You are on page 1of 22

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.

1 Definisi Asma Penyakit asma berasal dari kata Asthma yang diambil dari bahasa yunani yang berarti sukar bernapas. Penyakit asma dikenal karena adanya gejala sesak napas, batuk yang disebabkan oleh penyempitan saluran napas. Asma juga disebut penyakit paru-paru kronis yang menyebabkan penderita sulit bernapas. Hal ini disebabkan karena pengencangan dari otot sekitar saluran napas, peradangan, rasa nyeri, pembengkakan dan iritasi pada saluran napas di paru-paru. Hal lain disebut juga bahwa asma adalah penyakit yang disebabkan oleh peningkatan respon dari trachea dan bronkus terhadap bermacam-macam stimuli yang di tandai dengan penyempitan bronkus atau bronkiolus dan sekresi berlebih dari kelenjar di mukosa bronkus (Price dan Wilson, 2006). Asma adalah penyakit inflamasi kronik dari saluran napas di mana terjadi hiper respon yang menyebabkan terjadinya episode mengi, sesak, sakit dada, batuk khususnya malam hari. Hiperrespon ini disebabkan oleh obstruksi yang luas, reversible baik secara spontan maupun dengan terapi. Inflamasi ini berhubungan erat dengan hiperreaktivitas saluran napas terhadap rangsangan spesifik maupun non spesifik (WHO, 2002). Penyakit asma merupakan penyakit saluran napas yang ditandai oleh peningkatan daya responsive percabangan trakeobronkial terhadap pelbagai jenis stimulus. Penyakit asma mempunyai manifestasi fisiologis berbebtuk penyempitan yang meluas pada saluran udara pernapasan yang dapat sembuh spontan atau

sembuh dengan terapi dan secara klinis ditandai oleh serangan mendadak dispnea, batuk, serta mengi. Penyakit ini bersifat episodic dengan eksaserbasi akut yang diselingi oleh periode tanpa-gejala. Secara khas, sebagian besar serangan berlangsung singkat selama beberapa menit hingga beberapa jam dan sesudah itu, pasien tampaknya mengalami kesembuhan klinis yang total (Mcfaden, 2000). Namun, ada suatu fase ketika pasien mengalami obstruksi jalan napas dengan derajat tertentu setiap harinya. Fase ini dapat ringan dengan atau tanpa disertai episode yang berat, atau yang lebih serius lagi, dengan obstruksi hebat yang berlangsung selama berhari-hari atau berminggu-minggu, keadaan semacam ini dikenal sebagai status asmatikus. Pada beberapa keadaan yang jarang terjadi, serangan asma yang akut dapat berakhir dengan kematian (Mcfaden, 2000). Menurut National Asthma Education and Prevention Program (NAEPP) pada National Institute of Health (NIH) Amerika, asma (dalam hal ini asma bronkial) didefinisikan sebagai penyakit radang/inflamasi kronik pada paru, yang dikarakterisir oleh adanya : (1) penyumbatan saluran nafas yang bersifat reversible (dapat balik), baik secara spontan maupun dengan pengobatan, (2) peradangan pada jalan nafas, dan (3) peningkatan respon jalan nafas terhadap berbagai rangsangan (hiperresponsivitas) (NAEPP, 1997). Menurut National Heart, Lung and Blood Institute (NHLBI, 2007), pada individu yang rentan, gejala asma berhubungan dengan inflamasi yang akan

menyebabkan obstruksi dan hiperesponsivitas dari saluran pernapasan yang bervariasi derajatnya.

Gambar 2.1 Hubungan antara inflamasi, gejala klinis, dan patofisiologi Asma Sumber: NHLBI, 2007.

2.2 Prevalensi Asma Penyakit assma merupakan kelainan yang sangat sering ditemukan dan diperkirakan 4 hingga 5 persen populasi penduduk di Amerika Serikat terjangkit oleh penyakit ini. Angka yang serupa juga dilaporkan dari negara lain. Asma bronchial terjadi pada segala usia tetapi terutama dijumpai pada usia dini. Sekitar separuh kasus timbul sebelum usia 10 tahun dan sepertiga kasus lainnya terjadi sebelum usia 40 tahun. Pada usia kanak-kanak terdapat predisposisi laki-laki banding perempuan adalah 2:1, yang kemudian menjadi smaa pada usia 30 tahun (Price dan Wilson, 2006).

