You are on page 1of 71

Ahmad Sarwat, Lc MA

Istr

i
(bukan)

Pembantu

Pengantar

Bismillahirrahmanirrahim Alhamdulillahi rabbil alamin, washshawalatu wassalamu 'ala nabiyyina Muhammad wa 'ala alihi wa shahbihi ajma'in, wa ba'du

Buku ini Penulis susun atas dasar banyaknya tuntutan kepada diri Penulis dari beberapa pihak, khususnya setelah di beberapa tempat Penulis menyampaikan ceramah dengan judul yang sama dengan judul buku ini : Istri Bukan Pembantu. Bulan Ramadhan tahun 2008, Penulis diundang berceramah di Doha Qatar oleh Permiqa/IMSQA. Di antara jadwal ceramah yang diagendakan selama 12 hari itu adalah berceramah di hadapan para ibu, istri dari para ekspatriat asal Indonesia yang bermukim disana. Saat itu Penulis banyak ditanya oleh jamaah 5

ibu-ibu tentang fenomena para wanita Arab yang sepertinya banyak sekali perbedaan dengan yang dilakukan terhadap wanita dari bangsa kita. Para wanita Arab itu sepertinya tidak dibebankan oleh suami mereka untuk mengerjakan pekerjaan rumah tangga sehari-hari. Mereka hidup lebih leluasa dan merdeka, jauh seperti yang selama ini kita bayangkan. Sementara jamaah yang kebanyakan ibu-ibu, tiap hari harus berjuang peras keringan banting tulang mengurus seluruh pekerjaan rumah, sementara para suami mereka sibuk bekerja di luar rumah. Maklum, mereka tinggal di luar negeri, tempat dimana tenaga pembantu tidak tersedia. Sehingga semua urusan rumah, mulai dari memasak, menyapu, mengepel, momong anak, antar jemput sekolah, sampai ke urusan cuci, jemur dan setrika, semua dikerjakan oleh para ibu. Pertanyaannya sederhana, bagaimana pandangan syariat Islam tentang tugas-tugas istri dalam urusan kerumah-tanggaan? Apakah memang tugas itu memang diperintahkan dan menjadi bagian dari agama, ataukah hal itu cuma kebiasaan, budaya atau adat istiadat bangsa kita saja? Kalau memang perintah agama, kenapa para istri di Qatar ini tidak dibebankan dengan tugastugas itu? Memang sangat kontras pemandangannya. Selama beberapa hari di Doha, Penulis memang sempat bertandang ke beberapa pusat perbelanjaan. Memang rata-rata yang belanja 6

kebutuhan sehari-hari kebanyakan bukan ibu-ibu macam di Indonesia. Justru yang belanja di mall untuk kebutuhan sehar-hari kebanyakan bapakbapak yang jenggotan dan brewokan. Penulis juga sempat heran dan bertanya dalam hati, ini emak-emak pada kemana ya? Pasar kok isinya lanang kabeh (baca : lelaki semua). Oleh karena itulah maka Penulis kemudian membuka beberapa literatur yang original dari beberapa kitab turats yang ditulis oleh para ulama, khusus pada masalah yang ditanyakan tersebut. Dan memang Penulis pun baru sadar, bahwa ternyata apa yang kita pikirkan selama ini tentang tugas para istri, lebih merupakan pemahaman lokal budaya bangsa kita saja. Sementara kalau kita merujuk ke aturan yang asli dan original dari syariat Islam, setidaknya lewat apa yang ditulis oleh para ulama salaf, tugas para istri tidak seberat para pembantu rumah tangga. Dalam format berpikir bangsa kita, posisi seorang istri memang lebih merupakan abdi atau pembantu buat suami. Secara tidak sadar, kita menganggap semua itu berasal dari ajaran agama Islam. Seolah-olah kita mengatakan bahwa Islam telah mewajibkan para istri untuk melakukan banyak pekerjaan rumah tangga, layaknya seorang pembantu. Istri harus menyapu, mengepel, mencuci, menyetrika, memasak, pokoknya semua pekerjaan rumah tangga lainnya. Waktunya akan tersita dengan pekerjaan sebanyak itu. Bahkan, 7

waktu suami pulang, istri sudah lelah dengan pekerjaan rumah tangga hariannya. Tak ada waktu untuk melayani suami dan anak-anaknya. Lalu, seperti apa sebenarnya peran seorang istri dalam rumah tangganya? Apakah seorang istri memiliki kewajiban untuk melakukan semua pekerjaan itu? Bagaimaan Al-Quran, Sunnah dan para ulama memandang masalah ini? Ataukah ini hanya merupakan kesalahan persepsi bangsa kita saja? Apa yang Penulis temukan di beberapa literatur itu kemudian Penulis sampaikan dalam beberapa kali pertemuan. Intinya, Islam tidak memposisikan para istri layaknya pembantu rumah tangga. Tugas-tugas rumah tangga, bukan merupakan beban yang dipikulkan di atas pundak para istri. Sebaliknya, justru tugas-tugas itu malah ada di atas pundak para suami. Dalam pandangan syariat Islam, aslinya bukan para istri yang wajib memasak, menyapu, mengepel, mencuci pakaian dan menyetrikanya. Tugas-tugas itu justru adalah kewajiban dan beban para suami. Para suami adalah orang yang pada dasarnya berkewajiban untuk mengurus urusan rumah tangga. Dan semua itu secara tegas disebutkan di dalam banyak ayat Al-Quran, salah satunya adalah ayat yang sudah sangat sering kita baca :


Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. (QS. An-Nisa' : 34)

Ayat ini menegaskan bahwa kewajiban suami adalah memberi nafkah kepada istri, bukan kewajiban istri untuk memberi nafkah kepada suaminya. Sedangkan yang dimaksud dengan nafkah termasuk makanan minuman, pakaian dan tempat tinggal. Memberi makan itu merupakan kewajiban suami kepada istri. Dan kalau disebut makanan, artinya bukan bahan mentah melainkan makanan yang siap disantap. Sehingga proses memasaknya bukan menjadi tugas dan tanggung-jawab istri. Memberi pakaian itu adalah kewajiban suami kepada istri, bukan kewajiban istri kepada suami. Dan kalau disebut pakaian, artinya adalah pakaian yang bersih, wangi, rapi siap dipakai. Maka kalau baju itu kotor dan bau karena bekas dipakai, mencuci, menjemur dan menyetrikanya tentu menjadi kewajiban suami. Memberikan tempat tinggal adalah kewajiban suami kepada istri, bukan kewajiban istri kepada suami. Dan kalau disebut tempat tinggal, artinya rumah dan segala isinya yang siap pakai dalam keadaan baik. Bila ada yang kotor dan berantakan, pada dasarnya membersihkan dan merapikan adalah tugas suami, bukan tugas istri.

Kita temukan contoh real dari kehidupan Nabi SAW dan juga para shahabat tentang kewajiban suami kepada istri. Ada pun kisah Fatimah puteri Rasulullah SAW yang bekerja tanpa pembantu, memang sering kali dijadikan hujjah kalangan yang mewajibkan wanita bekerja berkhidmat kepada suaminya. Namun ada banyak kajian menarik tentang kisah ini dan tidak semata-mata begitu saja bisa dijadikan dasar kewajiban wanita bekerja untuk suaminya. Padahal Asma' binti Abu Bakar justru diberi pembantu rumah tangga. Dalam hal ini, suami Asma' memang tidak mampu menyediakan pembantu, dan oleh kebaikan sang mertua, Abu Bakar, kewajiban suami itu ditangani oleh sang pembantu. Asma' memang wanita darah biru dari kalangan Bani Quraisy. Dan ada juga kisah lain, yaitu kisah Sa'id bin Amir radhiyallahu 'anhu, pria yang diangkat oleh Khalifah Umar menjadi gubernur di kota Himsh. Sang gubernur ketika dikomplain penduduk Himsh gara-gara sering telat ngantor. Siad bin Amir beralasan bahwa dirinya tidak punya pembantu. Tidak ada orang yang bisa disuruh untuk memasak buat istrinya, atau mencuci baju istrinya. Loh, kok kebalik? Kok bukan istrinya yang masak dan mencuci?. Nah itulah, ternyata yang berkewajiban memasak dan mencuci baju memang bukan istri, tapi suami. Karena semua itu bagian dari nafkah yang wajib diberikan suami kepada istri. Dan usai pengajian setelah Penulis di antar 10

