You are on page 1of 24

LAPORAN HASIL DISKUSI

Modul Infeksi Tropis Seorang Laki-Laki 42 Tahun dengan Kaki Bengkak, Kebas, dan Kesemutan

Kelompok IV

Rayindra Dwi Rizky Eva Natalia BR Manulang M. Reza Adriyan Made Ayundari Primarani Malika Malvin Christo Wijaya Maria Christiningrum Maulita Agustine Meikhel Alexander Wijaya Meilinda Vitta Sari Meita Kusumo Putri Melati Hidayanti

030.07.210 030.09.081 030.10.166 030.10.167 030.10.168 030.10.169 030.10.170 030.10.171 030.10.172 030.10.173 030.10.174 030.10.175

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI Jakarta, 29 Juni 2012

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI BAB I BAB II BAB III : PENDAHULUAN : LAPORAN KASUS : PEMBAHASAN 1. IDENTIFIKASI MASALAH 2. HIPOTESIS 3. ANAMNESIS 4. PEMERIKSAAN FISIK 5. PEMERIKSAAN PENUNJANG 6. DIAGNOSIS KERJA 7. PENATALAKSANAAN 8. PROGNOSIS BAB IV BAB V : KESIMPULAN : DAFTAR PUSTAKA

1 2 3

4 6 6 7 10 12 19 20 21 22

BAB I PENDAHULUAN

Penyakit kusta atau dikenal juga dengan nama lepra dan Morbus Hansen merupakan penyakit yang telah menjangkit manusia sejak lebih dari 4000 tahun yang lalu. Kata lepra merupakan terjemahan dari bahasa Hebrew, Zaraath, yang sebenarnya mencakup beberapa penyakit kulit lainnya. Kusta juga dikenal dengan istilah kusta yang berasal dari bahasa India, kushtha. Nama Morbus Hansen ini sesuai dengan nama yang menemukan kuman, yaitu Dr. Gerhard Armauwer Hansen pada tahun 1874. Kusta adalah penyakit kronik granulomatosa yang terutama mengenai kulit, s a l u r a n pernapasan atas dan sistem saraf perifer. Penyebab kusta adalah Mycobacterium leprae yang bersifat intraseluler obligat, dan pada tahun 2009 telah ditemukan penyebab baru yaitu Mycobacterium lepramatosis. Kusta dahulu dikenal dengan penyakit yang tidak dapat sembuh dan diobati, namun sejak tahun 1980, dimana program Multi Drug Treamtment (MDT) mulai diperkenalkan, kusta dapat didiagnosis dan diterapi secara adekuat, tetapi sayangnya meskipun telah dilakukan terapi MDT secara adekuat, risiko untuk terjadi kerusakan sensorik dan motorik, yaitu disabilitas dan deformitas masih dapat terjadi sehingga gejala tangan lunglai, serta mutilasi jari. Keadaan tersebut yang membuat timbulnya stigma terhadap penyakit kusta.1

BAB II LAPORAN KASUS

Seorang laki-laki usia 42 Tahun, karyawan pabrik cat. Keluhan utama kaki bengkak, kebas, dan kesemutan. Keluhan ini sudah berlangsung 1 tahun.

BAB III PEMBAHASAN

I.

IDENTIFIKASI MASALAH Identitas Pasien: Nama Jenis Kelamin Umur Keluhan utama :: Laki-laki : 42 Tahun : Kaki bengkak, kebas, dan kesemutan sejak 1 tahun yang lalu

Masalah yang ditemukan pada saat pasien datang pertama kali ke Poliklinik : 1. Dari data identitas yang diperoleh, pasien datang dengan keluhan kaki bengkak, kebas, dan kesemutan sejak 1 tahun yang lalu, dimana hal ini menandakan bahwa penyakit yang didrita pasien bersifat kronis. 2. Pasien datang dengan keadaan kaki bengkak, hal ini dapat disebabkan oleh beberapa keadaan, yaitu:2 1) Tekanan koloid osmotic plasma menurun. Tekanan koloid osmotic pasma menurun dapat terjadi pada penyakit kerusakan hepar dan ginjal. Pada penyakit kerusakan hepar seperti sirosis hepatik, hati tidak dapat mensintesis protein, sedangkan protein terutama albumin sangat berperan dalam mempertahankan tekanan koloid osmotic plasma, sehingga cairan dari ekstra-interstitial masuk ke dalam interstitial, keadaan ini menyebabkan hipovolemik. Sebagai kompensasi, tubuh mensekresi hormone ADH sehingga urin yang dikeluarkan sedikit, dan memacu pengaktifan system RAA dengan meretensi Na dan air sehingga terjadi