Di Indonesia, prevalensi asma belum diketahui secara pasti. Hasil penelitian pada anak sekolah usia 13-14 tahun dengan menggunakan kuesioner ISAAC (International Study on Asthma and Allergy in Children) tahun 1995 melaporkan prevalensi asma sebesar 2,1% sedangkan pada tahun 2003 meningkat menjadi 5,2%. Hasil survey asma pada anak sekolah di beberapa kota di Indonesia (Medan, Palembang, Jakarta, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Malang dan Denpasar) menunjukkan prevalensi asma pada anak SD (6 sampai 12 tahun) berkisar antara 3,7-6,4% sedangkan pada anak SMP di Jakarta Pusat sebesar 5,8%. Berdasarkan gambaran tersebut, terlihat bahwa asma telah menjadi masalah kesahatan masyarakat yang perlu perhatian serius (Baratawidjaja, Soebaryo, Kartasasmita, dkk, 2006). 2.3 Etiologi Asma Istilah penyebab asma di sini sebenarnya kurang tepat, karena terus terang sampai saat ini penyebab asma belum diketahui. Sebenarnya telah banyak penelitian yang dilakukan oleh para ahli di bidang asma, namun belum satu pun teori atau hipotesis yang dapat diterima atau disepakati semua ahli. Meskipun demikian yang jelas saluran napas penderita peka terhadap berbagai rangsangan (bronchial hyperreactivity = hipereaktifitas saluran napas = kepekaan saluran napas yang berlebihan) (Sundaru, 2007). Kepekaan yang berlebihan ini juga bukan syarat satu-satunya untuk terjadinya asma. Karena banyak orang yang mempunyai saluran napas yang peka tetapi tidak menjadi asma. Syarat kedua yaitu adanya ransangan yang cukup kuat pada saluran napas yang telah peka tadi. Ransangan ini pada asama lebih populer dengan nama faktor pencetus. Kedua syarat tersebut umumnya dijumpai pada 6

penderita asma, artinya masih terdapat kemungkinan atau syarat lain yang saat ini belum diketahui (Sundaru, 2007).

2.4 Faktor Resiko Asma Secara umum faktor resiko asma dipengaruhi atas faktor genetik dan faktor lingkungan (Rengganis, 2008): 1. Faktor Genetik a. Atopi/alergi Hal yang diturunkan adalah bakat alerginya, meskipun belum diketahui bagaimana cara penurunannya. Penderita dengan penyakit alergi biasanya mempunyai keluarga dekat yang juga alergi. Dengan adanya bakat alergi ini, penderita sangat mudahterkena penyakit asma bronkial jika terpajan dengan faktor pencetus. b. Hipereaktivitas bronkus Saluran napas sensitif terhadap berbagai rangsangan alergen maupun iritan. c. Jenis kelamin Pria merupakan risiko untuk asma pada anak. Sebelum usia 14 tahun, prevalensi asma pada anak laki-laki adalah 1,5-2 kali dibanding anak perempuan. Tetapi menjelang dewasa perbandingan tersebut lebih kurang sama dan pada masa menopause perempuan lebih banyak. d. Ras/ etnik e. Obesitas

Mediator tertentu seperti leptin dapat mempengaruhi fungsi saluran napas dan meningkatkan kemungkinan terjadinya asma. Meskipun mekanismenya belum jelas. Penurunan berat badan pada penderita obesitas dengan asma, dapat memperbaiki gejala fungsi paru, morbiditas dan status kesehatan. 2. Faktor Lingkungan a. Alergen dalam rumah (tungau debu rumah, spora jamur, kecoa, serpihan kulit binatang seperti anjing, kucing, dan lain-lain). b. Alergen luar rumah (serbuk sarim dan spora jamur). 3. Faktor lain a. Alergen makanan Contoh: susu, telur, udang, kepiting, ikan laut, kacang tanah, coklat, kiwi, jeruk, bahan penyedap pengawet, dan pewarna makanan. b. Alergen obat-obat tertentu Contoh: penisilin, sefalosporin, eritrosin, tetrasiklin, analgesic, antipiretik, dan lain-lain. c. Bahan yang mengiritasi d. Ekspresi emosi berlebih Stress/ gangguan emosi dapat menjadi pencetus serangan asma, selain itu juga dapat memperberat seangan asma yang sudah ada. Di samping gejala asma yang timbul harus segera diobati, penderita asma yang mengalami stress/ gangguan emosi perlu diberi nasehat untuk menyelesaikan masalah pribadinya. Karena jika stresnya belum diatasi, amak gejala asmanya lebih sulit diobati.

