You are on page 1of 16

CERBUNG_PEMBUNUH PAK ROMAN ... (bag.

1)_Tohari San by Cerpen on Tuesday, 12 June 2012 at 18:13 Aku mendapatkan SMS dari Bobi, dan ini benar-benar tidak tepat. Posisiku sangat tidak memungkinkan. Aku dan ayah sedang menonton sirkus, di dalam ruangan besar menyerupai tenda raksasa, duduk di antara ribuan penonton yang sejak dari tadi sangat berisik. Seharusnya aku tidak berada di sini. Aku seorang detektif. Yep, usiaku memang baru 12 tahun. Dan aku menyebut diriku seorang detektif. Well, sedikit ganjil memang. Silahkan tertawa. Namun, aku akan segera buktikan bahwa apa yang aku katakan bukan omong kosong. Jadi begini, namaku Ando Pratama. Kelas 1 SMP di SMP Pinus. Beberapa bulan yang lalu aku, Bobi, dan Chandra mendirikan Klub Detektif dengan nama Pinus Detective Club (PDC). Sejumlah kasus-kasus di sekolah, pernah kami bereskan. Hingga pada suatu kesempatan, kami terlibat pada kasus yang benar-benar membuat jiwa kami menggelinjang. Pokoknya, nanti kau akan tahu sendiri seberapa hebat petualangan kami.

Pak Roman. Hasil penyelidikan polisi. Kemungkinan BUNUH DIRI. Aku membaca SMS dari
Bobi yang aku tugaskan bersama Chandra untuk terus mengikuti perkembangan kasus terbunuhnya Pak Roman, pengusaha sepatu yang terkenal itu. Namun, koran-koran dan televisi menyebutkan bahwa dia mati bunuh diri. Dan itu terdengar sedikit ganjil. Pak Roman adalah pria 40 tahun dan punya reputasi baik, usahanya maju, dan hampir pasti menikah dengan perempuan bernama Viona. Memang sih, ketika aku menyusup di antara polisi, memanjat jendela, menaiki atap, masuk ke lubang atap dan merayap di lorong langit-langit hingga berada tepat di atas polisi penyelidik, menguping dan mengintip lewat lubang dari lorong langit-langit itu ketika polisi-polisi itu melakukan penyelidikan di TKP, di kamar Pak Roman. Aku tidak menemukan tanda-tanda makanan, gelas, teko, atau apa saja yang biasanya digunakan tersangka untuk meracuni si korban. Aku berasumsi dugaan polisi bersumber pada keputusasaan mereka dalam mengumpulkan barang bukti. Tidak ada bukti apapun yang mampu menjelaskan kematian Pak Roman. Dan, sebelum polisi-polisi itu membuat keputusan yang salah. Aku dan Klub Detektifku akan mengungkap kebenaran. SECEPATNYA. *** Seluruh penonton terpesona ketika melihat adegan singa yang meloncat melewati lingkaran api. Dan penonton semakin menggila saat seorang lelaki tua kurus membengkokkan besi linggis dengan kedua tangannya. Ayah di sampingku, aku berniat mengajaknya pulang.

Pa, aku mau pulang saja! Teriakku sekeras mungkin. Apa? Kau lihat musang? Di mana, Ndo? Jawaban yang sangat menyebalkan. Penonton terlalu ricuh. Aku tidak mampu meninggikan volume suaraku. Akhirnya, tidak ada pilihan selain menunggu pertunjukan hingga selesai. Ayahku bernama Dadang Pratama, 40 tahun. Dia pebisnis restoran. Sudah menjalankan bisnisnya sejak puluhan tahun. Sempat jatuh bangun, hingga akhirnya berhasil dan menikahi ibu, Yeni Sulastri atau sekarang bernama Yeni Pratama. Rumah kami di Jalan Pahlawan 154, Menteng. Kami tinggal di rumah seluas 12 x 10 meter, yang berlantai dua. Hari ini, ibu sedang ada acara bersama teman-teman perempuannya. Mereka sering menyebutnya arisan. Dan pukul 20.00 nanti, setelah pulang dari pertunjukan sirkus, aku dan ayah akan menjemputnya. Pertunjukan terakhir. Bagian yang ditunggu-tunggu oleh penonton, 3 orang pria kurus memanjat tangga setinggi seratus meter menjulang ke udara. Lalu, mereka menyeberangi tali tipis, mondar-mandir dan melakukan gerakan-gerakan mirip salto. Penonton bertepuk tangan. Ada juga yang menjerit. Tidak habis pikir, mereka tidak harus menjerit seperti itu. *** Kami bertigaaku, ibu, dan ayahmenyusuri jalan utama Kemayoran dengan sedan hitam yang dikemudikan ayah. Beberapa lampu merah, kurang lebih 3, kami belok ke kiri, jalan lurus lalu belok ke kanan. Tidak lama kemudian terlihat sebuah plang kayu berwarna biru kusam, yang bertuliskan Jalan Pahlawan. Kami memasuki kawasan jalan Pahlawan. *** Bagaimana pertunjukan sirkusnya? Tanya ibu sambil menuangkan susu hangat lalu menyodorkan ke tanganku. Tidak menarik, hanya pertunjukan biasa yang aneh! Jawabku kesal. Sebelum aku berangkat ke tempat sirkus, sebenarnya aku ingin ke rumah Bobi. Dengan berbagai alasan terbaik untuk bisa berpetualang ke rumah Pak Roman bersama Bobi dan Chandra, mengungkap kebenaran. Namun, ayah dan ibu memprotes keras.

