Professional Documents
Culture Documents
Latar Belakang
Permasalahan alih fungsi lahan bukanlah hal yang mengherankan maupun menghebohkan
di kota besar, begitu pula yang terjadi di Metropolitan Jakarta. Seringkali perubahan guna lahan
terjedai dari lahan non-produktif sebut saja permukiman, tanah kosong, bahkan RTH menjadi
lahan tempat kegiatan komersial perdagangan dan jasa, ataupun hunian yang lebih mewah seperti
apartemen. Sayangnya seringkali peningkatan fungsi lahan ini membawa dampak yang tidak baik
kepada masyarakat di daerah sekitarnya, misalnya mengganggu kelancaran lalu lintas,
memperparah banjir, dan mengurangi kenyamanan lingkungan permukiman.
Hal seperti itulah juga yang terjadi di Kemang, Jakarta Selatan. Namun bukan berarti
permasalahan alih fungsi lahan di Kemang sama saja, ada beberapa hal yang membuat kasus ini
menjadi menarik. Selama ini Kemang telah dikenal luas sebagai lingkungan hunian para
ekspatriat dan kaum elit Indonesia. Selain itu tempat usaha yang berkembang di sana – yang
sebenarnya menyalahi Rencana – identik dengan gaya hidup high-class, dari cafe, toko buku,
restoran, galeri seni, kantor cabang bank, factory outlet, dan bar atau night club tersedia semua di
Kemang. Malah sempat disebut juga sebagai salah satu kawasan industri kreatifnya Jakarta.
Dimana para artis, produser, sutradara hang-out , bertemu, membahas pekerjaan, dan kemudian
menandatangani kontrak.
Sedemikian berkembangnya kawasan komersial Kemang padahal jika ditilik, lahan yang
ditempati oleh para private sector itu masih berstatus sewa. Alhasil lahan yang mereka miliki itu
bisa saja sewaktu-waktu digusur saat diminta lagi oleh pemilik aslinya (masyarakat yang
memiliki lahan). Karena status sewa itu pula, pemerintah pun tidak kuasa menarik retribusi
maupun pajak. Pemerintah pun merasa rugi bermilyar-milyar.
Nampaknya pun masyarakat Kemang sudah cukup menahan diri menghadapi kondisi
lingkungannya yang semakin terdegradasi dan tidak nyaman sehingga masyarakat Kemang pun
bersuara di media. Berbekal ilmu pengetahuan dan kemampuan, masyarakat Kemang
memperjuangkan haknya atas lingkungan perumahan yang nyaman. Media yang menjadi alat
komunikasi dan interaksi mereka adalah media-media yang beredar di Ibukota dan kebanyakan
menjangkau masyarakat kelas menengah ke atas dan masyarakat kelas atas.
1
Menghadapi aspirasi masyarakat Kemang yang frontal di media itu, pemerintah pun
terlihat kalang kabut. Beragam alternatif sempat dilontarkan oleh berbagai pihak yang mewakili
pemerintah. Salah satu di antaranya adalah pemutihan kawasan, yang tentunya ditolak oleh
masyarakat dan bahkan ada pemerhati tata kota yang menyebut bahwa solusi pemutihan adalah
solusi gantung diri. Dengan mengajukan solusi pemutihan, yang jelas-jelas tidak tersebut di
dalam UU 26 tahun 2007, pemerintah berarti bersikap tidak mau tahu, permisif, dan bisa saja
manut pada maunya pasar.
Alhasil permasalahan alih fungsi guna lahan di Kemang inipun mendapat perhatian dari
kelompok yang lebih besar karena selain menyangkut kondisi lingkungan permukiman yang
semakin tidak nyaman, sikap pemerintah yang sepertinya tidak punya kekuatan menghadapi mau
pasar kemudian mengabaikan rencana tata ruang, menjadi suatu cerita tersendiri. Menarik untuk
mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi di Kasus Kemang ini, menelusuri perjuangan
masyarakat ekspatriat dan high-class Indonesia yang berpendidikan ini.untuk memperoleh
haknya, dan respon serta kebijakan pemerintah akankah lebih mengutamakan tata ruang atau
kemauan pasar.