e. Asap rokok bagi perokok aktif maupun pasif Asap rokok berhubungan dengan penurunan fungsi paru. Pajanan asap rokok, sebelum dan sesudah kelahiran berhubungan dengan efek berbahaya yang dapat diukur seperti meningkatkan risiko terjadinya gejala serupa asma pada usia dini. f. Polusi udara dari luar dan dalam ruangan g. Exercise-induced asthma Pada penderita yang kambuh asmanya ketika melakukan aktivitas/ olahraga tertentu. Sebagian besar penderita asma akan mendapat serangan jika melakukan aktivitas jasmani atau olah raga yang berat. Lari cepat paling mudah menimbulkan serangan asma.

h. Perubahan cuaca Cuaca lembab dan hawa pegunungan yang dingin sering

mempengaruhi asma. Atmosfer yang mendadak dingin merupakan factor pemicu terjadinya serangan asma. i. Status ekonomi Mielck dkk (1996) menemukan hubungan antara status

sosioekonomik / pendapatan dengan prevalensi derajat asma berat. Dimana, prevalensi derajat asma berat paling banyak terjadi pada penderita dengan status sosioekonomi yang rendah, yaitu sekitar 40%.

2.4 Klasifikasi Asma Sangat sukar membedakan satu jenis asma dengan asma yang lain. Dahulu dibedakan asma alergik (aksintrik) dan non alergik (intrinsic). Asma alergik terutama munculnya pada waktu kanak-kanak, mekanisme serangannya melalui reaksi alergi tipe I terhadap allergen. Sedangkan asma dikatakan asma intrinsic apabila tidak ditemukan tanda-tanda reaksi hipersensivitas terhadap allergen. Namun klasifikasi tersebut pada prakteknya tidak mudah dan sering pasien mempunyai kedua sifat alergik dan non-alergik, sehingga Mc Connel dan Holgate membagi asma dalam 3 kategori, yaitu: 1) Asma ekstrinsik, 2) Asma intrinsic, 3) Asma yang berkaitan dengan penyakit paru obstruktif kronik (Sundaru dan Sukamto, 2007). Klasifikasi asma menurut derajat berat berguna untuk menentukan obat yang diperlukan pada awal penanganan asma. Menurut derajat berat asma diklasifikasikan sebagai intermiten, persisten ringan, persistensedang dan persisten berat (Berastein, 2003).

10

2.5 Patofisiologi Asma Obstruksi saluran napas pada asma merupakan kombinasi spasme otot bronkus, sumbatan mucus, edema, dan inflamasi dinding bronkus. Obstruksi bertambah beratselama ekspirasi karena secara fisiologis saluran napas menyempit pada fase tersebut. Hal ini mengakibatkan udara distal tempat terjadinya obstruksi terjebak tidak bias diekspirasi. Selanjutnya terjadi peningkatan volume residu, kapasitas residu fungsional (KRF) dan pasien akan bernapas pada volume yang tinggi mendekati kapasitas paru total (KPT). Keadaan hiperinflasi ini bertujuan agar saluran napas tetap terbuka dan pertukaran gas berjalan lancer. Untuk mempertahankan hiperinflasi ini diperlukan otot-otot bantu napas (Sundaru dan Sukamto, 2007).

