You are on page 1of 21

BAB I PENDAHULUAN

Preeklampsia merupakan salah satu penyebab morbiditas dan mortalitas ibu dan bayi yang tertinggi di Indonesia. Penyakit yang disebut sebagai disease of theories ini, masih sulit untuk ditanggulangi. Preeklampsia dan eklampsia dikenal dengan nama Toksemia Gravidarum merupakan suatu sindroma yang berhubungan dengan vasospasme, peningkatan resistensi pembuluh darah perifer, dan penurunan perfusi organ yang ditandai adanya hipertensi, edema dan proteinuria yang timbul karena kehamilan. Adanya kejang dan koma lebih mengarah pada kejadian eklampsia. Preeklampsia dapat berakibat buruk baik pada ibu maupun janin yang dikandungnya. Komplikasi pada ibu berupa sindroma HELLP (Hemolysis, Elevated Liver Enzyme, Low Platelet), edema paru, gangguan ginjal, perdarahan, solusio plasenta bahkan kematian ibu. Komplikasi pada bayi dapat berupa kelahiran prematur, gawat janin, berat badan lahir rendah atau intra uterine fetal death (IUFD).1 Beragam pendapat telah diutarakan dalam pemahaman preeklampsia secara mendasar dan telah dilakukan pula berbagai peneltian untuk memperoleh penatalaksanaan yang dapat dipakai sebagai dasar pengobatan untuk preeklampsia. Namun demikian, preeklampsia tetap menjadi satu di antara banyak penyebab morbiditas dan mortalitas ibu dan janin di Indonesia, sehingga masih menjadi kendala dalam penanganannya.1 Oleh karena itu diagnosis dini preeklampsia yang merupakan tingkat pendahuluan eklampsia, serta penanganannya perlu segera dilaksanakan untuk menurunkan angka kematian ibu dan anak. Perlu ditekankan bahwa sindrom preeklampsia ringan dengan hipertensi, edema, dan proteinuri sering tidak diketahui atau tidak diperhatikan; pemeriksaan antenatal yang teratur dan secara rutin mencari tanda preeklampsia sangat penting dalam usaha pencegahan preeklampsia berat dan eklampsia, di samping pengendalian terhadap faktor-faktor predisposisi yang lain.2 Diketahui kematian ibu berkisar antara 9,8% - 25,5%, sedangkan kematian bayi lebih dari tinggi lagi, yakni 42,2% - 48,9%, sebaliknya kematian ibu dan bayi di negara-negara maju lebih kecil. Hal ini disebabkan karena di negara-negara maju terdapat kesadaran untuk melakukan pemeriksaan antenatal dan natal secara rutin Di Indonesia, setelah perdarahan dan infeksi, preeklampsia masih merupakan sebab utama kematian ibu, dan sebab kematian perinatal yang tinggi. Oleh karena itu diagnosis dini preeklampsia yang merupakan tingkat pendahuluan eklampsia, serta penanganannya perlu

segera dilaksanakan untuk menurunkan angka kematian ibu dan anak. Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk mengangkat laporan kasus mengenai pasien dengan preeklampsia berat. Kasus yang kami bahas yaitu pasien wanita, 35 tahun dengan diagnosis G3P2A0 hamil aterm dengan PEB inpartu kala I fase laten JTH preskep.

BAB II REKAM MEDIK 2.1 Identifikasi Nama Umur : Ny. FAT : 35 tahun

No Rekam Medis : 316654 Alamat Agama Status Pekerjaan MRS : D.Rejo : Islam : Menikah : Ibu rumah tangga : 12/06/13 pukul 17.05 WIB

2.2

Anamnesis Keluhan Umum RPP : Mau melahirkan dengan darah tinggi :

Kurang lebih 2 jam sebelum masuk rumah sakit, OS pergi kebidan untuk melahirkan, dikatakan mau melahirkan dengan darah tinggi. Oleh bidan, OS dirujuk ke rumah sakit. R/ sakit perut yang menjalar ke punggung(+), R/ keluar darah lendir (+). R/ keluar air-air (-), R/ hipertensi (-), R/ hipertensi dalam kehamilan sebelumnya (-), R/ hipertensi dalam keluarga (-), R/ hipertensi dalam kehamilan ini (-)

Riwayat Haid

: Menarche 13 tahun haid teratur, siklus 28 hari, lamanya 4 hari, haid pertama hari terakhir lupa.

