You are on page 1of 42

14 CONTOH BIDAH DALAM SHALAT TARAWIH

Disusun Oleh Ustadz Zainal Abidin bin Syamsuddin, Lc. Dalam rubrik ini, saya akan menguraikan bahasan khusus seputarmasalah bidah dalam shalat tarawih yang banyak menyebar di tengah masyarakat, dan diyakini sebagai perkara sunnah serta dianggap baik oleh sebagian besar orang awam. Akibatnya sunnahsunnah shalat tarawih yang dianjurkan, banyak kehilangan bentuk dan kemurniannya. Di antara bidah yang lazim terjadi di masyarakat seputar masalah shalat tarawih, ialah sebagai berikut.

Pertama. Shalat tarawih dengan cepat, laksana ayam mematuk makanan. Mayoritas imam masjid kurang memiliki akal sehat dan pengetahuan agama yang baik. Hal itu nampak dari cara melakukan shalat. Bahwa hampir semua shalat yang dilakukan, mirip dengan shalatnya orang yang sedang kesurupan, terutama ketika shalat tarawih. Mereka melakukan shalat 23 rakaat hanya dalam waktu 20 menit, dengan membaca surat Al Ala atau Adh Dhuha. Menurut semua

madzhab, dalam melakukan shalat tidak boleh seperti itu, karena ia merupakan shalat orang munafik, sebagaimana firmanNya: Dan apabila mereka berdiri untuk shalat, maka mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya di hadapan manusia dan tidak menyebut Allah, kecuali hanya sedikit sekali. (QS An Nisa:142). Bentuk dan cara shalat tarawih yang seperti itu, jelas bertentangan dengan cara shalat tarawih Rasulullah Shallallahu alaihi Wasallam , para sahabat dan ulama salaf. Nabi Shallallahu alaihi Wasallam bersabda, Maka berpegang teguhlah kepada sunnahku dan sunnah para

Khulafaur Rasyidin yang memberi petunjuk, berpegang teguhlah kepadanya dan gigitlah dengan gigi geraham kalian. Waspadalah terhadap perkara-perkara baru (bidah), karena setiap perkara yang baru adalah bidah, dan setiap yang bidah adalah sesat. (Abu Daud, Tirmidzi dan Ibnu Majah). Dan Rasulullah Shallallahu alaihi Wasallamn bersabda, Shalatlah kamu sekalian sebagaimana kalian melihat aku shalat. (HR Bukhari, Muslim, Ahmad. Lihat Irwaul Ghalil no: 213).

Ad Darimy meriwayatkan, bahwa Abu Aliyah berkata,Jika kami mendatangi seseorang untuk menuntut ilmu, maka kami akan melihat ia shalat. Jika ia shalat dengan benar, kami akan duduk untuk belajar dengannya. Dan kami berkata,Dia akan lebih baik dalam masalah lain. Sebaliknya, jika shalatnya rusak, maka kami akan berpaling darinya dan kami berkata,Dia akan lebih rusak dalam masalah yang lain. Dan suatu hal yang menguatkan lagi, bahwa demikian itu menjadi perkara bidah, karena dikerjakan secara rutin dan permanen pada setiap bulan Ramadhan. Mereka beranggapan, bahwa hal itu merupakan cara terbaik dalam menunaikan shalat tarawih. Kedua. Membaca surat AlAnam dalam satu rakaat dari shalat tarawih. Para ulama menganggap, bahwa membaca surat Al Anam dalam satu rakaat dari shalat tarawih termasuk perbuatan bidah, karena demikian itu tidak bersandarkankepada suatu dalil. Adapun hadits dari Ibnu Abbas dan Ubay bin Kaab bahwa Rasulullah bersabda: . Surat AlAnam diturunkan sekaligus dalam sekali tahapan yang dihantarkan oleh tujuh puluh ribu malaikat sambil membaca tasbih dan tahmid. Banyak orang awam yang tertipu dengan hadits ini. Padahal menurut Imam As Suyuthi, bahwa hadits di atas adalah dhaif. Andaikata pun

hadits tersebut shahih, juga sedikitpun tidak ada anjuran yang bersifat sunnah dibaca dalam satu rakaat. Membaca surat Al Anam dalam satu rakaat bisa dikatakan bidah karena beberapa alasan sebagai berikut. Pertama, mengkhususkan surat Al Anam menipu ummat, bahwa surat yang lain kurang afdhal atau tidak baik untuk dibaca pada waktu shalat tarawih. Kedua, bacaan tersebut hanya dikhususkan pada waktu shalat tarawih. Ketiga, memberatkan kaum muslimin terutama orang awam, sehingga mereka akan marah atau jengkel atau timbul kebencian terhadap ibadah. Keempat, yang demikian itu menyelisihi sunnah, sebab Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam menganjurkan agar rakaat kedua lebih pendek daripada rakaat pertama, sementara bidah ini telah merubah secara tolal sunnah tersebut dan melawan syariat.[5]

Ketiga

Bidah

Mengumpulkan

Ayat-Ayat

Sajadah.

Seorang imam mengumpulkan ayat-ayat sajadah ketika khataman Al Quran pada shalat tarawih dalam rakaat terakhir, kemudian ia sujud bersama makmum. [6] Keempat : Membaca Beberapa Ayat Yang Disebut Ayat-Ayat Hirs (Perlindingan). Mengumpulkan beberapa ayat yang mereka sebut dengan nama ayat-

ayat perlindungan, lalu dibaca secara keseluruhan di akhir rakaat dalam shalat tarawih.[7] Kelima : Bidah Dzikir Dan Doa Ketika Hendak Memulai Shalat Tarawih. Ucapan seorang bilal atau imam ketika hendak memulai shalat tarawih yang dibaca dengan berjamaah dan suara keras.[8] . . Kebidahan ini banyak sekali menyebar di negeri ini. Dianggap sebagai sesuatu yang baik dan sunnah, padahal hal tersebut tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam dan sahabat. Padahal setiap cara ibadah dan praktek agama yang tidak ada dalil atau landasan hukumnya, maka tertolak dan dinyatakan sebagai perbuatan bidah. Beliau Shallallahu alaihi wa sallam bersabda. . Barangsiapa yang membuat-buat ibadah dalam ajaran kami ini (Islam) yang bukan merupakan bagian darinya, maka amalan itu tertolak. [HR Bukhari]. Keenam : Berdzikir Dengan Dipandu Seorang Bilal. Berdzikir dengan dipandu seorang bilal setiap selesai shalat dua rakaat dari shalat tarawih, maka perbuatan seperti ini termasuk bidah. Namun terkadang bacaan dzikir dilakukan sendiri-sendiri

