You are on page 1of 16

COLLABORATIVE LEARNING (TT) ATRESIA ANI DAN HISPRUNG

Anggota Kelompok
Yesi Andriani Yosepha Esti S. Ambar Rahman Pratiwi Sesuluh Putri Tan Nina Fibriola Henidar Sekarningtyas P. Herlinda Dwi Ningrum Auliasari Siskaningrum Lisa Royani Mita Prima Yusifa Mega Fahlevi Y. W. U. (105070200111012) (105070200111013) (105070200111014) (105070200111015) (105070200111016) (105070204111002) (105070204111004) (105070204111005) (105070207111013) (105070207111014) (105070207111015)

JURUSAN ILMU KEPERAWATAN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA 2013

1. Definisi Atresia Ani Istilah atresia berasal dari yunani yaitu a yang berarti tidak ada dan trepsis yang berarti makanan atau nutrisi. Dalam istilah kedokteran, atresia adalah suatu keadaan tidak adanya atau tertutupnya lubang badan normal. Atresia ani adalah malformasi congenital dimana rectum tidak mempunyai lubang keluar (Walley, 1996). Ada juga yang menyebutkan bahwa atresia ani adalah tidak lengkapnya perkembangan embrionik pada distal anus atau tertutupnya anus secara abnormal (Suriadi, 2001). Sumber lain menyebutkan atresia ani adalah kondisi dimana terjadi gangguan pemisahan kloaka selama pertumbuhan dalam kandungan. Jadi kesimpulannya, atresia ani adalah kelainan congenital anus dimana anus tidak mempunyai lubang untuk mengeluarkan feses karena terjadi gangguan pemisahan kloaka yang terjadi saat kehamilan. Walaupun kelainan lubang anus mudah terbukti saat lahir, tetapi kelainan bisa terlewatkan bila tidak ada pemeriksaan yang cermat atau pemeriksaan perineum. 2. Klasifikasi Atresia Ani Secara fungsional, pasien atresia ani dapat dibagi menjadi 2 kelompok besar yaitu : a Tanpa anus tetapi dengan dekompresi adequate traktus gastrointestinalis dicapai melalui saluran fistula eksterna. Kelompok ini terutama melibatkan bayi perempuan dengan fistula rectovagina atau rectofourchette yang relatif besar, dimana fistula ini sering dengan bantuan dilatasi, maka bisa didapatkan dekompresi usus yang adequate sementara waktu. b Tanpa anus dan tanpa fistula traktus yang tidak adequate untuk jalan keluar tinja. Pada kelompok ini tidak ada mekanisme apapun untuk menghasilkan dekompresi spontan kolon, memerlukan beberapa bentuk intervensi bedah segera.

Klasifikasi

menurut

Melbourne

yang

membagi

berdasarkan

garis

pubokoksigeus dan garis yang melewati ischii : a. Letak tinggi apabila rektum berakhir diatas muskulus levator ani (muskulus pubokoksigeus) b. Letak intermediate apabila akhiran rektum terletak di muskulus levator ani. c. Letak rendah apabila akhiran rektum berakhir di bawah muskulus levator ani.

Gambaran malformasi anorektal pada perempuan.

3. Epidemiologi Atresia Ani

Angka kejadian rata-rata malformasi anorektal di seluruh dunia adalah 1 dalam 5000 kelahiran (Grosfeld J, 2006) . Secara umum, atresia ani lebih banyak ditemukan pada laki - laki daripada perempuan. Fistula rektouretra merupakan kelainan yang paling banyak ditemui pada bayi laki -laki, diikuti oleh fistula perineal. Sedangkan pada bayi perempuan, jenis atresia ani yang paling banyak ditemui adalah atresia ani diikuti fistula rektovestibular dan banyak fistula perineal (Oldham K, 2005)Hasil penelitian Boocock dan Donna di Manchester menunjukkan bahwa atresia ani letak rendah lebih ditemukan dibandingkan atresia letak tinggi( Boocock G, 1987).