pulang ke penginapan, rupanya timbul kehebohan di kalangan jamaah ibu-ibu. Apalagi kalau bukan mendiskusikan hasil materi pengajian, yang menurut mereka telah berhasil membongkar mitos-mitos yang selama ini dianggap sebagai doktrin agama. Ada pro dan kontra, sebagian ada yang mendukung apa yang Penulis sampaikan, namun tidak sedikit yang mempertanyakan dalil dan juga dasar hukum tentang materi itu. Oleh karena itu, panita meminta Penulis untuk menyediakan waktu khusus, di luar agenda, untuk sebuah diskusi interaktif, melibatkan kedua belah pihak, yaitu para suami dan para istri. Biasanya pengajian mereka dipisah, tetapi khusus kali ini disatukan. Maksudnya agar para suami dan masing-masing istri bisa langsung melakukan konfirmasi atas apa yang telah disampaikan. Ketika Penulis sudah tiba di tanah air, masih banyak permintaan dari saudara-saudara kita di Qatar itu agar Penulis segera membuat tulisan dengan tema di atas, dilengkapi dengan dalildalil serta rujukannya. Hal yang nyaris mirip sama terjadi ketika Penulis diundang berceramah ke Hongkong. Meski acara itu dihadiri oleh empat penceramah yang berbeda, namun di spanduk memang terpampang tema besar acara hari itu : Istri Bukan Pembantu. Maklumlah, acara yang Penulis hadiri di Hongkong ini diselenggarakan oleh para tenaga kerja wanita. Mereka terbang ke luar negeri untuk bekerja cari uang, guna membiayai 11

kehidupan keluarga tercinta di tanah air, yaitu suami dan anak-anak. Biasanya yang bekerja mencari nafkah para suami, tetapi yang terjadi para mereka adalah kebalikannya. Para istri itulah tulang punggung keluarga. Maka tema Istri Bukan Pembantu barangkali dianggap sangat cocok dengan realitas kehidupan mereka, oleh karena itulah Penulis dihadirkan untuk berceramah dengan tema tersebut di Hongkong. Dan sebagaimana yang terjadi di Qatar, sepulang ke tanah air dari Hongkong, masuk begitu banyak permintaan agar Penulis membuatkan teks atau buku tentang materi tersebut. Sebab mereka sangat membutuhkan kajian seperti itu, khususnya terkait dengan dalil dan rujukannya. Terakhir ketika Penulis menyampaikan kembali materi yang sama di Masjid Bintaro Jaya dalam kesempatan kuliah Dhuha. Jamaah dan pengurus sepakat meminta Penulis membuatkan hasil ceramah secara tertulis seusai yang telah disampaikan. Oleh karena desakan-desakan itulah akhirnya Penulis tergerak untuk memenuhinya, dan alhamdulillah akhirnya bisa terwujud dalam bentuk buku yang ada di tangan Anda saat ini. Memang menulis itu lebih sulit dari pada menyampaikan secara lisan. Sebab ketika menulis, ada beberapa kerja yang harus ditunaikan, seperti mencantumkan rujukan sesuai dengan sumbernya. Selain itu juga perlu dibuat pembagian berdasarkan bab dan pasal, agar lebih sistematis dan bukan sekedar asal 12

tulis. Sehingga biar bagaimana pun tentu membutuhkan waktu dan konsentrasi tersendiri, tidak seperti ketika berceramah yang bisa dengan mudah dilakukan secara spontanitas. Untuk masalah judul buku, Penulis merasa judul ceramah yang biasa dipakai cocok untuk dijadikan judul buku ini dan tidak perlu diganti atau disesuaikan. Penulis tentu berterima-kasih yang sebesarbesarnya kepada semua pihak yang telah ikut andil dalam tersusun dan terbitnya buku ini. Semoga semua dibalas oleh Allah SWT dengan balasan yang berlipat ganda, Amin. Semoga shalawat dan salah tercurah kepada bagian Nabi Muhammad SAW. Jakarta Ahmad Sarwat, Lc MA

13

Daftar Isi

Pengantar................................................5 Daftar Isi................................................15 Bab 1 : Pendapat 5 Mazhab Fiqih.............17 A. Jumhur Ulama ...............................................17 4. Pendapat Yang Berbeda................................20 Bab 2 : Perempuan Islam & Pembebasan..22 Bab 3 : Kewajiban Suami & Hak Istri........24 A. Memberi Mahar.............................................24 B. Memberi Nafkah............................................26 C. Menyetubuhi..................................................28 D. Bermalam Bersama Istri................................30 E. Memberikan Pelayanan.................................30 F. Membagi Harta Antar Istri..............................33 Bab 4 : Kewajiban Istri & Hak Suami .......34 A. Penyerahan Diri.............................................34

15

B. Istimta..........................................................35 C. Memberi Pelajaran Waktu Nusyudz...............35 D. Memberi Izin Bepergian................................35 E. Izin Orang Lain Masuk Rumah.......................35 F. Melayani Istri.................................................35 G. Bepergian Dengan Istri.................................35 Bab 5 : Mahar.........................................36 A. Pengertian.....................................................36 B. Peran Mahar..................................................38 C. Nilai Mahar....................................................40 D. Mahar Yang Tidak Memberatkan...................43 Bab 6 : Nafkah........................................44 A. Pengertian.....................................................44 B. Masyruiyah...................................................45 C. Sebab Wajib Nafkah Bagi Suami...................47 D. Syarat Menerima Nafkah Bagi Istri................47 E. Nilai Nafkah...................................................47 F. Jenis Nafkah...................................................47 G. Berbagai Keadaan Istri..................................51 Bab 7 : Jima...........................................52 A. Pengertian.....................................................52 B. Masyruiyah...................................................53 C. Sebab Kebolehan...........................................53 D. Pahala...........................................................53 E. Adab..............................................................53 F. Larangan Dalam Jima Yang Masyru.............61 F. Larangan Dalam Jima Yang Tidak Masyru....70 Penutup.................................................73

16

Bab 1 : Pendapat 5 Mazhab Fiqih

Dan kalau kita telusuri dalam kitab-kitab fiqih para ulama, terutama mazhab-mazhab yang besar dan muktamad, kita akan menemukan bahwa pendapat mereka umumnya cenderung mengatakan bahwa para wanita tidak wajib melakukan semua pekerjaan pembantu. Ternyata 4 mazhab besar plus satu mazhab lagi yaitu mazhab Dzahihiri semua sepakat mengatakan bahwa para istri pada hakikatnya tidak punya kewajiban untuk berkhidmat kepada suaminya. A. Jumhur Ulama Secara umum, jumhur ulama cenderung sepakat bahwa tugas seorang istri bukan mengerjakan urusan rumah tangga. Kalau pun hal itu ingin dikerjakan, tentu menjadi sebuah 17

ibadah sunnah yang akan menambah nilai pahala baginya. Namun secara asasi, tugas-tugas itu tidak dibebankan di atas pundak para istri, sebagaimana pendapat-pendapat yang bisa kita kumpulkan dari berbagai sumber fiqih Islam.
1. Mazhab Al-Hanafiyah

Al-Imam Al-Kasani dalam kitab Al-Badai' menyebutkan : Seandainya suami pulang bawa bahan pangan yang masih harus dimasak dan diolah, lalu istrinya enggan unutk memasak dan mengolahnya, maka istri itu tidak boleh dipaksa. Suaminya diperintahkan untuk pulang membaca makanan yang siap santap. Di dalam kitab Al-Fatawa Al-Hindiyah fi Fiqhil Hanafiyah disebutkan : Seandainya seorang istri berkata,"Saya tidak mau masak dan membuat roti", maka istri itu tidak boleh dipaksa untuk melakukannya. Dan suami harus memberinya makanan siap santap, atau menyediakan pembantu untuk memasak makanan.
2. Mazhab Al-Malikiyah

Di dalam kitab Asy-syarhul Kabir oleh AdDardir, ada disebutkan : wajib atas suami berkhidmat (melayani) istrinya. Meski suami memiliki keluasan rejeki sementara istrinya punya kemampuan untuk berkhidmat, namun tetap kewajiban istri bukan berkhidmat. Suami adalah pihak yang wajib berkhidmat. Maka wajib atas suami untuk

18

menyediakan pembantu buat istrinya.