dengan ringan, atau terkadang dzikir tersebut dibaca secara berjamaah.[9] Dzikir dengan cara ini termasuk bidah, karena beberapa alasan berikut. Pertama, karena membuat tata cara baru dalam beribadah yang tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam merupakan perbuatan bidah. Dari Jabir bin Abdullah diriwayatkan bahwa Rasulullah bersabda : Amma badu. Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah Kitabullah dan sebaikbaik petunjuk adalah petunjuk Muhammad. Seburuk-buruk ibadah adalah yang dibikin-bikin, dan setiap bidah itu adalah sesat. [10] Kedua, dzikir tersebut hanya dikhususkan pada waktu shalat tarawih saja, padahal mengkhususkan suatu ibadah yang tidak berdasarkan dalil, maka hal itu termasuk perbuatan bidah dan setiap bidah adalah sesat. Ketiga, tindakan itu boleh jadi memberatkan kaum muslimin terutama orang awam, sehingga menimbulkan sikap kebencian terhadap ibadah. Keempat, perbuatan itu dengan jelas telah menyelisihi sunnah. Sebab Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam tidak pernah menganjurkan membaca dzikir secara berjamaah dalam shalat tarawih. Begitu pula beliau n tidak pernah mengajarkan bacaan dzikir-dzikir tersebut. Maka bentuk dzikir seperti itu bertentangan dengan sunnah Rasulullah dan kebiasaan para sahabat. Ketujuh : Mengkhususkan Membaca Qunut Pada Shalat Tarawih. Mengkhususkan qunut hanya pada pertengahan Ramadhan dalam

shalat tarawih. Yang demikian itu tidak pernah dicontohkan Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam. Imam Malik dalam kitab Mudawwanah Al Kubra menyatakan,Tidak ada dalil shahih yang bisa digunakan sebagai sandaran bagi orang yang mengkhususkan qunut dalam shalat tarawih pada bulan Ramadhan, baik pada awal maupun akhir Ramadhan, atau pada shalat witir [11]. Kedelapan : Shalat Tarawih Bersama-Sama Antara Kaum Laki-Laki Dan Kaum Wanita Dalam Satu Masjid. Diantara kebidahan dan kemungkaran dalam masjid yang berkaitan dengan shalat -terutama shalat tarawih- yaitu melakukan shalat berjamaah campur-baur antara kaum laki-laki dan kaum wanita dalam satu masjid [12]. Kesembilan : Dzikir Dengan Suara Keras Dan Berjamaah Seperti Koor. Dzikir berjamaah dengan suara keras seperti koor pada setiap waktu istirahat dalam shalat tarawih, merupakan perbuatan bidah [13]. Adapun lafadz dzikir yang mereka baca secara berbeda-beda sesuai dengan perbedaan tempat dan daerah, maka perbuatan seperti ini termasuk mengumpulkan berbagai macam keburukan dan kebidahan, antara lain: Pertama, bidah dzikir berjamaah dengan suara koor. Kedua, bidah dalam menggunakan lafadz-lafadz dzikir yang tidak diajarkan oleh Rasulullah. Ketiga, mengganggu kaum muslimin dengan suara keras, dan boleh jadi dzikir tersebut disampaikan lewat mikrofon atau pengeras suara. Keempat, membuat praktek ibadah baru dalam

shalat tarawih yang tidak pernah dicontohkan Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam. Padahal beliau Shallallahu alaihi wa sallam bersabda: . Barangsiapa yang melakukan amalan yang tidak sesuai dengan ajaran kami, maka ibadahnya itu tertolak. [HR Muslim]. Kesepuluh : Dzikir Berjamaah Dengan Suara Keras Saat Akan Dimulainya Rakaat Baru Dalam Shalat Tarawih. Bacaan dzikir yang diamalkan setiap selesai salam dari dua rakaat shalat tarawih, dan (kemudian) hendak memulai rakaat yang baru, (dzikir seperti ini)termasuk perbuatan bidah. Tata cara dan bacaan dzikir tersebut antara lain: Seorang bilal membaca: . . Lalu dijawab oleh para jamaah shalat tarawih secara bersama-sama dengan suara keras . , . . Kemudian pada rakaat-rakaat yang akhir mereka mendoakan kepada khulafaurrasyidin yang empat.

Kesebelas : Bidah Doa Berjamaah Ketika Istirahat Antara Shalat Tarawih Dengan Shalat Witir. Doa berjamaah pada saat istirahat antara shalat tarawih dengan shalat witir merupakan perbuatan bidah yang munkar. Begitu juga ketika hendak shalat witir, bilal atau imam mengucapkan: . Kebanyakan mereka yang mengamalkan bidah ini telah membuat bacaan doa secara khusus, yang tidak bersandar kepada satu dalilpun, dan tidak pernah diajarkan oleh para ulama salaf mapun imam sunnah [14]. Keduabelas : Melazimkan Surat Al Ikhlas Dan Muawidzatain Dalam Setiap Rakaat Akhir Dari Shalat Witir. Melazimkan surat Al Ikhlas dan Muawidzatain dalam setiap rakaat terakhir dari shalat witir, termasuk perbuatan bidah. Hal tersebut tidak pernah dicontohkan Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam dan ulama salaf dari kalangan para sahabat dan tabiin. Sementara sebagai orang awam terpesona dengan hadits Nabi Shallallahu alaihi wa sallam yang diriwayatkan Imam Ath Thabrani dalam Mujamul Ausath, dari Abu Hurairah dengan sanad yang lemah, karena terdapat seorang perawi As Sary bin Ismail dan Miqdam bin Daud, yang keduanya merupakan perawi yang dhaif. Begitu juga hadits serupa diriwayatkan oleh Imam Abu Daud dalam Sunan-nya dan Imam At Tirmidzi dalam Sunan-nya,

serta Ibnu Majah dalam Sunan-nya, dari hadits Aisyah dengan sanad yang lemah. Imam Al Mundziri berkata, bahwa hadits ini diriwayatkan Abu Daud dan Tirmidzi serta Ibnu Majah dari Aisyah dari Khushaif bin Abdurahman Al Harrani; telah dinyatakan sebagai perawi yang lemah oleh kebanyakan para imam ahli hadits. Ibnul Jauzi berkata,Imam Ahmad dan Yahya Ibnu Main telah mengingkari dengan keras tambahan Muawidzatain dalam rakaat akhir dari shalat witir [15]. Ketigabelas : Berhenti Dari Shalat Qiyamul Lail Atau Shalat Tarawih Setelah Khataman Al-Quran. Sebagian umat Islam ada yang menghentikan qiyamul lail atau shalat tarawih setelah menyelesaikan khataman Al Quran, padahal perbuatan tersebut termasuk bidah [16]. Keempatbelas : Membaca Dua Juz Atau Lebih Dari Al-Quran Pada Shalat Tarawih Terakhir. Membaca dua juz atau lebih pada malam terakhir dalam shalat tarawih. Ada juga yang melazimkan dari mulai surat Adh Dhuha hingga selesai [17]. Demikianlah penjelasan beberapa bidah seputar shalat tarawih, yang secara umum sudah banyak tersebar di tengah masyarakat. Maka demi menjaga keutuhan ajaran Islam dan melestarikan sunnah, serta