Ibu menatapku dengan tatapan aneh. Seharusnya anak-anak se-usiamu bersemangat melihat pertunjukan tadi? Katanya lagi. Aku hanya mengangkat bahu. Ayah baru masuk ke rumah setelah selesai membenamkan mobil ke garasi. Memandangku sejenak lalu berkata. Nah, jagoanku. Sudah saatnya kau tidur, Katanya sambil melambai ke arah jam dinding yang menunjuk pukul 21.00. *** Di dalam kamar, aku mencoba menghubungi Bobi lewat ponsel. Aku menelepon tiga kali, dan tidak ada jawaban apapun kecuali bunyi tut tut tut yang hampir merusak kupingku. Namun, ketika aku diamkan ponselku beberapa menit tergeletak di samping bantal, Bobi meneleponku. Aku tidak punya banyak waktu, Ndo. Aku menunggumu! Katanya di telepon. Aku melirik jam weker. Pukul 22.00. Di mana kau? Tanyaku sambil melangkah mendekati jendela kamar yang mengarah ke jalan. Bukalah jendelamu! Aku di bawah bersama Chandra. Dan kami membawa sedikit informasi penting untukmu! Hebat, aku segera turun! Aku membuka jendela, merangkak di atap. Aku berhati-hati karena genting tanah liat ini cukup licin. Aku bergerak pelan menyamping mendekati pohon palem. Aku melompat memeluk pohon itu dan melorot turun. Beres. Bagaimana kau bisa kabur dari rumahmu? Aku menanyai Bobi dan Chandra. Sederhana saja, aku beralasan malam ini menginap di rumah Bobi, aku pamitan dengan ortu tadi pagi, kata Chandra sambil menyilangkan tangannya.

Aku menatap Bobi. Alasanku sama seperti Chandra! jawab Bobi.

Seandainya ortuku tidak ketat seperti ortu Bobi dan Chandra. Aku tidak harus menuruni atap dan melorot lewat pohon palem seperti bintang sirkus, batinku.
Kita akan ke mana? Tanyaku. Restoran Franko di jalan Belibis 45, jawab Bobi cepat. Baik, aku akan membonceng di sepedamu, Bob. Aku, Bobi, dan Chandra menuju Restoran Franko. Kami menaiki sepeda, dan butuh sekitar 15 menit untuk sampai di sana. *** Malam semakin gelap dan hawa dingin mulai menusuk tulang. Aku, bocah pendek kurus dan berkacamata, selalu menggigil jika hawa dingin meniup ke tubuhku. Sedangkan Bobi, bocah gempal dengan rambut belah tengah, aku rasa dia mempunyai cukup lemak untuk menahan rasa dingin merasuki tubuhnya. Dan Chandra, bocah jangkung dengan tubuh kurus dan tulang-tulang yang menonjol, dia senasib denganku. Kami mengendap-ngendap di belakang Restoran Franko. Tepatnya di sebelah bak sampah yang hampir membuat perutku mual. Restoran Franko buka 24 jam, jadi tidak ada pilihan untuk mencari jalan lain. Kami berdiskusi di dekat bak sampah. Oke, Bob. Ceritakan, apa yang kau ketahui sejauh ini? Aku memulai diskusi. Seperti yang kau perintahkan kemarin. Aku berkunjung ke rumah Pak Roman. Rumahnya sudah dihuni lagi setelah empat hari sunyi. Aku ke sana dengan alasan ingin bertemu dengan Jenny, putri Pak Roman. Seperti yang kita ketahui, Pak Roman seorang duda beranak satu. Hebat, jadi kau berhasil berkenalan Eh bahkan akrab dengan Jenny? Aku sedikit terkejut. Jenny adalah satu-satunya putri Pak Roman, usianya 16 tahun. Yep, aku datang ke pemakaman ayahnya bersama Chandra. Aku dan Chandra mengucapkan bela sungkawa, dan itulah awal perkenalan kami! Lanjut Bobi.

