You are on page 1of 26

MODEL PENGEMBANGAN SAGU DI PAPUA

Yan Pieter Karafir Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Papua

ABSTRAC Models of Sagu Production in Papua

Indonesia has the largest sago area in the world. Sago areas consist of Natural sago forest an semi cultivated ones. Papua, (the Indonesian part of the Island New Guinea) is dominant sago forest region in Indonesia. Three types of sago production has been identified in Papua, Traditional micro system, improved micro system and macro, forest concession system. The fourth system which, was recently proposed is the sago plantation, by transform sago forest into sago plantation. Protection of germplasm, and research should accompany those development activities Pendahuluan Berdasarkan data yang dikemukakan oleh Michiel Flach, salah satu pakar tentang tanaman sagu di dunia yang berasal dari Negeri Belanda, Indonesia memiliki luas areal sagu terluas di dunia. Dalam bukunya berjudul Sago Palm Metroxylon Sagu Rottb, yang diterbitkan tahun 1997 oleh Plant Resources Institute di Roma, sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 1 dibawah ini, dari luasan yang ada di Indonesia sebagian besar adalah hutan sagu yang terdapat di Tanah Papua. Tabel 1. Luas Areal Tanaman Sagu (Metroxylon Sagu Rottb) Di Dunia dan Di Indonesia Kawasan Dunia Indonesia - Papua Hutan Sagu (Ha) 2.250.000.1.250.000.1.200.000.Sagu Semi budidaya (Ha) 224.000.148.000.14.000.Persen dari luasan dunia 100 56.5 49

- Maluku Malaysia Sumber : Flach, M (1997)

50.000.45.000.-

2.02 1.81

Perbandingan areal sagu yang dibudidayakan atau semi budidaya dengan hutan sagu, ternyata areal hutan sagu jauh lebih luas. Kiranya hal ini yang perlu menjadi perhatian dalam upaya pengembangan sagu di Papua. Meskipun Indonesia memiliki areal sagu terluas di dunia, upaya-upaya untuk pengembangan sagu, lebih khusus lagi penelitian-penelitian untuk pengembangan sagu boleh dikatakan tertinggal, dibandingkan dengan Jepang dan Malaysia. Hal ini terlihat dari hasil-hasil penelitian mereka yang dipresentasikan dalam Simposium Sagu Internasional ke delapan, yang diselenggarakan di Jayapura. Memang penelitian terhadap sagu selama ini lebih banyak pada perannya sebagai bahan makanan pokok sebagian kecil masyarakat Indonesia, terutama yang ada di Kawasan Timur Indonesia. Dalam kondisi seperti itu perhatian terhadap sagu kalah dibandingkan dengan perhatian terhadap padi, karena beras merupakan makanan pokok sebagian besar masyarakat Indonesia. Perhatian terhadap sagu kiranya sudah mulai berubah. Hal ini dapat disimak dari artikel yang ditulis Tek-Ann Chew et al, 2003 berjudul Estimaty Enviromental Benefits of Sago Cultiration, yang saya kutip secara utuh dari Internet sebagai berikut :
..Lactic acid and ethanol fermentation from sago : a new bussines concept. Sago plant fixing carbondioxide photosyntetically and converting it to carbohydrate. In us, toxic gasoline additive methyl tetester (MBTE) was found to leak from storage tank and cause ground water pollution. As Such, ethanol has been viewed as the only substitute for MBTE and its production from corn starch is increasing rapidly. We reckon that the sago starch is a more competitive raw material than cornstarch for ethanol production. Environmental pollution proccess a great threat to the healthy living of human being and other wild like in the ecosystem. Petroleum based plastics are non biodegradable and have caused significant environmental pollution to reduce the use or petroleum based plastics, bio degradable plastics may provide a solution. Poly Lactic Acid (PLA) which can be synthesized in to bio degradable plastics may provide an alternative to several commonly used house hold / disposable plastics. However the current PLA supply is low and the price hight as compared to petroleum based plastics. Nonetheless, the cost of PLA maybe significantly reduced if a cheaper raw material coupled with a more efficient system of lactic acid fermentation can be found. Again we see the potential of sago starch as a cheaper raw material and the following continuous lactic acid fermentation system to revolutionize the traditional lactic production

Dapat dikatakan bahwa dari hasil-hasil penelitian di negara lain, tanaman sagu dan produksinya telah diangkat ke tahap industrialisasi dan produksi massal, sekaligus menawarkan salah satu pemecahan terhadap pembagunan berwawasan lingkungan. Adalah sangat tidak bijaksana, apabila kita sebagai insan Indonesia yang sesungguhnya dikarunai potensi sagu terbesar secara alami, bila tidak dengan cepat bertindak meraih peluang itu. Pelestarian Dan Perlindungan Kekayaan Jenis Menurut peta penyebaran sagu, sebagaimana yang dikemukakan dalam buku Palm Sago, A Tropical Starch from Marginal lands yang ditulis oleh Ruddle, K. et al tahun 1978, genus sagu Metroxylon umumnya menyebar di Indonesia, Malaysia, Mindanao (Filipina), dan Papua New Guinea. Namun di Indonesia diketahui, bahwa tanaman sagu di kebanyakan daerah, telah tinggal sejarahnya saja, kalah dan tergusur oleh tanaman padi. Di Papua, yang merupakan daerah dengan hutan sagu terluas di Indonesia gejala ancaman terhadap tergusurnya hutan sagu saja tampak dengan jelas. Pembukaan tanah dalam pelaksanaan program transmigrasi telah menghilangkan banyak areal sagu dan digantikan dengan tanaman padi. Dalam pengembangan kota dan pemukiman penduduk, nasib yang sama dialami oleh areal-areal tanaman sagu di sekitarnya.

Foto : H. Areal Matanubun Sagu Di Sentani Tengah Kabupaten Jayapura

ArealTerancam Sagu Di Sentani TengahKota Kabupaten Jayapura Yang Pengembangan Yang Terancam Pengembangan Kota

Kampus Universitas Negeri Pattimura di Poka Ambon, dibangun di atas areal sagu

Foto : Y.P. Karafir

Bekas areal sagu yang telah menjadi sawah di Besum, Kabupaten Jayapura Foto : Y.P. Karafir Sehubungan dengan adanya ancaman tersebut Pemerintah Daerah Kabupaten Jayapura Provinsi Papua telah membuat Peraturan Daerah No. 3 Tahun 2000 tentang Pelestarian Kawasan Hutan Sagu. Walaupun konsep PERDA tersebut belum diajukan ke DPRD untuk mendapat persetujuan dan penetapan telah disosialisasikan kepada tokoh-tokoh adat setempat, namun belum semua orang mengetahui mengenai hal itu. Itulah sebabnya telah dilakukan sosialisasi ulang setelah penetapan menjadi PERDA. Disamping itu kepentingan anggotaanggota masyarakat adat yang beraneka ragam, membuat pengawasannya menjadi sulit dan sering terjadi penjualan areal-areal sagu oleh perorangan kepada pihak lain. Selain itu, kabupaten-kabupaten dan kota yang lain di Tanah Papua, khususnya yang memiliki areal hutan sagu yang luas tidak ada yang ikut membuat PERDA sejenis.