memelihara pahala ibadah -terutama shalat tarawih- maka saya mengajak kepada seluruh umat Islam agar meninggalkan kebiasaan buruk dan perbuatan bidah dalam setiap bidang agama. Al Quran dan Sunnah Rasul dengan tegas memperingatkan tentang bahaya bidah. Begitu pula para sahabat dan para tabiin yang mengikuti Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam dengan melakukan kebajikan juga memperingatkan bahaya bidah dengan tegas Diantara dalil dari Al Quran yang memperingatkan tercelanya bidah, antara lain sebagai berikut. DALIL-DALIL DARI AL-KITAB Allah berfirman, Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalanKu yang lurus, maka ikutilah dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalanNya. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu bertaqwa. ([Al AnAm : 153]. Jalan yang lurus adalah jalan Allah yang wajib diikuti. Jalan itu adalah Sunnah. Sedangkan jalan yang beraneka ragam dan corak itu hanyalah jalan ahli bidah yang melenceng dari jalan yang lurus. DALIL-DALIL DARI AS-SUNNAH Nabi bersabda,

Sesungguhnya aku telah meninggalkan untuk kalian ajaran putih bersih. Malamnya laksana siangnya. Dan tidaklah seseorang yang menjauhinya, kecuali pasti akan mengalami kehancuran. [HR Ahmad dan Ibnu Majah]. Barangsiapa memberi contoh yang baik dalam Islam, maka ia mendapatkan pahalanya dan pahala orang yang mengerjakan perbuatan baik tersebut, tanpa mengurangi pahala-orang itu sedikitpun. Dan barangsiapa memberi contoh yang buruk dalam Islam, maka ia mendapatkan dosa dan dosa orang yang mengerjakan perbuatan dosa itu setelahnya, tanpa mengurangi dosa orang-orang itu sedikitpun. [HR Muslim] Dari Abdullah bin Masud berkata, bahwa pernah pada suatu ketika Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam membuat suatu garis, lalu bersabda,Ini adalah jalan Allah yang lurus, kemudian beliau Shallallahu alaihi wa sallam membuat garis-garis di sebelah kanan dan kirinya, lalu bersabda,Ini adalah jalan-jalan, dan setiap jalan tersebut terdapat syetan yang mengajak kepada jalan itu, kemudian beliau Shallallahu alaihi wa sallam membacakan firman Allah: Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalanKu yang lurus, maka ikutilah

dia; dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalanNya. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu bertaqwa. (Al Anam:153). [HR Ahmad dalam Musnad, Ad Darimi, Al Hakim dalam Mustadrak dan Ibnu Abu Ashim dalam As Sunnah]. [Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi, 07/Tahun VII/1424/2003M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183) _______ Footnote [1]. Mujamul Maqayis Fil Lughah, Ibnu Faris halaman 119.

[2]. Al Itisham, oleh Asy Syatibi 1:49. Lihat juga Mufradat Al Fazhil Quran, Ar Raghib Al Asfahani, materi kata badaa, halaman 111. [3]. Fatawa Ibnu Taimiyah IV 107-108

[4]. As Sunnan Wal mubtadat, Syaikh Muhammad bin Abdussalam, Darul Fikr

[5]. Al Amru bin Ittiba Wan Nahyu Anil Ibtida, Imam As Suyuthi, Maktabatul Quran.

[6]. Al Amru bin Ittiba Wan Nahyu Anil Ibtida, Imam As Suyuthi, Maktabatul Quran.

[7]. Al Baits Ala Inkaril Bida Wal Hawadits, Abu Syamah Al Maqdisy, Darur Rayyah, Riyadh.

[8]. Mujamul Bida, Raid bin Sabri bin Abi Alfah, Darul Ashimah, halaman 98.

[9]. Al Hawadits Wal Bida, Imam Abu Bakar At Thurthusy, Dal Ibnul Jauzy, Riyadh.

[10]. Diriwayatkan oleh Muslim dalam Kitab Al Jumuah; meringkas shalat dan khutbah 1:592 dengan nomor 867.

[11]. Al Hawadits Wal Bida, Imam Abu Bakar At Thurthusy, Dal Ibnul Jauzy, Riyadh.

[12]. Bidaul Qurra, Syaikh Bakr Abu Zaid, Darul Faruq Saudi. [13]. Bidaul Qurra, Syaikh Bakr Abu Zaid, Darul Faruq saudi. [14]. Al Hawadits Wal Bida, Imam Abu Bakar Ath Thurthusy, Dar Ibnul Jauzy, Riyadh, halaman 64.

[15]. Lihat Aunul Mabud Syah Sunan Abi Daud, Darul Kutubul Ilmiyah, Beirut Libanon. Bab Ma Yuqrqa Fil Witr.

[16]. Bidaul Qurra, Syaikh Bakr Abu Zaid, Darul Faruq, Saudi. [17]. Al Madkhal, Ibnul Haj 2/294, Darul Hadits, Mesir.

Shalat Tarawih Posted on 3 Agustus 2011 by arsitekperadaban Arti Tarawih Kata tarawih adalah bentuk jamak dari kata tarwih, yang berasal dari kata raha yang artinya mengambil istirahat. Shalat ini disebut shalat

tarawih, karena orang yang menjalankan shalat ini mengambil istirahat sejenak.

Tata Cara Shalat Tarawih Ada dua hadits yang harus kita renungi untuk mengetahui tata cara shalat ini.

Pertama, Nabi shalallahu alaihi wassalam shalat tidak lebih dari sebelas rakaat, baik dalam bulan Ramadhan maupun lainnya: Beliau salat empat rakaat jangan tanya tentang bagus dan lamanya kemudian empat rakaat lagi jangan tanya pula tentang bagus dan lamanya, kemudian tiga rakaat (HR. Muslim) Kedua, Dari Ibnu Umar radhiallahu anhu berkata: Rasulullah shallawahu alaihi wasallam bersabda: Shalat malam itu dua rakaat-dua rakaat. Jika engkau khawatir akan datanya fajar maka shalatlah 1 rakaat agar jumlah rakaatnya ganjil. (Muttafaqun ilaihi) Dari dua hadits di atas kita tahu bahwa Shalat Tarawih berarti: shalat dua rakaat lalu salam, kemudian shalat dua rakaat lalu salam. Nah, sampai sini istirahat dulu; seperti tilawah, makan(?), tidur(?), fesbukan(?), iya makin ngaco hehe. Setelah itu dillanjutkan lagi dua rakaat hingga salam, lalu dua rakaat lagi hingga salam. Kemudian istirahat lagi. Setelah itu baru witir.

Lalu, bagaimana dengan shalat Tarawih yang 23 rakaat (+ witir)? Syaikh Abdul Aziz bin Baaz (beliau Mufti Kerajan Saudi Arabia pada zamannya) menjawab tidak mengapa shalat 11 rakaat maupun 23 rakaat, karena Rasulullah tidak pernah secara tegas membatasi shalat sunnah pada jumlah tertentu (yang penting shalatnya dua rakaat-dua rakaat, sesuai dengan hadits dari Ibnu Umar di atas).

