You are on page 1of 58

PEMERIKSAAN FISIK NEUROLOGI ANAMNESIS Dalam memeriksa penyakit saraf, data riwayat penyakit merupakan hal yang penting.

Seorang dokter tidak mungkin berkesempatan mengikuti penyakit sejak dari mulanya. Biasanya penderita datang ke dokter pada saat penyakit sedang berlangsung, bahkan kadang-kadang saat penyakitnya sudah sembuh dan keluhan yang dideritanya merupakan gejala sisa. Selain itu, ada juga penyakit yang gejalanya timbul pada waktu-waktu tertentu; jadi, dalam bentuk serangan. Di luar serangan, penderitanya berada dalam keadaan sehat. Jika penderita datang ke dokter di luar serangan, sulit bagi dokter untuk menegakkan diagnosis penyakitnya, kecuali dengan bantuan laporan yang dikemukakan oleh penderita (anamnesis) dan orang yang menyaksikannya (alloanamnesis). Tidak jarang pula suatu penyakit mempunyai perjalanan tertentu. Oleh karena perjalanan penyakit sering mempunyai pola tertentu, maka dalam menegakkan diagnosis kita perlu menggali data perjalanan penyakit tersebut. Suatu kelainan fisik dapat disebabkan oleh bermacam penyakit. Dengan mengetahui perjalanan penyakit, kita dapat mendekati diagnosisnya, dan pemeriksaan laboratorium yang tidak perlu dapat dihindari. Tidaklah berlebihan bila dikatakan bahwa: Anamnesis yang baik membawa kita menempuh setengah jalan ke ara diagnosa yang tepat. Untuk mendapatkan anamnesis yang baik dibutuhkan sikap pemeriksa yang sabar dan penuh perhatian, serta waktu yang cukup. Pengambilan anamnesis sebaiknya dilakukan di tempat tersendiri, supaya tidak didengar orang lain. Biasanya pengambilan anamnesis mengikuti 2 pola umum, yaitu: 1. Pasien dibiarkan secara bebas mengemukakan semua keluhan serta kelainan yang dideritanya. 2. Pemeriksa (dokter) membimbing pasien mengemukakan keluhannya atau kelainannya dengan jalan mengajukan pertanyaan tertuju. Pengambilan anamnesa yang baik menggabungkan kedua cara tersebut diatas.
1

Biasanya wawancara dengan pasien dimulai dengan menanyakan nama, umur, pekerjaan, alamat. Kemudian ditanyakan keluhan utamanya, yaitu keluhan yang mendorong pasien datang berobat ke dokter. Pada tiap keluhan atau kelainan perlu ditelusuri: 1. Sejak kapan mulai 2. Sifat serta beratnya 3. Lokasi serta penjalarannya 4. Hubungannya dengan waktu (pagi, siang, malam, sedang tidur, waktu haid, sehabis makan dan lain sebagainya) 5. Keluhan lain yang ada hubungannya dengan keluhan tersebut 6. Pengobatan sebelumnya dan bagaimana hasilnya 7. Faktor yang membuat keluhan lebih berat atau lebih ringan 8. Perjalanan keluhan, apakah menetap, bertambah berat, bertambah ringan, datang dalam bentuk serangan, dan lain sebagainya Pada tiap penderita penyakit saraf harus pula dijajaki kemungkinan adanya keluhan atau kelainan dibawah ini dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan berikut: 1. Nyeri kepala : Apakah anda menderita sakit kepala? Bagaimana sifatnya, dalam bentuk serangan atau terus menerus? Dimana lokasinya? Apakah progresif, makin lama makin berat atau makin sering? Apakah sampai mengganggu aktivitas sehari-hari? 2. Muntah : Apakah disertai rasa mual atau tidak? Apakah muntah ini tiba-tiba, mendadak, seolah-olah isi perut dicampakkan keluar (proyektil)? 3. Vertigo : Pernahkah anda merasakan seolah sekeliling anda bergerak, berputar atau anda merasa diri anda yang bergerak atau berputar? Apakah rasa tersebut ada hubungannya dengan perubahan sikap? Apakah disertai rasa mual atau muntah? Apakah disertai tinitus (telinga berdenging, berdesis)? 4. Gangguan pemglihatan (visus) : Apakah ketajaman penglihatan anda menurun pada satu atau kedua mata? Apakah anda melihat dobel (diplopia)? 5. Pendengaran : Adakah perubahan pada pendengaran anda? Adakah tinitus (bunyi berdenging/berdesis pada telinga)?

6. Saraf otak lainnya : Adakah gangguan pada penciuman, pengecapan, salivasi (pengeluaran air ludah), lakrimasi (pengeluaran air mata), dan perasaan di wajah? Adakah kelemahan pada otot wajah? Apakah bicara jadi cadel dan pelo? Apakah suara anda berubah, jadi serak, atau bindeng (disfonia), atau jadi mengecil/hilang (afonia)? Apakah bicara jadi cadel dan pelo (disartria)? Apakah sulit menelan (disfagia)? 7. Fungsi luhur : Bagaimana dengan memori? Apakah anda jadi pelupa? Apakah anda menjadi sukar mengemukakan isi pikiran anda (disfasia, afasia motorik) atau memahami pembicaraan orang lain (disfasia, afasia sensorik)? Bagaimana dengan kemampuan membaca (aleksia)? Apakah menjadi sulit membaca, dan memahami apa yang anda baca? Bagaimana dengan kemampuan menulis, apakah kemampuan menulis berubah, bentuk tulisan berubah? 8. Kesadaran : Pernahkah anda mendadak kehilangan kesadaran, tidak mengetahui apa yang terjadi di sekitar anda? Pernahkah anda mendada merasa lemah dan seperti mau pingsan (sinkop)? 9. Motorik : Adakah bagian tubuh anda yang menjadi lemah, atau lumpuh (tangan, lengan, kaki, tungkai)? Bagaimana sifatnya, hilang-timbul, menetap atau berkurang? Apakah gerakan anda menjadi tidak cekatan? Adakah gerakan pada bagian tubuh atau ekstremitas badan yang abnormal dan tidak dapat anda kendalikan (khorea, tremor, tik)? 10. Sensibilitas : Adakah perubahan atau gangguan perasaan pada bagian tubuh atau ekstremitas? Adakah rasa baal, semutan, seperti ditusuk, seperti dibakar? Dimana tempatnya? Adakah rasa tersebut menjalar? 11. Saraf otonom : Bagaimana buang air kecil (miksi), buang air besar (defekasi), dan nafsu seks (libido) anda? Adakah retensio atau inkontinesia urin atau alvi? Disamping data yang bersifat saraf ini, perlu juga dujajaki adanya keluhan lain, yang bukan merupakan keluhan saraf dalam arti kata sempit, namun mungkin ada hubungannya dengan kelainan saraf yang sedang diderita. Misalnya, kelianan jantung, paru, tekanan darah tinggi dan diabetes mellitus.

KESADARAN Seseorang disebut sadar bila ia sadar terhadap diri dan lingkungannya. Orang normal dapat berada dalam keadaan : sadar, mengantuk, atau tidur. Bila tidur maka dapat dibangunkan oleh rangsang, misalnya nyeri, bunyi atau gerak. Dalam memeriksa tingkat kesadaran, seorang dokter melakukan inspeksi, konversasi, dan bila perlu memberikan rangsang nyeri. Inspeksi, perhatikan apakah pasien berespons secara wajar terhadap stimulus visual, auditoar, dan taktil yang ada disekitarnya. Konversasi, Apakah pasien memberikan reaksi wajar terhadap suara konversasi, atau dapat dibangunkan oleh suruhan atau pertanyaan yang disampaikan dengan suara yang kuat? Nyeri, bagaimana respons pasien terhadap rangsang nyeri?

Tingkat kesadaran dibagi menjadi beberapa yaitu:


Normal Somnolen

: kompos mentis : keadaan mengantuk. Kesadaran dapat pulih penuh bila dirangsang.

Somnolen disebut juga sebagai letargi. Tingkat kesadaran ini ditandai oleh mudahnya pasien dibangungkan, mampu memberi jawaban verbal dan menangkis rangsang nyeri.

Sopor (stupor) : Kantuk yang dalam. Pasien masih dapat dibangunkan dengan rangsang yang kuat, namun kesadarannya segera menurun lagi. Ia masih dapat mengikuti suruhan yang singkat dan masih terlihat gerakan spontan. Dengan rangsang nyeri pasien tidak dapat dibangunkan sempurna. Reaksi terhadap perintah tidak konsisten dan samar. Tidak dapat diperoleh jawaban verbal dari pasien. Gerak motorik untuk menangkis rangsang nyeri masih baik.

Koma : Tidak ada gerakan spontan. Tidak ada jawaban sama sekali terhadap rangsang nyeri yang bagaimanapun kuatnya. Delirium, Penderita delirium menunjukkan penurunan kesadaran disertai peningkatan

yang abnormal dari aktivitas psikomotor dan siklus tidur bangun yang terganggu. Pada keadaan
4

ini pasien tampak gaduh gelisah, kacau, disorientasi, berteriak, aktifitas motorik meningkat, meronta-ronta. Penyebab delirium beragam, diantaranya ialah kurang tidur, oleh berbagai obat, dan gangguan metabolic toksik. Pada manula, delirium kadang didapatkan waktu malam hari. Penghentian obat anti depresan yang telah lama digunakan dapat menyebabkan delirium-

tremens. Demikian juga bila pecandu alcohol mendadak menghentikan minum alcohol. Skala Koma Glasgow Untuk mengikuti perkembangan tingkat kesadaran dapat digunakan skala koma Glasgow yang memperhatikan tanggapan (respon) penderita terhadap rangsang dan memberikan nilai pada respon tersebut. Tanggapan/respon penderita yang perlu diperhatikan adalah: Membuka mata Spontan Terhadap bicara Dengan rangsang nyeri Tidak ada reaksi 4 3 2 1

Respon verbal (bicara) Baik dan tidak ada disorientasi Kacau (confused) Tidak tepat Mengerang Tidak ada jawaban 5 4 3 2 1

Respon motorik (gerakan) Menurut perintah Mengetahui lokasi nyeri Reaksi menghindar Refleks fleksi (dekortikasi) 6 5 4 3
5

Refleks ekstensi (deserebrasi) Tidak ada reaksi

2 1

Bila kita gunakan skala Glasgow sebagai patokan untuk koma, maka koma = tidak didapatkan respons membuka mata, bicara dan gerakan dengan jumlah nilai = 3, nilai 3-5 dapat sesuai dengan keadaan koma, 6-7 soporokoma, 8-9 sopor. Nilai tertinggi 15 yang berarti sadar.

