You are on page 1of 16

1

BAB 1 PENDAHULUAN Protein mempunyai fungsi dalam tubuh manusia sebagai enzim, dimana hampir semua reaksi biologis dipercepat atau dibantu oleh suatu senyawa makromolekul enzim. Protein besar peranannya terhadap perubahan-perubahan kimia dalam sistem biologis. Selain itu, protein berkerja sebagai alat pengangkut, dimana, hemoglobin mengangkut oksigen dalam eritrosit, sedangkan mioglobin mengangkut oksigen dalam otot. Protein juga Pengatur merupakan komponen utama dalam mengatur gerakan otot yang terjadi karena adanya dua molekul protein yang saling bergeseran. Tambahan pula, protein juga berfungsi sebagai penunjang mekanis dimana dengan adanya kolagen, suatu protein berbentuk bulat panjang dan mudah membentuk serabut, kekuatan dan daya tahan robek kulit dan tulang dapat dipertahankan. Pertahanan tubuh atau imunisasi pertahanan tubuh yang biasanya dalam bentuk antibodi, juga merupakan suatu protein khusus yang dapat mengenal dan menempel atau mengikat benda-benda asing yang masuk ke dalam tubuh seperti virus, bakteri, dan sel- sel asing lain. Bahan makanan hewani merupakan sumber protein yang baik, seperti telur, susu, unggas, ikan dan kerang. Sumber protein nabati pula adalah seperti kacang-kacangan serta hasilnya seperti kacang kedelai, tempe, tahu dan lainlainya. Padi-padian dan hasilnya, relatif lebih rendah dalam protein, tetapi karena dimakan dalam jumlah banyak, member sumbangan besar terhadap konsumsi protein sehari. Bahan makanan hewani kaya dengan protein bermutu tinggi, tetapi hanya merupakan 18,4% konsumsi protein rata-rata penduduk Indonesia. Jika terjadi kekurangan kalori protein (KKP) dalam tubuh, maka akan menyebabkan beberapa penyakit utama yaitu, Marasmus dan Kwashiorkor dan Marasmic Kwashiorkor. Dimana pasien Marasmus ditandai dengan salah satu bentuk kekurangan gizi yang buruk. Penyebabnya antara lain, karena masukan makanan dan kalori yang sangat kurang, infeksi, pembawaan lahir, prematuritas, penyakit pada masa neonatus serta kesehatan lingkungan. Kwashiokor disebabkan inadekuatnya intake protein yang berlansung kronis sehingga gejala ditandai

dengan badan gemuk berisi cairan, depigmentasi kulit, rambut jagung dan muka bulan (moon face). Marasmic Kwashiokor pula disebabkan oleh, kekurangan intake protein dan kalori. Secara umumnya, penyebab dari meningkatnya penderita KKP di Indonesia terutamanya balita adalah akibat konsumsi kalori yang kurang dalam jangka waktu yang lama. Pada orang dewasa, KKP timbul umumnya pada anggota keluarga rumahtangga miskin oleh karena kelaparan akibat gagal panen atau hilangnya mata pencaharian. Dari berbagai hasil penelitian menunjukkan bahwa KKP merupakan salah satu bentuk kurang gizi yang mempunyai dampak menurunkan mutu fisik dan intelektual, serta menurunkan daya tahan tubuh yang berakibat meningkatnya resiko kesakitan dan kematian terutama pada kelompok rentan biologis. Menurut data hasil Susenas tahun 1992 prevalensi kekurangan kalori protein balita masih 11,8%. salah satu faktor penyebab adalah pemberian makanan pendamping ASI yang dari segi kualitas dan kuantitasnya masih rendah. UPGK dan Posyandu merupakan program yang secara khusus dilaksanakan untuk menurunkan prevalensi KEP. Peningkatan kedua program ini berdampak positif untuk menurunkan prevalensi KEP. Meskipun demikian keterlibatan aktif masyarakat, organisasi wanita, LSM dan perbaikan keadaan ekonomi mempunyai andil yang besar didalam keberhasilan meningkatkan status gizi balita.