Mengenai pengenalan jenis, para peneliti tidak perlu mulai dari nol, karena masyarakat di daerah-daerah sagu telah melakukannya dengan sangat baik. Diperlukan pengetahuan Etno Botani untuk mengungkapkan hal itu dari masyarakat. Dalam suatu penelitian yang dilakukan dalam rangka kerjasama Kantor Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup dengan Pusat Studi Lingkungan Hidup UNCEN tahun 1986 di Kawasan Danau Sentani Kabupaten Jayapura, telah diungkapkan di daerah ini sekitar 27 jenis pohon sagu terdiri dari 15 jenis yang tidak berduri dan 12 jenis berduri, informasi yang diperoleh dari masyarakat lengkap dengan potensi pati ciri-ciri botanisnya sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 2. Itulah sebabnya kawasan sagu ini, terutama yang terletak di Sentani Tengah kini banyak dikunjungi para peneliti dari Jepang dan Malaysia. Analisis jenis di daerah-daerah sagu yang lain di Tanah Papua belum banyak dilakukan. Tabel 2. Daftar Nama Jenis Sagu yang Terdapat dan Tumbuh di Sekitar Danau Sentani (dalam bahasa setempat) No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. Yamaha I Yamaha II Para Yamaha Hurena I Hurena II Ronde Munggin Pui Isah Eubesum Duruna Jepha Otokulu Follo Ouw Pane Wani Ninggih Nama B TD M TM Produksi (Tumang) 40-50 30 30-40 10 20 10 15 20 15-20 20-30 20-30 20-30 20-30 10-15 20-30 15-20 20-25

19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26.

Fernali Hopolo Jache Hili Dena Wabi I Wabi II Yakalope -

10-15 25-30 30-40 5-8 20 6 4 15-20

27. Yokulem Sumber : Tim PSL UNCEN, 1986. Pengembangan Ekosistem Hutan Sagu di Daerah Sentani Jayapura, Irian Jaya, Hal IV-15 Keterangan : B = Berduri TB = Tidak berduri 1 Tumang = 10-15 Kg. Mengenai luas yang sebenarnya masih merupakan taksiran kasar dengan angka yang sangat bervariasi. Taksiran kasar dari Flach (1997) menghasilkan hasil seperti disajikan dalam Tabel berikut: Tabel 3. Taksiran Kasar Areal dimana terdapat areal sagu bermutu tinggi di Papua menurut Flach (1997). Daerah Bintuni Dataran Danau-Danau Wilayah Selatan Daerah Lain Total Hutan Sagu (Ha) 300.000.400.000.350.000.150.000.1.200.000.Semi Budidaya (Ha) 2.000.2.000.10.000.14.000.M = Dimakan TM = Tidak Dimakan

Penafsiran yang menurut penulis lebih mendekati kenyataan, pernah dilakukan dalam rangka Proyek Inventarisasi dan Evaluasi Sumberdaya Nasional Matra Darat oleh Badan Koordinasi Survey dan Pemetaan Nasional (BAKOSURTANAL). Dalam pengecekan kondisi di darat dalam mencocokkan hasilnya dengan Universitas Cenderawasih khusunya Fakultas Pertanian yang ada di Manokwari (kini sudah menjadi UNIPA). Hasil penelitian tersebut menghasilkan data areal sagu di Papua seperti yang dikutip dari tulisan Hubertus Matanubun

dan Leo Martubongs dari Pusat Studi Ubi-Ubian dan Sagu UNIPA dan telah dipresentasikan dalam Simposium International Sagu tahun 2005 yang lalu di Jayapura, disajikan dalam Tabel 4 berikut: Tabel 4. Luas Sagu (Ha) pada beberapa daerah di Papua dihimpun dari Peta Tematik BAKOSURTANAL. No. Daerah 1. Inanwatan Luas (Ha) 579.261 Terdiri dari 489.192 Sq 9.450. Sq. H 2. Agats (Mimika) 493.105 80.619. H. Sq 7.750 Sq 49.568 Sq.H 3. 4. 5. 6. Bintuni Mamberamo Merauke Pulau Salawati Total 86.237 21.537 284.955 6.137 1.471.232 2.912 R.Sq 79.637. Sq 6.606 Sq.h 13.493 Sq 8.044 Sq H Keterangan Sq = Sagu semata H = Hutan R = Rumput/alang-alang Sq : 100% sagu SqH : 50%-80% sagu H.Sq: < 50% sagu R.Sq : < 50% sagu

Ada daerah-daerah sagu yang tampaknya belum tercakup dalam data dari BAKOSURTANAL. Seperti daerah Yapen Waropen dan daerah Kaureh di Kabupaten Jayapura. Ada daerah yang arealnya sempit tetapi bagi penduduk setempat sangat penting sebagai lumbung pangan penduduk setempat, yakni Sentani Tengah dan Bukisi di Kabupaten Jayapura, areal sekitar Sungai Wosimi di Kabupaten Teluk Wondama dan Dusun Sagu di Kampung Opiaref di Pulau Biak. Penelitian Tentang Sagu Bila ditelusuri bahan-bahan pustaka, terbitan orang Indonesia tentang Tanaman Sagu dan produk-produknya dibandingkan dengan tulisan dari orang-orang bangsa lain, sebagaimana telah dikatakan di atas, masih sangat sedikit. Hasil penelitian tentang Tanaman Sagu juga sangat sedikit. Aspek yang diteliti juga masih terbatas pada eksplorasi jenis dan ekologi tanaman serta teknik produksi tradisional dan aspek teknologi pangan. Lembaga yang terlibat dalam penelitian sagu terutama Departemen Kehutanan, khususnya Balai Penelitian Kehutanan dan Badan Pusat Pengkajian Teknologi (BPPT) dan terakhir Litbang Pertanian, khususnya Balai Penelitian Tanaman Pangan yang ada di Papua. Hasil penelitian dari

