You are on page 1of 7

Di Antara Rimbunya Pohon Karet

F. MONTHANA
Puluhan hektar kebun karet yang terhampar di hadapanku, masih seperti dulu. Lebat, rimbun, pekat dan terkesan menyeramkan. Bulu kudukku bergidik. Darahku berdesir aneh. Pikiranku mendadak terseret ke masa silam. Yah! Persis di sinilah dulu Aku pernah mengalami peristiwa yang teramat tragis dan mengenaskan. Lima belas tahun lalu, ketika Aku dan teman-teman asyik berkemah di kebun karet ini, entah darimana tiba-tiba ada seorang lelaki bertopeng yang telah dengan kejamnya merenggut kesucianku sekaligus merenggut masa remajaku. Kala itu Aku benar-benar terpukul dan syok. Waktu itu Aku baru berumur 18 tahun dan baru duduk di kelas 3 SMU. Duniaku jadi terampas. Aku berhenti sekolah dan terpuruk dalam kepedihan yang panjang. Sementara si bajingan yang telah begitu tega menodaiku, sampai detik inipun Aku tak tahu rimbanya. Ia menghilang dalam lebat dan rimbunya pohon karet. Aku tak tahu bagaimana nasibku saat ini, andai saja Rohima kawan akrabku tak mampu mengubah jalan pikiranku yang gelap. Aku bersyukur sekali waktu itu dengan penuh kesabaran Rohima memberi Aku pengertian bahwa hidup belum berakhir dan Aku mesti bangkit demi diriku sendiri dan juga orangtuaku. Rohima mencoba membalut lukaku dengan mengajakku pergi bersamanya ke negeri jiran. Kala itu selepas SMU, Rohima memang pergi meninggalkan kampung kami yang kecil, sempit dan sedikit primitif. Ia mencoba penghidupan di Negeri Malaysia sebagai seorang TKW. Dua tahun disana Ia pulang dengan keberhasilan. Keberhasilannya telah membuka mata orangtuaku. Juga mata hatiku. Dengan sedikit keberanian dari sisa-sisa kerapuhan jiwa yang selama ini menggerogoti batinku. Aku pergi meninggalkan kampungku, juga mencoba menanggalkan sisi gelap hidupku. Waktu itu, orang tuaku tak berharap banyak. Akupun tak bermimpi indah dan muluk. Aku pergi hanya ingin menghapus semua kenangan buruk yang pernah menimpaku. Dengan mengikuti jejak Rohima, Aku tidak banyak menemui kesulitan dalam proses keberangkatanku ke negeri Malaysia. Kala Itu Tuhan benar-benar menuntun dan membantu setiap gerak langkahku. Meski Aku hanya mempergunakan ijazah SMP, Aku tetap memperoleh perlakauan yang baik dan manusiawi dari para agency. Aku masih ingat, waktu itu bulan Januari tahun 1990. Bulan dan tahun pertama Aku menginjakkan kaki di negeri orang. Aku gugup, cemas, dan sedikit takut. Aku ingin menangis, tapi air mataku sudah habis terkuras di kampungku yang memang kering dan kerontang. Rohima sahabatku sudah kembali pada majikannya. Aku benar-benar merasa sendiri. Agency yang mengantarku ke rumah majikanku ternyata mampu membaca jalan pikiranku. Ia mencoba menenangkanku. Aku merasa sedikit terhibur, dan ketenangan merambati hatiku.