edema. Pada penyakit kerusakan ginjal, seperti sindroma nefrotik, terjadi kerusakan pada glomerulus sehingga fungsi filtrasi terganggu dan terjadi kebocoran sehingga albumin yang dalam keadaan normal tidak dapat diekskresi oleh ginjal, pada sindroma nefrotik akan terbuang bersama urin. Akibatnya kandungan albumin didalam plasma akan berkurang sehingga terjadi penurunan tekanan koloid osmotik plasma. Hal ini menyebabkan timbulnya edema. 2) Tekanan hidrostatik kapiler meningkat. Tekanan hidrostatik kapiler dapat meningkat pada hambatan aliran darah vena, dimana cairan akan didorong dari plasma ke ruang interstitial sehingga cairan akan tertimbun di jaringan interstitial dan terjadi edema. 3) Obstruksi saluran limfe, misalnya pada penyakit filariasis. 4) Posisi tubuh 3. Pasien juga mengeluh kaki kebas dan kesemutan. Kebas atau anestesi terjadi jika reseptor impuls protopatis musnah sebagian atau rusak atau juga bisa karena penghantaran impuls pada saraf perifer atau sentral terhalang atau terputus. Keadaan anestesi mengkondisikan pasien tiak dapat merasakan rasa nyeri, suhu, raba. Kesemutan atau parestesi terjadi karena adanya gangguan fungsi neuron pada jaras sensoris, baik pada system saraf perifer atau pusat, dimana kelainan sensoris ini timbul tanpa adanya rangsangan apapun.

Berdasarkan masalah-masalah yang telah terpapar di atas, hipotesis pada kasus ini ialah: Masalah Edema tungkai Dasar Masalah Anamnesis Hipotesis DM, penyakit kerusakan hepar dan ginjal, gagal jantung, filariasis

Kaki terasa kesemutan

kebas

dan Anamnesis

Lepra, DM, filariasis, inflamasi sendi (arthritis)

II.

ANAMNESIS Riwayat penyakit : Keluhan Utama : Kaki bengkak, kebas, dan kesemutan Riwayat Penyakit Sekarang : Anamnesis tambahan yang diperlukan adalah : 1) Apakah terjadi kelemahan otot? 2) Apakah terdapat ruam/lesi pada kulit? 3) Apakah pernah ada luka terbuka sebelumnya? 4) Apakah pasien sering buang air kecil dan volume urinnya banyak? 5) Apakah pasien merasa haus dan ingin minum terus-menerus? 6) Apakah pasien merasa ingin makan terus-menerus tanpa disertai kenaikan berat badan? 7) Apakah terjadi pembesaran skrotum? 8) Bagaimana dengan keadaan lingkungan tempat tinggal? Riwayat Penyakit Dahulu : 6

Anamnesis tambahan yang diperlukan : 1) Apakah ada riwayat hipertensi sebelumnya? 2) Apakah pernah mengalami penyakit ginjal atau hati sebelumnya? Riwayat Keluarga : Anamnesis tambahan yang diperlukan : 1) Apakah keluarga pasien ada yang menderita penyakit diabetes mellitus? III. PEMERIKSAAN FISIK Adapun pemeriksaan fisik yang perlu dilakukan adalah melihat dan memeriksa: Keadaan umum Tanda vital Tekanan darah Denyut nadi Pernapasan Suhu tubuh Status Generalis Kepala: Melihat keadaan mata, apakah konjunctiva anemis atau sclera tampak ikterik, karena apabila sclera tampak ikterik perlu dicurigainya adanya gangguan pada hepar. Thoraks Perlu dilakukan pemeriksaan auskultasi untuk menyingkirkan hipotesis gagal jantung yang dapat menyebabkan edema tungkai. Abdomen 7

Ekstremitas Melakukan pemeriksaan apakah terdapat atrofi pada otot-otot ekstremitas, karena pada lepra umumnya terjadi atrofi otot. Genitalia: Melihat apakah terdapat pembesaran skrotum, karena apabila terdapat pembesaran skrotum perlu dicurigai suatu filariasis.