3. Mazhab As-Syafi'iyah

Di dalam kitab Al-Majmu' Syarah AlMuhadzdzab, yang merupakan Syarah dari kitab Al-Muhadzdzab karya Abu Ishaq Asy-Syirazi rahimahullah, penulisnya Al-Imam An-Nawawi menyebutkan hal berikut : Tidak wajib atas istri berkhidmat untuk membuat roti, memasak, mencuci dan bentuk khidmat lainnya, karena yang ditetapkan (dalam pernikahan) adalah kewajiban untuk memberi pelayanan seksual (istimta'), sedangkan pelayanan lainnya tidak termasuk kewajiban.
4. Mazhab Al-Hanabilah

Seorang istri tidak diwajibkan untuk berkhidmat kepada suaminya, baik berupa mengadoni bahan makanan, membuat roti, memasak, dan yang sejenisnya, termasuk menyapu rumah, menimba air di sumur. Ini merupakan nash Imam Ahmad rahimahullah. Karena aqadnya hanya kewajiban pelayanan seksual. Maka pelayanan dalam bentuk lain tidak wajib dilakukan oleh istri, seperti memberi minum kuda atau memanen tanamannya.
5. Mazhab Az-Zhahiri

Dalam mazhab yang dipelopori oleh Daud Adz-Dzahiri ini, kita juga menemukan pendapat para ulamanya yang tegas menyatakan bahwa tidak ada kewajiban bagi istri untuk mengadoni, membuat roti, memasak dan khidmat lain yang sejenisnya, walau pun suaminya anak khalifah. Suaminya itu tetap wajib menyediakan orang

19

yang bisa menyiapkan bagi istrinya makanan dan minuman yang siap santap, baik untuk makan pagi maupun makan malam. Serta wajib menyediakan pelayan (pembantu) yang bekerja menyapu dan menyiapkan tempat tidur. 4. Pendapat Yang Berbeda Namun kalau kita baca kitab Fiqih Kontemporer Dr. Yusuf Al-Qaradawi, beliau agak kurang setuju dengan pendapat jumhur ulama ini. Beliau cenderung tetap mengatakan bahwa wanita wajib berkhidmat di luar urusan seks kepada suaminya. Dalam pandangan beliau, wanita wajib memasak, menyapu, mengepel dan membersihkan rumah. Karena semua itu adalah imbal balik dari nafkah yang diberikan suami kepada mereka. Kita bisa mafhum dengan pendapat Syeikh yang tinggal di Doha Qatar ini, namun satu hal yang juga jangan dilupakan, beliau tetap mewajibkan suami memberi nafkah kepada istrinya, di luar urusan kepentingan rumah tangga. Jadi para istri harus digaji dengan nilai yang pasti oleh suaminya. Karena Allah SWT berfirman bahwa suami itu memberi nafkah kepada istrinya. Dan memberi nafkah itu artinya bukan sekedar membiayai keperluan rumah tangga, tapi lebih dari itu, para suami harus 'menggaji' para istri. Dan uang gaji itu harus di luar semua biaya kebutuhan rumah tangga. Yang sering kali terjadi memang aneh, suami

20

menyerahkan gajinya kepada istri, lalu semua kewajiban suami harus dibayarkan istri dari gaji itu. Kalau masih ada sisanya, tetap saja itu bukan lantas jadi hak istri. Dan lebih celaka, kalau kurang, istri yang harus berpikir tujuh keliling untuk mengatasinya. Jadi pendapat Syeikh Al-Qaradawi itu bisa saja kita terima, asalkan istri juga harus dapat 'jatah gaji' yang pasti dari suami, di luar urusan kebutuhan rumah tangga.

21

Bab 2 : Perempuan Islam & Pembebasan

Kalau kita dalami kajian ini dengan benar, ternyata Islam sangat memberikan ruang kepada wanita untuk bisa menikmati hidupnya. Sehingga tidak ada alasan buat para wanita muslimah untuk latah ikut-ikutan dengan gerakan wanita di barat, yang masih primitif karena hak-hak wanita disana masih saja dikekang. Islam sudah sejak 14 abad yang lalu memposisikan istri sebagai makhuk yang harus dihargai, diberi, dimanjakan bahkan digaji. Seorang istri di rumah bukan pembantu yang bisa disuruh-suruh seenaknya. Mereka juga bukan jongos yang kerjanya apa saja mulai dari masak, bersih-bersih, mencuci, menyetrika, mengepel, mengantar anak ke sekolah, bekerja dari mata melek di pagi hari, terus tidak berhenti bekerja sampai larut malam, itu pun masih harus

22

melayani suami di ranjang, saat badannya sudah kelelahan. Kalau pun saat ini ibu-ibu melakukannya, niatkan ibadah dan jangan lupa, lakukan dengan ikhlas. Walau sebenarnya itu bukan kewajiban. Semoga Allah SWT memberikan pahala yang teramat besar buat para ibu sekalian. Dan semoga suami-suami ibu bisa lebih banyak lagi mengaji dan belajar agama Islam.

23

Bab 3 : Kewajiban Suami & Hak Istri

Kewajiban yang harus ditunaikan oleh seorang suami kepada istrinya di satu sisi, tentu akan menjadi menjadi hak yang diterima istri di sisi lain. Keduanya berjalan berdampingan. Di antaranya adalah kewajiban untuk membayar mahar (mas kawin), nafkah, menyetubuhi, bermalam bersama istri, memberikan pelayanan tertentu, serta membagi segala sesuatu dengan yang adil dengan istri-istri yang lain bila memang ada. A. Memberi Mahar Mahar adalah harta bernilai nominal tertentu yang menjadi kewajiban suami dan menjadi hak istri, yang ditetapkan ketika akad nikah

24

dilakukan. Dasar kewajiban untuk memberi mahar ini adalah firman Allah SWT :


Berikanlah mahar kepada wanita sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari mahar itu dengan senang hati, maka makanlah pemberian itu yang sedap lagi baik akibatnya.(QS. An-Nisa: 4)

Apabila mahar sudah ditetapkan dan disepakati, apalagi sudah diserahkan kepada istri, maka sepenuhnya mahar itu menjadi milik istri. Suami sudah tidak lagi menjadi pemilik, sehingga tidak boleh diminta kembali, sebagaimana firman Allah SWT :


Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul dengan yang lain sebagai suami-isteri. Dan mereka telah mengambil dari Maka janganlah kamu mengambil kembali dari padanya barang sedikitpun. Apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan dosa yang nyata ?. (QS. An-Nisa:20)

25

kamu perjanjian yang kuat.(QS An-Nisa: 21)

Pemberian mahar akan memberikan pengaruh besar pada tingkat keqowaman suami atas istri. Juga akan menguatkan hubungan pernikahan itu yang pada gilirannya akan melahirkan mawadah dan rohmah.


Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka atas sebahagian yang lain dan karena mereka telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. (QS An-Nisa : 34)

B. Memberi Nafkah Kewajiban suami yang kedua setelah memberi mahar kepada istrinya di awal pernikahan, adalah memberi nafkah secara rutin. Nafkah adalah harta pemberian suami kepada istri, yang seusai diberikan, maka harta itu berubah status kepemilikannya, menjadi milik istri. Dasar atas perintah kepada suami untuk memberi nafkah kepada istrinya adalah firman Allah SWT dan sabda Rasulullah SAW : Allah SWT berfirman :

26


Wajiblah suami yang mampu untuk memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. (QS. AthThalaq : 7)

Bukan hanya suami yang punya keluasan rizki saja yang Allah SWT perintahkan untuk memberi nafkah kepada istrinya, namun suami yang rizkinya tidak seberapa, juga tetap mendapat perintah untuk memberi nafkah.


Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang makruf. (QS. AlBaqarah : 233)


Tempatkanlah mereka (para istri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk

27

menyempitkan (hati) mereka. Dan jika mereka (istriistri yang sudah ditalak) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin. (QS. Ath-Thalaq : 6)

Rasulullah SAW bersabda :


Dan ada hak bagi mereka dan kewajiban bagi kalian untuk memberi rizki dan pakaian dengan makruf (HR. Muslim)

C. Menyetubuhi Menyetubuhi istri adalah kewajiban suami kepada istrinya, selain juga menjadi hak bagi suami mendapatkannya dari istrinya. Artinya, kedua belah pihak punya hak dan kewajiban yang sama, yaitu saling menunaikan tugas kewajiban dan juga saling berhak menerimanya. Namun tentang status hukum bagi suami untuk menyetubuhi istrinya, sedikit ada perbedaan pendapat di kalangan ulama. Jumhur ulama mengatakan hal itu menjadi kewajiban suatu, sedangkan mazhab Asy-Syafiiyah mengatakan bahwa hukumnya bukan wajib tetapi sunnah.
1. Wajib

Jumhur ulama di antaranya mazhab AlHanafiyah, Al-Malikiyah dan Al-Hanabilah sepakat menyebutkan bahwa menyetubuhi istri hukumnya wajib bagi suami. Sehingga bila suami

28

tidak menunaikan kewajibannya itu, maka dia berdosa. Dasarnya adalah hadits Rasulullah SAW ketika mendapati ada beberapa orang yang ingin puasa selamanya dan tidak mau menikah selamanya. Maka beliau bersabda :


Dan istrimu punya hak atas dirimu (HR. Bukhari) Rasulullah SAW memerintahkan kepada Abu AdDarda untuk melakukannya dengan istrinya :


Puasalah tapi juga berbukalah. Lakukan shalat malam tapi juga tidur. Dan datangilah istrimu. (HR. AdDaruquthuny)

Selain itu Rasulullah SAW juga melarang seorang suami melakukan azl ketika berhubungan, kecuali bila istrinya memberi izin atau meridhainya. Sebab azl yang dilakukan suami tentu berdampak negatif bagi istri.