11

Gangguan yang berupa obstruksi saluran napas dapat dinilai secara obyektif dengan EVP1 (volume Ekspirasi Paksa detik pertama) atau APE (Arus Puncak Ekspirasi). Sedangkan penurunan KVP (Kapsitas Vital Paksa) menggambarkan derajat hiperinflasi paru< Penyempitan saluran napas dapat terjadi baik pada saluran napas yang besar, sedang, maupun kecil. Gejala mengi menandakan ada penyempitan di slauran napas besar, sedangkan pada saluran napas yang kecil gejala batuk dan sesak lebih dominan disbanding mengi (Sundaru dan Sukamto, 2007). Penyempitan saluran napas ternyata tidak merata di seluruh bagian paru. Ada daerah-daerah yang kurang mendapat ventilasi, sehingga darah kapiler yang melalui daerah tersebut mengalami hipoksemia. Penurunan PaO2 mungkin merupakan kelainan pada asma sub-klinis. Untuk mengatasi kekurangan oksigen, tubuh melakukan hiperventilasi, agar kebutuhan oksigen terpenuhi. Tetapi akinbatnya pengeluaran CO2 menjadi berlebihan sehingga PaCO2 menurun yang kemudian menimbulkan alkalosis respiratorik (Sundaru dan Sukamto, 2007). Pada seraangan asma yang lebih berat lagi banyak saluran napas dan alveolus tertutup oleh mucus sehingga tidak memungkinkan lagi terjadinya pertukaran gas. Hal ini menyebabkan hipoksemia dan kerja otot-otot pernapasan bertambah berat serta terjadi peningkatan produksi CO2. Peningkatan produksi CO2 yang disertai dengan penurunan ventilasi alveolus menyebabkan retensi CO2 (hiperkapnia) dan terjadi asidosis respiratorik atau gagal napas. Hipoksemia yang berlangsung lama menyebabkan asidosis metabolic dan kontriksi pembuluh darah paru yang kemudian menyebabkan shunting yaitu peredaran darah tanpa melalui unit pertukaran gas yang baik. Akibatnya memperburuk hiperkapnia. Dengan

12

demikian penyempitan saluran napas pada asma akan menimbulkan hal-hal sebagai berikut (Sundaru dan Sukamto, 2007): 1. Gangguan ventilasi berupa hipoventilasi 2. Ketidakseimbangan ventilasi perfusi di mana distribusi ventilasi tidak setara dengan sirkulasi darah paru 3. Gangguan difusi gas di tingkat alveoli . Ketiga faktor tersebut akan mengakibatkan: hipoksemia, hiperkapnia, asidosis respiratorik pada tahap yang sangat lanjut.

2.6 Gambaran Klinis Asma Gejala asma terdiri atas triad asma, dispnea, batuk dan mengi, geajala yang disebutkan terakhir ini kerap kali dianggap sebagai gejala yang harus ada. Pada bentuk yang paling khas, asma merupakan penyakit episodic dan keseluruhan tipe gejala tersebut terdapat bersama-sama. Pada awal awitan , pasien akan mengalami rasa tertekandi daerah dada yang sering disertai dengan batuk nonproduktif. Respirasi terdengar kasar dan suara mengi pada fase kedua respirasi semakin menonjol, ekspirasi memanjang dan pasien sering memperlihatkan gejala takipnea, takikardia serta hipertensi sistolik yang ringan. Paru dengan cepat mengalami overinflasi dan diameter anteroposterior toraks meningkat (Mcfaden, 2006). Jika serangannya berat atau berlangsung lama, suara pernapasan adventisial mungkin menghilang dan suara mengi memiliki nada yang sangat tinggi. Selanjutnya, otot aksesorius terlihat sangat aktif dan kerapkali timbul denyut nadi paradoksal. Terjadinya denyut nadi paradoksal dan digunakannya otot

13

aksesorius bergantung pada timbulnya tekanan intratorakal negative yang luas. Kedua tanda tersebut menunjukkan bahwa fungsi paru cenderung mengalami gangguan yang lebih bermakna jika dibandingkan tanpa kedua tanda tersebut (Mcfaden, 2006).