PEMERIKSAAN UMUM Pemeriksaan harus mencakup : a. Gejala vital, Periksa jalan nafas, keadaan respirasi dan sirkulasi. Pastikan bahwa jalan nafas terbuka dan pasien dapat bernafas. Otak membutuhkan pasokan oksigen yang kontinu, demikian juga glukosa. Tanpa oksigen sel-sel otak akan mati dalam waktu lima menit, karena itu, harus ada sirkulasi darah untuk menyampailkan oksigen dan glukosa ke otak. Jadi waktu untuk memulihkan pernafasan dan sirkulasi darah adalah singkat, dan keadaan kadar dextrose yang diberikan harus cukup untuk nutrisi otak, b. Kulit, perhatikan tanda trauma, stigmata penyakit hati, bekas suntikan, kulit basah karena keringat misalnya pada hipoglikemi dan syok, kulit kering misalnya pada koma diabetic, perdarahan misalnya pada demam berdarah dengue dan DIC. c. Kepala, Perhatikan tanda trauma, hematoma dikulit kepala, hematoma disekitar mata, perdarahan di liang telinga dan hidung. d. Thoraks, jantung, parum abdomen dan ekstremitas.

PEMERIKSAAN NEUROLOGI
TANDA RANGSANG MENINGEAL Kaku kuduk Untuk memeriksa kaku kuduk dapat dilakukan sbb: Tangan pemeriksa ditempatkan dibawah kepala pasien yang sedang berbaring, kemudian kepala ditekukan (fleksi) dan diusahakan agar dagu mencapai dada. Selama penekukan diperhatikan adanya tahanan. Bila terdapat kaku kuduk kita dapatkan tahanan dan dagu tidak dapat mencapai dada. Kaku kuduk dapat bersifat ringan atau berat. Kernig sign Pada pemeriksaan ini, pasien yang sedang berbaring difleksikan pahanya pada persendian panggul sampai membuat sudut 90. Setelah itu tungkai bawah diekstensikan pada persendian lutut sampai membentuk sudut lebih dari 135 terhadap paha. Bila teradapat tahanan dan rasa nyeri sebelum atau kurang dari sudut 135, maka dikatakan Kernig sign positif.

Brudzinski I (Brudzinskis neck sign)

Pasien berbaring dalam sikap terlentang, dengan tangan yang ditempatkan dibawah kepala pasien yang sedang berbaring , tangan pemeriksa yang satu lagi sebaiknya ditempatkan didada pasien untuk mencegah diangkatnya badan kemudian kepala pasien difleksikan sehingga dagu menyentuh dada. Test ini adalah positif bila gerakan fleksi kepala disusul dengan gerakan fleksi di sendi lutut dan panggul kedua tungkai secara reflektorik.

Brudzinski II (Brudzinskis contralateral leg sign) Pasien berbaring terlentang. Tungkai yang akan dirangsang difleksikan pada sendi lutut, kemudian tungkai atas diekstensikan pada sendi panggul. Bila timbul gerakan secara reflektorik berupa fleksi tungkai kontralateral pada sendi lutut dan panggul ini menandakan test ini postif.

Brudzinski II

Brudzinski III Penekanan pada simfisis pubis akan disusul oleh timbulnya gerakan fleksi secara reflektorik pada kedua tungkai disendi lutut dan panggul. Lasegue sign Untuk pemeriksaan ini dilakukan pada pasien yang berbaring lalu kedua tungkai diluruskan (diekstensikan), kemudian satu tungkai diangkat lurus, dibengkokkan (fleksi) persendian panggulnya. Tungkai yang satu lagi harus selalu berada dalam keadaan ekstensi (lurus). Pada keadaan normal dapat dicapai sudut 70 sebelum timbul rasa sakit dan tahanan. Bila sudah timbul rasa sakit dan tahanan sebelum mencapai 70 maka disebut tanda Lasegue positif. Namun pada pasien yang sudah lanjut usianya diambil patokan 60.

Lasegue Sign

PEMERIKSAAN NERVUS CRANIALIS


N I = N. Olfaktorius

Fungsi: untuk indera penciuman Syarat pemeriksaan: 1. Bahan yang digunakan bersifat aromatik, tidak merangsang mukosa hidung, dan mudah dikenal.
9

Misalnya: teh, kopi, tembakau, sabun, vanili, dll. 2. Bahan yang mudah menguap dan merangsang mukosa hidung tidak dapat dipakai karena akan merangsang juga N.V. misalnya: alkohol, amonia. 3. Sebelum pemeriksaan terlebih dulu jalan lintas pernapasan melalui hidung harus baik, bersih, dan lancar. Jadi tidak ada corpus alineum, rhinitis, atau polip. 4. Mata penderita sebaiknya ditutup atau dapat tetap terbuka tetapi bahan yang digunakan dimasukkan dalam botol kecil berwarna gelap. Cara pemeriksaan: 1. Penderita diberitahu terlebih dahulu bahwa daya penciumannya akan diperiksa. Kemudian diminta untuk mengidentifikasi apa yang tercium olehnya jika suatu botol didekatkan pada lubang hidungnya. 2. 3. Pemeriksaan dilakukan terhadap kedua lubang hidung. Pemeriksaan dimulai dengan menyuruh penderita menutup satu lubang hidung. Kemudian bahan pemeriksaan kita dekatkan pada lubang hidung sebelahnya dan penderita diminta untuk menghirup/menciumnya. Setelah itu penderita diminta menyebutkan nama bahan tersebut. Selesai pemeriksaan lubang hidung yang satu dilanjutkan dengan memeriksa lubang hidung sebelahnya. 4. Terciumnya bau-bauan secara tepat berarti fungsi penciuman (N.1) kedua belah sisi adalah baik. Kelainan penciuman: Anosmia hilangnya daya penciuman Hiposmia daya penciuman berkurang Hiperosmia daya penciuman lebih tajam dari normal Parosmia rangsangan bau ada tetapi identifikasinya salah Halusinasi olfactorik mencium bau sesuatu tanpa adanya rangsangan

Terganggunya fungsi nervus VII antara lain dapat disebabkan oleh : Tumor yang menekan traktus olfaktorius, paling sering berupa meningioma Trauma kapitis, terputusnya serabut-serabut olfaktorius pada fraktur basis kranii fossa anterior Infeksi, misalnya pada meningitis basal yang mengenai traktus atau serabut olfaktorius
10

Pada keadaan parosmia, hiperosmia, dan halusinasi olfaktorik biasanya ditemukan pada keadaan histeria dan epilepsi.

N.II = N. Optikus

Fungsi: untuk penglihatan Pemeriksaan meliputi: Ketajaman penglihatan (visual acuity) Syarat pemeriksaan: Ruangan harus cukup terang Tidak ada gangguan/kelainan lensa, kornea, iris Tanyakan apakah penderita buta huruf atau tidak. Jika ya maka dipakai kartu snellen khusus: yaitu huruf E dengan berbagai ukuran dan posisi yang berubah-ubah. Tes ketajaman penglihatan: a. Tes kartu Snellen Penderita duduk di kursi Gantungkan kartu snellen setinggi kedudukan mata penderita pada jarak 6 m (5 m). Mata kanan dan kiri diperiksa bergantian dengan menutup sebelah mata dengan tangan penderita sendiri. Kemudian penderita disuruh membaca huruf-huruf mulai dari atas ke bawah yang ditunjuk oleh pemeriksa pada kartu snellen Kartu snellen yang tersedia di Indonesia mempunyai catatan di samping kanan-kirinya. Catatan di kiri untuk visus yang diperiksa pada jarak 6 m sedangkan yang di kanan untuk jarak 5 m. Pada tiap bagan dicantumkan visus yang sesuai dengan barisan huruf itu sehingga dengan demikian penentuan visus secara kasar mudah dilaksanakan. Nilai ketajaman penglihatan normal adalah 6/6 E. Jika penderita hanya dapat membaca huruf barisan ketiga saja maka visus adalah 6/20 (30%). Bila visus menurun sampai 6/60 (10%) berarti penderita tidak bisa membaca huruf barisan pertama. Maka visus sebaiknya diperiksa dengan menggunakan cara kedua.

11

Snellen chart

2. Tes hitung jari Penderita diminta menghitung jari-jari tangan pemeriksa yang diperlihatkan padanya. Jika penderita hanya dapat menghitung jari dengan benar pada jarak 3 m, berarti visusnya 3/60. Angka 60 menunjukkan jarak orang normal dapat menghitung jari dengan benar. 3. Tes gerakan jari Pada penderita dengan visus yang lebih buruk lagi dimana pada jarak 1 m masih belum dapat menghitung jari maka penentuan visus dengan cara meminta penderita melihat gerakan jari tangan pemeriksa. Visus normal dapat melihat gerakan jari pada jarak 300 m. bila penderita hanya dapat menentukan gerakan jari pada jarak 4 m berarti visusnya adalah 4/300. 4. Tes cahaya Tes ini dilakukan pada penderita dengan visus sangat buruk dimana pemeriksaan menggunakan lampu senter. Penderita hanya dapat membedakan cahaya gelap dan terang. Orang normal dapat mengenali cahaya hingga jarak tak terhingga visus 1/~. Visus dikatakan 0 (nol) jika penderita tidak mampu lagi membedakan cahaya terang dan gelap (buta total)

12

Lapangan penglihatan (kampus visii) 1. Tes konfrontasi Penderita duduk berhadapan dengan pemeriksa dengan posisi lutut ketemu lutut (jarak antara keduanya 60-100 cm) dan mata ketemu mata. Sebagai objek bisa dipergunakan jam telunjuk pemeriksa. Untuk pemeriksaan kampus mata kanan, maka mata kiri penderita dan mata kanan pemeriksa harus ditutup, demikian pula sebaliknya. Objek sebelum digerakkan harus berada dalam bidang yang sama jaraknya antara mata penderita dan pemeriksa. Pemeriksaan dimulai dengan menggerakkan objek perlahan dari luar lapangan pandangan ke arah dalam (lateral ke medial) sarnpai penderita melihat objek dengan menyebut "ya". Medan penglihatan pemeriksa digunakan sebagai patokan normal. Jika penderita dan pemeriksa sama-sama dapat melihat jari telunjuk pemeriksa yang bergerak pada jarak yang sama maka lapangan penglihatan penderita dikatakan normal. Pada lesi tertentu lapangan penglihatan ini dapat menyempit atau hanya dapat melihat setengah/seperempat dari lapangan penglihatan atau bahkan menghilang. Keadaan ini dikenal sebagai hemianopsia, quadrant anopsia, atau anopsia.

3 4 5

1. 2. 3. 4.

Monokuar blindness, lesi pada nervus optikus Hemianopsia bitemporal/binasal, lesi pada kiasma optikus Hemianopsia homonim, lesi pada traktus optikus Dan 5. Anopsia quadrant, lesi pada radiasi optikus

13

2. Tes kampimetri/perimetri Jika dengan tes konfrontasi lapangan penglihatan dinilai secara kasar, maka dengan kampimetri dan perimetri hasil yang diperoleh akan lebih terperinci dan akurat. Pemeriksaan ini juga dipakai untuk mencari adanya skotoma. Biasanya alat ini terdapat di bagian mata dan hasil pemeriksaannya diproyeksikan dalam bentuk gambar di sebuah kartu.

