You are on page 1of 4

Humanisme Religius

Mulai peristiwa kemanusiaan 11 September 2001 hingga saat ini, sejarah dunia melukiskan wajah Islam sebagai agama yang eksklusif dan menyeramkan. Islam dipahami sebagai agama yang antiglobalisasi, antiperadaban, dan penebar api peperangan. Antipati Barat ditunjukkan dengan nyata terhadap penganut Islam, mulai pelarangan aktivitas kelompok-kelompok Islam yang dianggap radikal, pemberantasan jaringan-jaringannya, hingga ancaman-ancaman lain terhadap negara-negara yang mayoritas berpenduduk Islam.

Masih sangat segar ingatan kita pada peristiwa tragedi kemanusiaan bom Bali, lagi-lagi masyarakat dunia melihat komunitas muslim sebagai kelompok pertama yang mesti bertanggung jawab. Peristiwa demi peristiwa menggambarkan dan meletakkan Islam sebagai agama yang tidak beradab dan melakukan tindakan ahumanis sebagai refleksi dari ajaran agamanya. Kata "jihad" yang dipahami umat Islam sebagai perbuatan suci ternodai dengan pemaknaan sempit dan dipahami umat lain dengan makna sebaliknya.

Karena itu, untuk melawan tuduhan tersebut, Islam sebagai agama rahmat bagi seluruh alam wajib terus disosialisasikan oleh umatnya. Dengan begitu, citra Islam yang babak belur bisa dipahami sebagai agama yang humanis, toleran, transformatif, liberatif, dan beradab. Dalam sejarah kemanusiaan, konflik, peperangan, dan kekerasan manusia selalu dipicu faktor-faktor perbedaan kultural, peradaban, dan warisan peradaban purba yang ditransformasikan ke dalam kepentingan subjektif manusia dan kelompoknya serta bangsa yang berbeda. Agama yang datang dari wahyu Tuhan maupun yang dimanipulasi manusia digunakan untuk menegakkan kepentingan subjektivitas masing-masing sehingga agama suci damai menjadi ajang pertumpahan darah antarmanusia. Secara sosiologis, agama memiliki fungsi-fungsi psikologi sosial dalam proses dialektis dirinya dengan Tuhan sehingga agama dipahami sebagai makna yang unik dalam totalitas kehidupan manusia.

Keunikan agama direfleksikan ke dalam berbagai dimensi keagamaan. Antara lain, dimensi ideologis, emosional, intelektual, dan ritual, yang secara keseluruhan menjadi konstruksi pengalaman-pengalaman (religiusitas) seseorang maupun kelompok-kelompok keagamaan.

Religiusitas yang memiliki banyak dimensi justru menimbulkan klaim-klaim kebenaran agama sekaligus konflik kekerasan, baik global maupun lokal. Hal ini digambarkan oleh John Hiek: "Satu Tuhan, tetapi banyak jalan."

Kendati humanisme cenderung sinis terhadap agama, mereka tidak lantas menjadi ateis. Mereka, misalnya, melepaskan diri dari kerangka berpikir teologis-metafisis, tetapi mereka tidak lantas menjadi amoral. Dalam kerangka humanistik, mereka justru menemukan makna yang mendasar dari religiusitas dan moralitas.

Humanisme religius adalah faith in action. Kenneth Phfer menyatakan bahwa humanisme mengajari kita bahwa ini tidak bermoral untuk menunggu Tuhan agar melayani kita. Kita harus bergerak untuk menghentikan perang, kejahatan-kejahatan, dan brutalitas di abad mendatang.

Kita mempunyai kekuatan-kekuatan yang baik. Kita mempunyai derajat kebebasan yang tinggi dalam memilih apa yang akan kita lakukan. Humanisme menerangkan kepada kita tentang apa pun filosofi alam. Kita bertanggung jawab pada dunia, tempat kita hidup di dalamnya.

Sebagai paradigma pemikiran yang memperjuangkan martabat manusia, humanisme diletakkan dalam konteks evolusi pemikiran manusia. Artinya, humanisme merupakan tahapan dimulainya paradigma manusia sebagai pusat setelah alam pikiran Yunani kuno peradaban Barat beranjak dari tahapan evolusi kosmosentris.

Pada abad tengah, begitu tahapan kosmosentris berakhir, manusia kemudian mengubah paradigma pemikirannya dengan memusatkan pikirannya pada Yang Ilahi atau teosentris. Dalam tahap ini, alam semesta dihayati sebagai buah karya Tuhan dan semua mendapatkan maknanya dalam Tuhan. Dalam perkembangannya, muncul kesadaran baru tentang kodrat dan hakikat manusia yang rasional dan bebas, melahirkan kiblat baru pada kerangka antroposentris yang kritis, tempat manusia menjadi titik pusat pemikirannya sendiri.