Riwayat Kontrasepsi dalam 3 bulan terakhir: -Riwayat Hamil Tempat Bersalin : G3P2A0 Jenis Penyulit Nifas Anak Kelamin Berat Keadaan Baik Baik ? ? Sehat Sehat

Tahun Hasil

Kehamilan Persalinan

Dukun Dukun

2001 2002

Aterm Aterm

Spontan Spontan

Hamil sekarang

ANC

: Bidan

2.3

Pemeriksaan Status Present Keadaan umum Kesadaran : 120612 pukul 17.05 : Sedang : Compos Mentis

Vital Sign Tekanan darah Nadi Frekuensi napas Suhu Berat Badan Tinggi Badan Kepala Dada : 160/100 mmHg : 96 x/ menit : 22 x/ menit : 36,5 C : 67 kg : 155 cm

: Edema palpebra (-/-), konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-) : Paru : I = gerakan paru kanan dan kiri simetris

Pal = sulit dinilai Per = sonor seluruh lapangan paru Au = vesikuler (+) normal, wheezing (-). Rhonki (-) Jantung : I = ictus cordis tidak terlihat

Pal = ictus cordis teraba di SIC V Per = batas jantung dalam batas normal Au = reguler, tidak terdapat bunyi jantung tambahan Abdomen : Status obstetrikus Genitalia : Status obstetrikus Ekstremitas :

Status Obstetri Muka Mamae : Edema palpebra (-/-), konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-). : Hiperpigmentasi areola dan papilla (+/+).

Abdomen Inspeksi Palpasi I II III IV DJJ HIS Perkusi : Perut tampak membuncit. : Nyeri tekan (-), Leopold: : TFU 3 jari di atas pusat, 36 cm, teraba massa bulat dan kenyal. : Tahanan terbesar di kanan. : Teraba massa bulat, keras. : Bagian terbawah janin belum masuk PAP. : 150 x/ menit : (-) : Timpani.

Auskultasi : BU (+) normal. Genitalia : Vaginal Toucher: Portio lunak, posisi posteerior, pendataran 50 %, pembukaan 3cm, ketuban (+), bau (-), mekonium (-), penurunan kepala hodge I, penunjuk sutura sagitalis lintang. Pemeriksaan panggul : promontorium tidak teraba, KD > 13cm, KV > 11,5 cm, linea inominata teraba 1/3-1/3, sakrum konkaf, spina iskiadikus tidak menonjol, arkus pubis > 90o , dinding samping lurus, kesan panggul luas, bentuk PAP ginekoid, DKP (-). Indeks Gestosis Skor Edema Proteinuria Tekanan Darah Sistolik Tekanan Daran Diastolik Edema: 0 Proteinuria : 3 Tekanan darah sistolik: 2 Tekanan darah diastolik: 1 Total : 6 0 -->140 >90 1 Pretibial + 140-160 100-110 2 Generalisata ++ 160-180 >110 3 -+++ >180

Pemeriksaan Penunjang Darah Rutin Hb Ht Leukosit Trombossit : 12,7g/dl : 38,9 vol% : 9800/ul : 228.000 /ul

Urin Warna : kuning

Kejernihan : keruh Protein Glukosa Bilirubin :+3 : :-

Urobilinogen: 0,2 u Moll/L pH : 6,2 Bj : 1,05 Darah Keton Nitrit Eritrosit Leukosit :+3 ::+ : > 150/LPB : 1-2/LPB

Sel epitel : 3-5/LPB

2.4

Diagnosis G3P2A0 hamil aterm dengan PEB inpartu kala I fase laten JTH preskep

2.5

Terapi Stabilisasi 1-3 jam Obs TVI, DJJ dan his IVFD RL gtt xx/m MgSO4 protokol Nifedipin 3 x 10 mg R/ akselerasi dengan drip oksitosin (setelah stabilisasi) R/ Partus pervaginam (akhiri kala II dengan tindakan)

2.6

Follow Up Tanggal/Pukul Follow up

12-06-13/ Pukul S : Mau melahirkan dengan darah tinggi 20.05 WIB O : KU : sedang TD : 160/90 mmHg, Nadi : 101 x/m, Suhu : 37C, RR : 30 x/m Palpasi : TFU 3 jari di atas pusat, puka, his (-), DJJ : 150 Periksa dalam: Portio lunak, letak portio medial, eff 50%, dilatasi 4 cm, ketuban (+) Indeks Gestosis : 5 A: G3P2A0 hamil aterm dengan PEB inpartu kala I fase aktif JTH preskep P : Obs TVI, DJJ dan his IVFD RL gtt xx/m MgSO4 protokol Nifedipin 3 x 10 mg Akselerasi dengan drip oksitosin Evaluasi satgas gestosis R/ Partus pervaginam (akhiri kala II dengan tindakan) 13-06-13/ Pukul S: Mau melahirkan dengan darah tinggi 02.00 WIB O: KU: sedang, TD: 160/100, Nadi: 100x/ m, suhu: 36,5 C, RR: 30x/m Palpasi: TFU 3 jari di atas pusat, puka, bagian terbawah kepala, sudah masuk PAP, DJJ: 154x/ m Periksa Dalam : Pembukaan lengkap Indeks Gestosis : 6 A: G3P2A0 hamil aterm dengan PEB inpartu kala II JTH preskep P: Pimpin persalinan (akhiri kala II dengan ekstraksi forceps) 13-06-13/ Pukul Lahir secara EF neonatus hidup laki-laki BB 3750g, PB 50 cm AS 8/9 FT 02.30 WIB AGA

