You are on page 1of 24

PENANGANAN INFERTILITAS PRIMER

A. PENDAHULUAN Infertilitas merupakan masalah yang dihadapi oleh pasangan suami istri yang telah menikah selama minimal satu tahun, melakukan hubungan senggama teratur, tanpa menggunakan kontrasepsi, tetapi belum memperoleh kehamilan. Pada prinsipnya masalah yang terkait dengan infertilitas ini dapat dibagi berdasarkan masalah yang sering dijumpai pada perempuan dan masalah yang sering dijumpai pada lelaki. Mengingat faktor usia meruapakan faktor yang sangat mempengaruhi keberhasilan pengobatan, maka bagi perempuan berusia 35 tahun atau lebih tentu tidak perlu harus menunggu selama 1 tahun. Minimal enam bulan sudah cukup bagi pasien dengan masalah infertilitas untuk dating ke dokter untuk melakukan pemeriksaan dasar.1 Infertilitas dikatakan sebagai infertilitas primer jika sebelumnya pasangan suami istri belum pernah mengalami kehamilan. Sementara itu, dikatakan sebagai infertilitas sekunder jika pasangan suami istri gagal untuk memperolah kehamilan setelah satu tahun pasca persalinan atau pasca abortus, tanpa menggunakan kontrasepsi apapun.1

B. EPIDEMIOLOGI Prevalensi wanita yang didiagnosis dengan infertilitas, kira-kira 13%, dengan jangkauan 7-28%, tergantung pada usia seorang wanita. Dan prevalensi ini cenderung stabil selama 40 tahun terakhir; etnis atau ras memiliki pengaruh yang kecil pada prevalensi. Namun, insidensi dari infertilitas primer telah meningkat, bersamaan dengan penurunan insidensi infertilitas sekunder, yang kemungkinan besar akibat perubahan sosial seperti penundaan kehamilan.2 Data yang berasal dari National Survey of Family Growth tahun 1995 mengungkapkan bahwa 7% dari pasangan yang sudah menikah, di mana pasangan wanita adalah usia reproduksi, tidak mendapatkan kehamilan setelah 12 bulan melakukan hubungan seksual tanpa kontrasepsi. Selain itu, 15% dari wanita usia reproduksi dilaporkan telah menerima pelayanan infertilitas dalam hidup mereka. Dalam beberapa tahun terakhir, permintaan pelayanan infertilitas telah meningkat, terutama di negara-negara Barat. Alasan utama hal ini adalah kecenderungan wanita untuk kehadiran seorang anak karena karir 1

pekerjaan. Faktor-faktor lainnya, antara lain adanya peningkatan dan efektivitas berbagai metode assisted reproductive technology (ART), kesadaran masyarakat yang semakin tinggi berkaitan dengan penanganan infertilitas, peningkatan jumlah infertilitas akibat faktor tuba sebagai konsekuensi dari penyakit menular seksual, dan tersedianya alat kontrasepsi yang efektif, dan peningkatan ketersediaan pelayanan aborsi.3

C. ETIOLOGI 1. Faktor Pria Penyebab infertilitas pada pria dapat dibagi menjadi 3 kategori utama, yaitu:4 a. Gangguan produksi sperma, misalnya akibat kegagalan testis primer (hipergonadotropik hipogonadisme) yang disebabkan oleh faktor genetik (Sindroma Klinefelter, mikrodelesi kromosom Y) atau kerusakan langsung lainnya terkait anatomi (cryptorchidism, varikokel), infeksi (mumps orchitis), atau gonadotoksin. Stimulasi gonadotropin yang tidak adekuat yang disebabkan karena faktor genetik (isolated gonadotropin deficiency), efek langsung maupun tidak langsung dari tumor hipotalamus atau pituitari, atau penggunaan androgen eksogen, misalnya Danazol, Metiltestosteron (penekanan pada sekresi gonadotropin) merupakan penyebab lain dari produksi sperma yang buruk.4 b. Gangguan fungsi sperma, misalnya akibat antibodi antisperma, radang saluran genital (prostatitis), varikokel, kegagalan reaksi akrosom, ketidaknormalan biokimia, atau gangguan dengan perlengketan sperma (ke zona pelusida) atau penetrasi.4 c. Sumbatan pada duktus, misalnya akibat vasektomi, tidak adanya vas deferens bilateral, atau sumbatan kongenital atau yang didapat (acquired) pada epididimis atau duktus ejakulatorius.4 2. Faktor Wanita Penyebab infertilitas pada wanita dapat dibagi menjadi beberapa kategori, antara lain: serviks dan uterus, ovarium, tuba, dan lainnya.5 a. Faktor infertilitas yang berasal dari serviks Faktor infertilitas yang berasal dari serviks dapat disebabkan oleh stenosis atau abnormalitas dari interaksi mukus dan sperma. Serviks uteri memiliki peran yang sangat penting dari segi kemampuan transportasi sperma setelah berhubungan 2

seksual. Kira-kira 5-10% faktor yang berasal dari serviks uteri dapat menyebabkan infertilitas. Sekresi mukus dapat mengalami perubahan karena adanya perubahan hormon dan pengaruh obat-obatan, yang dapat menurunkan produksi mukus. Hipoestrogenisme dapat menyebabkan penebalan mukus serviks, yang dapat menghalangi perjalanan dari sperma. Stenosis servikal dapat menyebabkan infertilitas dengan menghalangi perjalanan sperma dari serviks ke cavum intrauterine. Stenosis servikal dapat berupa kongenital atau didapat, seperti akibat prosedur pembedahan, infeksi, hipoestrogenisme, dan terapi radiasi.5,6 b. Faktor infertilitas yang berasal dari uterus Uterus merupakan tujuan akhir dari embrio dan merupakan tempat