Untuk pemeriksaan terhadap penyakit lepra, dapat dilakukan sebagai berikut:1 Secara inspeksi, pemeriksaan mirip dengan penyakit lain. Ada tidaknya anastesia sangat banyak membantu pemeriksaan diagnosis. Hal ini dilakukan dengan menggunakan jarum terhdap rasa nyeri, kapas terhadap rasa raba dan kalu masih belum jelas dengan kedua cara tersebut barulah pengujian terhadap rasa suhu, yaitu panas dan dingin dengan menggunakan 2 tabung reaksi. Untuk mengetahui adanya kerusakan fungsi saraf otonom perhatikan ada tidaknya dehidrasi di daerah lesi yang dapat jelas dapat pula tidak, yang dipertegas dengan menggunakan pensil tinta. Cara menggoresnya mulai dari tengah lesi ke arah kulit normal. Bila ada gangguan, goresan pada kulit normal akan lebih tebal bila dibandingkan dengan bangian tengah lesi. Dapat pula diperhatikan adanya alopesia di daerah lesi, yang kadang-kadang dapat membantu, tetapi bagi penderita yang memiliki kulit berambut sedikit, sangat sukar menentukannya. Gangguan fungsi motoris dapat pula diperiksa dengan Voluntary Muscle Test (VMT). Mengenai saraf perifer yang perlu diperhatikan adalah pembesara, konsistensi, 8

ada/tidaknya nyeri spontan dan / nyeri tekan. Hanya beberapa saraf superficial yang dapat dan perlu diperiksa, yaitu N.fasialis, N.aurikularis magnus, N.radialis, N.ulnaris, N.Medianus, N.Poplitea lateralis, dan N.tibialis posterior. Status Lokalis Melihat apakah terdapat ruam/lesi pada kulit, apakah terdapat ulkus, dan melihat apakah terdapat pembesaran kelenjar limfe.

Pada hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik, di dapatkan: 1. Di daerah perut dan punggung terdapat bercak merah. 2. Ekstremitas lengan dan kaki bawah kering dan iktiosis. Kulit kering kemungkinan diakibatkan karena adanya gangguan pada kelenjar keringat sehingga terjadi anhidrosis. Sedangkan iktiosis merupakan gangguan kulit yang ditandai oleh peningkatan keratinisasi yang berakibat pada pengelupasan noninflamasi kulit.3 Berdasarkan tambahan data anamnesis dan pemeriksaan fisik diatas, hipotesis yang dapat diutamakan adalah lepra, dan dapat ditambahkan hipotesis tambahan, yaitu ptiriasis versikolor dan dermatitis stasis, dimana ditemukannya lesi pada kulit meskipun perlu dipastikan apakah lesi tersebut disertai dengan hipopigmentasi atau tidak, dan gambaran jelas mengenai bentuk dan batas lesi untuk memastikan diagnosis.

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG


1. Darah lengkap4,5

Darah Lengkap Hb LED Leukosit Hitung jenis

Hasil Pemeriksaan 11,5 g% 30 mm/jam 5.000/L 0/1/7/58/30/4

Nilai Normal 13-16 g% < 10 mm/jam 5000-10.000/L 0-1/1-3/2-6/50-70/20-40/2-8

Keterangan Menurun Meningkat Normal Netrofil batang meningkat

Hb menurun menandakan anemia ringan, karena terjadi penekanan system eritropoesis sehingga hemoglobin menurun. Penekanan ini disebabkan karena pada infeksi M. lepra terjadi pengeluaran sitokin berupa IL-6, IL-8, dan TNF-.

LED meningkat karena adanya inflamasi. Inflamasi ini dapat meningkatkan kekentalan darah sehingga terjadi peningkatan waktu pengendapan sel-sel darah.

Netrofil batang meningkat karena adanya infeksi. Biasanya netrofil batang meningkat pada kondisi infeksi akut. Pada pasien ini, walaupun sudah ada gejala sejak 1 tahun lalu, masih dapat dikatakan dalam fase akut karena masa inkubasi dari M. lepra rata-rata terjadi dalam 3-5 tahun.