Yup, teruskan! Aku memerintahkan. Setelah aku berbincang bersama Jenny di rumahnya. Dia menceritakan sambil matanya berbinar. Dia mengatakan bahwa malam sebelum tragedi kematian, ayahnya sempat makan siang bersama Viona, calon ibu Jenny, di Restoran Franko pukul 14.00. Yup, aku sudah tahu itu dari hasil penyelidikan yang dilakukan polisi beberapa hari yang lalu! Kataku. Setelah itu, aku dan Bobi langsung melesat ke Restoran Franko tepat pukul 15.00. Kami pura-pura memesan segelas kopi, pelayan mengantarkan kopi dengan acuh. Kami mengamati kondisi Restoran. Sambung Chandra sambil menggosok-gosok telapak tangannya. Terus, informasi apa yang kalian dapatkan? Aku penasaran. Begini, Ndo. Kemarin ada kasus keracunan makanan di sebuah Restoran cepat saji di Jakarta ini. Jadi asumsiku adalah seseorang telah mencampur racun ke minuman atau makanan yang dimakan oleh Pak Roman ketika dia makan siang bersama Bu Viona. Setelah itu, sore hari Pak Roman beristirahat dan mengunci kamarnya. Nah, saat itulah racun bereaksi. Ketika satpam, pembantu, sopir, dan Jenny mendobrak paksa pintu. Mereka mendapati mayat tergeletak di atas kasur. Kata Bobi. Jika memang itu yang terjadi, maka yang memiliki kesempatan mencampur racun adalah, (1) Manajer Restoran itu, dia kapan saja bisa memasuki dapur dan diam-diam mencampurkan racun. (2) Koki atau juru masak, dia bisa mencampur apapun ke dalam makanan itu. (3) Pelayan dan penjaga kasir, mereka bisa berkolaborasi untuk melapangkan tindakan itu. Dan terakhir, yang aku kira sangat kecil kemungkinannya, Bu Viona, dia bisa menaruh racun ketika Pak Roman sedang lengah, Aku mencoba membuat teori. Bobi dan Chandra mengangguk, lalu keheningan terjadi beberapa saat. Bagaimana kalau kita meminum secangkir kopi? Chandra memecah keheningan sesaat itu. ***

3 cangkir kopi datang dan mendarat di meja kami. Seorang pelayan meletakkan satu per satu gelas kopi itu sambil memandang kami dengan tatapan AWAS JIKA KAU HUTANG. Lalu pelayan itu menjauh. Tenang saja, aku membawa beberapa rupiah untuk kopi ini. Jadi kita tidak perlu cuci piring, oke??? Celetuk Bobi.

Cuci piring? Yup, tentu saja. Aku punya rencana bagus.


Nah, aku punya rencana bagus! Rencana apa? Chandra penasaran. Begini, Bob, kau jangan pernah bayar rupiahmu itu! Apa maksudmu? Bobi protes. Sudahlah, turuti saja perintahku. Dan kau, Chandra. Coba gunakan ponselmu sekarang. Potret beberapa gambar di Restoran ini. Potret setiap sudut ruangan. Berusahalah!

Bersambung ke "PEMBUNUH PAK ROMAN (bag.2) By. Tohari San

CERBUNG_PEMBUNUH PAK ROMAN ... (bag.2)_Tohari San by Cerpen on Tuesday, 12 June 2012 at 18:18 Aku melarang Bobi menggunakan rupiahnya. Dan sebagai kompensasinya, kami harus mencuci piring di dapur yang sangat menjijikan itu. Kira-kira malam ini pukul 23.45. Seorang Manajer menanyai kami macam-macam sebelum kami mencuci. Manajer itu seorang lelaki gendut berkepala plontos dan berumur sekitar 50-an. Kalian, anak-anak nakal. Di mana orang tua kalian? Kata Manajer. Kami gelandangan kelaparan tuan? Jawabku spontan dan membuat wajah kedua sahabatku sangat terkejut.