para pakar di ketiga lembaga ini yang banyak menghasilkan tulisan-tulisan tentang sagu di Indonesia. Balai Penelitian Kehutanan yang berlokasi di Manokwari Provinsi Papua Barat telah memasukkan penelitian sebagai salah satu program utamanya. Namun demikian, sangat sering dilakukan mutasi sehingga peneliti yang berniat meneliti sagu ikut termutasi sehingga programprogram penelitian mereka juga menurun intensitasnya, hal yang sama dialami oleh Balai Penelitian Tanaman Pangan di Jayapura. Di Universitas Cenderawasih, khususnya Fakultas Pertanian telah didirikan suatu Pusat Studi yang salah satu programnya adalah Penelitian Sagu. Pusat ini awal berdirinya tanggal 17 Februari 1988 dengan nama Pusat Studi Ubi-ubian berdasarkan SK Rektor Universitas Cenderawasih Nomor 04/RT2L3.H/N/1988, kemudian berganti nama menjadi Pusat Studi Ubi-ubian dan Sagu (PSUS) tanggal 1 April 1998 berdasarkan SK Rektor UNCEN Nomor 1150/PT23.H/C/1998. Ketiadaan anggaran rutin sehingga penelitian-penelitian yang dilakukan baru atas pesanan. Kini PSUS dikelola oleh Universitas Negeri Papua (UNIPA). Minat untuk meneliti sagu dikalangan dosen dan mahasiswa UNIPA belum banyak. Dari skripsi mahasiswa sejak tahun1990an, banyak mahasiswa yang menulis skripsi tentang sagu dan dari jumlah ini 13 adalah Mahasiswa bidang Kehutanan. Upaya koleksi jenis-jenis sagu telah dilakukan oleh Badan Penelitian Tanaman Pangan di Koya-Jayapura, yang menghimpun sekitar 61 jenis dari berbagai daerah sebaran sagu di Papua (Adiwidjin et al, 2000). Namun keberlanjutannya mengalami nasib yang sama dengan Balai Penelitian Kehutanan di Manokwari, yakni menurun setelah peneliti utamanya dimutasikan.

Sistem Pengelolaan Sagu di Papua Ada dua sistem pengelolaan sagu di Papua, yaitu usaha mikro dan usaha besar. Kedua sistem ini masing-masing dapat diperinci menjadi dua. Usaha mikro utamanya adalah cara tradisional yang sudah berabad-abad berlaku diantara masyarakat atau komunitas pemakan sagu. Kini telah berkembang cara usaha mikro yang dimodifikasi, yakni dengan memasukkan teknologi baru, dan organisasi serta manajemen pemasaran yang lebih baik. Usaha makro, umumnya perusahaan besar Hak Pengusahaan Hutan (HPH) dan kini disarankan untuk dikembangkan, yaitu mengubah hutan-hutan sagu menjadi perkebunan sagu. Keempat sistem ini yang akan diuraikan masing-masing dalam tulisan ini selanjutnya.

1.

Sistem Produksi, Distribusi Pemanfaatan Tanman Sagu Secara Tradisional Hutan-hutan sagu bukanlah areal tidak bertujuan. Secara tradisional berlaku juga hukum

adat yang terdiri dari hak penguasaan dan hak pemanfaatan. Walaupun tidak seluruh areal merupakan areal produksi atau areal yang secara teratur diolah, tetapi hak penguasaan tetap ada juga pada areal yang tidak diolah, namun digunakan juga sebagai areal perburuan atau ditebang untuk menghasilkan ulat sagu. Di daerah-daerah sagu penduduk setempat umumnya menanam sagu pada areal yang dekat dengan pemukiman bila ekosistemnya sesuai. Jenis-jenis yang ditanam adalah jenis yang secara tradisional diketahui mengandung pati tinggi dan berumur agak genjah. Ada juga hutan sagu yang merupakan tempat mencari makan penduduk lebih dari satu kampung. Dalam hal ini penduduk kampung-kampung tersebut telah lama hidup dalam pergaulan bersama, bahkan berhubungan sebagai kerabat dekat sehingga diijinkan memanfaatkan areal sagu bersama. Penduduk dari kampung-kampung yang jauh memerlukan waktu satu minggu sampai satu bulan di areal yang disebut sebagai dusun sagu untuk mendapatkan tepung sagu sebagai makanan yang cukup untuk empat sampai enam bulan bahkan bisa lebih dari enam bulan. Cara produksi tradisional sudah banyak ditulis dalam buku-buku tentang sagu (Ruddle K. et al, 1978; Haryanto B. dan P. Pangloli, 1992). Alat pangkur tradisional menghasilkan hancuran isi batang sagu yang masih kasar sehingga pada proses-peramasan rendemen pati yang dihasilkan hanya 40% sampai 60% dari pati yang bias diperoleh. Di beberapa daerah seluruh proses ini dilakukan oleh kaum perempuan misalnya di Merauke dan Mimika. Di daerah lain seperti di Jayapura dan Waropen, serta Inanwatan, kegiatan memangkur dilakukan oleh kaum laki-laki sedangkan proses peramasan dilakukan oleh kaum perempuan.

Sumber : Buku Palm Sago, A Tropical Starch from Marginal lands oleh Ruddle, K. et al tahun 1978

Selain tepung sagu sebagai bahan makanan, banyak bagian dari tanaman sagu yang secara tradisional telah digunakan oleh penduduk di sekitar areal sagu. Subento J.W. (2000) telah mengiventarisasikan hal ini dalam penelitiannya di Desa Maniwak di Kabupaten Teluk Wondama. Hal yang sama telah dilakukan oleh Dimara P.A. (2004) di Distrik Sentani Tengah di Kabupaten Jayapura. Selain tepung sagu, ulat sagu dan jamur sagu merupakan makanan tambahan yang dipanen penduduk.

Ulat sagu sebagai hasil tambahan bahan makanan


Foto : Skripsi Subento, J.A. (2000)

Bangunan Sekolah Dibangun Dengan Bahan-Bahan Dari Tanaman Sagu

Jamur sagu sebagai makanan tambahan Foto : Skripsi Subento, J.A. (2000) Untuk bangunan, daun sagu dianyam menjadi atap, pelepah daun sagu digunakan sebagai bahan dinding, dan kulit batang sagu sebagai lantai.