Rumusan Persoalan
Persoalan utama yang akan dibahas dalam makalah ini adalah :
“Bagaimana regime mengarahkan planning dan development di Kawasan Kemang?”
Dan 5 pertanyaan lain yang akan membantu mengarahkan isi makalah ini antara lain :
1. Rezim seperti apa yang terjadi dalam persoalan alih fungsi Kemang?
2. Kemanakah perencanaan di Kemang diarahkan?
3. Adakah pihak yang diuntungkan maupun dirugikan dalam kasus ini?
4. Apakah sebenarnya pembangunan di Kemang diharapkan?
5. Lalu apa yang sebaiknya dilakukan untuk menghadapi kasus ini?
Sasaran Studi
Tujuan utama penulisan makalah ini adalah untuk mengendapkan dan mengaplikasikan
teori politik perkotaan yang telah didapat selama perkuliahan. Bagaimanapun juga politik tanpa
bahasan studi kasus akan menjadi suatu topik yang abstrak tanpa konteks, dan akhirnya menjadi
kosong. Tujuan lainnya adalah menjawab pertanyaan yang diajukan dalam Rumusan Persoalan :
2
1. Mengidentifikasi rezim apa yang berkembang di kasus Kemang.
2. Mengidentifikasi kemana Kemang diarahkan.
3. Mengidentifikasi stakeholders dan posisi mereka.
4. Mengidentifikasi apakah pembangunan di Kemang diharapkan atau tidak.
5. Memberi pandangan atas alternatif solusi yang diajukan.
Metodologi Studi
Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan melalui penelusuran media on-line, antara lain The Jakarta
Post, Kompas, Republika, Gatra, juga beberapa website-website terkait dengan Kasus Kemang,
alih fungsi guna lahan di Jakarta, dan RTRW 2010 DKI.
Analisis Data
Sebagai kerangka analisis politik dan perencanaan, dipilih urban regime dan power in
planning research. Urban regime dipandang tepat untuk menjelaskan mekanisme alih fungsi
lahan yang terjadi di Kemang. Power in planning digunakan untuk memberi gambaran
bagaimana pembangunan yang terjadi di Kemang diarahkan dan diharapkan serta
mengidentifikasi posisi para aktornya.
Sistematika Pembahasan
Makalah ini terbagi menjadi 4 bab.
Bab 1 Pendahuluan. Bagian ini akan memberi gambaran dan kerangka mengenai apa yang akan
dibahas di halaman-halaman selanjutnya. Terdiri dari Latar Belakang, Rumusan Persoalan,
Sasaran Studi, Metodologi Studi, dan Sistematika Pembahasan.
Bab 2 Kisah Kasus Kemang. Dalam bab ini dapat ditemukan latar belakang alih fungsi lahan
Kemang dilihat dari kacamata planning, siapa saja stakeholders yang terlibat, dan proses
bagaimana persoalan Kemang ini terangkat ke publik serta respon pemerintah.
Bab 3 Kekuatan Politik Perkotaan dalam Kasus Kemang. Bab ketiga ini akan menyajikan
hasil analisis dan diskusi dengan menggunakan dasar teori Urban regime dan Bringing Power
into Planning Research sebagai kerangka analisis.
Bab 4 Simpulan. Bagian penutup ini dimaksudkan untuk mengikat kembali apa-apa yang telah
ditulis dalam makalah ini.
3
Kisah Kasus Kemang
Sumber : http://properti.kompas.com/read/xml/2009/05/04/20224039/kemang.akan.ganti.wajah
Menurut RTRW DKI Jakarta Tahun 2010, Kawasan Kemang yang terletak di bagian
selatan Jakarta ini ditetapkan sebagai kawasan permukiman. Kawasan ini juga menjadi daerah
resapan air karena tingkat kepadatannya yang cukup rendah. Kawasan dengan kepadatan rendah
renda
artinya memiliki koefisien dasar bangunan (KDB) yang juga rendah (Nilai KDB memberi
gambaran luas tentang peresapan air di suatu lahan). Semakin kecil nilai KDB, semakin luas
lahan yang tidak tertutup bangunan. KDB di Kemang hanya 20 persen, berarti seharusnya
seha luas
lahan yang tidak tertutup bangunan sebanyak 80% dari luas Kemang yang 330 ha.
