You are on page 1of 11

Menurut Corbin et al (2001) kunci untuk menjaga dan memperluas pelayanan adalah membuat masyarakat sadar dan membangun

kepuasaan dan retensi konsumen, untuk melakukannya, rumah sakit harus exude trait mereka seperti kepercayaan, loyalitas dan reliabilitas (Hood and Henderson, 2005). Trait ini harus menjadi fokus utamanya dalam pemasaran karena penting bagi manajer rumah sakit untuk membuat atau mempromosikan sebuah merek berdasarkan trait ini. Untuk memiliki organisasi kesehatan yang sukses, pemasaean harus berusaha untuk berfokus membangun kepercayaan yang tinggi dan kepercayaan diri pasien (Kim, Kim, Kim, Kim and Kang, 2008). Dari perspektif pasien, kepercayaan memiliki pengaruh yang signifikan dalam pengalaman menjadi penerima layanan kesehatan dan perkembangan kompetensi dengan manajemen ilness (Thorne and Robinson, 2006). Kepercayaan pasien penting karena semakin percaya diri seorang pasien pada rumah sakit dan pelayanannya, maka makin cepat penyembuhannya. Usaha pemasaran organisasi juga harus berfokus pada membangun merek yang kuat. . Menurut Kotler (1997) kemampuan manajemen merek menjadi pertimbangan sebagai seni dan cornerstone pemasaran. Ketika berurusan dengan branding, organisasi encoba untuk membangun imej tertentu dan dihubungkan dengan atribut-atribut tertentu dengn pelayanan mereka. Ketika membanangun sebuah reputasi, dua hal yang mendukungnya adalah identitas perusahaan dan imej perusahaan. Davies et al., 2003; Chun, 2005 memandang imej dan identitas perusahaan sebagai elemen reputasi dibandingkan sinonim. Menurut Kennedy (1977) karyawan memiliki pengaruh signifikan terhadap

pandangan stakeholder eksternal terhadap sebuah organisai. Banyak perusahaan cenderung berfokus pada apa yang dipikirkan konsumen, bukan pada karyawan pikirkan (Davies and Chun, 2007). Karena meningkatnya tingkat interaksi antara pelanggan eksternal dan internal, maka perlu mengkombinasikan faktor-faktor yang mendukung reputasi (Hatch and Schultz, 1997). Hal ini mungkin dikarenan konsumen tidak memiliki pengetahuan yang detail tentang banyak karakteristik perusahaan dibandingkan stakeholder lain. Karyawan memiliki informasi lebih baik dan lebih detail ketika mengevaluasi reputasi perusahaan (Page dan Fearn, 2005). Pandangan karyawan cenderung tercermin dalam bentuk emosional kepada konsumen; hal ini termasuk bahasa tubuh dan ekspresi wajah (Davies dan Chun, 2007). . Dari pandangan eksternal, apa yang manajer lakukan di dalam perusahaan akan mempengaruhi bagaimana konsumen diperlakukan dan bagaimana memandang penyedia layanan (Davies et al., 2004). Hubungan kepercayaan jangka panjang antara merek pelayanan dan konsumen menginformasikan dan reinforce budaya perusaahaan yang mana merek dan pemberian pelayanan ditanamkan (De Chernatony and Segal-Horn, 2003).