Fundus oculi (funduskopi) Pemeriksaan dilakukan dengan bantuan oftalmoskop. Yang diperiksa adalah keadaan retina dan diskus optikus atau papila nervi optici. Cara pemeriksaan: Pemeriksaan dilakukan di ruangan yang telah digelapkan atau ruangan remang-remang. Penderita dalam posisi duduk/berbaring memandang lurus ke depan. Mata penderita diperiksa satu-satu dimana mata kanan penderita diamati oleh mata kanan pemeriksa dan mata kiri penderita diarnati oleh mata kiri pemeriksa. Melalui lubang oftalmoskop yang didekatkan pada mata penderita, pemeriksa mengarahkan sinar lampu oftalmoskop ke pupil penderita sehingga terlihat jelas gambaran retina dan papil N.II Kelainan refraksi dapat dikoreksi dengan menggunakan lensa yang ada pada oftalmoskop Tersebut. Penilaian: Gambaran fundus oculi normal: Retina berwarna merah-oranye Pembuluh darah: vena lebih tebal dari arteri dan berpangkal pada pusat papil dan memancarkan cabang-cabangnya keseluruh retina dengan perbandingan a:v = 2:3

14

Funduskopi normal

Papil N.II: berwarna kuning kemerahan, bentuk bulat, batas tegas dengan sekelilingnya, mempunyai cekungan fisiologis (cupping). Kelainan papil N.II : a. Papil edema, ditandai: Warna: kemerahan (lebih tua clan normal) Batas: tidak tegas/kabur Cekungan fisiologis: datar, kadang sampai menonjol Gambaran pembuluh darah bertambah, melebar, berkelok-kelok (hiperemis), a:v = 2:5 Biasanya ditemukan pada peningkatan tekanan intra krainal dan papilitis

Papil edema

b. Papil atrofi, dibedakan 2 macam: Papil atrofi primer, akibat tekanan langsung pada N.II Papil atrofi sekunder, yang terjadi melalui papil edema lebih dulu

Papil atrofi ditandai: Warna: pucat (kuning muda sampai putih)


15

Batas: menjadi lebih tegas Cekungan fisiologis: tampak lebih cekung Gambaran pembuluh darah tampak mengecil dan jumlahnya berkurang. Biasanya ditemukan pada, axial miopia

Atrofi papil primer

Atrofi papil sekunder

Tes Warna (color vision testing) Tes ini untuk mengetahui adanya buta warna. Cara periksa: penderita disuruh melihat dan mengenali warna-warna yang ditunjukkan dalam kartu tes. Stilling dan Ishihara. Gangguan pengenalan warna ini sering ditemukan pada kasus neuritis optik, lesi N.II atau lesi khiasma optikum.

N.III, N.IV, N.VI = N. Occulomotorius, N. Trochlearis, N. Abducen.

Ketiga saraf ini dinamakan Nn. Occulares karena bersama-sama mengurus gerakan kedua bola mata. Itulah sebabnya di dalam klinik diperiksa secara bersama-sama. Semua otot bola mata eksterna termasuk Mm. Levator palpebrae dan Mm. Konstriktor pupilae (parasimpatis)

16

dipersarafi oleh N.III, kecuali M. Obliquus superior (untuk gerakan bola mata ke medial bawah) oleh N.IV dan M. Rectus lateralis (untuk aerakan bola mata ke lateral) oleh N.VI.
M. Oblique inf (N III)

M. Rectus superior (N III)

M. Rectus med N III

M. Rectus lat (N VI

M. Oblique sup N IV

M. Rectus inf N III

Pemeriksaan N.III, N.IV, dan N.VI meliputi: 1. Celah mata (fissura palpebrae) Pada keadaan istirahat dan mats terbuka lebar dilihat apakah simetris atau sama dan sebangun. 2. Ptosis Keadaan dimana kelopak mata atas jatuh/menurun karena kelumpuhan M. Palpebra superiornya. Dapat diperiksa dengan menyuruh penderita membuka matanya lebar-lebar atau mengangkat kelopak mata atasnya secara volunter. 3. Keadaan bola mata Penderita disuruh melihat jauh ke depan, kemudian dilperhatikan celah mata dan keadaan bola mata dilihat dari samping. Pada exophtalmus mata lebih menonjol dan celah mata tampak melebar, sedangkan enophtalmus mata masuk ke dalam, celah mata tampak menyempit. 4. Sikap bola mata Bola mata yang lumpuh memperlihatkan sikap yang tidak wajar. Sikap bola mata yang menyimpang ke arah hidung disebut strabismus konvergens sedangkan sikap bola mata yang menyimpang ke arah temporal disebut strabismus divergens. 5. Gerakan bola mata

17

Kepala penderita difiksir lurus ke depan. Kemudian bola mata penderita diminta mengikuti gerakan objek (pensil) ke enam arah yaitu lateral, medial, lateral atas, medial atas, medial bawah, lateral bawah, atas, dan bawah dan diperhatikan bila penderita tidak mampu melihat ke arah tertentu.

Paralisis N. VI kiri

6. Gerakan bola mata konjugat Yaitu kemampuan ke dua bola mata untuk bergerak dan melihat ke satu arah secara bersamaan. Gerakan bola mata konjugat diatur oleh: sentrum kortikal (area 8 lobus frontalis) deviation conjugae cortikalis sentrum pontinal (sebelah medial nucleus N.VI) deviation conjugae pontinal. Kelainannya Disebut juga deviation conjugae yaitu gerakan kedua bola mata involunter ke satu jurusan/arah terus-menerus dan tidak dapat dikembalikan baik secara sadar maupun refleks.

Deviasi konjugat kiri

7. Nystagmus Adalah gerakan bola mata bolak-balik involunter yang timbul secara spontan.

18

Nystagmus ini mempunyai arah dan kecepatan. Arah gerakan dapat: horizontal, vertikal, rotatoir (berputar), atau kombinasi. Pemeriksaan: nystagmus dapat terlihat bila penderita diminta melirik ke samping, ke atas, dan ke bawah. Tapi kadang-kadang dapat dilihat tanpa peragaan (spontan). Kecepatan osilasi/getaran bola mata dapat sama/tidak sama cepat, dimana ada komponen cepat dan komponen tidak cepat/lambat. Pada getaran bola mata tidak sama cepat ini julukan nystagmus menurut komponen cepatnya. Secara klinik nystagmus dikenal: 1. Nystagmus fisiologis 4 dijumpai pada orang sehat, bersifat pendek hanya 1-2 detik saja. 2. Nystagmus patologis - dijumpai pada orang dengan kelainan di SSP seperti disfungsi batang otal, cerebellum, dan verstibuler. 8. Pupil Yang diperiksa adalah: Bentuk pupil Normal bentuknya bulat, batas rata, dan licin. Ukuran pupil Dapat berubah-ubah setiap saat tergantung pada penerangan ruang periksa. Umumnya dianggap normal bila diameter 2-6 mm (3,5 mm). Diameter <2 mm disebut miosis dan bila sangat kecil sekali disebut pin point pupil. Diameter >6 mm disebut midriasis. Normalnya ukuran kedua pupil kanan kiri adalah sama, yang disebut isokor. Sedangkan bila tidak sama besar disebut anisokor. Refleks pupil Refleks cahaya langsung Pemeriksaan dilakukan satu persatu dengan cara menyinari salah satu pupil mata dengan senter, usahakan mata yang lainnya tidak ikut terangsang (tutup atau penyinaran dilakukan dari samping lateral). Reaksi yang tampak adalah kontraksi pupil (miosis) homolateral. Refleks cahaya tidak langsung Disebut juga refleks konsensuil atau crossed light reflex. Cara periksa: antara kedua mata penderita diberi batas penutup dengan tangan/kertas. Kemudian salah satu

19

mata secara bergantian disinari dengan lampu senter. Reaksi yang tampak adalah kontraksi pupil (miosis) mata yang tidak disinari.

Refleks pupil akomodasi dan konvergensi Penderita diminta melihat jauh lurus ke depan, kemudian disuruh melihat dan mengikuti jari tangan pemeriksa yang diletakkan 30 cm di depan hidung penderita. Selanjutnya jari tangan penderita bergerak secara konvergens (ke arah nasal) disertai pupil akomodasi. Pupil Argyll Robertson. Dapat dijumpai pada salah satu atau kedua mata. Ciri-cirinya sebagai berikut: Refleks cahaya langsung dan konsensuil negatif, Refleks akomodasi dan konvergensi positif Pupil miosis (<2,5 mm) Dijumpai pada neurosifilis.

Gangguan pada nervus III antara lain menyebabkan : Ptosis, lumpuhnya M. levator palpebrae Pupil midriasis, dan tidak bereaksi terhadap cahaya dan konvergensi karna lumpuhnya persarafan parasimpatis. Paralisis pada otot-otot gerak bola mata yang dipersarafi.
20

Gangguan pada nervus IV : Diplopia, melihat ganda pada sisi saraf yang terkena Sulit melihat kebawah dan keluar

Gangguan pada nervus VI : Sulit melihat kearah sisi yang sakit Diplopia horizontal

Gangguan-gangguan ini dapat disebabkan oleh beberapa keadaan : Infark, aneurisma a.basilaris Trauma, fraktur os petrosum Peningkatan intra cranial Meningitis

N.V = N. Trigeminus N. Trigeminus terdiri dari: 1. Saraf motorik, yang mempersarafi otot pengunyah yaitu M. Masseter, M. Temporalis, M. Pterigoideus. 2. Saraf sensorik, yang mempersarafi wajah dalam 3 cabang yaitu N. ophtalmicus, N. Maxillaris, N.Mandibularis.

Dermatom N V

21

Pemeriksaan meliputi : motorik, sensorik dan reflek Motorik Motorik M. Masseter dan M. Temporalis diperiksa dengan menyuruh penderita MENGGIGIT kuat-kuat atau menggunakan spatel lidah dari kayu dan di gigit dengan kuat. kemudian dengan palpasi dibandingkan kekuatan/keregangan kontraksi kedua otot tersebut sisi kanan dan kiri. Adanya parese akan terasa kontraksinya tidak sama pada palpasi yaitu sisi yang satu lebih lemah daripada yang lain. Adakalanya tampak otot-otot pengunyah dalam keadaan spastis sehingga mulut penderita tidak dapat dibuka atau hanya dapat dibuka sedikit sekali. Keadaan ini disebut trismus.

M. Pterigoideus diperiksa dengan menyuruh penderita MEMBUKA MULUT pelanpelan. Kemudian diperhatikan apakah rahang bawah berdeviasi ke salah satu sisi ataukah tetap lurus. Pada lesi LMN rahang bawah akan berdeviasi ke arah lesi homolateral. Sedangkan pada lesi UMN ke arah kontralateral, tetapi umumnya jarang terlihat karena dalam beberapa hari kelemahan otot kontralateral tersebut akan dilayani oleh serabut kortikobulbaris homolateral sebagai kompensasinya.