Akan tetapi saat ini Kemang telah berubah menjadi kawasan komersial kelas atas. Catatan
terbaru Dinas Tata Ruang DKI menyebut, sampai akhir 2008 sekitar 73% lahan dan
da permukiman
di Kemang berubah fungsi menjadi kawasan komersial. Padahal, seharusnya hanya 1,5% dari
kawasan ini yang boleh dimanfaatkan untuk membuka toko, pusat bisnis, atau perkantoran. Yang
lebih parahnya, semua pengusaha ini statusnya masih bersifat ssewa
ewa sehingga pemerintah pun
tidak bisa menarik retribusi.
Persoalan perubahan guna lahan ini disebabkan oleh kurangnya kontrol dari pemerintah
sendiri dalam pemberian ijin usaha. Ji
Jika
ka dikaitkan dengan kebijakan Pemerintah Provinsi DKI
yang diberlakukan dii lingkungan kawasan
kawasan-kawasan
kawasan permukiman tersebut, adanya bentuk
kelonggaran dalam pemberian izin perubahan fungsi rumah tinggal melalui kebijakan penataan
4
ruang turut mendorong terjadinya alih fungsi, seperti yang terlihat dalam Instruksi Gubernur
Nomor 77 Tahun 1997 tentang status quo penerbitan usaha di kawasan Kemang.
Selain itu, izin prinsip dari masing-masing instansi menjadi faktor yang mempercepat
pertumbuhan kegiatan usaha. Rendahnya peran koordinasi antar-institusi yang berwenang dalam
bidang perizinan dan pengendalian diperkirakan turut mempercepat proses dominasi dalam
perubahan fungsi rumah tinggal menjadi tempat usaha. Alih fungsi guna lahan ini disebabkan
oleh terjadinya kenaikan nilai jual obyek pajak (NJOP) akibat perubahan fungsi kawasan. Dengan
demikian, memang lebih untung menjadikan rumah tinggal sebagai lahan usaha yang lebih
produktif karena ini dapat menutupi biaya yang harus mereka keluarkan untuk membayar pajak.
Akan tetapi inilah yang kemudian menjadi awal mula timbulnya protes warga di lingkungan
permukiman elit di Jakarta ini.
5
Saat ini beberapa rumah tinggal lama di kawasan tersebut telah disulap menjadi bar,
restoran, factory outlet, kantor cabang bank tertentu, studio foto, dan lainnya. Tumbuh
kembangnya usaha-usaha jasa di lingkungan perumahan ini secara tidak langsung berdampak
terhadap tata keseimbangan lingkungan tempat tinggal. Tiap malam, kebisingan meliputi
kawasan ini. Berbagai perilaku pengunjung bar, restoran dan tempat-tempat yang buka saat
malam hari di Kemang pun mengganggu kenyamanan mereka.
Kemacetan parah yang terjadi akibat alih fungsi ini memperpanjang waktu tempuh
kendaraan mereka keluar maupun masuk Kemang. Dulu, sebelum kawasan komersial
mendominasi guna lahan Kemang, hanya perlu waktu sekitar 30 menit untuk berkendara keluar
dari daerah ini. sekarang, paling tidak perlu waktu 1 jam lebih untuk itu. Jalan utama Kemang
yakni dari Kemang Raya ke Ampera selebar 6-8 meter sudah tidak cukup lagi menanggung beban
aksesibilitas kendaraan yang melaluinya.
Selain itu, alih fungsi lahan yang tidak memperhatikan keseimbangan lingkungan hidup
ini juga turut berkontribusi terhadap kerusakan lingkungan yang terjadi di Jakarta. Tiap tahun,
banjir yang melanda daerah Kemang semakin parah karena tata saluran air di kawasan ini
terbilang buruk. Saat hujan datang, banyak ruas di sepanjang Jalan Kemang Raya berubah
menjadi genangan air.