berkembangnya fetus sampai dilahirkan. Oleh karena itu, uterus dapat diasosiasikan dengan infertilitas primer atau keguguran dan persalinan premature. Faktor uterus dapat berupa kongenital atau didapat. Mereka dapat merusak endometrium atau myometrium dan bertanggung jawab pada sekitar 2-5% infertilitas. Kelainan kongenital, dapat berupa kelainan perkembangan dari duktus mulleri yang berperan dalam konfigurasi anatomik uterus, tuba fallopi, serviks, dan bagian atas vagina. Kelainan perkembangan duktus mulleri bervariasi dari tidak terdapatnya uterus dan vagina (sindrom Rokitansky-Kuster-Hauser) sampai ke defek minor seperti uterus arkuata dan adanya septum pada vagina (transversal dan longitudinal). Persalinan premature dapat diasosiasikan dengan inkompetensi serviks dan uterus yang bersepta. Uterus yang bersepta juga dapat menyebabkan masalah implantasi dan miscarriage pada trimester pertama. Sedangkan, kelainan uterus yang didapat dapat berupa endometritis yang berhubungan dengan trauma, dilatasi dan kuretase, alat kontrasepsi dalam rahim, atau instrumentasi lainnya (miomektomi, histeroskopi) pada cavum endometrium yang dapat menyebabkan adhesi dan sinekia intrauterine (sindrom Asherman), dengan obliterasi total dan parsial pada cavum endometrium.5 c. Faktor infertilitas yang berasal dari ovarium Disfungsi ovulasi merupakan perubahan pada frekuensi dan durasi dari siklus menstruasi. Gagalnya ovulasi terjadi merupakan penyebab tersering dari infertilitas. Absennya ovulasi dapat dihubungkan dengan amenore primer, amenore sekunder, atau oligomenore.5 3

d. Usia yang meningkat Prevalensi infertilitas meningkat secara dramatis seiring dengan meningkatnya usai. Lebih lanjut lagi, fertilitas menurun seiring dengan lamanya durasi pernikahan karena frekuensi berhubungan seksual yang rendah dan/atau penggunaan kontrasepsi. Penelitian mengatakan bahwa fertilitas akan stabil sampai usia 36 tahun, menurun perlahan sampai usia 4 tahun, dan menurun drastis setelah usia 42 tahun.5 e. Faktor infertilitas yang berasal dari tuba Kelainan atau kerusakan pada tuba fallopi dapat mempengaruhi fertilitas dan bertanggung jawab pada implantasi yang abnormal (kehamilan ektopik). Obstruksi pada distal tuba falopi menyebabkan akumulasi cairan tuba, menyebabkan distensi pada tuba yang mengakibatkan kerusakan silia epitel (hidrosalfing).5 f. Faktor infertilitas yang berasal dari peritoneal 1) Penyakit radang panggul, berhubungan dengan infeksi gonorrhea atau klamidia, dapat dikonfirmasi dengan kultur serviks dan antibodi serologis untuk gonorrhea and klamidia.5,6 2) Endometriosis Endometriosis klasik tampak sebagai pigmen hitam-kebiruan (seperti lesi powder-burn) pada permukaan kandung kemih, ovarium, tuba falopi, kantong rekto-uterina, dan usus besar. Endometriosis non klasik tampak seperti lesi dan vesikel merah, coklat, atau putih. Endometriosis berat dengan kerusakan tuba falopi dan ovarium menyebabkan adhesi atau munculnya endometrioma, merupakan penyebab infertilitas. Endometriosis minimal atau ringan menyebabkan penurunan kesuburan dengan mekanisme sebagai berikut:5,6 meningkatkan makrofag peritoneal yang meningkatkan fagositosis sperma mengurangi perlekatan sperma ke zona pelusida proliferation limfosit peritoneal meningkatkan jumlah sitokin meningkatkan produksi imunoglobulin serum embrio toksin 4

3.

defek aktivitas natural killer

Faktor Keduanya Infertilitas yang terjadi pada pasangan suami istri juga dapat disebabkan oleh kedua belah pihak, seperti:5 a. Lingkungan dan pekerjaan Radiasi yang berlebihan dapat merusak sel-sel germinal. Faktor lain seperti pajanan panas yang berlebihan, radiasi microwave, USG, dan bahan-bahan berbahaya lainnya dianggap kontroversi pemicu infertilitas.5 b. Toksin Toksin seperti rokok, mariyuana, dan obat-obat lainnya: percobaan rokok terhadap binatang percobaan membuktikan bahwa nikotin dan polisiklik hidrokarbon aromatik menghalangi spermatogenesis dan mengecilkan ukuran testis. Pada wanita, rokok mepengaruhi lendir serviks dan epitel silia dan transportasi gamet. Mariyuana dan sejenisnya, delta-9-tetrahydrocannabinol, menghambat sekresi LH dan FSH, memicu kelainan ovulasi dan disfungsi fase luteal pada wanita. Efek mariyuana pada pria adalah mengurangi jumlah dan kualitas sperma. Heroin dan kokain memicu efek yang sama tetapi menyebabkan terjadinya penyakit radang panggul dan infeksi HIV. Konsumsi alkohol kronik dapat memicu disfungsi ovulasi, yang akan berefek pada kesuburan. Konsumsi alkohol pada pria mengganggu sistesis testosteron yang berimplikasi pada konsentrasi sperma. Konsumsi alkohol dapat menghambat gairah seksual dan menyebabkan impotensi.5 c. Latihan Latihan yang dimaksudkan adalah latihan yang terlalu dipaksakan, khususnya pada pelari jarak jauh. Jogging dapat menstimulasi sekresi endorfin, sekresi endorfin yang berlebihan mempengaruhi produksi normal FSH dan LH, memicu gangguan ovulasi dan fase luteal, yang menyebabkan kurangnya implantasi embrio dan keguguran pada trimester pertama. Pada pria, latihan terkait dengan oligospermia.5

d. Berat badan berlebih atau sangat kurang Kehilangan berat badan terkait anoreksia nervosa atau bulimia memicu amenore hipotalamus, sedangkan obesitas dapat berkaitan dengan anovulasi dan oligomenore. Pada pria, obesitas berhubungan dengan kualitas sperma.5