Selain itu, Ibnu Taimiyyah juga menyebutkan bahwa permasalahan bilangan shalat malam adalah permasalahan yang ada kelonggaran di dalamnya.

Baiknya kita mengikuti imam shalat Tarawih saja. Alasannya dari hadits berikut ini:

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: Orang yang shalat tarawih mengikuti imam sampai selesai, ditulis baginya pahala shalat semalam suntuk. (HR. At Tirmidzi, no. 734, Ibnu Majah, no. 1317, Ahmad, no. 20450) dalam lafazh yang lain: Ditulis baginya pahala shalat di sisa malamnya. (HR. Ahmad, no. 20474) Selain itu, shalat tarawih 23 rakaat pernah dilakukan oleh Umar Radhiallahuanhu dan sahabat yang lain (kadang 11 rakaat juga). Syaikh Abdul Aziz bin Baaz men-shahih-kan hadits ini (meskipun di-

dhaif-kan oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani). Menurutnya, ini bukanlah keburukan, bukan pula kebidahan. Bahkan shalat tarawih 23 rakaat adalah sunnah Khulafa Ar Rasyidin.

Ketika menjadi khalifah, Umar Radhiyallahu Anhu melihat orang-orang shalat malam di masjid sendiri-sendiri, dua orang-dua orang, dan tiga orang-tiga orang. Maka, Umar pun mengumpulkan mereka dalam satu jamaah dengan diimami oleh Ubay bin Kaab radhiyallahuanhu, dimana dia shalat 20 rakaat. Para sahabat sepakat dengan apa yang dilakukan Umar. (Kifayatu Al-Akhyar fi Halli Ghayati Al-Ikhtishar/Imam Taqiyuddin Abu Bakr bin Muhammad Al-Husaini Al-Hishni AsySyafii/Jilid 1/Hlm 88)

Ibnu Taimiyyah menjelaskan bahwa Ubay bin Kaab meringankan shalatnya sehingga menambah jumlah rakaat (sebagai ganti dari berdiri yang lama). Konon karena kondisi jamaah pada saat itu, tidak kuat untuk berdiri terlalu lama, sehingga berdirinya diperpendek, nampun rakaat shalatnya diperbanyak.

Jadi, kualitas shalat tarawih 11 rakaat dan 23 rakaat harusnya samasama baiknya. Bukan seperti sekarang ini, shalat 23 rakaat tetapi selesainya lebih cepat daripada yang 11 rakaat, saking terburuburunya.

Kamis, 20 Agustus 2009 10:00 Muhammad Abduh Tuasikal Hukum Islam

Sebenarnya dalam permalasalahan jumlah raka'at shalat tarawih tidak ada masalah sama sekali. Tidak ada masalah dengan 23 raka'at atau 11 raka'at. Semoga kita bisa semakin tercerahkan dengan tulisan berikut. Shalat Tarawih Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam Dari Abu Salamah bin Abdirrahman, dia mengabarkan bahwa dia pernah bertanya pada Aisyah radhiyallahu anha, Bagaimana shalat malam Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam di bulan Ramadhan?. Aisyah mengatakan, - - Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam tidak pernah menambah jumlah rakaat dalam shalat malam di bulan Ramadhan dan tidak pula dalam shalat lainnya lebih dari 11 rakaat. (HR. Bukhari no. 1147 dan Muslim no. 738)

Dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu anhu, beliau menuturkan, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pernah shalat bersama kami di bulan Ramadhan sebanyak 8 rakaat lalu beliau berwitir. Pada malam berikutnya, kami pun berkumpul di masjid sambil berharap beliau akan keluar. Kami terus menantikan beliau di situ hingga datang waktu fajar. Kemudian kami menemui beliau dan bertanya, Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami menunggumu tadi malam, dengan harapan engkau akan shalat bersama kami. Beliau shallallahu alaihi wa sallam menjawab, Sesungguhnya aku khawatir kalau akhirnya shalat tersebut menjadi wajib bagimu. (HR. Ath Thabrani, Ibnu Hibban dan Ibnu Khuzaimah. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa derajat hadits ini hasan. Lihat Shalat At Tarawih, hal. 21) As Suyuthi mengatakan, Telah ada beberapa hadits shahih dan juga hasan mengenai perintah untuk melaksanakan qiyamul lail di bulan Ramadhan dan ada pula dorongan untuk melakukannya tanpa dibatasi dengan jumlah rakaat tertentu. Dan tidak ada hadits shahih yang mengatakan bahwa jumlah rakaat tarawih yang dilakukan oleh Nabi shallallahu alaihi wa sallam adalah 20 rakaat. Yang dilakukan oleh beliau adalah beliau shalat beberapa malam namun tidak disebutkan batasan jumlah rakaatnya. Kemudian beliau pada malam keempat tidak melakukannya agar orang-orang tidak menyangka bahwa shalat tarawih adalah wajib.

Ibnu Hajar Al Haitsamiy mengatakan, Tidak ada satu hadits shahih pun yang menjelaskan bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam melaksanakan shalat tarawih 20 rakaat. Adapun hadits yang mengatakan Nabi shallallahu alaihi wa sallam biasa melaksanakan shalat (tarawih) 20 rakaat, ini adalah hadits yang sangat-sangat lemah. (Al Mawsuah Al Fiqhiyyah Al Quwaitiyyah, 2/9635) Ibnu Hajar Al Asqolani mengatakan, Adapun yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dari hadits Ibnu Abbas bahwa Rasulullahshallallahu alaihi wa sallam shalat di bulan Ramadhan 20 rakaat ditambah witir, sanad hadits itu adalah dhoif. Hadits Aisyah yang mengatakan bahwa shalat Nabi tidak lebih dari 11 rakaat juga bertentangan dengan hadits Ibnu Abi Syaibah ini. Padahal Aisyah sendiri lebih mengetahui seluk-beluk kehidupan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pada waktu malam daripada yang lainnya. Wallahu alam. (Fathul Bari, 6/295) Jumlah Rakaat Shalat Tarawih yang Dianjurkan Jumlah rakaat shalat tarawih yang dianjurkan adalah tidak lebih dari 11 atau 13 rakaat. Inilah yang dipilih oleh Nabi shallallahu alaihi wa sallam sebagaimana disebutkan dalam hadits-hadits yang telah lewat. Aisyah mengatakan, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam tidak pernah menambah jumlah rakaat dalam shalat malam di bulan Ramadhan dan tidak pula dalam shalat lainnya lebih dari 11 rakaat.