10

2. Pemeriksaan Fungsi Hepar4

Pemeriksaan Hasil Pemeriksaan Fungsi Hepar SGOT SGPT 45 U/L 60 U/L <38 U/L <38 U/L Meningkat Meningkat Nilai Normal Keterangan

SGOT dan SGPT meningkat kemungkinan karena M. lepra dapat menyerang system retikuloendotelial yang merupakan salah satu system yang berperan dalam imunitas yang berupa fagosit mononuclear. Salah satu system retikuloendotelial terdapat di hepar. Ketika terjadi infeksi M. lepra, maka akan meningkatkan system makrofag sehingga terjadi peningkatan fungsi hepar untuk meningkatkan system fagositosis. Dari mekanisme ini, kemungkinan SGOT dan SGPT meningkat karena ada peningkatan kerja hepar.
3. Pemeriksaan Bakteriologis1

1) BTA + Menunjukkan adanya bakteri basil tahan asam, dimana Mycobacterium leprae adalah bakteri tahan asam sehingga dapat memperkuat diagnosis kearah penyakit lepra. 2) BI +5 Menandakan adanya 1-10 BTA (Bakteri Tahan Asam) dalam 100 Lapang Pandang yang mendukung diagnosis kearah penyakit Lepra. Indeks bakteri menunjukkan nilai kepadatan basil tahan asam tanpa membedakan morfologi solid atau nonsolid. 3) MI 92% Menunjukkan syarat perhitungan sudah terpenuhi, yaitu jumlah minimal kuman tiap lesi 100 BTA sehingga termasuk kategori tinggi. 11

V. DIAGNOSIS KERJA Berdasarkan anamnesis, riwayat perjalanan penyakit, dan pemeriksaan fisik yang telah dilakukan, diagnosis kerja yang kami tegakkan adalah lepra tipe multibasiler. Patogenesis Lepra6 Meskipun cara masuk M. leprae ke dalam tubuh masih belum diketahui dengan pasti, beberapa penelitian telah memperlihatkan bahwa yang terseringadalah melalui kulit yang lecet pada bagian tubuh yang bersuhu dingin dan melalui mukosa nasal. Pengaruh M. leprae terhadap kulit bergantung pada faktor imunitas seseorang. Sebagai proteksi awal sebelum bakteri masuk ke dalam kulit, terutama kompartemen imunologik bakteri tersebut harus melewati beberapa sawar, salahsatunya adalah berbagai mekanisme non-spesifik seperti sistem fagositosis yang diperankan terutama oleh sel makrofag. Bakteri yang ditangkap oleh akan melalui beberapa proses yang bertujuan untuk mengeliminasi bakteri, sehingga pada 95% individu yang terinfeksi oleh M. leprae tidak menimbulkan gejala klinis atau minimal hanya subklinis saja. Setelah berbagai sawar nonspesifik tersebut gagal, maka barulah akan bekerja mekanisme imunitas spesifik, melalui aktivasi sel-sel imunokompeten oleh stimulasi antigan M. leprae. Pada kusta tipe LL terjadi kelumpuhan sistem imunitas selular, dengan demikian makrofag tidak mampu menghancurkan kuman sehingga kuman dapat bermultiplikasi dengan bebas yang kemudian dapat merusak jaringan. Pada kusta tipe TT kemampuan fungsi sistem imunitas selular tinggi, sehingga makrofag sanggup menghancurkan kuman. Sayangnya setelah semua kuman difagositosis, makrofag akan berubah menjadi sel epiteloid yang

tidak bergerak aktif dan kadang-kadang bersatu membentuk sel datia Langhans. Bila infeksi ini

12

tidak segera diatasi akan terjadi reaksi berlebahan dan masa epiteloid akan menimbulkan kerusakan saraf dan jaringan sekitarnya. Sel Schwann merupakan sel target untuk pertumbuhan M. leprae, disamping itu sel Schwann berfungsi sebagai demielinisasi dan hanya sedikit fungsinya sebagai fagositosis. Jadi bila terjadi gangguan imunitas tubuh dalam sel Schwann, kuman dapat bermigrasi dan beraktivasi. Akibatnya aktivitas regenerasi saraf berkurang dan terjadi kerusakan saraf yang progresif.