6
karena menimbulkan kemacetan, kebisingan dan membuat banjir yang melanda Kemang semakin
parah tiap tahunnya. Hal ini mengganggu kenyamanan mereka tinggal di Kawasan Kemang yang
memang sejak semula diperuntukkan sebagai kawasan permukiman ini.
Menariknya, seringkali dalam kasus alih fungsi lahan terutama di permukiman kelas
bawah, LSM akan tampil sebagai mediator. Sedangkan dalam kasus Kemang ini, masyarakat
yang merasa dirugikan tampil mandiri tanpa LSM.
Sedangkan di sisi lain para pelaku usaha memperoleh keuntungan dengan terjadinya alih
fungsi lahan dan ijin usaha yang mudah diperoleh. Pemerintah pun tidak bisa menarik retribusi
pada mereka karena status lahannya masih sewa. Dengan adanya rencana pemerintah DKI Jakarta
untuk benar-benar mengubah Kawasan Kemang menjadi kawasan komersial maka para pelaku
usaha akan semakin diuntungkan karena ini akan memperlancar kegiatan usaha mereka sekaligus
meningkatkan keuntungan yang mereka peroleh.
Pihak pemerintah terdiri dari DTK, P2B, Pemkot, Pemda DKI, dan Dinas Pariwisata.
Dari kegiatan usaha ini, pemerintah tentu mendapatkan keuntungan yang tidak sedikit, terutama
dari pengadaan ijin kegiatan usaha di Kawasan Kemang. Apalagi jika pelaku usaha harus
membayar sejumlah besar denda, semakin banyak keuntungan yang akan diperoleh.
Government responses
Ijin usaha yang diberikan di Kawasan Kemang sebenarnya hanya berlaku selama 10 tahun.
Ketika pada tahun 1990an, ijin tersebut habis ternyata tetap belum ada yang menghentikan
kegiatan usahanya dan pindah. Pemerintah pun tidak melakukan penertiban saat itu. Sekitar tahun
2000, akhirnya dilakukan penertiban berupa penyegelan di beberapa tempat usaha yang dibuka di
kawasan Kemang. Namun, pada perkembangannya harus diakui bahwa pemerintah tidak kuasa
7
membendung perubahan Kemang yang begitu cepat sehingga usaha penertiban ini berhenti.
Ketika kemudian isu ini booming kembali pada tahun ini, respons pemerintah terbilang cukup
cepat (karena permasalahan ini sebenarnya memang sudah mencuat sejak beberapa dekade lalu)
walaupun saling bertentangan satu sama lain.
Pada 1999, Surat Keputusan Gubernur DKI Nomor 140 tentang Kampung Kemang
sebagai kampung modern keluar. Isinya adalah izin bagi tempat usaha yang berlokasi di sebagian
kawasan Kemang dan telah didata pada 22 Januari 1998. Kepala Dinas Tata Ruang Wiriyatmoko
mengatakan, pemerintah akan menata Kemang menjadi kawasan bisnis dan hunian seperti Kuta
Bali. Wiriatmoko juga mengatakan bahwa mereka telah melakukan pengkajian dan hasilnya
pihaknya tidak akan menertibkan kawasan Kemang yang sekarang telah dipenuhi oleh jejeran
kafe, restoran, pub, bar, dan hotel, ke peruntukan semula yakni perumahan (pemutihan).
Pengelola bangunan diizinkan melakukan kegiatan usaha (Surat Keputusan Gubernur DKI
Nomor 140/1999 tentang Kampung Kemang) namun harus membayar denda sesuai yang
ditetapkan dalam Perda Nomor 1/2006 tentang Retribusi Daerah. Hitungan denda terdiri atas
berapa meter lahan yang dihuni, perubahan fungsi bangunan, lokasi, dan lama bangunan itu
berdiri.