Mobil agency yang kami tumpangi memasuki pekarangan sebuah rumah mewah. Dari luar saja Aku sudah merasa kagum dan deg-degan. Apa bisa ya Aku mengurus rumah sebesar dan seluas ini. Pikirku dalam hati. Jangan takut, kamu tidak bekerja sendiri di rumah ini. Sebelumnya mbak sudah mengantar dua orang dari Indonesia ke rumah ini. Mbak Tati perwakilan dari agency lagi-lagi seperti memahami pikiranku. Aku tersenyum malu. Maaf Mbak, Aku cuma sedikit takut. Biasa, kalau baru pertama kerja memang begitu. Tapi kamu enggak usah takut, yang mbak tau majikanmu orangnya baik. Tugasmu juga enggak banyak, kalau sesuai dengan yang mereka minta, tugasmu hanya mengurus dua orang anaknya. Selebihnya sudah ada yang mengurus. Terima kasih ya Mbak, mudah-mudahan memang saya akan menemukan orangorang yang baik di negeri ini. Aku menjawab asal, tapi Mbak Tati seperti memahami sesuatu. Ya, mudah-mudahan saja. Yang paling penting kamu harus bersikap baik terhadap semua orang, Insya Allah orang juga akan berbuat baik sama kamu, andai sebelumnya ada yang pernah berbuat jahat sama kamu, yach., coba deh kamu lupain. Percaya aja bahwa semua pasti ada balasannya. Nasihat Mbak Tati waktu itu benar-benar masuk ke hati dan pikiranku. Aku memang berharap semua akan baik-baik di negeri orang. Pertama masuk rumah mewah itu, Aku sudah merasa nyaman. Tengku Aminudin dan Istrinya memperlakukan Aku dengan baik, begitu juga dengan kedua anaknya yang hampir seumuran denganku. Mereka santun dan sangat berprikemanusiaan. Aku jadi tidak merasa diperlakukan sebagai seorang pembantu, melainkan sebagai seorang manusia yang memiliki hati dan perasaan yang sama dengan mereka. Namun meski begitu Akupun harus menyadari harkat dan kedudukanku berada di rumah mewah ini. Di rumah mewah yang nyaman itu, Aku berkenalan dengan Siti dari Salatiga, Mbok Minah dari Bojonegoro, Taslim dan Amy dari Kucing dan Aku sendiri dari Jambi. Aku jadi merasa menemukan keluarga baru. Aku menjalani hidup dengan lebih baik. Akupun merasa semakin dekat dengan Sang Pencipta. Hal yang sama juga mungkin dirasakan oleh semua pembantu di rumah itu. Tengku Aminudin benar-benar telah mampu memberikan dunia yang baik bagi kami. Setiap tiga bulan Aku mengirimkan uang gajiku. Menurut Mamakku, uang hasil kerjaku mereka kumpulkan dan hasilnya mereka telah dapat membeli beberapa hektar kebun kelapa sawit. Sebenarnya Aku berharap uang itu meraka pakai untuk mencukupi kehidupan mereka sehari-hari dan untuk membantu sekolah adik-adikku. Rupanya Ayahku yang sangat memahami penderitaan batinku sebelum berangkat, tidak ingin kepergian anaknya menjadi sesuatu yang sia-sia. Ia ingin bila nanti Aku pulang, Aku sudah memiliki bekal hidup. Aku sangat terharu dan sangat berterimakasih pada kedua orangtuaku, yang meski hidup di kampung yang sempit dan primitif namun mereka tetap memiliki pemikiran yang luas.