VI. LEPRA1 1. Definisi Lepra atau kusta merupakan penyakit infeksi yang kronik, dan penyebabnya ialah Mycobacterium leprae yang bersifat obligat intraseluler. Saraf perifer sebagai afinitas pertama, lalu kulit dan mukosa traktus respiratorius bagian atas, kemudian dapat ke organ lain kecuali susunan saraf pusat. 2. Epidemiologi Masalah epidemiologi masih belum diketahui secara pasti hanya berdasarkan anggapan klasik yaitu melalui kontak langsung antarkulit yang lama dan erat. Anggapan kedua ialah secara inhalasi, sebab M.leprae masih hidup beberapa hari dalam droplet. Masa tunasnya sangat bervariasi, antara 40 hari sampai 40 tahun, umumnya beberapa tahun, rata-rata 3-5 tahun. Faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan adalah patogenesis kuman penyebab, cara penularan, keadaan sosial ekonomi dan lingkungan,varian genetik yang

13

berhubungan dengan kerentanan,perubahan imunitas dan kemungkinan adanya reservoir diluar manusia. 3. Etiologi Kuman penyebab adalah Mycobacterium leprae yang berukuran 3-8m x 0.5m, tahan asam dan alkohol serta positif-gram. 4. Gejala Klinis Bila kuman M. leprae masuk kedalam tubuh seseorang, dapat timbul gejala klinis sesuai dengan kerentanan orang tersebut. Bentuk tipe klinis bergantung pada sistem imunitas seluler (SIS) penderita. Bila SIS baik maka akan tambak gambaran klinis ke arah tuberkuloid, sebaliknya SIS rendah memberikan gambaran lepromatosa. Menurut WHO pada tahun 1981, kusta dibagi menjadi multibasilar dan pausibasilar. Multibasiler berarti banyak mengandung kuman yaitu tipe LL, BL dan BB,pada klasifikasi Ridley-Jopling dengan Indeks Bakteri (IB) lebih dari 2+. Sedangkan pausibasilar berarti sedikit mengandung kuman yaitu tipe TT, BT dan I dengan IB kurang dari 2+. Adapun penjelasan mengenai pembagian Multibasilar dan Pausibasilar akan dilampirkan pada Tabel 1. Kusta terkenal sebagai penyakit yang paling ditakuti karena deformitas atau cacat tubuh. Kelainan kulit pada penyakit kusta tanpa komplikasi dapat hanya berbentuk makula saja, infiltrat saja, atau keduanya. Perlu dipikirkan diagnosis banding dengan penyakit kulit yang hampir serupa, penyakit ini juga disebut sebagai the greatest imitator. Diagnosis bandingnya adalah dermatofitosis, tinea versikolor, pitriasis rosea, pitiriasis alba, dermatitis seboroika, psoriasis, neurofibromatosis, granula anulare, xantomostosis, skleroderma, leukimia kutis, tuberkulosis kutis verukosa dan birth mark.

14

Tabel 1. Pembagian Lepra Menurut WHO : Multibasilar dan Pausibasilar1

15

Deformitas atau cacat sesuai dengan patofisiologinya dapat dibagi dalam deformitas primer dan sekunder. Cacat primer sebagai akibat langsung oleh granuloma yang terbentuk sebagai reaksi terhadap M. leprae, yang mendesak dan merusak jaringan di sekitarnya, yaitu kulit, mukosa traktus respiratorius atasm tulang-tulang jari dan wajah. Cacat sekunder terjadi sebagai akibat adanya deformitas primer, terutama kerusakan saraf (sensorik,motorik,otonom) antara lain kontraktur sendi dan mutilasi tangan dam kaki. Dapat juga mengenai saraf saraf yaitu N.ulnaris, N.medianus,N. Radialis, N. Poplitea lateralis, N. Tibialis posterior, N.fasialis dan N.trigeminus. Kerusakan mata pada kusta juga dapat primer dan sekunder. Primer mengakibatkan alopesia pada alis dan bulu mata, juga dapat mendesak jaringan lain disekitarnya. Sekunder disebabkan oleh rusaknya N.fasialis yang dapat membuat paralisis N.Orbikularis palpebrarum sebagian atau seluruhnyam,mengakibatkan legoftalmus yang selanjutnya menyebabkan kerusakan bagian mata lainnya. Infiltrasi granuloma ke dalam adneksa kulit yang terdiri atas kelenjar keringat, kelenjar alopesia. 5. Pemeriksaan Bakterioskopik Pemeriksaan bakterioskopik digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis dan pengamatan obat. Sediaan dibuat dari kerokan jaringan kulit atau usapan dan kerokan mukosa hidung yang diwarnai dengan pewarnaan terhadap basil tahan asam (BTA), antara lain dengan ZIEHL-NEELSEN. M.leprae tergolong BTA, akan tampak merah pada sediaan. Dibedakan dalam bentuk sold, fragmented, dan granular. Bentuk solid adalah kuman hidup, sedang fragmented dan granular adalah bentuk mati. Secara teori penting untuk membedakan bentuk solid dan non solid, palit dan folikel rambut dapat mengakibatkan kulit kering dan