Bahan lantai rumah dari kulit batang sagu

Rumah Penduduk di Kampung

10

Foto : Y.P. Karafir

Foto : Skripsi Subento, J.A. (2000)

Foto : Skripsi Subento, J.A. (2000) Secara tradisional juga sudah terjadi perdaganan secara barter dengan sagu sebagai komoditi yang dipertukarkan. Penduduk dari pedalaman biasa menukarkan hasil kebun dengan sagu dari penduduk di pesisir. Hal ini terjadi antara penduduk Ayamaru dengan penduduk Teminabuan di Kabupaten Sorong Selatan. Penduduk Pulau Biak biasa berdagang barter dengan melakukan perjalanan dengan berperahu ke daerah Pulau Yapen dan Waropen di sebelah Selatannya dan menukar ikan asar dengan tepung sagu. Hal ini biasa dilakukan dikala musim teduh, antara bulan April-September, sedangkan antara Oktober-April, yang dikenal sebagai musim ombak, sering terjadi rawan pangan karena penduduk tidak melaut.

11

2. Model Pengembangan Dari Sistem Tradisional Sistem kedua yang dibahas disini adalah tetap usaha mikro, tetapi dengan melakukan modifikasi pada tindak teknologi produksi, teknis budidaya dan organisasi pemasaran. Dua kasus yang akan diulas disini adalah program ekspor sagu dari pemda Kabupaten Jayapura. Pada tahun 1991 Pemda Provinsi Irian Jaya (sekarang Provinsi Papua) mendapat bantuan sekitar 100 unit pemangkur sagu yang dibagi ke seluruh wilayah Papua. Kabupaten Jayapura mendapat 22 unit yang dibagikan ke daerah-daerah potensi sagu. Untuk mendayagunakan bantuan tersebut, pada tahun 1992 dibuatlah program ekspor sagu rakyat, yang melibatkan instansi pemerintah sebagai fasilitator, masyarakat sebagai penggerak dan pelaksanaan dan PUSKUD dan PT. Yotefa sebagai penampung dan pelaksana perdagangan. Ada sekitar tujuh instansi yang dtugaskan dalam kegiatan ini, yakni : 1. Bappeda yang bertindak selaku koordinator, yang bertugas menghimpun program dari tiap instansi dan mengatur pembiayaannya serta memantau kegiatan yang dilaksanakan. 2. 3. Bagian perekonomian sebagai wakil koordinator dan pemantau. Dinas Pertanian Tanaman Pangan yang bertugas memfasilitasi pembudidayaan tanaman sagu, penyuluhan kepada kelompok tani yang menerima bantuan mesin parut sagu, dan membentuk kelompok tani bila ada. 4. sagu. 5. Kantor Departemen Perdagangan bertugas mencari peluang pasar di dalam dan di luar negeri, menerbitkan ijin ekspor, menghubungi para eksportir, mencari dan menginformasikan harga tepung sagu di dalam dan di luar negeri, serta koordinasi dengan PT. SUCOVINDO dalam hal persyaratan mutu. 6. Kantor Departemen Koperasi dengan tugas utama, penyuluhan untuk meningkatkan kelembagaan, manajemen usaha dan administrasi dalam kegiatan produksi dan pemasaran sagu. Kandep Koperasi diharapkan mempersiapkan KUD sebagai wadah serta industri sagu (plasma). KUD diharapkan menjadi pelaksana unit usaha processing sagu. 7. Kantor Departemen Perindustrian dengan tugas utama mengupayakan peningkatan pengetahuan dan keterampilan perajin dalam proses pengolahan sagu menjadi pati dengan syarat mutu yang sesuai untuk eksport, serta menerapkan sistem Dinas Kehutanan bertugas untuk pendataan potensi sagu dan penelitian jenis

12

pengendalian mutu terpadu kepada pengrajin dengan membentuk satuan tugas Gugus Kendali Mutu dalam satuan produksi untuk melaksanakan tugas pokok tersebut, maka dalam rangka penyiapan instalansi serta industri sagu disusun program : a. pengalokasian msien pemarut sagu b. Pembuatan alat press smpas sagu c. Pembuatan bak perendaman pati sagu d. Pembuatan bak penjemuran e. Pembuatan rumah sentra produksi dan gudang f. Pembuatan bak perendaman batang sagu. Selain itu disusun program pengadaan saran penunjang produksi : a. Pengadaan genset motor tenaga penggerak b. Pengadaan pompa air bersih c. Pengadaan bahan kimia untuk penjernihan/pemutihan pati sagu d. Pengadaan drum, selang, timbangan/neraca, karung beras, dan lain sebagainya. Juga disusun program pelatihan tentang : a. Proses produksi b. Pengendalian mutu c. Pengoperasian dan perawatan mesin/ peralatan produksi. Ada dua perusahaan yang diminta sebagai penampung hasil yakni (1) PT. YODEFO, salah satu anak perusahaan yang bernaung dibawah Irian Jaya Joint Development Foundation (IJJDF)1 yang selama ini tugasnya menampung dan menawarkan biji kakao kering, kopra dan karet rakyat, dan (2) PUSKUD Irian Jaya (kini PUSKUD PAPUA). Dengan terbentuknya penyaluran yang baru, sistem penaungan sagu secara tradisional seperti terlihat pada gambar 1, berubah menjadi seperti terlihat pada gambar 2.
Areal Sagu Petani Pasar lokal Konsumsi sendiri Pedagang lokal Konsumen lokal Pasar Kabupaten Konsumen di Kota

IJJDF didirikan tahun 1969 dengan dana dari Fundwi, dana PBB untuk pembangunan Irian Barat yang ketuanya dari Departemen Keuangan RI, Wakil Ketua adalah Gubernur Irian Jaya. Yayasan ini dengan semua anak perusahaannya dinyatakan bubar tahun 1996.

13

Gambar 1. Sistem penanganan Produksi Sagu Secara Tradisional 1 3 4

Areal Sagu Petani

KUD Sentra Produksi

PUSKUD PT. YODEFO

Pemasaran: Dalam Negeri

Dinas Pertanian

KandepKop

Kandep Perind

Kandep Perdag

Arah kegiatan fasilitator

Bappeda Bag. Perekonomian

Gambar 2. Mekanisme Baru Penanganan Sagu. Ada perbedaan penganangan sistem pada gambar 1 dan gambar 2. Pada gambar 1, yang dijual ke pasar lokal atau langsung kepada pedagang lokal adalah tepung sagu basah yang diolah secara tradisional. Sedangkan pada proses di gambar 2, keterangannya adalah sebagai berikut : 1. 2. 3. 4. ke luar negeri. Walaupun telah berhasil mengekspor sekitar 20 ton tepung sagu, tetapi sistem ini mengalami banyak sekali kendala dan akhirnya terhenti sama sekali. Saya akan mencoba mengulas kendala-kendala tersebut yang kiranya perlu dipertimbangkan apabila pemerintah ingin mengembangkan produksi sagu rakyat di masa depan. Pertama, luas areal sagu dalam hubungan dengan pilihan teknologi pengolahan. Petani menjual batang sagu ke KUD dengan harga sesuai dengan kesepakatan antara KUD dan petani. KUD, di Sentra produksi mengolah batangan sagu menjadi Pati/tepung sagu sesuai prosedur dengan memperhatikan mutu ekspor dan sudah dikemas. PT. YODEFO, PUSKUD dan swasta lain, membeli tepung sagu dari KUD, KUD dengan harga yang ditetapkan bersama. PUSKUD, PT. YODEFO dan swasta lain memasarkan ke dalam atau