Waktu berjalan seiring bergantinya mentari, sudah hampir dua tahun Aku bekerja dengan Tengku Aminudin dan Cik Hasima. Aku semakin dekat dengan mereka. Terlebih dengan kedua anaknya yang memang menjadi tanggung jawabku. Dari subuh menyiapkan seperangkat kebutuhan mereka sampai sore waktu mereka pulang. Malamnya terkadang Aku diminta tuk menemani mereka makan bahkan sampai menemani nona mudaku belajar, karena terkadang Tengku Aminudin dan Cik Hasima makan di luar bersama teman-temannya. Maklum Tengku Aminudin adalah seorang menteri sekaligus pengusaha. Meski begitu mereka akan senantiasa berkomunikasi lewat telpon. Jadi kedua anaknya tetap merasa diperhatikan. Tengku Alfian, anak majikanku yang tertua sekarang sudah mulai kuliah. Ia tumbuh menjadi seorang perjaka yang tampan, sholeh dan pintar. Aku banyak tau tentang dia, dari obrolan-obrolan mereka, juga dari beberapa piala dan piagam yang menjadi koleksi di kamar pribadinya. Ia sudah dipersiapkan untuk menjadi penerus di perusahaan Tengku Aminudi, karenanya Ia dikuliahkan di Fakultas Ekonomi dan di univbersitas yang paling bagus di negeri Malaysia. Meski begitu Tengku Alfian tidak sombong. Ia bahkan sangat dekat denganku juga para pembantu yang lain. Pernah terlintas di benakku waktu itu, alangkah bahagianya orang yang kelak menjadi pendampingnya. Andai itu Aku..? Akh! Aku cepat-cepat mengusir pikiran yang tidak layak itu. Memang beberapa kali Aku sempat merasa tersanjung karena Tengku Alfian memberiku hadiah-hadiah kecil. Aku selalu berusaha mengartikan itu sebagai wujud perhatian majikan pada bawahan. Aku tidak mau berhayal apalagi bermimpi. Mbok Nah adalah orang yang paling dekat denganku di rumah itu, Ia sudah kuanggap seperti Ibuku. Iapun mungkin beranggapan demikian. Karena kedekatan itulah mungkin Ia mampu memahami perasaanku. Pernah waktu itu, ketika Tengku Alfian memberiku jam tangan cantik sebagai oleh-oleh dari Taiwan, Mbok Nah langsung ngeledekin Aku habis-habisan. Aku senang mendapat perhatian kecil seperti itu, tapi sungguh sekali lagi Aku takut tuk bermimpi. Sampai suatu ketika musibah itu datang. Aku masih ingat betul hari itu Senin, tanggalnya Aku lupa, namun yang pasti di awal bulan November tahun 1992, Tengku Aminudin bersama Cik Hasima pergi ke Indonesia untuk keperluan bisnis. Belum berapa lama berselang, kami mendapat berita buruk. Aku ingat betul, waktu itu di rumah hanya ada kami para pembantu, sedangkan anak-anaknya belum kembali dari sekolah. Entah siapa yang memberi tahu waktu itu, yang pasti Taslim langsung menjerit. Innalillahiwainnalillahirojiun. Lama Taslim tidak bisa berkata apa-apa. Ia terhenyak dengan wajah yang pucat-pasi. Kami semua mengira Ia mendapat berita duka dari keluarganya di Batam. Namun betapa terkejutnya kami ketika mengetahui bahwa justru berita yang diterimanya tentang pesawat Tengku Aminudin yang dikabarkan jatuh di tengah hutan di kepulauan Sumatra.