D. DIAGNOSIS 1. Anamnesis Anamnesis dapat berupa usia pasangan suami istri, durasi infertilitas, dan penggunaan spermisidal saat koitus. Pada awal pertemuan, penting sekali untuk memperoleh data apakah pasangan suami istri atau salah satunya memiliki kebiasaan merokok atau minum minuman beralkohol. Perlu juga diketahui apakah pasutri atau salah satunya menjalani terapi khusus seperti antihipertensi, kortikosteroid, dan sitostatika.1,6 Siklus haid merupakan variabel yang sangat penting. Dapat dikatakan siklus haid normal jika berada dalam kisaran antara 21-35 hari. Sebagian besar perempuan dengan siklus haid yang normal akan menunjukkan siklus haid yang berovulasi. Untuk mendapatkan rerata siklus haid perlu diperoleh informasi haid dalam kurun 3-4 bulan terakhir. Perlu juga diperoleh informasi apakah terdapat keluhan nyeri haid setiap bulannya dan perlu dikaitkan dengan adanya penurunan aktivitas fisik saat haid akibat nyeri atau terdapat penggunaan obat penghilang nyeri saat haid terjadi.1 Perlu dilakukan anamnesis terkait dengan frekuensi senggama yang dilakukan selama ini. Akibat sulitnya menentukan saat ovulasi secara tepat, maka dianjurkan bagi pasutri untuk melakukan senggama secara teratur dengan frekuensi 2-3 kali per minggu. Upaya untuk mendeteksi adanya ovulasi seperti pengukuran suhu basal badan dan penilaian kadar luteinizing hormone (LH) di dalam urin seringkali sulit untuk dilakukan dan sulit untuk diyakini ketepatannya, sehingga hal ini sebaiknya dihindari saja.1 Selain itu, perlu juga ditanyakan tentang riwayat penyakit, seperti mumps orchitis, penyakit ginjal, terapi radiasi, penyakit kronik seperti tuberculosis, stress dan kelelahan yang berkepanjangan, atau adanya riwayat demam tinggi yang bersifat akut.6 2. Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan fisik yang perlu dilakukan pada pasutri dengan masalah infertilitas adalah pengukuran tinggi badan, penilaian berat badan, dan pengukuran lingkar pinggang. Penentuan indeks massa tubuh perlu dilakukan dengan menggunakan formula berat 6

badan (kg) dibagi dengan tinggi badan (m2). Perempuan dengan indeks massa tubuh (IMT) lebih dari 25 kg/m2 termasuk ke dalam kelompok kriteria berat badan lebih. Hal ini memiliki kaitan erat dengan sindrom metabolik. IMT yang kurang dari 19 kg/m2 seringkali dikaitkan dengan penampilan pasien yang terlalu kurus dan perlu dipikirkan adanya penyakit kronis seperti infeksi tuberkulosis (TB), kanker, atau masalah kesehatan jiwa seperti anoreksia nervosa dan bulimia nervosa.1,6 Adanya pertumbuhan rambut abnormal seperti kumis, jenggot, jambang, bulu dada yang lebat, bulu kaki yang lebat dan sebagainya (hirsutisme) atau pertumbuhan jerawat yang banyak dan tidak normal pada perempuan, seringkali terkait dengan kondisi hiperandrogenisme, baik klinis maupun biokimiawi.1 Pemeriksaan fisik pasangan yang infertil disajikan dengan jelas pada tabel berikut ini:7 Tabel 1. Pemeriksaan pada Pasangan yang Infertil Wanita Pria

Tinggi badan, berat badan, IMT, Tinggi badan, berat badan, Pemeriksaan Umum tekanan darah, distribusi lemak IMT, tekanan darah dan rambut, jerawat dan

galaktorea Pemeriksaan abdomen: ada Ada tidaknya hernia pada

tidaknya skar atau massa pada daerah ingunalis. Selain itu, abdomen. pada genitalia, periksa apakah testis atau lokasi apakah tidak, dan ada

Pemeriksaan pelvis: pemeriksaan terdapat

genitalia eksterna dan interna bagaimana Pemeriksaan Status Lokalis (dengan spekulum), dan peiksa ukurannya, apakah terdapat infeksi

atau epididimitis, varikokel, atau

septum pada vagina, apakah ada abnormalitas structural pada polip pada serviks. Lakukan penis, seperti: hipospadia.

palpasi bimanual pada uterus, nilai ukuran, bentuk, posisi, dan mobilitasnya, serta ada tidaknya massa dan nyeri pada adneksa.

3.

Pemeriksaan Penunjang a. Pemeriksaan penunjang pada pria 1) Analisis cairan semen Analisis cairan semen meliputi konsentrasi sperma, motilitas, morfologi, dan viabilitas. Berikut parameter analisa cairan semen berdasarkan World Health Organization (WHO):5,6 - Volume - pH level - Konsentrasi sperma - Motilitas - Morfologi - Sel darah putih : 2-5 mL : 7.2-7.8 : 20 juta atau lebih per ml : > 50% : sperma normal (> 40%) : < 1 juta sel/mL

Morfologi sperma harus > 40% untuk dikatakan normal, dikatakan infertilitas berat apabila < 4% dan menjadi indikasi assisted reproduction technology (ART)/intracytoplasmic sperm injection.5 Aglutinasi sperma merupakan indikasi tidak langsung indikator hadirnya antibodi anti sperma. Tes imunologis dapat dilakukan secara langsung pada sperma atau pada sperma dan darah secara tidak langsung. Antibodi permukaan immunoglobulin A (IgA) atau immunoglobulin G (IgG) dapat muncul. Bisa antibodi spesifik untuk kepala atau ekor sperma. Antibodi IgA sperma terlibat dalam interaksi sperma-sel telur dan penurunan fertilisasi, antibodi IgG sperma menyebabkan gangguan motilitas sperma. Antibodi sperma berkaitan dengan infeksi (contohnya orchitis), trauma testis, dan riwayat vasektomi.5 2) Interpretasi analisis cairan semen Spermatogenesis terjadi sekitar 72 hari. Hasil analisis cairan semen abnormal dapat berhubungan dengan alasan yang tidak diketahui (misalnya periode seksual abstinens yang pendek, pengumpulan yang tidak lengkap, stimulus seksual yang jelek), sehingga penting untuk mengulangi analisa cairan semen setidaknya sebulan sebelum diagnosis dibuat.5 8

- Azoospermia menandakan absennya sperma yang diakibatkan oleh absen kongenital atau sumbatan bilateral dari vas deferens atau duktus ejakulatorius, spermatogenesis arrest, Sertoli cell syndrome, atau post vasektomi. - Oligozoospermia menandakan konsentrasi < 20 juta sperma/mL dan mungkin berhubungan dengan gangguan ejakulasi seperti ejakulasi retrograde, kondisi genetik, atau gangguan hormonal. - Asthenozoospermia menandakan motilitas sperma < 50%. Dapat disebabkan oleh suhu ekstrem dan analisa sperma yang terlambat. - Teratospermia menandakan peningkatan jumlah morfologi abnormal sperma pada kepala, leher, atau ekor. - Hipospermia menandakan penurunan volume cairan semen < 2 mL per ejakulasi. - Hiperspermia menandakan peningkatan volume cairan semen > 8 mL per ejakulasi. 3) Tes fungsi sperma Berfungsi untuk memeriksa fekundabilitas sperma, termasuk: (1) tes reaksi akrosom dengan fluorescent lectins atau antibodi, (2) penilaian kepala sperma dengan komputer, (3) penilaian motilitas dengan komputer, (4) hemizonabinding assay, (5) hamster penetration test, dan (6) human sperm-zona penetration assay.5 4) Tes endokrin Pada pria dengan azoospermia, kadar serum FSH dapat membantu untuk membedakan antara penyebab obstruktif dan non-obstruktif. Kadar yang normal merupakan indikasi untuk azoospermia obstruktif di mana pengambilan sperma melalui tindakan pembedahan perlu dilakukan, sementara kadar yang meningkat menandakan kecurigaan spermatogenesis yang gagal. Pengukuran kadar testosterone dan LH juga membantu ketika terdapat defisiensi androgen akibat kecurigaan adanya tumor testis atau adrenal yang mensekresi steroid.5 Pemeriksaan penunjang yang lain yang dapat dilakukan pada pria, antara lain: pemeriksaan kromosom dan genetik, pemeriksaan mikrobiologi semen, 9

