You are on page 1of 19

BAB II LANDASAN TEORI DAN HIPOTESIS TINDAKAN

A. Landasan Teori 1. Belajar Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), belajar adalah berusaha memperoleh kepandaian atau ilmu. Pandangan Hilgard dalam Prof. Wina Sanjaya, ( 2011 : 112) mengungkapkan Learning is the process by wich an activity originates or changed trough training prosedurs (wether in the laboratory or in the naural environment) as distinguished from changes by factor not atributable to training. Bagi Hilgard, belajar itu adalah proses perubahan melalui kegiatan atau prosedur latihan baik latihan di dalam laboratorium maupun dalam lingkungan alamiah. Menurut Skinner dalam Isriani Hardini dan Dewi Puspitasari (2012 : 4), menyatakan bahwa belajar adalah suatu proses adaptasi atau penyesuaian tingkah laku yang berlangsung secara progresif . Belajar juga dipahami sebagai suatu perilaku, pada saat orang belajar, maka responnya menjadi lebih baik. Sebaliknya, jika ia tidak belajar, responnya menurun. Pandangan Suyono dan hariyanto ( 2011 ) Belajar adalah suatu aktivitas atau suatu proses untuk memperoleh pengetahuan , meningkatkan ketrampilan , memperbaiki perilaku,sikap, dan mengokohkan kepribadian. Ronald Gross dalam bukunya berjudul peak Learning (1991), sebagai praktik belajar yang kurang kondusif, tidak demokratis, tidak memberikan kesempatan untuk berkreasi dan belum mengembangkan seluruh potensi anak didik secara optimal. Dengan demikian, belajar diartikan sebagai suatu perubahan dalam kemungkinan atau peluang terjadinya respon. Selanjutnya M. Gagne, juga mendefinisikan belajar adalah suatu proses yang kompleks dan hasil belajar

berupa kapabilitas, timbulnya kapabilitas disebabkan stimulasi yang berasal dari lingkungan dan proses kognitif yang dilakukan oleh pelajar. Menurut (A.M., 28 - 31) yang dikembangkan dalam Isriani Hardini dan Dewi Puspitasari (2012 : 5 - 6), tujuan belajar adalah sebagai berikut. a. Untuk mendapatkan pengetahuan. b. Penanaman konsep dan ketrampilan. c. Pembentukan sikap. Menurut M Gagne (dalam Djamarah dan Aswan Zain, (2010 : 12 18 ) yang dikembangkan dalam Isriani Hardini dan Dewi Puspitasari (2012 : 6 9), membedakan pola pola balajar peserta didik ke dalam delapan tipe sebagai berikut. a. Belajar Tipe 1 : Signal Learning ( Belajar Isyarat ) Baelajar tipe ini merupakan tahap yang paling dasar, tidak menuntut persyaratan , namun merupakan hierarki yang harus dilalui untuk tipe belajar yang paling tinggi. b. Belajar Tipe 2 : Stimulus Respon Learning ( Belajar Stimulus Respons ) Tipe belajar ini termasuk dalam instrumental conditioning atau belajar dengan itrial dan error ( mencoba coba ). c. Belajar Tipe 3 : Chaining ( Rantai atau Rangkaian ) Chaining adalah belajar menghubungkan suatu ikatan S R ( Stimulus Respon ) yang satu dengan yang lain. d. Belajar Tipe 4 : Verbal Association ( Asosiasi Verbal ). e. Belajar Tipe 5 : Discrimination Learning ( Belajar Diskriminasi ) Maksud dari tipe ini adalah belajar mengadakan pembeda ( mengadakan seleksi ). f. Belajar Tipe 6 : Concept Learning ( Belajar Konsep ) Tipe belajar ini adalah belajar pengertian.