4. Patofisiologi Atresia Ani

Gangguan pertumbuhan saat kehamilan usia 12 minggu Fusi Pembentukan anus dari tonjolan embriogenik Putusnya saluran pencernaan dari atas dg daerah dubur

ATRESIA ANI

Feses tidak keluar

vistelrektovaginal

Feses menumpuk

feses masuk uretra

Peningkatan tekanan intra abdominal

reabsorbsi metabolisme oleh tubuh

mikroorganism masuk salurankemih

anoplasti

mualmuntah

keracunan

dysuria

resiko nutrisi kurang dari keb

G3 rasa nyaman

nyeri

G3 eliminasi BAK

perubahan defekasi

trauma jaringan

pengeluaran tdk terkontrol

nyeri

perawatan tidak adekuat

iritasi 5. Faktor Risiko Atresia Ani

a) Adanya kegagalan pembentukan septum urorektal secara komplit karena gangguan pertumbuhan, fusi, atau pembentukan anus dari tonjolan embrionik. b) Putusnya saluran pencernaan dari atas dengan dubur, sehingga bayi lahir tanpa lubang anus. c) Gangguan organogenesis dalam kandungan penyebab atresia ani, karena ada kegagalan pertumbuhan saat bayi dalam kandungan berusia 12 minggu atau 3 bulan. d) Kelainan bawaan, anus umumnya tidak ada kelainan rektum, sfingter, dan otot dasar panggul. Namum demikian pada agenesis anus, sfingter internal mungkin tidak memadai. Menurut penelitian beberapa ahli masih jarang terjadi bahwa gen autosomal resesif yang menjadi penyebab atresia ani. Orang tua tidak diketahui apakah mempunyai gen carier penyakit ini. Janin yang diturunkan dari kedua orang tua yang menjadi carier saat kehamilan mempunyai peluang sekitar 25 % - 30 % dari bayi yang mempunyai sindrom genetik, abnormalitas kromosom, atau kelainan kongenital lain juga beresiko untuk menderita atresia ani (Purwanto, 2001). e) Faktor Predisposisi.

Atresia ani dapat terjadi disertai dengan beberapa kelainan kongenital saat lahir seperti : Sindrom vactrel (sindrom dimana terjadi abnormalitas pada vertebral, anal, jantung, trachea, esofahus, ginjal dan kelenjar limfe). Kelainan sistem pencernaan. Kelainan sistem pekemihan. Kelainan tulang belakang.

6. Manifestasi Klinis Atresia Ani a. Mekonium tidak keluar dalam 24jam pertama setelah kelahiran b. Tidak dapat mengukur suhu rectal pada bayi c. Mekonium keluar melalui sebuah fistula atau anus yang salah letaknya d. Distensi bertahap dan adanya tanda-tanda obstruksi usus bila tidak ada fistula e. Bayi muntah-muntah pada umur 24-48 jam f. Perut kembung

7. Pemeriksaan Diagnostik Atresia Ani Untuk memperkuat diagnosis sering diperlukan pemeriksaan penunjang sebagai berikut: a. Pemeriksaan radiologis Dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya obstruksi intestinal. b. Sinar X terhadap abdomen Dilakukan untuk menentukan kejelasan keseluruhan bowel dan untuk mengetahui jarak pemanjangan kantung rectum dari sfingternya. c. CT Scan

Digunakan untuk menentukan lesi. d. Pemeriksaan fisik rectum Kepatenan rectal dapat dilakukan colok dubur dengan menggunakan selang atau jari. e. Rontgenogram abdomen dan pelvis Juga bisa digunakan untuk mengkonfirmasi adanya fistula yang berhubungan dengan traktus urinarius. f. Pemeriksaan rectal digital dan visual Pemeriksaan diagnostik yang umum dilakukan pada gangguan ini. Pemeriksaan fisik rectum kepatenan rectal dapat dilakukan colok dubur dengan menggunakan selang atau jari. g. Jika ada fistula, urin dapat diperiksa untuk memeriksa adanya sel-sel epitel mekonium. h. Ultrasound dapat digunakan untuk menentukan letak rectal kantong. Ultrasound terhadap abdomen Digunakan untuk melihat fungsi organ internal terutama dalam system pencernaan dan mencari adanya faktor reversible seperti obstruksi oleh karena massa tumor. i. Aspirasi jarum untuk mendeteksi kantong rectal dengan menusukan jarum tersebut sampai melakukan aspirasi, jika mekonium tidak keluar pada saat jarum sudah masuk 1,5 cm Derek tersebut dianggap defek tingkat tinggi. Menurut Pena yang dikutipkan Faradilla untuk mendiagnosa menggunakan cara: 1. Bayi laki-laki dilakukan pemeriksaan perineum dan urin bila : a. Fistel perianal (+), bucket handle, anal stenosis atau anal membran berarti atresia letak rendah maka dilakukan minimal Postero Sagital Anorektoplasti (PSARP) tanpa kolostomi b. Bila mekoneum (+) maka atresia letak tinggi dan dilakukan kolostomi terlebih dahulu, setelah 8 minggu kemudian dilakukan tindakan definitif. Apabila pemeriksaan diatas meragukan dilakukan invertrogram. Bila akhiran rektum < 1 cm dari kulit maka disebut letak rendah. Akhiran rektum > 1 cm disebut letak tinggi. Pada laki-laki fistel dapat berupa rektovesikalis, rektouretralis dan rektoperinealis. 2. Pada bayi perempuan 90 % atresia ani disertai dengan fistel.

