Professional Documents
Culture Documents
Oleh:
Agung Praptapa
Action control dapat dilakukan melalui empat cara, yaitu dengan melalui
pembatasan perilaku (behavioral constraints), penelaahan sebelum pekerjaan
dilakukan (preaction review), pertanggunjawaban pekalsanaan kerja (action
accountability), dan pencadangan (redundancy).
a. Pembatasan Perilaku
Pembatasan perilaku ini sendiri dapat dilakukan melalui pembatasan fisik dan
pembatasan administratif. Pembatasan fisik (physical constraint) yaitu
pembatasan bagi karyawan untuk mendapatkan akses secara fisik, misalnya
melalui penggunaan password untuk memasuki ruang tertentu atau masuk ke
file atau program tertentu di komputer, dengan cara mengunci pintu untuk
memasuki ruang atau alat tertentu, dan melalui pembatasan lainnya untuk
memasuki atau menggunakan alat tertentu. Pembatasan untuk mendapatkan
akses saat ini telah berkembang tidak sekedar menggunakan password melalui
kombinasi huruf dan angka, tetapi bisa juga password dengan menggunakan bar
code, sidik jari, maupun retina mata.
b. Preaction Review
Supaya apa yang dilakukan oleh karyawan atau pihak lain yang dikendalikan
tidak menyimpang dari yang seharusnya, dan agar sesuai dengan yang
diharapkan, maka pihak yang dikendalikan dapat melakukan konsultasi ataupun
minta persetujuan dari atasannya atau dari pihak yang mengendalikan. Untuk
itulah maka bentuk action control ini disebut preaction review, yaitu pijak yang
mengendalikan mereview dan menyetujui hal-hal yang akan dilakukan oleh
karyawan atau pihak yang dikontrol sebelum pekerjaan tersebut dilaksanakan.
Bentuk preaction review bisa formal maupun tidak formal. Bentuk formal
biasanya dilakukan melalui proposal ataupun rencana kerja yang harus disetujui
oleh atasan. Sedangkan cara informal adalah menkomunikasikan secara lisan
ataupun tertulis sehingga pihak yang mengendalikan dapat memberikan
masukan, petunjuk, atau bahkan perintah tertentu sebelum pekerjaan tersebut
dilaksanakan. Komunikasi tertulis secara informal dapat dilakukan dengan
berbagai cara, baik surat atau memo yang sifatnya informal, melalui sms,
internet, dan cara-cara komunikasi lainnya.
c. Action Accountability
Untuk itu maka dalam action accountability harus dimulai dengan suatu definisi
yang jelas tentang macam pekerjaan apa yang dapat diterima perusahaan
(acceptable) dan juga apa yang tidak dapat diterima (unacceptable). Bolehkah
karyawan bekerja sambil merokok? Bolehkah karyawan beristirahat membaca
koran apabila yang bersangkutan sudah menyelesaikan tugasnya? Bolehkah
karyawan menerima telepon saat sedang berhadapan langsung dengan
kustomer? Bolehkah karyawan pulang setelah jam kantor walaupun tidak ada
lembur pada hari itu? Contoh pertanyaan-pertanyaan tersebut untuk
menunjukkan apa yang dapat diterima dan apa yang tidak dapat diterima oleh
perusahaan, dan ini tidak harus sama antara satu perusahaan dengan
perusahaan lainnya. Di suatu department store sering terdapat peraturan bahwa
penjaga toko tidak boleh duduk saat bekerja, dan pada department store lainnya
mungkin saja hal tersebut diperkenankan.
Mendefinisikan apa yang dapat diterima dan apa yang tidak dapat diterima oleh
perusahaan dapat dikembangkan menjadi ‘apa yang harus dikerjakan karyawan
apabila mengerjakan suatu pekerjaan tertentu?’. Ada perusahaan yang
mewajibkan karyawannya untuk memberikan ‘senyum’ terlebih dahulu sebelum
‘menyapa’. Ada pula perusahaan yang wajib menyebutkan ‘nama’ dari
pelanggan yang sedang dihadapi. Dalam hal ini maka karyawan yang menyapa
tanpa senyum terlebih dahulu dianggap salah dalam bekerja, dan karyawan yang
tidak menyebutkan nama pelanggan saat berbicara dengan pelanggan juga
dianggap tidak melakukan pekerjaan dengan baik.
Setelah mendefinisikan apa yang dapat diterima dan apa yang tidak dapat
diterima, langkah berikutnya adalah mengkomunikasikan hal tersebut kepada
seluruh elemen perusahaan. Semua karyawan harus diberitahu tentang hal ini
dan karyawanpun diharuskan mencari tahu tentang apa yang dapat diterima dan
apa yang tidak dapat diterima. Untuk itulah dalam suatu organisasi dierlukan
adanya aturan kerja, sistem dan prosedur, standard operating procedure (SOP),
dan berbagai petunjuk lainnya yang memungkinkan karyawan untuk mengetahui
mana pekerjaan yang dianggap benar dan mana pekerjaan yang dianggap tidak
benar.
Langkah berikutnya adalah melakukan observasi atau pelacakan tentang apa
yang sebenarnya terjadi tentang cara-cara orang melakukan pekerjaan tertentu.
Untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi dapat dilakukan melalui
observasi langsung (direct observation) maupun dengan teknik-teknik
pengawasan lainnya seperti menggunakan laporan kegiatan (activity report)
sebagai bukti bahwa karyawan telaj melakukan pekerjaan sesuai dengan
prosedur yang semestinya. Laporan pekerjaan biasanya berupa checklist tentang
pekrjaan-pekerjaan yang seharusnya dilakukan. Teknik pengawasan lainnya
adalah dengan mengadakan inspeksi mendadak (sidak) sehingga karyawan akan
selalu mengerjakan pekerjaannya sesuai dengan yang seharusnya. Saat ini
teknik observasi maupun pelacakan telah banyak dibantu dengan teknologi
dengan adanya CCTV misalnya, sehingga pekerjaan karyawan dapat selalu
dilihat dari layar monitor.
d. Pencadangan