16

sebab bentuk yang hidup lebih berbahaya, karena dapat berkembang biak dan dapat menularkan ke orang lain. Kepadatan BTA tanpa membedakan solid dan non solid pada sebuah sediaan dinyatakan dengan indeks bakteri (IB) dengan nilai 0 sampai +6 menurut RIDLEY. 0 bila tidak ada BTA dalam 100 lapang pandang (LP). 1+ bila 1-10 BTA dalam 100 LP 2+ bila 1-10 BTA dalam 10 LP 3+ bila 1-10 BTA rata-rata dalam 1 LP 4+ bila 11-100 BTA rata-rata dalam 1 LP 5+ bila 101-1000 BTA rata-ratra dalam 1 LP 6+ bila > 1000 BTA rata-rata dalam 1 LP Pemeriksaan dengan menggunakan mikroskop cahaya dengan minyak emersi pada pembesaran lensa obyektif 100x. IB seseorang adalah IB rata-rata semualesi yang dibuat sediaan. Indeks Morfologi (IM) adalah persentase jumlah bentuk solid di banding dengan jumlah solid dan non solid. Rumus : Jumlah solid x 100% = ....%

Jumlah solid+ non solid Syarat perhitungan : Jumlah perhitungan kuman tiap lesi 100 BTA IB 1+ tidak perlu dibuat IM nya karena untuk mendapat 100 BTA harus mencari 1000 sampai 10000 lapangan. Mulai dari IB 3+ harus hitung IM nya,sebab dengan IB 3+ maksimum harus dicari dalam 1000 lapangan. 17

6. Reaksi kusta Reaksi kusta adalah interupsi dengan episode akut pada perjalanan penyakit yang sebenarnya sangat akut.adapun patofisiologi belum jelas serta terminology dan klasifikasinya bermacam-macam.reaksi imunologi dapat menguntungkan serta dapat pula merugikan yang di sebutkan reaksi imun patologik. Dalam bermacam-macam akhir-akhir ini yang dianut ada dua, yaitu: ENL (eritema nodusum leprosum) Reaksi reversal atau reaksi upgrading ENL timbul pada tipe BL dan LL. Semakin tinggi tingkat multibasilernya semakin tinggi timbulnya eritema nodusum leprosum. Secara imunopatologis, ENL termasuk respons imun humoral, berupa fenomena kompleks imun akibat reaksi antara antigen M.leprae + antibody (IgM,IgG) + komplemen menjadi kompleks imun. Dengan terbentuknya kompleks imun maka ENL digolongkan ke dalam penyakit komplek imun ,karena protein M.leprae bersifat antigenic, maka antibody dapat terbentuk. ENL banyak terjadi pada saat pengobatan dikarenakan banyak kuman kusta yang mati dan hancur, berarti banyak antigen yang dilepaskan dan bereaksi dengan antibody, serta mengaktifkan system komplemen. Kompleks imun tersebut beredar dalam sirkulasi darah yang akhirnya dapat melibatkan beberapa organ. Pada kulit akan timbul nodul eritema, serta nyeri dengan tempat predileksi di lengan dan tungkai. Apabila mengenai organ lain akan menimbulkan gejala iridosiklitis,neuritis akut,

limfadenitis, atritis, ringan sampai berat. ENL tidak terjadi perubahan tipe. Lain halnya dengan reaksi reversal yang hanya dapat pada tipe borderline (Li,BL,BB,BT,Ti), sehingga ini dapat disebut reaksi borderline. Yang memegang peranan utama ialah SIS (Sistem Imun Seluler), yang diperkirakan adanya hubungan 18