2.7 Diagnosis Asma Diagnosis asama didasarkan pada riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Pada riwayat penyakit akan dijumpai keluhan batuk, sesak, mengi atau rasa berat di dada. Tetapi kadang-kadang pasien hanya mengeluh batuk-batuk saja yang umumnya timbul pada malam hari atau sewaktu kegiatan jasmani. Adanya penyakit alergi yang lain pada pasien maupun keluarganya seperti rhinitis alergi, dermatitis atopic membantu diagnosis asma. Gejala asma sering timbul pada malam hari, tetapi dapat pula muncul sembarang waktu. Adakalnya gejala lebih sering terjadi pada musim tertentu (Sundaru dan Sukamto, 2007). Yang membedakan asma dengann penyakit paru lainnya adalah pada asma serangan dapat hilang dengan atau tanpa obat, artinya serangan asma tanpa diobati ada yang hilang sendiri. Tetapi membiarkan pasien asma dalamserangan tanpa obat selain tidak etis, juga dapat membahayakan nyawa pasien. Gejala asma juga sangat bervariasi pada individu sendiri misalnya gejala pada malam hari lebih sering muncul disbanding siang hari (Sundaru dan Sukamto, 2007).

14

15

2.8 Pemeriksaan Fisik Asma Penemuan tanda pada pemeriksaan fisis pasien asma, tergantung dari derajat obstruksi saluran napas. Ekspirasi memanjang, mengi, hiperinflasi dada, pernapasan cepat sampai sianosis dapat dijumpai pada pasien asma. Dalam praktek jarang dijumpai kesulitan dalam membuat diagnosis asma, tetapi sering pula dijumpai pasien bukan asma mempunyai mengi, sehingga diperlukan pemeriksaan penunjang untuk menegakkan diagnosis (Sundaru dan Sukamto, 2007). Gejala asma bervariasi sepanjang hari sehingga pemeriksaan fisik dapat normal (GINA, 2009). Kelainan pemeriksaan fisik yang paling umum ditemukan pada auskultasi adalah mengi. Pada sebagian penderita, auskultasi dapat terdengar normal walaupun pada pengukuran objektif (faal paru) telah terdapat penyempitan jalan napas. Oleh karena itu, pemeriksaan fisik akan sangat membantu diagnosis jika pada saat pemeriksaan terdapat gejala-gejala obstruksi saluran pernapasan (Chung, 2002). Sewaktu mengalami serangan, jalan napas akan semakin mengecil oleh karena kontraksi otot polos saluran napas, edema dan hipersekresi mukus. Keadaan ini dapat menyumbat saluran napas; sebagai kompensasi penderita akan bernapas pada volume paru yang lebih besar untuk mengatasi jalan napas yang mengecil (hiperinflasi). Hal ini akan menyebabkan timbulnya gejala klinis berupa batuk, sesak napas, dan mengi (GINA, 2009).

2.9 Pemeriksaan Penunjang Asma

16

a. Spirometri Cara yang paling cepat dan sederhana untuk menegakkan diagnosis asma adalah melihat respons pengobatan dengan bronkodilator. Pemeriksaan spirometri dilakukan sebelum dan sesudah pemberian bronkodilator hirup golongan adrenergic beta. Peningkatan VEP1 sebanyak 20% menunjukkan asma. Pemeriksaan spirometri selain penting untuk menegakkan diagnosis, juga penting untuk menilai beratnya obstruksi dan efek pengobatan (Sundaru dan Sukamto, 2007). b. Peak Flow Meter Merupakan alat pengukur faal paru sederhana, alat tersebut digunakan untuk mengukur jumlah udara yang berasal dari paru (Rengganis, 2008). c. X Ray Thorax Pemeriksaan ini dilakukan untuk menyingkirkan penyebab lain obstruksi saluran napas dan adanya kecurigaan terhadap proses patologis di paru atau komplikasi asma seperti pneumotoraks, pneumomediatinum, atelektasis, dan lain-lain (Rengganis, 2008). d. Pemeriksaan IgE Uji tusuk kulit ini untuk menunjukkan adanya antibody IgE spesifik pada kulit. Uji ini hanya menyokong anamnesis, karena uji allergen yang positif tidak selalu merupakan penyebab asma, demikian pula sebaliknya (Sundaru dan Sukamto, 2007). e. Uji provokasi bronkus Jika pemeriksaan spirometri norma, untuk menunjukkan adanya hiperreaktivitas bronkus dialkukan uji provokasi bronkus. Dianggap bermakna