Bila ditemukan fistel perineal (+) maka dilakukan minimal PSARP tanpa kolostomi. Bila fistel rektovaginal atau rektovestibuler dilakukan kolostomi terlebih dahulu. Bila fistel (-) maka dilakukan invertrogram: apabila akhiran < 1 cm dari kulit dilakukan postero sagital anorektoplasti, apabila akhiran > 1 cm dari kulit dilakukan kolostom terlebih dahulu. Leape (1987) yang dikutip oleh Faradilla menyatakan bila mekonium didadapatkan pada perineum, vestibulum atau fistel perianal maka kelainan adalah letak rendah . Bila Pada pemeriksaan fistel (-) maka kelainan adalah letak tinggi atau rendah. Pemeriksaan foto abdomen setelah 18-24 jam setelah lahir agar usus terisis\ udara, dengan cara Wangenstein Reis (kedua kaki dipegang posisi badan vertikal dengan kepala dibawah) atau knee chest position (sujud) dengan bertujuan agar udara berkumpul didaerah paling distal. Bila terdapat fistula lakukan fistulografi (Faradilla, 2009). Pada pemeriksan klinis, pasien atresia ani tidak selalu menunjukkan gejala obstruksi saluran cerna. Untuk itu, diagnosis harus ditegakkan pada pemeriksaan klinis segera setelah lahir dengan inspeksi daerah perianal dan dengan memasukkan termometer melalui anus. (Levitt M, 2007) Mekonium biasanya tidak terlihat pada perineum pada bayi dengan fistula rektoperineal hingga 16-24 jam. Distensi abdomen tidak ditemukan selama beberapa jam pertama setelah lahir dan mekonium harus dipaksa keluar melalui fistula rektoperineal atau fistula urinarius. Hal ini dikarenakan bagian distal rektum pada bayi tersebut dikelilingi struktur otot-otot volunter yang menjaga rektum tetap kolaps dan kosong. Tekanan intrabdominal harus cukup tinggi untuk menandingi tonus otot yang mengelilingi rektum. Oleh karena itu, harus ditunggu selama 16-24 jam untuk menentukan jenis atresia ani pada bayi untuk menentukan apakah akan dilakukan colostomy atau anoplasty (Levitt M, 2007). Inspeksi perianal sangat penting. Flat "bottom" atau flat perineum, ditandai dengan tidak adanya garis anus dan anal dimple mengindikasikan bahwa pasien memiliki otot-otot perineum yang sangat sedikit. Tanda ini berhubungan dengan atresia ani letak tinggi dan harus dilakukan colostomy (Levitt M, 2007). Tanda pada perineum yang ditemukan pada pasien dengan atresia ani letak rendah meliputi adanya mekonium pada perineum, "bucket-handle" (skin tag yang terdapat pada anal dimple), dan adanya membran pada anus (tempat keluarnya mekonium) (Levitt M, 2007).