pemeriksaan radiologi pada traktus genital pria, pemeriksaan fungsi sperma secara in vitro, biopsy testikuler, dan pemeriksaan antibodi antisperma.7 b. Pemeriksaan penunjang pada wanita Siklus menstruasi yang normal merupakan patokan yang digunakan untuk menandai terjadinya ovulasi. Untuk mengkonfirmasi adanya ovulasi, biasanya diperoleh dari rata-rata level serum progesterone mid-luteal yang melebihi 30 nmol/l, 7 hari sebelum onset menstruasi (siklus hari ke-21 dari 28 hari). Selain tes ovulasi, pemeriksaan screening rubella juga dilakukan pada setiap wanita.7 Selain itu, pemeriksaan yang lanjut dapat berupa:5 1) Serviks Tes pasca senggama (Tes Sims-Huhner), terdiri dari pemeriksaan jumlah spermatozoa dan motilitasnya dalam lendir serviks selama periode pre ovulasi. Tes tersebut tidak rutin dilakukan dalam pemeriksaan infertilitas standar karena menunjukkan keterbatasan diagnosis dan nilai prediksi yang buruk. Stenosis serviks dapat didiagnosa dengan pemeriksaan inspekulo. Stenosis serviks komplit dipastikan dengan kegagalan alat memasuki kavum uterus.5 2) Uterus a) HSG (Hysterosalpingogram) Kelainan-kelainan seperti tidak adanya vagina dan uterus, septum vagina, dan adanya fibroid dapat dideteksi dengan pemeriksaan panggul. Hampir seluruh kelainan tersebut membutuhkan pemeriksaan penunjang seperti HSG, USG ginekologi, histerosonogram, dan MRI. Prosedur operasi seperti laparoskopi dan histeroskopi sering digunakan untuk memastikan diagnosis akhir. Histerosalpingogram (HSG) sering digunakan untuk memeriksa kavum endometrium dan memberikan informasi seputar: (1) kanalis endoserviks; (2) diameter dan konfigurasi tulang dalam; (3) kavum endometrium; (4) saluran uterus/tuba (kornu ostium); (5) diameter, lokasi, dan arah tuba falopi; (6) status fimbria; dan (7) tumpahan ke kavum endometrium. HSG juga memberikan informasi tidak langsung seputar adhesi pelvis dan uterus, sel telur, atau massa adneksa.5 10

HSG sebaiknya dilakukan selama fase awal fase folikuler. Saat itu, endometrium tipis HSG memberikan gambaran kelainan minor yang lebih baik. Serviks dibersihkan dengan povidone-iodine solution (Betadine) untuk menghindari perpindahan bakteri ke kavum

endometrium selama prosedur. Spekulum lepas digunakan dan dilepaskan sebelu injeksi medium radiopak. Tenakulum gigi satu digunakan untuk menambahkan traksi uterus dan membenarkan posisi antrofleksi atau retrofleksi. Kanula Jarcho-type metal atau balon kateter HSG digunakan untuk menginjeksikan media radiokontras. Penggunaan media kontras berbahan air lebih baik daripada media berbahan minyak untuk menghindari risiko emboli minyak dan formasi granula.5

Gambar 1. Gambaran HSG pada tuba paten (kiri atas), polip endometrium (kanan atas), sumbatan tuba bilateral (kiri bawah), dan uterus bikornu (kanan bawah) (dikutip dari kepustakaan 5)

b) USG (Ultrasonography) USG ginekologi menjadi bagian rutin pemeriksaan ginekologi karena dapat memeriksa posisi uterus dalam pelvis dan memberikan informasi seputar ukuran dan kelainan. Sonogram panggul juga membantu deteksi dini fibroid uterus, polip endometrium, kista ovarium, massa adneksa, dan endometrioma. USG dapat membantu diagnosis anovulasi, polikistik ovarium, dan kista korpus luteum yang persisten.5 11

c) Saline infusion sonography (SIS) SIS memberikan pemeriksaan yang sederhana dan tidak mahal untuk menilai kavum uterus dan memeriksa potensi tuba. Pemeriksaan ini tidak menggunakan radiasi seperti pada HSG. SIS dilakukan selama hari ke-6 hingga ke-12 siklus, di mana endometrium tipis sehingga lebih mudah mendeteksi lesi intrauterin. Spekulum lepas dipasang dan serviks dibersihkan dengan Betadine solution. Kateter transservikal dengan balon dipasang. Spekulum dilepas dan larutan salin diinjeksikan selama visualisasi ultrasonografik. Tampilan longitudinal dan transversal dari kavum dapat menilai adanya filling defects. Terakhir, sejumlah kecil busa air diinjeksikan untuk menilai potensi tuba.5 d) MRI MRI dilakukan apabila diagnosis tidak dapat ditegakkan melalui pemeriksaan HSG konvensional, USG, dan histeroskopi. MRI berfungsi untuk menggambarkan massa pelvis yang kompleks dan membantu diagnosis kondisi seperti malformasi kongenital yang terkait dengan kriptomenore dan kabsennya serviks.5 e) Histeroskopi Histeroskopi merupakan suatu metode visualisasi langsung kavum endometrium. Operasi histeroskopi didesain berdasarkan prinsip

resectoscope yang memperbolehkan diagnosis sekaligus penanganan kelainan endometrium seperti uterine sinekia, polip endometrium, mioma submukosa, dan pengangkatan benda asing (misalnya AKDR).5

Gambar 2. Histeroskopi dari uterine sinekia (kiri) dan polip endometrium (kanan) (dikutip dari kepustakaan 5)