Gotri dan Wilson (2001) menyatakan bahwa karyawan dan perilakunya menggambarkan kenyataan dari organisasi kepada konsumen, adapun bila perilaku mereka tidak seperti yang diharapkan yang dibuat oleh kampanye komunikasi eksternal organisasi maka repuasi organisasi seluruhnya akan rusak. Organisasi ingin memperhatikan karyawan mereka, sehingga karyawan akan memperhatikan konsumen, sehingga terlihat bersahabat dan penolong. Organisasi juga menginginkan rasa percaya dan rasa hormat di antara karyawan. Perusahaan harus dipercaya, dikagumi dan disukai Martineau (1958) mendefinisikan imej sebagai sejumlah atribut kualitas fungsional; dan psikologi pada pikiran konsumen (Cited in Gotsi and Wilson, 2001). Menurut Marwick dan Fill (1997), imej perusahaan adalah totalitas dari persepsi stakeholder dari cara organisasi menghadirkan diri, baik secara sengaja maupun tidak. Imej perusahaan dimulai dengan stakeholder internal perusahaan dan bagaimana mereka menerima perusahaan. Stakeholder eksternal kemudian dapat mengembangkan imej organisasi tergantung imej mereka terhadap stakeholder internal. Imej perusahaan ini terkonseptualisasi, bagaimana pandangan konsumen terhadap perusahaan mereka. Imej perusaahaan berkaitan dengan karakteristik berwujud dan tidak seperti karakteristik fungsional, fisik dan emosional yng dihubungkan dengan perusahaan (Davies and Chun, 2002). reputasi adalah istilah merujuk pada pandangan semua stakeholder terhadap reputasi perusahaan, termasuk identitas dan imej. Brown dan Dacin (1997) menyatakan identitas perusahaan adalah pandangan orang di dalam organisasi. Van Riel and Balmer (1997) mendefiniskan identitas perusahaan sebagai gambaran pribadi dari organisasi, yang berasal dari perilaku individu, bagaimana anggota organisasi mengekspresikan organisasinya secara kontinyu. Menurut Hatch and Schultz (1997), identitas organisasi berbeda dengan identitas perusahaan identitas organisasi lebih kepada persepsi karyawan terhadap organisasi, merujuk pada apa yang diterima stakeholder, rasa dan pikirkan tentang organisasi. Sifatnya kolektif, merupakan pemahaman terhadap nilai dan karakteristik organisasi. Sedangkan identitas perusahaan merujuk pada isyarat visual, seperti nama, logo, simbol atau isyarat strategi seperti visi, misi dan filosofi. Identitas perusahaan harus mencerminkan karakteristik atau kepribadian perusahaan yang berasal dari perilaku anggota organisasi (Balmer, 1997). Chun (2005) menyatakan bahwa krisis reputasi dapat dicegah dengan memonitor kesenjangan antara apa yang dipikirkan karyawan dan apa yang orang lain pikirkan. Hibbard, Stockard and Tusler (2005) menyatakan bahwa jika reputasi rumah sakit terpengaruh, maka pasaran akan menurun karena pilihan konsumen atau rujukan dokter. Pelayanan yang sukses tergantung pada komunikasi internal yang baik (Padanyi and Gainer, 2003). Bagaimana pelayanan diberikan terlihat sebagai pendukung reputasi

(Sergeant and Frenkel, 2000). Secara kritis organisasi dengan karyawan yang berorientasi tinggi pada konsumen cenderung memberikan pelayanan yang berkualitas tinggi. Akibat dari orientasi konsumen yang tinggi akan mengembangkan persepsi konsuen yang positif dan perilaku yang baik(Hartline et al. 2000). Perusahaan yang berorientasi pada konsumen akan menciptakan pengertian yang lebih baik dari konsumen (Brady and Cronin, 2001). Hubungan pribadi antara karyawan dengan konsumen akan lebih menuntun ke kepuasaan atau ketidakpuasaan dibanding pembelian pelayanan itu sendiri. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya karyawan mengerti lebih konsumen dan lebih empatis terhadap kebutuhan konsumen ketika mempresentasikan perusahaan (Philips, Tan and Julian, 2006). Jika karyawan dalam ketidakseimbangan emosi, akan mengakibatkan pengalaman pelayanan yang buruk bagi konsumen (Stock and Hoyer, 2005). Seluruh karyawan perlu untuk mengerti nilai organisasi mereka, mengetahui peran mereka dan berkomitmen untuk memberikan (Heskett, 1987; de Chernatony and Horn, 2003). Organisasi yang menginginkan reputasi yang baik perlu berkonsentrasi pada bagaimana karyawanan mereka memberikan pelayanan. Ketika reputasi bergantung pada kesuksesan perawatan pasien, kesuksesan banyak perawatan sendiri bergantung pada kepercayaan pasien pada rumah sakit. orientasi konsumen organisasi didefinisikan sebagai derajat di mana iklim dan budaya organisasi kondusif untuk memenuhi kebutuhan konsumen (Grizzle, Zablah, Brown, Mowen and Lee, 2008). Orientasi konsumen organisasi diharapkan mempengaruhi kepuasaan (Rust et al., 1996).tingkat orientasi konsumen yang dimiliki oleh karyawan tergantung pada bagaimana orientasi organisasi pada konsumen (Stock and Hoyer, 2005). Hal ini juga dapat mempengaruhi kepuasaan mereka, sebagaimana karyawan dalam lingkungan pelayanan harus dipuaskan, jika mereka merasa didukung oleh sikap karyawan terhadap konsumen (Whelan et al., 2008). Pasien aan lebih puas juka mereka merasa bahwa organisasi lebih berorientasi terhadapnya, dan pandangan mereka terhadap aturan organisasi akan mempengaruhi persepsi mereka as to the orientation of its employees (Whelan et al., 2008). kekuatan kerja adalah salah satu yang memegang peranan dalam keuntungan kompetitif