Manajer itu memandangi kami bertiga, lalu bertanya lagi. Tidak mungkin, pakaian kalian terlalu bagus untuk gelandangan? Manajer itu mengangkat alisnya. Baru lima hari ini kami menggelandang. Kabur dari rumah. Orang tua kami tidak mempedulikan kami. Mereka sibuk mengurus perceraian. Kami kelaparan. Dan sempat dikejar-kejar orang gila dengan pisau di tangannya Aku menjelaskan. Dan memohon belas kasih dari kami? Jangan harap! Cuci piring-piring itu. Jika ada yang pecah, aku tidak segan-segan memanggil polisi dan mereka akan siap meringkusmu! Setelah itu, kami melakukan ritual cuci piring. Dan menunggu apa yang akan terjadi. *** Bobi dan Chandra terus menanyaiku soal alasanku kenapa aku melarang Bobi untuk membayarkan rupiahnya. Aku belum mau menjawab. Aku ke belakang dengan alasan kebelet pipis. Aku menuju toilet dengan diantar oleh salah satu pelayan. Di dalam toilet, aku berpikir keras untuk melakukan sesuatu. Biasanya ada ruang atau tempat mengobrol atau gossip para karyawan yang sedang tidak ada kerjaan. Nah, tempat itulah yang aku cari. Siapa tahu aku mendapat informasi penting. Setelah beberapa menit di dalam toilet. Akhirnya dua orang pria, sedang mengobrol di depan pintu toiletku. Nah, mereka mengobrol di toilet. Namun, mereka hanya dua koki yang menyebalkan. Mereka bercanda soal telur sapi, lelucon yang bodoh menurutku. Aku keluar dari toilet dan tidak mendapat apa-apa. Setelah kami bertiga menghabiskan beberapa jam untuk mencuci piring dan aku mendapat makian dari dua sahabatku. Akhirnya kami pulang dengan muka masam menggelayuti wajah kami. Aku memanjat pohon palem. Mendarat di genting yang licin. Bergerak menyamping seperti kepiting. Bobi dan Chandra tertawa kecil sambil mengejekku. Aku menerobos jendela, lalu melambai ke arah dua sahabatku. Dan setelah itu terbaring di atas ranjang pada pukul 03.00 dini hari. Hari yang melelahkan. ***

Tidak ada alasan untuk menyerah. Setelah pulang sekolah, kami kembali rapat. Sebenarnya kami masih terkantuk-kantuk karena kurang tidur. Rapat kali ini tidak di belakang Restoran Franko. Namun, kami bertiga berada di kamarku. Aku mengunci rapatrapat kamarku, dan kami bertiga diskusi di atas kasur. Nah, Chandra. Coba, apa yang bisa kita lihat di foto-foto hasil jepretanmu semalam? Aku memulai. Chandra menyerahkan ponsel kameranya. Lalu aku memencet-mencet tombol, melihatlihat foto dan jujur saja, dengan perasaan sedikit frustasi. Kau fotografer yang handal, Ndra. Aku bahkan hanya melihat gadis-gadis cantik bersama orang tua sedang makan malam di ponselmu, gerutuku. Bobi yang mendengar malah cekikikan. Sementara Chandra, mukanya memerah. Eh, tunggu dulu. Siapa lelaki ini? Aku menunjukan layar ponsel ke muka dua sahabatku. Bobi dan Chandra memandangi sejenak, lalu berkata secara serempak. PEMAIN BIOLA, kata mereka. Terlihat pemain biola yang sedang memainkan biolanya di depan pasangan muda-mudi yang sedang makan malam. Wajah pemain biola itu tampak jelas, karena tepat menghadap ke kamera. Dan aku langsung hafal dengan wajah itu. Ada berapa pemain biola di Restoran Franko? Tanyaku kepada dua sahabatku. Aku memang jarang makan di Restoran itu, tapi aku sering lewat di depannya. Dan aku tidak pernah melihat pemain biola selain lelaki itu! Jawab Bobi. Aku mengangguk, dan diikuti oleh Chandra. *** Sehabis magrib, aku, Bobi, dan Chandra kembali ke Restoran Franko. Aku berhasil lolos dari interogasi ibu dan ayah. Aku beralasan belajar kelompok di rumah Bobi. Yep, kali ini, kami tidak memesan kopi, tapi mengamati pemain biola itu dari semak-semak di depan Restoran itu. Kenapa pemain biola? Yep, aku sudah pernah ketemu; pelayan, pegawai kasir,