Sensorik Ada 3 cabang sensorik untuk wajah: - N. Ophtalmicus untuk dahi - N. Maxillaris untuk pipi - N. Mandibularis untuk dagu Pemeriksaan: - Di sini kita membandingkan sensasi kulit satu sisi dengan sisi lain pada daerah muka (dahi, pipi, dagu) baik untuk sensasi nyeri (dengan jarum) maupun raba (dengan kapas). Sebaiknya penderita disuruh menutup mata dulu kemudian tusukkan jatum tajam atau goreskan dengan
22

kapas kulit muka kiri dan kanan pada daerah (dahi-pipi-dagu) yang simetris. Lalu tanyakan apakah sensasi rasa nyeri/rasa raba yang dirasakan pada sebelah kiri sama dengan sebelah kanan. Bila tidak sama penderita diminta memberitahukan mana yang lebih sakit.

Pemeriksaan sensorik N.V

Refleks Ada 3 refleks yang diperiksa, yaitu: 1. Refleks kornea Refleks kornea langsung Penderita diminta melirik ke salah satu sisi (lateral kanan kemudian lateral kiri). Misalnya ke lateral kanan dulu, maka dari sini kontralateralnya (sisi lateral kiri penderita) kornea mata kiri disentuh dengan kapas yang dipuntir halus. Di sini yang diperhatikan adalah refleks mata yang korneanya disentuh. Meskipun respon refleks yang sesungguhnya berupa kedipan kedua mata (bilateral). Kemudian hasilnya ini dibandingkan dengan hasil pemeriksaan mats sebelahnya. Refleks kornea tidak langsung (konsensuil) Cara periksa sama dengan refleks kornea langsung. Hanya saja yang diperhatikan di sini adalah respon refleks (kedipan) mats yang korneanya tidak disentuh/dirangsang. Kegunaan pemeriksaan refleks kornea konsensuil ini sama dengan refleks cahaya konsensuil, yaitu untuk melihat lintasan mana yang rusak (aferen N.V atau eferen N.VII). Pada parese N.V perifer dimana mata tidak dapat dipejamkan, maka pemeriksaan refleks kornea langsung pada sisi lesi adalah negatif, tetapi refleks kornea konsensuil pada sisi itu positif.
23

Pemeriksaan reflex kornea

2. Refleks masseter (jaw jerk reflex) Penderita diminta membuka mulutnya sedikit (jangan terlalu lebar), kemudian letakkan Jari telunjuk kiri pemeriksa di atas dagu penderita secara horizontal. Selanjutnya telunjuk tadi diketuk dengan pale refleks. Respon normal akan negatif (tidak ada penutupan mulut) atau positif lemah (adanya penutupan mulut ringan). Kegunaannya adalah untuk melihat adanya lesi UMN (serabut kortikobulbaris) dimana setelah pengetukkan terlihat penutupan mulut terjadi secara dan kuat (hiperrefleks/meningkat)

Jaw jerk reflex

3. Refleks bersin Dengan merangsang mukosa hidung penderita secara mengitik-ngitik timbullah bersin yang spontan/reflektoris.

N.VII = N. Facialis Pemeriksaan N. Facialis ini meliputi fungsi: 1. Motorik, yang mempersarafi semua otot wajah kecuali M. Levator palpebra superior 2. Sensorik khas, pengecap 2/3 anterior lidah 3. Visceromotorik, mengatur sekresi kelenjar lakrimalis, lingualis, dan submandibularis 4. Somatosensorik, merasakan nyeri pada palatum, meatus akustikus eksternus, bagian luar gendang telinga
24

Motorik 1. Otot wajah - Perhatikan lipatan nasolabialis simetris atau tidak. Pada sisi parese lipatan tersebut datar atau hampir datar. - Sudut mulut simetris atau tidak. Hasil pemeriksaan akan tampak lebih jelas pada saat penderita diajak berbicara. - Gerakan abnormal: ada tidaknya tic facialis. 2. Otot dahi - Penderita disuruh MENGERUTKAN DAHINYA, mengangkat kedua alis mata atau melihat ke Atas tanpa menggerakkan kepalanya. Kemudian perhatikan apakah kerutan dahinya simetris atau tidak.

3. M. Orbicularis oculi - Perhatikan apakah ada LAGOPHTALMUS atau tidak dengan menyuruh penderita menutup matanya pelan-pelan. Adanya lagophtalmus bila celah mata masih tetap terbuka. Didapat pada lesi N.VII tipe perifer.

- Kemudian penderita disuruh MEMEJAMKAN MATANYA kuat-kuat dan pemeriksa mencoba membuka kedua mata tersebut. Pemeriksa membandingkan kekuatan mata tersebut. Bila sama kuat kanan dan kiri berarti normal, tapi bila salah satu lebih mudah dibuka maka berarti M. Orbicularis oculi mata tersebut parese.

25

4. M. Orbicularis oris - Penderita disuruh MENUNJUKKAN GIGINYA/MERINGIS, lalu perhatikan sudut mulut Kanan dan kiri. Bila salah satu sudut mulut tertinggal pada pergerakkan tersebut berarti terdapat parese di sisi tersebut.

Sensorik khas Untuk memeriksa pengecapan 2/3 depan lidah ini dapat cligunakan rasa manis, asin, asam, dll dalam bentuk larutan sebagai objek bahan. Cara periksa: penderita diminta menjulurkan lidahnya. Lalu pada salah satu sisi lidah disentuh dengan kapas lidi yang telah dibasahi lebih dulu dengan larutan (bahan objek). Kemudian penderita diminta mengidentifikasi dengan bahasa isyarat (boleh dengan tulisantangan atau menunjuk bahan objek di depan penderita yang telah dijelaskan lebih dulu bahan-bahan apa tersebut).

26

Saat dilakukan pemeriksaan penderita tidak diperkenankan bersuara/berbicara sebab ada kemungkinan bahan larutan tersebut berpindah ke sisi lidah satu sisi lidah, dilakukan pula pemeriksaan terhadap sisi lidah sebelahnya.

Hilangnya atau berkurangnya daya pengecap disebut ageusia atau hipogeusia.

N. VIII = VESTIBULOKOKLEARIS Untuk memeriksa fingsi pendengaran dan Keseimbangan Pemeriksaan Pendengaran : Tes Bisik Tes bisik adalah melakukan pemeriksaan dengan mengucapkan suara Yng lirih seperti berbisik-bisik kepada orang yang diperiksa ( orang normal maupun orang dengan gangguan pendengaran) dengan berbagai penekanan dengan menggunakan huruf tertentu. Pemeriksa berada dibelakang pasien agar pasien tidak dapat melihat bibir pemeriksa, kemudian pemeriksa mengucapkan kata yang terdiri dari huruf-huruf dengan suara halus dan kasar, penekanan dan desisan misalnya Bakso, kemudian pasien diminta untuk mengulangi kata yang didengarnya.

Tes Weber Normalnya getaran terdengar sama kuat kanan kiri atau tidak ada laeralisasi. Tetapi bila salah satu telinga ditutup, maka getaran akan terdegar lebih kuat pada telinga yang ditutup daripada telinga yang terbuka. Bila getaran terdengar lebih keras pada telinga yang terbuka berarti ada kelainan pada telinga tersebut (penyakit telinga tengah). Pada penyakit telinga tengah (tuli konduksi) maka lateralisasi terjadi ke arah sisi yang sakit. Sebaliknya pada lesi N. Cochlearis (tuli persepsi) lateralisasi terjadi ke arah sisi yang sehat.

27

Tes Rinne Garpu tala yang telah digetarkan segera diletakkan pada tulang mastoid. Bila suara getaran tidak terdengar lagi oleh penderita segera pindahkan ke depan liang telinga luar. Normalnya getaran garpu tala tersebut masih bisa didengar. Tapi pada orang dengan tuli konduksi getaran tidak akan terdengar lagi.

Tes Schwabach Penderita diminta mendengarkan garpu tala yang digetarkan, kemiudian bandingkan dengan pemeriksa. Mula-mula dengan konduksi tulang lalu konduksi udara Caranya: untuk konduksi tulang garpu tala yang digetarkan diletakkan di processus mastoideus penderita sampai is tidak mendengar lagi segera pindahkan ke proccessus mastoideus pemeriksa. Untuk konduksi udara garpu tala yang digetarkan diletakkan di depan liang telinga luar penderita sampai os tidak

28

mendengar lagi segera pindahkan ke depan liang telinga luar pemeriksa. Bila pemeriksa masih dapat mendengar getaran garpu tala maka pendengaran penderita dikatakan berkurang.

Tes Audiometri Audiometri adalah subuah alat yang digunakan untuk mengtahui level pendengaran seseorang. Dengan bantuan sebuah alat yang disebut dengan audiometri, maka derajat ketajaman pendengaran seseorang dapat dinilai. Tes audiometri diperlukan bagi seseorang yang merasa memiliki gangguan pendengeran atau seseorang yag akan bekerja pada suatu bidang yang memerlukan ketajaman pendengaran. Tes BAER (Brain auditory evoked response) Brain Evoked Response Audiometry atau BERA merupakan alat yang bisa digunakan untuk mendeteksi dini adanya gangguan pendengaran, bahkan sejak bayi baru saja dilahirkan. Istilah lain yang sering digunakan yakni Brainstem Auditory Evoked Potential (BAEP) atau Brainstem Auditory Evoked Response Audiometry (BAER). Alat ini efektif untuk mengevaluasi saluran atau organ pendengaran mulai dari perifer sampai batang otak.

Pemeriksaan Keseimbangan Pada pemeriksaan diperhatikan: 1. Keseimbangan penderita dengan mengamati sikap tubuh waktu berdiri dan waktu berjalan/bergerak. Dijumpai pacla penderita vertigo dengan ciri-ciri: Merasa bendabenda sekitarnya berputar atau tubuhnya berputar Sikapnya kaku oleh karena kepalanya terfiksir di leher dengan sengaja agar tidak timbul serangan. Gaya berjalannya agak lambat, tegak, dan berhati-hati. Kedua lengan dalam keadaan siap siaga untuk memegang sesuatu kalau-kalau os jatuh. Kemudian dapat dilakukan pemeriksaan berikut: a. Rombergs dan sharpened Rombergs test Pada Romberg tes, pasien diminta untuk berdiri tegak dan menutup mata, kedua tangan berada di samping tubuh dan kaki dirapatkan, dan pada sharpened

29

Rombergs tes Pada pemeriksaan ini pasien berdiri dengan kaki yang satu didepan kaki yang lainnya. Tumit kaki yang satu berada didepan jari kaki yang lainnya, lengan dilipat pada dada dan mata kemudian ditutup. Orang yang normal mampu berdiri dalam sikap Romberg yang dipertajam selama 30 detik atau lebih. jika pasien menutup mata kemudian jatuh, hal ini mengindikasikan adanya kelemahan pada proprioseptif atau vestibular.

