Professional Documents
Culture Documents
1. PENDAHULUAN
besar dan kecil dengan panjang garis pantainya ± 95.181 km. Luas daratan
Indonesia sekitar 1,93 juta km2 sementara luas laut Indonesia sekitar 3,1 juta
km2. Salah satu ekosistem yang sangat erat kaitannya dengan perairan Pantai
atas flora dan fauna daerah pantai, yang terletak di antara batas air pasang dan air
surut. Ekosistem ini berperan dalam melindungi pantai dari erosi, gelombang laut
dan angin topan. Hutan mangrove berperan juga sebagai buffer (perisai alam)
untuk menstabilkan tanah dan memerangkap bahan endapan dari darat yang
terbawa arus sungai. Hutan mangrove tumbuh subur di aliran sungai yang besar
dengan muara yang lebar. Pantai yang tidak ada sungainya, daerah mangrovenya
sempit. Hutan mangrove mempunyai toleransi yang tinggi terhadap kadar garam
tanaman lainnya tidak dapat tumbuh. Hutan mangrove sebagai salah satu
ekosistem yang sangat unik, merupakan sumber daya alam yang sangat potensial.
1
Di Indonesia, hutan mangrove yang luasnya sekitar 4.25 juta ha (Departemen
Kehutanan, 1982), atau kurang lebih 25% luas hutan mangrove di dunia, dan
mendukung keanekaeagaman flora dan fauna dari komunitas terestis akuatik, dan
tidak berlandaskan asas kelestarian serta oleh kegiatan eksploitasi yang tidak
menyusutnya luas hutan mangrove Indonesia Indonesia yaitu tinggal sekitar 4.25
juta ha (Departemen Kehutanan, 1982). Bahkan menurut PHPA dan AWB (1987)
yang digunakan untuk kayu bakar maupun konversi lahan mangrove yang
dijadikan untuk lahan pertanian, pertambakan dan permukiman. Maka dari itu,
bagi manusia maupun makhluk hidup lainnya maka penulis tertarik untuk
2
mengambil judul “Studi Vegetasi Mangrove di Pulau Dua, Teluk Banten-
1.2 Tujuan
jumlah dari vegetasi mangrove yang ada di Pulau Dua Teluk Banten Kabupaten
yang terdapat di Pulau Dua, Teluk Banten Kabupaten Serang Provinsi Banten
Jenis, Penutupan Relatif Jenis dan Nilai Penting Jenis vegetasi mangrove baik
3
2. Tinjauan Pustaka
Istilah ‘mangrove’ tidak diketahui secara pasti asal usulnya. Ada yang
bahasa Portugis dan Inggris. Bangsa Portugis menyebut salah satu jenis pohon
mangrove sebagai ‘mangue’ dan istilah Inggris ‘grove’, bila disatukan akan
menjadi ‘mangrove’ atau ‘mangrave’. Ada kemungkinan pula berasal dari bahasa
Malay, yang menyebut jenis tanaman ini dengan ‘mangi-mangi’ atau ‘mangin’.
antara laut dan daratan yang dipengaruhi oleh pasang surut. Habitat mangrove
seringkali ditemukan di tempat pertemuan antara muara sungai dan air laut yang
kemudian menjadi pelindung daratan dari gelombang laut yang besar. Sungai
mengalirkan air tawar untuk mangrove dan pada saat pasang, pohon mangrove
Tanaman dikotil adalah tumbuhan yang buahnya berbiji berbelah dua. Pohon
mangga adalah contoh pohon dikotil dan contoh tanaman monokotil adalah
pohon kelapa. Kelompok pohon di daerah mangrove bisa terdiri atas suatu jenis
pohon tertentu saja atau sekumpulan komunitas pepohonan yang dapat hidup di
air asin. Hutan mangrove biasa ditemukan di sepanjang pantai daerah tropis dan
4
Gambar. 1. Penyebaran Mangrove di daerah Tropis, Irwanto,1999.
tanaman tropis yang bersifat halophytic atau toleran terhadap garam. Tanaman
yang mampu tumbuh di tanah basah lunak, habitat air laut dan terkena fluktuasi
masih berada pada pohon induknya. Istilah “bakau” adalah sebutan bagi jenis
utama pohon Rhizophora sp. yang dominan hidup di habitat pantai. Walaupun
tidak sama dengan istilah mangrove banyak orang atau penduduk awam
menyebut hutan mangrove sebagai hutan bakau atau secara singkat disebut bakau
(Irwanto. 2006).