Rasulullah SAW melarang melakukan azl atas istri yang merdeka, kecuali atas izinnya. (HR. Al-Baihaqi) 2. Sunnah

Sedangkan dalam pandangan Mazhab Asy-

29

Syafiiyah, hukum atas suami menyetubuhi istri bukan merupakan kewajiban, melainkan hukumnya sunnah. 1 Dalam hal ini Mazhab Asy-Syafiiyah memandang bahwa menyetubuhi istri bukan sebagai kewajiban suami, melainkan sebagai hak suami atas istrinya. Sehingga suami tidak bersalah bila meninggalkan istrinya tanpa disetubuhi. Namun dalam mazhab ini, menyetubuhi istri tetap dianggap perbuatan yang mulia dan disunnahkan. Hal itu menjadi sebuah kerahiman buat istri. D. Bermalam Bersama Istri

E. Memberikan Pelayanan Memberi pelayanan atau berkhidmat menurut Jumhur ulama dan mazhab Adz-Dzahiri adalah kewajiban para suami kepada para istri. Para istri sendiri pada hakikatnya tidak punya kewajiban untuk berkhidmat kepada suaminya. Memberi pelayanan yang paling utama adalah dalam masalah makan dan minum. Namun rincian bentuk khidmat suami kepada istri adalah sebagai berikut :
1. Mazhab al-Hanafi

Al-Imam Al-Kasani dalam kitab Al-Badai' menyebutkan : Seandainya suami pulang bawa bahan pangan yang masih harus dimasak dan diolah, lalu istrinya enggan unutk memasak dan
1

Mughni Al-Muhtaj, jilid 3 hal. 251

30

mengolahnya, maka istri itu tidak boleh dipaksa. Suaminya diperintahkan untuk pulang membaca makanan yang siap santap. Di dalam kitab Al-Fatawa Al-Hindiyah fi Fiqhil Hanafiyah disebutkan : Seandainya seorang istri berkata,"Saya tidak mau masak dan membuat roti", maka istri itu tidak boleh dipaksa untuk melakukannya. Dan suami harus memberinya makanan siap santan, atau menyediakan pembantu untuk memasak makanan.
2. Mazhab Maliki

Di dalam kitab Asy-syarhul Kabir oleh AdDardir, ada disebutkan : wajib atas suami berkhidmat (melayani) istrinya. Meski suami memiliki keluasan rejeki sementara istrinya punya kemampuan untuk berkhidmat, namun tetap kewajiban istri bukan berkhidmat. Suami adalah pihak yang wajib berkhidmat. Maka wajib atas suami untuk menyediakan pembantu buat istrinya.
3. Mazhab As-Syafi'i

Di dalam kitab Al-Majmu' Syarah AlMuhadzdzab karya Abu Ishaq Asy-Syirazi rahimahullah, ada disebutkan : Tidak wajib atas istri berkhidmat untuk membuat roti, memasak, mencuci dan bentuk khidmat lainnya, karena yang ditetapkan (dalam pernikahan) adalah kewajiban untuk memberi pelayanan seksual (istimta'), sedangkan pelayanan lainnya tidak termasuk kewajiban.
4. Mazhab Hanabilah

Seorang istri tidak diwajibkan untuk berkhidmat kepada suaminya, baik berupa

31

mengadoni bahan makanan, membuat roti, memasak, dan yang sejenisnya, termasuk menyapu rumah, menimba air di sumur. Ini merupakan nash Imam Ahmad rahimahullah. Karena aqadnya hanya kewajiban pelayanan seksual. Maka pelayanan dalam bentuk lain tidak wajib dilakukan oleh istri, seperti memberi minum kuda atau memanen tanamannya.
5. Mazhab Az-Zhahiri

Dalam mazhab yang dipelopori oleh Daud Adz-Dzahiri ini, kita juga menemukan pendapat para ulamanya yang tegas menyatakan bahwa tidak ada kewajiban bagi istri untuk mengadoni, membuat roti, memasak dan khidmat lain yang sejenisnya, walau pun suaminya anak khalifah. Suaminya itu tetap wajib menyediakan orang yang bisa menyiapkan bagi istrinya makanan dan minuman yang siap santap, baik untuk makan pagi maupun makan malam. Serta wajib menyediakan pelayan (pembantu) yang bekerja menyapu dan menyiapkan tempat tidur.
6. Al-Qaradawi

Namun kalau kita baca kitab Fiqih Kontemporer Dr. Yusuf Al-Qaradawi, beliau agak kurang setuju dengan pendapat jumhur ulama ini. Beliau cenderung tetap mengatakan bahwa wanita wajib berkihdmat di luar urusan seks kepada suaminya. Dalam pandangan beliau, wanita wajib memasak, menyapu, mengepel dan membersihkan rumah. Karena semua itu adalah imbal balik dari nafkah yang diberikan suami kepada mereka.

32

Kita bisa mafhum dengan pendapat Syeikh yang tinggal di Doha Qatar ini, namun satu hal yang juga jangan dilupakan, beliau tetap mewajibkan suami memberi nafkah kepada istrinya, di luar urusan kepentingan rumah tangga. Jadi para istri harus digaji dengan nilai yang pasti oleh suaminya. Karena Allah SWT berfirman bahwa suami itu memberi nafkah kepada istrinya. Dan memberi nafkah itu artinya bukan sekedar membiayai keperluan rumah tangga, tapi lebih dari itu, para suami harus 'menggaji' para istri. Dan uang gaji itu harus di luar semua biaya kebutuhan rumah tangga. Yang sering kali terjadi memang aneh, suami menyerahkan gajinya kepada istri, lalu semua kewajiban suami harus dibayarkan istri dari gaji itu. Kalau masih ada sisanya, tetap saja itu bukan lantas jadi hak istri. Dan lebih celaka, kalau kurang, istri yang harus berpikir tujuh keliling untuk mengatasinya. Jadi pendapat Syeikh Al-Qaradawi itu bisa saja kita terima, asalkan istri juga harus dapat 'jatah gaji' yang pasti dari suami, di luar urusan kebutuhan rumah tangga. F. Membagi Harta Antar Istri

33

Bab 4 : Kewajiban Istri & Hak Suami

Kalau pada bab sebelumnya kita bicara tentang kewajiban suami yang menjadi hak istri, maka dalam bab ini kita akan membahas lebih lanjut, yaitu tentang kewajiban yang harus ditunaikan oleh seorang istri di satu sisi yang tentunya menjadi hak yang diterima suami di sisi lain. Dan keduanya berjalan berdampingan, tidak bisa saling terpisah antara kewajiban istri dan hak suami. A. Penyerahan Diri Kewajiban yang harus ditunaikan oleh seorang istri dan menjadi hak suaminya adalah

34

B. Istimta

C. Memberi Pelajaran Waktu Nusyudz

D. Memberi Izin Bepergian

E. Izin Orang Lain Masuk Rumah

F. Melayani Istri

G. Bepergian Dengan Istri

35

Bab 5 : Mahar

A. Pengertian
1. Bahasa


Harta yang diberikan oleh suami kepada istri terkait dengan akad nikah. 2. Istilah

Secara bahasa, kata mahar ( ) bermakna :

Tiap-tiap ulama punya definisi tersendiri yang berbeda satu sama lain tentang defisni mahar. Mazhab Al-Hanafiyah mendefinisikan mahar sebagai :

36

Harta yang menjadi hak seorang wanita karena dinikahkan atau hubungan seksual.

Mazhab Al-Malikiyah mendefinisikan mahar sebagai :


Harta yang diserahkan kepada istri sebagai imbalan atas kehalalan menyetubuhinya.


Harta yang wajib diserahkan karena sebab nikah, hubungan seksual atau hilangnya keperawanan.

Mazhab Asy-Syafi'iyah mendefinisikan mahar sebagai :

Mazhab Al-Hanabilah mendefinisikan mahar sebagai :


Imbalan atas pernikahan

Maksudnya mahar adalah harta yang diberikan oleh suami kepada istri sebagai imbalan (pengganti) dari telah dinikahi. Baik mahar itu disebutkan dalam akad, ataupun diwajibkan setelahnya dengan keridhaan kedua belah pihak, atau lewat pemerintah (al-hakim).
3. Istilah Yang Sepadan

Selain digunakan istilah mahar, juga ada beberapa istilah lain yang maknanya sama, yaitu

37

: Shadaq ( ) Nihlah ( ) Ajr () Faridhah () Hiba ( ) Uqr ( ) Alaiq () Thaul ( ) Nikah ()

B. Peran Mahar Salah satu bentuk pemuliaan Islam kepada seorang wanita adalah pemberian mahar saat menikahinya. Mahar adalah harta yang diberikan pihak calon suami kepada calon istrinya untuk dimiliki sebagai penghalal hubungan mereka. Dahulu di zaman jahiliah wanita tidak memiliki hak untuk dimiliki sehingga urusan mahar sangat bergantung kepada walinya. Walinya itulah yang kemudian menentukan mahar, menerimanya dan juga membelanjakannya untuk dirinya sendiri. Sedangkan pengantin wanita tidak punya hak sedikitpun atas mahar itu dan tidak bisa membelanjakannya. Maka datanglah Islam menyelesaikan permasalahan ini dan melepaskan beban serta mewajibkan untuk memberikan mahar kepada wanita. Islam menjadikan mahar itu menjadi kewajiban kepada wanita dan bukan kepada

38

ayahnya.