Menurut (A.M., 28 - 31) yang dikembangkan dalam Isriani Hardini dan Dewi Puspitasari (2012 : 5 - 6), tujuan belajar adalah sebagai berikut. a. Untuk mendapatkan pengetahuan. b. Penanaman konsep dan ketrampilan. c. Pembentukan sikap. Menurut M Gagne (dalam Djamarah dan Aswan Zain, 2010 : 12 18 ) yang dikembangkan dalam Isriani Hardini dan Dewi Puspitasari (2012 : 6 9), membedakan pola pola balajar peserta didik ke dalam delapan tipe sebagai berikut. a. Belajar Tipe 1 : Signal Learning ( Belajar Isyarat ) Baelajar tipe ini merupakan tahap yang paling dasar, tidak menuntut persyaratan , namun merupakan hierarki yang harus dilalui untuk tipe belajar yang paling tinggi. b. Belajar Tipe 2 : Stimulus Respon Learning ( Belajar Stimulus Respons ) Tipe belajar ini termasuk dalam instrumental conditioning atau belajar dengan itrial dan error ( mencoba coba ). c. Belajar Tipe 3 : Chaining ( Rantai atau Rangkaian ) Chaining adalah belajar menghubungkan suatu ikatan S R ( Stimulus Respon ) yang satu dengan yang lain. d. Belajar Tipe 4 : Verbal Association ( Asosiasi Verbal ). e. Belajar Tipe 5 : Discrimination Learning ( Belajar Diskriminasi ) Maksud dari tipe ini adalah belajar mengadakan pembeda ( mengadakan seleksi ). f. Belajar Tipe 6 : Concept Learning ( Belajar Konsep ) Tipe belajar ini adalah belajar pengertian. g. Belajar Tipe 7 : Rule Learning ( Belajar Aturan ) Rule Learning merupakan belajar membuat generalisasi, hukum, dan kaidah.

10

h. Belajar Tipe 8 : Problem Solving ( Pemecehan Masalah ) Problem Solving adalah belajar memecahkan masalah. Berdasarkan uraian diatas, menurut peneliti belajar merupakan poses penyadaran terhadap segala sesuatu, belajar bukan sekedar proses transfer ilmu dari guru kepada siswa untuk mempengaruhi daya pikir dan perilakunya.

2. Pembelajaran Matematika Pembelajaran merupakan suatu usaha yang disengaja melibatkan dan menggunakan pengetahuan tang profesional yang dimiliki guru untuk mencapai tujuan kurikulum (Isriani Hardini dan Dewi Puspita sari, 2012 : 10). Menurut ensiklopedia berbahasa Indonesia pembelajaran adalah proses interaksi siswa dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar. Pembelajaran merupakan bantuan yang diberikan pendidik agar dapat terjadi proses perolehan ilmu dan pengetahuan, penguasaan kemahiran dan tabiat, serta pembentukan sikap dan kepercayaan pada siswa. Menurut Esliklopedia Matematika, matematika (dari bahasa Yunani: mathematika) adalah ilmu yang mempelajari tentang besaran, struktur, ruang, dan perubahan. Selanjutnya menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) matematika adalah ilmu tentang bilangan, hubungan antara bilangan, dan prosedur operasional yang digunakan dalam penyelesaian masalah mengenai bilangan. Menurut Beth dan Pieget (1956) dalam MM. Endang Susetyawati, mengatakan bahwa yang dimaksud matematika adalah pengetahuan yang berkaitan dengan berbagai struktur abstrak dan hubungan anatar struktur tersebut sehingga terorganisasi dengan baik.

11

Menurut buku standar kompetensi mata pelajaran matematika dalam. MM. Endang Susetyawati, tujuan pembelajaran matematika adalah sebagai berikut : a. Melatih cara berfikir dan bernalar dalam menarik kesimpulan, misalnya melalui kegiatan penyelidikan, eksplorasi, eksperimen, menunjukkan kesamaan, perbedaan dan inkosistensi. b. Mengembangkan aktivitas kreatif yang melibatkan imajinasi, intuisi, dan penemuan dengan mengembangkan pemikiran divergen, orisinil, rasa ingin tahu, membuat prediksi dan dugaan, serta mencoba coba. c. Mengembangkan kemampuan memecahkan masalah. d. Mengembangkan kemampuan menyampaikan informasi atau

mengkomunikasikan gagasan anatara lain melalui pembicaraan lisan, grafik, peta, diagram, dalam menjelaskan gagasan. Berdasarkan uraian di atas, pembelajaran matematika menurut peneliti adalah proses interaksi antara siswa dan guru yang melibatkan segenap aspek di dalamnya untuk mencapai tujuan agar proses belajar matematika berkembang secara optimal, siswa tidak hanya memahami konsep yang diberikan tetapi dapat menerapkannya dalam suatu permasalahan.