sedikit 47 jenis pohon, 5 jenis semak, 9 jenis herba/rumput, 9 jenis liana, 29 jenis
epifit dan 2 jenis parasit (Yayasan Mangrove, 1993). Menurut Sukardjo (1996),
5
jenis mangrove tersebut ada pada setiap tipe komunitas mangrove, menyatakan
pohon dan selebihnya berupa terna (5 jenis), perdu (9 jenis), liana (9 jenis), epifit
Menurut Noor et al., (1999), tipe vegetasi mangrove terbagi atas empat
dengan laut.
terbuka.
terdapat zonasi penguasaan oleh jenis-jenis mangrove yang berbeda. Dari arah
laut menuju ke daratan terdapat pergantian jenis mangrove yang secara dominan
karena terganggu, atau berada pada derah pantai yang sempit, tidak menunjukkan
6
terhadap salinitas, pasang-surut dan keadaan tanah. Kondisi tanah mempunyai
seperti perbedaan spesies kepiting pada kondisi tanah yang berbeda. Api-api dan
berlumpur dan kaya humus sedangkan jenis tancang menyukai tanah lempung
dengan sedikit bahan organik. Keadaan morfologi tanaman, daya apung dan cara
penyebaran bibitnya serta persaingan antar spesies, merupakan faktor lain dalam
mangrove biasanya didahului oleh jenis pohon pedada dan api-api sebagai pionir
yang memagari daratan dari kondisi laut dan angin. Jenis-jenis ini mampu hidup
di tempat yang biasa terendam air waktu pasang karena mempunyai akar pasak.
Pada daerah berikutnya yang lebih mengarah ke daratan banyak ditumbuhi jenis
bakau (Rhizophora spp.). Daerah ini tidak selalu terendam air, hanya kedang-
kadang saja terendam air. Pohon tancang tumbuh di daerah berikutnya makin
menjauhi laut, ke arah daratan. Daerah ini tanahnya agak keras karena hanya
sesekali terendam air yaitu pada saat pasang yang besar dan permukaan laut lebih
7
2.4 Fungsi dan Manfaat Mangrove
hidup manusia sebagai penyedia bahan pangan, papan dan kesehatan. Fungsi
a. Menjaga garis pantai agar tetap stabil dan kokoh dari abrasi air laut
b. Melindungi pantai dan tebing sungai dari proses erosi atau abrasi serta
menahan atau menyerap tiupan angin kencang dari laut ke darat pada malam
hari
d. Sebagai kawasan penyangga proses intrusi atau rembesan air laut ke danau,
laut.
c. Sebagai habitat alami bagi berbagai jenis biota darat dan laut
8
berperan sebagai sumber makanan bagi hewan yang lebih besar
b. Penghasil bibit ikan, udang, kerang dan kepiting, telur burung serta madu
c. Penghasil kayu bakar, arang serta kayu untuk bangunan dan perabot rumah
tangga.
9
2.5 Jenis – Jenis Mangrove
telah dikenali sebanyak sampai dengan 24 famili dan antara 54 sampai dengan 75
spesies, tentunya tergantung kepada pakar mangrove yang mana pertanyaan kita
tujukan.
Ada yang menyatakan bahwa Asia merupakan daerah yang paling tinggi
mangrove, atau paling tidak menurut FAO terdapat sebanyak 37 jenis. Dari
berbagai jenis mangrovetersebut, yang hidup di daerah pasang surut, tahan air
garam dan berbuah vivipar terdapat sekitar 12 famili.Dari sekian banyak jenis
adalah jenis api-api (Avicennia sp.), bakau (Rhizophora sp.), tancang (Bruguiera
sp.), dan bogem atau pedada (Sonneratia sp.), merupakan tumbuhan mangrove
habitatnya.
