You are on page 1of 20

BAB I LAPORAN KASUS I. Identitas Pasien 1. Nama 2. Jenis kelamin 3. Tanggal lahir/ Usia 4. Pekerjaan 5. Pendidikan terakhir 6.

Agama 7. Status nikah 8. Suku bangsa 9. Alamat II. Anamnesis Anamnesis Keluhan Utama : Autoanamnesis dan Alloanamesis dengan ibu pasien : Kejang 2 hari SMRS : : Nn. K : Perempuan : 16 Mei 1995/ 18 tahun : Tidak bekerja : SMP : Islam : Belum menikah : Sunda : Ciledug

Keluhan Tambahan : Riwayat Penyakit Sekarang Pasien datang ke poli saraf RSUP Fatmawati karena ingin kontrol. Serangan kejang terakhir dialami pasien 2 hari SMRS. Kejang terjadi tiba tiba saat OS sedang menonton tv. Kejang kelojotan seluruh tubuh, mata mendelik ke atas, keluar busa dari mulut pasien, pasien mengompol saat kejang. Saat kejang, pasien tidak sadar. Pasien kejang selama 5 menit. Kejang berhenti sendiri tanpa obat. Setelah bangun, pasien sadar namun terlihat lemas. Sebelum kejang, pasien mengaku melihat cahaya. Pasien saat ini tidak sedang menstruasi. Pasien mengaku hari terakhir menstruasinya sudah 2 minggu SMRS. Pasien menstruasi pertama kali usia 11 tahun. Pasien mengaku saat ini sedang stress karena baru saja dipecat dari toko tempat pasien biasanya bekerja. Pasien selama ini mengaku mengkonsumsi obat anti epilepsi Asam Valproat 500 mg tiga kali sehari, namun tidak selalu setiap 8 jam sekali. Pasien kadang kadang minum obat satu kali di pagi hari dan minum obat sekaligus dua di malam harinya. Obat tersebut sudah

habis selama tujuh hari. Pasien baru kontrol sekarang karena tidak ada yang mengantar ke RS. Dalam satu tahun terakhir pasien telah mengalami kejang selama 2 kali, sebelumnya pasien kejang 4 bulan SMRS dengan gejala yang sama. Pasien mengaku saat itu sudah selama tiga hari minum obat hanya satu kali sehari karena pasien sudah merasa sehat. Saat itu pasien menyangkal sedang stress atau memikirkan sesuatu secara berlebihan. Pasien mengaku saat itu tidak sedang menstruasi dan hari terakhir menstruasi saat itu sekitar satu minggu sebelum kejang. Serangan kejang pertama kali dialami pasien saat usia 12 tahun, serangan dapat terjadi antara 1-2 kali dalam satu minggu hingga 2-3 kali dalam sebulan dengan gejala yang sama. Setelah itu pasien berobat, dan rutin kontrol ke dokter setiap bulan. Selama masa pengobatan, serangan masih tetap muncul sekitar 1-2 kali setiap tahunnya dengan gejala yang sama. Pasien mengaku kejang sering kambuh saat pasien hanya minum obat sekali sehari. BAK di luar serangan lancar, BAB lancar. Mual (-), muntah menyembur (-), demam (-), trauma kepala (-), penurunan berat badan (-), sakit kuning (-), sakit ginjal (-) Riwayat penyakit dahulu : Riwayat trauma kepala (-), Darah tinggi (-), sering lapar (-), sering BAK (-), sering haus (-), batuk- batuk lebih dari 2 bulan (-), alergi obat (-), riwayat penyakit keganasan (-), sakit kuning (-), sakit ginjal (-) Riwayat prenatal : ibu pasien rutin kontrol ke bidan selama kehamilan, riwayat sakit selama kehamilan (-), konsumsi obat (-). Riwayat natal : Pasien lahir secara normal ditolong oleh bidan di klinik bidan, lahir cukup bulan (39 minggu), berat badan lahir 2,9 kg, langsung menangis, kemerahan. Tinggi badan ibu 150 cm. Riwayat postnatal : Riwayat kejang demam (-), batuk-batuk > 2 minggu (-). Riwayat penyakit keluarga :

