You are on page 1of 5

Hipertensi (Part.

4 - end)

Posted by ryandisajja on January 18, 2012 at 1:25 AM E. Penghambat Enzim Konversi Angiotensin (ACE) Kaptopril adalah penghambat ACE yang pertama ditemukan. Sejak itu telah dikembangkan banyak penghambat ACE lain, dan yang telah resmi beredar di Indonesia adalah enalapril, lisinopril, kuinapril, perindopril, ramipril, silazapril, benazepril, delapril, dan fosinopril. Secara umum penghambat ACE dapat dibedakan menjadi penghambat ACE yang kerja langsung seperti kaptopril dan lisinopril, dan penghambat ACE yang bekerja tidak langsung (merupakan prodrug), selain kaptopril dan lisinopril. Penghambat ACE mengurangi pembentukan AII (angiotensin II) sehingga terjadi vasodilatasi dan penurunan sekresi aldosteron yang menyebabkan terjadinya ekskresi natrium dan air, serta retensi kalium. Akibatnya terjdai penurunan tekanan darah pada penderita hipertensi esensial maupun hipertensi renovaskuler. Penurunan tekanan darah oleh penghambat ACE disertai dengan penurunan resistensi perifer, tanpa disertai refleks takikardia. Penghambat ACE juga mengurangi tonus vena. Besarnya penurunan tekanan darah oleh penghambat ACE berbanding lurus dengan PRA (aktivitas renin plasma) awal, tetapi hanya pada pemberian akut, dan tidak pada pemberian kronik. Pada hipertensi berat, penghambat ACE dapat ditambahkan sebagai vasodilator obat ke-3 pada diuretik dan beta-bloker. Kombinasi dengan diuretik memberikan efek antihipertensi yang sinergis, sedangkan efek hipokalemia diuretik dicegah atau dikurangi. Kombinasi dengan betabloker memberikan efek yang aditif. Kombinasi dengan vasodilator, termasuk prazosin dan niedipin, memberikan efek yang baik. Tetapi pemberian bersama penghambat adrenergik lainnya yang menghambat respon adrenergik alpha dan beta, sebaiknya dihindarkan karena dapat menimbulkan hipotensi yang berat dan berkepanjangan. Penghambat ACE lebih efektif pada penderita yang lebih muda bila digunakan sendiri. Obatobat ini terpilih untuk penderita hipertensi dengan gagal jantung kongestif yang juga merupakan indikasi penghambat ACE. Efek samping yang paling sering terjadi yaitu batuk kering. Efek samping berupa rash dan gangguan pengecap (disgeusia) lebih sering terjadi pada penggunaan kaptopril, karena adanya gugus sulfhidril, yang tidak dimiliki oleh penghambat ACE lainnya. Selain itu, udem angioneurotik dapat terjadi pada penggunaan semua penghambat ACE. Resiko udem ini meningkat pada penderita yang meneruskan obat meskipun sudah terjadi ulkus di mulut atau rash

kulit. Proteinuria dan hiperkalemia jarang terjadi. Penghambat ACE tidak menimbulkan efek samping metabolik pada pengunaan jangka panjang. Penghambat ACE, disamping alpha-bloker, juga dapat mengurangi resistensi insulin, sehingga menjadi antihipertensi terpilih pada hipertensi dengan NIDDM atau dengan obesitas. Kaptopril Bioavailabilitas oral 60-65%, dan berkurang bila diberikan bersama makanan, maka obat ini harus diberikan 1 jam sebelum makan. Ikatan dengan protein plasma sekitar 30%. Waktu paruh eliminasinya sekitar 2,2 jam. Ekskresi utuh dalam urin terjadi pada 40% dari dosis yang bioavailabel, maka pada gangguan ginjal dosis obat harus dikurangi. Enalapril Merupakan prodrug yang dipecah dalam hati menjadi bentuk aktifnya, enalaprilat. Bioavailabilitas oral 40% dan tidak dipengaruhi oleh makanan. waktu paruh enalaprilat setelah dosis berulang 11 jam dan meningkat bila terdapat gangguan ginjal sehingga pada keadaan ini dosis obat harus dikurangi. Lisinopril Bioavailabilitas oral antara30-50%, dan tidak dipengaruhi makanan. Waktu paruhnya sekitar 12 jam, dan sama sekali tidak terikat pada protein plasma. Hampir 100% dari dosis yang bioavailabel diekskresi utuh dalam urin.

F.

