You are on page 1of 4

[kategori : budaya]

MENANAM BENIH KEBAIKAN, MENUAI KEJAYAAN "Bermanfaat bagi orang lain, patuh pada aturan, dan berbuat yang terbaik"

Kalimat di atas merupakan motto kelas 7 Junior High School (SMP) Musashino Joshi Gakuen Tokyo. Di sekolah ini, setiap kelas memiliki motto yang berbeda-beda. Motto ini bukan sekedar pajangan semata tapi dijadikan sebagai semboyan atau pedoman yang menggambarkan motivasi, semangat, dan tujuan dari masing-masing kelasnya. Penanaman nilai seperti ini juga kami temukan ketika mengunjungi beberapa sekolah lainnya di Jepang dan sekali lagi bukan sekadar slogan kosong, tetapi benar-benar difasilitasi dan diaktualisasikan dalam kehidupan sekolah.

Budaya Tertib dan Rapi Saat mengunjungi TK Musashino Joshi Gakuen yang berada tidak jauh dari gedung SMP nya, terlihat bagaimana budaya tertib diajarkan sejak dini. Untuk membiasakan anak untuk berjalan di lajur kiri, lantai lorong jalan menuju gedung sekolah TK diberi tanda tapak kaki yang memandu anak untuk selalu mengambil jalan yang sebelah kiri. Begitu kami tiba di salah satu ruang kelas mereka, terlihat kelas itu sedang kosong. Rupanya mereka sedang outdoor class. Dari luar kami melihat kelas yang begitu bersih dan rapi. Terlihat tas mereka tersusun rapi di atas meja masing-masing. Kursi pun tertata rapi dan dirapatkan ke meja. Buah kerapian seperti ini terlihat sangat nyata ketika kami berada di ruang pertemuan semua sekolah yang kami kunjungi. Kepala sekolah atau guru di sekolah tersebut selalu merapikan sendiri kursi mereka ketika hendak keluar ruangan, meskipun hanya sebentar. Tak lupa sebelumnya mereka membersihkan meja dari kotak makanan dan botol air mineral dan 1

menentengnya keluar untuk kemudian dibuang ke tempat sampah. Beda sekali dengan tim kami yang masih harus mengingatkan beberapa teman yang terkadang keluar ruangan tanpa merapatkan kursi dan mengambil sampah botol air mineral mereka sendiri.

Budaya Antri dan Disiplin Pemandangan yang sama tentang penanaman nilai ketertiban kami temukan di semua sekolah yang kami kunjungi. Di Shitennougi Gakuen High School Osaka misalnya, kami menemukan pemandangan yang tidak biasa di lantai kantin
Pintu

sekolahnya. Ada garis-garis panah yang bermula dari pintu masuk mengarah ke tempat mengambil makanan. Panah itu kemudian
Pintu Denah Kantin Shitennougi Gakuen High School Osaka

menuju tempat mengambil saos/kecap dan berhenti di tempat mengambil air minum. Setelah menanyakan kepada guru yang mendampingi kami, diperoleh penjelasan bahwa panah-panah ini untuk mendisiplinkan para siswi agar antri mengambil makanan sesuai arah panah yang tersedia. Dari penjelasan ini, semakin jelas bagi saya bahwa budaya antri yang identik dengan orang Jepang ini adalah hasil dari pembelajaran yang ditanamkan kepada mereka sejak masih sekolah. Pantas saja ketika akan menaiki kereta komuter, mereka terlihat antri dengan tertib untuk naik ke kereta tanpa ada yang berusaha memotong barisan atau berdesak-desakan masuk ke dalam kereta. Padahal tidak ada pembatas, tidak ada petugas khusus pengatur antrian. Hanya kesadaran dari diri masing-masing untuk tertib dan teratur menunggu giliran. Tak heran kalau ada anekdot yang mengatakan bahwa orang Jepang antri untuk membuang sampahpun adalah hal yang biasa.