Pasien adalah anak pertama dari dua bersaudara. Adik pasien laki laki usia 15 tahun dan tidak pernah mengalami kejang seperti pasien. 2

Riwayat kejang (+) pada kakek pasien (Bapak dari ibu pasien). riwayat keganasan (-), anggota keluarga yang batuk batuk dan mengkonsumsi obat untuk 6 bulan (-), alergi (-)

III.Pemeriksanaan Fisik A. Keadaan Umum Kesadaran Kooperasi Tekanan darah Nadi Suhu Pernapasan BB TB BMI B. Status Generalis Kepala Wajah Mata: Sklera ikterik Konjunctiva anemis Exophthalmus Strabismus Nistagmus Refleks cahaya Cekung Telinga : Bentuk Nyeri tarik aurikula Liang telinga Serumen Cairan : normotia : -/: lapang : -/: -/Tuli Nyeri tekan tragus Membran timpani Refleks cahaya Darah : -/: -/:intak : +/+ : -/3 : -/: -/: -/: -/: -/: -/Lagofthalmus : -/Cekung Lensa jernih Pupil Ptosis : -/: +/+ : bulat, isokor : -/Kornea jernih : +/+ : : Tampak sakit ringan : Compos Mentis (GCS : E4, M6, V5 = 15) : Kooperatif : 110/80mmHg : 88x/menit, reguler, isi cukup, ekual kanan kiri 36,5C, di axilla (di ukur dengan termometer air raksa) : 20x/menit, tipe thorakoabdominal : 56 kg : 160cm :21,8 kg/m2 (normal) :

: normocephali, rambut hitam, distribusi merata, tidak mudah dicabut : simetris, tidak ada pembengkakan, luka, atau jaringan parut

: langsung +/+ , tidak langsung +/+

Hidung : Bentuk Sekret Mukosa hiperemis Mulut: oral hygiene baik Tenggorokan : hiperemis (-), uvula di tengah, arcus faring simetris, tonsil T1 T1 Leher : Bentuk tidak tampak kelainan, tidak tampak pembesaran tiroid maupun KGB, tidak tampak deviasi trakea Thoraks : Bentuk thoraks simetris saat statis dan dinamis, tidak ditemukan efloresensi pada kulit dinding dada, tidak terdapat nyeri tekan dan benjolan. Jantung Inspeksi: Ictus cordis terlihat pada ICS V linea midklavikularis sinistra, pulsasi abnormal (-) Palpasi: teraba ictus cordis pada ICS V linea midclavikularis sinistra, denyut kuat Perkusi: Batas jantung-hepar di ICS 5 midclavicularis dekstra Batas kanan jantung di ICS 3-5 sternalis dektra Batas jantung-lambung di ICS 7 linea axilaris anterior sinistra Batas kiri jantung ICS 5, I jari medial dari midclavicularis sinistra Batas atas jantung di ICS III parasternal kiri Auskultasi: Bunyi jantung I-II reguler, murmur (-), gallop (-) Inspeksi : Pergerakan dinding dada simetris, tidak ada pernapasan tertinggal, tipe pernapasan abdomino-thorakal, tidak ada retraksi sela iga Palpasi : Gerakan napas simetris kanan dan kiri, vokal fremitus sama kuat kanan dan kiri Perkusi : sonor pada kedua lapang paru Auskultasi : suara napas vesikuler, ronchi (-/-), wheezing (-/-) Paru : simetris : -/: -/Napas cuping hidung Deviasi septum : -/:-

Bibir : Simetris saat diam, mukosa berwarna merah muda, kering (-), sianosis (-)

Abdomen:

Inspeksi : perut rata, tidak dijumpai adanya efloresensi pada kulit perut maupun benjolan, roseola spot (-), kulit keriput (-), gerakan peristaltik (-) Palpasi : supel, hepar tidak teraba membesar, lien tidak teraba memebesar, nyeri tekan (+) di epigastrium, turgor kulit baik Perkusi : timpani pada seluruh lapang perut, nyeri ketok abdomen (-) Auskultasi : bising usus (+), frekuensi 4 x / menit Preaurikuler Postaurikuler Submandibula Supraclavicula Axilla Inguinal : tidak teraba membesar : tidak teraba membesar : tidak teraba membesar : tidak teraba membesar : tidak teraba membesar : tidak teraba membesar

Kelenjar Getah Bening :

Anggota Gerak : Akral hangat pada keempat ekstremitas, oedem -/-, CRT < 2 Tulang Belakang: bentuk normal, tidak terdapat deviasi, benjolan (-), ruam (-) Kulit: warna kulit sawo matang, trauma stigmata: -

IV. Pemeriksaan Neurologis A. GCS: E4M6V5 =15 B. Mata: Pupil bulat isokor, diameter pupil 3mm/3mm, RCL+/+, RCTL +/+ C. Tanda Rangsang Meningeal Kaku kuduk Laseque Kerniq Brudzinsky I Brudzinsky II E. Afasia Motorik: Afasia sensorik: : (-) : kanan > 70o : kanan > 135o : kanan(-) : kanan(-) kiri > 70o kiri > 135o kiri(-) kiri(-) : (-)

D. Peningkatan tekanan intrakranial

Disartria F. Saraf kranialis N.I

:-

Normosmia / Normosmia N.II Acies Visus : 3/60 / 3/60 (baik, terbatas ruangan)

Visus Campus: baik/baik Lihat warna Funduskopi : baik/baik : tidak dilakukan

N. III,IV dan VI Kedudukan bola mata : Ortoposisi/ortoposisi Pergerakan bola mata : bebas ke segala arah Nasal Temporal Nasal atas Temporal atas Nasal bawah Temporal bawah N.V Cabang motorik Cabang sensorik oftalmikus Cabang sensorik maksilaris Cabang sensorik mandibularis N.VII Motorik orbitofrontal : Baik/baik 6 : Baik/baik : Baik/baik : Baik/baik : Baik/baik Eksoftalmus Nistagmus Pupil Bentuk Refleks cahaya langsung Refleks cahaya konsensual Refleks akomodasi Refleks konvergensi : Bulat, isokor, diameter = 3mm/3mm : +/+ : +/+ : +/+ : +/+ : -/: -/: +/+ : +/+ : +/+ : +/+ : +/+ : +/+

Motorik orbikularis Pengecapan lidah N.VIII Vestibular - Vertigo Koklearis - Tuli konduktif : -/- Tuli perseptif : -/N.IX ; N.X N.XI Mengangkat bahu Menoleh :- Nistagmus : -

: Baik/baik : Baik

Motorik : Arcus faring simetris, uvula di tengah Sensorik : Baik

: Baik/baik : Baik/baik

N.XII Pergerakan lidah: Baik, tidak ada deviasi Atrofi Fasikulasi Tremor : (-) : (-) : (-)

G. Sistem motorik Ekstremitas atas proksimal distal Ekstremitas bawah proksimal distal : 5555/5555 : 5555/5555

H. Gerakan involunter Tremor Chorea Atetose : -/: -/: -/-

Miokloni : -/Tics : -/: Eutrofik : Normotonus

I. Trofik J. Tonus K. Sistem sensorik

Propioseptif : Baik Eksteroseptif : Baik

L. Fungsi serebelar Ataxia Tes Romberg ::-

Disdiadokokinesia: Jari-jari Jari-hidung Tumit-lutut : baik : baik : baik :-

Rebound phenomenon Hipotoni :-

M. Fungsi luhur Astereognosia Apraksia Afasia :::-

N. Fungsi otonom Miksi Defekasi Sekresi keringat : Baik : Baik : Baik

O. Refleks fisiologis Kornea Biseps Triseps Brachioradialis Dinding perut : +/+ : +2/+2 : +2/+2 : +2/+2 :+ 8

Patella Achilles

: +2/+2 : +2/+2

P. Refleks patologis Hoffman tromer : -/Babinsky Chaddok Gordon Schaefer Klonus lutut Klonus achilles : -/: -/: -/: -/: -/: -/-