koki, dan Manajer. Dan aku tidak memiliki kecurigaan terhadap mereka. Sebagian mereka sinting. Dan giliran pemain biola yang harus aku selidiki, dia satu-satunya orang yang sering ke Restoran yang belum aku selidiki. Pemain biola itu sedang tidak memainkan biolanya. Dia tampak sedang mengobrol dengan perempuan berambut panjang. Sayang perempuan itu membelakangi kami, sehingga kami hanya melihat punggung dan rambut panjangnya saja. Kalian, tunggu di sini! Kataku. Kau mau kemana, Ndo? Tanya Bobi. Tunggu saja di sini! Aku segera kembali, aku melangkah memasuki Restoran. Aku berjalan mendekati pemain biola itu. Ternyata perempuan yang sedang berbicara dengan pemain biola itu, Bu Viona. Dan, aku sedikit lega. Karena aku sudah mengenalnya. Itu artinya, tidak perlu basa-basi, aku bisa langsung bergabung di mejanya sebentar. Ayah mengenal baik Pak Roman. Jadi, secara bersamaan dia juga mengenal baik Bu Viona. Hai, Ndo? Sapa Bu Viona sambil menoleh ke sekitar Restoran, lalu berkata lagi. Di mana ayah dan ibumu? Kok, aku tidak melihatnya? Kata Bu Viona sambil mengerutkan kening. Aku sendirian, boleh duduk sebentar? Tanyaku. Boleh-boleh, silahkan. Oh ya, Gerry kenalkan. Ini Ando, putranya Pak Dadang. Dan Ando, ini Gerry sahabat saya, Bu Viona mengenalkan, sementara aku dan Gerry bersalaman. Kurang lebih 30 menit aku mengobrol bersama Bu Viona dan Gerry. Aku berhasil mendapatkan beberapa informasi tentang Gerry. Gerry berusia, 40 tahun. Ternyata Gerry seorang guru less privat Biola. Dia sangat menyukai Biola sejak berumur 10 tahun. Dan pernah tergabung dalam band. Namun, setelah lima tahun berkarir bersama band. Dia akhirnya memutuskan keluar dari band dan membuka kursusan Biola. Dia membuka kelas untuk privat dan kelompok. Aku juga sempat bertanya soal kenapa dia sering bermain biola di Restoran ini. Dia menjawabnya, Hanya iseng saja, sambil tertawa kecil. Sebenarnya, aku menyukai gaya bicaranya. Dia orang yang sopan dan murah senyum. Dan sangat

beruntung sekali aku diberi kesempatan untuk main ke rumahnya besok siang. Aku mendapatkan kartu namanya. Hebat bukan? Ketika lagi asyik mengobrol, meja kami didatangi pria gemuk berkepala plontos. Aku mendongak dan sempat melihat mukannya. Wajah mengerikan, seperti PEMBUNUH. Ternyata Pak Manajer. Nah, anak gelandangan. Kau mengganggu pelangganku! Celetuknya sambil

menyilangkan tangan. Bu Viona berdiri dengan raut muka masam. Apa maksudmu? Siapa yang gelandangan? Dia anak Dadang Pratama! Sang Manajer terperangah. Yep, siapa yang tidak mengenal Dadang Pratama. Pemilik Restoran Franko yang cabangnya di mana-mana. Dan Restoran ini salah satu cabangnya. Dasar Manajer baru. Baru jadi Manajer saja sudah bertingkah. Setelah keluar dari Restoran. Aku kembali menghampiri dua sahabatku. Aku melihat ekspresi Manajer itu, kau memberinya pukulan telak, Ndo, Kata Bobi sambil meninju lenganku. Oke Ando, apa yang sedang kau bicarakan di dalam? Chandra bertanya. Besok siang. Pulang dari sekolah. Kita akan kursus Biola! Kataku sambil menunjukan kartu nama Gerry. Kursus apa, B-biola? Sejak kapan kau tertarik kursus biola? Chandra kembali bertanya. Dan kau bilang KITA? Oh Ando, ayolah! *** Satu minggu ini polisi sudah melakukan penyelidikan tentang kematian Pak Roman. Aku sangat yakin, mereka tidak menemukan apa-apa. Tidak ada barang bukti seperti gelas, piring, atau makanan apapun yang ada di dalam kamar Pak Roman. Dan sebelum kematian itu terjadi, Pak Roman mengunci pintu rapat-rapat. Pak Roman juga sempat bilang kepada pembantu dan Jenny bahwa dia ingin istirahat sore itu, dan minta dibangunkan pukul 18.00.