(HR. Bukhari no. 1147 dan Muslim no. 738) Dari Ibnu Abbas, beliau berkata, . - - Shalat Nabi shallallahu alaihi wa sallam di malam hari adalah 13 rakaat. (HR. Bukhari no. 1138 dan Muslim no. 764). Sebagian ulama mengatakan bahwa shalat malam yang dilakukan Nabi shallallahu alaihi wa sallam adalah 11 rakaat. Adapun dua rakaat lainnya adalah dua rakaat ringan yang dikerjakan oleh Nabi shallallahu alaihi wa sallam sebagai pembuka melaksanakan shalat malam, sebagaimana hal ini dikatakan oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari (4/123, Asy Syamilah). Bolehkah Menambah Rakaat Shalat Tarawih Lebih dari 11 Rakaat? Mayoritas ulama terdahulu dan ulama belakangan, mengatakan bahwa boleh menambah rakaat dari yang dilakukan oleh Nabishallallahu alaihi wa sallam. Ibnu Abdil Barr mengatakan, Sesungguhnya shalat malam tidak memiliki batasan jumlah rakaat tertentu. Shalat malam adalah shalat nafilah (yang dianjurkan), termasuk amalan dan perbuatan baik. Siapa saja boleh mengerjakan sedikit rakaat. Siapa yang mau juga boleh mengerjakan banyak. (At Tamhid, 21/70) Yang membenarkan pendapat ini adalah dalil-dalil berikut.

Pertama, sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam,

Shalat malam adalah dua rakaat dua rakaat. Jika engkau khawatir masuk waktu shubuh, lakukanlah shalat witir satu rakaat. (HR. Bukhari dan Muslim)

Kedua, sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam, Bantulah aku (untuk mewujudkan cita-citamu) dengan memperbanyak sujud (shalat). (HR. Muslim no. 489)

Ketiga, sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam, Sesungguhnya engkau tidaklah melakukan sekali sujud kepada Allah melainkan Allah akan meninggikan satu derajat bagimu dan menghapus satu kesalahanmu. (HR. Muslim no. 488) Dari dalil-dalil di atas menunjukkan beberapa hal:

Keempat, Pilihan Nabi shallallahu alaihi wa sallam yang memilih shalat tarawih dengan 11 atau 13 rakaat ini bukanlah pengkhususan dari tiga dalil di atas.

Alasan pertama, perbuatan Nabi shallallahu alaihi wa sallam tidaklah mengkhususkan ucapan beliau sendiri, sebagaimana hal ini telah

diketahui dalam ilmu ushul.

Alasan kedua, Nabi shallallahu alaihi wa sallam tidaklah melarang menambah lebih dari 11 rakaat. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, Shalat malam di bulan Ramadhan tidaklah dibatasi oleh Nabi shallallahu alaihi wa sallam dengan bilangan tertentu. Yang dilakukan oleh Nabi shallallahu alaihi wa sallam adalah beliau tidak menambah di bulan Ramadhan atau bulan lainnya lebih dari 13 rakaat, akan tetapi shalat tersebut dilakukan dengan rakaat yang panjang. ... Barangsiapa yang mengira bahwa shalat malam di bulan Ramadhan memiliki bilangan rakaat tertentu yang ditetapkan oleh Nabi shallallahu alaihi wa sallam, tidak boleh ditambahi atau dikurangi dari jumlah rakaat yang beliau lakukan, sungguh dia telah keliru. (Majmu Al Fatawa, 22/272) Alasan ketiga, Nabi shallallahu alaihi wa sallam tidak memerintahkan para sahabat untuk melaksanakan shalat malam dengan 11 rakaat. Seandainya hal ini diperintahkan tentu saja beliau akan memerintahkan sahabat untuk melaksanakan shalat 11 rakaat, namun tidak ada satu orang pun yang mengatakan demikian. Oleh karena itu, tidaklah tepat mengkhususkan dalil yang bersifat umum yang telah disebutkan di atas. Dalam ushul telah diketahui bahwa dalil yang bersifat umum tidaklah dikhususkan dengan dalil yang bersifat

khusus kecuali jika ada pertentangan.

Kelima, Nabi shallallahu alaihi wa sallam biasa melakukan shalat malam dengan bacaan yang panjang dalam setiap rakaat. Di zaman setelah beliau shallallahu alaihi wa sallam, orang-orang begitu berat jika melakukan satu rakaat begitu lama. Akhirnya, Umar memiliki inisiatif agar shalat tarawih dikerjakan dua puluh rakaat agar bisa lebih lama menghidupkan malam Ramadhan, namun dengan bacaan yang ringan. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, Tatkala Umar mengumpulkan manusia dan Ubay bin Kaab sebagai imam, dia melakukan shalat sebanyak 20 rakaat kemudian melaksanakan witir sebanyak tiga rakaat. Namun ketika itu bacaan setiap rakaat lebih ringan dengan diganti rakaat yang ditambah. Karena melakukan semacam ini lebih ringan bagi makmum daripada melakukan satu rakaat dengan bacaan yang begitu panjang. (Majmu Al Fatawa, 22/272)

Keenam, telah terdapat dalil yang shahih bahwa Umar bin Al Khottob pernah mengumpulkan manusia untuk melaksanakan shalat tarawih, Ubay bin Kaab dan Tamim Ad Daari ditunjuk sebagai imam. Ketika itu mereka melakukan shalat tarawih sebanyak 21 rakaat. Mereka membaca dalam shalat tersebut ratusan ayat dan shalatnya berakhir ketika mendekati waktu shubuh. (Diriwayatkan oleh Abdur Razaq no.

7730, Ibnul Jadi no. 2926, Al Baihaqi 2/496. Sanad hadits ini shahih. Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 1/416) Begitu juga terdapat dalil yang menunjukkan bahwa mereka melakukan shalat tarawih sebanyak 11 rakaat. Dari As Saa-ib bin Yazid, beliau mengatakan bahwa Umar bin Al Khottob memerintah Ubay bin Kaab dan Tamim Ad Daariy untuk melaksanakan shalat tarawih sebanyak 11 rakaat. As Saa-ib mengatakan, Imam membaca ratusan ayat, sampai-sampai kami bersandar pada tongkat karena saking lamanya. Kami selesai hampir shubuh. (HR. Malik dalam Al Muqatho, 1/137, no. 248. Sanadnyashahih. Lihat Shahih Fiqih Sunnah 1/418) Berbagai Pendapat Mengenai Jumlah Rakaat Shalat Tarawih Jadi, shalat tarawih 11 atau 13 rakaat yang dilakukan oleh Nabi shallallahu alaihi wa sallam bukanlah pembatasan. Sehingga para ulama dalam pembatasan jumlah rakaat shalat tarawih ada beberapa pendapat.

Pendapat pertama, yang membatasi hanya sebelas rakaat. Alasannya karena inilah yang dilakukan oleh Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Inilah pendapat Syaikh Al Albani dalam kitab beliau Shalatut Tarawaih.