Q. Keadaan Psikis Intelegensia Tanda regresi : Baik :-

V. Pemeriksaan penunjang LABORATORIUM (-) RADIOLOGI : CT-Scan Kepala (2012) Dalam batas normal EEG (2012) Dalam batas normal

VI. Resume OS, Nn. K, perempuan, 18 tahun datang ke poli saraf RSUP Fatmawati dihantar oleh ibunya karena ingin kontrol karena kejang. Kejang terakhir 10 hari SMRS. Kejang tonik klonik (+), generalisata (+),Kejang selama 5 menit. Aura (+) cahaya. Faktor presipitasi: minum obat tidak teratur. Riwayat kejang berulang (+), frekuensi 2 kali setahun. Onset pertama kali usia 12 tahun. Pemeriksaan Fisik: dalam batas normal. Pemeriksaan Penunjang: dalam batas normal

VII. DIAGNOSA KERJA Diagnosa Klinis Diagnosa etiologi Diagnosa topik VIII. TATA LAKSANA Non- Medikamentosa: Kontrol tepat waktu Minum obat 3 kali sehari, setiap 8 jam sekali : Epilepsi tipe generalisata tonik klonik : idiopatik : korteks/subkorteks

Medikamentosa: Asam Valproat 3x 500 mg IX. RENCANA PEMERIKSAAN Laboratorium: Pemeriksaan darah lengkap Pemeriksaan kadar obat epilepsi dalam darah EEG ulang

X.PROGNOSA Ad vitam Ad fungsionam Ad sanationam : bonam : bonam : dubia ad bonam

10

BAB II TINJAUAN PUSTAKA EPILEPSI Definisi Epilepsi adalah penyakit paroksismal yang disebabkan karena cetusan listrik neuronal abnormal (abnormal neuronal discharge) yang ditimbulkan oleh cetusan yg sinkron dari segolongan neuron (synchronous discharges of neuronal network) yang terutama terletak pada corteks serebri.. Dengan demikian epilepsi dapat disebabkan oleh letupan listrik karena gangguan membran dari neuron atau ketidakseimbangan antara pengaruh-pengaruh eksitatorik dan inhibitorik (Browne & Holmes 1997).. Sindroma epilepsi adalah penyakit epilepsi ditandai oleh sekumpulan gejala yang timbul bersamaan (termasuk tipe bangkitan, etiologi, anatomi, faktor presipitasi usia saat awitan, beratnya penyakit, siklus harian dan prognosa). Epidemiologi Hingga 1% dari populasi umum menderita epilepsi aktif, dengan 20-50 pasien baru yang terdiagnosis per 100.000 per tahunnya. Perkiraan angka kematian pertahun akibat epilepsi adalah 2 per 100.000. kematian dapat berhubungan lengsung dengan kejang, misalnya ketika terjadi serangan kejang tidak terkontrol, dan diantara serangan pasien tidak sadar atau jika terjadi cedera akibat kecelakaan atau trauma. Fenomena kematian mendadak yang terjadi pada penderita epilepsi (sudden unexplained death in epilepsi, SUDEP) diasumsikan berhubungan dengan aktifitas kejang dan kemungkinan besar karena disfungsi kardiorespirasi.