Antagonis Kalsium

Antagonis kalsium atau penghambat kanal Ca2+ (Calcium Channel Blocker, CCB) adalah sekelompok obat yang bekerja dengan menghambat masuknya ion Ca2+ melewati slow channel yang terdapat pada membran sel (sarkolema). Berdasarkan struktur kimianya, antagonis kalsium dapat dibedakan atas 5 golongan : 1. 2. 3. 4. 5. Dihidropiridin (DHP) : nifedipin, nikardipin, felodipin, amlodipin Difenilalkilamin : verapamil, galopamil, tiapamil Benzotizepin : diltiazem Piperazin : sinarizin, flunarizin Lain-lain : prenilamin, perheksilin

Sebagai monoterapi, antagonis kalsium memberikan efek antihipertensi yang sama besarnya dengan golongan antihipertensi lainnya. Kombinasi antagonis kalsium dengan beta-bloker,

penghambat ACE atau alpha-bloker memberikan efek yang baik, tetapi antagonis kalsium hanya memberikan penambahan efek yang kecil bila ditambahkan pada diuretik. Kombinasi antara verapamil atau diltiazem dengan beta-bloker memberikan efek antihipertensi yang aditif, tetapi efeknya pada konduksi jantung dan kontraktilitas jantung juga aditif. Nifedipin dapat ditambahkan sebagai vasodilator obat ke-3 pada diuretik dan beta-bloker atau penghambat adrenergik lainnya. Seperti halnya dengan diuretik, pembatasan garam pada penderita yang mendapat antagonis kalsium juga tidak berguna. Golongan DHP merupakan vasodilator yang poten, bila disertai dengan mula kerja yang cepat, misalnya pada pemberian nifedipin, maka akan terjadi (a) penurunan tekanan darah yang besar dan cepat, yang dapat mengakibatkan iskemia miokard atau serebral; (b) refleks simpatis kuat berupa takikardia, palpitasi, yang dapat mencetuskan serangan angina pada penderita PJK; dan (c) banyak efek samping akibat vasodilatasi akut, yakni sakit kepala, pusing, dan muka merah.

G.

Vasodilator

Hidralazin Hidralazin merelaksasi secara langsung otot polos arteriol dengan mekanisme yang masih belum dapat dipastikan. Salah satu kemungkinan mekanisme kerjanya adalah sama dengan kerja nitrat oragnik dan natrium nitroprusid, yaitu dengan melepaskan nitrogen oksida yang akan mengaktifkan guanilat siklase dengan hasil akhir defosforilasi berbagai protein, termasuk protein kontraktil, dalam sel otot polos. Hidralazin menurunkan TDD lebih banyak daripada TDS dengan menurunkan resistensi perifer. Oleh karena hidralazin lebih selektif mendilatasi arteriol daripada vena, maka hipotensi postural jarang terjadi. Hidralazin oral biasanya ditambahkan sebagai obat ke-3 kepada diuretik dan beta-bloker. Retensi cairan akan dihambat oleh diuretik sedangkan refleks takikardia terhadap vasodilatasi akan dihambat oleh beta-bloker. Absorpsi dari saluran cerna cepat dan hampir sempurna, tetapi mengalami metabolisme lintas pertama di hati, yang besarnya ditentukan oleh fenotipe asetilasi penderita. Pada asetilator lambat dicapai kadar plasma yang lebih tinggi, terjadinya hipotensi berlebihan dan toksisitas lainnya juga lebih tinggi, sehingga perlku dosis yang lebih kecil. Hidralazin dapat menyebabkan retensi natrium dan air jika diberikan bersama diuretik. Sakit kepala dan takikardia sering terjadi jika hidralazin diberikan sendiri dan dapat dikurangi bila dimulai dengan dosis rendah yang ditingkatkan secara perlahan. Takikardia dapat diatasi dengan pemberian beta-bloker. Neuropati perifer, diskrasia darah, hepatotosisitas, dan kolangitis akut dapat terjadi meskipun jarang. Minoksidil