Sharpened rombergs test

b. Stepping tes Pasien disuruh berjalan ditempat, dengan mata tertutup, sebanyak 50 langkah dengan kecepatan seperti jalan biasa. Selama test ini pasien diminta untuk berusaha agar tetap ditempat dan tidak beranjak dari tempatnya selama test berlangsung. Dikatakan abnormal bila kedudukan akhir pasien beranjak lebih dari 1 meter dari tempatnya semula, atau badan terputar lebih dari 30 derajat c. Past pointing tes Pasien diminta menyentuh ujung jari pemeriksa dengan jari telunjuknya, kemudian dengan mata tertutup pasien diminta untuk mengulangi. Normalnya pasien harus dapat melakukannya.

30

Past pointing test

d. Tes jari hidung Tahan jari anda sepanjang kira-kira satu lengan dari pasien. Instruksikan pasien anda untuk menyentuh jari anda dengan menggunakan jari telunjuk kemudian menyentuh hidungnya kembali. Gerakan ini diulangi beberapa kali. Pasien mungkin saja tidak dapat menyentuh jari anda atau terjadi tremor intensi. bila terganggu dapat suatu disfungsi serebellar.

e. Pemeriksaan Jalan tandem penderita berjalan lurus dengan tumit kaki kiri/kanan diletakkan pada ujung jari kaki kanan/kiri ganti berganti. Pada kelainan vestibuler perjalanannya akan menyimpang, dan pada kelainan serebelum penderita akan cenderung jatuh.

31

2. Nystagmus, Nystagmus vestibuler ini mengarah dengan komponen cepatnya ke sisi kontralateral lesi. Pemeriksaan yang lebih teliti dengan tes kalori Barany. Tes ini dilakukan di bagian THT. a. Manuver Nylen-Barany atau Hallpike Pada tes ini pasien disuruh duduk di tempat-tidur-periksa. Kemudian ia direbahkan sampai kepalanya tergantung di pinggir dengan sudut sekitar 30 derajat di bawah horison. Selanjutnya kepala ditolehkan ke kiri. Tes kemudian diulangi dengan kepala melihat lurus dan diulangi lag! dengan kepala menoleh ke kanan. Penderita disuruh tetap membuka matanya agar pemeriksa dapat melihat sekitarnya muncul nistagmus. Perhatikan kapan nistagmus mulai muncul, berapa lama berlangsung serta jenis nistagmus. Kemudian kepada penderita ditanyakan apa yang dirasakannya. Apakah ada vertigo dan apakah vertigo yang dialaminya pada tes ini serupa dengan vertigo yang pernah dialaminya. Pada lesi perifer, vertigo lebih berat dan didapatkan masa laten selama sekitar 2-30 detik. Yang dimaksud dengan masa laten di sini ialah nistagmus tidak segera timbul begitu kepala mengambil posisi yang kita berikan; nistagmus baru muncul setelah beberapa detik berlalu, yaitu sekitar 2-30 detik. Dalam hal ini, kita katakan masa laten untuk terjadinya nistagmus ialah 2-30 detik. b. Tes kalori. Tes kalori mudah dilakukan dan mudah diduplikasi. Tes ini membutuhkan peralatan yang sederhana, dan dapat diperiksa pada kedua telinga. Kepekaan penderita terhadap rangang kalori bervariasi, karenanya lebih baik dimulai dengan

32

stimulasi yang ringan; dengan harapan bahwa stimulasi ringan telah menginduksi nistagmus dengan rasa vertigo yang ringan dan tidak disertai nausea atau muntah. Stimulasi yang lebih kuat selalu dapat diberikan bila penderita ternyata kurang sensitif. Cara melakukan tes kalori: Kepala penderita diangkat ke beiakang (menengadah) sebanyak 60 derajat (tujuannya ialah agar bejana lateral di labirin berada dalam posisi vertikal, dengan demikian dapat dipengaruhi secara maksimal oleh aliran konveksi yang diakibatkan oleh aliran endolimf). Tabung suntik berukuran 20 cc dengan jarum ukuran nomor 15 yang ujungnya dilindungi karet diisi dengan air bersuhu 30C (kira-kira 7 derajat di bawah suhu badan). Air disemprotkan ke liang telinga dengan kecepatan 1 cc per detik. Dengan demikian gendangan telinga tersiram air selama kira-kira 20 detik. Kemudian, bola mata penderita segera diamati terhadap adanya nistagmus. Arah gerak nistagmus ialah ke sisi yang berlawanan dengan sisi telinga yang diairi (karena air yang disuntikkan lebih dingin dari suhu badan). Arah gerak nistagmus dicatat, demikian juga frekuensinya (biasanya 3-5 kali per detik) dan lamanya nistagmus berlangsung dicatat. Lamanya nistagmus berlangsung berbeda pada tiap penderita, namun biasanya berlangsung antara 1/2-2 menit. Setelah beristirahat selama 5 menit, telinga ke dua dites. Hal yang penting diperhatikan ialah membandingkan lamanya nistagmus pada kedua sisi, yang pada keadaan normal hampir serupa. Pada sekitar 5% orang normal, stimulasi minimal tidak akan mencetuskan nistagmus. Pada penderita demikian, 5 ml air es diinjeksikan ke telinga, secara lambat, sehingga lamanya injeksi berlangsung ialah 20 detik. Pada keadaan normal hal ini akan mencetuskan nistagmus yang berlangsung 2 - 21/2 menit. Bila masih tidak timbul nistagmus, kemudian dapat disuntikkan 20 ml air es selama 30 detik. Bila telinga kiri didinginkan (diberi air dingin) timbul nistagmus ke kanan. Bila telinga kiri dipanaskan ( diberi air panas ) timbul nistagmus ke kiri. Nistagmus ini disebut sesuai dengan fasenya yaitu : fase cepat dan fase pelan, misalnya nistagmus ke kiri berarti fase cepat kekiri. Bila ada gangguan keseimbangan maka perubahan temperatur dingin dan panas memberikan reaksi.

33

N.IX dan N.X = N. Glossopharyncieus dan N. Vagus Pemeriksaan Penderita diminta membuka mulutnya selebar-lebarnya dengan lidah dijulurkan keluar, kemudian amati ARCUS PHARYNX apakah simetris atau tidak. Untuk dapat mengamati lebih jelas penderita diminta menyebutkan huruf A. Bila asimetris berarti ada parese dan arcus pharynx tampak lebih rendah. Setelah itu perhatikan apakah UVULA penderita terletak di tengah-tengah (normal). Penderita diajak bicara dan dengarkan adanya: SUARA SENGAU (lesi N.IX) dan SUARA PARAU/DISFONI atau AFONI (lesi N.X), Dilihat ada tidaknya GANGGUAN MENELAN. Penderita disuruh menelan air lalu dilihat apakah air tersebut keluar lagi melalui hidungnya atau tidak. Pada kelainan bulbar paralisis penderita tidak dapat minum sama sekali.

Pemeriksaan DENYUT JANTUNG. Dengan cara menghitung frekuensi denyut jantung secara auskultasi atau nadi secara palpasi. Pada lesi iritatif N.X terjadi bradikardi, sedangkan pada lesi paralitik terjadi takikardi.

Pemeriksaan refleks: Refleks batuk, Dapat dibangkitkan dengan cara merangsang liang telinga diklitik-klitik Refleks muntah, Dapat dibangkitkan dengan menyentuhkan spatel lidah pada dinding belakang pharynx. Refleks oculo cardiac, Hitung lebih dulu denyut jantung/nadi selama 1 menit penuh. Kemudian penderita disuruh menutup matanya lalu kedua bola matanya ditekan. Setelah itu hitung lagi denyut jantung dan nadinya. Normal terjadi bradikardi.
34

Refleks sinus carotis, Caranya sama dengan refleks oculo cardiac, hanya saja di sini yang ditekan adalah sinus caroticus di daerah leher setinggi cervical VI bagian medial M. Sternocleidomastoideus. Normal terjadi bradikardi.

Pemeriksaan sensorik Pemeriksaan daya pengecap 1/3 posterior lidah secara praktis sukar/tidak dapat diperiksa.

N.XI = N. Accesorius

Hanya mempunyai komponen motorik yang mempersarafi a. M. Trapezius b. M. Sternocleidomastoideus Pemeriksaan: M. Trapezius

Penderita disuruh mengangkat kedua bahunya serentak kanan kiri dengan sekuat-kuatnya. Kedua tangan pemeriksa menekan bahu tersebut. Bandingkan kekuatannya kanan dan kiri.

M. Sternocleidomastoideus

Tangan pemeriksa diletakkan pada pipi rahang penderita (tangan kanan pemeriksa untuk pipi kiri penderita dan sebaliknya). Kemudian penderita disuruh menoleh/menggerakkan

35

kepalanya ke arah tangan pemeriksa, sedangkan pemeriksa berusaha menahannya. Bandingkan kanan dan kiri.

N.XII = N. Hypoglossus

Bersifat motorik yang mempersarafi otot-otot penggerak lidah Cara pemeriksaan: Penderita diminta membuka mulut dan menjulurkan lidahnya lurus ke depan. Perhatikan: Deviasi lidah (lidah membelok ke arah mana) Fasikulasi (gerakan kecil-kecil pada otot lidah secara terusmenerus) Papil lidah: ada atrofi atau tidak (pada atrofi lidah tampak licin) Selanjutnya penderita diajak bicara atau disuruh mengucapkan kata-kata yang banyak mengandung huruf R dan L. Misalnya: ular loreng-loreng lari di lorong-lorong. Tujuannya adalah untuk mengetahui disartria atau tidak.

36

PEMERIKSAAN MOTORIK Pemeriksaan sistim motorik sebaiknya dilakukan dengan urutan urutan tertentu untuk menjamin kelengkapan dan ketelitian pemeriksaan. Pengamatan: Gaya berjalan dan tingkah laku Simetri tubuh dan ektremitas Kelumpuhan badan dan anggota gerak, dll

Gerakan volunteer Yang diperiksa adalah gerakan pasien atas permintaan pemeriksa, misalnya: Mengangkat kedua tangan pada sendi bahu Fleksi dan ekstensi artikulus kubiti Mengepal dan membuka jari-jari tangan Mengangkat kedua tungkai pada sendi panggul Fleksi dan ekstensi artikulus genu Plantar fleksi dan dorso fleksi kaki Gerakan jari- jari kaki

Palpasi otot Pengukuran besar otot Nyeri tekan Kontraktur Konsistensi Konsistensi otot yang meningkat terdapat pada: - Spasmus otot akibat iritasi radix saraf spinalis, misal: meningitis, HNP - Kelumpuhan jenis UMN (spastisitas) - Gangguan UMN ekstrapiramidal (rigiditas) - Kontraktur otot

37

Konsistensi otot yang menurun terdapat pada: - Kelumpuhan jenis LMN akibat denervasi otot - Kelumpuhan jenis LMN akibat lesi di motor end plate

Perkusi otot Normal : otot yang diperkusi akan berkontraksi yang bersifat setempat dan berlangsung hanya 1 atau 2 detik saja Miodema : penimbunan sejenak tempat yang telah diperkusi (biasanya terdapat pada pasien mixedema, pasien dengan gizi buruk) Miotonik : tempat yang diperkusi menjadi cekung untuk beberapa detik oleh karena kontraksi otot yang bersangkutan lebih lama dari pada biasa. Tonus otot Pasien diminta melemaskan ekstremitas yang hendak diperiksa kemudian ekstremitas tersebut kita gerak-gerakkan fleksi dan ekstensi pada sendi siku dan lutut. Pada orang normal terdapat tahanan yang wajar Flaksid : tidak ada tahanan sama sekali (dijumpai pada kelumpuhan LMN) Hipotoni : tahanan berkurang Spastik : tahanan meningkat dan terdapat pada awal gerakan, ini dijumpai pada kelumpuhan UMN Rigid : tahanan kuat terus menerus selama gerakan misalnya pada Parkinson.