Pohon ini disebut juga dengan bakau besar, bakau genjah, tinjang, slindur,
bakau merah, bakau akik atau bakau kurap, tergantung spesiesnya. Di dunia
10
kemerahan terutama bila basah. Pohon ini dapat tumbuh hingga 25 m. Termasuk
dalam famili Rhizophoraceae. Pohon ini banyak terlihat sebagai pohon kecil yang
tumbuh di air laut. Dapat tumbuh dengan toleransi yang cukup terhadap kadar
garam mulai dari yang tawar sampai kadar yang tinggi. Disebut sebagai pohon
yang facultative halophyte yang artinya dapat tumbuh di air asin tetapi tidak
terbatas hanya di habitat yang demikian saja. Pohon kecil yang dapat dijumpai
tumbuh sendiri di tempat dangkal berair seringkali adalah jenis bakau ini. Spesies
bakau jenis ini antara lain adalah Rhizopora mucronata, Rhizopora stylosa, dan
ketinggian 5 m dan kadang-kadang memiliki akar udara yang keluar dari cabang.
11
2.5.2 Api-api (Avicennia sp.)
sebagai black mangrove. Pohon jenis ini mempunyai toleransi yang tinggi
garam melalui pori-pori daunnya yang akan terbawa oleh hujan dan angin.
Seringkali garam terlihat sebagai lapisan kristal putih di bagian permukaan atas
daun.
Pohon jenis juga bersifat toleran terhadap air berkadar garam tinggi, dapat juga
menahan lumpur dari pasir dan hempasan ombak. Oleh karenanya merupakan
juga jenis bakau yang dapat menstabilkan pantai, mencegah erosi, dan memberi
horizontal dan akar nafas yang rumit. Akar nafas biasanya tipis, berbentuk jari
(atau seperti asparagus) yang ditutupi oleh lentisel. Kulit kayu luar berwarna
yang lain kadang-kadang memiliki permukaan yang halus. Pada bagian batang
12
Gambar 5. Avicennia sp, Onrizal, 2007.
Jenis pohon ini disebut juga lindur. Tancang termasuk juga dalam famili
Rhizoporaceae. Tumbuh subur di lokasi yang kering, pada tanah yang dialiri air
tawar, tetapi dapat tumbuh pula di tanah lumpur. Tingginya sekitar 15 m, tetapi
tancang termasuk yang usianya panjang diantara jenis-jenis bakau yang lainnya.
Warna kulit pohon ini abu-abu, gelap, dan permukaannya kasar. Kulit batang
pohonnya mengeluarkan bau khas yang tidak disukai ikan, sehingga bisa dipakai
untuk mengusir ikan. Jenis ini mulai jarang ditemukan. Beberapa jenis ini adalah
Deskripsi umum : Berupa semai atau pohon kecil yang selalu hijau, tinggi
hingga coklat tua, bercelah, dan agak membengkak di bagian pangkal pohon.
13
Gambar 6. Bruguiera sp, Onrizal, 2007.
Dalam bahasa lokal jenis bakau ini disebut juga bogem atau prapat.
Menempati bagian pantai paling depan di sisi laut. Tumbuh di tanah berlumpur
dan berpasir. Kulit batang berwarna abu-abu atau kecoklatan, permukaan kulit
kasar, dan retak-retak. Pada pohon muda, kulit batangnya dilapisi semacam
lapisan lilin untuk mengurangi penguapan air dari jaringannya. Bila dipangkas
dibatasi. Pohon pedada ini disukai bekantan yang memakan daunnya. Beberapa
spesies jenis pohon ini antara lain adalah : Sonneratia alba, Sonneratia
kadang hingga 15 m. Kulit kayu berwarna putih tua hingga coklat, dengan celah
longitudinal yang halus. Akar berbentuk kabel di bawah tanah dan muncul ke
14
permukaan sebagai akar nafas yang berbentuk kerucut tumpul dan tingginya
kayu halus, daunnya berwarna hijau gelap berbentuk elips dengan pangkal daun
menyatu dengan batang, bunga berukuran kecil dan berwarna putih susu hingga
putih kehijauan. Buahnya berbentuk bulat sangat besar dengan kisaran diameter
coklat, mempunyai akar papan berbentuk seperti pita yang memanjang dan
15
Gambar 8. Xilocarpus sp, Onrizal, 2007.
Dalam bahasa lokal jenis bakau ini disebut dengan Tengar. Termasuk dalam
Pohon seringkali memiliki akar tunjang yang kecil, daunnya berwarna hijau
kelopak yang melengkung. Membentuk belukar yang rapat pada pinggir daratan
dari hutan pasang surut atau pada areal yang tergenang oleh pasang tinggi dengan
16
Gambar 9. Ceriops sp, Onrizal, 2007.