14

Ternyata, mesin pemarut sagu dengan kapasitas terpasang 500 kg/jam hancuran empulur sagu, masih terlalu besar untuk areal tanaman sagu sekitar 4.000 ha, apalagi areal tersebut dikuasai oleh banyak yang terhimpun dalam sekitar 12 kampung. Setelah berjalan selama satu tahunan masyarakat menghentikan karena pohon sagu tingkat masa tebang menjadi sangat kurang dan mereka ingin mengamankan kebutuhan subsisten mereka. Selain itu mesin pemarut cukup besar sehingga jarak KUD dan areal tebangan makin jauh dan memerlukan banyak kerja untuk mengangkut batangan sagu ke pabrik. Sebenarnya masyarakat menginginkan mesin pemarut yang kecil dan mudah dibawa (portable) (lihat foto). Tampaknya ada anggota masyarakat yang memakai mesin parut kelapa dengan memodifikasi gigi parutannya.

Alat Mesin Parutpembagian Untuk Menghancurkan Empulur Sagu Kedua, Pengaruh terhadap kerja antar pria dan wanita.
Secara tradisional di Kabupaten Jayapura, dalam hal panen sagu menenbang pohon sagu berumur masak tebang, memotong-motong batang yang sudah ditebang, menguliti batang sagu dan memangkur untuk menghancurkan empulurnya, merupakan tugas kaum laki-laki. Tugas meramas2 sagu dilakukan oleh kaum wanita. Introduksi gergaji rantai (Chainsaw) dan mesin parut sagu sangat membantu kaum pria. Belum ada mesin yang dapat menggantikan tenaga wanita untuk meramas sagu, sehingga tampaknya teknologi yang ada telah menimbulkan ketidakadilan dari segi gender. Mesin parut sagu bukan hanya memperpendek waktu menghancurkan empulur tetapi hasil empulur lebih halus sehingga kadar tepung sagu yang dihasilkan bisa sampai tiga kali lebih banyak dibandingkan bila penghancuran dilakukan secara tradisional (manual) kapasitas terpakai dari mesin agak besar (500 kg/jam) yang diintorduksikan kepada masyarakat rata-rata 448 kg/jam (Yoku, A.E., 2001). Apabila kaum pria hanya memerlukan waktu satu jam, para wanita

Di Papua, empulur yang telah hancur diambil oleh kaum wanita di taruh pada wadah dari pelepah sagu dan disirami air sambil diremas-remas untuk melepaskan aci dari bahan keras lain yang dengan air mengalir ke wadah penampungan. Itulah sebabnya kegiatan ini di Papua disebut meramas sagu.

15

memerlukan lebih dari 10 jam untuk menapis empulur yang telah hancur. Pada waktu pelaksanaan kegiatan ini, mereka bekerja sampai jauh malam dengan memasang lampu gas. Kandep Perindustrian pernah mencoba merancang mesin menapis sagu, tetapi hasilnya masih kurang baik sehingga masyarakat membiarkannya terbelengkai. Adi Widjono dan Hayati Lakuy (2000) melaporkan telah merekayasa beberapa alat-Pangkur dan alat ramas saku, alat ini telah diuji coba di Merauke (Salor dan Onggari) dan di Jayapura (Sentani). Pangkur rantai yang direkayasa pada saat itu, tahun 2000. di perkirakan sekitar Rp. 630.000.- Pangkur rantai Rp. 605.000,- dan pangkur gendang, sekitar Rp. 275-375 Juta karena memakai tenaga gerak dari mesin pemotong rumput. Ketiga, Perbedaan Harga Pokok dengan harapan yang ditawarkan oleh Eypartin . Harga pokok per ton pada tingkat KUD pada saat itu tahun 1991 adalah Rp. 1.200.000.sedangkan harga yang ditawarkan oleh pedagang adalah Rp. 650.000.-. Perbedaan harga ini disubsidi oleh pemerintah daerah sebagai tindakan mengamankan program yang telah berjalan. Sedangkan exportir tidak mau mengambil resiko membeli dengan harga yang mahal dan menjual dengan harga yang lebih rendah. Upaya untuk meminta bantuan ke Provinsi dan ke Pusat tidak mendapat tanggapan, sedangkan upaya untuk mengefisiensikan seluruh proses memerlukan waktu yang lama, misalnya dalam merekayasa mesin pangkur dan mesin peramas sagu. Hal inilah yang merupakan salah satu sebab, mengapa usaha ini terhenti.

Keempat, Kinerja instansi pemerintah sebagai fasilitator Program harus ditangani oleh lebih dari satu instansi untuk mencapai tujuan memerlukan apa yang disebut sebagai penyatuan pandangan. Tanpa penyatuan pandangan, koordinasi sebaik apapun tidak dapat berhasil. Anggaran bisa dialokasikan kepada setiap instansi, tetapi tanpa penyatuan pandangan masing-masing instansi bisa menggunakannya untuk tujuan yang berbeda-beda sesuai program instansinya. Selain penggunaan anggaran yang tidak sinkron, keaktifan masing-masing instansi sesuai dengan alokasi tugasnya bisa menjadi kendala. Misalnya dalam program operasi ekspor sagu rakyat di Kabupaten Jayapura, titik terlemah ada pada konsistensi penganggaran dan pola pembinaan KUD oleh instansi Kandep Koperasi. Penyatuan masyarakat dalam membentuk koperasi dan pembiayaan kegiatan sentra produksi sagu dan penyelesaian masalah organisasi dan tata laksana koperasi tidak mendapat

16

pendampingan dan saran pemecahan secara terus menerus dan baik. Bahkan untuk memperbaiki alat yang rusak pada mesin karena tidak ada pembinaan, dibiarkan cukup lama sehingga memacetkan seluruh kegiatan. Dalam hal ini disarankan bahwa dalam introduksi peralatan mekanis dalam pembangunan, sangat memerlukan bengkel perbaikan alat yang rusak. Tanpa tindakan itu, upaya yang dilakukan adalah ibarat membuang garam ke laut.