12

f)

Biopsi endometrium Jones memaparkan bahwa disfungsi fase luteal dan hubungannya dengan keguguran berulang. Disfungsi fase luteal didasari atas kurangnya hubungan antara (1) perkembangan endometrium, didiagnosa

menggunakan biopsi endometrium premenstrual, dan (2) onset siklus menstruasi yang sedang terjadi. Diagnosisnya berdasarkan kriteria: terdapat perbedaan lebih dari 2 hari antara tanggal endometrium dan awal dari periode menstruasi selanjutnya, temuan yang sama harus diulangi dalam 2 siklus menstruasi yang berurutan.5 3) Tuba dan peritoneum Tes yang sering digunakan untuk diagnosis untuk melihat kelainan tuba adalah laparoskopi dan HSG. Laparoskopi tidak termasuk pemeriksaan infertilitas rutin. Laparoskopi digunakan ketika ditemukan kelainan pada USG, HSG, atau kecurigaan gejala. Dibutuhkan anestesi dan biaya operasi sehingga hanya digunakan saat ada indikasi yang jelas.5 Laparoskopi kontraindikasi pada pasien dengan kemungkinan obstruksi usus (ileus) dan distensi usus, penyakit kardiopulmoner, atau syok karena perdarahan dalam. Karena risiko perforasi usus, uterus dan perlukaan pembuluh pelvis, trauma kandung kemih, dibutuhkan ahli bedah yang terampil dan berpengalaman. Kontraindikasi relatif lainnya termasuk obesitas masif, dan massa abdomen yang besar atau kehamilan lanjut, adhesi panggul lanjut, dan peritonitis.5 4) Ovarium a) Ovulasi Siklus menstruasi normal dapat menandakan terjadinya ovulasi. Konfirmasi terjadinya ovulasi.5,6

E. PENANGANAN INFERTILITAS PRIMER 1. Penanganan infertilitas primer pada pria Pada asthenospermia terkait dengan varikokel dilakukan pembedahan atau dengan embolisasi varikokelektomi dari vena spermatika. Hasil awal dari prosedur ini tidak terdeteksi sebelum 3 bulan karena spermatogenesis membutuhkan waktu 72 hari. Jika 13

tidak ada perbaikan terjadi, dilanjutkan baik baik inseminasi intrauterin atau fertilisasi in vitro. Oligospermia adalah penyebab paling sering dari kemandulan pria. Pengobatannya tergantung pada faktor etiologi, namun, dalam banyak kasus, penyebab masih belum diketahui. Inseminasi intrauterin adalah pengobatan pilihan jika didapatkan >2 juta sperma dari pencucian sperma.5 Pasien yang saluran reproduksi, FSH, LH, dan tingkat testosteron abnormal atau mereka yang memiliki testosteron rendah dalam tidak adanya kelainan hormonal lainnya dapat diobati secara empiris dengan siklus Klomifen sitrat/CC (25 mg per oral selama setidaknya 6-12 bulan). Pemberian suplemen Karnitin L dan asetil antioksidan seperti Vitamin C atau E berguna untuk meningkatkan pematangan dan fungsi sperma. Peningkatan jumlah sperma adalah pertanda baik, dan pengobatan harus dilanjutkan. Pemeriksaan kadar testosteron dianjurkan karena bisa terjadi efek umpan balik negatif pada produksi sperma. Tergantung pada jumlah sperma, pasangan sebaiknya memiliki melakukan senggama saat ovulasi atau melanjutkan dengan inseminasi intrauterine.5 Pengobatan azoospermia tergantung pada etiologinya. Pada pasien dengan azoospermia obstruktif dan tingkat gonadotropin normal, sperma dapat diperoleh melalui aspirasi epididimis sperma mikro atau biopsi testis. Fertilisasi oosit dilakukan menggunakan IVF/injeksi sperma intrasitoplasmik. Pada pasien dengan azoospermia non obstruktif, ejakulasi retrograd dapat menjadi penyebabnya. Pengobatan terdiri dari pemulihan sperma yang dikumpulkan dari sampel urin segera setelah ejakulasi. Alkalinisasi urin dilakukan sebelum prosedur. Malamnya, pasien harus mengambil 2 sendok makan natrium bikarbonat. Kandung kemih harus dikosongkan 1 jam sebelum pengumpulan sperma, dan dosis ke-2 natrium bikarbonat diambil bersama dengan 16 ons cairan. Sampel urin harus dikumpulkan segera setelah ejakulasi. Spesimen urin harus disentrifugasi segera. Sedimen ini disuspensikan dalam larutan buffer, dan pemulihan sperma diproses menggunakan teknik pencucian sperma sebelum dapat digunakan untuk inseminasi intrauterine.5 2. Penanganan infertilitas primer pada wanita a. Ovarium Induksi ovulasi merupakan pengobatan yang tepat pada pasien infertilitas yang memiliki gangguan pada aksis hipotalamus-pituitari-ovarium. Obat-obatan 14

penginduksi ovulasi, antara lain klomifen sitrat, HMG, hCG, FSH rekombinan, dan LH rekombinan.5,6 b. Serviks Radang serviks kronik dapat diobati dengan antibiotik. Penanganan termudah dan yang paling berhasil adalah inseminasi intrauterine/uterine insemination (IUI). Inseminasi buatan dapat dilakukan dengan memasukkan sperma ke dalam serviks (inseminasi serviks) atau di dalam kavum endometrium (IUI). Namun, inseminasi serviks telah ditinggalkan karena tingkat keberhasilan yang rendah.5 c. Uterus Sebelum fertilisasi in vitro tersedia, pasien dengan kelainan bawaan berupa tidak adanya uterus dan vagina (Rokitansky-Kuster-Hauser syndrome) tidak memiliki kesempatan untuk memiliki anak biologis. Namun, saat ini kita dapat menggunakan wanita lain untuk mendapatkan kehamilan (gestational carrier). Saat pasien berkeinginan untuk memiliki anak, tindakan selanjutnya dilanjutkan dengan stimulasi ovarium, aspirasi oosit, dan fertilisasi in vitro, tetapi embrio ditransfer ke wanita lain tersebut.5 Wanita dengan uterus bikornu atau uterus bersepta yang disertai dengan infertilitas, akan ditangani dengan tindakan pembedahan. Wanita dengan sinekia uterus akan ditangani dengan metode histeroskopi, di mana tindakan ini dilaksanakan pada awal fase folikuler. Begitu juga jika infertilitas disebabkan oleh polip endometrial, maka histeroskopi dan kuretase merupakan tindakan yang terbaik.5 d. Tuba dan peritoneum Obstruksi tuba yang merupakan faktor infertilitas dapat dikoreksi melalui laparotomi, laparoskopi operatif, dan histeroskopi. Lain halnya dengan endometriosis, penanganannya dapat berupa operatif, medikamentosa (pil KB), atau menunggu sampai kehamilan terjadi.5 3. Inseminasi intrauterine Inseminasi intrauterine menjadi salah satu pilihan dalam penanganan infertilitas primer. Ada beberapa indikasi pada inseminasi intrauterine dengan menggunakan cairan semen suami ataupun pasangan (donor), yaitu:8 15