2.6.1 Suhu
yang baik untuk kehidupan mangrove tidak kurang dari 20 ºC, sedangkan kisaran
musiman suhu tidak melebihi 5 ºC. Suhu yang tinggi (>40 ºC) cenderung tidak
2.6.2 Salinitas
17
biokimiawi perairan, misalnya proses nitrifikasi akan berakhir jika pH rendah
Effendi (2003).
berlumpur ini sangat baik untuk tegakan Rhizopora mucronata dan Avicennia
marina. Menurut Bengen (1999), daerah yang paling dekat dengan substrat agak
berpasir, sering ditumbuhi oleh Avicennia sp. Pada zona ini biasa berasosiasi
Sonneratia spp, yang dominan tumbuh pada lumpur dalam yang kaya bahan
mangrove di Indonesia turun dari 5,21 juta hektar antara tahun 1982 – 1987,
menjadi 3,24 hektar, dan makin menyusut menjadi 2,5 juta hektar pada tahun
atas tidak sama antar peneliti. Khazali (1999), menyebut angka 3,5 juta hektar,
sedangkan Lawrence (1998), menyebut kisaran antara 3,24 – 3,73 juta hektar.
18
ditebang ini tidak lagi berfungsi sebagai daerah
misalnya pada lebih toleran terhadap air yang menjadi lebih asin;
19
• • Intrusi garam melalui saluran-saluran alam yang
bertahankan
mangrove
Pembuangan • • Penurunan kandungan oksigen terlarut dalah air
sampah cair air, bahkan dapat terjadi keadaan anoksik dalam air
dekomposisi anaerobik.
Pembuangan • • Kemungkinan terlapisnya pneumatofora dengan
pohon-pohon mangrove.
pembuangan sampah.
• • Pencemaran • • Kematian pohon-pohon mangrove akibat
20
minyak dalam musnahnya daerah asuhan (nursery ground) bagi
jumlah besar. larva dan bentuk-bentuk juvenil ikan dan udang yang
gundul, merupakan salah satu upaya rehabilitasi yang bertujuan bukan saja untuk
seperti ini menjadi salah satu andalan kegiatan rehabilitasi di beberapa kawasan
hutan mangrove yang telah ditebas dan di alihkan fungsinya kepada kegiatan lain.
Kegiatan rehabilitasi hutan mangrove ini telah di rintis sejak tahun 1960 di
kawasan pantai utara Pulau Jawa. Sekitar 20.000 ha hutan mangrove yang rusak
menggunakan tanaman utama Rhizopora spp dan Avicenia spp. Dengan persen
Soerianegara, 1989). Hal serupa juga dilakukan pada sekitar 105ha hutan
21
Pelestarian hutan mangrove merupakan salah satu usaha yang sangat
sifat akomodatif terhadap segenap pihak baik berada disekitar kawasan maupun
di luar kawasan. Pada dasarnya kegiatan ini dilakukan demi memenuhi kebutuhan
dari berbagai kepentingan. Namun demikian, sifat akomodatif ini akan lebih
sebagai komponen utama penggerak pelestarian hutan mangrove. Oleh karena itu,
hutan mangrove oleh masyarakat tergantung dari kebutuhan dan jenis maka
pencaharian yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri. Pemanfaatan untuk kayu
bakar, misalnya, apabila dipakai sendiri berkisar antara 0,5 m 3- 1,5m3 perhari.
Tetapi apabila kayu mangrove tersebut akan di jual, maka masyarakat akan
mengambil lebih banyak lagi, yaitu sekitar 5-12 m3 perhari (LPPM, 1998).