Humanisme Islam

Akan tampak dalam sistem keyakinan ini bahwa humanisme tidak menghendaki suatu kekerasan. Nucholish Madjid mengungkapkan beberapa landasan teologis untuk itu. Tetapi, yang penting, prinsip kekerasan tidak sesuai dengan paradigma dunia manusia yang adil.

Kalau ditelusuri dalam sejarah Islam, mungkin dapat timbul pertanyaan tentang cara-cara kekerasan yang dipakai oleh Islam. Tetapi, kalau dalam sumber keyakinan dalam agama itu pun ditemukan landasan kekerasan, agaknya yang perlu diperbaiki adalah interpretasi terhadapnya.

Kekerasan dalam masyarakat akan ada dan bersifat permanen. Dalam sejarah manusia, kekerasan merobek-robek dunia semenjak Tuhan menciptakan manusia. Menurut doktrin sosiologi Islam, sebab-sebab pokok kekerasan itu sudah ada dalam watak manusia sendiri, seperti keinginan alamiah untuk melakukan agresi, cinta kekuasaan dan kekayaan, serta dengki dan persaingan mencari keuntungan. Ada pula yang berasal dari struktur sosial, misalnya, sikap membangkang pada kekuasaan pusat atau sebaliknya.

Islam natural itu selalu pada posisi positif bahwa kebenaran harus menang atas kekeliruan, kebaikan harus menang atas kejahatan, dan keadilan harus memang atas kezaliman. Antagonisme antara perorangan, kelompok-kelompok, dan bangsa-bangsa tak dapat dihindarkan.

Islam adalah sistem total dalam tata kehidupan manusia dan kehadirannya bersifat ganda. Ia berwajah eksklusif, partikularis, promordial, ilmiah, rasional, serta melepaskan penganutnya dari belenggu kepercayaan naturalis mistis dan khurafat.

Islam juga dipenuhi identitas inklusif, universalis, dan mengatasi (transcendent). Dengan demikian, dalam Islam, dikenal dua pendekatan-pendekatan konflik atau purifikatif dan pendekatan akomodatif-reformatif, kondisional, dan apresiatif sesuai keadaan yang dihadapinya. Hasil penelitian menunjukkan: (1) Menurut teori humanisme yang pada mulanya berkembang dalam tradisi Yunani kuno menganggap bahwa, filsafat humanisme mempunyai beberapa pandangan hidup yang berpusat pada kebutuhan dan ketertarikan manusia Humanisme sebagai paradigma pikiran yang memperjuangkan dihormatinya manusia dengan harkat dan martabatnya serta penempatan manusia sebagai sentral perjuangan pembudayaan dan peradapan, dalam sejarah pemikiran harus diletakan dalam evolusi pemikiran. Artinya, humanisme merupakan tahap dimulainya paradigma pusat manusia setelah beranjak dalam tahap evolusi kosmosentris. Setelah itu penghayatan hidup dan paradigma pikirannya dengan memusatkan diri pada yang Ilahi atau teosentris pada abad pertengahan. Ketika kesadaran budi manusia semakin menyadari posisi sentralnya di pusat jagad raya ini, maka ditemukan kembali dirinya yang mampu merangkum pengalaman dan kreatif menemukan ilmu dan teknologi. Inilah tahap antroposentris yaitu sebuah paradigma yang menitiktolakkan pemikiran, pengembangan ilmu dan peradapan pada manusia sebagai pusatnya. (2) Secara konseptual paradigma humanisme religius, dalam kerangka aplikasi dan implikasi, penyusun menawarkan empat komponen inti, yaitu: aspek guru, aspek siswa, aspek materi dan aspek evaluasi. Dari keempat stakeholder pendidikan itu, diharapakan ada komunikasi dan interaksi yang saling melengkapi antara komponen satu dengan komponen yang lain. Pertama kali dilakukan adalah melakukan gerakan penyadaran terhadap guru dan siswa yang notabene-nya adalah subyek atau pelaku pendidikan terkait dengan fungsi, peran dan tanggung jawabnya. Sementara materi ibarat ruh pendidikan untuk merubah daya nalar (kognitif), afektif dan psikomotorik-nya. Sedangkan aspek evaluasi adalah sistem penilaian yang sifatnya berkelanjutan. Sehingga kerangka konseptual pendidikan humanis religius dapat diterjemahkan dalam bentuk yang nyata dalam praktik di dunia pendidikan Islam.

You might also like