Dilatasi arteriol oleh minoksidil menurunkan resistensi perifer dan menurunkan TDD dan TDS. Besarnya penurunan tekanan darah oleh minoksidil sebanding dengan tingginya tekanan darah awal, dan efek hipotensifnya minimal pada subjek yang normotensif. Efek hipotensif minoksidil disertai dengan refleks peningkatan denyut jantung dan curah jantung. Obat ini efektif pada hampir semua penderita. Minoksidil harus diberikan bersama dengan diuretik dan beta-bloker atau penghambat adrenergik lainnya untuk mengatasi retensi cairan dan takikardia serta meningkatkan respon pengobatan. Retensi cairan sering terjadi, tetapi biasanya dapat diatasi dengan pemberian tiazid atau furosemid. Sakit kepala dan takikardia jua sering terjadi, dapat dicegah dengan pemberian betabloker. Efek samping lain yang kadang-kadang terjadi adalah mual, sakit kepala, rasa lelah, erupsi obat dan, nyeri tekan di dada. Bioavailabilitas minoksidil sekitar 90%. Waktu paruhnya sekitar 4,2 jam, tetapi masa kerjanya jauh lebih panjang (kira-kira 24 jam). Ekskresi obat utuh dalam urin 12%. Kadar plasma tidak berkorelasi dengan respon terapi. Diazoksid Pemberian obat ini secara intravena dapat menurunkan tekanan darah dengan cepat. Denyut jantung dan curah jantung meningkat. Retensi natrium dan air dapat terjadi dan menghilangkan efek hipotensif diazoksid, tetapi hal ini dapat diatasi dengan pemberian diuretik kuat. Diazoksid efektif untuk hipertensi enselopati, hipertensi maligna, dan hipertensi berat yang disertai glomerulonefritis akut atau kronik. Obat ini juga digunakan untuk mengendalikan tekanan darah dengan cepat pada preeklamsia yang refrakter terhadap hidralazin. Diazoksid menimbulkan retensi cairan dan hiperglikemia. Bila obat ini digunakan untuk waktu lebih dari 12-24 jam, restriksi natrium atau pemberian diuretik poten mungkin diperlukan. Efek samping lain adalah hipotensi, takikardia, iskemia jantung dan otak akibat hipotensi, azotemia, reaksi hipersensitivitas, mual, dan muntah. Obat ini dapat mengganggu proses kelahiran dengan menyebabkan relaksasi uterus. Waktu paruh diakzosid 20-60 jam, tetapi efek hipotensifnya lebih pendek dan bervariasi antara 4-20 jam. Pada penderita dengan gangguan fungsi ginjal, ikatan diakzosid dengan albumin menurun, sehingga efek hipotensif obat ini menjadi lebih besar. Natrium Nitroprusid Nitroprusid adalah obat yang kerjanya paling cepat dan selalu efektif untuk pengobatan hipertensi darurat, apapun penyebabnya. Obat ini menurunkan tekanan darah dengan segera, tetapi diperlukan infus yang kontinu untuk mempertahankan efek hipotensifnya. Nitroprusid merupakan obat pilihan utama untuk kebanyakan krisis hipertensi yang memerlukan terapi parenteral, termasuk krisis yang disertai dengan infark miokard akut dan gagal jantung kiri.

Efek samping akut merupakan akibat dari vasodilatasi berlebihan dan hipotensi. Biasanya ini dapat dicegah dengan memonitor tekanan darah secara ketat dan menggunakan pompa infus yang kecepatannya dapat diatur. Efek samping lainnya berupa mual, muntah, dan muscle twitching.

H.

Penghambat Postganglion Simpatik

Trimetafan Obat ini merupakan satu-satunya penghambat ganglion yang masih digunakan di klinik. Kerjanya singkat dan digunakan secara intravena untuk menurunkan tekanan darah dengan segera pada beberapa hipertensi darurat, terutama aneurisma aorta dissecting yang akut dan untuk menghasilkan hipotensi terkendali selama dilakukan bedah saraf atau bedah kardiovaskular sehingga dapat dicegah hilangnya banyak darah. Efek sanping yang ditimbulkan adalah paresis usus dan kandung kemih, hipotensi ortostatik, penglihatan kabur, dan mulut kering.

DAFTAR PUSTAKA Hipertensi (Part.1,2,3,4) Astawan, Made. 2007.Cegah Hipertensi dengan Pola Makan http://www.depkes.go.id/index.php. Dibuka tgl 20 November 2007. Ganiswarna, S.G., dkk. 1995. Farmakologi dan Terapi edisi keempat. Jakarta : Universitas Indonesia. Katzung, B.G. 2002. Farmakologi Dasar dan Klinik edisi kedelapan. Jakarta : Salemba Medika. Tjay, Tan Hoan, dan Kirana Rahardja. 2002. Obat-obat Penting edisi kelima cetakan kedua. Jakarta : PT. Elex Media Komputindo. Wijaya, Andi., Forum Diagnosticum Prodia, Pemeriksaan Laboratorium sebagai bagian dari Diagnosis dan Pengelolaan Hipertensi. 1993 Sutikno & Imam P., Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, 2003.

You might also like