Pendapat kedua, shalat tarawih adalah 20 rakaat (belum termasuk witir). Inilah pendapat mayoritas ulama semacam Ats Tsauri, Al Mubarok, Asy Syafii, Ash-haabur Royi, juga diriwayatkan dari Umar, Ali dan sahabat lainnya. Bahkan pendapat ini adalah kesepakatan (ijma) para sahabat. Al Kasaani mengatakan, Umar mengumpulkan para sahabat untuk melaksanakan qiyam Ramadhan lalu diimami oleh Ubay bin Kaab radhiyallahu Taala anhu. Lalu shalat tersebut dilaksanakan 20 rakaat. Tidak ada seorang pun yang mengingkarinya sehingga pendapat ini menjadi ijma atau kesepakatan para sahabat. Ad Dasuuqiy dan lainnya mengatakan, Shalat tarawih dengan 20 rakaat inilah yang menjadi amalan para sahabat dan tabiin. Ibnu Abidin mengatakan, Shalat tarawih dengan 20 rakaat inilah yang dilakukan di timur dan barat. Ali As Sanhuriy mengatakan, Jumlah 20 rakaat inilah yang menjadi amalan manusia dan terus menerus dilakukan hingga sekarang ini di berbagai negeri. Al Hanabilah mengatakan, Shalat tarawih 20 rakaat inilah yang dilakukan dan dihadiri banyak sahabat. Sehingga hal ini menjadi ijma atau kesepakatan sahabat. Dalil yang menunjukkan hal ini amatlah banyak. (Lihat Al Mawsuah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah, 2/9636)

Pendapat ketiga, shalat tarawih adalah 39 rakaat dan sudah termasuk witir. Inilah pendapat Imam Malik. Beliau memiliki dalil dari riwayat Daud bin Qois, dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah dan riwayatnya shahih. (Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 1/419)

Pendapat keempat, shalat tarawih adalah 40 rakaat dan belum termasuk witir. Sebagaimana hal ini dilakukan oleh Abdurrahman bin Al Aswad shalat malam sebanyak 40 rakaat dan beliau witir 7 rakaat. Bahkan Imam Ahmad bin Hambal melaksanakan shalat malam di bulan Ramadhan tanpa batasan bilangan sebagaimana dikatakan oleh Abdullah. (LihatKasyaful Qona an Matnil Iqna, 3/267) Kesimpulan dari pendapat-pendapat yang ada adalah sebagaimana dikatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Semua jumlah rakaat di atas boleh dilakukan. Melaksanakan shalat malam di bulan Ramadhan dengan berbagai macam cara tadi itu sangat bagus. Dan memang lebih utama adalah melaksanakan shalat malam sesuai dengan kondisi para jamaah. Kalau jamaah kemungkinan senang dengan rakaat-rakaat yang panjang, maka lebih bagus melakukan shalat malam dengan 10 rakaat ditambah dengan witir 3 rakaat, sebagaimana hal ini dipraktekkan oleh Nabi shallallahu alaihi wa sallam sendiri di bulan Ramdhan dan bulan lainnya. Dalam kondisi seperti itu, demikianlah yang terbaik. Namun apabila para jamaah tidak mampu melaksanakan rakaat-

rakaat yang panjang, maka melaksanakan shalat malam dengan 20 rakaat itulah yang lebih utama. Seperti inilah yang banyak dipraktekkan oleh banyak ulama. Shalat malam dengan 20 rakaat adalah jalan pertengahan antara jumlah rakaat shalat malam yang sepuluh dan yang empat puluh. Kalaupun seseorang melaksanakan shalat malam dengan 40 rakaat atau lebih, itu juga diperbolehkan dan tidak dikatakan makruh sedikitpun. Bahkan para ulama juga telah menegaskan dibolehkannya hal ini semisal Imam Ahmad dan ulama lainnya. Oleh karena itu, barangsiapa yang menyangka bahwa shalat malam di bulan Ramadhan memiliki batasan bilangan tertentu dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam sehingga tidak boleh lebih atau kurang dari 11 rakaat, maka sungguh dia telah keliru. (Majmu Al Fatawa, 22/272) Dari penjelasan di atas kami katakan, hendaknya setiap muslim bersikap arif dan bijak dalam menyikapi permasalahan ini. Sungguh tidak tepatlah kelakuan sebagian saudara kami yang berpisah dari jamaah shalat tarawih setelah melaksanakan shalat 8 atau 10 rakaat karena mungkin dia tidak mau mengikuti imam yang melaksanakan shalat 23 rakaat atau dia sendiri ingin melaksanakan shalat 23 rakaat di rumah. Orang yang keluar dari jamaah sebelum imam menutup shalatnya dengan witir juga telah meninggalkan pahala yang sangat besar.

Karena jamaah yang mengerjakan shalat bersama imam hingga imam selesai baik imam melaksanakan 11 atau 23 rakaat- akan memperoleh pahala shalat seperti shalat semalam penuh. Siapa yang shalat bersama imam sampai ia selesai, maka ditulis untuknya pahala qiyam satu malam penuh. (HR. Ahmad dan Tirmidzi. Syaikh Al Albani dalam Al Irwa 447 mengatakan bahwa hadits ini shahih). Semoga Allah memafkan kami dan juga mereka. Yang Paling Bagus adalah Yang Panjang Bacaannya Setelah penjelasan di atas, tidak ada masalah untuk mengerjakan shalat 11 atau 23 rakaat. Namun yang terbaik adalah yang dilakukan oleh Nabi shallallahu alaihi wa sallam, namun berdirinya agak lama. Dan boleh juga melakukan shalat tarawih dengan 23 rakaat dengan berdiri yang lebih ringan sebagaimana banyak dipilih oleh mayoritas ulama. Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda, Sebaik-baik shalat adalah yang lama berdirinya. (HR. Muslim no. 756) Dari Abu Hurairah, beliau berkata, - - Nabi shallallahu alaihi wa sallam melarang seseorang shalat mukhtashiron. (HR. Bukhari dan Muslim).

Ibnu Hajar rahimahullah- membawakan hadits di atas dalam kitab beliau Bulughul Marom, Bab Dorongan agar khusu dalam shalat. Sebagian ulama menafsirkan ikhtishor (mukhtashiron) dalam hadits di atas adalah shalat yang ringkas (terburu-buru), tidak ada thumaninah ketika membaca surat, ruku dan sujud. (Lihat Syarh Bulughul Marom, Syaikh Athiyah Muhammad Salim, 49/3, Asy Syamilah) Oleh karena itu, tidak tepat jika shalat 23 rakaat dilakukan dengan kebut-kebutan, bacaan Al Fatihah pun kadang dibaca dengan satu nafas. Bahkan kadang pula shalat 23 rakaat yang dilakukan lebih cepat selesai dari yang 11 rakaat. Ini sungguh suatu kekeliruan. Seharusnya shalat tarawih dilakukan dengan penuh khusyu dan thumaninah, bukan dengan kebut-kebutan. Semoga Allah memberi taufik dan hidayah. *** Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal DZIKIR DENGAN SUARA KERAS MENURUT IBNU 'ABBAS Majelis Tarjih, PP Muhammadiyah (2007) DZIKIR DENGAN SUARA KERAS MENURUT IBNU 'ABBAS. DZIKIR DENGAN SUARA KERAS MENURUT IBNU 'ABBAS (387).