Berikanlah maskawin kepada wanita sebagai pemberian dengan penuh kerelaan . Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah pemberian itu yang sedap lagi baik akibatnya.(QS. AnNisa: 4)


Dan jika kamu ingin mengganti isterimu dengan isteri yang lain , sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, maka janganlah kamu mengambil kembali dari padanya barang sedikitpun. Apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan dosa yang nyata ?. (QS. An-Nisa:20)


Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul dengan yang lain sebagai suami-isteri. Dan mereka telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat.(QS An-Nisa: 21)

Pemberian mahar akan memberikan pengaruh besar pada tingkat keqowaman suami

39

atas istri. Juga akan menguatkan hubungan pernikahan itu yang pada gilirannya akan melahirkan mawadah dan rohmah.


Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka atas sebahagian yang lain dan karena mereka telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. (QS An-Nisa : 34)

C. Nilai Mahar Secara fiqhiyah, kalangan Al- Hanafiyah berpendapat bahwa minimal mahar itu adalah 10 dirham. Sedangkan Al-Malikiyah mengatakan bahwa minimal mahar itu 3 dirham. Meskipun demikian sebagian ulama mengatakan tidak ada batas minimal dengan mahar. Dan bila dicermati secara umum, nash-nash hadits telah datang kepada kita dengan gambaran yang seolah tidak mempedulikan batas minimal mahar dan juga tidak batas maksimalnya. Barangkali karena kenyataannya bahwa manusia itu berbeda-beda tingkat ekonominya, sebagian dari mereka kaya dan sebagian besar miskin. Ada orang mempunyai harta melebihi kebutuhan hidupnya dan sebaliknya ada juga yang tidak mampu memenuhinya. Maka berapakah harga mahar yang harus dibayarkan seorang calon suami kepada calon 40

istrinya sangat ditentukan dari kemampuannya atau kondisi ekonominya. Banyak sekali nash syariah yang memberi isyarat tentang tidak ada batasnya minimal nilai mahar dalam bentuk nominal. Kecuali hanya menyebutkan bahwa mahar haruslah sesuatu yang punya nilai tanpa melihat besar dan kecilnya. Maka Islam membolehkan mahar dalam bentuk cincin dari besi, sebutir korma, jasa mengajarkan bacaan qur'an atau yang sejenisnya. Yang penting kedua belah pihak ridho dan rela atas mahar itu.
1. Sepasang Sendal

Dari Amir bin Robi'ah bahwa seorang wanita dari bani Fazarah menikah dengan mas kawin sepasang sendal. Lalu Rasulullah SAW bertanya, "Relakah kau dinikahi jiwa dan hartamu dengan sepasang sendal ini?". Dia menjawab," Rela". Maka Rasulullahpun membolehkannya (HR. Ahmad 3/445, Tirmidzi 113, Ibnu madjah 1888).
2. Hafalan Quran Dari Sahal bin Sa'ad bahwa nabi SAW didatangi seorang wanita yang berkata,"Ya Rasulullah kuserahkan diriku untukmu", Wanita itu berdiri lama lalu berdirilah seorang laki-laki yang berkata," Ya Rasulullah kawinkan dengan aku saja jika kamu tidak ingin menikahinya". Rasulullah berkata," Punyakah kamu sesuatu untuk dijadikan mahar? dia berkata, "Tidak kecuali hanya sarungku ini" Nabi menjawab,"bila kau berikan sarungmu itu maka kau tidak akan punya sarung lagi, carilah sesuatu". Dia berkata," aku tidak mendapatkan sesuatupun".

41

Rasulullah berkata, " Carilah walau cincin dari besi". Dia mencarinya lagi dan tidak juga mendapatkan apaapa. Lalu Nabi berkata lagi," Apakah kamu menghafal qur'an?". Dia menjawab,"Ya surat ini dan itu" sambil menyebutkan surat yang dihafalnya. Berkatalah Nabi,"Aku telah menikahkan kalian berdua dengan mahar hafalan qur'anmu" (HR Bukhori Muslim).

Dalam beberapa riwayat yang disebutkan bahwa beliau bersabda :


Ajarilah dia Al-Quran

shahih

Dalam riwayat Abu Hurairah disebutkan bahwa jumlah ayat yang diajarkannya itu adalah 20 ayat.
3. Tidak Dalam Bentuk Apa-apa

Bahkan diriwayatkan bahwa ada seorang wanita rela tidak mendapatkan mahar dalam bentuk benda atau jasa yang bisa dimiliki. Cukup baginya suaminya yang tadinya masih non muslim itu untuk masuk Islam, lalu waita itu rela dinikahi tanpa pemberian apa-apa. Atau dengan kata lain, keIslamanannya itu menjadi mahara untuknya.
Dari Anas bahwa Aba Tholhah meminang Ummu Sulaim lalu Ummu Sulaim berkata," Demi Allah, lelaki sepertimu tidak mungkin ditolak lamarannya, sayangnya kamu kafir sedangkan saya muslimah. Tidak halal bagiku untuk menikah denganmu. Tapi kalau kamu masuk Islam, keislamanmu bisa menjadi mahar untukku. Aku tidak akan menuntut lainnya". Maka jadilah keislaman Abu Tholhah sebagai mahar dalam pernikahannya itu. (HR Nasa'i 6/ 114).

Semua hadist tadi menunjukkan bahwa boleh hukumnya mahar itu sesuatu yang murah atau dalam bentuk jasa yang bermanfaat. 42

Demikian pula dalam batas maksimal tidak ada batasannya sehingga seorang wanita juga berhak untuk meminta mahar yang tinggi dan mahal jika memang itu kehendaknya. Tak seorangpun yang berhak menghalangi keinginan wanita itu bila dia menginginkan mahar yang mahal. Bahkan ketika Umar Bin Khattab Ra berinisiatif memberikan batas maksimal untuk masalah mahar saat beliau bicara diatas mimbar. Beliau menyebutkan maksimal mahar itu adalah 400 dirham. Namun segera saja dia menerima protes dari para wanita dan memperingatkannya dengan sebuah ayat qur'an. Sehingga Umar pun tersentak kaget dan berkata,"Allahumma afwan, ternyata orang -orang lebih faqih dari Umar". Kemudian Umar kembali naik mimbar,"Sebelumnya aku melarang kalian untuk menerima mahar lebih dari 400 dirham, sekarang silahkan lakukan sekehendak anda". D. Mahar Yang Tidak Memberatkan Meskipun demikian tentu saja tetap lebih baik tidak memaharkan harga mahar. Karena Rasulullah bersabda dalam sebuah hadist:
Dari Aisyah Ra bahwa Rasulullah SAW bersabda," Nikah yang paling besar barokahnya itu adalah yang murah maharnya" (HR Ahmad 6/145)

43

Bab 6 : Nafkah

A. Pengertian 1. Bahasa Secara etimologis, kata nafkah berasal dari unsur serapan dari bahasa Arab yaitu nafaq ( ), yang berarti kering. Dikatakan :

:
Dirham-dirham itu telah nafaq, artinya telah kering.

Kata nafaqah ( )dalam bentuk jamak menjadi nifaq (), sebagaimana kata raqabah ( )dalam bentuk jamak menjadi riqab (). Dan nafkah juga berarti musnah ( ). Dikatakan dalam ungkapan :


44

Sesuatu telah mengalami nafaqa, maksudnya telah musnah. 2. Istilah

Secara istilah, kata nafkah bermakna :


Sesuatu yang dengannya tegak keadaan manusia tanpa

B. Masyruiyah Seluruh ulama sepakat bahwa seorang suami diwajibkan untuk memberi nafkah kepada istrinya. Dan di sisi lain, seorang istri berhak untuk mendapatkan nafkah dari suaminya. Ada banyak dalil yang menjadi dasar masyruiyah atas kewajiban memberi nafkah yang dibebankan syariat pada pundak seorang suami, di antaranya :
1. Al-Quran

Allah SWT berfirman :


Wajiblah suami yang mampu untuk memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. (QS. AthThalaq : 7)

Bukan hanya suami yang punya keluasan 45

rizki saja yang Allah SWT perintahkan untuk memberi nafkah kepada istrinya, namun suami yang rizkinya tidak seberapa, juga tetap mendapat perintah untuk memberi nafkah.


Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang makruf. (QS. AlBaqarah : 233)


Tempatkanlah mereka (para istri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. Dan jika mereka (istriistri yang sudah ditalak) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin. (QS. Ath-Thalaq : 6) 2. As-Sunnah


46

Dan ada hak bagi mereka dan kewajiban bagi kalian untuk memberi rizki dan pakaian dengan makruf (HR. Muslim)

C. Sebab Wajib Nafkah Bagi Suami


1. Istihqaq Al-Habs 2. Tamkin 3. Akad dan Tamkin

D. Syarat Menerima Nafkah Bagi Istri E. Nilai Nafkah


1. Pendapat Pertama 2. Pendapat Kedua 3. Pendapat Ketiga 4. Pendapat Keempat

F. Jenis Nafkah Kalau dilihat dari bentuknya, yang namanya nafkah suami kepada istrinya tidak akan lepas dari segala apa yang bisa menopang hidup 47

seorang istri. Dan yang paling esensial tentu adalah makanan, pakaian dan tempat tinggal. Tanpa ketiganya, seseorang tidak bisa hidup normal.
1. Makanan 2. Pakaian

Bentuk nafkah yang kedua buat istri setelah urusan perut adalah kewajiban memberi pakaian. Suami diwajibkan memberi pakaian buat istrinya, yang cukup untuk menutup aurat, serta menahan dirinya dari cuaca, baik musim panas atau musim dingin. Secara eksplisit, Al-Quran Al-Karim menyebutkan kewajiban suami untuk memberi pakaian kepada istrinya.


Dan ada hak bagi mereka dan kewajiban bagi kalian untuk memberi rizki dan pakaian dengan makruf (HR. Muslim)

Hadits nabawi juga menyebut hal itu :


Dan hak istri yang merupakan kewajiban atas kalian adalah berbuat ihsan kepada mereka dalam hal

48

pakaian dan makanan mereka. (HR.Tirmizy)

:
Dan hak istri yang merupakan kewajiban atas kalian adalah memberi rizki dan makanan kepada mereka dengan makruf (HR.Muslim)

Mazhab Asy-Syafiiyah menyebutkan seorang suami diwajibkan memberi pakaian kepada istrinya minimal 6 bulan sekali. 2 Sedangkan mazhab Al-Hanabilah menyebutkan minimal suami memberi pakaian kepada istrinya setahun sekali, karena hal itu merupakan adat atau kebiasaan yang berlaku umum dimana-mana. 3 Bentuk teknis dari memberi pakaian itu bisa bermacam-macam, bisa dengan dengan cara suami membuat sendiri dengan menjahit pakaian untuk istrinya, atau pun di masa indstri sekarang ini, pakaian bisa dengan mudah dibeli yang sudah jadi. Termasuk ke dalam kewajiban memberi nafkah pakaian adalah merawat pakaian tersebut apabila telah robek atau usang dengan tambalan atau pun menggantinya dengan pakaian yang baru. Yang juga termasuk ke dalam katergori memberi pakaian buat istri adalah
2 3

Raudhatut-Thalibin, jilid 9 hal. 47 Al-Mughni, jilid 7 hal. 568

49

membersihkan dan mencucinya. Sehingga pada dasarnya mencuci pakaian istri adalah kewajiban suami, manakala istrinya bukan termasuk orang yang bisa mencuci bajunya sendiri. Dan kalau suaminya tidak sempat mencucikan baju untuk istrinya, maka suaminya berkewajiban untuk membayar orang lain untuk mencucikan baju untuk istrinya.
3. Tempat Tinggal

Bentuk kewajiban memberi nafkah yang ketiga buat istri adalah memberi tempat tinggal. Kewajiban ini didasarkan pada firman Allah SWT :


Tempatkanlah mereka (para istri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu. (QS. AthThalaq : 6)

Sebenarnya ayat ini diperuntukkan buat istri yang ditalak tetapi masih dalam masa iddah. Namun kenapa dalil ini yang digunakan, logikanya adalah kalau istri yang sudah ditalak saja masih wajib bagi suami untuk menempatkan istrinya di dalam rumahnya, maka apalagi buat istri yang tidak ditalak, tentu kewajibannya jauh lebih utama. Sedangkan dalil yang sifatnya umum dalam memberikan tempat tinggal buat istri adalah ayat berikut :

50


Dan pergaulilah mereka dengan cara yang makruf. (QS. Ath-Thalaq : 6)

Pengertian dari istilah pergauli dengan cara yang makruf adalah memberi fasilitas tempat tinggal yang layak untuk istri.
4. Parfum dan Alat Kecantikan 5. Pengobatan 6. Menyediakan Pembantu dan Upahnya a. Syarat Pembantu

G. Berbagai Keadaan Istri


1. Di Bawah Umur 2. Sakit 3. Terpenjara 4. Ghaib 5. Mafqud 6. Nusyudz 7. Dalam Masa Iddah

51

Bab 7 : Jima

Salah satu dari tujuan pernikahan yang menjadi judul besar buku ini adalah dihalalkannya jima' antara suami dan istri. Pada kenyataannya, dalam ilmu fiqih, jima' bukan hanya sekedar menjadi kebolehan, bahkan juga menjadi sesuatu yang dijadikan bagian dari ibadah kepada Allah SWT, baik dengan hukum sunnah atau pun dengan hukum wajib. Oleh karena tidak lengkap rasanya kalau buku ini tidak mengangkat topik khusus tenang jima' dalam satu bab tersendiri, agar kita dapat mengupas semua detail hukum syariah yang terkait dengan jima'. A. Pengertian Secara bahasa, kata jima' punya bentuk dasar dari kata jaama'a (), yang tiga huruf dasarnya adalah jim mim 'ain.

52

Sedangkan secara istilah dalam ilmu fiqih, jima' adalah melakukan hubungan kelamin, dimana kemaluan suami masuk ke dalam kemaluan istri, baik seluruhnya atau sebagiannya, baik sampai keluar mani atau tidak. Para ulama yang membuat definisi jima, sebagaimana mereka mendefinisikan zina yang wajib dikenakan hukum hudud adalah :


Masuknya kemaluan laki-laki ke dalam kemaluan perempuan.4

Dalam prakteknya, ada beberapa istilah yang maknanya adalah jima', seperti al-wath'u, almubasyarah, B. Masyruiyah

C. Sebab Kebolehan

D. Pahala

E. Adab Syariat Islam memberikan beberapa adab yang menjadikan jima' itu bukan sekedar kesenangan, tetapi juga menjadi ibadah tersendiri, apabila dilakukan sesuai dengan adabadabnya.
4

An-Nihayah, Ibnul Atsir, jilid 5 hal. 200

53

Di antara adab-adab disunnahkan antara lain :


1. Basmalah

berjima'

yang

Membaca basmalah atau sering juga diistilahkan dengan tasmiyah disunnahkan untuk dibaca sebelum jima' dimulai. Hal ini menunjukkan bahwa jima' bagian dari ibadah kepada Allah SWT. Dalil yang menjadi dasar disunnahkannya membaca basmalah sebelum jima' adalah firman Allah SWT :


Isteri-isterimu adalah tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat bercocoktanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki. Dan kerjakanlah untuk dirimu, dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa kamu kelak akan menemui-Nya. Dan berilah kabar gembira orangorang yang beriman. (QS. Al-Baqarah : 223)

Bagian yang menjadi dalil dari ayat ini adalah lafadz wa qaddimu lianfusikum. Diterjemahkan menjadi "Dan kerjakanlah untuk dirimu". Tetapi maksudnya adalah ucapkanlah tasmiyah sebelum memulai jima' dengan istri. Penafsiran ini dikemukakan oleh shahabat Nabi yaitu Ibnu Abbas radhiyallahuahu, sebagaimana bisa kita baca dalam Tafsir Al-Jami' li Ahkamil Quran.5
5

Al-Imam Al-Qurthubi, Tasfir Al-Jami' li Ahkam Al-Quran, jilid 4 hal. 12

54

Bahwa lafadz waqaddimu lianfusikum maksudnya adalah tasmiyah atau membaca basmalah sebelum jima' juga dikemukakan oleh Atha'.6 Selain membaca basmalah, juga ada doa yang layak untuk dibaca berdasarkan sabda Rasulullah SAW, yaitu :

:
Seandainya salah seorang kalian ketika akan mendatangi istrinya (berjima') mengucapkan : Dengan nama Allah, Ya Allah, jauhkanlah kami dari setan dan jauhkan setan dari apa yang Engkau berikan kami dari rizqi, seandainya ditaqdirkan dari jima' itu seorang anak, maka setan tidak bisa membahayakan anak itu selamanya. (HR. Bukhari Muslim) 2. Tidak Menghadap Kiblat