11

Etiologi Perlu diketahui bahwa epilepsi bukanlah suatu penyakit, tetapi suatu gejala yang dapat timbul karena penyakit. Secara umum dapat dikatakan bahwa serangan epilepsi dapat timbul jika terjadinya pelepasan aktivitas energi yang berlebihan dan mendadak dalam otak, sehingga menyebabkan terganggunya kerja otak. Ditinjau dari penyebab epilepsi, epilepsi dibagi atas : 1. Idiopatik : Penyebab tidak diketahui, umumnya mempunyai predisposisi genetic. 2. Kriptogenik : Dianggap simtomatik tetapi penyebabnya belum diketahui, termasuk disini adalah sindrom West, sindrom Lennox-Gastaut, dan epilepsi mioklonik. Gambara klinik sesuai dengan ensefalopati difus. 3. Simtomatik : Disebabkan oleh kelainan/lesi pada susunan saraf pusat, misalnya trauma kepala, infeksi SSP, kelainan congenital, lesi desak ruang, gangguan peredaran darah otak, toksik (alcohol, obat), metabolic, kelainan neurodegenerative Faktor Presipitasi Faktor yang mempermudah terjadinya serangan kejang, yaitu: Faktor sensoris: cahaya yang berkedip-kedip, bunyi-bunyi yang mengejutkan, air panas. Faktor sistemis: demam, penyakit infeksi, obat-obat tertentu misalnya golongan fenotiazin, klorpropamid, hipoglikemia, kelelahan fisik Faktor mental: stres dan gangguan emosi.

Patofisiologi Secara umum, epilepsi terjadi kerena menurunnya potensial membran sel saraf akibat proses patologik dalam otak, gaya mekanik, atau toksik, yang selanjutnya menyebabkan terlepasnya muatan listrik dari sel saraf tersebut. Beberapa penelitian menunjukkan peranan asetilkolin sebagai zat yang merendahkan potensial membran postsinaptik dalam hal telepasnya muatan listrik yang terjadi sewaktu-waktu saja sehingga manifestasi klinisnya pun muncul sewaktuwaktu. Bila asetilkolin sudah cukup tertimbun di permukaan otak, maka pelepasan muatan listrik sel-sel saraf kortikal dipermudah. Asetilkolin diproduksi oleh sel-sel saraf kolinergik dan merembes keluar dari permukaan otak daripada selama tidur.

12

Pada jejas otak lebih banyak asetilkolin daripada dalam otak sehat. Pada tumor serebri atau adanya sikatriks setempat pada permukaan otak sebagai gejala sisa dari meningitis, ensefalitis, kontusio serebri atau trauma lahir, dapat terjadi penimbunan setempat dari asetilkolin. Oleh karena itu, pada tempat itu akan terjadi lepas muatan listrik sel-sel saraf. Penimbunan asetilkolin setempat harus mencapai konsentrasi tertentu untuk dapat merendahkan potensial membran sehingga lepas muatan listrik dapat terjadi. Hal ini merupakan mekanisme epilepsi fokal yang biasanya simptomatik. Pada epilepsi idiopatik, tipe grand mal, secara primer muatan muatan listrik dilepaskan oleh nuklei intralaminares talami, yang dikenal sebagai inti centrecephalic. Inti merupakan terminal dari lintasan asendens aspesifik atau lintasan asendens ekstralemsnikal. Input dari korteks serebri melalui lintasan aferen aspesifik menentukan derajat kesadaran. Bilamana sama sekali tidak ada input maka timbullah koma. Pada grandmal, dimana etiologinya belum diketahui, terjadi lepas muatan listrik dari inti-inti intralaminar talamik secara berlebih. Perangsangan talamokortikal yang berlebihan ini menghasilkan kejang seluruh tubuh dan sekaligus menghalangi sel-sel saraf yang memelihara kesadaran menerima impuls aferen dari dunia luar sehingga kesadaran hilang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bagian dari substansia retikularis di bagian rostral dari mesensefalon yang dapat melakukan blokade sejenak terhadap inti-inti intralaminar talamik sehingga kesadaran hilang sejenak tanpa disertai kejang-kejang pada otot skeletal yang dikenal sebagai petit mal. Manifestasi Klinis Menurut berikut: I. Kejang Parsial (fokal, lokal) A. Kejang parsial sederhana; kejang parsial dengan kesadaran tetap normal. 1. Dengan gejala motorik Commision of Classification and Terminology of

International League Against Epilepsi (ILAE) tahun 1981, klasifikasi epilepsi sebagai