13-06-13/ Pukul Plasenta lahir lengkap 02.35 WIB

2.7

Laporan Ekstraksi Forceps Pukul 02.00, tampak parturient tampak ingin mengejan kuat Pada pemeriksaan dalam didapatkan: Portio tidak teraba Pembukaan lengkap Ketuban (-) Terbawah kepala UUK kiri depan Kepala H III+

D/ G3P2A0 hamil aterm dengan PEB inpartu kala II JTH preskep T/ - Pimpin persalinan Episiotomi mediolateral

Pukul 02.15 Tindakan dimulai Penolong membayangkan posisi forceps terpasabg di depan vulva biparietal terhadap kepala, miring terhadap panggul Dilakukan pemasangan forceps kamam di posterior, lalu dilakukan wondering ke anterior Forceps kiri dipasang di posterior Dilakukan penguncian secara tidak langsung Dilakukan periksa dalam ulang, tidak ada jalan lahir yang terjepit Dilakukan traksi percobaa, setelah berhasil dilakukan traksi definitif

Pukul 02.30 lahir dengan EF neonatus hidup laki-laki BB 3750g, PB 50 cm AS 8/9 FT AGA Pukul 02.35 Plasenta lahir lengkap Bp : 500g, PTP : 39 cm, : 18 x 18 cm Dilakukan eksplorasi, portio intak dan tidak dijumpai perluasaan luka episiotomy. Luka episiotomy dijahit secara jelujur subkutikular dengan chromic catgut KU ibu post partum baik, perdarahan (-)

2.8

Follow Up Post Partum Tanggal/Pukul Follow Up

13-06-13/ Pukul S: habis melahirkan dengan tekanan darah tinggi 06.00 WIB O: KU : sedang TD : 150/90 HR : 80x/ m RR : 22 x/m T : Afebris

Periksa Luar: TFU 3 jari dibawah processus xipoideus, kontraksi baik, perdarahan aktif (-), vulva tenang, lokia rubra (+) Hasil lab Post Partum HB: 11,2 gr/dl, Leukosit: 20.900 u/ml, Trombosit: 102.000u/ml A: G3P0 post partum dengan EF ai PEB P : IVFD RL gtt xx/ m Inj MgSO4 40% IM Nifedipin tab 3x1 Cepalosporin tab 3x1 Vit B complex 2z1

BAB III TINJAUAN PUSTAKA

3.1. Hipertensi Dalam Kehamilan 3.1.1. Definisi Menurut American College Obstetric and Gynaecologist (ACOG). Hipertensi adalah suatu keadaan dengan tekanan darah diastolik minimal 90 mmHg atau tekanan sistolik minimal 140 mmHg atau kenaikan tekanan diastolik minimal 15 mmHg atau kenaikan tekanan sistolik minimal 30 mmHg. Tekanan darah harus diukur 2 kali dengan selang waktu 6 jam.2 Beberapa definisi yang berhubungan dengan hipertensi dalam kehamilan adalah sebagai berikut :2,7,8 Preeklampsia adalah suatu keadaan hipertensi yang disertai proteinuria, edema, atau keduanya (trias) yang terjadi akibat kehamilan di atas 20 minggu dan paling sering mendekati aterm dan dapat timbul sebelum kehamilan 20 minggu bila terjadi penyakit trofoblas. Eklampsia adalah keadaan terjadinya kejang-kejang pada wanita dengan kriteria klinis preeklampsia yang bukan disebabkan penyakit neurologi seperti epilepsi. Superimposed preeklampsia adalah suatu keadaan preeklampsia-eklampsia yang terjadi pada wanita yang sebelumnya telah menderita hipertensi vaskuler kronis atau penyakit ginjal. Hipertensi kronis adalah keadaan hipertensi yang menetap dengan penyebab apapun yang sudah diderita sebelum konsepsi atau sebelum kehamilan 20 minggu atau menetap selama 6 minggu post partum. Transient hipertensi yaitu timbulnya hipertensi dalam kehamilan sesudah trimester II atau dalam 24 jam pertama post partum tanpa ada tanda-tanda hipertensi kronis atau preeklampsia-eklampsia dan gejala ini akan hilang setelah 10 hari post partum.