Sumber: Atlas Sumberdaya Pesisir Teluk Bintuni (Tahun 2003) Mereka tidak sadar, bahwa suatu pabrik membutuhkan supply bahan baku dalam jumlah memadai scara terus menerus. Dalam hal ini diperlukan seorang Pembina bidang sosial ekonomi dalam perusahaan untuk membantu dalam mengupayakan cara-cara yang efektif secara budaya. Hal ketiga terkait dengan aspek teknis biologis dan agronomi dari tanaman sagu. Banyak aspek mengenai pengelolaan produksi sagu yang rasanya masih perlu diteliti dan diperbaiki. Pengaruh beraneka ragam jenis di hutan sagu jelas ada kaitan dengan tingkat produksi tepung sagu yang juga sangat bervariasi. Dengan biaya yang sama untuk menebang dan mengangkut, hasilnya bisa berbeda tergantung jenis yang ditebang. Selain itu penggunaan kanal atau sungai untuk mengangkut batang-batang sagu yang ditebang ke pabrik juga dapat dipertanyakan efektifitasnya. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Eko B. Supriyadi (1991), meskipun masih perlu dikajikan beberapa kali, namun apa yang ditemukan bertolak belakang dengan apa yang selama ini dilakukan, yakni lama perendaman berpengaruh sangat nyata terhadap kadar tepung dalam empulur. Bila sampai tiga hari dikanal, kadar aci dalam empulur bisa turun sebesar 43 persen.

17

3. Sistem Pengelolaan Sagu Pola HPH Setelah usai pelaksanaan proyek inventarisasi sumberdaya alam oleh BAKOSURTANAL, termasuk areal-areal hutan sagu, maka mulai tahun 1988, pemerintah, khususnya Departemen Kehutanan memberikan Hak Pengusahaan Hutan untuk pengelolaan hutan-hutan sagu. Di Papua, berdasarkan data dari Dinas Kehutanan Provinsi Irian Jaya pada saat itu, tahun 1991, tercatat 10 perusahaan HPH dengan kondisi, sebagaimana tercatat pada Tabel 5. Tabel 5. Keadaan perkembangan unit usaha HPH Sagu Tahun 1991. No 1 Nama No/Tgl Luas Areal (Ha) 100.000 Lokasi/Kabupaten Bintuni/Manokwari Kegiatan Pabrik Sagu sudah 15.000 15.000 15.000 15.000 15.000 15.000 Inanwatan/Sorong Agats/Merauke Belum Jelas Inanwatan/Sorong Belum Jelas Belum Jelas Survey berijin survey dan tata batas sda Perusahaan persetujuan PT. Sagindo 663/Menhut-V/88 Sari Lestari 2 3 4 5 6 7 Puskopad A Puskopad B 10-06-1988 770/Menhut-II/88 10 10 1988 640/Menhut-V/80

10 9 1988 PT. Tis Betawi 725/Menhut-IV/89 Internasional 05 06 1989 PT. Alam Guna 530/Menhut-II/89 Utama PT. 20 04 1989 Multi 726/Menhut-IV/89

Sagata Agung 10 06 1989 PT. Duta 728/Menhut-IV/89 Kencana Bakti 05 06 1989 Sentona PT.

8. 9. 10.

Budi 724/Menhut-IV/89

15.000 15.000 15.000

Belum Jelas Belum Jelas Tahap Rekomendasi

Sempurna Tani 05-06-1989 Pt. Sekarbumi 531/Menhut-IV/89 Lestari PT. Asiari Sapta 522/3722/Set Mid

Bast Sumber : Dinas Kehutanan Dati I Irian Jaya Dari sekian banyak perusahaan yang memperoleh ijin HPH, hanya sebuah anak perusahaan dari Djayanti Group PT. Sagindo Sari lestari dari Arandai Bintuni yang benar-benar operasional. Hal ini disebabkan oleh pendekatan awal dengan masyarakat adat dilakukan

18

dengan baik, bahakan disepakati bahwa masyarakatlah yang menebang, dan perusahaan hanya membeli batangan sagu dari masyarakat untuk diolah dan diambil tepungnya. PUSKOPAD A yang mendapad HPH sagu di Inanwatan, Kabupaten Sorong, (sekarang; Sorong Selatan), karena masuk lewat swasta lain dan tidak bersilahturami dengan masyarakat adapt lebih dahulu mendapat tantangan dan akhirnya menarik diri dari daerah itu. Perusahaan HPH sagu yang lain tidak pernah ada kabar beritanya sampai hari ini. Areal HPH PT. Sagindo Sari Lestari terdiri dari dua unit yang tersebar menjadi empat blok tebangan, sebagaimana disajikan dahulu Peta Gambar 3. Terutama antara sungai Sebyar dan Sungai Wiriagar, dibangun kanal-kanal untuk mengangkut batang-batang sagu hasil tebangan ( Peta, Gambar 3). Pada tahun 1991 Struktur biaya produksi pati Sagu adalah sebagai berikut : a. Harga pembelian dari petani b. Susut dan Ongkos produksi Prosessing c. Biaya Pemasaran/ angkutan Total d. Harga Jual Eksport (FOB) Rp. 300,- / Kg Rp. 50,- / Kg Rp. 50.- / Kg Rp. 400,- / Kg Rp. 400,- / Kg

19

Peta, Gambar 3. Areal HPH PT. Sagindo Lestari.