13

Fokal motorik tidak menjalar: kejang sebatas pada satu bagian tubuh saja. Fokal motorik menjalar: kejang dimulai dari satu bagian tubuh dan menjalar meluas ke daerah lain. Disebut juga epilepsi Jackson Versif: gejang disertai gerakan memutar kepala, mata, tubuh Postural: kejang disertai dengan lengan atau tungkai kaku dalam sikap tertentu Disertai gangguan fonasi: kejang disertai arus bicara yang terhenti atau pasien mengeluarkan bunyi-bunyi tertentu. 2. Dengan gejala somatosensoris atau sensoris spesial; kejang disertai halusinasi sederhana yang mengenai kelima pancaindera dan bangkitkan yang disertai vertigo. Somatosensoris: timbul rasa kesemutan atau seperti ditusuk-tusuk jarum Visual: terlihat cahaya Auditoris: terdengar sesuatu Gustatoris: terkecap sesuatu Disertai vertigo epigastrium, pucat, berkeringat, membera, piroleksi, dilatasi pupil) 4. Dengan gejala psikis (gangguan fungsi luhur) Disfasia: gangguan bicara misalnya mengulang suatu suku kata, kata atau bagian kalimat Dimensia: gangguan proses ingatan misalnya merasa seperti sudah mengalami, mendengar, melihat, atau sebaliknya tidak pernah mengalami, mendengar, melihat, mengetahui sesuatu. Mungkin mendadak mengingat suatu peristiwa di masa lalu, merasa melihatnya lagi Kognitif: gangguan orientasi waktu, merasa diri berubah Afektif: merasa sangat senang, susah, marah, takut

3. Dengan gejala atau tanda gangguan saraf otonom (sensasi

14

Ilusi: perubahan persepsi benda yang dilihat tampak lebih kecil atau lebih besar. Halusinasi kompleks (berstruktur): mendengar ada yang bicara musik, melihat statu fenomena tertentu dan lain-lain.

B. Kejang parsial kompleks; kejang ini disertai gangguan kesadaran. 1. Serangan parsial sederhana diikuti gangguan kesadaran: kesadaran mula-mula baik kemudian baru menurun. Dengan gejala parcial sederhana A1-A4; gejala-gejala seperti pada golongan A1-A4 diikuti menurunya kesadaran Timbul automatisme. Automatisme yaitu gerakan-gerakan, perilaku yang timbul dengan sendirinya, misalnya dengan gerakan mengunyah-nguyah, menelan-nelan, wajah muka berubah seringkali seperti ketakutan, menata-nata sesuatu, memegang-megang kancing baju, berjalan, mengembara tak menentu, berbicara, dll. 2. Serangan parsial sederhana dengan penurunan kesadaran sejak serangan; kesadaran menurun sejak permulaan serangan. Hanya dengan penurunan kesadaran Dengan automatisme.

C. Kejang parsial yang berkembang menjadi bangkitan umum (tonikklonik, tonik, klonik) 1. Kejang parsial sederhana yang berkembang menjadi kejang generalisata 2. Kejang parsial kompleks yang berkembang menjadi kejang generalisata 3. Kejang parsial sederhana yang menjadi kejang parsial kompleks lalu berkembang menjadi kejang generalisata. II. Kejang Generalisata (konvulsif atau nonkonvulsif) A. 1.. Kejang lena (Absence)

15

Pada kejang ini, kegiatan yang sedang dilakukan terhenti, muka tampak membengong, bola mata dapat memutar ke atas, tidak ada reaksi bila diajak bicara. Biasanya serangan ini berlangsung selama -1/2 menit dan biasanya dijumpai pada anak. Hanya penurunan kesadaran Dengan komponen klonik ringan. Gerakan klonis ringan biasanya dijumpai pada kelompok mata atas, sudut mulut, atau otot-otot lainnya bilateral. Dengan komponen atonik. Pada kejang ini, dijumpai otototot leher, lengan, tangan, tubuh mendadak melemas hingga tampak mengulai. Dengan komponen tonik. Pada kejang ini, dijumpai otototot ekstremitas, leher, atau punggung mendadak mengejang, kepala, badan, badan menjadi melengkung ke belakang, lengan dapat mengetul atau mengedang Dengan automatisme Dengan komponen autonom

Gejala-gejala diatas dapat berdiri sendiri atau kombinasi. 2. Kejang lena tidak khas Dapat disertai: Gangguan tonus yang lebih jelas Permulaan dan berakhirnya bangkitan tidak mendadak.