8. Penatalaksanaan Medis Atresia Ani

Pembuatan kolostomi Kolostomi adalah sebuah lubang buatan yang dibuat oleh dokter

ahli bedah pada dinding abdomen untuk mengeluarkan feses. Pembuatan lubang biasanya sementara atau permanen dari usus besar atau colon iliaka. Pada kelainan anorektal letak tinggi atau intermediet, setelah diagnosis ditegakkan, segera dilakukan kolostomi selanjutnya dibuatkan lopogram untuk mengetahui macam fistula. PSARP (Posterio Sagital Ano Rectal Plasty) Bedah definitifnya yaitu anoplasty dan umumnya ditunda 9 sampai 12 bulan. Penundaan ini dimaksudkan untuk memberi waktu pelvis untuk membesar dan pada otot-otot untuk berkembang. Tindakan ini juga memungkinkan bayi untuk menambah berat badannya dan bertambah baik status nutrisinya. Pada kelainan anorektal letak rendah, penderita laki-laki dilakukan anoplasty perineal dengan prosedur V-Y plasti, sedangkan untuk wanita dilakukan cut back atau prosedur V-Y seperti laki-laki (Bisset 1977 dan Filston, 1986). Tutup kolostomi Tindakan yang terakhir dari atresia ani. Biasanya beberapa hari setelah operasi, anak akan mulai BAB melalui anus. Pertama, BAB akan sering tetapi seminggu setelah operasi BAB berkurang frekuensinya dan agak padat. 1. Definisi Hisprung Penyakit Hisprung (Hirschprung) adalah kelainan bawaan penyebab gangguan pasase usus, yang diperkenalkan pertama kali oleh Hirschprung tahun 1886. Zuelser dan Wilson, 1984 mengemukakan bahwa pada dinding usus yang menyempit tidak ditemukan ganglion parasimpatis. Penyakit ini merupakan keadaan usus besar (kolon) yang tidak mempunyai persarafan (aganglionik). Karena ada bagian dari usus besar (mulai dari anus ke arah atas) yang tidak mempunyai persarafan (ganglion), maka terjadi kelumpuhan usus besar dalam menjalankan fungsinya sehingga usus menjadi membesar (megakolon). Panjang usus besar yang terkena berbeda-beda untuk setiap individu.

2. Klasifikasi Hisprung Klasifikasi penyakit hisprung dibagi menjadi 2 kelompok besar, yaitu : Tipe kolon spastik, biasanya dipicu oleh makanan, menyebabkan konstipasi berkala (konstipasi periodik) atau diare disertai nyeri. Kadang konstipasi silih berganti dengan diare. Sering tampak lendir pada tinjanya. Nyeri bisa berupa serangan nyeri tumpul atau kram, biasanya di perut sebelah bawah. Perut terasa kembung, mual, sakit kepala, lemas, depresi, kecemasan dan sulit untuk berkonsentrasi. Buang air besar sering meringankan gejala-gejalanya. Tipe yang kedua menyebabkan diare tanpa rasa nyeri dan konstipasi yang relatif tanpa rasa nyeri. Diare mulai secara tiba-tiba dan tidak dapat ditahan. Yang khas adalah diare timbul segera setelah makan. Beberapa penderita mengalami perut kembung dan konstipasi dengan disertai sedikit nyeri.

Menurut segmen aganglionik maka penyakit ini dibagi dalam : Megakolon kongenital segmen pendek, bila segmen aganglionik meliputi rektum sampai sigmoid (70-80%)

Megakolon kongenital segmen panjang, bila segmen aganglionik lebih tinggi dari sigmoid (20%) Kolon aganglionik total, bila segmen aganglionik mengenai seluruh kolon (5-10%) Kolon aganglionik universal, bila segmen aganglionik meliputi seluruh usus sampai pylorus (5%).

3. Epidemiologi Hisprung Insidensi penyakit Hirschsprung tidak diketahui secara pasti, tetapi berkisar 1 diantara 5000 kelahiran hidup. Dengan jumlah penduduk Indonesia 200 juta dan tingkat kelahiran 35 permil, maka diprediksikan setiap tahun akan lahir 1400 bayi dengan penyakit Hirschsprung. Menurut catatan Sedangkan Swenson, 81,1% dari 880 kasus yang diteliti adalah laki-laki.

Richardson dan Brown menemukan tendensi faktor keturunan pada penyakit ini (ditemukan 57 kasus dalam 24 keluarga). Beberapa kelainan kongenital dapat ditemukan bersamaan dengan penyakit Hirschsprung, namun hanya 2 kelainan yang memiliki angka yang cukup signifikan yakni Down Syndrome (5-10%) dan kelainan urologi (3%). Hanya saja dengan adanya fekaloma, maka dijumpai gangguan urologi seperti refluks vesikoureter, hydronephrosis dan gangguan vesica urinaria (mencapai 1/3 kasus) (Swenson dkk, 1990).