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kurang Kalori Protein 2.1.1. Definisi Kurang kalori protein (KKP) adalah apabila seseorang didapati kurang gizi disebabkan oleh rendahnya konsumsi energi protein dalam makanan sehari-hari sampai timbulnya gangguan penyakit tertentu sehingga tidak memenuhi angka kecukupan gizi (AKG). Penyakit akibat KKP adalah sangat umum pada anak dan balita dan antaranya disebut Maramus dan Kwashiokor. Anak disebut KKP apabila berat badannya kurang dari 80% indeks BB untuk baku standar WHONCHS (Depkes RI, 1998). Istilah Kurang Energi Protein (KEP) atau Kurang Kalori Protein (KKP) digunakan untuk menggambarkan kondisi klinik berspektrum luas yang berkisar antara sedang sampai berat. KPP yang berat memperlihatkan gambaran yang pasti dan benar (tidak mungkin salah) artinya pasien hanya berbentuk kulit pembungkus tulang, dan bila berjalan bagaikan tengkorak (Daldiyono dan Thaha, 1998). KPP adalah gizi buruk berbentuk terparah (akut) dari proses terjadinya kekurangan gizi menahun atau kekurangan gizi tingkat berat. Gizi buruk yang disertai dengan tanda-tanda klinis disebut marasmus, kwashiorkor dan kombinasi marasmus kwashiorkor (Soekirman (2000). Etiologi dari KKP antaranya adalah:

Diet yang tidak mencukupi Kebiasaan makan yang tidak tepat yang bisa dipengaruhi oleh hubungan antara orang tua dan anak yang terganggu, karena kelainan metabolik, atau malformasi congenital.

Pada bayi, dapat terjadi karena tidak mendapat cukup ASI dan tidak diberi makanan penggantinya atau sering diserang diare.

2.1.2. Klasifikasi

Klasifikasi KEP menurut % Median WHO-NCHS KEP Ringan : BB/U 70 80 % Median WHO-NCHS KEP Sedang: BB/U 60 70 % Median WHO-NCHS KEP Berat : BB/U < 60 % Median WHO-NCHS

Klasifikasi Status Gizi Berdasarkan Indikator BB/U yang disajikan dalam Z-Skor Indeks < + 2 SD - 2 SD s/d + 2 SD - 3 SD s/d < - 2 SD < - 3 SD Klasifikasi KEP Menurut Depkes (2000) Status Gizi BB/U Gizi lebih Gizi baik Gizi kurang Gizi buruk

Klasifikasi Status Gizi Berdasarkan Indikator TB/U yang disajikan dalam Z-Skor Indeks - 2 SD s/d + 2 SD < - 2 SD Klasifikasi KEP Menurut Depkes (2000) Status Gizi TB/U Normal Pendek

Klasifikasi Status Gizi Berdasarkan Indikator BB/TB yang disajikan dalam ZSkor Indeks < + 2 SD - 2 SD s/d + 2 SD - 3 SD s/d < - 2 SD < - 3 SD Klasifikasi KEP Menurut Depkes (2000) (marasmus, kwashiorkor, marasmic-kwashiorkor). Status Gizi BB/TB Gemuk Normal Kurus Sangat Kurus

KEP ringan bila tidak ditangani data jatuh ke status gizi yang lebih buruk

2.1.3. Patofisiologi Pada gagal ginjal kronik fungsi renal menurun, produk akhir metabolisme protein yang normalnya diekskresikan ke dalam urin tertimbun dalam darah.