20

Pada tahun 1990 telah diproduksi 478.42 ton dengan nilai jual Rp. 191.368.000.- dan tahun 1991, prouduksi 695, 55 ton dengan nilai jual Rp. 278.220.000.-. Tampaknya, tujuan produksii bukan untuk diekspor tetapi untuk dijadikan bahan perekat dari triplek dan plywood yang diproduksikan perusahaan lain yang bernaung di bawah Djayanti Group yang terdapat di Seram, Maluku dan Gresik, Jawa Timur. Perusahaan ini kini tidak beroperasi lagi dikarenakan oleh biaya operasional tidak sesuaii dengan harga jual tepung sagu di pasaran. Selain itu, produksi makin menurun karena batangan sagu dari masyarakat tidak di supply secara teratur. Menurut Saya ada tiga aspek yang berkaitan dengan rendahnya kinerja PT. Sagindo Sari Lestari. Pertama, penerapan sistem HPH, kedua masalah tenaga kerja, dan ketiga kurangnya informasi hasil penelitian teknis dan social ekonomi untuk menunjang suatu perusahaan besar bergerak dalam bidang pengelolaan sagu. Sistem HPH, walaupun ada keharusan menanam pohon yang ditebang, namun pada prakteknya perusahaan biasanya membayar dana reboisasi saja. Selain itu perusahaan dibebani dengan bermacam-macam kewajiban seperti membayar PBB dan dana bina desa secara hukum, tidak ada jaminan kelanjutan usaha seperti yang berlaku pada perkebunan besar dimana berlaku hak guna usaha. Jadi secara teknis agronomi dan hukum, perusahaan hanya menebang habis dan setelah itu pindah. Masalah tenaga kerja sangat berkaitan dengan sistem sosial budaya setempat. Masyarakat yang hidup di daerah yang tumbuh banyak hutan sagu, berbudaya peramu. Budaya bercocok tanam mereka masih ada pada tahap marjinal, artinya menanam tetapi tidak memelihara secara teratur. Dari segi penggunaan waktu lebih banyak menggunakan sistem borong, dimana bila persediaan kebutuhan sudah habis baru secara intensif mereka bekerja menebang pohon sagu dan menokok serta meramas, setelah sudah cukup untuk beberapa bulan mereka istirahat atau mengalihkan kegiatan ke hal lain. 4. Perkebunan Sagu Ide untuk mengubah hutan-hutan sagu di Papua menjadi perkebunan Sagu dimunculkan oleh Dr. Toh. S. Jong dalam lokakarya pangan spesifik lokal di Jayapura Bulan Desember tahun 2005 yang lalu. Sebagai tindak lanjut dari ide tersebut, maka dengan bantuan Pemerintah Papua, maka pada tahun 2004 dilakukan studi kelayakan di tiga wilayah penyebaran hutan sagu, masing-masing di daerah Waropen, di Kaureh Kabupaten Jayapura dan di Inanwatan, Kabupaten Sorong Selatan. Hasil studi kelayakan tersebut dipresentasikan juga dalam Simposium

21

International Sagu ke VIII bulan Agustus 2005 di Jayapura. Harapan pada saat itu bahwa pada symposium itu di undang juga para pengusaha yang bergerak di bidang produksi sagu. Akan tetapi hal ini tidak terjadi, hanya peneliti-peneliti sagu saja yang hadir. Hasil studi kelayakan tersebut berkesimpulan, bahwa berdasarkan dukungan dari masyarakat adat, dan potensi yang ada, perkebunan sagu seperti yang ada di Kabupaten Bengkalis Provinsi Riau dapat juga dikembangkan pada hutan-hutan sagu di Tanah Papua. Pemikiran-pemikiran teknis seperti pengurangan pada rumpun sagu, penjarangan, penanaman baru, pembuatan kanal dan lain-lain ada tertera dalam laporan studi tersebut yang juga dimasukkan dalam buku Prosiding Simposium Sagu Internasional ke VIII, sehingga tidak akan diuraikan lebih lanjut disini. Skenario penelitian Dalam Upaya Pengembangan Sagu Di Papua Disadari, bahwa pengembangan produksi sagu memerlukan dukungan penelitian berbagai segi disiplin ilmu. Tiga aktivitas utama yang perlu segera dibenahi adalah perlindungan, pemanfaatan dan pengembangan. Dari segi pengembangan dua cara yang harus makin nyata adalah : (1) secara mikro, pengembangan dari cara tradisional dengan sentuhan teknologi biologi dan teknologi mekanis, serta teknologi organisasi produksi dan pemasaran. (2) Secara makro, pengembangan perkebunan sagu pada areal hutan sagu. Untuk itu perlu kajian sosial budaya terutama yang menyangkut hak-hak pemilikan dan pemanfaatan tenaga kerja. Selain itu perlu kajian varitas terkait dengan kemampuan menghasilkan pati, dan pemanfaatan bagian lain dari tumbuhan sagu. Kajian teknis agronomi, mulai dari lingkungan tumbuh, pemilihan bibit, penanaman, dan pemeiliharaan, penanganan pasca panen, penggunaan kanal, proses kerja pabrik, kemasan dan pemasaran. Limbongan J. , Hayati Lakuy dan Jasper Louw (2004), peneliti dari BPTP Papua menyarankan tujuh topik penelitian dan pengkajian sagu, yaitu : (1) koleksi dan karakteristik Aksesi Sagu Lokal Papua, (2) Penyediaan sarana produksi sagu, (3) penelitian Rehabilitasi Hutan Sagu rakyat, (4) Kajian Alat Pangkur dan pemasaran sagu tepat guna, (5) Kajian teknologi penyimpanan tepung sagu, dan (6) Kajian kemasan tepung sagu ekonomis, serta (7) Studi pemasaran sagu lokal, antar pulau maupun eksport ke luar negeri.

22

DAFTAR PUSTAKA

Adi Widjono, Aser Rouw dan Aminaipa, 2000. Identifikasi, Karakterisasi, dari Koleksi Jenis-Jenis Sagu. Paper Pada Seminar Hasil Penelitian Sistem Usahatani Irian Jaya, Maret 2000 di Jayapura. Adi Widjono dan Hayati Lakuy, 2000. Rekayasa Pangkur dan Peramas Sagu Sederhana. Seminar Hasil Penelitian Sistem Usahatani Irian Jaya. Maret 2000 di Jayapura. Ayomi, W. 1995. Studi Morfologi Sagu Berduri (Metroxylon rumphii Martius) di Daerah Waren Kecamatan Waropen Bawah Kabupaten Daerah Tingkat II Yapen Waropen. Skripsi Jurusan Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Cenderawasih; anokwari. Dimara, P.A. 2004. Interraksi Masyarakat Dengan Tumbuhan Sagu di Distrik Sentani Tengah Kaupaten Jayapura. Manokwari. Dwi Rahmanto, 2000. Sifat dan Ciri Tempat Tumbuh Sagu (Metroxylon Sp) Di Desa Tandia Kecamatan Wasior, Kabupaten Dati II Manokwari. Skripsi Jurusan Budidaya Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Cenderawasih; Manokwari. Flach, M. 1997. Sago Palm Metroxylon Sagu Rottb. International Plant Genetic Resources Institute; Rome. Promoting The Concervation an The use of Under Utilized and neglected Crups. Hokoyoku Marthen, 2000. Potensi Tegakan Sagu (Metroxylon Sp) Di Sentani Tengah Kecamatan Sentani, Kabupaten Jayapura. Skripsi Fakultas Pertanian Universitas Cenderawsih; Manokwari. Irian Jaya Disc, 1984. Pentingnya Sagu Di Irian Jaya. Suatu Catatan Tentang Aspek Sosial Budaya dan Aspek Sosial Ekonomi. Makalah Untuk Seminar Sagu Tingkat International di Jayapura- Irian Jaya 1984. Irtho Marthen, 2000. Identifikasi Varietas Unggul Lokal Dari Jensi Sagu (Metroxylon Sagu Rottb) Menurut Masyarakat Asli Di Desa Rasiei, Kecamatan Wasior Kabupaten Manokwari. Skripsi Fakultas Kehutanan Universitas Negeri Papua