4. Patofisiologi Hisprung Dalam keadaan normal, bahan makanan yang dicerna dapat berjalan di sepanjang usus karena adanya kontraksi ritmis dari otot otot yang melapisi usus (kontraksi ritmis ini disebut gerakan peristaltic). Kontraksi otot otot tersebut dirangsang oleh sekumpulan saraf yang disebut ganglion, yang terletak dibawah lapisan otot. Pada penyakit hirschsprung, ganglion atau/pleksus yang memerintahkan gerakan peristaltic tidak ada, biasanya hanya sepanjang beberapa sentimeter. Segmen usus yang tidak memiliki

gerakan peristaltic tidak dapat mendorong bahan bahan yang dicerna sehingga terjadi penyumbatan( Dasgupta, 2004). Dengan kondisi tidak adanya ganglion, maka akan memberikan

manifestasi gangguan atau tidak adanya peristaltis sehingga akan terjadi tidak adanya evakuasi usus spontas. Selain itu sfingter rectum tudak dapat berelaksaksi secara optoman, kondisi ini dapat mencegah keluarnya feses secara normal. Isi usus kemuadian terdorong ke segmen aganglionik dan terjadi akumulasi feses di daerah tersebut sehingga memberikan manifestasi klisin dilastasi usus pada bagian proksimal. Penyakit Hirscprung, atau megakolon kongenital adalah tidak adanya selsel gangliondalam rektum atau bagian rektosigmoid kolon. Ketidakadaan ini menimbulkan keabnormalanatau tidak adanya peristalsis serta tidak adanya evakuasi usus spontan.Selain itu, sfingter rektum tidak dapat berelaksasi, mencegah keluarnya feses secaranormal. Isi usus terdorong ke segmen aganglionik dan feses terkumpul di daerah tersebut,menyebabkan dilatasinya bagian usus yang proksimal terhadap daerah itu. Penyakithirscprung diduga terjadi karena faktor-faktor genetik dan faktor lingkungan, namun etiologisebanarnya tidak diketahui. Penyakit hairscprung dapat muncul pada sembarang usia,walaupun sering terjadi pada neonatus.

5. Faktor Risiko Hisprung Diduga terjadi karena faktor genetic sering terjadi pada anak dengan down syndrome, kegagalan sel neural pada masa embrio dalam dinding usus, gagal eksistensi, kranio kaudal pada myentrik dan sub mukosa dinding plexus (budi, 2010)

6. Manifestasi Klinis Hisprung Masa Neonatal : a. Pada bayi yang baru lahir, kebanyakan gejala muncul 24 jam pertama kehidupan. Dengan gejala yang timbul : distensi abdomen dan bilious emesis. Tidak keluarnya mekonium (tinja pertama pada bayi baru lahir) pada 24jam pertama kehidupan merupakan tanda yang signifikan mengarah pada diagnosis ini. b. Muntah berisi empedu, karena makanan terlalu banyak dicolon sehingga makanan naik c. Distensi abdomen, karena makanan tertahan di sigmoid colon d. Nggan menyusui e. Demam f. Adanya feses yang menyemprot pas pada colok dubur merupakan tanda yang khas. Bila telah timbul enterokolitis nikrotikans, terjadi distensi abdomen hebat dan diare berbau busuk yang dap;at berdarah Masa bayi dan kanak-kanak 1. Konstipasi karena tidak berfungsinya pleksus submukosa meisner dan pleksus mienterik aurbach

2. Umumnya diare ditemukan pada bayi dengan penyakit hirschsprung yang berumur kurang dari 3 bulan. Dimana beberapa ahli berpendapat bahwa gejala diare sendiri adalah enterocolitis ringan 3. Tinja seperti pita, berbau busuk 4. Gagal tumbuh