17

apabila menunjukkan penurunan APE (Arus Puncak Ekspirasi) paling sedikit 10%. f. Analisis Gas Darah Pemeriksaan ini hanya dilakukan pada asma yang berat. Pada fase awal serangan, terjadi hipoksemia dan hipokapnia (paCO2 < 35 mmHg) kemudian pada stadium yang lebih berat justru PaCO2 justru mendekati normal sampai normo kapnia. Selanjutnya pada asma yang sangat berat terjadinya hiperkapnia (PaCO2 45 mmHg, hipoksemia, dan asidosis respiratorik (Sundaru dan Sukamto, 2007). g. Pemeriksaan laboratorium 1. Pemeriksaan sputum Pemeriksaan sputum dilakukan untuk melihat adanya: a. Kristal-kristal charcot leyden yang merupakan degranulasi dari Kristal eosinopil. b. Spiral curshmann, yakni yang merupakan cast cell (sel cetakan) dari cabang bronkus. c. Creole yang merupakan fragmen dari epitel bronkus. d. Netrofil dan eosinopil yang terdapat pada sputum, umumnya bersifat mukoid dengan viskositas yang tinggi dan kadang terdapat mucus plug. 2. Pemeriksaan darah a. Kadang pada darah terdapat peningkatan dari SGOT dan LDH. b. Hiponatremia dan kadar leukosit kadang-kadang di atas 15.000/mm3 dimana menandakan terdapatnya suatu infeksi.

2.10 Diagnosis Banding Asma

18

a. Bronkitis Kronik b. Emfisema Paru c. Gagal Jnatung Kiri Akut d. Emboli Paru e. Penyakit lain yang jarang seperti: stenosis trakea,karsinoma bronkus, poliarteritis nodusa.

2.11 Komplikasi Asma a. Pneumotoraks b. pneumomediastinum dan emfisema subkutis c. Atelektasis d. Aspergilosis bronkopulmoner alergik e. gagal napas f. Bronkitis g. Fraktur iga.

2.12 Penatalaksanaan Asma Tujuan utama dari penatalaksanaan asma adalah dapat mengontrol manifestasi klinis dari penyakit untuk waktu yang lama, meningkatkan dan mempertahankan kualitas hidup agar penderita asma dapat hidup normal tanpa hambatan dalam melakukan aktivitas sehari-hari. GINA (2009) dan PDPI (2006) menganjurkan untuk melakukan penatalaksanaan berdasarakan kontrol. Untuk mencapai dan mempertahankan keadaan asma yang terkontrol terdapat dua faktor yang perlu dipertimbangkan, yaitu:

19

1. Medikasi 2. Pengobatan berdasarkan derajat

2.12.1. Medikasi Menurut PDPI (2006), medikasi asma dapat diberikan melalui berbagai cara seperti inhalasi, oral dan parenteral. Dewasa ini yang lazim digunakan adalah melalui inhalasi agar langsung sampai ke jalan napas dengan efek sistemik yang minimal ataupun tidak ada. Macammacam pemberian obat inhalasi dapat melalui inhalasi dosis terukur (IDT), IDT dengan alat bantu (spacer), Dry powder inhaler (DPI), breathactuated IDT, dan nebulizer. Medikasi asma terdiri atas pengontrol (controllers) dan pelega (reliever). Pengontrol adalah medikasi asma jangka panjang, terutama untuk asma persisten, yang digunakan setiap hari untuk menjaga agar asma tetap terkontrol (PDPI, 2006). Menurut PDPI (2006), pengontrol, yang sering disebut sebagai pencegah terdiri dari: 1. Glukokortikosteroid inhalasi dan sistemik 2. Leukotriene modifiers 3. Agonis -2 kerja lama (inhalasi dan oral) 4. Metilsantin (teofilin) 5. Kromolin (Sodium Kromoglikat dan Nedokromil Sodium) Pelega adalah medikasi yang hanya digunakan bila diperlukan untuk cepat mengatasi bronkokonstriksi dan mengurangi gejala gejala asma. Prinsip kerja obat ini adalah dengan mendilatasi jalan napas melalui relaksasi otot polos, memperbaiki dan atau menghambat bronkokonstriksi yang berkaitan dengan gejala akut seperti mengi, rasa berat di dada, dan batuk. Akan tetapi golongan obat 20

ini tidak memperbaiki inflamasi jalan napas atau menurunkan hipersensitivitas jalan napas. Pelega terdiri dari: 1. Agonis -2 kerja singkat 2. Kortikosteroid sistemik 3. Antikolinergik (Ipratropium bromide) 4. Metilsantin