3.1.2. Insiden Spellacy dkk, melaporkan bahwa pada wanita > 40 tahun insiden hipertensi meningkat 3 kali lipat dibandingkan dengan wanita usia 20-30 tahun. Hansen melaporkan peningkatan insiden preeklampsia sebesar 2-3 kali pada nullipara yang berusia di atas 40 tahun bila dibandingkan dengan usia 25-29 tahun. Secara umum insiden preeklampsia 5%

dari seluruh kehamilan, hampir 70% diantaranya adalah nullipara. Hampir 20% nullipara menderita hipertensi sebelum, selama persalinan, dan masa nifas jika dibandingkan dengan multipara sebesar 7%. Menurut Cunningham dan Leveno di RS Parkland selama tahun 1986 ditemukan insiden hipertensi sebesar 18% pada ras kulit putih, 20% hispanik, dan 22% ras kulit hitam. Insiden hipertensi dalam kehamilan pada multipara adalah 6,2% pada kulit putih, 6,6% pada hispanik, dan 8,5% pada ras kulit hitam.2

3.1.3. Klasifikasi Hipertensi dalam kehamilan dapat diklasifikasikan sebagai berikut :2 1. Hipertensi karena kehamilan dan sembuh setelah persalinan. a. Hipertensi tanpa proteinuria atau edema patologis. b. Preeklampsia dengan proteinuria dan atau edema patologik. i. Preeklampsia berat. ii. Preeklampsia ringan. c. Eklampsia yaitu proteinuria dan atau edema patologik disertai kejang. 2. Hipertensi yang sudah ada sebelumnya dan diperberat oleh kehamilan. a. Superimposed preeklampsia. b. Superimposed eklampsia. 3. Hipertensi bersamaan dengan kehamilan, yaitu hipertensi kronis yang sudah ada sebelum kehamilan atau menetap setelah persalinan.

3.2. Preeklampsia 3.2.1. Definisi Preeklampsia Preeklampsia merupakan sindrom spesifik kehamilan berupa berkurangnya perfusi organ akibat vasospasme dan aktivasi endotel, yang ditandai dengan peningkatan tekanan darah dan proteinuria.2 Preeklampsia terjadi pada umur kehamilan diatas 20 minggu, paling banyak terlihat pada umur kehamilan 37 minggu, tetapi dapat juga timbul kapan saja pada pertengahan kehamilan. Preeklampsia dapat berkembang dari preeklampsia yang ringan sampai preeklampsia yang berat (George, 2007).2

3.2.2. Epidemiologi Preeklampsia Frekuensi preeklampsia untuk tiap negara berbeda-beda karena banyak faktor yang mempengaruhinya, jumlah primigravida, keadaan sosial ekonomi, perbedaan kriteria dalam penentuan diagnosis dan lain-lain.9 Di Indonesia frekuensi kejadian preeklampsia sekitar 3-10% (Triatmojo, 2003). Sedangkan di Amerika Serikat dilaporkan bahwa kejadian preeklampsia sebanyak 5% dari semua kehamilan (23,6 kasus per 1.000 kelahiran) (Dawn C Jung, 2007). Pada primigravida frekuensi preeklampsia lebih tinggi bila dibandingkan dengan multigravida, terutama primigravida muda. Sudinaya (2000) mendapatkan angka kejadian preeklampsia dan eklampsia di RSU Tarakan Kalimantan Timur sebesar 74 kasus (5,1%) dari 1.431 persalinan selama periode 1 Januari 2000 sampai 31 Desember 2000, dengan preeklampsia sebesar 61 kasus (4,2%) dan eklampsia 13 kasus (0,9%). Di samping itu, preeklampsia juga dipengaruhi oleh paritas. Surjadi dkk, mendapatkan angka kejadian dari 30 sampel pasien preeklampsia di RSU Dr. Hasan Sadikin Bandung paling banyak terjadi pada ibu dengan paritas 1-3 yaitu sebanyak 19 kasus dan juga paling banyak terjadi pada usia kehamilan diatas 37 minggu yaitu sebanyak 18 kasus. Peningkatan kejadian preeklampsia pada usia > 35 tahun mungkin disebabkan karena adanya hipertensi kronik yang tidak terdiagnosis dengan superimposed PIH (Deborah E Campbell, 2006).10,11