Namun ketika dibangunkan. Para penghuni rumah mendapati Pak Roman sudah meninggal. Dan beberapa hari setelah mayat diotopsi, polisi mengumumkan bahwa Pak Roman meninggal karena keracunan. Dan beberapa Dokter ahli yang memeriksa jenazah Pak Roman juga memberitahukan, bahwa racun itu sangat langka. Sekarang para Dokter itu masih memeriksa jenis racun apakah yang merenggut nyawa Pak Roman. Sementara polisi, tampaknya sudah mulai frustasi dan akan segera menarik kesimpulan bahwa Pak Roman BUNUH DIRI dan tidak pernah ditemukan adanya unsur PIDANA. *** Setelah pulang sekolah, aku, Bobi, dan Chandra bergegas ke rumah Gerry. Kami akan belajar memainkan Biola. Rumah Gerry tenyata tidak terlalu luas. Gerry tinggal sendiri di rumahnya yang kecil. Dia bercerai dengan istrinya ketika masih sibuk dengan tour bersama anggota band-nya. Aku, Bobi, dan Chandra sudah memegang masing-masing biola. Kami sama-sama menggesek biola itu. Dan suara yang keluar sungguh menyedihkan. Jika ada nenek tua sakit-sakitan mendengar permainan kami, mungkin jantungnya akan segera berhenti. Gerry memberi instruksi berkali-kali kepada kami. Dan hasilnya tidak terlalu buruk, kami mampu memainkan dua-tiga buah nada. Ada sedikit perasaan bangga yang mencuat dari diri kami. Mungkin setelah pulang dari rumah Gerry, kami akan mengumumkan kepada dunia bahwa kami adalah Master Biola. Beberapa saat kemudian ponsel Gerry berdering. Dia mengangkat ponselnya. Ternyata dari Viona. Gerry memandangi kami bertiga, lalu berjalan keluar. Aku meminta ijin pada Bobi dan Chandra. Tunggu di sini, beberapa menit aku akan kembali, perintahku yang lagi-lagi membuat dua sahabatku kebingungan. *** Kami pulang dari rumah Garry sekitar pukul 16.00. Aku mengajak Bobi dan Chandra untuk langsung ke rumahku. Kami akan kembali rapat. Dan mungkin ini rapat yang terakhir. Kami sudah berada di dalam kamar. Seperti biasa, mengunci pintu rapat-rapat. Dan ketika ibu mengetuk pintu, aku menjawab, Belajar kelompok. Banyak PR. Soal-soal yang memusingkan.

Ada apalagi nih, Ndo? Bobi memulai dengan pertanyaan. Aku sudah tahu pembunuh Pak Roman! Kataku mantap. BENARKAH??? Tahu dari mana kau? Seharian kita hanya di rumah Gerry. Kemarin pun kita hanya mengamati restoran. Aku tidak mengerti! Tanya Chandra. GERRY, DIA PEMBUNUHNYA!!! Aku menekankan. Dua sahabatku terkejut bukan main. Lalu Bobi dan Chandra memberondongku dengan pertanyaan-pertanyaannya.

Bersambung ke "PEMBUNUH PAK ROMAN (bag.3) By. Tohari San CERBUNG_PEMBUNUH PAK ROMAN ... (bag.terakhir)_Tohari San by Cerpen on Tuesday, 12 June 2012 at 18:22 Bagaimana kau bisa menuduh Gerry? Pertanyaan pertama oleh Bobi. Lihat ini! Aku menunjukan beberapa foto yang aku jepret ketika di rumah Gerry. Sebenarnya, ketika Gerry mendapat telepon dari Bu Viona. Aku berkelana ke rumah Gerry, mencoba menemukan sesuatu. Tapi hasilnya nihil. Namun, beberapa saat setelah aku sedikit frustasi, akhirnya aku menemukan kamar Gerry yang saat itu tidak terkunci. Aku juga melihat biola yang sama dengan foto di ponsel Chandra, ketika aku melihat Gerry pertama kali. Aku mendekati biola itu. Dan beberapa kali menjepretnya. Kau lihatkan, ini biola yang sama dengan foto di ponselmu, Ndra. Dan malah lebih jelas, Aku menambahkan. Terus, apa alasanmu menunjukkan foto-foto ini? Giliran Chandra bertanya. Baiklah, aku jelaskan. Kau lihat lubang kecil di biola gesek ini? Aku kembali menunjukan foto biola. Ya, jelas sekali. Ada lubang kecil seperti lubang semut di pantat biola itu! Chandra mengiyakan. Dan lihat ini, sekarang apa yang kau lihat? Aku menunjukan foto lainnya, masih foto biola.