23

Skripsi Jurusan Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Cenderawasih; Manokwari. Isir, Selfiana, 1995. Studi Sistem Pembibitan dan Penanaman Sagu Secara Tradisional

Masyarakat Teminabuan. Kabupaten Sorong. Skripsi Fakultas Pertanian Universitas Cenderawasih, Manokwari. Jong, F.S., Shortcut to Sago Palm Plantations : Rehabilitation of Natural Sago Forest into Sustainable Sago Plantations. Paper International Symposium. Jong, F.S dan M. Flach., Paper. Judrajati, 1998. Kandungan Aci Jenis Sagu Berduri (Metroxylon Rumphii MART) Pada Tiga Kondisi tempat Tumpuh Di Desa Tandia Kecamatan Wasior Kabupaten Dati II Manokwari. Skripsi Jurusan Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Cenderawasih; Manokwari. Lekitoo, K, 1998. Kandungan Aci Sagu Berduri (Metroxylon Rumphii Mart) Pada Kadar Salinitas Tempat Tumbuh Yang Berbeda Di Desa Miei Kecamatan wasior Kabupaten Dati II Manokwari. Skripsi Jurusan Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Cenderawasih; Manokwari. Limbongan , J. Hayati Lakuy dan Yasper Low, 2003. Program Penelitian dan Pengakajian Sagu Berwawasan Agribisnis dan Ketahanan Pangan. Makalah disampaikan pada Lokakarya Nasional Pangan Specifik Lokasi, Hotel Sentani Indah Jayapura, 2-4 Desember 2003. Mimi Munami, Paratra Sukarwo dan Andreas Rumbino, 1984. Laporan Survey Inventarisasi Potensi Sagu Di Daerah Bintuni, Kabupaten Manokwari Irian Jaya. BAKOSURTANAL Bekerjasama dengan UNCEN. PEMDA KABUPATEN JAYAPURA, 1992. Perekda Setwilda TK. II. Jayapura. Program Operasi Export Sagu Rakyat. Bagian Techincal Cansiderations And Recommendations For The

Establishment of A Commercial Sago Palm (Metroxylon sagu Rottb) Plantation;

24

Renwarin, J. 1998. Identifikasi, Koleksi dan Evaluasi Kultivar Sagu Unggul Irian Jaya untuk Menunjang Perkebunan Sagu Komersial Di Indonesia Laporan Penelitian Hibah Bersaing VII/I Perguruan Tinggi Tahun Anggaran 1998/1999. Fakultas Pertanian Universitas Cenderawasih, Manokwari. Renyaan, S. J., H. E. I. Simbala dan Daniel Lantang, 1996. Studi awal Identifikasi Jenis Sagu Di Desa Maribu Kecamatan Depapre Kabupaten Jayapura Irian Jaya. Laporan Hasil Penelitian Program Studi Biologi Jurusan Pendidikan Matematika dan IPA Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Cenderawasih; Jayapura. Ruddle, K. et al ., 1978. Palm Sago A Tropical Starch From Marginal Lands. Australian National Universitas Press; Canberra. Station, WR and M. Flach, 1997. The Equatorial Swamp as a Natural Resource, Marthunus Nijhof; The Hague. Supriyadi, E. B. 1999. Perbedaan Kandungan Aci Bahan Baku Sagu Berduri Menurut Waktu Perendaman Dalam Kanal Pada PT. Sagindo Sari Lestari Kecamatan Arandai Kabupaten Manokwari. Skripsi Jurusan Budi Daya Hutan Fakultas Pertanian Universitas Cenderawasih; Manokwari. Susanto, J. W. 2000. Interaksi Masyarakat Dengan Tumbuhan Sagu Di Desa Maniwak Kecamatan Wasior Kabupaten Manokwari. Skripsi Jurusan Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Cenderawasih; Manokwari. Tasik, S., 2000. Pengaruh Penutupan Bekas Sayat Tunas Gantung Sagu (Metroxylon Sagu Rottb.) Terhadap Pertumbuhan Akar Di Desa Maniwak, Kecamatan Wasior. Skripsi Jurusan Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Cenderawasih; Manokwari. Tek An Chew, et al, 2003. Estimating The Environmental Benefits of Sago Cultiration. New Century Fermentation Research Ltd. PT. National Timber and Forest Product (NTFP). Tim Peneliti PPUS UNIPA, 2004. Laporan Akhir Studi Kelayakan Pendayagunaan Hutan Sagu Alam di Kabupaten Jayapura. Universitas Negeri Papua Bekerjasama dengan Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura Provinsi Papua; Manokwari.

25

Tim Peneliti PPUS UNIPA, 2004. Laporan Akhir Studi Kelayakan Pemberdayaan Hutan Sagu Alam menjadi Perkebunan sagu Berorientasi Agri Bisnis Berkelanjutan Di Kabupaten Sorong Selatan. Universitas Negeri Papua Bekerjasama dengan Dinas Perkebunan Provinsi Papua; Manokwari. Tim Peneliti PPUS UNIPA, 2004. Laporan Akhir Studi Kelayakan Pengembangan Sagu Di Provinsi Papua. Universitas Negeri Papua Bekerjasama dengan Dinas Perkebunan Provinsi Papua; Manokwari. Tim PSL UNCEN, 1986. Pengembangan Hutan Sagu di Daerah Sentani Jayapura Irian Jaya. Kerjasama Kantor Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup dengan Pusat Studi Lingkungan Hidup UNCEN. Weyai. S. Y. H. 2001. Pertumbuhan Tunas Kultivar Sagu (Metroxylon Sagu Rottb.) Lokal Asal Waropen di Desemaian. Skripsi Jurusan Kehutanan, Fakultas pertanian Universitas Cenderawasih; Manokwari. Wyzer, V. J. 1996. Teknik Teknik Pembibitan dan Penanaman Sagu (Metroxylon Sp) Masyarakat Desa Tandia Kecamatan Wasior, Kabupaten Dati II Manokwari. Skripsi Jurusan Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Cenderawasih; Manokwari. Yoku, A. E. 2001. Effisiensi Teknik Pengolahan Sagu Secara Semi Mekanis Di Kecamatan Sentani Kota Kabupaten Jayapura. Kripsi Jurusan Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Cenderawasih; Manokwari.

26

You might also like