3.2.3. Faktor Risiko Preeklampsia Walaupun belum ada teori yang pasti berkaitan dengan penyebab terjadinya preeklampsia, tetapi beberapa penelitian menyimpulkan sejumlah faktor yang mempengaruhi terjadinya preeklampsia. Faktor risiko tersebut meliputi :12,13 1) Riwayat preeklampsia. Seseorang yang mempunyai riwayat preeklampsia atau riwayat keluarga dengan preeklampsia maka akan meningkatkan resiko terjadinya preeklampsia. 2) Primigravida, karena pada primigravida pembentukan antibodi penghambat (blocking antibodies) belum sempurna sehingga meningkatkan resiko terjadinya preeklampsia. Perkembangan preklamsia semakin meningkat pada umur kehamilan pertama dan kehamilan dengan umur yang ekstrem, seperti terlalu muda atau terlalu tua. 3) Kegemukan 4) Kehamilan ganda. Preeklampsia lebih sering terjadi pada wanita yang mempuyai bayi kembar atau lebih. 5) Riwayat penyakit tertentu. Wanita yang mempunyai riwayat penyakit tertentu sebelumnya, memiliki risiko terjadinya preeklampsia. Penyakit tersebut meliputi

hipertensi kronik, diabetes, penyakit ginjal atau penyakit degenerati seperti reumatik arthritis atau lupus.

3.2.4. Etiologi Preeklampsia Penyebab preeklampsia sampai saat ini masih belum diketahui secara pasti, sehingga penyakit ini disebut dengan The Diseases of Theories. Beberapa faktor yang berkaitan dengan terjadinya preeklampsia adalah:14 a. Faktor Trofoblast Semakin banyak jumlah trofoblast semakin besar kemungkina terjadinya Preeklampsia. Ini terlihat pada kehamilan Gemeli dan Molahidatidosa. Teori ini didukung pula dengan adanya kenyataan bahwa keadaan preeklampsia membaik setelah plasenta lahir. b. Faktor Imunologik Preeklampsia sering terjadi pada kehamilan pertama dan jarang timbul lagi pada kehamilan berikutnya. Secara Imunologik dan diterangkan bahwa pada kehamilan pertama pembentukan Blocking Antibodies terhadap antigen plasenta tidak sempurna, sehingga timbul respons imun yang tidak menguntungkan terhadap Histikompatibilitas Plasenta. Pada kehamilan berikutnya, pembentukan Blocking Antibodies akan lebih banyak akibat respos imunitas pada kehamilan sebelumnya, seperti respons imunisasi. Fierlie FM (1992) mendapatkan beberapa data yang mendukung adanya sistem imun pada penderita Preeklampsia-Eklampsia : a) Beberapa wanita dengan Preeklampsia-Eklampsia mempunyai komplek imun dalam serum. b) Beberapa studi juga mendapatkan adanya aktivasi system komplemen pada Preeklampsia-Eklampsia diikuti dengan proteinuri. c. Faktor Hormonal Penurunan hormon Progesteron menyebabkan penurunan Aldosteron antagonis, sehingga menimbulkan kenaikan relative Aldoteron yang menyebabkan retensi air dan natrium, sehingga terjadi Hipertensi dan Edema. d. Faktor Genetik Menurut Chesley dan Cooper (1986) bahwa Preeklampsia / eklampsia bersifat diturunkan melalui gen resesif tunggal.2 Beberapa bukti yang menunjukkan peran faktor genetic pada kejadian Preeklampsia-Eklampsia antara lain : a) Preeklampsia hanya terjadi pada manusia.

b) Terdapatnya kecendrungan meningkatnya frekwensi Preeklampsia-Eklampsia anak-anak dari ibu yang menderita Preeklampsia-Eklampsia.

pada

c) Kecendrungan meningkatnya frekwensi Preeklampsia-Eklampsia pada anak dan cucu ibu hamil dengan riwayat Preeklampsia-Eklampsia. e. Faktor Gizi Menurut Chesley (1978) bahwa faktor nutrisi yang kurang mengandung asam lemak essensial terutama asam Arachidonat sebagai precursor sintesis Prostaglandin akan menyebabkan Loss Angiotensin Refraktoriness yang memicu terjadinya preeklampsia. f. Peran Prostasiklin dan Tromboksan Pada Preeklampsia-Eklampsia didapatkan kerusakan pada endotel vaskuler, sehingga terjadi penurunan produksi prostasiklin (PGI 2) yang pada kehamilan normal meningkat, aktivasi penggumpalan dan fibrinolisis, yang kemudian akan diganti trombin dan plasmin. Trombin akan mengkonsumsi antitrombin III, sehingga terjadi deposit fibrin. Aktivasi trombosit menyebabkan pelepasan tromboksan (TXA2) dan serotonin, sehingga terjadi vasospasme dan kerusakan endotel.