3. Minat belajar Secara bahasa minat berarti kecenderungan hati yang tinggi terhadap sesuatu . Minat merupakan sifat yang relatif menetap pada diriseseorang. Minat besar sekali pengaruhnya terhadap kegiatan seseorang sebab dengan minat ia akan melakukan sesuatu yang diminatinya. Sebaliknya tanpa minat seseorang tidak mungkin melakukan sesuatu. Sedangkan pengertian minat secara istilah telah banyak dikemukakan oleh para ahli, di antaranya yang dikemukakan oleh Hilgard yang dikutip oleh Slameto menyatakan Interest is persisting tendency to pay attention to end enjoy some activity and content. Menurut pengertian yang paling dasar, minat berarti sibuk, tertarik, atau terlibat sepenuhnya dengan suatu kegiatan karena menyadari

12

pentingnya kegiatan itu. Slameto (Abdul Zamad, 2000) memberikan pengertian bahwa minat adalah suatu rasa lebih suka dan rasa keterkaitan pada suatu hal atau aktivitas tanpa ada yang menyuruh. Minat pada dasarnya adalah penerimaan akan sesuatu hubungan antara diri sendiri dengan sesuatu di luar diri. Semakin kuat atau dekat hubungan tersebut semakin besar minat. Menurut Slameto (2003: 180) bahwa minat adalah suatu rasa lebih suka dan rasa keterikatan pada suatu hal atau aktivitas, tanpa ada yang menyuruh. Menurut pandangan Muhibbin Syah (2011: 152) minat (interest) berarti kecenderungan dan kegairahan yang tinggi atau keinginan yang besar terhadap sesuatu Minat pada dasarnya adalah penerimaan akan suatu hubungan antara diri sendiri dengan sesuatu di luar diri. Semakin kuat atau dekat hubungan tersebut, semakin besar minat.Suatu minat dapat diekspresikan melalui suatu pernyataan yang menunjukkan bahwa siswa lebih menyukai suatu hal daripada hal lainnya, dapat pula dimanifestasikan melalui partisipasi dalam suatu aktivitas. Siswa yang memiliki minat terhadap subyek tertentu cenderung untuk memberikan perhatian yang lebih besar terhadap subjek tersebut. Dari beberapa pengertian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa minat merupakan kecendrungan hati untuk terlibat pada suatu objek. Dengan demikian minat belajar dapat didefinisikan sebagai keterlibatan siswa dengan segenap pikiran dan perhatian secara penuh untuk melakukan aktivitas belajar.

4. Hasil Belajar Hasil belajar adalah kemampuan-kemampuan yang dimiliki siswa setelah ia menerima pengalaman belajarnya. Kingsley (Kurniawan, Deni, 2001: 22) membagi tiga macam hasil belajar, yaitu : (1) keterampilan dan kebiasaan; (2) pengetahuan dan pengertian; (3) sikap dan cita-cita yang masing-masing golongan dapat diisi dengan bahan yang ada pada kurikulum

13

sekolah. Menurut Bloom et al, hasil belajar digolongkan menjadi tiga bagian yaitu kognitif, afektif, dan psikomotor. Pandangan Bloom et al ( Kurniawan, Deni, 2011 : 13 ) hasil belajar kognitif yaitu hasil belajar yang ada kaitannya dengan ingatan, kemampuan berfikir atau intelektual. Faktor-faktor yang menentukan pencapaian hasil belajar (Dalyono, 2005:55) adalah sebagai berikut. 1) Faktor internal (yang berasal dari dalam diri) a. Kesehatan Kesehatan jasmani dan rohani sangat besar pengaruhnya terhadap kemampuan belajar. Bila seseorang selalu tidak sehat, sakit kepala, demam, pilek, batuk dan sebagainya, dapat mengakibatkan siswa tidak bergairah untuk belajar. b. Minat dan Motivasi. Sebagaimana halnya dengan intelegensi dan bakat disini minat dan motivasi adalah dua aspek psikis yang juga besar pengaruhnya terhadap pencapaian prestasi belajar. c. Cara Belajar. Cara belajar seseorang juga mempengaruhi pencapaian hasil belajarnya. Belajar tanpa memperhatikan teknik dan faktor fisiologis, psikologis, dan ilmu kesehatan, akan memperoleh hasil yang kurang memuaskan. 2) Faktor eksternal (yang berasal dari luar diri) a. Keluarga Keluarga adalah ayah, ibu, dan anak-anak serta famili yang menjadi penghuni rumah. Faktor orang tua sangat besar pengaruhnya terhadap keberhasilan anak dalam belajar. b. Sekolah Keadaan sekolah tempat belajar turut, mempengaruhi tingkat keberhasilan belajar. Kualitas guru, metode mengajarnya, kesesuaian kurikulum dengan kemampuan anak, keadaan fasilitas/perlengkapan