Tabel 2. Indikasi Inseminasi Intrauterine Subfertilitas pria Efektif Faktor servikal Kegagalan ejakulasi Infertilitas yang tidak dapat dijelaskan/idiopatik Kemungkinan efektif Infertilitas imunologis Endometriosis

Kegagalan ejakulasi adalah indikasi yang klasik, karena pria tidak dapat mengejakulasikan sperma ke dalam vagina. Indikasi yang paling sering pada inseminasi intrauterine adalah faktor infertilitas pria dan infertilitas yang tidak dapat dijelaskan/idiopatik. Indikasi lainnya adalah infertilitas akibat imunologis dan endometriosis.8 Kondisi-kondisi tertentu, seperti faktor tuba, penyakit-penyakit pelvis, endometriosis, usia wanita yang telah lanjut, dan faktor infertilitas pria yang berat, memiliki kesempatan yang kecil pada keberhasilan inseminasi intrauterine.9 Indikasi utama untuk inseminasi donor adalah: 8 Infertilitas berat pada pria atau subfertilitas (azoospermia atau

oligoastenoteratozoospermia yang berat), untuk pasangan yang tidak dapat atau menolak fertilisasi in vitro dengan berbagai alasan. Penyakit-penyakit genetik, seperti penyakit Huntington, hemofilia, dan

inkompabilitas rhesus yang berat. Penggunaan cryopreserved semen pada program inseminasi donor telah diaplikasikan pada berbagai negara, untuk meminimalisasi kemungkinan transmisi dari Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan infeksi lain pada resepien.8 Beberapa prosedur yang dilakukan pada inseminasi intrauterine, sebagai berikut: Perkembangan folikuler Selama siklus menstruasi wanita, biasanya hanya satu folikel yang matang yang dilepaskan oleh ovarium, dan mengakibatkan suatu ovulasi dengan satu telur. Pertumbuhan folikel dari ovarium pada awal pertengahan siklus menstruasi wanita dipengaruhi oleh hormon. Ketika folikel matang, kelenjar hipofisis melepaskan 16

sejumlah besar hormon LH. Adanya lonjakan LH membantu tahapan akhir dari maturasi sel telur dan akan mencetuskan timbulnya ovulasi pada 36-40 jam berikutnya. Inseminasi kemudian dilakukan pada hari saat ovulasi terjadi. Proses ini dipantau dengan menggunakan alat tes melalui darah atau urin wanita atau dengan menggunakan ultrasonografi atau dengan menggunakan metode lainnya. Dalam beberapa kasus, tahap ini biasanya menggunakan obat-obatan untuk menginduksi ovulasi, bisa dengan menggunakan Clomid saja, atau dengan Clomid dan injeksi FSH, atau hanya FSH saja.10 Persiapan sampel semen Pada hari dilaksanakannya inseminasi, pasangan (pria) wajib menyediakan sampel semen yang masih segar (fresh). Sampel ini kemudian dibawa ke klinik, dikumpulkan atau mungkin sebelumnya telah dibekukan dan akan dicairkan untuk digunakan dalam proses inseminasi. Sampel semen akan diproses di laboratorium sebagai persiapan untuk melakukan inseminasi. Persiapan meliputi pemindahan plasma semen (bagian yang cair pada semen) dan pengeluaran sperma yang mati atau tidak/kurang bergerak. Sperma yang bergerak kemudian dikonsentrasikan dalam volume yang kecil dan dimasukkan melalui kateter.10 Inseminasi intrauterine Untuk melakukan suatu inseminasi intrauterine, sebuah spekulum dimasukkan ke dalam vagina jadi serviks dapat terlihat. Mukus serviks dibersihkan dengan menggunakan large Q tip dan kateter dimasukkan melalui serviks masuk ke dalam uterus. Sperma yang telah dikonsentrasikan kemudian dimasukkan ke dalam uterus. Setelah itu, wanita tersebut akan berbaring di meja pemeriksaan selama lima sampai sepuluh menit sebelum meninggalkan ruangan. Setelah inseminasi dilakukan, kegiatan yang normal kembali dapat dilakukan.10 Hasil akhir Angka keberhasilan (lahirnya seorang bayi) dari sebuah teknik inseminasi intrauterine tergantung dari berbagai macam faktor. Beberapa faktor tersebut, antara lain: usia wanita tersebut, jenis obat penyubur yang digunakan (jika ada); diagnosis, berapa banyak pengobatan yang telah dilakukan, dan kualitas dari sampel semen.10 17

Banyak faktor yang dapat menyebabkan tindakan ini menjadi gagal atau tidak berhasil. Beberapa faktor ada yang diketahui dan ada yang tidak diketahui. Beberapa faktor yang diketahui dapat menjadi penyebab tidak berhasilnya tindakan inseminasi intrauterine, antara lain:10 Tidak terjadi perkembangan folikel Pasangan (suami) tidak dapat memproduksi sampel semen yang segar (fresh) Pemasangan kateter ke dalam uterus atau serviks sulit atau tidak mungkin secara teknis Meskipun inseminasi berhasil dilakukan, kehamilan tidak terjadi