3.2.5. Patofisiologi Preeklampsia Pada preeklampsia yang berat dan eklampsia dapat terjadi perburukan patologis pada sejumlah organ dan sistem yang kemungkinan diakibatkan oleh vasospasme dan iskemia. Wanita dengan hipertensi pada kehamilan dapat mengalami peningkatan respon terhadap berbagai substansi endogen (seperti prostaglandin, tromboxan) yang dapat menyebabkan vasospasme dan agregasi platelet. Penumpukan trombus dan pendarahan dapat

mempengaruhi sistem saraf pusat yang ditandai dengan sakit kepala dan defisit saraf lokal dan kejang. Nekrosis ginjal dapat menyebabkan penurunan laju filtrasi glomerulus dan proteinuria. Kerusakan hepar dari nekrosis hepatoseluler menyebabkan nyeri epigastrium dan peningkatan tes fungsi hati. Manifestasi terhadap kardiovaskuler meliputi penurunan volume intavaskular, meningkatnya cardiac output dan peningkatan tahanan pembuluh perifer.2 Peningkatan hemolisis microangiopati menyebabkan anemia dan trombositopeni. Infark plasenta dan obstruksi plasenta menyebabkan pertumbuhan janin terhambat bahkan kematian janin dalam rahim.2,15

Perubahan pada organ-organ :15 1) Perubahan kardiovaskuler. Gangguan fungsi kardiovaskuler yang parah sering terjadi pada preeklampsia dan eklamsia. Berbagai gangguan tersebut pada dasarnya berkaitan dengan peningkatan afterload jantung akibat hipertensi, preload jantung yang secara nyata dipengaruhi oleh berkurangnya secara patologis hipervolemia kehamilan atau yang secara iatrogenik ditingkatkan oleh larutan onkotik atau kristaloid intravena, dan aktivasi endotel disertai ekstravasasi ke dalam ruang ektravaskular terutama paru. 2) Metabolisme air dan elektrolit Hemokonsentrasi yang menyerupai preeklampsia dan eklamsia tidak diketahui penyebabnya. Jumlah air dan natrium dalam tubuh lebih banyak pada penderita preeklampsia dan eklamsia daripada pada wanita hamil biasa atau penderita dengan hipertensi kronik. Penderita preeklampsia tidak dapat mengeluarkan dengan sempurna air dan garam yang diberikan. Hal ini disebabkan oleh filtrasi glomerulus menurun, sedangkan penyerapan kembali tubulus tidak berubah. Elektrolit, kristaloid, dan protein tidak menunjukkan perubahan yang nyata pada preeklampsia. Konsentrasi kalium, natrium, dan klorida dalam serum biasanya dalam batas normal. 3) Mata Dapat dijumpai adanya edema retina dan spasme pembuluh darah. Selain itu dapat terjadi ablasio retina yang disebabkan oleh edema intra-okuler dan merupakan salah satu indikasi untuk melakukan terminasi kehamilan. Gejala lain yang menunjukan tanda preklamsia berat yang mengarah pada eklamsia adalah adanya skotoma, diplopia, dan ambliopia. Hal ini disebabkan oleh adanya perubahan preedaran darah dalam pusat penglihatan dikorteks serebri atau didalam retina. 4) Otak Pada penyakit yang belum berlanjut hanya ditemukan edema dan anemia pada korteks serebri, pada keadaan yang berlanjut dapat ditemukan perdarahan. 5) Uterus Aliran darah ke plasenta menurun dan menyebabkan gangguan pada plasenta, sehingga terjadi gangguan pertumbuhan janin dan karena kekurangan oksigen terjadi gawat janin. Pada preeklampsia dan eklamsia sering terjadi peningkatan tonus rahim dan kepekaan terhadap rangsangan, sehingga terjadi partus prematur. 6) Paru-paru

Kematian ibu pada preeklampsia dan eklamsia biasanya disebabkan oleh edema paru yang menimbulkan dekompensasi kordis. Bisa juga karena terjadinya aspirasi pneumonia, atau abses paru.