14

di sekolah, keadaan ruangan, jumlah murid per kelas, pelaksanaan tata tertib sekolah, dan sebagainya, semua itu turut mempengaruhi keberhasilan belajar anak. c. Masyarakat Keadaan masyarakat juga menentukan prestasi belajar. Bila di sekitar tempat tinggal keadaan masyarakatnya terdiri dari orangorang yang berpendidikan, terutama anak-anaknya rata-rata

bersekolah tinggi dan moralnya baik, hal ini akan mendorong anak lebih giat belajar. Tetapi sebaliknya, apabila tinggal di lingkungan banyak anak-anak yang nakal, tidak bersekolah dan pengangguran, hal ini akan mengurangi semangat belajar atau dapat dikatakan tidak menunjang kegiatan belajar sehingga motivasi belajar berkurang. d. Lingkungan sekitar Keadaan lingkungan tempat tinggal, juga sangat penting dalam mempengaruhi prestasi belajar. Keadaan lingkungan, bangunan rumah, suasana sekitar, keadaan lalu lintas, iklim dan sebagainya. Beberapa ciri untuk melihat hasil belajar yang diperoleh siswa setelah melakukan proses belajar adalah sebagai berikut: 1) Siswa dapat mengingat fakta, prinsip, konsep yang telah dipelajarinya dalam kurun waktu yang cukup lama. 2) Siswa dapat memberikan contoh dari konsep dan prinsip yang telah dipelajarinya. 3) Siswa dapat mengaplikasikan atau menggunakan konsep dan prinsip yang telah dipelajarinya. 4) Siswa mempunyai dorongan yang kuat untuk pelajaran lebih lanjut. 5) Siswa terampil mengadakan hubungan sosial seperti kerja sama dengan siswa lain, berkomunikasi dengan orang lain, dan lain-lain. 6) Siswa memperoleh kepercayaan diri bahwa ia mempunyai kemampuan dan kesanggupan melakukan tugas belajar. mempelajari bahan

15

7) Siswa menguasai bahan yang telah dipelajari minimal 65% dari yang seharusnya dicapai. Dapat disimpulkan bahwa hasil belajar adalah ukuran keberhasilan siswa yang telah mengikuti suatu proses pembelajaran dengan

membandingkannya terhadap tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan. Apabila siswa memperoleh hasil belajar yang sesuai dengan tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan dalam kurikulum, secara otomatis siswa tersebut dikatakan berhasil, demikian pula sebaliknya. Faktor-faktor yang mempengaruhi hasil belajar dibedakan atas faktor internal dan eksternal. Faktor internal meliputi kesehatan, minat dan motivasi serta cara belajar. Sedang faktor eksternal meliputi keluarga, sekolah, masyarakat dan lingkungan sekitar.

5. Materi Balok Salah satu materi yang diajarkan di SMP kelas VIII semester 2 (dua) yaitu kubus dan balok. Materi kubus dan balok terbagi kedalam beberapa pokok bahasan yaitu bangun ruang beraturan, kubus dan unsurunsurnya, balok dan unsur-unsurnya, model rangka dan jaring-jaring, luas permukaan dan volume. Adapun yang menjadi pokok bahasan dalam penelitian ini adalah jaring jaring balok, luas permukaan dan volume balok. a. Standar Kompetensi 5. Memahami sifat-sifat kubus, balok, prisma, limas dan bagian bagiannya, serta menentukan ukurannya. b. Kompetensi Dasar 5.3 Menghitung luas permukaan dan volume kubus, balok, prisma, dan limas.

