You are on page 1of 19

NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK [ 1 / 4 Tulisan ]

Diposkan oleh Ibn Asnawi @ 16:29 21 Okt 2011 Label: akhlak, artikel, download,pendidikan-akhlak (Bagian 1 dari 4 tulisan)

Pendidikan Islam sangat memperhatikan penataan diri pribadi (self contruction) dan penataan sosial (social contruction), sehingga diharapkan pada akhirnya umat Islam dapat dan mampu mengaplikasikan ajaran-ajaran dan nilai-nilai Islam secara komprehensif dalam kehidupan sehari-hari. Dan sehingga pula umat Islam dapat dan mampu memikul amanat yang telah diberikan kepadanya sesuai dengan kehendak Allah SWT sebagai pemberi amanat.

Pendidikan Islam bertujuan untuk mencetak kader-kader Khalifatullah fi alArdhi yang memiliki beragam kompetensi yang akan didayagunakan dalam upaya memakmurkan dan melestarikan bumi sebagai wujud syukur kepada Sang Maha Pencipta. Oleh karena itu pendidikan semacam ini memerlukan sebuah referensi yang multikompleks, yang kandungan isinya mencakup berbagai aspek hidup dan kehidupan, baik hidup dan kehidupan di dunia maupun di khirat. Referensi yang dimaksudkan adalah al-Qur'an al-Karim, yang merupakan rujukan yang utama dan yang pertama dalam pendidikan Islam. Dalam surat al-Hujuraat ayat 11-13 terkandung makna yang luas dan mendalam, kandungan isinya berisi pembahasan mengenai akhlak terhadap sesama kaum muslim. Ayat ini dapat dijadikan pedoman dalam upaya mewujudkan sebuah kehidupan yang harmonis, tentram dan damai. Sebagai makhluk sosial, setiap manusia tentu tidak ingin haknya tergganggu. Oleh karenanya sangat penting bagi setiap muslim untuk memahami kandungan isi surat al-Hujuraat ayat 11-13 ini, sehingga ia bias menghindarkan dirinya dari sikap dan perbuatan yang akan mengganggu hak dan kehormatan saudaranya, dan dengan demikian akan tercipta kehidupan masyarakat muslim harmonis, tenteram, dan damai. Karena setiap individu masyarakatnya senantiasa menjaga kehormatan saudaranya serta memenuhi hak-haknya terhadap saudaranya itu. Berikut adalah beberapa permasalahan pendidikan akhlak yang terkandung dalam surat al-Hujuraat ayat 11-13: 1. Menjunjung tinggi kehormatan kaum muslimin Pendidikan akhlak tentang menjujung tinggi kehormatan kaum musliminterdapat dalam surat al-Hujuraat ayat 11-12:

Artinya: 11. Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki

merendahkan kumpulan yang lain, boleh Jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh Jadi yang direndahkan itu lebih baik. dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. seburukburuk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan Barangsiapa yang tidak bertobat, Maka mereka Itulah orang-orang yang zalim. 12. Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang. Secara tersurat dalam kedua ayat tersebut di atas terdapat berbagai sikap dan perbuatan yang harus dihindari oleh setiap muslim, kesemuanya itu harus senantiasa

diupayakan dalam rangka mengormati dan menghargai serta menjunjung tinggi kehormatan kaum muslimin. Seorang muslim mempunyai hak atas saudaranya sesama muslim, bahkan dia mempunyai hak yang bermacam-macam, hal ini telah banyak dijelaskan oleh Nabi Muhammad Saw dalam banyak tempat. "Mengingat bahwa orang muslim terhadap muslim lainnya adalah bersaudara, bagaikan satu tubuh yang bila salah satu anggotanya mengaduh sakit maka sekujur tubuhnya akan merasakan demam dan tidak bisa tidur" (Muhammad Nasib Rifa'i, 2000: 429). Oleh karena itu, sangatlah rasional apabila setiap muslim harus senantiasa menjaga kehormatan sesamanya, memberikan pertolongan (dalam hal kebaikan) apabila ada saudaranya yang membutuhkan bantuan, dan menghindarkan diri dari sikap dan perbuatan yang akan menyakiti pendengaran dan perasaannya. Sehubungan dengan sikap dan perbuatan menjunjung tinggi kehormatan kaum muslimin ini, Rasulullah Saw bersabda:

: , , : ,
Artinya: Dari Abdullah bin Umar bin Khaththab r.a., ia berkata: "Saya melihat Nabi Saw sedang berthawaf (mengelilingi Ka'bah), kemudian beliau Saw bersabda: "Alangkah wangi dan harumnya kalian dan sungguh kalian sangat wangi dan harum, alangkah agungnya engkau dan sungguh sangat agung kehormatan kalian, dan demi jiwa Muhammad yang ada di tangan -Nya (Allah SWT), Sungguh kehormatan seorang mukmin lebih agung di sisi Allah SWT dari kehormatan diri kalian, (oleh karenanya) jangan ganggu hartanya, jangan tumpahkan darahnya (dengan membunuhnya), dan janganlah kalian berprasangka kepadanya kecuali dengan prasangka yang baik". (HR. Ibnu Majah) Adapun tuntunan dan cara menjaga serta menjunjung tinggi kehormatan kaum muslimin yang terkandung dalam surat al-Hujuraat ayat 11-12 adalah sebagai berikut: : yaitu menjauhkan diri dari sikap dan perbuatan untuk Pertama, mengejeknya atau pun mehinanya, merupakan wujud dari sikap merendahkan martabat dan derajat orang lain dan sekaligus menunjukkan bahwa sikap tersebut tidak menjunjung kehormatan kaum muslimin. Padahal sikap menjunjung kehormatan