3.2.6. Diagnosis Preeklampsia Diagnosis preeklampsia dapat ditegakkan dari gambaran klinik dan pemeriksaan laboratorium. Dari hasil diagnosis, maka preeklampsia dapat diklasifikasikan menjadi 2 golongan yaitu :16 1) Preeklampsia ringan, bila disertai keadaan sebagai berikut: a) Tekanan darah 140/90 mmHg, atau kenaikan diastolik 15 mmHg atau lebih, atau kenaikan sistolik 30 mmHg atau lebih setelah 20 minggu kehamilan dengan riwayat tekanan darah normal. b) Proteinuria kuantitatif 0,3 gr perliter atau kualitatif 1+ atau 2+ pada urine kateter atau midstearm. 2) Preeklampsia berat, bila disertai keadaan sebagai berikut: a) Tekanan darah 160/110 mmHg atau lebih. b) Proteinuria 5 gr atau lebih perliter dalam 24 jam atau kualitatif 3+ atau 4+ c) Oligouri, yaitu jumlah urine kurang dari 500 cc per 24 jam. d) Adanya gangguan serebral, gangguan penglihatan, dan rasa nyeri di epigastrium. e) Terdapat edema paru dan sianosis f) Trombositopeni g) Gangguan fungsi hati h) Pertumbuhan janin terhambat (Lanak, 2004). 3.2.7. Penatalaksanaan Preeklampsia Berat Prinsip penatalaksanaan preeklamsia berat adalah mencegah timbulnya kejang, mengendalikan hipertensi guna mencegah perdarahan intrakranial serta kerusakan dari organorgan vital, pengelolaan cairan, dan saat yang tepat untuk persalinan.Perawatannya dapat meliputi :16 a. Perawatan aktif, yang berarti kehamilan segera diakhiri. Indikasi bila didapatkan satu atau lebih dari keadaan berikut ini 1) Ibu : a) Kehamilan lebih dari 37 minggu b) Adanya tanda-tanda terjadinya impending eklampsia c) Kegagalan terapi pada perawatan konservatif.

2) Janin : a) Adanya tanda-tanda gawat janin b) Adanya tanda-tanda pertumbuhan janin terhambat. 3) Laboratorium : Adanya sindroma HELLP . b. Pengobatan Medikamentosa 1) Pemberian obat : MgSO4 40% dalam larutan RL 500 cc (60-125 cc/jam) 2) Diet cukup protein, rendah karbohidrat, lemak dan garam. 3) Diuretikum diberikan bila ada edema paru, payah jantung kongestif, atau anasarka. Diuretikum yang dipakai adalah furosemid. 4) Pemberian antihipertensi apabila TD 160/110 mmHg. Anti hipertensi lini pertama adalah nifedipin dosis 10-20 mg per oral, diulangi setiap 30 menit, maksimum 120 mg dalam 24 jam. c. Pengelolaan Konservatif, yang berarti kehamilan tetap dipertahankan. Indikasi : Kehamilan kurang bulan (< 37 minggu) tanpa disertai tanda-tanda impending eklamsi dengan keadaan janin baik.

BAB IV ANALISIS KASUS


Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik didapatkan bahwa diagnosis kasus ini adalah G3P2A0 hamil aterm inpartu kala I fase laten dengan preeclampsia berat, janin tunggal hidup presentasi kepala. Suatu kehamilan dikatakan aterm jika kehamilan tersebut berusia 37-42 minggu. Untuk mengetahui usia kehamilan dapat dilakukan dengan mengukur tinggi fundus uteri, menggunakan rumus Naegle melalui hari pertama haid terakhir (HPHT), rumus McDonald (tinggi fundus uteri dikalikan 8 dan dibagikan 7 memberikan umur kehamilan dalam minggu), Quickening of life (persepsi gerakan janin pertama) dan pemeriksaan USG. Usia kehamilan penderita pada kasus ini ditentukan berdasarkan anamnesis yaitu penderita mengaku hamil cukup bulan dan pengukuran tinggi fundus uteri yang diketahui 3 jari bawah processus xiphoideus (36cm), menandakan bahwa kehamilan aterm. Inpartu adalah seorang wanita yang sedang dalam keadaan persalinan. Inpartu ditandai dengan keluarnya lendir bercampur darah (bloody show), serviks mulai membuka (dilatasi) dan mendatar (effacement) serta his yang mulai teratur. Lendir yang bersemu darah ini berasal dari lendir kanalis servikalis karena serviks mulai membuka atau mendatar, sedangkan darahnya berasal dari pembuluh-pembuluh kapiler yang berada di sekitar kanalis servikalis itu pecah karena pergeseran-pergeseran ketika serviks membuka. Partus dibagi menjadi 4 kala yaitu kala I, kala II, kala III dan kala IV. Kala I atau kala pembukaan yaitu terjadinya pembukaan serviks sampai 10 cm. Kala II disebut juga kala pengeluaran karena berkat kekuatan his dan kekuatan mengedan janin didorong ke luar sampai lahir. Kala III atau kala uri adalah terlepasnya plasenta dari dinding uterus dan dilahirkan. Kala IV mulai dari lahirnya plasenta dan lamanya 1 jam. Proses membukanya serviks sebagai akibat his dibagi dalam 2 fase yaitu fase laten dan fase aktif. Fase laten berlangsung selama 6 jam dan pembukaan terjadi sangat lambat sampai mencapai ukuran diameter 3 cm. Fase aktif dibagi menjadi 3 fase yaitu fase akselerasi, fase dilatasi maksimal dan fase deselerasi. Pada fase akselerasi terjadi pembukaan 3 cm menjadi 4 cm dalam waktu 2 jam. Pada fase dilatasi maksimal terjadi pembukaan yang sangat cepat yaitu dari 4 cm menjadi 9 cm dalam waktu 2 jam. Pada fase deselerasi pembukaan menjadi lambat kembali yaitu dalam waktu 2 jam pembukaan dari 9 cm menjadi