16

6. Pembelajaran Kooperatif (Cooperative Learning) a. Pengertian Pembelajaran Kooperatif Menurut Eggen and Kauchak (1996: 279) dalam Trianto (2011: 58), pembelajaran kooperatif merupakan sebuah kelompok strategi pengajaran yang melibatkan siswa bekerja secara berkolaborasi untuk mencapai tujuan bersama. Pembelajaran kooperatif disusun dalam sebuah usaha meningkatkan partisipasi siswa, memfasilitasi siswa dengan pengalaman sikap kepemimpinan dan membuat keputusan dalam kelompok, serta memberikan kesempatan pada siswa untuk berinteraksi dan belajar bersama-sama siswa yang berbeda latar belakangnya. Dalam pembelajaran kooperatif, siswa dibentuk dalam

kelompok-kelompok yang terdiri dari 4 atau 5 orang untuk bekerja sama dalam menguasai materi yang diberikan guru (Slavin, Eggen & Kauchak, 1995) dalam Trianto (2011: 56). Tujuan dibentuknya kelompok adalah untuk memberikan kesempatan kepada semua siswa untuk dapat terlibat secara aktif dalam proses berpikir dan kegiatan belajar. Dapat dikatakan bahwa setiap anggota kelompok memiliki tanggung jawab yang sama untuk keberhasilan kelompoknya.

b. Tujuan Pembelajaran Kooperatif Johnson & Johnson (1994) dalam Trianto (2011: 57) menyatakan bahwa tujuan pokok belajar kooperatif adalah

memaksimalkan belajar siswa untuk peningkatan prestasi akademik dan pemahaman baik secara individu maupun secara kelompok. untuk mencapai hasil belajar itu pembelajaran kooperatif menuntut kerja sama dan interdependensi siswa dalam struktur tugas, struktur tujuan, dan struktur reward-nya .

17

c. Unsur Penting dan Konsep Utama Pembelajaran Kooperatif Menurut Johnson (1994) & Sutton (1992) dalam Trianto (2011: 60-61), ada lima unsur penting dalam belajar kooperatif, yaitu: 1) Saling ketergantungan yang bersifat positif antara siswa. 2) Interaksi antara siswa yang semakin meningkat. 3) Tanggung jawab individual. 4) Keterampilan interpersonal dan kelompok kecil. 5) Proses kelompok. Konsep utama dari belajar kooperatif menurut Slavin (1995) dalam Trianto (2011: 61-62), adalah sebagai berikut. 1) Penghargaan kelompok, yang akan diberikan jika kelompok mencapai kriteria yang ditentukan. 2) Tanggung jawab individual, bermakna bahwa suksesnya kelompok tergantung pada belajar individual semua anggota kelompok. 3) Kesempatan yang sama untuk sukses, bermakna bahwa siswa telah membantu kelompok dengan cara meningkatkan belajar mereka sendiri.

d. Ciri-ciri Pembelajaran Kooperatif Arends (1997: 111) dalam Trianto (2011: 65-66) menyatakan bahwa pembelajaran kooperatif memiliki ciri-ciri sebagai berikut. 1) Siswa bekerja dalam kelompok secara kooperatif untuk menuntaskan materi belajar; 2) Kelompok dibentuk dari siswa yang mempunyai kemampuan tinggi, sedang, dan rendah; 3) Bila memungkinkan, anggota kelompok berasal dari ras, budaya, suku, jenis kelamin yang beragam; dan 4) Penghargaan lebih berorientasi kepada kelompok dari pada individu.

18

e. Sintaks Pembelajaran Koperatif Adapun sintaks model pembelajaran kooperatif dapat dilihat dalam tabel 2.1. Sebagai berikut.