mengolok-olok sesama. Sikap atau perbuatan mengolok-olok sesama dengan

kaum muslimin merupakan kewajiban bagi setiap umat. Hal ini sebagaimana yang dijelaskan dalam salah satu sabda Nabi Muhammad Saw berikut ini:

: : , , ( ) :

Artinya: Dari Abu Hurairah ra., ia berkata: Rasulallah Saw bersabda: "Sesama Muslim adalah bersaudara, sesama Muslim tidak boleh menghianati, mendustai, dan menghinakannya, sesama Muslim haram mengganggu kehormatan, harta, dan darahnya, takwa itu ada di sini (sambil menunjuk dadanya), seseorang cukup dianggap jahat apabila ia menghina saudaranya yang Muslim". (HR. Tirmidzi dan ia berkata: "Hadis ini Hasan") (Sholih bin Abdul Aziz, 1999: 449) Dari hadist tersebut di atas dapat dipahami bahwa mengolok-olok orang lain adalah haram hukumnya, siapa saja yang melakukannya maka ia akan mendapat dosa yang setimpal atas kesalahannya tersebut. Sikap mengolok-olok timbul karena adanya anggapan bahwa dirinya merasa lebih baik dari pada orang lain, dan menilai seseorang hanya berdasarkan apa yang nampak dari lahirnya saja. Padahal ada kemungkinan seseorang yang tampak mengerjakan amal kebaikan, dalam hatinya terkandung niatniat yang tercela, sebaliknya ada kemungkinan pula seseorang yang kelihatan melakukan yang perbuatan yang buruk, padahal Allah SWT melihat dalam hatinya ada penyesalan yang besar serta mendorong dirinya untuk segera bertaubat atas dosa yang pernah dilakukannya. Maka dari itu, amal yang nampak dari luar hanyalah merupakan tanda-tanda saja yang menimbulkan sangkaan yang kuat, tetapi belum sampai kepada tingkat meyakinkan. Menurut Ibnu Katsir, perbuatan mengolok-olok orang lain dengan merendahkan martabatnya/derajatnya dan mengejeknya dihukumi sebagai perbuatan yang diharamkan dalam Islam, hal tersebut dikarenakan bisa jadi orang yang direndahkan martabatnya itu lebih baik/tinggi derajat dan martabatnya, dan mungkin pula lebih dicintai di sisi Allah SWT dari pada orang yang merendahkannya itu. (Isma'il bin Katsir alQurasyiyyi ad-Dimisqiy, 1994: 270)

Sikap atau perbuatan tersebut di atas juga merupakan sebuah menifestasi aksi kesombongan, sebagaimana dijelaskan dalam sebuah hadits berikut ini :

- -

Artinya: "Kesombongan adalah menolak kebenaran (al-Haqq) dan merendahkan derajat manusia. (Isma'il bin Katsir al-Qurasyiyyi ad-Dimisqiy, 1994: 270) Kedua, : menjauhkan diri dari sikap dan perbuatan untuk mencela

sesama. Ibnu Tafsir (Isma'il bin Katsir al-Qurasyiyyi ad-Dimisqiy, 1994: 271)menjelaskan bahwa maksud dari kalimat tersebut di atas adalah maksudnya adalah " jangan mencela manusia. Beliau juga menerangkan bahwa sikap atau perbuatan mengumpat dan mencela sesama adalah sikap atau perbuatan yang dibenci dan dikecam dalam Islam, sebagaimana firman Allah SWT:

Artinya: "Kecelakaanlah bagi Setiap pengumpat lagi pencela" (QS. Al-Humazah, 104 : 1) Ketiga, : Menjauhkan diri dari sikap dan perbuatan untuk memanggil sesama dengan panggilan-panggilan yang buruk. Memanggil orang lain dengan panggilan-panggilan yang buruk atau jelek adalah sikap dan perbuatan yang tercela yang akan menyakiti perasaan dan merendahkan derajat serta martabat orang yang dipanggil tersebut. Imam Ahmad r.a. menjelaskan bahwa ayat ini turun terkait dengan kebiasaan bani Salamah, yang senantiasa memanggil sesamanya dengan panggilan-panggilan yang buruk. Berikut adalah peristiwa yang melatarbelakangi turunnya (Asbaab anNuzuul) ayat ini :