Para ulama menyarankan sebagai bentuk pemuliaan kepada Ka'bah, maka sebaiknya kita tidak melakukan jima' sebaiknya dengan menghadap kiblat. Hal itu tertuang dalam beberapa kitab para ulama di masa lalu, semisal kitab Al-Majmu' Syarah Al-Muhadzdzab, Jawahirul Iklil, Al-Mughni, Kasysyaf Al-Qina', Ihya' Ulumuddin, dan lainnya.7 Barangkali dalilnya adalah qiyas antara jima'
6

Al-Mughni, jilid 10 hal. 231

55

dengan buang air, yang dianjurkan untuk tidak menghadap atau membelakangi kiblat.

s :
Dari Abu Hurairah ra bahwa Rasulullah SAW bersabda"Bila kamu mendatangi tempat buang air janganlah menghadap kiblat atau membelakanginya. "(HR. Bukhari dan Muslim)


Dari Abu Ayyub radhiyallahuanhu"Janganlah menghadap kiblat saat kencing atau buang hajat tetapi menghadaplah ke Timur atau ke Barat" (HR. Sabah) 3. Diawali Dengan Percumbuan

Syariat Islam menganjurkan agar dalam melakukan jima' tidak langsung kepada hubungan badan, melainkan diawali terlebih dahulu dengan percumbuan (mula'abah), mencium (taqbil), dan sentuhan-sentuhan. Tidak ada dasarnya hadits yang kuat dan bisa dijadikan sandaran, kecuali sepenggal hadits dhaif berikut ini :
7

Al-Majmu', jilid 2 hal. 80; Jawahirul Iklil, jilid 1 hal. 18; Al-Mughni, jilid 10 hal. 232; Kasysyaf Al-Qina' jilid 5 hal. 216, Ihya' Ulumuddin, jilid 2 hal. 46

56


Rasulullah SAW melarang melakukan jima' sebelum mula'abah.8

Mula'abah secara bahasa berarti bermainmain, dari kata la'iba - yal'abu ( ) , tapi maksudnya adalah permainan yang menjadi pembuka atau pemanasan dari hubungan suami istri. Sering juga disebut dengan istilah foreplay.
4. Tidak Selesai Sendirian


Bila salah seorang dari kalian melakukan jima' dengan istrinya, maka lakukan dengan sungguh-sungguh. Bila sudah terpuaskan hajatnya namun istrinya belum mendapatkannya, maka jangan tergesa-gesa (untuk mengakhirinya) kecuali setelah istrinya mendapatkannya juga. (HR. Ahmad)
8

Sangat dianjurkan bagi pasangan suami istri yang melakukan jima' untuk mencapai orgasme bersama, atau setidaknya tidak meninggalkan pasangannya kecuali setelah sama-sama mendapatkan puncak kenikmatannya. Dan hal itu merupakan anjuran yang dijelaskan di dalam salah satu hadits nabi :

Hadits ini ditulis oleh Al-Khatib di dalam Kitab Al-Baghdadi, jilid 13 hal. 221. Adz-Dzahabi dalam Kitab Mizanul I'tidal (jilid 1 hal. 662) menyebutkan bahwa dalam daftar perawinya adalah orang yang bernama Al-Khalili yang statusnya lemah sekali.

57

5. Memakai Penutup

Sebagian ulama menganjurkan agar ketika suami istri sedang melakukan jima' untuk menggunakan penutup, dan tidak telanjang bulat alias bugil. Namun tidak semua ulama sepakat akan larangan itu, lantaran dasar anjuran ini hanya didasari oleh hadits yang kurang kuat alias hadits dhaif, yaitu :


Bila salah seorang dari kalian mendatangi istrinya (melakukan jima') maka gunakan penutup dan janganlah kedua bertelanjang bulat. (HR. Ibnu Majah)9

Oleh karena itu kita menemukan juga pendapat yang berbeda dari para ulama tentang tidak adanya keharusan penggunakan penutup pada saat berjima'. Salah satu yang membolehkan adalah Ibnu Al-Qasim dalam Kitab Adz-Dzakhirah.10
6. Tidak Banyak Bicara dan Tidak Berisik

Dianjurkan buat suami istri ketika melakukan jima' untuk tidak banyak bicara dan tidak melakukannya dengan berisik. Dimakruhkan apabila sampai suara mereka terdengar orang lain, kecuali bayi yang masih kecil dan belum mengerti apa-apa. Meski pun keduanya tidak merasa risih, namun hal seperti
9

Al-Bushiri dalam Kitab Mishbahuz-Zujajah (jilid 1 hal. 337) menegaskan bahwa sanad hadits ini lemah. 10 Adz-Dzakhirah jilid 4 hal 418

58

itu tetap harus dihindari. Hal itu sebagaimana disebutkan oleh AsySyafi'i dan Al-Hanabilah.11
7. Mencuci Mengulangi Kemaluan dan Berwudhu Bila

Dianjurkan apabila suami istri setelah melakukan jima' akan mengulanginya lagi, untuk mencuci atau membersihkan kemaluannya, lalu berwudhu kembali.


Bila salah seorang dari kalian mendatangi istrinya (melakukan jima') dan ingin mengulanginya lagi, maka hendaklah dia berwudhu' .(HR. Muslim)

Bahkan kalau mau lebih afdhal, dianjurkan untuk mandi janabah terlebih dahulu, meski pun tentunya bukan merupakan kewajiban atau syarat. Sebab Rasulullah SAW pernah menggilir para istrinya dengan satu kali mandi janabah.


Dari Anas radhiyallahuanhu bahwa Nabi SAW pernah menggilir para istrinya dengan sekali mandi janabah. (HR. Muslim)

Namun bila tidak keberatan dan mau dapat yang lebih afdhal, tidak mengapa bila setiap kali
11

Al-Mawardi, Al-Hawi , jilid 11 hal. 431

59

: . ! : :
Rasulullah SAW pernah menggilir para istri beliau para suatu hari, tiap selesai dengan yang satu beliau mandi. Aku bertanya,"Ya Rasulullah SAW, tidak cukupkah mandi sekali saja?". Beliau SAW menjawab,"Ini lebih bersih dan lebih suci". (HR. Abu Daud) 8. Dilalukan di Malam Jumat

melakukan jima' dengan salah seorang istri, diakhiri dengan mandi janabah. Sebab yang seperti itu pun juga pernah dilakukan oleh Rasulullah SAW.

Keutamaan melakukan jima' pada malam Jumat didasarkan pada pengertian dari hadits tentang fadhilah atau keutamaan mandi janabah di pagi hari Jumat, yaitu untuk melakukan shalat Jumat.


Siapa yang mandi pada hari Jumat sebagaimana mandi janabah, lalu berangkat menuju masjid, maka dia seolah berkurban dengan seekor unta. (HR. Al-

60

Bukhari Muslim)

Dari dalil itu kemudian sebagian ulama mengembangkan kesimpulan bahwa ada isyarat untuk melakkan jima' pada malam harinya. Karena disunnahkan mandi janabah di pagi harinya. Namun sebagian ulama lainnya tidak menyimpulkan seperti itu. Dalam pandangan mereka, mandi yang disunnahkan itu bukan mandi janabah, melainkan mandi yang khusus disyariatkan di hari Jumat terkait dengan akan dilakukannya shalat Jumat. Dan dalil yang menyebutkan bahwa siapa yang melakukan jima' di malam Jumat sama dengan membunuh orang yahudi, ternyata tidak ditemukan haditsnya yang shahih serta bersambung sanadnya sampai kepada Rasulullah SAW. F. Larangan Dalam Jima Yang Masyru Jima' yang masyru' adalah jima' yang dilakukan oleh seorang suami kepada istrinya. Sedangkan jima' yang tidak masyru' adalah jima' yang dilakukan seseorang bukan dengan pasangan sahnya. Namun meski pun dilakukan dengan pasangan yang sah, yaitu istrinya, tetap ada beberapa laranngan yang harus dihindari dan hukumnya diharamkan. Antara lain :
1. Haidh

Apabila istri sedang dalam keadaan haidh, maka hukumnya terlarang untuk disetubuhi. Dasarnya adalah firman Allah SWT : 61


Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: Haidh itu adalah suatu kotoran. Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka sebelum mereka suci . Apabila mereka telah suci maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.(QS. Al-Baqarah : 222) Yang dimaksud dengan menjauhi mereka adalah tidak menyetubuhinya. Sedangkan Mazhab Al-Hanabilah membolehkan mencumbu wanita yang sedang haid pada bagian tubuh selain antara pusar dan lutut atau selama tidak terjadi persetubuhan. Hal itu didasari oleh sabda Rasulullah SAW ketika beliau ditanya tentang hukum mencumbui wanita yang sedang haid maka beliau menjawab:

62

s
Dari Anas ra bahwa Orang yahudi bisa para wanita mereka mendapat haidh tidak memberikan makanan. Rasulullah SAW bersabda"Lakukan segala yang kau mau kecuali hubungan badan". (HR. Muslim).