Tabel 2.1 Sintaks Model Pembelajaran Kooperatif Fase-fase Fase 1 Indikator Present goals and set Tingkah Laku Guru Menjelaskan tujuan pembelajaran dan siswa untuk siap

Menyampaikan tujuan dan mempersiapkan mempersiapkan siswa. Fase 2 Present information Menyajikan informasi Fase 3 Organize student belajar. Mempresentasikan

informasi

kepada

siswa secara verbal. into Memberikan penjelasan kepada siswa tentang tata cara pembentukan tim dan membantu kelompok

learning teams

Mengorganisasikan siswa ke belajar dalam tim-tim belajar Fase 4 Assist team work and study

melakukan transisi yang efisien. Membantu tim-tim belajar selama siswa

Membantu kerja tim dan mengerjakan tugasnya. belajar Fase 5 Test on the materials Mengevaluasi Menguji pengetahuan siswa mengenai berbagai materi pembelajaran atau

kelompok-kelompok mempresentasikan hasil kerjanya. Fase 6 Provide recognition Memberikan atau penghargaan Mempersiapkan cara untuk mengakui

pengakuan usaha dan prestasi individu maupun kelompok.

(Agus Suprijono, 2010: 65)

19

7. Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw ( Model Tim Ahli )

a. Pengertian Kooperatif Tipe Jigsaw ( Model Tim Ahli ) Jigsaw pert`ama kali dikembangkan dan diujicobakan oleh Elliot Aronson dan teman-teman di Universitas Texas, dan kemudian diadaptasi oleh Slavin dan teman-teman di Universitas John Hopkins (Arends, 2001). Teknik mengajar Jigsaw dikembangkan oleh Aronson et. al. sebagai metode Cooperative Learning. Teknik ini dapat digunakan dalam pengajaran membaca, menulis, mendengarkan, ataupun berbicara. Dalam teknik ini, guru memperhatikan skemata atau latar belakang pengalaman siswa dan membantu siswa mengaktifkan skemata ini agar bahan pelajaran menjadi lebih bermakna. Selain itu, siswa bekerja sama dengan sesama siswa dalam suasana gotong royong dan mempunyai banyak kesempatan untuk mengolah informasi dan meningkatkan keterampilan berkomunikasi. Pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw adalah suatu tipe

pembelajaran kooperatif yang terdiri dari beberapa anggota dalam satu kelompok yang bertanggung jawab atas penguasaan bagian materi belajar dan mampu mengajarkan materi tersebut kepada anggota lain dalam kelompoknya. Model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw merupakan model pembelajaran kooperatif dimana siswa belajar dalam kelompok kecil yang terdiri dari 4 6 orang secara heterogen dan bekerja sama saling ketergantungan yang positif dan bertanggung jawab atas ketuntasan bagian materi pelajaran yang harus dipelajari dan

menyampaikan materi tersebut kepada anggota kelompok yang lain (Arends, 1997). Jigsaw didesain untuk meningkatkan rasa tanggung jawab siswa terhadap pembelajarannya sendiri dan juga pembelajaran orang lain. Siswa tidak hanya mempelajari materi yang diberikan, tetapi mereka juga harus siap memberikan dan mengajarkan materi tersebut pada anggota kelompoknya yang lain. Dengan demikian, siswa saling tergantung satu

20

dengan yang lain dan harus bekerja sama secara kooperatif untuk mempelajari materi yang ditugaskan. Para anggota dari tim-tim yang berbeda dengan topik yang sama bertemu untuk diskusi (tim ahli) saling membantu satu sama lain tentang topik pembelajaran yang ditugaskan kepada mereka. Kemudian siswa-siswa itu kembali pada tim atau kelompok asal untuk menjelaskan kepada anggota kelompok yang lain tentang apa yang telah mereka pelajari sebelumnya pada pertemuan tim ahli. Pada model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw, terdapat kelompok asal dan kelompok ahli. Kelompok asal yaitu kelompok induk siswa yang beranggotakan siswa dengan kemampuan, asal, dan latar belakang keluarga yang beragam. Kelompok asal merupakan gabungan dari beberapa ahli. Kelompok ahli yaitu kelompok siswa yang terdiri dari anggota kelompok asal yang berbeda yang ditugaskan untuk mempelajari dan mendalami topik tertentu dan menyelesaikan tugas-tugas yang berhubungan dengan topiknya untuk kemudian dijelaskan kepada anggota kelompok asal.