22
4. Masyarakat lebih senang menanam tanaman pangan daripada
3. Metodologi
23
Serang, pengamatan Mangrove dilaksanakan di Pulau dua daerah perairan teluk
Banten
A. Alat
Alat dan bahan yang digunakan selama melakukan praktek keahlian dapat
1 2 3 4
1. Tali Tambang Pembuatan Transek line Panjang 100 m
ketelitian 1 m
2. Meteran Pengukuran luas areal mangrove Panjang 100 cm
Ketelitian 0,5 cm
3. Patok Kayu Pengikat Transek line -
megapixel
6. Scientific calculator Menghitung analisa data vegetasi fx 3600
mangrove
1 2 3 4
7. Gunting, pisau Memotong ranting mangrove Contoh daun,
lokasi
9. Buku Identifikasi Identifikasi jenis mangrove Mangrove yang
ada
10 Refraktometer Pengukuran salinitas Ketelitian 1o /oo
11. Termometer Pengukuran suhu air dari tiap plot Ketelitian 1o C
24
12. Kertas lakmus Pengukuran derajat keasaman Ketelitian 1
B. Bahan
Bahan dari kegiatan praktek ini yaitu komunitas mangrove yang ada di
Pulau Dua
3.3. Metode
1. Survey
2. Studi Literatur
data yang telah diperoleh melalui teori-teori yang mendasari yang terdapat
dalam buku-buku literatur tersebut dan yang terkait dengan topik dan
tujuan praktek.
wilayah kajian, dan juga harus dapat mengindikasikan atau mewakili setiap zona
hutan mangrove yang terdapat di wilayah kajian. Pada setiap lokasi ditentukan
25
3.3.2.2 . Menentukan Jalur Transek yang akan dibuat.
Jalur dibuat dengan menarik jalur transek dengan tali tambang/ plastik
dengan arah tegak lurus dari arah laut ke arah darat sepanjang adanya mangrove.
Jalur transek yang dibuat harus mewakili wilayah kajian, dan juga harus dapat
wilayah kajian.
terlebih dahulu, setelah jalur dibuat, maka tentukan petak/ plot 2 x 2 m untuk
Semai : Permudaan mulai dari kecambah sampai dengan tinggi < 1,5 m, dihitung
Sepihan/ Pancang : Permudaan dengan tinggi ≥ 1,5 m sampai dengan diameter <
Tiang : Pohon- pohon muda yang mempunyai diameter 5- 10 cm. Pohon muda
pada tingkat. Ini dihitung jumlah dan diameternya pada petak ukuran 10 x 10 m.
26
Pohon : Pohon dengan diameter ≥ 10 cm. Pohon pada tingkat ini diukur jumlah
dan diameternya untuk setiap jenis pada petak ukur dengan ukuran 20 x 20 m.
Diameter adalah panjang titik tunas yang melalui titik pusat lingkaran dan
Diameter (D) = K/ π
Keterangan : π = 3,14
K = Keliling Pohon
mangrove yang ada, hitung jumlah individu tiap jenis, dan ukuran lingkaran
batang setiap pohon, mangrove pada setinggi dada 1,3 m (Saraswati, 2003).
27
diameter pohon yang telah dicatat pada table “Tally Sheet Mangrove”, diolah
lebih lanjut untuk memperoleh data kerapatan jenis, frekuensi jenis, luas area
penutupan, dan nilai penting masing-masing jenis. Melakukan tabulasi data dan
sortasi data sesuai dengan judul praktek akhir dan disajikan dalam bentuk gambar
1. Kerapatan Jenis (Di) adalah jumlah tegakan jenis i dalam satu unit area:
Di = ni / A
Dimana :
Di = Kerapatan Jenis i
contoh/plot).
Dimana :
28
3. Frekuensi Jenis (Fi) adalah peluang ditemukannya jenis i dalam petak/contoh
yang diamati:
Fi = pi /∑p
Dimana :
Fi = Frekuensi Jenis i
4. Frekuensi Relatif Jenis (RFi) adalah perbandingan antara frekuensi jenis i (Fi)
Dimana :
Fi = Frekuensi jenis i
5. Penutupan Jenis (Ci) adalah luas penutupan jenis i dalam suatu unit area:
29
Ci = ∑BA/A
Dimana :
6. Penutupan Relatif Jenis (RCi) adalah perbandingan antara luas area penutupan
jenis i (Ci) dan luas total area penutupan untuk seluruh jenis (∑C):
Dimana :
30
Nilai Penting suatu jenis berkisar antara 0 - 300. Nilai penting jenis ini
8. Indek Keanekaragaman