Abstract

Pada dua ayat tersebut, yaitu ayat 55 dan 205 surat al-Araf, Allah memerintahkan kepada kaum Muslimin agar berdoa dan berzikir dengan merendahkan diri dan tidak mengeraskan suara. Demikian pula hadits yang diriwayatkan Abu Musa, menegaskan agar merendahkan suara dalam berdoa kepada Allah, sebab Allah SWT tidak tuli dan tidak jauh, melainkan Dia Maha Mendengar lagi Maha Dekat. Jelaslah bahwa apa yang diriwayatkan Ibnu Abbas menurut yang saudara sampaikan itu bertentangan dengan al-Quran dan hadits shahih yang diriwayatkan oleh Muslim. Maka riwayat tersebut tidak dapat diamalkan. Sebaiknya ikuti saja apa yang telah ditegaskan dalam al-Quran.

Berdzikir dengan Pengeras Suara Dzikir adalah perintah Allah SWT yang harus kita laksanakan setiap saat, dimanapun dan kapanpun. Allah selalu mendengar apapun yang kita ucapkan oleh mulut atau hati kita. Dzikir merupakan salah satu sarana komunikasi antara makhluk dengan khaliqnya. Dengan berdzikir seseorang dapat meraih ketenangan, karena pada saat berdzikir ia telah menemukan tempat berlindung dan kepasrahan total kepada Allah SWT.

Oleh karena itu, dzikir harus dilaksanakan dengan sepenuh hati, jiwa yang tulus, dan hati yang khusyu' penuh khidmat. Untuk bisa berdzikir dengan hati yang khusyu' itu diperlukan perjuangan yang tidak ringan,

masing-masing orang memiliki cara tersendiri. Bisa jadi satu orang lebih khusyu' kalau berdzikir dengan cara duduk menghadap kiblat, sementara yang lain akan lebih khusyu' dan khidmat jika wirid dzikir dengan cara berdiri atau berjalan, ada pula dengan cara mengeraskan dzikir atau dengan cara dzikir pelan dan hampir tidak bersuara untuk mendatangkan konsentrasi dan ke-khusyu'-an. Maka cara dzikir yang lebih utama adalah melakukan dzikir pada suasana dan cara yang dapat medatangkan ke-khusyu-an.

Imam Zainuddin al-Malibari menegaskan: Disunnahkan berzikir dan berdoa secara pelan seusai shalat. Maksudnya, hukumnya sunnah membaca dzikir dan doa secara pelan bagi orang yang shalat sendirian, berjemaah, imam yang tidak bermaksud mengajarkannya dan tidak bermaksud pula untuk memperdengarkan doanya supaya diamini mereka." (Fathul Muin: 24). Berarti kalau berdzikir dan berdoa untuk mengajar dan membimbing jamaah maka hukumnya boleh mengeraskan suara dzikir dan doa.

Memang ada banyak hadits yang menjelaskan keutamaan mengeraskan bacaan dzikir, sebagaimana juga banyak sabda Nabi SAW yang menganjurkan untuk berdzikir dengan suara yang pelan. Namun sebenarnya hadits itu tidak bertentangan, karena masingmasing memiliki tempatnya sendiri-sendiri. Yakni disesuaikan dengan

situasi dan kondisi.

Contoh hadits yang menganjurkan untuk mengeraskan dzikir riwayat Ibnu Abbas berikut ini: "Aku mengetahui dan mendengarnya (berdzikir dan berdoa dengan suara keras) apabila mereka selesai melaksanakan shalat dan hendak meninggalkan masjid. (HR Bukhari dan Muslim)

Ibnu Adra berkata: "Pernah Saya berjalan bersama Rasulullah SAW lalu bertemu dengan seorang laki-laki di Masjid yang sedang mengeraskan suaranya untuk berdzikir. Saya berkata, wahai Rasulullah mungkin dia (melakukan itu) dalam keadaan riya'. Rasulullah SAW menjawab: "Tidak, tapi dia sedang mencari ketenangan."

Hadits lainnya justru menjelaskan keutamaan berdzikir secara pelan. Sa'd bin Malik meriwayatkan Rasulullah saw bersabda, "Keutamaan dzikir adalah yang pelan (sirr), dan sebaik rizki adalah sesuatu yang mencukupi." Bagaimana menyikapi dua hadits yang seakan-akan kontradiktif itu. berikut penjelasan Imam Nawawi: .

"

Imam Nawawi menkompromikan (al jamu wat taufiq) antara dua hadits yang mensunnahkan mengeraskan suara dzikir dan hadist yang mensunnahkan memelankan suara dzikir tersebut, bahwa memelankan dzikir itu lebih utama sekiranya ada kekhawatiran akan riya', mengganggu orang yang shalat atau orang tidur, dan mengeraskan dzikir lebih utama jika lebih banyak mendatangkan manfaat seperti agar kumandang dzikir itu bisa sampai kepada orang yang ingin mendengar, dapat mengingatkan hati orang yang lalai, terus merenungkan dan menghayati dzikir, mengkonsentrasikan pendengaran jamaah, menghilangkan ngantuk serta menambah semangat." (Ruhul Bayan, Juz III: h. 306).

Kesimpulannya, bahwa dzikir itu tidak mesti harus dengan suara keras atau pelan tetapi tergantung kepada situasi dan kondisi; jika dalam kondisi ingin mengajarkan, membimbing dan menambah ke-khusyu-an maka mengeraskan suara dzikir itu hukumnya sunnah dan tidak bertentangan dengan ajaran agama Islam. Bahkan dalam beberapa keadaan sangat dianjurkan untuk mengeraskan dzikir.

Namun disunnahkan memelankan suara dzikir jika sekiranya mengeraskan suara dzikir dapat menggangu kekhusyu-an diri sendiri dan orang lain, mengganggu orang orang tidur dan menyebabkan hati riya. Bagi kita umat muslim hendaklah menghindari mengeraskan suara dzikir yang dapat mengganggu kenyamanan dan ketenangan masyarakat. Wallahu alam bis shawab.

Percakapan Imam Ghazali dengan Muridnya Posted by: Dadan Gumbira Pramudia on: Mei 7, 2008

In: Hikmah | Religi | Tokoh

Comment!