21

Hubungan antara kelompok asal dan kelompok ahli digambarkan sebagai berikut (Arends, 1997) : Kelompok Asal

Kelompok Ahli Gambar 2.3 Ilustrasi Kelompok Jigsaw b. Fase- Fase Model Pembelajaran Cooperative Tipe Jigsaw Tipe jigsaw terdiri atas 5 fase. Pembagian kelompok berdasarkan kriteria prestasi individu (dari pre test sebelumnya), gender, etnik, dan ras. Kelompok beranggotakan 2 - 4 orang. Jumlah anggota kelompok sesuai dengan jumlah indikator dari materi pokok yang dipelajari. Masing masing kelompok ahli beranggotakan wakil dari sejumlah kelompok belajar siswa.

Fase - fase model cooperatif learning tipe jigsaw:

Fase 1. Reading

: Pembagian kelompok

Contoh : Jumlah siswa 24 anak. Dibuat 6 kelompok, jumlah sub pokok materi 4 bahasan. Setiap kelompok membagi tugas pemilihan anggota sebagai wakil kelompok untuk masuk kelompok ahli. Jadi dalam kelompok ahli anggotannya 6 siswa.

22

Fase 2. Ahli Group Discussions : Dalam kelompok ahli, siswa berdiskusi masalah LKS atau tugas yang terdapat dalam LKS. Setelah selesai diskusi, semua anggota kelompok ahli kembali ke kelompok belajar semula.

Fase 3. Team Report : Anggota yang ditunjuk sebagai wakil kelompok belajar di kelompok ahli menjelaskan kepada teman-temannya sekelompok.

Fase 4. Assesment : Guru mengadakan kuis yang dikerjakan siswa secara individual. Hasilnya nilai individu anggota kelompok. Fase 5. Team Recognition : Guru bersama siswa menghitung perubahan nilai awal (base score) siswa dengan nilai hasil kuis. Kemudian nilai semua anggota kelompok di jumlah dan dirata- rata, maka akan didapat nilai penghargaan / predikat kelompok.

c. Langkah- Langkah Model Pembelajaran Cooperative Tipe Jigsaw Langkah-langkah dalam penerapan Model Pembelajaran

Cooperative Tipe Jigsaw antara lain: 1. Siswa dibagi atas beberapa kelompok (tiap kelompok anggotanya 5-6 orang). 2. Materi pelajaran diberikan kepada siswa dalam bentuk teks yang telah dibagi- bagi menjadi beberapa sub bab. 3. Setiap anggota kelompok membaca sub bab yang ditugaskan dan bertanggung jawab untuk mempelajarinya. Misalnya, jika materi yang disampaikan mengenai sistem ekskresi. Maka seorang siswa dari satu kelompok mempelajari tentang ginjal, siswa lain dari kelompok

23

satunya mempelajari tentang paruparu, begitupun siswa lainnya mempelajari kulit, dan lainnya lagi mempelajari hati. 4. Anggota dari kelompok lain yang telah mempelajari sub bab yang sama bertemu dalam kelompok kelompok ahli untuk

mendiskusikannya. 5. Setiap anggota kelompok ahli setelah kembali ke kelompok nya bertugas mengajar temantemannya. 6. Pada pertemuan dan diskusi kelompok asal, siswa siswa dikenai tagihan berupa kuis individu. B. Penelitian yang Relevan

1. UPAYA MENINGKATKAN MINAT SISWA KELAS VIII SMP NEGERI 8 YOGYAKARTA DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA Berdasar hasil penelitian dan pembahasan, tindakan kelas yang dilakukan secara kolaboratif antara peneliti dan guru matematika kelas VIII-4 SMP N 8 Yogyakarta dapat disimpulkan sebagai berikut : a. Hasil angket minat belajar matematika, aspek ketertarikan siswa meningkat dari 65,67% dengan kualifikasi cukup menjadi 77,38% dengan kualifikasi baik. Aspek perhatian meningkat dari 67,01 dengan kualifikasi cukup menjadi 80,38 dengan kualifikasi baik. Aspek rasa senang meningkat dari 66,53% dengan kualifikasi cukup menjadi 74,44% dengan kualifikasi cukup. Aspek motif siswa meningkat dari 65,45% dengan kualifikasi cukup menjadi 72,05% dengan kualifikasi cukup. b. Hasil observasi aktivitas siswa, berdasarkan rata-rata persentase aktivitas siswa siklus I sebesar 53,57% dengan kualifikasi sedang meningkat pada siklus II menjadi 70,64% dengan kualifikasi tinggi. c. Rata-rata hasil tes siklus, pada siklus I dan siklus II diperoleh berdasarkan tes tertulis siswa yang berbentuk soal uraian berjumlah 4