Kekuatan otot Pemeriksaan ini menilai kekuatan otot, untuk memeriksa kekuatan otot ada dua cara: o Pasien disuruh menggerakkan bagian ekstremitas atau badannya dan pemeriksa menahan gerakan ini o Pemeriksa menggerakkan bagian ekstremitas atau badan pasien dan ia disuruh menahan

38

Cara menilai kekuatan otot: o 0 : Tidak didapatkan sedikitpun kontraksi otot, lumpuh total o 1 : Terdapat sedikit kontraksi otot, namun tidak didapatkan gerakan pada persendiaan yang harus digerakkan oleh otot tersebut o 2 : Didapatkan gerakan,tetapi gerakan ini tidak mampu melawan gaya berat (gravitasi) o 3 : Dapat mengadakan gerakan melawan gaya berat o 4 : Disamping dapat melawan gaya berat ia dapat pula mengatasi sedikit tahanan yang diberikan o 5 : Tidak ada kelumpuhan (normal)

Sindrom Upper Motor Neuron, gejala : o Spastik o Hipertonia o Atrofi (-), fasikulasi (-) o Klonus/kontraksi & relaksasi otot bergantian dengan cepat (+) o Refleks patologis (+) o Hiperreflexia o Tak ada gangguan sensoris, tropik, autonom

Sindrom Lower Motor Neuron (LMN), gejala : o Flaksid o Atoni o Atrofi disertai fasikulasi o Klonus (-) o Reflek patologis (-) o Reflek fisiologis: hiporefleksia/arefleksi (tidak adanya reflex) o Ada gangguan sensoris, tropik, autonom

39

Kelumpuhan bukanlah merupakan kelainan yang harus ada pada tiap gangguan gerak. Pada gangguan gerak oleh kelainan di sistem ekstrapiramidal dan serebelar, kita tidak mendapatkan kelumpuhan. Gangguan yang ditimbulkan sistem ekstrapiramidal o Gangguan pada tonus otot o Gerakan otot abnormal yang tdk dpt dikendalikan o Gangguan pada kelancaran gerakan otot volunter o Gangguan gerak-otot asosiatif

Gangguan yang ditimbulkan serebelum : o Gangguan sikap dan tonus o Ataksia/gangguan koordinasi gerakan o Dismetria/gerakan yang tidak mampu dihentikan tepat pada waktunya/tepat pada tempat yang dituju o Tremor intensi. tremor yang timbul waktu melakukan gerakan volunter dan menjadi lebih nyata ketika gerakan hampir mencapai tujuannya o Tiga fungsi penting dari serebelum adalah keseimbangan pengatur tonus otot dan pengelola serta pengkoordinasi gerakan volunteer

Gait Hemiplegik gait (gaya jalan dengan kaki yang lumpuh digerakkan secara sirkumduksi) Spastik/ Scissors gait (gaya jalan dengan sirkumduksi kedua tungkai) Tabetic gait (gaya jalan pada pasien tabes dorsalis) Steppage gait (gaya jalan seperti ayam jago, pada paraparese flaccid/paralisis n. peroneus) Waddling gait (gaya berjalan dengan pantat & pinggang bergoyang berlebihan khas untuk kelemahan otot tungkai proximal misal otot gluteus) Parkinsonian gait (gaya berjalan dengan sikap tubuh agak membungkuk, kedua tungkai berfleksi sedikit pada sendi lutut & panggul. Langkah dilakukan setengah diseret dengan jangkauan yang pendek-pendek)
40

Refleks Refleks fisiologis 1. Biseps Stimulus : ketokan pada jari pemeriksa yang ditempatkan pada tendon m. biseps brachii, posisi lengan setengah ditekuk pada sendi siku Respons Afferent Efferenst 2. Triseps Stimulus : ketukan pada tendon otot triseps brachii, posisi lengan fleksi pada sendi siku dan sedikit pronasi. Respons Afferent Efferenst : extensi lengan bawah disendi siku : n. radialis (C 6-7-8) : n. radialis (C 6-7-8) : fleksi lengan pada sendi siku. : n. musculucutaneus (C5-6) : n. musculucutaneus (C5-6)

3.

KPR Stimulus Respons Efferent : ketukan pada tendon patella : ekstensi tungkai bawah karena kontraksi m. quadriceps emoris. : n. femoralis (L 2-3-4)
41

Afferent

: n. femoralis (L 2-3-4)

4.

APR Stimulus Respons Efferent Afferent : ketukan pada tendon Achilles : plantar fleksi kaki karena kontraksi m. gastrocnemius : n. tibialis ( L. 5-S, 1-2 ) : n. tibialis ( L. 5-S, 1-2 )

5.

Periosto-radialis Stimulus : ketukan pada periosteum ujung distal os radii, posisi lengan setengah fleksi dan sedikit pronasi Respons : fleksi lengan bawah di sendi siku dan supinasi karena kontraksi m. Brachioradialis Afferent : n. radialis (C 5-6)

Efferenst : n. radialis (C 5-6) 6. Periosto-ulnaris Stimulus : ketukan pada periosteum proc. styloigeus ulnea, posisi lengan setengah fleksi & antara pronasi supinasi. Respons Afferent Efferent : pronasi tangan akibat kontraksi m. pronator quadrates : n. ulnaris (C8-T1) : n. ulnaris (C8-T1)

Refleks Patologis Banyak macam rangsang yang dapat digunakan untuk membangkitkannya, misalnya menggores telapak kaki bagian lateral, menusuk atau menggores dorsum kaki atau sisi lateralnya, memberi rangsang panas atau rangsang listrik pada kaki, menekan pada daerah interossei kaki, mencubit tendon Achilles, menekan tibia, fibula, otot betis, menggerakkan patela ke arah distal, malah pada keadaan yang
42

hebat, refleks dapat dibangkitkan dengan jalan menggoyangkan kaki, menggerakkan kepala dan juga bila menguap. Refleks Babinski. Untuk membangkitkan refleks Babinski, penderita disuruh berbaring dan istirahat dengan tungkai diluruskan.Kita pegang pergelangan kaki supaya kaki tetap pada tempatnya.Untuk merangsang dapat digunakan kayu geretan atau benda yang agak runcing. Goresan harus dilakukan perlahan, jangan sampai mengakibatkan rasa nyeri, sebab hal ini akan menimbulkan refleks menarik kaki (flight reflex). Goresan dilakukan pada telapak kaki bagian lateral, mulai dari tumit menuju pangkal jari. Jika reaksi positif, kita dapatkan gerakan dorso fleksi ibu jari, yang dapat disertai gerak mekarnya jari-jari lainnya . Tadi telah dikemukakan bahwa cara membangkitkan refleks patologis ini bermacammacam, di antaranya dapat disebut: Cara Chaddock : rangsang diberikan dengan jalan menggoreskan bagian lateral maleolus Cara Gordon Cara Oppenheim : memencet (mencubit) otot betis : mengurut dengan kuat tibia dan otot tibialis anterior, Arah mengurut ke bawah (distal). Cara Gonda : memencet (menekan) satu jari kaki dan kemudian melepaskannya sekonyong-konyong Schaefer : memencet (mencubit) tendon Achilles

Klonus Kita telah mempelajari bahwa salah satu gejala kerusakan pyramidal ialah adanya hiperfleksi.Bila hiperfleksi ini hebat dapat terjadi klonus.Klonus ialah kontraksi ritmik dari otot, yang timbul bils otot diregangkan secara pasif. Klonus merupakan reflex regang otot yang meninggi dan dapat dijumpai pada lesi supranuklir (UMN, pyramidal ). Ada orang normal yang mempunyai hiperfleksi fisiologis; pada mereka ini dapat terjadi klonus, tetapi klonusnya berlangsung singkat dan disebut klonus abortif. Bila klonus berlangsung lama ,hal ini dianggap patologis. Klonus dapat dianggap sebagai rentetan reflex regang otot, yang dapat disebabkan oleh lesi pyramidal.
43

Pada lesi

piramidal

(UMN (uppermotorneuron) supranuklir)

kita sering

mendapatkan klonus di pergelangan kaki, lutut dan pergelangan tangan.

Klonus kaki. Klonus ini dibangkitkan dengan jalan meregangkan otot gastroknemius. Pemeriksa menempatkan tangannya di telapak kaki penderita, kemudian telapak kaki ini didorong dengan cepat (dikejutkan) sehingga terjadi dorso fleksi sambil seterusnya diberikan tahanan enteng.Hal mengakibatkan teregangnya otot betis.Bila ada klonus, maka terlihat gerakan ritmik (bolak-balik) dari kaki, yaitu berupa plantar fleksi dan dorso ieksi secara bergantian. Klonus patela. Klonus ini dibangkitkan dengan jaian meregangkan otot kuadriseps femoris.Kita pegang patela penderita, kemudian didorong dengan kejutan (dengan cepat) ke arah distal sambil diberikan tahanan enteng. Biia terdapat klonus, akan terlihat kontraksi ritmik otot kuadriseps yang mengakibatkan gerakan bolak-balik dari patela. Pada pemeriksaan ini tungkai harus diekstensikan serta dilemaskan. Refleks dan gejala patoiogis lain yang perlu diketahui. Refleks Hoffman Tromrner. Kita telah mendiskusikan refleks fleksor jari-jari.Pada orang normal, refleks ini biasanya tidak ada atau enteng saja; karena ambang refleks tinggi.Akan tetapi, pada keadaan patologik, ambang refieks menjadi rendah dan kita dapatkan refleks yang kuat. Refleks inilah yang merupakan dasar dari refleks Hoffman-Trommer, dan refleks lainnya, misalnya refleks Bechterew. Dalam beberapa buku, refleks Hoffman-Trommer ini masih dianggap sebagai refleks patoiogis dan disenafaskan dengan refleks Babinski, padahal mekanisme refleks fleksor jari-jari sama sekali lain dari reflex Babinski. ia merupakan refleks regang otot, jadi sama seperti reflex kuadriseps dan reflex regang otot lainnya. Reflex Hoffman-trommer positif dapat disebabkan
44