Berita yang kami terima masih simpang-siur. Ada yang mengatakan semua penumpang tewas. Ada yang mengatakan sebagian. Kami semua tidak mau mendugaduga hal yang buruk. Yang pasti saat itu kami semua berharap dan berdoa agar Tengku Aminudin dan Cik Hasima yang teramat baik itu di selamatkan oleh Sang Penguasa hidup. Mereka berdua adalah orang-orang yang baik, mudaha-mudahan kebaikan mereka mampu menyelamatkan mereka dari musibah ini, doaku terus-menerus di setiap tarikan dan helaan nafas. Tengku Alfian terlihat tegar dan dewasa. Ia begitu tenang dan sabar. Sebaliknya si bungsu Hamidah, terlihat begitu syok dan terpukul. Ia menangis terus-menerus. Tamutamu yang datang tidak Ia perdulikan. Kami semua jadi sangat larut dalam kepiluan Hamidah. Aku mencoba menenangkannya, pun bnegitu juga dengan Tengku Alfian, dengan sabar Ia membujuk adiknya agar tenang. Janganlah menangis terus, kite belum tahu lagi ape terjadi. Lebih beiknye Hamidah Berdoe, semoge saje Mom and Daddy tak ape-ape. Ia terus mengelus kepala adiknya, Hamidahpun memeluk erat Abangnya. Tanpa terasa airmatakupun bergulir menyaksikan kepiluan adik-beradik itu Selepas maghrib semua pertanyaan terjawab, harapan kami semua pupus. Kabar yang kami terimaTengku Aminudin dan Cik Hasima termasuk korban yang tak mampu diselamatkan. Besok pagi zenazah keduanya tiba dari Indonesia. Kepedihan benar-benar membuncah di hati kami semua. Terutama bagi kedua putra-putrinya. Mereka tidak siap ditinggal begitu cepat oleh orangtua yang sangat mereka cintai dan teramat menyayangi mereka. Apa hendak dikata semua memang sudah ada yang mengaturnya. Kehidupan yang semula begitu tenang dan damai, menjadi ramai oleh aroma duka. Rumah yang biasanya dikala pagi lengang, hanya dihuni para pembantu, kini ramai oleh para pelayat. Tangisan pilu yang menyayat dan menusuk-nusuk hati terdengar di mana-mana terutama dari kamar Hamidah. Ia benar-benar tak kuasa melapas kepergian kedua orangtuanya. Ia tak siap menghadapi dunia tanpa orang yang sangat menyayanginya. Aku ingat betul waktu itu, tanpa sengaja mungkin karena terlalu larut dalam kesedihan Aku memeluk Hamidah dan dari belakang Tengku Alfianpun memeluk kami untuk menenagkan hati adiknya. Kami bertiga benar-benar larut dalam kesedihan. Aku tak tau entah mengapa diantara kepiluan yang menyesak dada, tiba-tiba ada hawa aneh yang menyergap hatiku. Aku merasa damai ikut berada dalam pelukan Tengku Alfian. Yang Aku yakin pasti Ia melakukan itu karena ingin menenangkan hati adiknya, juga mencari penenangan atas dirinya sendiri. Satu tahun berlalu dari peristiwa memilukan itu. Banyak perubahan terjadi di rumah mewah yang lengang itu. Hamidah yang telah menamatkan pendidikan di bangku menengah atas, melanjutkan pendidikan ke Paris. Ia ingin mengobati luka hatinya sekaligus juga ingin memperdalam dunia modelling yang sangat disukainya. Tengku Alfian tidak bisa menahan keinginan adiknya. Baginya yang terpenting adalah adiknya

merasa suka dan bahagia. Tengku Alfian sendiri sambil kuliah telah mengambil alih tumpuk kekuasaan di perusahaan. Tengku Alfianpun semakin dekat dengan kami terutama denganku. Kami memang tidak berlima lagi mengurus rumah dan segala sesuatunya. Tengku Alfian meminta Amy untuk menjadi satpam di perusahaan, sedangkan Siti yang habis masa kontraknya setengah tahun dari meninggalnyaTengku Aminudin ternyata tidak diperpanjang lagi kontraknya. Aku tak tahu apakah itu keputusan Siti sendiri atau itu keputusan Tengku Alfian yang saat itu sudah mengambil alih tanngung jawab baik di rumah maupun di perusahaan. Yang kami tahu Siti pulang ke Salatiga dan tidak kembali lagi. Jadi di rumah itu otomatis hanya tinggal Tengku Alfian, Mbok Minah, Taslim dan Aku. Waktu itu, menjelang satu bulan kontrak kerjaku habis. Aku ngobrol-ngobrol dengan Mbok Nah di teras samping. Mbok sebentar lagi Aku