24

soal. Rata-rata nilai pada siklus I yaitu 74,17 meningkat menjadi 90,69 pada siklus II.

2. PENDEKATAN UNTUK

PENDIDIKAN

MATEMATIKA KEMAMPUAN

REALISTIK PENALARAN

MENINGKATKAN

MATEMATIS DAN HASIL BELAJAR SISWA SMP Berdasarkan hasil penelitian, secara umum dapat dibuat kesimpulan hasil penelitian sebagai berikut: 1. Aktivitas guru dan siswa selama pembelajaran berjalan sesuai dengan karakteristik dan prinsip dalam pembelajaran dengan pendekatan pendidikan matematika realistik. Siswa dapat membuat model dan menyusun strategi penyelesaian dari permasalahan yang diberikan. Selama proses diskusi, siswa terlihat antusias dalam merespon model atau strategi penyelesaian siswa lain sehingga tercipta suatu proses penemuan kembali konsep atau prinsip matematika formal dengan bimbingan guru. 2. Peningkatan kemampuan penalaran matematis siswa yang mendapatkan pembelajaran dengan pendekatan pendidikan matematika realistik lebih baik dari pada peningkatan kemampuan penalaran matematis siswa yang mendapatkan pembelajaran dengan pendekatan langsung. 3. Berdasarkan hasil angket dan jurnal harian, pada umumnya sikap siswa terhadap pembelajaran dengan pendekatan pendidikan matematika realistic adalah positif.

C. Kerangka Berfikir Pembelajaran Matematika dikelas VIID SMP Negeri 2 Kasihan, Bantul belum sesuai dengan yang diharapkan. Guru belum memahami dengan benar bagaimana mengajar Matematika dengan benar, dan bagaimana agar belajar Matematika dilakukan dalam suasana menyenangkan yang dapat

25

meningkatkan minat siswa. Selain itu guru hanya mengajar secara monoton. Guru juga kurang menguasai berbagai model pembelajaran baru karena sebagian guru hanya menggunakan metode yang monoton. Guru tidak menggunakan variasi dalam proses pembelajaran, guru cenderung

mengabaikan penggunaan model dan metode pembelajaran. Metode yang digunakan selama ini yakni metode ceramah dan diskusi. Sehingga dalam proses pembelajaran terdapat beberapa siswa yang mendominasi di dalam kelas, ada yang asyik bermain sendiri dan ada juga siswa diam karena malu. Sesuai dengan hal tersebut di atas, upaya yang diperlukan untuk meningkatkan minat serta hasil belajar siswa dalam pembelajaran Matematika selalu bergantung pada guru. Penerapan model pembelajaran Kooperatif Jigsaw lebih mendorong keaktifan siswa. Dalam pembelajaran ini siswa lebih banyak mengembangkan keaktifan serat kerjasama siswa selama kegiatan belajar berlangsung. Melalui penerapan model pembelajaran Kooperatif Jigsaw ini diharapkan dapat

meningkatkan minat dan hasil belajar siswa pada mata pelajaran Matematika. D. Hipotesis Tindakan Berdasarkan deskripsi kajian teori, hipotesis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut. 1. Model pembalajaran Kooperatif Tipe Jigsaw ( model tim ahli ) dapat meningkatkan minat belajar siswa kelas VIID SMP Negeri 2 Kasihan, Bantul pada pembalajaran matematika materi pokok balok. 2. Model pembalajaran Kooperatif Tipe Jigsaw ( model tim ahli ) dapat meningkatkan hasil belajar siswa kelas VIID SMP Negeri 2 Kasihan, Bantul pada pembalajaran matematika materi pokok balok.

You might also like