: s
Dari Aisyah ra berkata"Rasulullah SAW memerintahkan aku untuk memakain sarung beliau mencumbuku sedangkan aku dalam keadaan datang haidh". (HR. Muslim).

Keharaman menyetubuhi wanita yang sedang haid ini tetap belangsung sampai wanita tersebut selesai dari haid dan selesai mandinya. Tidak cukup hanya selesai haid saja tetapi juga mandinya. Sebab didalam ayat di atas itu Allah menyebutkan bahwa wanita haid itu haram disetubuhi sampai mereka menjadi suci dan menjadi suci itu bukan sekedar berhentinya darah namun harus dengan mandi janabah itu adalah pendapat al Malikiyah dan as Syafiiyah serta al Hanafiyah.

63

Bila seorang wanita sedang haid disetubuhi oleh suaminya maka ada hukuman baginya menurut Al-Hanabilah. Besarnya adalah satu dinar atau setengah dinar dan terserah memilih yang mana. Ini sesuai dengan hadis Rasulullah SAW berikut :

s :
Dari Ibn Abbas dari Rasulullah SAW bersabda tentang orang yang menyetubuhi istrinya dalam keadaan haidh : Orang yang menyetubuhi isterinya diwaktu haid haruslah bersedekah satu dinar atau setengah dinar (HR. Khamsah) As-Syafiiyah memandang bahwa bila terjadi kasus seperti itu tidaklah didenda dengan kafarat melainkan hanya disunnahkan saja untuk bersedekah. Satu dinar bila melakukannya diawal haid dan setengah dinar bila diakhir haid. Namun umumnya para ulama seperti alMalikiyah Asy- Syafiiyah dalam pendapatnya yang terbaru tidak mewajibkan denda kafarat bagi pelakunya cukup baginya untuk beristigfar dan bertaubat. Sebab hadis yang menyebutkan kafarat itu hadis yang mudhtharib sebagaimana

64

yang disebutkan oleh al Hafidz Ibn Hajar.


2. Nifas

Sebenarnya tidak ada ayat atau hadits yang secara langsung mengharamkan wanita yang sedang nifas untuk disetubuhi, yang ada hanyalah ayat dan hadits terkait dengan wanita yang mengalami haidh saja. Namun para ulama umumnya memandang bahwa hukum-hukum yang terkait dengan wanita yang sedang mengalami nifas itu tidak ada bedanya dengan wanita yang sedang mendapat darah haidh. Oleh karena itu wanita yang sedang mendapat darah nifas juga diharamkan untuk disetubuhi.
3. Itikaf

Jima' juga terlarang bila dilakukan di dalam masjid. Dan hal itu termasuk juga masuk ke dalam masjid termasuk larangan yang tidak boleh membolehkan orang yang sehabis melakukan jima' untuk masuk ke dalam masjid, kecuali setelah mandi janabah dan bersuci.


janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri`tikaf dalam mesjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa. (QS. Al-Baqarah : 187)

4. Puasa

Ketika sedang berada di siang hari bulan Ramadhan, maka jima' hukumnya terlarang,

65

yaitu bagi mereka yang wajib mengerjakan puasa tanpa udzur yang syar'i. Dasarnya adalah firman Allah SWT :


Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu. Mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka. (QS. Al-Baqarah : 187)

Wajhu ad-dilalah dari ayat ini adalah Allah SWT menghalalkan bagi kita untuk melakukan hubungan suami istri pada malam puasa. Pengertian terbaliknya adalah bahwa pada siang hari bulan puasa, hukumnya diharamkan, alias jima itu membatalkan puasa. Selain itu juga ada dalil dari hadits yang mengharamkannya, yaitu :

: . : : . : : . : : . : . :
66

. : . : . :
Dari Abi Hurairah ra, bahwa seseorang mendatangi Rasulullah SAW dan berkata,Celaka aku ya Rasulullah. Apa yang membuatmu celaka ? . Aku berhubungan seksual dengan istriku di bulan Ramadhan. Nabi bertanya,Apakah kamu punya uang untuk membebaskan budak ? . Aku tidak punya. Apakah kamu sanggup puasa 2 bulan berturutturut ?.Tidak. Apakah kamu bisa memberi makan 60 orang fakir miskin ? .Tidak. Kemudian duduk. Lalu dibawakan kepada Nabi sekeranjang kurma maka Nabi berkata,Ambilah kurma ini untuk kamu sedekahkan. Orang itu menjawab lagi,Adakah orang yang lebih miskin dariku ? Tidak lagi orang yang lebih membutuhkan di barat atau timur kecuali aku. Maka Nabi SAW tertawa hingga terlihat giginya lalu bersabda,Bawalah kurma ini dan beri makan keluargamu.(HR. Bukhari dan Muslim)

Hadits ini menjelaskan kepada kita bahwa melakukan jima' bukan hanya membatalkan puasa, namun juga pelakunya berdosa dan diwajibkan untuk membayar kaffarah.
5. Ihram

Jima' juga haram dilakukan pada saat seseorang sedang mengerjakan ibadah ihram, baik untuk haji atau pun umrah. Dasarnya adalah firman Allah SWT :

67


Musim haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi. Barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh berkata rafats (jorok), berbuat fasik dan berbantah-bantahan(al-Baqarah: 197) Ayat ini memang tidak secara langsung mengharamkan jima' bagi yang sedang berihram. Ayat ini hanya melarang orang melakukan rafats. Sebagian mufassir ada yang mengatakan bahw melakukan rafats itu berkata-kata yang jorok. Wajhud-dilalah dari ayat ini adalah kalau sekedar bicara jorok saja sudah dilarang, apalagi mengerjakan jima' itu sendiri. Namun sebagian mufassir yang lain justru mengatakan bahwa yang dimaksud dengan rafats tidak lain adalah melakukan jima' itu sendiri, sebagaimana bisa kita baca dalam Tafsir Al-Baghawi.12
6. Zhihar

Zhihar adalah suatu ungkapan suami yang menyatakan kepada isterinya Bagiku kamu seperti punggung ibuku, ketika ia hendak mengharamkan isterinya itu bagi dirinya. Talak seperti ini telah berlaku di kalangan
12

Tafsir Al-Baghawi, jilid 1 hal. 226

68

orang-orang jahiliyah terdahulu. Lalu Allah SWT memerintahkan kepada suami yang menzhihar isterinya untuk membayar kafarat (denda) sehingga zhiharnya tersebut tidak sampai menjadi talak. Orang yang sempat menzihar istrinya, maka dia diharamkan untuk melakukan jima' dengan istrinya itu, kecuali setelah dia membayar denda atau kaffarah, yaitu memerdekakan budak. Dalil yang melandasi hal itu adalah firman Alah SWT:


Orang-orang yang menzhihar isteri-isteri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, maka (wajib baginya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami isteri tersebut bercampur. Demikianlah yang diajarkan kepada kalian dan Allah Maha Mengetahui apa yang Kalian kerjakan. (QS. Al-Mujadilah: 2)

Namun tidak semua orang mampu membebaskan budak, mengingat budak itu cukup mahal harganya. Sekedar perbandingan saja, Ketika Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiyallahuanhu membebaskan Bilal bin Rabah dari tangan Umayyah bin Khalaf, harga 100 dinar yang kemudian dinaikkan menjadi 200 dinar. Padahal satu dinar emas di masa itu setara dengan harta seekor kambing, karena ada

69

riwayat yang menyebutkan bahwa Rasulullah SAW pernah meminta salah seorang shahabat untuk membelikan baginya seekor kambing dengan harga satu dinar. Maka kalau harga kambing di masa sekarang kisarannya satu juta rupiah, berarti untuk 100 dinar harga budak, paling tidak seharga 100 juta hingga 200 juta rupiah. Harga seperti ini tidak semua orang mampu membayarnya. Oleh karena itu kemudian Allah SWT memberikan keringanan buat mereka yang tidak mampu membebaskan budak, untuk berpuasa selama dua bulan berturut-turut, atau memberi makan enampuluh fakir miskin, sebagaimana bisa kita baca dalam lanjutan ayat di atas.


Barangsiapa yang tidak mendapatkan (budak, maka wajib baginya) berpuasa dua bulan berturut-turut sebelum keduanya bercampur. Dan barangsiapa yang tidak kuasa(wajib baginya) memberi makan enampuluh orang miskin. Demikianlah supaya kalian beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan itulah hukum-hukum Allah, dan bagi orang-orang kafir ada siksaan yang sangat pedih.(QS. Al-Mujadilah: 3)

F. Larangan Dalam Jima Yang Tidak Masyru

70

1. Zina 2. Liwath 3. Dubur 4. Mayat 5. Hewan G. Pengaruh Jima Pada Hukum

71

Penutup

73

You might also like