mesti pulang ke Jambi, sebenarnya Aku betah tinggal bersama Mbok Nah dan mengurus rumah serta tuan Tengku Alfian, tapi mungkin kontrakku tidak diperpanjang lagi. Akh ya mana mungkin Tuan Alfian ndak memperpanjang lagi, diakan suka dengan kamu. Mbok-mbok, jangan ngawur! Mana mungkin Tuan yang tampan, pintar, kaya, bermartabat, suka dengan gadis miskin, primitif, Cuma tamat SMP dan jelek seperti Aku ini., lagian Aku sudah? Pikiranku tiba-tiba melayang pada peristiwa di kebun karet. Yang bilang kamu jelek siapa?, kamu itu cantik Nduk! Cuma kamu enggak menyadari hal itu. Hatimu baik. Aku kok punya pikiran Tuan Tengku itu suka sama kamu. Lagi Mbok Nah mengulangi pernyataannya. Aku sebetulnya senang mendengarnya, tapi Aku tidak mau mempercayainya, karena Aku yakin itu Cuma isapan jempol semata.Aku tidak mau menanam bunga dihatiku, lantas akupun tertusuk karena duri itu. Akh! Belum terjadi Aku sudah membayangkan betapa sakitnya. Ibarat pepatah nasibku pasti akan sama dengan pungguk yang merindukan bulan. Begitu asyiknya kami ngobrol, tanpa sepengetahuan kami ada sepasang mata dan sepasang telinga yang menguping pembicaraan kami. Dari balik ruang yang terpisah, hati si pemilik mata yang mencuri pandang dan menguping pembicaraan itu ikut berdebardebar. Ia ingin memperkuat pernyataan si Mbok, tapi Ia malu dan tidak memiliki keberanian. Banyak sudah gadis Malaysia yang cantik, pintar dan bermartabat datang padanya , namun pintu hatinya justru terbuka untuk seorang gadis kampung yang hanya berstatus sebagai seorang pembantu. Baginya pribadi, semua itu bukan masalah, tapi Ia khawatir justru masalah akan datang dari orang lain. Lagi-lagi iapun surut tuk mengungkap rasa kalbunya. Pagi itu, Aku sudah bersiap untuk dijemput agency. Sedih sekali Aku mau berpamitan dengan penghuni rumah ini. Semalam Aku sudah pamit dengan Nona Hamidah di Paris. Aku permisi numpang menelpon dengan Tengku Alfian. Ia memperbolehkan, kami bicara lama semalam. Hamidah mengingankan Aku tetap

bekerja di rumah mewah ini. Aku tak mampu menjawab. Kukatakan padanya semua terserah Tengku Alfian. Aku memang mendengar setelah Aku berbicara, Tengku Alfian juga berbicara lama dengan Hamidah. Mereka mempergunakan Bahasa Inggris. Sedikit yang Aku dengar, Ia mengatakan jangan banyak berpikir, semua urusan di Malaysia biarlah jadi tanggung jawabnya., yang penting Ia berharapa Hamidah cepat menyelesaikan kuliah, dan kalau sudah selesai cepat kembali. Lain pembicaraannya Aku tidak dengar lagi. Aku masuk ke kamar mencoba merenda hatiku malam itu, agar aku bisa pulang ke kampungku dengan hati tenang. Namun meski Aku sudah berusaha menenangkan hati, tetap saja pagi itu ada sedikit kegundahan dan kesedihan menyelinap di hatiku. Dengan hati agak deg-degan Aku mengetuk pintu kamar Tengku Alfian. Sebenarnya sudah lebih kurang tiga tahun Aku selalu melakuakan hal yang sama di setiap pagi. Mengetuk pintu dan membangunkan Tengku Alfian untuk kuliah atau untuk bekerja. Tak pernah Aku merasa seperti pagi ini. Beberapakali kuketuk tak ada jawaban. Akhirnya kuberanikan untuk berpamitan dari balik pintu. Tengku, maaf saye mau permisi pulang, nanti jam sembilan saya akan dijemput agency, saya ikut penerbangan jam 10 pagi ini. Kalau ada Masuklah Tika, pintu tidak kukunci. Suara Tuan Tengku Alfian terdengar berat dan lain dari biasanya. Aku bertambah gugup. Padahal selama ini Aku biasa