Terjadi uremia dan mempengaruhi setiap sistem tubuh. Semakin banyak timbunan produk sampah, maka gejala akan semakin berat. Penurunan jumlah glomeruli yang normal menyebabkan penurunan klirens substansi darah yang seharusnya dibersihkan oleh ginjal. Dengan menurunnya glomerulo filtrate rate (GFR) mengakibatkan penurunan klirens kreatinin dan peningkatan kadar kreatinin serum. Hal ini menimbulkan gangguan metabolisme protein dalam usus yang menyebabkan anoreksia, nausea maupun vomitus yang menimbulkan perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh. Peningkatan ureum kreatinin sampai ke otak mempengaruhi fungsi kerja, mengakibatkan gangguan pada saraf, terutama pada neurosensori. Selain itu Blood Ureum Nitrogen (BUN) biasanya juga meningkat. Pada penyakit ginjal tahap akhir urin tidak dapat dikonsentrasikan atau diencerkan secara normal sehingga terjadi ketidakseimbangan cairan elektrolit. Natrium dan cairan tertahan meningkatkan resiko gagal jantung kongestif. Penderita dapat menjadi sesak nafas, akibat ketidakseimbangan suplai oksigen dengan kebutuhan. Dengan tertahannya natrium dan cairan bisa terjadi edema daan ascites. Hal ini menimbulkan risiko kelebihan volume cairan tubuh, sehingga perlu dimonitor keseimbangan cairannya. Semakin menurunnya fungsi renal terjadi asidosis metabolik akibat ginjal mengeksresikan muatan asam (H+) yang berlebihan. Terjadi penurunan produksi eritropoetin yang mengakibatkan terjadinya anemia. Sehingga pada penderita dapat timbul keluhan adanya kelemahan dan kulit terlihat pucat menyebabkan tubuh tidak toleran terhadap aktifitas. Dengan menurunnya filtrasi melalui glomerulus ginjal terjadi peningkatan kadar fosfat serum dan penurunan kadar serum kalsium. Penurunan kadar kalsium serum menyebabkan sekresi parathormon dari kelenjar paratiroid. Laju penurunan fungsi ginjal dan perkembangan gagal ginjal kronis berkaitan dengan gangguan yang mendasari, ekskresi protein dalam urin, dan adanya hipertensi. 2.1.4. Gambaran Klinik Gambaran klinik gagal ginjal kronik berat disertai sindrom azotemia sangat kompleks, meliputi kelainan-kelainan berbagai organ seperti: kelainan

hemopoeisis, saluran cerna, mata, kulit, selaput serosa, kelainan neuropsikiatri dan kelainan kardiovaskular.

a. Kelainan hemopoeisis Anemia normokrom normositer dan normositer (MCV 78-94 CU), sering ditemukan pada pasien gagal ginjal kronik. Anemia yang terjadi sangat bervariasi bila ureum darah lebih dari 100 mg% atau bersihan kreatinin kurang dari 25 ml per menit. b. Kelainan saluran cerna Mual dan muntah sering merupakan keluhan utama dari sebagian pasien gagal ginjal kronik terutama pada stadium terminal. Patogenesis mual dam muntah masih belum jelas, diduga mempunyai hubungan dengan dekompresi oleh flora usus sehingga terbentuk amonia. Amonia inilah yang menyebabkan iritasi atau rangsangan mukosa lambung dan usus halus. Keluhan-keluhan saluran cerna ini akan segera mereda atau hilang setelah pembatasan diet protein dan antibiotika. c. Kelainan mata Visus hilang (azotemia amaurosis) hanya dijumpai pada sebagian kecil pasien gagal ginjal kronik. Gangguan visus cepat hilang setelah beberapa hari mendapat pengobatan gagal ginjal kronik yang adekuat, misalnya hemodialisis. Kelainan saraf mata menimbulkan gejala nistagmus, miosis dan pupil asimetris. Kelainan retina (retinopati) mungkin disebabkan hipertensi maupun anemia yang sering dijumpai pada pasien gagal ginjal kronik. Penimbunan atau deposit garam kalsium pada conjunctiva menyebabkan gejala red eye syndrome akibat iritasi dan hipervaskularisasi. Keratopati mungkin juga dijumpai pada beberapa pasien gagal ginjal kronik akibat penyulit hiperparatiroidisme sekunder atau tersier.