Indeks Shanon Weiner dalam Cahyo (2007) yang rumusnya sebagai berikut:
H' = - ∑ pi log pi
Dimana :
Pi = ni/ N
ni = Jumlah jenis
31
Keanekaragaman Sebutan Kategori Skala
Jenis (H’)
>3,5 Sangat mantap Sangat baik 5
9. Indek keseragaman
tiap jenis yang mendominasi populasi, yaitu dengan cara membandingkan Indeks
Indeks Keseragaman, dengan rumus menurut Brower dan Zar (1989) dalam
H'
E=
H maks
H'
E=
H maks
32
Dimana :
E = Indek keseragaman
H = Log x
33
4. Keadaan Umum Lokasi Praktek
A.Keadaan Geografis
melalui Undang – Undang No. 33 Tahun 2000. Banten merupakan wilayah yang
sangat strategis mengingat letak daerahnya berbatasan dengan Ibu kota negara
dan juga sebagai jembatan gerbang antara Jawa dan Sumatera. Luas wilayah
Banten hanya 8.561 km2, namun memiliki potensi sumberdaya yang cukup besar
Sejumlah 7,8 juta jiwa penduduk mendiami wilayah di Banten, yang merupakan
termasuk pulau – pulau kecil yang terdapat di Banten) yang membentang dari
di Propinsi – propinsi lainnnya yang ada di pulau jawa, hal ini dapat dilihat dari
jumlah dan kapasitas TPI yang ada terdapat sekarang. Secara geografis
Kabupaten Serang berada pada kordinat 106˚ 03' 20" - 106˚ 11' 00" Bujur Timur
34
dan 05˚ 49' 45" - 06˚ 02' 00" Lintang Selatan. Wilayah perairan suatu daerah
tawar, dan laut. Menurut catatan statistik perikanan tingkat nasional propinsi
Banten mempunyai hasil produksi dari perikanan sekitar 4,58 juta ton, dimana
sekitar 78,9 % berasal dari sektor penangkapan di laut, 6,6 % dari perairan
umum, 8,1 %dari budidaya air payau, 0,6 % dari karamba, dan 5,8 % dari
budidaya air tawar. Dari data statistik tersebut tampak bahwa potensi perikanan
yang berasal dari budidaya air laut tampak masih relatif kecil.
35
( Sumber : www.googleearth.com )
Keterangan :
O : Daerah pengamatan
Banten yang ditetapkan sebagai cagar alam tahun 1931 oleh pemerintah
Menurut masyarakat setempat, dahulu Pulau Dua tidak menyatu dengan pulau
Jawa yang disebabkan sedimentasi, pulau tersebut saat ini telah menyatu
Letak geografis : 106º11’26”-106º 11’ 44” BT dan 06º 00’ 23”-06º01’ 07” LS
36
5. Hasil dan Pembahasan
ditemukan 6 (enam) jenis vegetasi mangrove di Pulau Dua, Teluk Banten. Jenis
Dari hasil pengamatan yang telah dilaksanakan di Pulau Dua Teluk Banten
Bruguiera excaristata dari jenis mangrove yang tumbuh di pulau dua yang paling
dominan adalah Avicennia lanata dan Rizophora apiculata. Selain itu terdapat
37
keberadaan mangrove ikutan yang terdapat dalam plot antara lain adalah jenis
tingkat pohon yaitu jenis Avicenia lanata dengan jumlah sebanyak 24 tegakan
dari hasil pengamatan untuk jenis vegetasi mangrove pada tingkat pohon yang
apiculata.
Hasil analisa untuk kerapatan relatif jenis (RDi) dapat dilihat pada
38
Rhizophora apiculata 24,38 %, Rhizopora mucronata 9,75% dan Bruguirea
excaristata 4,87%
Untuk hasil analisa frekuensi relatif jenis (RFi) pada tingkat pohon
Persentase frekuensi relatif jenis (RFi) yang dapat dilihat pada Gambar 6, yaitu
sebagai berikut, untuk jenis Avicennia lanata adalah 60,25 %, Avicenia marina
Hasil analisa Penutupan jenis (Ci) pada tingkat pohon dari keseluruhan
plot dapat dilihat pada Lampiran, diketahui luas tutupan vegetasi mangrove di
39
lokasi pengamatan yaitu untuk Avicennia lanata dengan luas tutupan 430,97
m²/ha, Avicenia marina dengan luas tutupan 13,73 m²/ha, Rhizopora apiculata
dengan luas tutupan 118,7 m²/ha, Bruguiera excaristata dengan luas tutupan
66,77 m²/ha dan Rhizopora mucronata 96,53 m²/ha dengan luas tutupan.