Pasti sudah banyak yang mendengar tentang nasehat Imam Ghazali ini kepada para muridnya. Saya kutip di sini percakapannya untuk merefresh kembali, dan mengambil hikmahnya:

Imam Ghazali = Apakah yang paling dekat dengan diri kita di dunia ini ? Murid 1 = Orang tua Murid 2 = Guru Murid 3 = Teman Murid 4 = Kaum kerabat Imam Ghazali = Semua jawapan itu benar. Tetapi yang paling dekat dengan kita ialah MATI. Sebab itu janji Allah bahwa setiap yang bernyawa pasti akan mati ( Surah Ali-Imran :185). Imam Ghazali = Apa yang paling jauh dari kita di dunia ini ? Murid 1 = Negeri Cina Murid 2 = Bulan Murid 3 = Matahari Murid 4 = Bintang-bintang Iman Ghazali = Semua jawaban itu benar. Tetapi yang paling benar adalahMASA LALU. Bagaimanapun kita, apapun kendaraan kita, tetap kita tidak akan dapat kembali ke masa yang lalu. Oleh sebab itu kita harus menjaga hari ini, hari esok dan hari-hari yang akan datang dengan perbuatan yang sesuai dengan ajaran Agama. Iman Ghazali = Apa yang paling besar di dunia ini ? Murid 1 = Gunung Murid 2 = Matahari Murid 3 = Bumi

Imam Ghazali = Semua jawaban itu benar, tapi yang besar sekali adalahHAWA NAFSU (Surah Al Araf: 179). Maka kita harus hati-hati dengan nafsu kita, jangan sampai nafsu kita membawa ke neraka. Imam Ghazali= Apa yang paling berat didunia? Murid 1 = Baja Murid 2 = Besi Murid 3 = Gajah Imam Ghazali = Semua itu benar, tapi yang paling berat adalah MEMEGANG AMANAH (Surah Al-Azab : 72 ). Tumbuhtumbuhan, binatang, gunung, dan malaikat semua tidak mampu ketika Allah SWT meminta mereka menjadi khalifah pemimpin di dunia ini. Tetapi manusia dengan sombongnya berebut-rebut menyanggupi permintaan Allah SWT sehingga banyak manusia masuk ke neraka kerana gagal memegang amanah. Imam Ghazali = Apa yang paling ringan di dunia ini ? Murid 1 = Kapas Murid 2 = Angin Murid 3 = Debu Murid 4 = Daun-daun Imam Ghazali = Semua jawaban kamu itu benar, tapi yang paling ringan sekali didunia ini adalah MENINGGALKAN SOLAT. Gara-gara pekerjaan kita atau urusan dunia, kita tinggalkan solat

Imam Ghazali = Apa yang paling tajam sekali di dunia ini? Murid- Murid dengan serentak menjawab = Pedang Imam Ghazali = Itu benar, tapi yang paling tajam sekali didunia ini adalahLIDAH MANUSIA. Kerana melalui lidah, manusia dengan mudahnya menyakiti hati dan melukai perasaan saudaranya sendiri Hikmah:

Perbanyak ibadah sesungguhnya kematian adalah dekat. Pergunakan waktu sebaik mungkin karena kita tidak dapat mengulang masa lalu.

Berhati-hati dengan hawa nafsu, jangan sampai nafsu kita membawa ke neraka.

Tunaikan selalu amanah. Ingat bahwa manusia dan jin diciptakan adalah untuk beribadah kepada Allah semata.

Dalam kesibukan apapun, jangan tinggalkan shalat. Berhati-hati dengan ucapan kita, karena melalui lidah kita mudah untuk menyinggung/ melukai hati saudara kita. Kaitkata: al a'raf, al azab, al imran, Hikmah, imam, imam ghazali, murid,muslim, sejarah islam, tokoh islam

Ketidakmampuan Dunia Memiliki Imam Nawawi Wednesday, 23/03/2011 10:02 WIB | Versi Cetak Seorang raja Damaskus di tahun 676 Hijriyah pernah mengalami kesulitan menghadapi ketegaran seorang ulama. Bayangkan, seluruh

ahli fikih di negerinya sudah sepakat dengan gagasannya memobilisasi dana rakyat untuk jihad melawan kerajaan Tartar di Syiria. Tapi, seorang ulama itu tidak. Ia menolak dengan tegas.

Sang raja yang bernama Zhahir Baibras itu pun menanyakan siapa ulama tersebut. Dan tahulah ia kalau ulama yang agak beda itu bernama Yahya bin Syaraf, dengan panggilan akrab Abu Zakaria.

Zhahir ingin tahu lebih banyak siapa Abu Zakaria itu. Seberapa besarkah pengaruh ketidaksetujuannya jika kebijakan mobilisasi dana itu dilakukan? Seorang pejabat istana menjelaskan kalau Abu Zakaria sangat dihormati dan disegani para ulama di Damaskus.

Zhahir pun memanggil Abu Zakaria ke istananya. Ia ingin mendengar langsung argumen ketidaksetujuan sang ulama. Kenapa Anda tidak setuju kebijakan saya sementara para ulama di negeri ini sudah menyetujui? tanya Zhahir ke ulama yang masih tergolong muda jika dibanding dengan pengaruhnya yang begitu besar terhadap ulama lain.

Abu Zakaria mengatakan, Aku akan setuju kebijakan Anda untuk menarik dana dari rakyat jika Anda telah melakukan satu hal.

Zhahir pun penasaran. Apa itu? ucap Zhahir.

Bukankah Anda mempunyai seratus budak pria dan dua ratus budak wanita. Dan setiap budak Anda itu menyimpan emas anda melalui perhiasan yang mereka pakai. Kalau semua perhiasan yang mereka pakai itu sudah anda tarik untuk biaya perang, maka baru aku akan setuju Anda menarik dana dari rakyat! jelas Abu Zakaria tanpa rasa takut dan sungkan.

Mendengar itu sang raja langsung melotot. Ia marah besar dengan pernyataan sang ulama muda itu. Ia pun membentak sang ulama, Berani benar kau mengatakan itu. Silakan pergi dari negeriku!

Sang ulama pun pergi meninggalkan negeri kelahirannya menuju sebuah kota yang bernama Nawa. Sebulan kemudian, di usianya yang baru 45 tahun, ulama yang dikenal sangat zuhud ini pun meninggalkan dunia untuk selamanya. Beliaulah yang kemudian dikenal dengan sebutan Imam Nawawi.

Tak ada kesan yang bisa ditangkap dari seorang Imam Nawawi dari para murid dan ulama di zamannya, kecuali sebuah ketakjuban. Imam Nawawi dikenal begitu tekun dalam mencari ilmu, begitu kuat dalam menunaikan ibadah, teramat dekat dengan Alquran, dan selalu menjauh dengan syahwat duniawiyah.

Kesibukan ilmiah dan ibadahnya telah membuatnya teramat asing dengan perhiasan dunia. Ulama sezamannya mengakui bahwa Imam

Nawawi tidak memiliki dunia. Dan, dunia pun tidak mampu memilikinya.

Ketika menilai sosok Imam Nawawi, para ulama di zamannya selalu teringatkan dengan sebuah hadits Rasulullah saw. yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Turmudzi, dan Ibnu Majah dari Ibnu Masud.

Antara aku dan dunia adalah seperti seorang pengendara yang beristirahat di bawah sebuah pohon yang teduh, kemudian pergi meninggalkannya. (muhammadnuh@eramuslim.com)

You might also like