lengkap. Pada kasus ini, penderita sudah inpartu karena sudah terdapat tanda-tanda inpartu yaitu keluarnya darah lendir, pembukaan dan pendataran serviks. Kala I fase laten karena pada pemeriksaan dalam pembukaan hanya 3 cm. Mekanisme pembukaan serviks berbeda antara primigravida dan multigravida. Pada primigravida ostium uteri internum (OUI) akan membuka lebih dahulu sehingga serviks akan mendatar dan menipis, kemudian ostium uteri eksternum (OUE) membuka. Pada multigravida OUI sudah sedikit terbuka, OUI dan OUE mengalami penipisan dan pendataran serviks dalam saat yang sama. Kala I selesai apabila pembukaan serviks uteri telah lengkap. Pada primigravida, kala I berlangsung 13-14 jam sedangkan pada multipara berlangsung 6-7 jam. Preeclampsia BeratDiagnosis partus kasep pada kasus ini sudah tepat karena persalinan sudah berlangsung lama dan tidak mengalami kemajuan (macet). Berdasarkan anamnesis dapat diketahui bahwa penderita sudah dipimpin mengedan oleh bidan selama + 1 jam, tetapi anak tidak lahir-lahir. Parturient dipasang infus serta disuntik, kemudian dipimpin mengejan, tetapi anak tetap tidak kunjung lahir. Parturient kemudian dirujuk ke RSMH. Berdasarkan teori, seharusnya pimpinan persalinan dilakukan pada kala II, yaitu pembukaan sudah lengkap (10 cm) dan tidak boleh lebih dari 2 jam pada primigravida dan 1 jam pada multigravida. Preeklampsia berat didiagnosis bila ditemukan gejala sebagai berikut: a) Tekanan darah 160/110 mmHg atau lebih, b) Proteinuria 5 gr atau lebih perliter dalam 24 jam atau kualitatif 3+ atau 4+, c) Oligouri, yaitu jumlah urine kurang dari 500 cc per 24 jam, 5) Adanya gangguan serebral, gangguan penglihatan, dan rasa nyeri di epigastrium, 6) Terdapat edema paru dan sianosis, 7) Trombositopeni, 8) Gangguan fungsi hati, 9) Pertumbuhan janin terhambat (Lanak, 2004). Berdasarkan pemeriksaan fisik, didapatkan tekanan darah tinggi pada pasien 160/100 mmHg, proteinuria +3, maka diagnosis pasien adalah preeklampsia berat. Penatalaksanaan pada kasus ini adalah Perawatan aktif, yang berarti kehamilan segera diakhiri. Indikasi pada ibu adalah kehamilan aterm. Pengobatan Medikamentosa yang dilakukan adalah stabilisasi TVI ibu selama 3 jam, lalu pemberian inj MgSO4 40% IM pada bokong kanan dan bokong kiri, yang dilanjutkan inj MgSO4 40% IM pada bokong kanan 6

jam kemudian, boking kiri 6 jam kemudian, dan bokong kanan 6 jam kemudian untuk menghindari timbulnya kejang. Diberikan anti hipertensi lini pertama, yaitu nifedipin dosis 10 mg per oral, diulangi setiap 30 menit, maksimum 120 mg dalam 24 jam. Pada pasien dilakukan akselerasi dengan pemberian IVFD Rl dengan drip occitocin. Rencana persalinan per vaginam dengan ekstraksi forceps dilakukan untuk menghindari ibu mengejan, sehingga tidak memperburuk keadaan ibu selama kala II.

BAB V KESIMPULAN

Diagnosis pada kasus ini ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan laboratorium, yaitu G3P2A0 hamil aterm inpartu kala I fase laten dengan PEB + JTH preskep. Penatalaksanaan dilakukan untuk menghindari kejang dan menurunkan tekanan darha. Karena kehamilan OS sudah aterm maka dilakukan perawatan aktif untuk melahirkan anaknya dengan ekstraksi forceps.

You might also like