Lubang kecil itu menghilang! Bobi menunjuk ke foto jepretanku. Baiklah, jadi begini penjelasannya. Aku sudah melihat biola ini secara langsung. Yaitu di kamar Gerry. Tadinya aku mau memainkannya, tapi aku kira itu keputusan bodoh dan hanya buang-buang waktu. Jadi, yang aku lakukan adalah melihat, memegang, dan meraba-raba alat musik seksi itu. Tidak sengaja jariku merasakan adanya permukaan yang kasar, yaitu dibagian pantat biola itu. Aku membalik biola itu dan mengamati pantatnya. Ternyata ada sebuah lubang yang tertutup oleh katup kayu kecil. Dan bisa dibuka jika kau mendorong katup itu. Nah, aku pun mendorong katup itu secara pelan. Aku dekatkan mataku ke lubang itu, aku mengintipnya. Lumayan dalam. Seperti ada sebuah selang menjorok ke dalam. Dan ketika aku tidak sengaja kembali membalik biola itu, dengan posisi pantat biola berada di bawah. Serbuk putih terjatuh tercecer ke lantai. Memang tidak cukup banyak sih, tapi aku menduga, serbuk putih itu adalah racun! Apakah bukti itu cukup meyakinkan polisi? Bobi bertanya. Aku memang belum menemukan tempat di mana serbuk itu disembunyikan. Untuk itulah, aku mengumpulkan serbuk yang tercecer tadi dan aku masukkan ke plastik kecil ini! Aku menunjukkan plastik ukuran kecil berisi serbuk. Seorang Detektif memang harus menyiapkan segalanya. Ada bukti lainnya? Chandra kembali bertanya. Tentu saja! Aku merogoh celanaku dan mengeluarkan sebuah foto kusam berukuran 5 R. Foto sepasang muda-mudi sedang berpelukan mesra dan latarnya adalah pemandangan di pantai, mungkin pulau Bali. Foto Bu Viona? Dari kamar Gerry? Bobi terkejut Tepat sekali. Nah, dari fotonya. Sangat kelihatan, bahwa Bu Viona dan Gerry masih muda di sini. Coba tebak berapa umur mereka? Gerry kayaknya 30-an dan Viona sekitar 25-an deh! Tebak Bobi. Yang jelas foto ini diambil beberapa tahun silam. Kalian tahu artinya? Yep, dulu Gerry dan Viona memiliki hubungan spesial. Dan lihat, tangan kiri Gerry memegang biola, dan tangan kanannya memeluk Viona!

Jadi selama tour bersama band. Gerry mengajak Viona? Chandra menebak. Istri Gerry cemburu dan menceraikannya? Sambung Bobi. Bisa dibilang begitu! Aku menambahkan. Kami bertiga sempat diam sejenak, setelah Chandra mangatakan sesuatu. Dan, Ando. Aku ingin tahu. Apa motif Gerry! Tanya Chandra. Bobi juga tidak sabar menunggu. Pertanyaan yang bagus. Jadi, motifnya, sederhana saja. Setelah bertahun-tahun bercerai dari istrinya, Gerry bermaksud untuk menikahi Bu Viona. Namun, ketika Gerry menyatakan cintanya pada Bu Viona melalui surat, aku kembali merogoh saku dan menunjukkan surat pernyataan cinta kepada dua sahabatku. Hebat, Sobat. Kau pencuri ulung, Kata Bobi. Kita bisa lihat, surat ini dibuat satu bulan yang lalu. Dan Bu Viona dilamar Pak Roman juga pas satu bulan yang lalu. Nah, sudah bisa dipastikan, Bu Viona menolak pernyataan cinta dari Gerry. Karena faktanya Bu Viona menerima lamaran dari Pak Roman dan berniat menikah bulan ini. Dan, kalaupun disuruh memilih, tentu saja Bu Viona akan memilih Pak Roman. Pak Roman tampan dan kaya, sedangkan Gerry, dia hidup dari uang kursusan biolanya, dan bertahan dengan susah payah. Namun, disini Gerry bukan pria yang pantang menyerah. Dia mencintai Viona. Tidak rela Viona menikahi orang lain selain dirinya. Dia ingin menghentikan pernikahan itu. Dan, hanya ada satu cara: MEMBUNUH PAK ROMAN. Nah, kita kembali ke biola. Biola itu mempunyai lubang dan katup sehingga jika katup tertutup, siapapun tidak akan melihat lubang itu. Kita juga mendapatkan bukti, yaitu serbuk yang kita duga sebagai racun. Dan seperti yang aku katakan tadi, serbuk akan tumpah jika posisi pantat biola dibalik ke bawah. Jadi asumsiku adalah siang itu, Gerry mendapati Bu Viona dan Pak Roman sedang makan siang di Restoran Franko, kita tahu Gerry sering main biola di Restoran Franko kan? Nah, sewaktu Gerry mendekati meja Bu Viona dan Pak Roman, Bu Viona berpura-pura diam dan tidak mengenali Gerry, untuk menjaga stabilitas hubungannya dengan Pak Roman. "Nah, Gerry yang sudah menyiapkan senjatanya, biola berlubang yang memiliki katup. Dari lubang itu, sebelumnya Gerry sudah mengisi serbuk racun ke biola itu. Entah bagaimana caranya. Ketika biola dimainkan, katup tertutup. Dan ketika permainan selesai, secara diam-diam, Gerry membuka katup itu lalu pelan-pelan membalik posisi biola dan

