivitas seluler yaitu infeksi sel epitel pada membran mukosa dan kulit, sel mononuklear pada sirkulasi darah perifer, dan sel-sel pada ganglion sensoris (Arvin, 2000) Untuk mengetahui penyebab karakteristik lesi kulit, VZV dapat dideteksi melaui sel mononuklear pada darah perifer. VZV menginfeksi CD4+ and CD8+ sel T dan terjadi mekanisme patologik dengan karakteristik lymphotropic dan neurotropic. Ketika VZV mengalami reaktivasi, VZV bereplikasi di kulit, memproduksi titer yang tinggi dari virus yang infeksius di vesikel-vesikel. Selama fase akut herpes zoster, sel T menjadi teraktivasi pada tempat terjadinya replikasi. Jika respon dari host lemah,

sel T dapat mentransportasikan virus ke paru-paru, hati, otak,dan organ-organ yang lain. Herpes zoster klasik merupakan hasil dari transportasi virus sepanjang axon saraf dari tempat terjadinya latensi secara seluler yaitu di akar ganglia dorsalis (Arvin, 2000) Hipotesis bahwa herpes zoster merupakan hasil dari reaktivasi virus laten yang didapat ketika terjadi infeksi primer varicella dibuktikan dengan menganalisis enzim restriksi yang menunjukkan bahwa VZV single strain sebagai penyebab dari varicella dan herpes zoster. Selama terjadi varicella, VZV dipostulatkan bergerak naiknya axon saraf dari lesi di kulit ke ganglia sensoris yang berhubungan. Secara imunohistokimia pada lesi kulit menunjukkan adanya protein VZV di akhiran saraf, axon, dan sel schwann. Pada model penelitian dengan menggunakan binatang, inokulasi subkutan pada babi guinea dengan VZV dihubungkan dengan penyebaran virus ke ganglia saraf. Viremia juga membawa VZV ke sel ganglion, yang diartikan bahwa VZV menyebar ke ganglia pada tikus neonatal. Setelah terjadi perdebatan pada masa lalu, eksperimen sekarang dengan menggunakan metode yang lebih sensitif dan spesifik yang mengindikasikan bahwa VZV menjadi laten di neuron sebagai sel-sel satelit dalam akar ganglia dorsalis (Arvin, 2000) Saraf atau sel-sel satelit mengandung VZVdiperkirakan tidak terdeteksi oleh sistem imun selama latensi. Infeksi herpes zoster menampakkan sistem imun yang menurun yang terjadi pada host imunokompeten, VZV tidak terdeteksi meskipun terdapat sel T memori yang spesifik pada VZV. Untuk menghindari sisten imun, VZV bereplikasi di sel-sel kulit, dan melepaskan virus yang infeksius ke dalam cairan vesikel, VZV menyusun jalan dengan menghindari respon dari sel T memori yang spesifik pada VZV. Penghindaran VZV terhadap sistem imun berhubungan dengan penurunan jumlah dari sel T memori yang spesifik pada VZV pada host yang terinfeksi laten. Sebaliknya, resiko terjadinya herpes zoster menurun ketika sel T memori yang spesifik pada VZV memberikan respon untuk mendeteksi adanya VZV. Pada orang-orang imunodefisiensi, periode yang lama pada limphopenia dan hilangnya sel T memori yang spesifik pada VZV, meningkatkan resiko terjadinya
10

reaktivasi VZV. Pada orang-orang imunkompeten, sel T memori dapat berproliferas setelah memberikan respon atas adanya antigen, dengan cara membuat sitokin seperti IFN, TNF atau interleukin-interleukin, atau aktivitas sitotoksik (Arvin, 2000). Dalam sebuah penelitian dinyatakan bahwa imunitas antiviral nonspesifik membantu untuk membatasi gejala-gejala dari reaktivasi VZV. Natural killer (NK) sangat berperan dalam proses pemusnahan VZV. IFN dibuat oleh NK sel dan monosit tanpa perlu kehadiran sel T yang bersifat antigenspesifik dan dapat langsung melawan VZV. Hal tersebut mendasari pemberian IFN dari luar tubuh dapat menurunkan keparahan dari reaktivasi VZV pada pasien imunokomproms ketika diberikan tidak lebih dari 72 jam setelah munculnya gejala klinis di kulit. Respon dari sitotoksik nonspesifik dan menginduksi sitokin antiviral berfungsi untuk membatasi replikasi VZV. Granulisin yang merupakan sitolitik protein dibuat oleh NK sel, dan pada sebuah penelitian eksperimen ditunjukkan bahwa granulisin meningkatkan angka kematian dari VZV secara in vitro. Ketika sel-sel yang terinfeksi VZV diberikan granulisin, sintesis dari virus menurun secara dramatis dan meningkatnya kematian dari sel-sel yang terinfeksi VZV (Arvin, 2000).

11

BAB III KESIMPULAN

VZV masuk ke dalam tubuh manusia melalui mukosa saluran pernafasan bagian atas, orofaring ataupun conjunctiva. Siklus replikasi virus pertama terjadi pada hari ke 2-4 yang berlokasi pada lymph nodes regional kemudian diikuti penyebaran virus dalam jumlah sedikit melalui darah dan kelenjar limfe, yang mengakibatkan terjadinya viremia primer (biasanya terjadi pada hari ke 4-6 setelah infeksi pertama). Pada sebagian besar penderita yang terinfeksi, replikasi virus tersebut dapat mengalahkan mekanisme pertahanan tubuh yang belum matang sehingga akan berlanjut dengan siklus replikasi virus kedua yang terjadi di hepar dan limpa, yang mengakibatkan terjadinya viremia sekunder. Pada fase ini, partikel virus akan menyebar ke seluruh tubuh dan mencapai epidermis pada hari ke 14-16, yang mengakibatkan timbulnya lesi di kulit yang khas. Penghindaran VZV terhadap sistem imun berhubungan dengan penurunan jumlah dari sel T memori yang spesifik pada VZV pada host yang terinfeksi laten. Sebaliknya, resiko terjadinya herpes zoster menurun ketika sel T memori yang spesifik pada VZV memberikan respon untuk mendeteksi adanya VZV

12

12

DAFTAR PUSTAKA Arvin, A., M., 2000. Varicella-Zoster Virus: Pathogenesis, Immunity, and Clinical Management in Hematopoietic Cell Transplant Recipients. Biology of Blood and Marrow Transplantation. 6 : 219-23.

Grose, C., 2006. Varicella Zoster Virus: Out of Africa and into the Research Laboratory. Varicella Zoster Virus. 13 : 33.

Handoko R., P., 2007. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Jakarta: Balai Penerbit FKUI pp 110-5. Lubis, R., D., 2008. Varicella dan Herpes Zoster. USU e-Repository : 2-4. Nelson, W., E., et al., 1996. Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta: EGC pp 1097-8. Rahaus, M., et al., 2006. Molecular Biology of Varicella-Zoster Virus. Virology and Laboratory Investigations. 26 : 1.

13

14

You might also like