oleh lesi pyramidal, tetapi dapat pula disebabkan oleh peningkatan reflex yang melulu fungsional. Akan tetapi bila reflex pada sisi kanan berbeda dari yang kiri, maka hal ini dapat dianggap sebagai keadaan patologis. Simetri penting dalam penyakit saraf. Kita mengetahui bahwa simetri sempurna memang tidak ada pada tubuh manusia. Akan tetapi, banyak pemeriksaan neurologi didasarkan atas anggapan, bahwa secara kasar kedua bagian tubuh adalah sama atau simetris. Tiap refleks tendon dapat meninggi secara bilateral, namun hal ini belum tentu berarti adanya lesi piramidal. Lain halnya kalau peninggian refleks bersifat asimetris !!! Cara membangkitkan refleks Hoffman-trommer: Tangan penderita kita pegang pada

pergelangan dan jari-jarinya disuruh fleksi-entengkan. Kemudian jari tengah penderita kita jepit di antara telunjuk dan jari-tengah kita.Dengan ibu-jari kita "gores-kuat" (snap) ujung jari tengah penderita.Hal ; ini mengakibatkan fleksi jari telunjuk, serta fleksi dan aduksi ibu jari,

bila refleks positif. Kadang juga disertai fleksi jari lainnya,Reflex massa, reflex automatisme spinal. Kita telah mengetahui bahwa bila reflex Babinski cukup hebat, kita dapatkan dorso fleksi jari-jari, fleksi terdapat juga kontraksi tungkai bawah dan atas, dan kadang-kadang terdapat juga kontraksi tungkai yang satu lagi. Daerah pemberian rangsang pun bertambah luas.Hal dernikian dapat kita jurnpai pada iesi transversal medula spinalis, dan disebut refleks automatisme spinal Hal mi dapat ditimbulkan oleh berbagai macam rangsang, misalnya goresan rangsang nyeri dan lain sebagainya. Bila refleks lebih hebat lagi, didapatkan juga kontraksi otot dinding perut, adanya miksi dan defekasi, keluarnya keringat, refleks eriterna dan refleks pilomotor.Keadaan dernikian disebut juga sebagai refleks massa dan Riddoch Hal dernikian didapatkan pada Iesi transversal yang komplit dan medula spinalis, setelah fase syoknya lampau. Refleks genggam {grasp reflex).Refleks genggam merupakan hal normal pada bayi sampai usia kira-kira 4 bulan. Pada orang normal, bila telapak tangan digores kita tidak mendapatkan gerakan fleksi jari-jari, tetapi kadang-kadang terjadi fleksi enteng (ambang refleks ini tinggi).

45

Dalam keadaan patologis, misainya pada Iesi di lobus frontalis didapatkan reaksi (fleksi jari) yang nyata.Penggoresan telapak tangan mengakibatkan tangan digenggamkan, dan menggenggam alat yang d.gunakan sebagai penggores. Hal ini dinamai refleks genggam Refleks genggam terdiri dari fleksi ibu jari dan jari lainnya, sebagai jawaban terhadap rangsang taktil, misalnya bila pemeriksa meraba telapak tangan pasien atau menyentuh atau menggores tangan pasien di antara ibu jari dan telunjuknya. Kadang-kadang refleks ini dernikian hebatnya, sehingga bila kita menjauhkan tangan kita yang tadinya didekatkan, tangan pasien mengikutinya, "seolah-olah kena tenaga maknit".Hal ini dinamakan refleks menjangkau (groping reflex). Untuk membangkitkan refleks genggam dapat dilakukan hal berikut: Penderita disuruh mem-fleksi-entengkan jari-jari tangannya. Kemudian kita sentuh kulit yang berada di antara telunjuk dan ibu jari dengan ujung ketok-refieks. Bila refleks menggenggam positif ujung ketokrefleki ini akan digenggamnya. Gejala leri Pemeriksaan dilakukan sebagai berikut : Kita pegang lengan bawah pasien yang disupinasikan serta difleksikan sedikit. Kemudian kita tekukan dengan kuat (fleksi) jari-jari serta pergelangannya. Pada orang normal, gerakan ini akan diikuti oleh fleksi lengan bawah dan lengan atas, dan kadang-kadang juga disertai aduksi lengan atas. Reflex ini akan negative bila terdapat lesi pyramidal. Tidak adanya reflex ini dinyatakan sebagai gejala leri positif. Gejala mayer Pasien disuruh mensupinasikan tangannya, telapak tangan ke atas , dan jari-jari difleksi kan serta ibu jari difleksikan dan diabduksikan. Tangannya kita pegang , kemudian dengan tangan yang satu lagi kitatekukkan jari 3 dan 4 pada falang proksimal dan menekannya pada telapak tangan (fleksi). Pada orang normal, hal ini mengakibatkan aduksi dan oposisi ibu jari disertai fleksi pada persendian metakarpofalangeal, dan ekstensi di persendian interfalang ibu

46

jari. Jawaban demikian tidak didapatkan pada lesi piramidal, dan tidak adanya jawaban ini disebut sebagai gejala Mayer positif

PEMERIKSAAN SENSORIK Pemeriksaan sensorik adalah pemeriksaan yang paling sulit di antara pemeriksaan neurologik yang lain karena sangat subjektif. Sehubungan dengan pemeriksan fungsi sensorik maka beberapa hal berikut ini harus dipahami dulu: Kesadaran penderita harus penuh dan tajam. Penderita tidak boleh dalam keadaan lelah, kelelahan akan mengakibatkan gangguan perhatian serta memperlambat waktu reaksi Prosedur pemeriksan harus benar-benar dimengerti oleh penderita, karena pemeriksaan fungsi sensorik benar-benar memerlukan kerja sama yang sebaik-baiknya antara pemeriksa dan penderita. Dengan demikian cara dan tujuan pemeriksaan harus dijelaskan kepada penderita dengan istilah yang mudah dimengerti olehnya Kadang-kadang terlihat adanya manifestasi obyektif ketika dilakukan pemeriksaan anggota gerak atau bagian tubuh yang dirangsang, misalnya penderita menyeringai, mata berkedipkedip serta perubahan sikap tubuh Yang dinilai bukan hanya ada atau tidak adanya sensasi tetapi juga meliputi perbedaanperbedaan sensasi yang ringan, dengan demikian harus dicatat gradasi atau tingkat perbedaannya Ketajaman persepsi dan interpretasi rangsangan berbeda pada setiap individu, pada tiap bagian tubuh, pada individu yang sama tetapi dalam situasi yang berlainan. Dengan demikian dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan ulangan pada hari berikutnya. Azas simetris: pemeriksaan bagian kiri harus selalu dibandingkan dengan bagian kanan. Hal ini untuk menjamin kecermatan pemeriksaan. Pemeriksaan ini harus dikerjakan dengan sabar (jangan tergesa-gesa), menggunakan alat yang sesuai dengan kebutuhan/ tujuan, tanpa menyakiti penderita, dan penderita tidak boleh dalam keadaan tegang.

1. Prinsip umum
47

Mencari defisit sensibilitas (daerah-daerah dengan sensibilitas yang abnormal, bisa hipestesi, hiperestesi, hipalgesia atau hiperalgesia) Mencari gejala-gejala lain di tempat gangguan sensibilitas tersebut, misalnya atrofi, kelemahan otot, refleks menurun/negative, menurut distribusi dermatom. Keluhan-keluhan sensorik memiliki kualitas yang sama, baik mengenai thalamus, spinal, radix spinalis atau saraf perifer. Jadi untuk membedakannya harus dengan distribusi gejala/keluhan dan penemuan lain Lesi saraf perifer sering disertai berkurang atau hilangnya keringat, kulit kering,

perubahan pada kuku dan hilangnya sebagian jaringan di bawah kulit Penilaian fungsi sensorik dimulai dari anamnesis karena gejala disfungsi sensorik kadang-kadang mendahului kelainan objektif pada pemeriksaan klinis.Selain itu, gejala pasien dapat mengarahkan Anda ke bagian tubuh tertentu, atau jenis fungsi sensorik yang memerlukan perhatian lebih. Daerah dan modalitas yang akan diuji bergantung pada jenis gangguan sensorik yang disimpulkan dari gejala dan riwayat pasien. Namun, harus dipikirkan apakah pola penyakit sesuai dengan suatu distribusi dermatomal atau neuropati perifer, Modalitas sensasi adalah sentuhan ringan, nyeri, suhu, jetaran, dan propriosepsi.Pertama, periksa apakah pasien dapat merasakanrangsangan dan memahami prosedur pemeriksaan dengan memeriksa bagian yang Anda ketahui sensasinya normal. Kemudian, ikuti pola dermatomal , Bila distrtbusi gangguan sensorik menyerupai sarung tangan atau kaus kaki, mulailah pemeriksaan dari ujung jari tangan atau kaki, dan terus naik sampaididapatkan batas sensorik. Sentuhan ringan; diperiksa dengan ujung kapas yang ditempelkan ke satu titik dengan mata pasien tertutup. Jangan menggoreskan kapas ke kulit karena sensasi ini dapat dihantarkan oleh serabut nyeri. Nyeri: sebaiknya diuji dengan lidi yang patah atau neuro-tip yang dirancang khusus (berujung tajam). Pemakaian jarum suntik sebaiknya dihindari karena mudah menembus kutit dan dapat menimbulkan infeksi. Sensasi getaran: biasanya berkurang atau hilang pada usia lanjut; namun, uji Ini bemianfaat pada pasien yang dicurigai mengidap neuropati sensorik perifer. Uji sensasi
48

getaran terbaik adalah menggunakan garpu tala C128 Hz di ekstrcmitas atas, ekstremitas bawah, dan badan. Propriosepsi: sensasi posisi sendi harus diperiksa dengan mata pasien tertutup, Sistem pemeriksaan sensasi posisi sendi di jari tangan dan kaki diperlihatkan di gambar 1.13 dan1.14. Jari harus dipisahkan dari jari di sekitarnya dan sendi yang diperiksa digerakkan ke atas dan ke bawah, Tanyakan arah gerakan jari kepada pasien. Suhu: jarang diperiksa rutin. Bila diindikasikan, cara termudah adalah mengisi botol sampel darah atau tabung logam dengan air es atau air hangat. Ikuti skema pemeriksaan persarafan dermatomal dan neuropati perifer. Berat, bentuk, ukuran, dan tekstur: koin sangat penting untuk uji ini. Sebuah koin diletakkan di telapak tangan pasien dengan mata tertutup, dan pasien diminta untuk menjelaskannya. Berat berbagai koin dapat diban-dingkan dengan meletakkan koin yang berbeda bersamaan di kedua tangan.