reaksi hipersensitivitas tipe lambat. Reaksi peradangan terjadi pada tempat-tempat kuman kuman M.leprae berada yaitu pada saraf dan kulit, umumnya pada pengobatan 6 bulan pertama. Neuritis akut menyebabkan kerusakan saraf secara mendadak dan memerlukan pengobatan segera. Yang menentukan tipe penyakit kusta ini adalah SIS. Pada tipe borderline dapat bergerak bebas kearah TT dan LL mengikuti naik turunnya SIS.Dan reaksi reversal terjadi perpindahan tipe ke arah TT disertai peningkatan SIS secara mendadak dan cepat. Gejala klinis reaksi reversal ialah sebagian atau seluruh lesi yang bertambah aktif atau timbul lesi baru dalam waktu yang singkat. Adanya gejala neuritis akut sangat diperhatikan untuk pemberian kortikosteroid. Secara sigifikan bahwa ENL adanya lesi eritema nodusum maka disebut juga reaksi lepra nodular dan reaksi reversal atau borderline tidak adanya lesi tanpa nodus serta disebut juga reaksi lepra non-nodular.

VII. PENATALAKSANAAN4 1. Non medika mentosa : Dilakukan rawat inap. Edukasi, yaitu pasien harus menggunakan alat pelindung diri, menjaga kebersihan diri, serta menjalankan pengobatan secara teratur sesuai dengan yang telah ditentukan. 2. Medika mentosa : Tipe Multi Basiler DDS (Diaminodifenil sulfon) 100 mg/hari, Rifampicin 600 mg/bulan, Lamprene 300 mg/bulan dan 50 mg/hari selama 12 bulan. Hari 1 Hari 2-29 : DDS 100 mg/hari, Rifampicin 600 mg/bulan, Lamprene 300 mg : DDS 100 mg/hari dan Lamprene 50 mg/hari.

VIII. KOMPLIKASI 1. Kecacatan fisik seperti kebutaan, telescope finger, deformitas, dan mutilasi. 19

IX. PROGNOSIS 1. Ad Vitam : Ad Bonam, karena pada pasien belum tampak adanya komplikasi

berat yang mengancam kehidupan sehingga masih dapat bertahan hidup, serta lepra jarang menyebabkan kematian. 2. Ad Functionam : Dubia Ad Malam, karena pada pasien sudah terdapat tanda-tanda

adanya kelainan pada susunan saraf tepi dan degenerasi pada sel saraf. 3. Ad Sanationam : Dubia Ad Bonam, karena tergantung dari ketaatan pasien dalam

menjalankan pengobatannya dan juga tergantung dari system imun tubuh pasien. 4. Ad Cosmeticum : Ad Bonam, karena lesi bersifat reversible yang dapat sembuh dengan pengobatan yang adekuat.

20

BAB IV KESIMPULAN

Berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium dan penunjang yang telah dilakukan, diagnosis yang ditegakkan pada pasien ini adalah lepra tipe multibasiler, dimana pada anamnesis didapatkan keluhan utamanya adalah kaki bengkak, kebas dan kesemutan dalam satu tahun. Kemudian pada pemeriksaan fisik ditemukan adanya bercak merah pada daerah perut dan punggung, serta pada ekstremitas lengan dan kaki bawah kering dan ichtiosis. Dan pada pemeriksaan laboratorium, didapatkan hemoglobin yang turun akibat infeksi M. leprae yang dapat mengganggu system eritropoeisis, serta hasil BTA yang positif, dimana kuman M. leprae termasuk bakteri tahan asam. Dengan penangan yang adekuat, diharapkan pasien dapat sembuh dan tidak mengalami komplikasi lanjut.

21

BAB V DAFTAR PUSTAKA

1.

Kosasih A, Wisnu IM, Sjamsoe-Daili ES, Menaldi SL. Kusta. In: Djuanda A, Editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 6th ed. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2010. p. 73-88.

2.

Price SA, Wilson LM. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. 6th ed. Jakarta: EGC; 2003. p. 235.

3. 4.

Huriawati H. Kamus Kedokteran Dorland. 29th ed. Jakarta: EGC; 2002. p. 1068. Provan D, Krentz A. Oxford Handbook of Clinical And Laboratory Investigation. New York: Oxford University Press; 2002.

5.

Sen

R.

Patterns

of

Erythropoiesis

and

Anaemia

in

Leprosy.

Available

at:

http://www.ncbi.nlm.nih.gov/m/pubmed/1870378/. Accessed on June 26, 2012. 6. Sudigdo, Adi. Imunologi Penyakit Kusta dalam Imunodermatologi Bagi Pemula. Bandung: Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran; 2002. p.62-7.

22

You might also like