Budaya organisasi daat menjadi faktor utama dalam menentukan bagaimana orientasi terhadap konsumen (Bellou, 2007; Hartline and Ferrell, 1996; Slater and Narver, 1994). Menurut Castro and Rio (2005) terdapat hubungan antara eksistensi orientasi pasar dan komitmen karyawan terhadap organisasi, juga tingkat kepuasaa dengan pekerjaan. Sebagai tambahan, mereka menemukan bahwa semakin banyak perusahan perusahaan berorientasi terhadap konsumen, semakin besar pengetahuan konsumen yang mereka miliki, oleh

karena itu menuntun kepada kualitas yang diterima lebih baik dan evaluasi konsumen positif terhadap pelayanan. Kennedy et al. (2002) juga menemukan bahwa terdapat hubungan yang diinginkan antara orientasi pasar dan komitmen serta kepuasaan konsumen. Donovan et al. 2004;

Hennig-Thurau, 2004) menyatakan bahwa organisasi yang berorientasi konsumen tinggi idak hanya menyediakan kepuasaan dan komitmen saja, tetapi organisasi juga harus memiliki lingkungan kerja yang baik.
Perusahaan yang berorientasi tinggi pada konsumen harus fokus dalam memperkerjakan karyawan. Retensi konsumen secara ekonomi juga lebih menguntungkan dibanding terus menerus mencari pasien baru, adalapun membangun dan menjaga adalah hal yang penting untuk keseluruhan kinerja bisnis (Bove and Johnson, 2000). Homburg and Stock (2005) menyatakan bahwa tingkat kepuasaan pada pekerjan yang tinggi akan menuntun kepada tingkat orientasi konsumen yang tinggi. Menurut Stock dan Hoyer (2005) perbedaan antara perilaku dan sikap adalah perilaku tidak permanen (akan berubah jika situasi berubah), sikap bersifat lebih tahan dan stabil daripada perilaku. Sikap berorientasi konsumen diperlukan untuk menciptakan perilaku berorientasi konsumen. Perusahaan awalnya harus berfokus pada sikap yang akan berpengaruh positif dan akan menghasilkan strategi orientasi konsumen jangka panjang. Perilaku cenderung tidak konsisten, bisa berubah secara cepat. Jika perusahaan ingin karyawan memiliki perilaku konsisten, mereka harus berkonsentrasi pada sikap (Stock and Hoyer, 2005). Menurut Stock and Hoyers (2005) sikap berorientasi konsumen mendorong perilaku

berorientasi konsumen dan juga berpengaruh langsung terhadap kepuasaan konsumen. Karyawan pelayanan kesehatan harus banyak terlibat dalam lingkungan kerja jika mereka ingin memberikan kualitas layanan yang baik, memuaskan pasien, dan menuntun pada kesetiaan konsumen (Scotti et al., 2007). Keberlangsungan dari rumah sakit swasta tergantung dari keuntungan jangka panjang. Keuntungan dapat dipertahankan jika konsumen mendapatkan kepuasaan dari pelayanan (Purwanto, 2010). James J. Zeboga menemukan bahwa kepercayaan dan kepuasaan konsumen berpengaruh pada keinginan membeli ulang. Rumah sakit swasta dipandang sebagai perusahaan yang memerlukan keuntungan kompetitif.keuntungan kompetitif terjadi melalui kemampuan untuk menyediakan nilai pelayanan yang baik, kemampuan untuk memuaskan pasien dibanding kompetitornya (Pirwanto, 2010).