2.12.2 Pengobatan Berdasarkan Derajat Menurut GINA (2009), pengobatan berdasarkan derajat asma dibagi menjadi: 1. Asma Intermiten a. Umumnya tidak diperlukan pengontrol b. Bila diperlukan pelega, agonis -2 kerja singkat inhalasi dapat diberikan. Alternatif dengan agonis -2 kerja singkat oral, kombinasi teofilin kerja singkat dan agonis -2 kerja singkat oral atau antikolinergik inhalasi c. Bila dibutuhkan bronkodilator lebih dari sekali seminggu selama tiga bulan, maka sebaiknya penderita diperlakukan sebagai asma persisten ringan 2. Asma Persisten Ringan a. Pengontrol diberikan setiap hari agar dapat mengontrol dan mencegah progresivitas asma, dengan pilihan:

21

Glukokortikosteroid inhalasi dosis rendah (diberikan sekaligus atau terbagi dua kali sehari) dan agonis -2 kerja lama inhalasi o Budenoside : 200400 g/hari o Fluticasone propionate : 100250 g/hari o Teofilin lepas lambat o Kromolin o Leukotriene modifiers b. Pelega bronkodilator (Agonis -2 kerja singkat inhalasi) dapat diberikan bila perlu 3. Asma Persisten Sedang a. Pengontrol diberikan setiap hari agar dapat mengontrol dan mencegah progresivitas asma, dengan pilihan: Glukokortikosteroid inhalasi (terbagi dalam dua dosis) dan agonis -2 kerja lama inhalasi o Budenoside: 400800 g/hari o Fluticasone propionate : 250500 g/hari o Glukokortikosteroid teofilin lepas lambat o Glukokortikosteroid inhalasi (400800 g/hari) ditambah agonis -2 kerja lama oral o Glukokortikosteroid inhalasi dosis tinggi (>800 g/hari) inhalasi (400800 g/hari) ditambah

22

o Glukokortikosteroid leukotriene modifiers

inhalasi

(400800 g/hari)

ditambah

b. Pelega bronkodilator dapat diberikan bila perlu o Agonis -2 kerja singkat inhalasi: tidak lebih dari 34 kali sehari, atau o Agonis -2 kerja singkat oral, atau o Kombinasi teofilin oral kerja singkat dan agonis -2 kerja singkat o Teofilin kerja singkat sebaiknya tidak digunakan bila penderita telah menggunakan teofilin lepas lambat sebagai pengontrol

c. Bila penderita hanya mendapatkan glukokortikosteroid inhalasi dosis rendah dan belum terkontrol; maka harus ditambahkan agonis -2 kerja lama inhalasi.
d. Dianjurkan menggunakan alat bantu / spacer pada inhalasi bentuk IDT atau kombinasi dalam satu kemasan agar lebih mudah 4. Asma Persisten Berat Tujuan terapi ini adalah untuk mencapai kondisi sebaik mungkin, gejala seringan mungkin, kebutuhan obat pelega seminimal mungkin, faal paru (APE) mencapai nilai terbaik, variabiliti APE seminimal mungkin dan efek samping obat seminimal mungkin Pengontrol kombinasi wajib diberikan setiap hari agar dapat mengontrol asma, dengan pilihan:

23

o Glukokortikosteroid inhalasi dosis tinggi (terbagi dalam dua dosis) dan agonis -2 kerja lama inhalasi o Beclomethasone dipropionate: >800 g/hari o Selain itu teofilin lepas lambat, agonis -2 kerja lama oral, dan leukotriene modifiers dapat digunakan sebagai alternative agonis -2 kerja lama inhalai ataupun sebagai tambahan terapi o Pemberian budenoside sebaiknya menggunakan spacer, karena dapat mencegar efek samping lokal seperti kandidiasis orofaring, disfonia, dan batuk karena iritasi saluran napas atas

Gambar 2.5 Penatalaksanaan Berdasarkan Derajat Asma. Sumber: GINA, 2009.

24

You might also like