persentasenya adalah Avicenia lanata sebesar 59,31 % atau 430,97 m²/ha. Jenis
mangrove Avicenia marina merupakan jenis yang paling kecil dengan persentase
Hasil analisa jenis vegetasi mangrove pada tingkat tiang yang terdapat di
Pulau Dua, Teluk Banten dapat diketahui dari pengamatan dengan jumlah dari
40
Dari Tabel di atas menunjukan bahwa jenis mangrove pada tingkat tiang
yaitu jenis mangrove Avicenia lanata dengan jumlah 61 tegakan tiang, jenis
Hasil analisa kerapatan relatif jenis (RDi) pada tingkat tiang dapat dilihat
pada Lampiran, dan Gambar terlihat bahwa yang paling dominan adalah
1% Avicenia lanata
2%
9%
Rhizopora apiculata
42%
23%
Avicenia marina
Combretacea lumnitzera
racemosa
Untuk hasil analisa frekuensi relatif jenis (RFi) pada tingkat pohon
Persentase frekuensi relatif jenis (RFi) yang dapat dilihat pada Gambar , yaitu
sebagai berikut, untuk jenis Avicennia lanata adalah 41,77 %, Avicenia marina
41
3,04%, Rhizopora apiculata 23,25 %, Rhizophora mucronata 2,06%, Rhizopora
(Ci) pada tingkat anakan dapat dilihat pada Lampiran, yaitu diketahui untuk
dengan luas tutupan 84,47 m²/ha, Rhizophora apiculata dengan luas tutupan
Avicenia lanata
9%
Rhizopora apiculata
22% 41%
Rhizopora mucronata
42
5.2.3. Analisa Jenis mangrove Pada Tingkat Pancang
Hasil analisa mengenai jenis vegetasi mangrove pada tingkat Pancang yang
No Jenis
Jumlah tegakan (pancang)
1 Avicennia lanata 30 pohon
2 Rhizopora apiculata 7 pohon
3 Bruguiera. Excaristata 3 pohon
4 Rhizopora muncronata 4 pohon
5 Rumbiaceae seghipora hylrophyllaceae 5 pohon
vegetasi mangrove pada tingkat pancang yang paling banyak ditemukan pada
43
Dari Gambar 7 di atas bahwa hasil analisa kerapatan relatif jenis (RDi)
kerapatan relatif dari jenis vegetasi mangrove tersebut yaitu untuk Rhizophora
% , Sehingga yang paling dominan adalah jenis Avicenia lanata dengan jumlah
61,22 % dan yang paling kecil persentasenya adalah jenis Bruguiera excaristata
dengan jumlah 6,12 % dari jumlah Keseluruhan kerapatan relatif jenis yaitu 100
%.
Untuk hasil analisa frekuensi relatif jenis mangrove (RFi) pada tingkat
pancang dapat dilihat pada Lampiran, dan diperoleh hasil persentasenya yaitu
(Ci) pada tingkat anakan dapat dilihat pada Lampiran, yaitu diketahui untuk
44
Avicenia lanata dengan luas tutupan 35,43 m²/ha, Rhizopora mucronata dengan
luas tutupan 2,23 m²/ha, Rhizophora apiculata dengan luas tutupan 9,23 m²/ha,
8%
6% Avicenialanata
4%
Rhizopora apiculata
17%
Rhizopora mucronata
65%
Bruguieraexcaristata
Rumbiaceae seghipora h
Hasil analisa mengenai jenis vegetasi mangrove pada tingkat semai yang
No Jenis
Jumlah Tegakan Semai
45
tegakan semai dan Bruguiera excaristat sebanyak 2 tegakan semai. Jenis vegetasi
mangrove pada tingkat semai yang paling banyak ditemukan pada keseluruhan
Dari Gambar di atas bahwa hasil analisa kerapatan relatif jenis (RDi)
tingkat semai dapat diihat pada Lampiran, dapat diperoleh persentase kerapatan
relatif dari jenis vegetasi mangrove tersebut yaitu untuk Avicenia lanata 74,28 %,
Avicenia lanata dengan jumlah 74,28 % dan yang paling kecil persentasenya
Untuk hasil analisa frekuensi relatif jenis mangrove (RFi) pada tingkat
semai dapat dilihat pada Lampiran, dan diperoleh hasil persentasenya yaitu untuk
apiculata sebesar 23,43 %, Rhizopora mucronata sebesar 1,64 % dan untuk jenis
46
Diagram 11.Persentase Frekuensi Relatif Jenis (RFi) Tingkat Semai