d. Kelainan kulit Gatal sering mengganggu pasien, patogenesisnya masih belum jelas dan diduga berhubungan dengan hiperparatiroidisme sekunder. Keluhan gatal ini akan segera hilang setelah tindakan paratiroidektomi. Kulit biasanya kering dan bersisik, tidak jarang dijumpai timbunan kristal urea pada kulit muka dan dinamakan urea frost e. Kelainan selaput serosa Kelainan selaput serosa seperti pleuritis dan perikarditis sering dijumpai pada gagal ginjal kronik terutama pada stadium terminal. Kelainan selaput serosa merupakan salah satu indikasi mutlak untuk segera dilakukan dialisis. f. Kelainan neuropsikiatri Beberapa kelainan mental ringan seperti emosi labil, dilusi, insomnia, dan depresi sering dijumpai pada pasien gagal ginjal kronik. Kelainan mental berat seperti konfusi, dilusi, dan tidak jarang dengan gejala psikosis juga sering dijumpai pada pasien GGK. Kelainan mental ringan atau berat ini sering dijumpai pada pasien dengan atau tanpa hemodialisis, dan tergantung dari dasar kepribadiannya (personalitas). g. Kelainan kardiovaskular Patogenesis gagal jantung kongestif (GJK) pada gagal ginjal kronik sangat kompleks. Beberapa faktor seperti anemia, hipertensi, aterosklerosis, kalsifikasi sistem vaskular, sering dijumpai pada pasien gagal ginjal kronik terutama pada stadium terminal dan dapat menyebabkan kegagalan faal jantung. 2.1.5. Diagnosa Pendekatan diagnosis gagal ginjal kronik (GGK) mempunyai sasaran berikut: a. Memastikan adanya penurunan faal ginjal (LFG) b. Mengejar etiologi GGK yang mungkin dapat dikoreksi

c. Mengidentifikasi semua faktor pemburuk faal ginjal (reversible factors) d. Menentukan strategi terapi rasional e. Meramalkan prognosis Pendekatan diagnosis mencapai sasaran yang diharapkan bila dilakukan pemeriksaan yang terarah dan kronologis, mulai dari anamnesis, pemeriksaan fisik diagnosis dan pemeriksaan penunjang diagnosis rutin dan khusus. a. Anamnesis dan pemeriksaan fisik Anamnesis harus terarah dengan mengumpulkan semua keluhan yang berhubungan dengan retensi atau akumulasi toksin azotemia, etiologi GGK, perjalanan penyakit termasuk semua faktor yang dapat memperburuk faal ginjal (LFG). Gambaran klinik (keluhan subjektif dan objektif termasuk kelainan laboratorium) mempunyai spektrum klinik luas dan melibatkan banyak organ dan tergantung dari derajat penurunan faal ginjal. b. Pemeriksaan laboratorium Tujuan pemeriksaan laboratorium yaitu memastikan dan menentukan derajat penurunan faal ginjal (LFG), identifikasi etiologi dan menentukan perjalanan penyakit termasuk semua faktor pemburuk faal ginjal. 1) Pemeriksaan faal ginjal (LFG) Pemeriksaan ureum, kreatinin serum dan asam urat serum sudah cukup memadai sebagai uji saring untuk faal ginjal (LFG). 2) Etiologi gagal ginjal kronik (GGK) Analisis urin rutin, mikrobiologi urin, kimia darah, elektrolit dan imunodiagnosis. 3) Pemeriksaan laboratorium untuk perjalanan penyakit Progresivitas penurunan faal ginjal, hemopoiesis, elektrolit, endoktrin, dan pemeriksaan lain berdasarkan indikasi terutama faktor pemburuk faal ginjal (LFG).

c. Pemeriksaan penunjang diagnosis Pemeriksaan penunjang diagnosis harus selektif sesuai dengan tujuannya, yaitu: 1) Diagnosis etiologi GGK Beberapa pemeriksaan penunjang diagnosis, yaitu foto polos perut, ultrasonografi (USG), nefrotomogram, pielografi retrograde, pielografi antegrade dan Micturating Cysto Urography (MCU). 2) Diagnosis pemburuk faal ginjal Pemeriksaan radiologi dan radionuklida (renogram) dan pemeriksaan ultrasonografi (USG). 2.2. Dialisa Dialisis atau cuci darah merupakan salah satu metode untuk memperlama umur pasien gagal ginjal. Selain itu, dialisis dapat digunakan untuk memperlama waktu pasien gagal ginjal sebelum dilakukan transplantasi ginjal. Dialisis juga dapat mengembalikan keseimbangan cairan dan elektrolit. Dialisis bekerja dengan cara menyingkirkan kelebihan cairan dan sampah dari darah melalui proses difusi,osmosis dan uktrafiltrasi. Dialisis ini menggunakan dialysate, cairan yang sama dengan komposisi plasma darah normal, yang ditransport kedalam kompartement diantara membran semipermeable. Membran semipermeabel ini berfungsi sebagai filter atau penyaring dimana molekul kecil seperti glukosa dan urea dapat menembus membran melalui pori-pori pada membran sedangkan molekul besar tidak dapat menembus membran ini. Pada hemodialisis, sebuah tabung yang kecil yang dapat membawa darah ke dalam sebuah alat yang disebut dengan dialyzer yang dibuat dari material yang berfungsi sebagai membran semipermeabel. Pada peritoneal dialisis, membran semipermeabel ini diganti oleh peritoneal membran pada tubuh yang banyak