masuk kamar ini, membuka jendela, membersihkan kamar, mengeluarkan pakaian kotor dan masih banyak lagi. Entah mengapa Aku betul-betul gugup dan canggung pagi ini. Dalam kamar itu, kulihat Tuan Tengku Alfian duduk dan telah berpakaian rapi. Sepertinya Ia memang telah bangun tidur dari tadi. Tumben pikirku. Biasanaya sehabis sholat subuh Ia sering tertidur lagi, dan jam 7.00 biasanya Ia minta dibangunkan, baru mandi, sarapan dan berangakat kantor. Tapi hari ini jam 7.00. Ia sudah siap untuk ke kantor. Aku agak sedikit tertegun., dan terkesima. Silekan duduk, Aku nak cakap sikit dengan yau. Aku duduk dengan perasaan takut, gugup dan sedikit bingung.. Akhirnya bagai dalam mimpi Aku mendengar Ia memintaku untuk tidak pulang, karena Ia ingin Aku memperpanjan visa. Yang lebih membuatku mengambang dan serasa melayang di udara, ketika Ia mengatakan ingin agar Aku bersedia menjadi pendamping hidupnya. Menjadi Ibu dari anak-anaknya. Aku bagai putri Cinderella yang tengah bermimpi. Namun ketika kucubit tanganku terasa sakit. Baru Aku percaya apa yang kudengar itu nyata. Aku tak bisa menjawab apa-apa. Aku terlalu bahagia. Air mataku mengalir tak tertahan. Aku ingin mengatakan bahwa Aku tak pantas untuknya. Dia belum tahu tentang diriku yang sudah ternodai. Aku baru mau jujur tentang itu, karena Aku tak ingin membohonginya. Aku ingin apapun nanti keputusannya, akan aku terima. :Aku, aku tidak pantas untuk Tengku Aku belum tuntas kalimatku, Tengku Alfian sudah bangkit dari duduknya dan merengkuh tubuhku dalam pelukannya. Ia benamkan tubuhku dalam dadanya yang bidang. Ia mencoba memberi kekuatan dan penegasan dengan sikapnya. Dengan berbisik Ia mengatakan bahwa Ia mencintaiku dan

tidak perduli apapun masa laluku. Kubalas rengkuhannya dengan segenap hatiku. Sekali lagi Ia berbisik akan secepatnya menikahiku. Lamunanku buyar oleh teriakan-teriakan riang anak-anak.Tiga orang bocah berlari-lari keluar dari kebun karet. Aku kaget setengah mati. Aku keluar dari mobil dan berusaha mengejar mereka. Namun tiba-tiba satu tangan kekar telah melingkar di bahuku. Lagi Aku menjerit kaget dan terkesan histeris. Ini Aku Mamy, yau kenape? Wajah mamy pucat, Mamy sakitke? mari kite pulang! Tiba-tiba saja suamiku Tengku Alfian sudah berada di dekatku. Padahal tadi Aku sengaja pergi sendiri. Tidak! sentakku. Mengape anak-anak Papi biarkan main di kebun karet itu. Disane berbahaye. Aku berlari ke arah anak-anakku yang asyik berlari-laraian di tengah kebun karet. Suamikupun jadi ikut berlari menyusul Aku. Kami seolah tengah bermain sinetron di tengah kebun karet. Mereka berlari-laraian saling kejar-mengejar sambil tertawa riang. Sejenak Akupun seolah melupakan ketakutan dan trauma yang selama ini menimpaku. Tanpa mereka sadari sepasang mata menatap tajam penuh kesedihan. Dulu 15 tahun yang lalu Ia pernah menodai seorang gadis, dengan harapan agar si gadis dapat menjadi miliknya. Kini nyatanya Si Gadis Malang itu pulang dengan lelaki lain bahkan bersama anak-anaknya. TAMAT F. Monthana adalah seorang guru dan penulis asal Bandar Lampung., Antologi Cerpen Guru MTs/SMP Seprovinsi Lampung (2006). Antologi Puisi Negeri Angsa Putih (2007) Beberapa puisi dan cerpennya banyak diterbitkan di Radar Lampung, Rakyat Lampung, Lampung Post, dan Jambi Ekspres.dan Bungo Post Saat ini mengabdi di MTs. Negeri Muara Bungo dan MAN Muara Bungo

You might also like