Orientasi konsumen membuat perusahaan menghasilkan nilai yang superior bagi konsumennya karena kebutuhan mereka dimengerti (Narver and Slater, 1990). Pengetahuan ketrampilan yang dimiliki karyawan adalah hal yang penting dalam penerimaan dan seleksi karyawan (Bitner et al., 1990). Tidak dapat diasumsikan bahwa penyedia layanan secara otomatis mengemangkan perilaku berorientasi konsumen. Pertama, mereka membutuhkan sikap mental untuk memperkakukan konsumen dengan empati yang tulus, perhatian, respek, kesopanan dan Keramahan (Dubinsky, 1994). Kedua, usaha terpadu dari manajemen. Hal ini meliputi sistem kepercayaan bahwa konsumen adalah yang paling utama, manajemen yang mepraktekkan kepedulian dan empati, pelatihan untuk karyawan dan monitoring lingkungan pelayanan (Dubinsky, 1994). Orientasi konsumen dapat dinilai dari dua tingkat yaitu dari organisasi dan dari karyawan. Pada tingkat individu, orientasi konsumen merujuk pada kecendrungan individu atau predisposisi untuk memenuhi kebutuhan konsumen (Brown et al., 2002). Memiliki dua dimensi yaitu dimensi kebutuhan sebagai contoh apakah karyawan memecahkan masalah yang dimiliki dan dimensi kesenangan sebagai contoh karyawan yang mudah tersenyum pada konsumen (Saxe and Weitz, 1982; Brown et al., 2002). Brown et al. (2002) menunjukkan bahwa orientasi konsumen mediates the relationships between more basic personality traits and service performance. Brown et al.'s (2002). Semakin positif asosiasi stakeholder dengan merek perusahaan, konsumen akan semakin puas. Asosiasi ini dibangun melalui pengalaman dengan merek, dan dalam pelayanan maksud di sini adalah karyawan; proses yang bergantung bagaimana karyawan berorientasi terhadap konsumen. Orientasi konsumen secara positif mempengaruhi kepribadian merek perusahaan, dan memiliki pengaruh positif terhadap kepuasaan (Whelan et al, 2009).
A brand is a symbol that encapsulates the associations made with a name (Gardner and Levy, 1955). Brand image concerns the remembered associations held of a brand; while brand personality is the human associations made with a brand (Aaker, 1997; Davies, 2008; Keller, 1998). Corporate brand personality is a form of brand personality specific to a corporate brand, and reflects the values and actions of the corporation and business (Keller and Richey, 2006). A significant relationship exists between the consumer-perceived corporate brand and consumer attitude and loyalty. Corporate brand personality is one of the most critical and consistent predictors of both attitudinal and behavioral loyalty to that brand (Anisimova, 2007). Preserving and reinforcing the essence of brand personality can ensure the long-term viability of a brands equity (van Rekom et al., 2006). For example, Sung and Yang (2008) investigated corporate brand personality in a university context. They demonstrated that corporate brand personality is positively associated with outwardly perceived prestige and reputation, and has a positive influence on supportive customer attitudes. Davies (2008) argued that corporate branding and personality also impact internal stakeholders. He found, for example, that an agreeable corporate personality predicts employee satisfaction; the combination of perceived expertise and attractive corporate personality would enhance employee perception; of both differentiation and loyalty.