B. Kejang mioklonik Pada kejang mioklonik terjadi kontraksi mendadak, sebentar, dapat kuat atau lemas sebagian otot atau semua otot-otot, sesekali atau berulang-ulang. Kejang ini dapat terjadi pada semua umur. C. Kejang klonik

16

Pada kejang ini tidak ada komponen tonik, hanya terjadi kejang klojot. Dijumpai terutama pada anak. D. Kejang tonik Pada kejang ini tidak ada komponen klonik, otot-otot hanya menjadi kaku, juga terdapat pada anak. E. Kejang tonik-klonik Kejang ini sering dijumpai pada usia diatas balita yang terkenal dengan nama grand mal. Serangan dapat diawali dengan aura yaitu tanda-tanda yang mendahului suatu kejang. Pasien mendadak jatuh pingsan, otot-otot seluruh badan kaku. Kejang kaku berlangsung kira-kira -1/2 menit diikuti kejang klojot di seluruh badan. Serangan ini biasanya berhenti sendiri. Tarikan napas menjadi dalam beberapa saat lamanya. Bila pembentukan ludah ketika kejang meningkat, mulut menjadi berbusa kerena hembusan nafas. Mungkin pula pasien miksi ketika mendapat serangan. Setelah kejang berhenti pasien tertidur beberapa lamanya, dapat pula bangun dengan kesadaran yang masih rendah, atau menjadi sadar dengan keluhan badan pegal-pegal, lelah, nyeri kepala. F. Kejang atonik Pada keadaan ini otot-otot seluruh badan mendadak melemas sehingga pasien terjatuh. Kesadaran dapat tetap baik atau menurun sebentar. Kejang ini terutama tejadi pada anak-anak. III. Kejang tak tergolongkan

Termasuk golongan ini adalah serangan pada bayi berupa gerakan bola mata yang ritmik, mengunyah-ngunyah, gerakan seperti berenang, menggigil, atau pernapasan yang mendadak berhenti sementara. Pemeriksaan Penunjang dan Diagnosis Diagnosis epilepsi ditegakkan terutama secara klinis, yaitu berdasarkan deskripsi kejang, biasanya dari saksi karena pasien tidak sadar akan gejala-gejalanya. Pemeriksaan dengan curiga epilepsi bertujuan untuk : 17

Mengkomfrimasi atau mendukung diagnosis klinis Mengklarifikasi sindrom epilepsi Menetapkan penyebab.

Elektroensefalografi (EEG) merupakan pemeriksaan penunjang yang informatif yang dapat memastikan diagnosis epilepsi bila ditemukan pola EEG yang bersifat khas epileptik baik terekam saat serangan maupun di luar serangan berupa gelombang runcing, gelombang paku, runcing lambat, paku lambat. Pemeriksaan tambahan lain yang juga bermanfaat adalah pemeriksaan foto polos kepala, yang berguna untuk mendeteksi adanya fraktur tulang tengkorak; CT-Scan kepala. Yang berguna untuk mendeteksi adanya infark, hematoma, tumor, hidrosefalus, sedangkan pemeriksaan laboratorium dilakukan atas indikasi untuk memastika adanya kelainan sistemik seperti hipoglikemia, hiponatremia, uremia,dll. Penatalaksanaan Tujuan pengobatan adalah mencegah timbulnya serangan tanpa mengganggu kapasitas fisik dan intelek pasien. Pengobatan epilepsi meliputi pengobatan medikamentosa dan pengobatan psikososial. Medikamentosa Pada epilepsi yang simpomatis dimana kejang yang timbul adalah manifestasi penyebabnya seperti tumor otak, radang otak, gangguan metabolik, maka disamping pemberian obat anti epilepsi diperlukan juga terapi kausal. Beberapa prinsip dasar yang perlu dipertimbangkan: 1. pada kejang yang sangat jarang dan dapat dihilangkan factor pencetusnya, pemberian obat harus dipertimbangkan. 2. pengobatan diberikan setelah diagnosis ditegakkan; hal ini berarti pasien mengalami lebih dari dua kali kejang yang sama 3. obat yang diberikan sesuai dengan jenis kejang 4. sebaiknya menggunakan monoterapi kerena dengan cara ini toksisitas akan berkurang, mempermudah pemantauan, dan menghindari interaksi obat. 5. dosis obat disesuaikan secara individual 6. bila gagal dalam pengobatan, cari penyebabnya.