Akan tetapi Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo justru membantah rencana pemutihan
kawasan Kemang Jakarta Selatan. Ia justru menyatakan bahwa untuk mengatasi masalah alih
fungsi guna lahan Kemang ini, akan dilakukan penataan kawasan elit itu secara proporsional,
yang artinya tetap dilihat mana guna lahan yang bisa diizinkan dan mana yang tidak. Bangunan
yang difungsikan untuk aktivitas bisnis akan dikaji lebih lanjut. Bukan tak mungkin bangunan
tersebut dikembalikan fungsinya sebagai rumah tinggal jika terbukti menyalahi aturan.
Peruntukan lahan permukiman masih harus diperhatikan dan dipertahankan karena masih cukup
banyak menyebar di Kemang.
Jika ditelusuri dari media dan forum lain, salah satu alasan mengapa pengembalian fungsi
guna lahan Kemang dari komersial menjadi permukiman dipandang sangat sulit –terutama oleh
pemerintah daerah– adalah karena image yang sudah sedemikian melekatnya pada Kemang
sebagai kawasan high class dan creative industry di Jakarta. Namun seberapa banyaknya pun
alternatif pilihan kebijakan yang mungkin diambil pemerintah, keputusannya akan terlihat di
RTRW DKI Jakarta terbaru yang akan memuat kebijakan pemerintah tentang kawasan Kemang.
8
Kekuatan Politik Perkotaan dalam Kasus Kemang
9
untuk mengarahkan perkembangan kota. Citra yang dibentuk akan disesuaikan dengan jenis
pertumbuhan ekonomi seperti apa yang diharapkan terjadi dan sasaran investor seperti apa yang
ingin dipilih. Jika dilihat dari kasus Kemang menunjukkan adanya kesan bahwa para investor
yang diharapkan oleh Pemerintah Kota Jakarta adalah mereka yang bermodal besar. Tipe investor
ini sesuai dengan penduduk yang tinggal disana dan tergolong ke dalam masyarakat kaya
sehingga fasilitas-fasilitas yang dibangun disesuaikan dengan gaya hidup mereka. Kawasan ini
juga diarahkan menjadi tempat komersial untuk kalangan menengah ke atas.
Selanjutnya, indikasi kedua yang membuat penulis mengklaim telah terjadi symbolic
regimes adalah motivasi utama dari para aktor yang terlibat. Motivasi utama dari pemerintah
sebagai salah satu partisipan adalah expressive politics. Motivasi ini dipicu oleh keputusasan
mereka akan tingkat pertumbuhan ekonomi yang menurun dan angka pengangguran meningkat.
Dalam kasus Kemang, kondisi ini ditunjukkan oleh pengabaian penertiban kawasan komersial
yang berkembang secara cepat. Pada Tahun 1999 juga diterbitkan Surat Keputusan Gubernur
DKI Nomor 140 tentang Kampung Kemang sebagai kampung modern sebagai indikasi
keputusasaan pemerintah akan perkembangan ekonomi yang terjadi. Surat tersebut berisi izin
bagi tempat usaha yang berlokasi di sebagian kawasan Kemang dan telah didata pada 22 Januari
1998. Saat itu Kepala Dinas Tata Ruang Wiriyatmoko mengatakan, pemerintah akan menata
Kemang menjadi kawasan bisnis dan hunian seperti Kuta Bali. Keputusasaan ini juga dipicu oleh
krisis moneter yang berkepanjangan di Indonesia. Sebaliknya, dari segi pengusaha sebagai
partisipan lainnya yang turut membangun rezim ini menganggap pencitraan baru bisa membuka
peluang usaha khususnya bagi para pengusaha yang mengutamakan kekhasan wilayah seperti
tempat hiburan dan tempat makan.