In the face of increased competition, independent stores need (Perepelkin dan Zhang, 2011)

Terdapat banyak definisi mengenai kepuasan pelanggan, menurut Oliver (1993) menyatakan bahwa kepuasan secara keseluruhan ditentukan oleh ketidaksesuaian harapan yang merupakan perbandingan antara kinerja yang dirasakan dengan harapan yang ada di benak pelanggan. Spreng, Mac Kenzie, Olshavsky (1996) mengemukakan bahwa kepuasan pelanggan akan terjadi apabila kualitas kinerja yang dirasakan atas suatu produk atau layanan sama dengan atau bahkan melebihi harapan dari pelanggan. Lebih lanjut Tse dan Wilton (1988) menyatakan bahwa kepuasan pelanggan adalah respon pelanggan terhadap evaluasi yang dirasakan antara harapan sebelumnya dan kinerja aktual yang dirasakan. Woodside et al (1989) mendefinisikan kepuasan pelanggan sebagai suatu bentuk khusus dari sikap konsumen yang merupakan fenomena setelah konsumen tersebut melakukan pembelian yang mencerminkan sejauhmana seorang pelanggan menyukai atau tidak menyukai pelayanan yang diberikan. Kepuasan konsumen merupakan perasaan senang atau kecewa yang dihasilkan dari persepsi kinerja produk atau jasa terhadap harapan yang mereka miliki. Kepuasan pelanggan selalu melekat atau menjadi karakteristik produk atau jasa yang sesuai dengan kebutuhan dan harapan pelanggan, harapan tersebut antara lain tentang harga, biaya, kenyamanan, kemudahan, keramahan, pelayanan yang bermanfaat dan lain sebagainya. Kepuasan pelanggan merupakan evaluasi purna beli di mana alternatif yang dipilih sekurangkurangnya memberikan hasil yang sama atau melampaui harapan pelanggan, sedangkan ketidakpuasan timbul apabila hasil yang diperoleh tidak memenuhi harapan pelanggan. Reputasi Perusahaan Menurut Zeithml (1988) kualitas jasa yang dirasakan dari suatu produk atau jasa erat hubungannya dengan reputasi yang diasosiasikan dengan nama merek. Artinya pelanggan hanya akan

Customer satisfaction is the accumulated experience of a customers purchase and consumption experiences. Customer satisfaction is influenced by two factors: expectations and experienced service performance[12]. Perceived performance is influenced by the consumers perception of service quality, marketing mix, brand name and image of the company. Because satisfied customers tend to maintain their consumption pattern or consume more of the same product or service, customer satisfaction has become an important indicator of quality and future revenue. Fornell claims that customer satisfaction influences purchasing behaviour: satisfied customers tend to be loyal customers, but loyal customers are not necessarily satisfied. According to Yi[12] customer satisfaction is a function of perceived (service) quality and expectations. We will propose that satisfaction and loyalty is also influenced by reputation (Andreassen, 1994)
Corporate reputation and its components Corporate reputation is a many-sided component and according to Fombrun (1998),

these components are the history of human experiences. The constitution of this history is related with the actions and activities the corporate perform in a specific time and from this point of view reputation is defined as a concept that is based on perception and focus on what is done and how something is done in corporations (Bennett and Kottasz, 2000). According to Herbig and Milewicz (1993), corporate reputation is trust that the corporate creates by keeping its promises in a decided manner. Because trust, a result of corporate past experiences and an evaluation of its actions as true-false, is a subjective and total evaluation in shareholders minds about their expectations (Fombrun and VanRiel, 1997). To understand this process better, it is important that the relation between corporate reputation concept and trust should be analyzed, because these evaluations accumulate in time and contribute to constitution of reputation. That is, the trustworthy of a corporation is seen as the trustworthy of its stated aims (Nquyen and Gaston, 2001). This created trustworthy constitutes customer satisfaction together with consistency, permanency, sustainability and entirety in the basis of reputation management. For this reason, the primary aim is to develop and strengthen the quality of services and products. Because every shareholder, related with the corporation, and all employers in the corporation, have an impression about the corporates products and services and if this impression is positive, they have high trustworthy impression (Erguden, 2003). According to Caruana (1997), in addition to being consistent in every action, positive communication is also important. In order to constitute reputation, it is important to use corporate communication means and media efficiently and consistently, to explain whats and whys properly about each activity, to associate it with corporate vision, mission and values. This handles corporate reputation as corporate activities, quality of service, the degree of its performance and fulfilling its social responsibilities, the synthesis of corporations expectations related (Satir, 2006)
A corporate reputation is a stakeholder's overall evaluation of a company over time. This evaluation is based on the stakeholder's direct experiences with the company, any other form of communication and symbolism that provides information about the firm's actions and/or a comparison with the actions of other leading rivals (Gotsi dan Wilson, 2001).