18

7. pengobatan dihilangkan setelah kejang hilang selama 2-3 tahun. Pengobatan dihentikan secara berangsur-angsur dengan menurunkan dosisnya. Obat pilihan berdasarkan jenis kejang Jenis kejang Jenis obat Fokal / parsial sederhana CBZ, PB, PHT Kompleks CBZ, PB, PHT, VAL Tonik-klonik umum CBZ, PB, PHT, VAL Tonik-klonik CBZ, PB, PHT, VAL Mioklonik CLON, VAL Absens/petit mal CLON, VAL CBZ: karbamazepin; PHT : fenitoin; CLON : klonazepam; PB : fenobarbital; VAL : asam valproat Dosis obat antiepilepsi dan konsentrasi dalam plasma Jenis obat Dosis (mg/kgBB/hari) Fenobarbital Fenitoin Karbamazepin Asam valproat Klonazepam Diazepam 1-5 4-20 4-20 10-60 0.05-0.2 0.005-0.015 0.4-0.6 1x/hari 1-2x/hari 3x/hari 3x/hari 3x/hari IV Per rektal Cara pemberian Konsentrasi dalam plasma (Ug/mm3) 20-40 10-20 4-10 50-100 10-80 0.3-0.7

Pengobatan psikososial Pasien diberikan penerangan bahwa dengan pengobatan yang optimal sebagian besar akan terbebas dari kejang. Pasien harus patuh dalam menjalani pengobatannya sehingga dapat bebas dari kejang dan dapat belajar, bekerja, dan bermasyarakat secara normal. Prognosis

19

Pasien epilepsi yang berobat teratur, 1/3 akan bebas serangan paling sedikit 2 tahun, dan bila lebih dari 5 tahun sesudah serangan terakhir obat dihentikan, pasien tidak mengalami kejang lagi, dikatakan telah mengalami remisi. Diperkirakan 30% paisen tidak mengalami remisi meskipun minum obat teratur. Sesudah remisi, kemungkinan munculnya serangan ulang paling sering didapat pada kejang tonikklonik dan kejang parsial kompleks. Demikian pula usia muda lebih mudah mengalami relaps sesudah remisi.

Daftar Pustaka 1. Mansjoer, arif, suprohaita, dkk. Kapita Selekta Kedokteran jilid 2. Ed III. Fakultas Kedokteran UI: Media Aesculapius.hal 17 2. Harsono. Perhimpunan Dokter spesialis saraf Indonesia. Buku Ajar Neurologi Klinis. 2005. Yogyakarta : Gajah mada University press. Hal 119-55 3. Mardjono, mahar dan Priguna sidharta. Neurologi Klinik Dasar. Jakarta: DIAN RAKYAT.2000.hal: 439-50
4. RSCM. PANDUAN PELAYANAN MEDIS DEPARTEMEN NEUROLOGI.2005

5.

Utama, Hendra. Antiepilepsi dan antikonvulsi dalam Farmakologi dan terapi. Edisi 5.2007. Jakarta :Gaya Baru. Hal179-96

20

You might also like