Jika kehamilan terjadi, kehamilan mungkin tidak akan berjalan dengan normal atau akan mengalami miscarriage. 4. Fertilisasi in vitro Secara harafiah, in vitro berarti di luar tubuh, dan fertilisasi berarti bertemunya sperma dan ovum.11 Fertilisasi in vitro adalah fertilisasi yang terjadi di luar tubuh, yakni pada lingkungan buatan. Prosedur ini telah sukses digunakan pertama kali pada manusia yang infertil yaitu pada tahun 1977 di Bourne Hall di Cambridge, Inggris. Kini, telah banyak bayi yang dilahirkan dengan menggunakan teknik fertilisasi in vitro. Selama bertahun-tahun, prosedur kehamilan dengan teknik fertilisasi in vitro telah lebih sederhana, lebih aman, dan lebih tinggi angka keberhasilannya.12 Secara normal, sel telur dan sel sperma bertemu di dalam tubuh seorang wanita. Jika sel telur menempel pada dinding rahim dan terus-menerus berkembang, seorang bayi akan lahir sekitar 9 bulan kemudian. Proses ini disebut proses yang alamiah atau tanpa bantuan.11 Fertilisasi in vitro adalah salah satu bentuk dari assisted reproductive technology (ART). Ini berarti sebuah teknik khusus dilakukan untuk membuat seorang wanita menjadi hamil.11 Ada beberapa langkah dasar pada fertilisasi in vitro, antara lain:11,13 1) Down-Regulation Fertilisasi in vitro bergantung pada sel telur yang matang yang dilepaskan oleh ovarium. Untuk menghindari pengeluaran sel telur (ovulasi) secara prematur, obat (Lupron) diberikan untuk mendesensitisasi kelenjar hipofisis dan menghindari 18

sinyal yang normal untuk ovulasi. Lupron diinjeksi pada permulaan siklus fertilisasi in vitro. Dalam waktu 10-14 hari setelah injeksi Lupron, downregulation selesai dan tahap berikutnya dapat dimulai. Lupron kemudian dilanjutkan pada tahap stimulasi ovarium. Obat-obatan lain yang dapat digunakan pada fase down-regulation adalah Antagon dan Cetrotide.13 2) Stimulasi, yang juga disebut super ovulasi Obat-obatan, yang disebut juga obat-obat penyubur, diberikan pada wanita untuk menginduksi produksi sel telurnya. Secara normal, seorang wanita memproduksi sebuah sel telur setiap bulan. Obat-obat penyubur, seperti injeksi follicle stimulating hormone (FSH) atau human menopausal gonadotropins (hMG), akan memerintahkan ovarium untuk memproduksi beberapa buah sel telur. Hormon tersebut, antara lain Follistim, Gonal-F, Repronex, Bravelle, atau Menopur diberikan pada permulaan siklus menstruasi. Selama tahap ini, wanita tersebut akan diperiksa secara rutin dengan menggunakan ultrasonografi transvaginal untuk memeriksa ovarium dan serangkaian pemeriksaan darah untuk mencek kadar hormon.11,13 3) Pengeluaran sel telur Sebuah pembedahan minor, yang disebut juga aspirasi folikuler, dilakukan untuk mengeluarkan sel telur dari tubuh seorang wanita. Prosedur ini dilakukan di klinik/rumah sakit tempat dokter bertugas. Wanita tersebut akan diberikan obatobatan jadi dia tidak akan merasakan sakit selama prosedur berlangsung. Dengan menggunakan ultrasonografi sebagai penuntun, dokter atau paramedis akan memasukkan sebuah jarum yang tipis ke dalam vagina dan masuk ke dalam ovarium dan saccus (folikel) yang mengandung sel-sel telur. Jarum tersebut terhubung dengan sebuah alat pengisap atau suction, yang akan menarik sel telur dan cairan keluar dari folikel pada waktu yang sama. Prosedur ini diulangi pada ovarium yang lain. Wanita tersebut akan mengalami semacam kram setelah operasi, tetapi hal tersebut akan menghilang dengan sendirinya dalam beberapa hari. Pada kasus yang jarang, laparoskopi pelvis mungkin diperlukan untuk mengeluarkan sel-sel telur. Jika wanita tersebut tidak mempunyai atau tidak dapat memproduksi sel telur, donor sel telur dapat digunakan.11 4) Inseminasi dan fertilisasi 19

Sperma dari pria ditempatkan bersama-sama dengan sel telur yang memiliki kualitas terbaik dan ditempatkan pada lingkungan atau ruangan yang dikontrol keadaannya. Pencampuran antara sel sperma dan sel telur disebut inseminasi. Sel sperma biasanya membuahi sel telur beberapa jam setelah inseminasi. Jika dokter berpikir bahwa kesempatan untuk terjadinya fertilisasi sangatlah kecil, dokter/petugas laboratorium dapat secara langsung menginjeksi sel sperma ke dalam sel telur. Hal ini disebut juga intracytoplasmic sperm injection (ICSI). Indikasi untuk melakukan ICSI, antara lain: oligoastenoteratozoospermia yang berat, tidak terjadinya fertilisasi pada siklus fertilisasi in vitro sebelumnya, dan akan dilakukannya pre-implantation genetic diagnosis (PGD).11 5) Kultur embrio Ketika sel telur telah dibuahi dan membelah, sel telur yang dibuahi tersebut kemudian berkembang menjadi embrio. Petugas laboratorium akan secara rutin mencek embrio untuk memastikan bahwa embrio tersebut berkembang sebagaimana mestinya. Dalam waktu 5 hari, sebuah embrio yang normal akan memiliki beberapa sel yang secara aktif membelah.11 Pasangan suami-istri yang memiliki risiko tinggi melahirkan anak yang memiliki kelainan genetik, dapat mempertimbangkan pre-implantation genetic diagnosis (PGD). Prosedur ini dilakukan sekitar 3-4 hari setelah fertilisasi. Ahli genetika akan mengeluarkan sebuah sel tunggal dari setiap embrio dan akan melihat gen yang spesifik untuk kelainan genetik. Menurut American Society for Reproductive Medicine, PGD dapat membantu pasangan suami-istri untuk memilih embrio mana yang akan diimplantasi, yang kemudian akan menurunkan kemungkinan menurunnya kelainan genetik pada anak yang akan dilahirkan. Teknik ini masih kontroversial dan tidak terdapat di semua unit.11 PGD dindikasikan untuk pasien yang memiliki riwayat misscarriage berulang, usia ibu sudah lanjut ( 38 tahun), fertilisasi in vitro yang terus-menerus gagal, infertilitas yang tidak dapat dijelaskan, infertilitas yang disebabkan oleh faktor pria, atau kelainan genetik yang diturunkan, seperti: fibrosis kistik, penyakit Tay Sachs, distrofi miotonik, dan sebagainya. Kini ada sekitar 50 tipe dari mutasi gen tunggal yang dapat didiagnosis.14 20