10

mengandung pembuluh darah dan dapat digunakan untuk menyaring darah. Peritoneal ini terletak diperut yang kaya akan pembuluh darah. Cara kerja dari hemodialisis peritoneal ini adalah dialysate diinfuskan ke dalam kateter yang akan masuk ke dalam ruangan peritoneal. Ruangan ini merupakan ruang antara abdomen dekat dengan usus halus. Pada prosedur yang umum digunakan, continousambulatory peritoneal dialysis (CAPD), dialysate masih tertinggal di cavitas peritoneal selama 4-6 jam dan sesudahnya dihisap dan diganti dengan dialysate yang baru. Secara umum larutan dialysate diganti 4 kali setiap harinya dan membutuhkan sekitar 30 menit untuk penghisapan dan penggantian dengan yang baru. Tidak seperti hemodialisis dengan menggunakan alat (hemodializer), dialisis peritoneal harus menggunakan konsentrasi glukosa yang tinggi akibat tekanan onkotik yang rendah pada cavitas peritoneal. Akibatnya, glukosa yang tinggi akan terserap ke dalam tubuh menimbulkan hiperglikemia dan hipertrigliserida. Selain itu, kelemahan dari metode ini adalah infeksi pada cavitas peritoneal akibat dari kateter (peritonitis), penjendalan darah pada kateter sehingga dapat menghambat kateter, perpindahan kateter dan abdominal hernia akibat dari volume dialysat. Akan tetapi kelebihan dari metode ini adalah pengambilan darah melalui pembuluh darah tidak dilakukan serta pembatasan diet tidak terlalu ketat. Pada dialisis dengan menggunakan dialyzer, efek merugikan yang dapat ditimbulkan antara lain infeksi pada pembuluh darah, penjendalan darah, hipotensi akibat aliran darah ditarik keluar menuju dialyzer, kram pada otot terutama pada tangan, kaki dan lutut. Selain itu, anemia juga dapat terjadi pada pasien dengan hemodialisis akibat hilangnya darah didalam dialyzer. Efek merugikan lainnya adalah beberapa pasien merasa pusing, lemah,nausea, vomiting dan berkunang-kunang. Metode urea kinetik model selanjutnya digunakan untuk mengetahui seberapa efektifkah dialisis. Metode urea kinetik model adalah metode untuk mengetahui keefektifan dialisis dengan menghitung clearence urea dari darah. Metode ini menggunakan rumus Kt/Vdimana K menunjukkan konsentrasi urea