Masyarakat Kemang sebenarnya juga tidak bisa dikatakan sebagai murni korban dalam
kasus yang terjadi. Sebenarnya mereka juga mendapat keuntungan dari proses pembangunan
rezim tersebut. Citra baru sebagai kawasan komersial akan menambah fasilitas permukiman
mereka. Keuntungan utama yang mereka dapat adalah meningkatnya nilai jual lahan yang mereka
miliki walaupan ada beberapa konsekuensi yang harus dibayar berupa kebisingan, degradasi nilai
sosial, dan menurunnya jaminan keamanan. Jadi, ada kesamaan motivasi diantara para partisipan
yang terlibat yaitu mendukung adanya perubahan citra Kemang dengan pembangunan walaupun
jenis pembangunan yang diharapkan berbeda (hunian vs komersial).
10
Dan yang terakhir, rezim ini terbentuk karena adanya kebutuhan untuk menyokong
pertumbuhan penduduk yang tinggi, hierarki pelayanan pemerintah yang lebih tinggi, dan atau
kebutuhan usaha berskala nasional, bahkan internasional. Dimana Kemang tak hanya melayani
penduduk Kotamadya Jakarta Selatan tetapi juga penduduk DKI Jakarta. Kesemua kondisi ini
merupakan kondisi yang terjadi di kawasan Kemang sebagai bagian dari ibu kota negara
Indonesia yaitu Jakarta.
11
komersial yang berkembang terlampau luas. Alasan inilah yang mendasari mereka untuk
menggugat dan menempatkan diri di posisi pihak yang loses di mata publik. Hal lain yang dapat
disorot dari masyarakat adalah sebenarnya berkat pembangunan kawasan komersial pula citra
kawasan Kemang menjadi semakin elit dan harga lahan pun menjadi tinggi di sana. Bagi
masyarakat Kemang, tentunya kenaikan harga lahan adalah hal yang patut disyukuri. Bagi
masyarakat di luar Kemang yang mampu membeli lahan rumah di Kemang, tentunya memiliki
lahan di Kemang adalah suatu hal yang prestisius. Namun bagi masyarakat di luar Kemang yang
tidak mampu membeli lahan rumah di Kemang, tentunya adalah hal yang sangat disayangkan dan
semakin menciptakan kesenjangan antar golongan kelas secara ekonomi.
Pihak lainnya yang sebenarnya loses, adalah pemerintah sendiri sebagai pengambil
kebijakan dan pemberi izin. Sebenarnya pemerintah tentu mendapatkan keuntungan yang tidak
sedikit dari pengadaan ijin kegiatan usaha di Kemang. Apalagi jika pelaku usaha nantinya
diwajibkan membayar sejumlah besar denda, semakin banyak keuntungan yang akan diperoleh.
Namun pemerintah pun mengalami kerugian karena tidak dapat menarik retribusi dan pajak
kegiatan usaha selama kurang lebih 30 tahun berdirinya kawasan komersial di Kemang. Hal yang
tidak kalah merugikannya adalah tercorengnya citra pemerintah akibat ketidaktegasan dalam
memberi izin dan menerapkan rencana tata ruang yang akhirnya membuat masyarakat semakin
berpikir bahwa pemerintah jaman ini hanya berfokus pada keuntungan ekonomi jangka pendek.
Di lain pihak, pengusaha merasa diuntungkan dengan kelonggaran pemberian izin usaha
selama ini. Lagipula jika benar Kemang akan dijadikan kawasan komersial, kebijakan tersebut
akan memuluskan jalan para pengusaha untuk meraup keuntungan yang semakin besar.
Sayangnya tempat-tempat usaha, yang dibangun para pengusaha satu per satu tanpa terintegrasi,
di Kemang lupa memperhitungkan bahwa saat kawasan komersial begitu luas, dampak bagi
lingkungan permukiman di sekitar pun ikut bertambah besar.
12
seperti ini tentunya tidak diharapkan. Masyarakat mengharapkan kawasan komersial yang
terbatas di lingkungan permukiman, tidak bising, tidak menimbulkan kemacetan, dan tidak
memperparah banjir.
Namun pihak pengusaha merasa bahwa kawasan seperti inilah yang mereka butuhkan
untuk mengembangkan usahanya. Perijinan yang longgar dan kebebasan dari retribusi maupun
pajak sungguh menyenangkan bagi mereka. Iklim usaha seperti inilah yang mereka harapkan.
13
Simpulan
14