racun tumpah ke makanan atau minuman Pak Roman. Pak Roman dan Bu Viona tidak menyadari itu karena saling bertatapan. Setelah Gerry selesai melakukan aksinya, dia pergi meninggalkan Pak Roman dan Bu Viona. Nah, Gerry yang merasa aman dari tuduhan siapapun, dia bisa merasa santai. Dan Viona yang tidak menyadari bahwa Gerry adalah pembunuh, dia masih mau berteman dengannya. Tapi, kebenaran akan segera terungkap. Hebat, presentasi yang bagus, Sobat! Kata Bobi. Terus apa yang harus kita lakukan! Kata Chandra. Nah, Chandra, telepon pamanmu, laporkan kejadian ini! Aku menyarankan. Setelah itu, kalian bersiap-siaplah, kita akan grebek rumah Gerry, tambahku. Kedua sahabatku mengangguk mantap. Jadi begini, paman Chandra adalah polisi berpangkat Briptu. Jadi, melaporkan kejadian ini merupakan langkah tepat, walaupun lewat telepon, semoga pamannya Chandra mau membantu. Dan setelah itu, semoga paman Chandra yang bernama Rivki itu, mau melaporkan kejadian ini kepada atasannya. *** Pukul 18.30. Aku, Bobi, dan Chandra berada di rumah Gerry. Aku juga mengajak Bu Viona, dan kedua orang tuaku yang tidak percaya dengan alasan belajar kelompok lagi, akhirnya tidak ada pilihan selain mengajak mereka berdua. Kami tidak sendirian ketika di rumah Gerry. Kami didampingi beberapa polisi. Pak Hans Febriansyah, polisi berpangkat AKP (Ajun Komisaris Polisi), memerintahkan beberapa anak buahnya untuk menggeledah rumah Gerry. Seperti dugaanku, di rumah Gerry ditemukan beberapa pak racun yang terbungkus plastik kecil. Racun itu mirip tepung. Selain itu, ada juga benda menyerupai corong dengan ujung kecil memanjang seperti jarum. Mungkin corong itu adalah alat untuk menyuntikan racun ke biola. Selain itu polisi juga mengamankan biola yang mempunyai lubang kecil berkatup. Aku menyerahkan surat, yang tadi aku curi dari kamar Gerry, kepada polisi. Viona bersedia menceritakan semua fakta bahwa akhir-akhir ini Gerry memaksanya untuk segera menikahinya, dan juga cerita tentang hubungan masa lalunya dengan Gerry.

Semua bukti terkumpul dan Gerry tidak bisa berkilah lagi. Dia pun mengakui kesalahannya. Gerry diborgol dan dimasukkan ke mobil polisi, dia sempat memberiku tatapan mengerikan. Mungkin jika diterjemahkan, AKAN KUBUNUH KAU. Dan aku membalas tatapan itu sambil berteriak di dalam hati, SILAHKAN SAJA, AKU MENUNGGUMU SOBAT. Nah, Pak Dadang dan Bu Yeni. Anak anda sudah membantu kami untuk memecahkan kasus pembunuhan Pak Roman. Hampir saja kami membuat kesalahan dengan menarik kesimpulan yang salah. Tapi, Ando dan dua teman kecilnya ini, bertentangan dengan kami. Mereka bahkan membuktikan bahwa kasus ini adalah kasus PEMBUNUHAN. Aku tidak habis pikir, bagaimana mungkin seorang anak 12 tahun bisa membantu memecahkan kasus serumit ini. Kalian harus bangga padanya! Kata Pak Hans sambil bergantian menatap Aku, Chandra, dan Bobi. Tentu saja Pak Hans. Siapa dulu ayahnya? Kata ayah sambil menepuk dadanya, seolah kasus ini dia yang memecahkan. Aku, dua sahabatku, Viona, ibu, dan Pak Hans tertawa secara serentak. TAMAT By. Tohari San Akhirnya aku bisa menyelesaikan cerita sederhana ini. Yep, semoga Sobat2 terhibur...

You might also like