PEMERIKSAAN FUNGSI LUHUR Dengan fungsi luhur memungkinkan seseorang untuk memberikan respon atau tanggapan atas segala rangsang/stimulus baik dari luar maupun clan dalam tubuhnya sendiri sehingga dia mampu mengadakan hubungan intra maupun interpersonal. Termasuk di dalam fungsi luhur adalah: 1. 2. 3. Fungsi bahasa Fungsi memori (ingatan) Fungsi orientasi (pengenalan)

Pemeriksaan fungsi bahasa Gangguan fungsi bahasa disebut afasia atau disfasia yaitu kelainan berbahasa akibat kerusakan di otak, tetapi bukan kerusakan/gangguan persarafan perifer otot-otot bicara, artikulasi maupun gangguan penurunan inteligensia. Ada 2 jenis afasia: 1. Afasia motorik
49

Adalah gangguan bahasa dimana penderita tidak mampu mengeluarkan isi pikirannya. - Afasia motorik kortikalis : Penderita tidak dapat mengeluarkan isi pikirannya baik secara verbal, tulisan, maupun isyarat. Letak lesi di cortex cerebri dominan. - Afasia motorik subkortikalis (afasia motorik murni) : Penderita tidak dapat mengeluarkan isi pikirannya secara verbal namun masih dapat dengan tulisan maupun isyarat. Letak lesi di subcortex hemispher dominan. - Afasia motorik transkortikalis : Penderita tidak dapat mengeluarkan isi pikirannya tetapi masih dapat membeo. Letak lesi ditranskortikalis kartek Broca dan Wernicke. Cara pemeriksaan: Mengajak penderita berbicara mulai dari hal yang sederhana sampai hal-hal yang sukar yang pernah diketahui penderita sebelumnya. Bila tidak bisa disuruh menuliskan jawaban atau dengan isyarat. Syarat pemeriksaan: Penderita dalam keadaan sadar penuh dan bahasa yang dipakai saling dimengerti. 2. Afasia sensorik Adalah gangguan bahasa dimana penderita tidak dapat mengerti isi pikiran orang lain walaupun alat bicara dan pendengarannya baik. - Afasia sensorik kortikalis Penderita tidak dapat mengerti isi pikiran orang lain yang disampaikan balk secara verbal, tulisan, maupun isyarat. Letak lesi di area cortex Wernicke (sensorik). - Afasia sensorik subkortikalis Penderita tidak dapat mengerti isi pikiran orang lain yang disampaikan secara verbal, sedangkan tulisan dan isyarat dapat dimengerti. Letak lesi di subcortex Wernicke. - "Buta kata-kata" (word Blindness) Penderita masih mengerti bahasa verbal namun tidak lagi bahasa visual. Hal ini jarang terjadi. Cara pemeriksaan: Penderita diberi perintah untuk melakukan sesuatu tanpa contoh. Bila tidak bisa baru diberikan secara tulisan atau isyarat. Syarat pemeriksaan sama dengan afasia motorik.

50

Gangguan bahasa lainnya 1. Apraksia Penderita tidak bisa melaksanakan fungsi psikomotor. Cara: beri perintah untuk melakukan gerakan yang bertujuan misalnya membuka kancing baju,dll. 2. Agrafia Penderita tidak bisa menulis lagi (tadinya bisa). Cara: beri perintah untuk menuliskan kata-kata yang didiktekan. 3. Alexia Penderita tidak bisa lagi mengenali tulisan yang pernah dikenalnya. Cara: beri perintah untuk membaca tulisan atau kata-kata yang pernah dikenalnya. 4. Astereognosia Penderita tidak bisa mengenali bentuk benda dengan cara meraba. Cara: dengan mata tertutup penderita disuruh menyebutkan benda dengan cara merabanya. 5. Abarognosia Penderita tidak mampu menaksir berat benda yang berada di tangannya (perabaan). Cara: penderita disuruh menaksir berat benda yang berada di tangannya. 6. Agramesthesia Penderita tidak bisa rnengenal tulisan yang dituliskan di badannya. Cara: penderita disuruh menyebutkan kata-kata yang dituliskan di badannya dengan mata tertutup. 7. Asomatognosia Penderita tidak mampu menunjukkan bagian-bagian tubuhnya kiri atau kanan.

Pemeriksaan fungsi memori Secara klinis gangguan memori (daya mengingat) ada 3 yaitu: 1. 2. 3. Immediate memory (segera) Short term memory/recent memory (jangka pendek) Long term memory/remote memory (jangka panjang)

Cara pemeriksaan : 1. Immediate memory


51

Yaitu daya mengingat kembali suatu stimulus yang diterima beberapa detik lalu seperti mengingat nomor telepon yang baru saja diberikan. Cara: penderita disuruh mengulang deret nomor yang kita ucapkan. Seperti di bawah ini: (disebut digit span) 3-7 2-4-9 8-5-2-7 2-8-6-9-3 5-7-1-9-4-6 8-1-5-9-3-6-7 dikatakan masih normal jika seseorang dapat mengulang sebanyak 7 digit. 2. Recent memory Yaitu daya mengingat kembali stimulus yang diterima beberapa menit, jam, hari yang lalu. Cara: penderita disuruh menceritakan pekerjaan/peristiwa yang dikerjakan/dialami beberapa menit/jam/hari yang lalu. 3. Remote memory Yaitu daya mengingat kembali stimulus atau peristiwa yang telah lama berlalu (bertahuntahun). Cara: penderita disuruh menceritakan pengalaman atau teman-teman masa kecilnya. (Tentunya pemeriksa telah mendapat informasi sebelumnya).

Ketiga pemeriksaan di atas adalah untuk audio memory (yang didengar) sedangkan memori yang dilihat (visual memory) dapat diperiksa sebagai berikut. Cara: penderita disuruh mengingat nama-nama benda yang diperlihatkan kepadanya kemudian benda - benda tersebut disimpan. Beberapa waktu kemudian penderita disuruh mengulang nama-nama benda tersebut.

Pemeriksaan fungsi orientasi Secara klinis pemeriksaan orientasi ada 3 yaitu: Personal, tempat, waktu

52

Cara: penderita disuruh mengenali orang-orang yang berada di sekitarnya yang memang dikenalnya (seperti istrinya, anak, teman, dll), Penderita juga disuruh mengenali tempat dimana ia berada atau tempat-tempat lainnya. Penderita juga disuruh menyebutkan waktu/saat penderita diperiksa seperti siang/malam/sore. Catatan: Kesemua pemeriksaan fungsi luhur ini baru dapat diperiksa pada penderita yang mempunyai kesadaran penuh atau baik dan tidak mengalami gangguan mental, kemunduran inteligen maupun kerusakan organ-organ atau persarafan perifer yang terkait. Harus diingat bahwa pemeriksaan fungsi luhur adalah pemeriksan fungsi-fungsi cortex cerebri yang terkait. o

Pemeriksaan status mental mini (MMSE) MMSE merupakan bagian penting dari setiap pemeriksaan neurologis. Pemeriksaan ini meliputi evaluasi kualitas dan kuantitas kesadaran, perilaku, emosi, isi pikir, kemampuan intelektual dan sensorik. Bagian paling sensitif dan penting adalah orientasi waktu, daya ingat, dan urutan angka. MMSE diperkenalkan sebagai pemeriksaan standar fungsi kognitif dalam segi klinis maupun penelitian. Penilaian MMSE sangat mudah, nilai maksimum adalah 30. Nilai kurang dari 24 ditafsirkan sebagai demensia. Tabel Pemeriksaan status mini mental (MMSE)

No. Tes

Nilai maks

ORIENTASI

Sekarang (tahun), (musim),(bulan), (tanggal), hari apa?

Kita berada dimana? (Negara, propinsi, kota, rumah sakit, lantai/kamar)

REGISTRASI

53

Sebutkan 3 buah nama benda (apel, meja, atau koin), setiap benda 1 detik, pasien disuruh mengulangi ketiga nama benda tadi. Nilai 1 untuk setiap nama benda yang benar. Ulangi sampai pasien dapat menyebutkan dengan benar dan catat jumlah pengulangan

ATENSI DAN KALKULASI

Kurangi 100 dengan 7. Nilai 1 untuk tiap jawaban yang benar. Hentikan setelah 5 jawaban. Atau disuruh mengeja terbalik kata WAHYU (nilai diberi pada huruf yang benar sebelum kesalahan; misalnya uyahw = 2 nilai)

MENGINGAT KEMBALI (RECALL)

Pasien disuruh menyebut kembali 3 nama benda di atas

BAHASA

Pasien disuruh menyebutkan nama benda yang ditunjukkan (pensil, buku)

Pasien disuruh mengulang kata-kata namun, tanpa, bila

Pasien disuruh melakukan perintah: ambil kertas ini dengan tangan anda,lipatlah menjadi dua dan letakkan di lantai

Pasien disuruh membaca dan melakukan perintah pejamkanlah mata anda

54

10

Pasien disuruh menulis dengan spontan

11

Pasien disuruh menggambar bentuk dibawah ini

TOTAL

30

Skor

Nilai 24-30 Nilai 17-23 Nilai 0-16

= normal = gangguan kognitif probable = gangguan kognitif definit

Tabel skor median pada MMSE berdasarkan usia dan tingkat pendidikan

55

PEMERIKSAAN FUNGSI VEGETATIF Yang terpenting adalah pemeriksaan miksi, yaitu dengan cara: anamnesis dan pemeriksaan. Anamnesis : Apakah miksi spontan, disadari, bisa ditahan atau tidak, keluar terus-menerus atau sekali keluar sekali berhenti atau tidak dapat keluar sama sekali. Pemeriksaan: Tekan vesica urinaria untuk menentukan apakah penuh atau tidak Observasi ujung urethra eksterna, basah terus atau tidak Tekan vesica urinaria apakah terjadi pengosongan urine, lalu lakukan catheterisasi untuk menentukan rest urine Macam-macam kelainan miksi: 1. Inkontinensia urine Suatu keadaan dimana urine keluar terus-menerus secara menetes, 2. Retensio urin
56

Suatu keadaan dimana urine tidak dapat keluar baik secara disadari atau tidak, sedangkan vesica urinaria penuh. 3. Automatic bladder Suatu keadaan diman urine dapat dikeluarkan dengan adanya gaya berat atau rangsangan pada os pubis dan lipatan inguinal. 4. Atonic bladder Suatu keadaan dimana urine dapat dikeluarkan dengan menekan supra pubis. Residual urine pada keadaan ini lebih banyak dari automatic bladder.

DAFTAR PUSTAKA

57

Baehr, M. dan M. Frotscher. Diagnosis Topik dan Neurologi DUUS, Anatomi Fisiologi Tanda Gejala. Jakarta: EGC. 2010. Bickley, Lynn; Szilagui, Peter (2007). Bates' Guide to Physical Examination and History Taking (9th ed.). Lippincott Williams & Wilkins. ISBN 0-7818-6718-0. Campbell, William W. 2005. DeJong's The Neurologic Examination, 6th Edition. Lippincott Williams & Wilkins.
Lumbantobing, S.M. Neurologi Klinik, Pemeriksaan Fisik dan Mental. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2011.

Mulia, Nico Paundra. 2011. Pemeriksaan Neurologi. www.scribd.com [akses 06 agustus 2012].

58

You might also like