6) Transfer embrio Embrio ditempatkan pada rahim seorang wanita 3-5 hari setelah pengeluaran sel telur dan fertilisasi. Dokter memasukkan sebuah tabung yang kecil (kateter) yang mengandung embrio masuk ke dalam vagina, kemudian melewati serviks, dan masuk ke dalam rahim. Jika embrio melekat pada rahim (berimplantasi), kehamilan akan terjadi.11 Lebih dari satu embrio dapat ditempatkan di dalam rahim pada waktu yang sama, yang akan menghasilkan kehamilan gemelli, triplet, atau lebih. Embrio yang tidak digunakan akan dibekukan dan diimplantasi atau didonasi di lain waktu.11 Fertilisasi in vitro dilakukan untuk membantu seorang wanita menjadi hamil. Cara ini banyak digunakan untuk menangani berbagai kasus infertilitas, antara lain:11 Pada usia wanita yang sudah lanjut (advanced maternal age) Tuba fallopi yang tertutup atau rusak, yang dapat disebabkan oleh pelvic inflammatory disease atau pembedahan yang berhubungan dengan reproduksi Endometriosis Faktor infertilitas pada pria, termasuk menurunnya jumlah dan kualitas sperma Infertilitas yang tidak dapat dijelaskan Inseminasi intrauterine yang tidak berhasil Kerugian dari tindakan fertilisasi in vitro adalah biaya yang mahal, sekitar $12.000-$17.000 (atau sekitar Rp 120.000.000,- - Rp 170.000.000,-). Stres dan depresi juga menjadi masalah yang umum pada pasangan suami-istri yang berhadapan dengan masalah infertilitas. Obat-obatan penyubur yang diinjeksi pada wanita tersebut juga dapat menyebabkan ketidaknyamanan, seperti nyeri perut, perubahan mood, sakit kepala, dan beberapa efek samping lainnya.11 Selain itu ada beberapa komplikasi, meskipun sangat jarang, yang berhubungan dengan tindakan fertilisasi in vitro, antara lain: Ovarian hyperstimulation syndrome Ini adalah komplikasi yang paling tidak diinginkan, yakni membesar dan nyeri pada ovarium akibat stimulasi dari hMG. Gejala klinis dapat berupa nyeri perut, bengkak, berat badan bertambah dengan cepat (biasanya 5 kg dalam 3-5 hari), berkurangnya jumlah urin walaupun mengonsumsi cairan dalam jumlah yang 21

banyak, mual, muntah, dan kesulitan bernapas. Pada kasus yang ringan, dapat ditangani dengan istirahat total, dan pada kasus yang berat, drainase cairan dibutuhkan.11,13 Prosedur pengeluaran sel telur Ada beberapa risiko kecil yang dapat terjadi pada tahap ini, antara lain: reaksi pada obat-obatan anestesi, perdarahan, infeksi, dan perlukaan pada organ dalam selama prosedur dijalankan.13 Cacat lahir Beberapa penelitian menunjukkan adanya peningkatan risiko cacat lahir pada bayi yang lahir dari proses fertilisasi in vitro. Sekitar 1 dari 20 individu pada populasi umum akan mengalami cacat lahir (biasanya minor).13 Kehamilan ganda dan kehamilan ektopik Sekitar 25% dari kehamilan yang berasal dari prosedur fertilisasi in vitro adalah emelli. Lima sampai tujuh persen dari seluruh kehamilan dapat berupa triplet atau lebih. kehamilan ganda dapat meningkatkan risiko persalinan prematur dan BBLR. Kehamilan ektopik terjadi pada sekitar 5% dari kehamilan dengan prosedur fertilisasi in vitro.13 Misscarriage Risiko ini terjadi pada sekitar 25% dari kehamilan dengan prosedur fertilisasi in vitro.13

22

DAFTAR PUSTAKA

1.

Hestiantoro A. Infertilitas. Dalam: Anwar M, Baziad A, Prabowo RP, editor. Ilmu kandungan edisi ketiga. Jakarta: PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo; 2011. hlm. 42535.

2.

DeCherney A, Nathan L, Goodwin TM, Laufer N. Infertility. In: DeCherney A, Nathan L, Goodwin TM, Laufer N, editors. Current diagnosis and treatment obstetrics and gynecology, tenth edition. New York: McGraw Hill; 2007.

3.

Rybak EA, Wallach EE. Infertility and assisted reproductive technologies. In: Fortner KB, Szymanski LM, Fox HE, Wallach EE, editors. The john hopkins manual of gynecology and obstetrics, 3rd edition. United States: Lippincott Williams & Wilkins; 2007.

4.

Speroff L, Fritz MA. The male infertility evaluation. In: Speroff L, Fritz MA, editors. Clinical gynecologic endocrinology and infertility seventh edition. United States: Lippincott Williams & Wilkins; 2005. Puscheck EE, Lucidu RS, et al. Infertility [online]. 2012 February 16th [cited 2013 May 15th]. Available from: http://emedicine.medscape.com/article/274143

5.

6.

Chan PD, Johnson SM. Infertility. In: Chan PD, Johnson SM, editors. Current clinical gynecology and obstetrics. United States: Current Clinical Strategies Publishing; 2004. Bhattacharya S. Infertility. In: Edmonds DK, editor. Dewhursts textbook of obstetrics and gynaecology seventh edition. United Kingdom: Blackwell Publishing; 2007. p. 440-58.

7.

8.

Brinsden PR, Dickey RP. An overview of intrauterine insemination and ovulation induction. Cambridge University Press 2010; p. 1-6. Ahlering P. Why intrauterine insemination (IUI) often doesnt work and what patients need to know. St. Louis Womens Journal 2009; p. 1.

9.

10. Womens Fertility Center. Consent for intrauterine insemination (IUI) [online]. 20 10 [cited 2013 May 15th]. Available from:

http://www.womensfertilitycenter.com/Treatment_IUIconsent.pdf 11. Storck S. In vitro fertilization all information [online]. 2010 [cited 2013 May 15th]. Available from: http://www.umm.edu/ency/article/007279all.htm 12. University of California San Francisco Medical Center. In vitro fertilization (IVF) [online]. 2010 [cited 2013 May 15th]. Available from: 23

http://coe.ucsf.edu/ivf/in_vitro_fertilization.html

13. Cleland WH, Parry JP. In vitro fertilization [online]. 2010 [cited 2013 May 15th]. Available from: http://obgyn.umc.edu/cs-ivf.html 14. University of Rochester Medical Center. In vitro fertilization (IVF) [online]. 2011 [cited 2013 May 15th]. Available from: https://www.urmc.rochester.edu/fertility-center/ivf/ivfstep-by-step.cfm

24

You might also like