7. Pemeriksaan Diagnostik Hisprung a) Pemeriksaan dengan barium enema, dengan pemeriksaan ini akan bisa ditemukan : a. Daerah transisi b. Gambaran kontraksi usus yang tidak teratur di bagian usus yang menyempit c. Entrokolitis padasegmen yang melebar d. Terdapat retensi barium setelah 24-48 jam ( Darmawan K, 2004 : 17 ) b) Biopsi isap, yaitu mengambil mukosa dan sub mukosa dengan alat penghisap dan mencari sel ganglion pada daerah sub mukosa ( Darmawan K, 2004 :17 ). c) Biopsi otot rektum, yaitu pengambilan lapisan otot rektum. d) Periksaan aktivitas enzim asetil kolin esterase dari hasil biobsi isap pada penyakit ini khas terdapat peningkatan, aktifitas enzimasetil kolin esterase ( Darmawan K, 2004 : 17 ). e) Pemeriksaan aktivitas norepinefrin dari jaringan biopsi usus ( Betz, cecily & Sowden, 2002 : 197 ). f) Pemeriksaan colok anus. Pada pemeriksaan ini jari akan merasakan jepitan dan pada waktu tinja yang menyemprot. Pemeriksaan ini untuk mengetahu bahu dari tinja, kotoran yang menumpuk dan menyumbat pada usus di bagian bawah dan akan terjadi pembusukan.

8. Penatalaksanaan Medis Hisprung Penatalaksanaan medis yang dpat dilakukan pada klien dengan penyakit Hisprung, antara lain : 1. Tindakan konservative Tindakan konservative yaitu tindakan darurat untuk menghilangkan tandatanda obstruksi rendah dengan jalan memasang anal tube dengan atau tanpa disertai pembilasan dengan air garam hangat secara teratur.(FKUI halaman 207). Penatalaksanaan tanpa pembedahan dengan melakukan irigasi kolon berulang hingga bayi mencapai ukuran yang memuaskan tidak dianjurkan karena beresiko terjadi enterokolitis fatal (Nelson halaman 428). 2. Intervensi bedah Pembedahan pada penyakit hisprung dilakukan dalam dua tahap. Mula-mula dilakukan kolostomi sementara (1) untuk mendekompresi usus dan mengalihkan feses, dan (2) untuk memungkinkan bagian usus yang berdilatasi dan hipertrofi kembali ke tonus dan ukuran normalnya (memerlukan waktu kira-kira 3 sampai 4 bulan). Bila umur bayi itu antara 6 dan 12 bulan (atau bila beratnya 8 sampai 10 kg), prosedur penyambungan ke rectum dilakukan bila semua usus aganglionik sudah dibuang dan usus normal disambung kembali dengan anus. Kolostomi juga ditutup (Betz, 2009). Kolostomi merupakan tindakan operasi darurat dan dimaksudkan untuk menghilangkan gejala obstruksi usus dan memperbaiki keadaan umum penderita sebelum operasi. (FKUI halaman 207). Persiapan prabedah : 1. 2. 3. 4. 5. Lavase kolon Antibiotika Infuse intravena Tuba nasogastrik Perawatan prabedah rutin

Pembedahan hisprung dilakukan dalam 2 tahap, yaitu dilakukan kolostomi loop atau double-barrel sehingga tonus dan ukuran usus yang dilatasi dan hipertropi dapat kembali normal (memerlukan waktu 3-4 bulan), lalu dilanjutkan dengan 1 dari 3 prosedur berikut : 1. Prosedur Duhamel

Penarikan kolon normal kearah bawah dan menganastomosiskannya dibelakang usus aganglionik. 2. Prosedur Swenson Dilakukan anastomosis end to end pada kolon berganglion dengan saluran anal yang dibatasi. 3. Prosedur soave Dinding otot dari segmen rektum dibiarkan tetap utuh. Kolon yang bersaraf normal ditarik sampai ke anus. Prosedur soave merupakan salah satu prosedur yang paling sering dilakukan. 4. Intervensi bedah Ini terdiri dari pengangkatan ari segmen usus aganglionik yang mengalami obstruksi. Pembedahan rekto-sigmoidektomi dilakukan teknik pull-through dapat dicapai dengan prosedur tahap pertama, tahap kedua atau ketiga, rekto sigmoidoskopi di dahului oleh suatu kolostomi. Kolostomi ditutup dalam prosedur kedua. Pelaksanaan pasca bedah 1. 2. 3. 4. Perawatan luka kolostomi Perawatan kolostomi Observasi distensi abdomen, fungsi kolostomi, peritonitis dan peningkatan suhu. Dukungan orangtua, bahkan kolostomi sementara sukar untuk diterima. Orangtua harus belajar bagaimana menangani anak dengan suatu kolostomi. Observasi apa yang perlu dilakukan bagaimana membersihkan stoma dan bagaimana memakaikan kantong kolostomi.(Betz, 2002 : 198)

You might also like