Budaya Bersih dan Malu Pemandangan menarik lainnya ketika berkunjung di Jepang adalah tentang kebersihan. Begitu menjejakkan kaki pertama kali di kota Osaka, kesan bersih dan rapi sangat nampak di mata kami. Begitupun ketika menyusuri kota-kota lainya di Jepang. Sulit sekali untuk melihat ada sampah yang berserakan di jalanan ataupun di sudut-sudut bangunan. Padahal tidak satupun kami lihat ada tanda "Di larang membuang sampah di sini". Mungkin 2

kalau kita di Indonesia, sudah biasa kita lihat adanya sampah berserakan tepat di dekat papan larangan membuang sampah. Orang Jepang sangat malu untuk meninggalkan jejak sampah mereka yang pada akhirnya akan

menyusahkan orang lain apalagi membuang sampah sembarangan. Pengalaman di beberapa sekolah

membuktikan itu semua, betapa mereka rela menenteng sampah botol air mineral sampai mereka menemukan tempat sampah. Kami pun juga mau tidak mau harus mengikutinya. Kalau kami tidak menemukan tempat sampah di jalan, kami harus membawanya ke bus dan membuangnya di kantong sampah yang sudah disediakan guide. Ada pengalaman menarik dalam perjalanan dari Kyoto menuju Osaka, yakni ketika kami berhenti di pinggir sungai untuk makan siang. Seorang teman berhasil mengabadikan foto seorang pemuda Jepang yang sedang memungut kotoran anjing peliharaannya yang diajaknya jalan-jalan. Tanpa ragu kotoran itu ditaruhnya ke kantong plastik dan kemudian ditentengnya pergi. Kami sangat yakin, kotoran itu tidak akan dibuangnya sembarangan sampai kemudian ia menemukan tempat pembuangan yang khusus untuk kotoran tersebut. Gaya hidup bersih seperti contoh-contoh di atas juga merupakan hasil pembelajaran orang-orang Jepang ketika masih di sekolah. Sejak TK, budaya bersih sudah ditanamkan kepada para siswa. Tidak ada satu toilet pun yang kami masuki di sekolah-sekolah tersebut yang tidak membuat kami merasa kagum. Rupanya, sekolah menerapkan jadual membersihkan sekolah termasuk WC. Umumnya, setiap hari antara 15-30 menit, para siswa bersama-sama dengan gurunya membersihkan sekolah dengan tujuan untuk menciptakan raca cinta akan kebersihan. Di SD Negeri Ogawa, kami mendapat penjelasan bahwa kegiatan bersih-bersih wc tidak diserahkan kepada petugas cleaning service, tapi pelajar mereka sendiri. Dari foto-foto yang terpampang di lorong sekolah, kami juga dijelaskan bahwa siswa kelas 6 mengasistensi adik kelasnya (kelas 1) untuk membersihkan sekolah. Tidak hanya itu, sekolah juga

mengundang para orang tua siswa untuk menjadi sukarelawan memberikan contoh kepada anak-anaknya dalam membersihkan sekolah.

Menata Ulang Penanaman Nilai Budaya di Indonesia

Jepang bukan negara yang beragama seperti di Indonesia, akan tetapi dari sisi kejujuran, kesantunan, kedisiplinan dan kebersihan semuanya kita harus belajar dari mereka. Seolah-olah mereka lebih agamis dari masyarakat Indonesia. Tidaklah salah kalau kemudian negara ini tumbuh menjadi negara yang maju dan dikagumi oleh negara-negara lainnya hanya dalam waktu 30 tahun setelah keterpurukan mereka pasca perang dunia. Bila Indonesia ingin memiliki kejayaan sebagaimana Jepang, sudah saatnya kita merubah pendidikan nilai/budaya kita ke dalam bentuk yang lebih aplikatif. Tidak sekedar diajarkan tapi dipraktekkan. Salah satu contoh misalnya, di Jepang tidak ada ujian sampai kelas 3 SD, karena hingga kelas 3 SD konsep pendidikannya hanya untuk membangun & mengembangkan akhlak, bukan sekedar menguji kemampuan atau 'mendoktrin'. Indonesia punya modal yang besar untuk menjadi bangsa dengan peradaban yang besar. Tinggal kemauan semua pihak untuk mau berubah dan mewujudkannya. Adalah kewajiban pemerintah untuk merevitalisasi peran sekolah dalam penanaman nilai-nilai budaya yang baik secara aplikatif, sambil mensosialisasikan dan membangun kesadaran para orang tua untuk terlibat secara penuh di lingkungan rumah mereka. Indonesia Jaya itu PILIHAN.

Samarinda 29 Juli 2013 [fb: @muktialiazis] [email: abasalman@gmail.com] [Alumni Guardian Angel Angkatan IX]

You might also like