At an individual level, customer orientation is defined as the willingness of service providers to adjust their service delivery according to a customers situation (e.g. needs, problems, special circumstances) (Daniel and Darby, 1997; Saxe and Weitz, 1982). The term COB refers to specific behaviors displayed by personnel during service encounters such behavior that leads to satisfied customers (Farrell et al., 2001; Winsted, 2000a, b). In a study of USA and Japanese students, Winsted (2000a, b) found several dimensions that comprise COB generally and some that differed across the two countries. Three dimensions were common to both countries. First, the concern dimension combined elements of empathy, assurance and responsiveness At an individual level, customer orientation is defined as the willingness of service providers to adjust their service delivery according to a customers situation (e.g. needs, problems, special circumstances) (Daniel and Darby, 1997; Saxe and Weitz, 1982). The term COB refers to specific behaviors displayed by personnel during service encounters such behavior that leads to satisfied customers (Farrell et al., 2001; Winsted, 2000a, b). In a study of USA and Japanese students, Winsted (2000a, b) found several dimensions that comprise COB generally and some that differed across the two countries. Three dimensions were common to both countries. First, the concern dimension combined elements of empathy, assurance and Responsiveness Personality and organizational commitment Personality dimensions have been linked to a number of employee behaviors, including organizational citizenship behavior (OCB) (Organ and Lingl, 1995), absenteeism (Mowday et al., 1979), work commitment (Naquin and Holton, 2002) and job satisfaction (Chiu and Kosinski, 1997). The conscientiousness personality dimension has been shown to influence one aspect of OCB compliance to rules (Borman et al., 2001). Since conscientious individuals

are self-disciplined, reliable, dutiful and tend to comply with orga nizations rules (Costa and McCrae, 1992), it can be expected that they might be more committed to organizational goals. Meyer et al. (1993) proposed a three-component conception of organizational commitment, namely:

(1) affective commitment which occurs when the employee wishes to remain with the organization because of an emotional attachment; (2) continuance commitment exists when a person must remain with the organization because he or she needs the benefits and salary or cannot find another job; and normative commitment which derives from the values of the employee Organizational commitment in this study represents the first category, i.e. affective attachment of an employee to the organization. It comprises of a strong belief in, and acceptance of, organizational goals and values; a willingness to exert considerable and sustained personal effort on behalf of the organization; and a strong desire on the part of the employee to maintain continued membership of the organization (Mowday et al., 1979). It is an employees affective or emotional attachment to an organization (Allen and Meyer, 1990; Gifford, 2000). Individuals scoring high on agreeableness are willing to help others (Costa and McCrae, 1992). In an employment situation, these individuals are willing to help their co-workers and organization by going the extra mile when needed and are more emotionally committed to their work (Naquin and Holton, 2002). Furthermore, agreeableness indicates how well a person gets along with those around him, thus it can be expected that agreeable individuals would derive more positive feelings from work experience than persons not so agreeable (Organ, 1994). Moreover, research indicated that negative affectivity correlates with OCB (Organ and Lingl, 1995). Since individuals scoring high on neuroticism (the opposite of emotional stability) are vulnerable to stress, prone to feeling inferior, selfconscious and uncomfortable around others (Costa and McCrae, 1992), it can be expected that emotionally stable persons possess positive feelings towards their customers (patients) an important characteristic in an emotionally charged and anxious situation such as a hospital stay. Hence, we hypothesize:

Organizational factors and COB Scholars have defined organizational service climate as employees perceptions of events, practices and procedures; as well as their perceptions of the behaviors that are expected, rewarded and supported (Lytle et al., 1998; Schneider, 1990; Schneider and Bowen, 1995). This concept is similar to organizational service orientation employed by Lytle et al. (1998) which was defined as an organization-wide embracement of a set of relatively enduring organizational policies, practices and procedures intended to support and reward service-giving behaviors by employees that create and deliver service excellence. Recent empirical studies show a strong support for the link between employee perceptions of their service climate and delivery of service excellence, even amongst lowly paid employees of convenience stores (Bendapudi and Bendapudi, 2005). Put simply and consistent with Heskett et al. (1997) service profit chain framework, a supportive service climate results in happy and committed employees, and happy employees tend to deliver higher quality service to customers (Loveman, 1998; Schneider et al., 2005). It is generally agreed that an organization should possess two major ingredients for It is generally agreed that an organization should possess two major ingredients for service personnel to deliver excellent service: a genuine concern for customers (i.e. service climate all practices, and policies, should be customer-oriented), and concern for employees (how the employees are treated and supported by their management). When employees feel their organization has a climate that is not customer-oriented, both employees and customers report less positive experiences and less commitment (Schneider and Bowen, 1995, 1993). This is especially true for high-contact services (such as healthcare) of an affective and intimate nature where a high degree of face-to-face interaction between customers and employees is necessary for the service to be manufactured and delivered. As noted by Hausman (2004) distinct, almost unique, differences exist in a medical context, such as: one-to-one interactions of sometimes a highly emotive nature; intimate exchanges; and frequent encounters with the same nurse.

Such a context is demanding and stressful for employees, and thus a supportive service climate is essential. In other words, employees (nurses) are more likely to deliver excellent service to patients when the organizational expects and rewards such behavior and establishes practices that both support and facilitate (e.g. training, providing appropriate technology) service delivery. Hence, the next two hypotheses are: H5. Employee perceptions of service climate will have a positive relationship with COS. H6. Employee perceptions of service climate will have a positive relationship with COB.
As noted earlier we define organizational commitment as employees affective or emotional attachment to an organization (Allen and Meyer, 1990; Gifford, 2000). Recent work has clearly linked service climate to employee commitment to the organization. Employee perceptions of service climate determine how individuals behave in influencing how they think and feel about their task environment (Salanick and Pfeffer, 1978). For example, Schneider et al. (2005) found a positive service climate encourages employees to engage in extra-role behaviors OCB that benefit the organization and customers. As noted earlier, a medical care context is both demanding and stressful for front-line employees, but especially nurses (Australian Government Report, 2005). With a positive and supportive climate for service, nurses are better able to cope with

the daily stress of their job and hold more positive attitudes, such as commitment toward the organization (Scanduoci, 1997). Moreover, tenets of social exchange theory suggest that when nurses perceive that their hospital and supervisors are truly service oriented, they are likely to be motivated to become more committed towards the hospitals service-related goals: H7. Employee perceptions of service climate will have a positive relationship with their organizational commitment.
Some studies have attempted to apply the concept of organizational commitment to non-western countries (Chen and Francesco, 2000; Tao et al., 1998) with mixed success. However, it might be expected that employees in highly collectivist, relationship rich South-East Asian cultures such as Thailand, China, Vietnam or Indonesia for example, might exhibit higher levels of affective commitment than employees in individualistic cultures (Randall, 1993). Organizational commitment among Chinese employees for example, has been found to have a much stronger effect on job satisfaction and turnover intention than comparative results from studies conducted in the West (Wong et al., 2000). In summary, the evidence supports the view that when employees (but especially in collectivist cultures) are affectively committed they will put in more effort to achieve organizational goals. This effort should be reflected in terms of employees attempts to satisfy customers, i.e. in their COB. Moreover, since surface traits emanate from the interaction between self and situation, it is likely that organizational commitment will affect COS. Thus, it is hypothesized:

(Lanjananda dan Petterson, 2009)


Terdapat banyak definisi mengenai kepuasan pelanggan, menurut Oliver (1993) menyatakan bahwa kepuasan secara keseluruhan ditentukan oleh ketidaksesuaian harapan yang merupakan perbandingan antara kinerja yang dirasakan dengan harapan yang ada di benak pelanggan. Spreng, Mac Kenzie, Olshavsky (1996) mengemukakan bahwa kepuasan pelanggan akan terjadi apabila kualitas kinerja yang dirasakan atas suatu produk atau layanan sama dengan atau bahkan melebihi harapan dari