11

yang terbuang dari darah, t adalah waktu untuk dialisis dan V adalah volume darah. Nilai yang diperoleh dapat digunakan untuk mengetahui apakah pasien telah mengalami dialisis yang tepat. Batas nilai yang digunakan adalah 1,2. Akan tetapi, perhitungan ini tidak begitu simpel, karena beberapa faktor perlu diperhatikan antara lain data clearence pada dialyzer, blood flow rate dan dialysis flow rate. Sehingga komputerisasi menjadi hal yang penting dalam menentukan nilai ini. 2.3. Kebutuhan Nutrisi Pasien Gagal Ginjal Kronis 2.3.1. Kebutuhan Energi Beberapa studi menemukan kebutuhan kalori untuk pemenuhan pasien dengan hemodialisis dalam kondisi metabolik yang seimbang. Menurut National Kidney Foundation's, kebutuhan kalori pada pasien gagal ginjal pada hemodialisis dalam kondisi metabolik yang seimbang adalah 30-35 kalori/Kg. Sedangkan pada pasien yang dihemolisis dengan menggunakan metode CAPD, sekitar 200-300 kalori dari dekstrose dalam larutan diasylate. Sehingga kalori ini perlu diperhatikan. Sedangkan pada pasien dengan gagal ginjal akan mengalami edema, sehingga perlu diketahui berat badan aktual pasien agar pemenuhan kebutuhan energi dapat diketahui. Berdasarkan National Kidney Foundation dan data NHANES II apabila berat pasien <95%>115%, maka berat badan perkiraan (berdasarkan perhitungan rumus) digunakan dalam menentukan energi. Rumus untuk mengetahui berat badan perkiraan adalahsebagai berikut: berat badan ideal+[(aktual edema-free weight-ideal weight)x0,25]. 2.3.2. Kebutuhan Protein Kebutuhan protein pada pasien gagal ginjal sangat bergantung pada jenis gagal ginjal yang dialami oleh pasien dan jenis dialisis yang dilakukan oleh pasien. Pada pasien dewasa dengan gagal ginjal kronis yang tidak menerima dialisis, maka konsumsi nitrogen per kilogram bahan makanan adalah 0,6 gram apabila kebutuhan kalori terpenuhi dan protein yang dikonsumsi harus berasal dari protein dengan nilai biologis yang tinggi. Penurunan asupan protein dapat mereduksi sindrom uremik dan menghambat dialisis pada pasien dengan gagal ginjal kronis yang

12

stabil. Akan tetapi, penurunan asupan protein ini tidak diharapkan karena dapat menimbulkan malnutrisi atau intake kalori yang tidak adekuat. Kebutuhan protein pada pasien dengan gagal ginjal akut adalah sekitar 0,6- 0,8 gram per kilogram berat badan tubuh apabila fungsi ginjal sudah menurun dan tidak mengalami dialisis. Sedangkan apabila fungsi ginjal sudah membaik dan terdapat perlakuan dialisis maka kebutuhan protein adalah 1,2-1,3 gram per kilogram berat badan. Pada pasien dengan hemodialisis, maka lebutuhan kalori sebesar 1,2 gram per kilogram berat badan per hari untuk pasien dengan dialisis yang stabil dan sebesar 1,21,3gram untuk pasien dengan hemodialisis peritoneal yang stabil. Pasien dengan malnutrisi, acute catabolic illness atau luka postoperatif sebaiknya mendapat protein lebih dari 1,3 gram per kilogram berat badan per hari. Sebuah studi menunjukkan konsumsi protein sebesar 2-2,5gram per kilogram berat badan per hari dapat memperbaiki keseimbangan Nitrogen pada pasien dengan gagal ginjal akut. Akan tetapi, konsumsi protein diatas 1,5-1,6 gram per hari per kilogram berat badan akan meningkatkan frekuensi dari dialisis. 2.3.3. Kebutuhan Vitamin Pasien dengan gagal ginjal sangat riskan untuk defisiensi beberapa mikronutient. Pasien dengan dialisis dapat kehilangan vitamin larut air seperti thiamine, asam folate, pyridoxine dan asam askorbat (vitamin C). Akan tetapi, pasien dengan gagal ginjal akan menyebabkan turunnya ekskresi vitamin A dan menyebabkan hypervitaminosis A. Sehingga konsumsi vitamin A perlu mendapat perhatian. Vitamin E sangat dibutuhkan sebagai antioksidan sehingga mencegah asidosis pada pasien. Konsumsi vitamin E sebesar 300-800 IU dapat mencegah oksidasi pada sel. Akan tetapi, hal ini masih menjadi sesuatu yang kontroversial. Vitamin D merupakan vitamin yang mengalami defisiensi karena salah satu fungsi ginjal adalah untuk aktivasi dari vitamin D. Selain itu, meningkatnya level PTH (Pituitary Hormon) akan menyebabkan vitamin D menurun. Pasien dengan penurunan fungsi ginjal kronis (GFR 20-60 mL/min) yang disertai dengan meningkatnya level PTH harus dilakukan pengecekan vitamin D dalam bentuk