jenis (RFi) dan penutupan relative jenis (RCi) diperoleh nilai penting suatu jenis
mangrove yang terdapat di Pulau Dua, Teluk Banten Pada tingkat pohon untuk
pengamatan adalah Avicenia lanata dengan Indeks nilai penting (IVi) yaitu
sebesar 164,65 %, untuk Rhizopora apiculata dengan indeks nilai penting (IVi)
yaitu sebesar 38,59 %, Indeks nilai penting pada Bruguiera excaristata yaitu
sebesar 22,35 % , Indeks nilai penting pada Avicenia marina yaitu sebesar
22,34%, dan indeks nilai penting pada Rhizopora mucronata yaitu sebesar 30,63
% . Dengan demikian Jenis vegetasi mangrove pada tingkat pohon dengan Indeks
nilai penting (IVi) yang paling besar peranannya adalah Avicenia lanata
47
Hasil analisa tentang kerapatan relative jenis, frekuensi relative jenis dan
penutupan relatif jenis diperoleh nilai penting suatu jenis mangrove yang terdapat
penting (IVi) sebesar 124,43 %, jenis Rhizopora apiculata dengan nilai penting
(IVi) sebesar 70,9 %, jenis Rhizophora mucronata dengan nilai penting (IVi)
(IVi) Sebesar 2,01 % %, jenis avicenia marina dengan nilai penting (IVi) sebesar
67,52 %, jenis Rhizopora stylossa dengan nilai penting (IVi) sebesar 28,32 % dan
oleh karena itu jenis vegetasi mangrove yang paling besar persentasenya pada
Indeks nilai penting (IVi) adalah Avicenia lanata sedangkan Indeks nilai penting
lumnitzera racemosa.
Hasil analisa tentang kerapatan relative jenis, frekuensi relative jenis dan
penutupan relatif jenis diperoleh nilai penting suatu jenis mangrove yang terdapat
penting (IVi) sebesar 187,35 %, jenis Rhizopora apiculata dengan nilai penting
(IVi) sebesar 45,27 %, jenis Rhizophora mucronata dengan nilai penting (IVi)
penting (IVi) Sebesar 28,45 %, dan jenis Bruguiera excaristata dengan nilai
penting (IVi) sebesar 18,07 % oleh karena itu jenis vegetasi mangrove yang
paling besar persentasenya pada Indeks nilai penting (IVi) adalah Avicenia lanata
48
sedangkan Indeks nilai penting (IVi) yang paling kecil jumlah persentasenya
a. Keragaman
komunitas mangrove di pulau Dua tidak stabil dengan sebutan tidak mantap atau
sangat buruk. Hal ini dapat diartikan bahwa jenis mangrove di Pulau Dua tidak
mangrove masih sangat rendah sehingga jumlah setiap individu cukup tinggi.
49
b. Keseragaman
H max = Log x
log 10 =1
H'
E=
H maks
= 0,500861
0,903
= 0,55466
keseragaman ini memiliki arti bahwa individu menyebar secara merata, dalam
6.1 Kesimpulan
50
mangrove ikutan adalah Combretacea lumnitzera racemosa dan
6.2 Saran
kehidupan masyarakat.
mangrove.
7. Daftar Pustaka
51
Bratamihardja Muljadi, 1990. Pengelolaan Hutan Payau Di Pantai Utara Pulau
Jawa. Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam.
Bogor.
Indiarto Yun, Suhardjono, Mulyadi, 1990. Pola Variasi Produksi Serasah Hutan
Mangrove Pulau Dua, Jawa Barat. Direktorat Jenderal Perlindungan
Hutan dan Pelestarian Alam. Bogor.
52
Murdiyanto Bambang, 2004. Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Pantai.
Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap. Jakarta.
53
Soedharma Dedi, Safwan Hadi, Bambang Widyanto, 1990. Pola Dinamika
Massa Air dan Kaitannya Dengan Pengelolaan Mangrove Di teluk
Lampung. Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian
Alam. Bogor.
Suko Oliva, Atsuo Ida, Hideki Hachinohe, 1999. Manual Persemaian Mangrove
di Bali. Departemen Kehutanan dan Perkebunan Republik Indonesia
and Japan International Cooperation Agency. Kuta, bali.
54
55