pelanggan. Lebih lanjut Tse dan Wilton (1988) menyatakan bahwa kepuasan pelanggan adalah respon pelanggan terhadap evaluasi yang dirasakan antara harapan sebelumnya dan kinerja aktual yang dirasakan Woodside et al (1989) mendefinisikan kepuasan pelanggan sebagai suatu bentuk khusus dari sikap konsumen yang merupakan fenomena setelah konsumen tersebut melakukan pembelian yang mencerminkan sejauhmana seorang pelanggan menyukai atau tidak menyukai pelayanan

yang diberikan. Kepuasan konsumen merupakan perasaan senang atau kecewa yang dihasilkan dari persepsi kinerja produk atau jasa terhadap harapan yang mereka miliki. Kepuasan pelanggan selalu melekat atau menjadi karakteristik produk atau jasa yang sesuai dengan kebutuhan dan harapan pelanggan, harapan tersebut antara lain tentang harga, biaya, kenyamanan, kemudahan, keramahan, pelayanan yang bermanfaat dan lain sebagainya. Kepuasan pelanggan merupakan evaluasi purna beli di mana alternatif yang
Customer orientation Brown et al. (2002) suggest that customer orientation, an individual-level construct, is the key to a service organizations ability to be market oriented. Customer orientation has been defined as the degree to which contact personnel practice the modern marketing concept by trying to help their customers make purchase decisions that will satisfy customer needs (Saxe and Weitz, 1982). Customer orientation is believed to be foster a number of positive marketing outcomes. Generally, research has found customer orientation to be related positively to employee performance (e.g. Boles et al., 2001; Brown et al., 2002; Swenson and Herche, 1994). Other research has supported a link between customer orientation and customer satisfaction, both at the firm level (Goff et al., 1997; Humphreys and Williams, 1996) and at the individual level (Goff et al., 1997). Most recently, in a major review of the customer orientation literature, Schwepker (2003) cites several studies that suggest, but do not empirically test, a linkage between customer orientation and customer trust Satisfaction with the firm Several research studies (e.g. Crosby and Stephens, 1987; Singh, 1991) have established that service customers often make several distinct assessments of satisfaction, including satisfaction with: the core service; service personnel; and . the service firm. Satisfaction with the firm is defined as the customers overall evaluation of his/her experience with the firm. Customers als o make assessments of their satisfaction with the contact person that they interact with. Satisfaction with the contact person, along with interpersonal trust, is suggested as a key component of relationship quality. Since in many service organizations, contact service people serve as the key representative of the firm, it could be expected that positive assessments at the individual level, including interpersonal satisfaction, would have a positive influence on assessments of the firm (Macintosh, 2007)
. .

Derinisi Pemasaran dari American Marketing Association (2007) adalah aktivitas yang dilakukan oleh institusi dan berupa proses membuat, mengkomunikasikan, menganatarkan dan menawarkan sesuatu yang bernilai bagi konsumen, klien, partner dan masyarakat banyak (Bourke, 2009). Pemasaran merupakan satu fungsi organisasi dan seperangkat proses untuk menciptakan, mengkomunikasikan dan menyerahkan nilai kepada pelanggan dan mengelola hubungan pelanggan dengan cara yang menguntungkan organisasi dan para pemilik sahamnya (Kotler dan Keller, 2009). Salah satu bentuk pemasaran adalah penciptaan hubungan antara organisasi jasa dengan para pelanggannya. Reationship marketing merupakan upaya peningkatan pelayanan yang berfokus kepada pelanggan yang dapat dilakukan dalam tiga bidang, yaitu layanan pelanggan, kualitas, dan

pemasaran(Payne, 1993). Upaya yang dapat dilakukan untuk membentuk kedekatan antara perusahaan dengan pelanggannya adalah menciptakan kemitraan pelanggan strategis, sedangkan salah satu cara untuk membentuk kedekatan dengan pelanggan, sebaiknya

dilakukan manajemen proaktif. Perusahaan yang mengenali pelanggan secara akrab akan jauh lebih menghasilkan keuntungan dibandingkan pesaingnya, hal ini terjadi karena perusahaan memberi pelanggan semua hal yang mereka inginkan, sehingga terjadi suatu bentuk kemitraan yang strategis dan retensi pelanggan yang berkelanjutan (Gerson, 1993).

You might also like