13

25-Hidroksi kolekalsiferol atau 25-OH vitamin D. Pasien dengan kadar 25-OH vitamin D <75>

Tabel 2.3. Rekomendasi intake vitamin pada pasien dengan hemodialisis Vitamin Thiamin Riboflavin Niacin Asam Pantotenat Piridoksin Sianokobalamin Biotin Asam Askorbat Asam Folat Zink Rekomendasi 1,1 1,2 mg/hari 1,1 1,3 mg/hari 14 16 mg/hari 5 mg/hari 10 mg/hari 2,4 mg/hari 30 mcg/hari 75 90 mg/hari 1 mg/hari 15 mg/hari

14

BAB 3 KESIMPULAN

Diet yang diberikan adalah rendah protein cukup tinggi. Cairan dan elektrolit disesuaikan dengan kondisi pasien. Pada Diet Rendah Protein, sumber protein sebagai lauk pauk tidak hanya bersumber dari protein hewani, dapat digunakan hasil olahan kedelai untuk pengganti protein hewani sebagai variasi menu atau untuk penganut vegetarian dengan memperhatikan segala kelebihan dan kekurangan.

Asupan protein yang konsisten dan terkendali adalah penting. Mengatur makanan dan memenuhi anjuran dapat meningkatkan kualitas pasien.

DAFTAR PUSTAKA

15

Bagian Gizi RS Dr. Cipto Mangunkusumo, 1997. Penuntut Diit.. Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama. Bircher G, Doherty CC. Gastroenterology and Nutrition in Chronic Kidney Disease Nutrition. In: Comprehensive Clinical Nephrology. Feehally J, Floege J, Johnson RJ (eds), 3rd ed. Mosby Elsevier,Philadelphia,2007, pp.893-902. Conchol, M. and Spiegel, D.M. 2005. The Patient with Chronic Kidney Disease. In: Schrier, R.W., ed. Manual of Nephrology Sixth Edition . Philadelphia, USA: Lippincott Williams and Wilkins, 180. Darmawan, S., 2009. Pedoman Nutrisi dan Anjuran Diet untuk Pasien Hemodialisis, YGDI._Available_from:http://www.ygdi.org/_patientinfo.php? view=_pedoman_detail&id=9. [Accessed 20 Maret 2012]. Jansen, M.A.M., Korevaar, J.C., Dekker, F.W., Jager, K.J., Boeschoten, E.W., and Krediet, R.T., 2001. Renal Function and Nutritional Status at the Start of Chronic Dialysis Treatment. J Am Soc Nephrol 12: 157163. Kresnawan, T., Diet Rendah Protein dan Penggunaan Protein Nabati Pada Penyakit Ginjal Kronik. Divisi Ginjal Hipertensi Bag. Penyakit Dalam FKUI-RSCM. Kusuma, R.J., 2009. Management Diet Untuk Pasien Dengan Gagal Ginjal. Scribd. Available from: http://www.scribd.com/doc/13066913/Management-Diet-Untuk-PasienDengan-Gagal-Ginjal. [Accessed 21 Maret 2012].

16

Nerscomite, 2010. Nutrisi Pada Penderita Dialisis. Surabaya: Fakultas Kedokteran UNAIR. Available from: http://b11nk.wordpress.com/2009/08/24/nutrisi-pada-penderitadialisis/#more-220. [Accessed 15 Maret 2010]. Roesli, R., 2008. Hipertensi, diabetes, dan gagal ginjal di Indonesia. Dalam: Lubis, F.R., et al (eds). 2008. Hipertensi dan Ginjal. USU Press, Medan: 95-108. Sukandar, E., 2006. Nefrologi Klinik Edisi III. Bandung: Fakultas Kedokteran UNPAD. Wahyuni, A.S, 2007 Suwita, K., 2006. Penyakit Ginjal Kronik. Dalam: Sudoyo, A.W., Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 570-573

You might also like