, , : , , .) ( )(

Artinya: "Ketika Rasulullah Saw tiba di Madinah (pada peristiwa Hijrah), setiap orang laki-laki di antara kami memiliki dua atau tiga nama. Dan ketika salah seorang di antara kami memanggil dengan salah satu nama-nama tersebut (panggilan/nama yang jelek), mereka bertanya kepada Rasulullas Saw: Wahai Rasulullah Saw! Sesungguhnya ia akan marah karena panggilan tersebut, kemudian turunlah ayat ini ( ). (HR. Abu

Daud dari Musa dari bin Ismail dari Wuhaib dari Daud) (Isma'il bin Katsir al-Qurasyiyyi adDimisqiy, 1994: 271)

: menjauhkan diri dari sikap dan perbuatan berprasangka Keempat, buruk terhadap sesama. Berprasangka buruk (negatif thinking)merupakan sifat atau sikap yang sangat dilarang dalam ajaran Islam. Ia merupakan akhlak tercela yang pelakunya akan mendapat dosa, oleh karenanya harus ditinggalkan. Islam mengajarkan kepada umatnya untuk berfikir positif "berprasangka baik" (positif thinking), khususnya kepada orang-orang yang berkepribadian mulia (sholeh). Oleh karenanya, sifat atau sikap husnudhdhan (positif thinking)haruslah dibiasakan agar menjadi pribadi yang unggul lagi mulia. Rasulallah Saw dalam sebuah sabdanya menegaskan bahwa umat muslim harus menjauhi sifat dan sikap berprasangka buruk yang tidak memiliki dasar yang bisa dipertanggungjawabkan.

: : ,

)(

Artinya: Dari Abu Hurairah ra., ia berkata, Rasulullah Saw bersabda: "Jauhilah oleh kalian sifat buruk sangka, karena sifat buruk sangka itu merupakan perkataan yang paling bohong, janganlah kalian saling mencari-cari aib, janganlah kaliam saling mematamatai, janganlah kalian saling bersaing, janganlah kalian benci-membenci, janganlah kalian bertengkar, janganlah kaliam bermusuhan, dan jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara". (HR. Bukhori) (Isma'il bin Katsir al-Qurasyiyyi ad-Dimisqiy, 1994: 271) Berprasangka buruk adalah menyangka seseorang berbuat kejelekan atau menganggap jelek orang lain tanpa adanya sebab-sebab yang jelas yang memperkuat dugaan dan sakwa-sangka tersebut . Berburuk sangka seperti dinyatakan dalam hadits tersebut di atas sebagai sedusta-dustanya perkataan. Orang yang telah berburuk sangka terhadap orang lain berarti telah menganggap jelek kepadanya padahal ia tidak memiliki dasar sama sekali. Sikap berburuk sangka akan mengganggu hubungannya dengan orang yang dituduh jelek, padahal orang tersebut belum tentu sejelek persangkaannya. Prasangka buruk itu ada tiga macam, yaitu:

Prasangka buruk yang dilarang dan diharamkan, seperti berprasangka buruk kepada Allah SWT dan kepada hamba-hamba -Nya yang shalih. Prasangka buruk yang disunnahkan, seperti berprasangka buruk terhadap orangorang yang memperlihatkan kefasikan, sebagaimana sabda Nabi Saw: Artinya:

"Termasuk kebijaksaan adalah berburuk sangka (kepada orang fasiq) Prasangka buruk yang dimubahkan, seperti berprasangka buruk dalam hal-hal yang berkenaan dengan masalah-masalah fiqih dalam rangka berijtihad (K.H.Q.
Shaleh, 1976: 269-270).

Adapun prasangka buruk yang dimaksud dalam surat al-Hujuraat ayat 12 ini adalah prasangka buruk yang diharamkan, yakni berprasangka buruk terhadap orangorang yang berkepribadian mulia (sholeh). Hal ini sebagaimana yang dijelaskan oleh pada ayat ke -12 Imam Asy-Syaukani bahwa yang dimaksud dengan lafadz surat al-Hujurat adalah , yakni berprasangka buruk kepada orang-orang yang berkepribadian baik (sholeh).(Muhammad Sulaiman Abdullah al-Asyqar, 1998: 686) Kelima, : menjauhkan diri dari sikap dan perbuatan mencari-cari dan menyebarluaskan kejelekan (aib/cacat) sesama. Lafadz maksudnya adalah , yakni jangan mencari-cari aurat/aib (kejelekan) orang-orang islam. Dalam hal ini Rasulullah Saw bersabda:

.
Artinya: "Wahai orang-orang yang beriman dengan lidahnya dan belum meresap iman ke dalam hatinya, janganlah kalian mencari-cari cacat/cela kaum muslimin. Barang siapa yang mencari-cari cacat/cela kaum muslimin, Allah akan mencari cacat/celanya, sehingga ia mereasa malu sekalipun berada di dalam rumahnya".(HR. Abu Daud) (Kholid
Abdurrahman al-'Akk, 1994: 517)

Menurut Ibnu Katsir lafadz adalah antonim dari , dimana lafadz biasa digunakan untuk hal-hal yang jelek (mencari-cari aib/cacat) sementara lafadz biasanya digunakan untuk hal-hal yang baik (mencari-cari kebaikan orang

lain). Dan terkadang kedua lafadz tersebut digunakan secara bersamaan untuk hal-hal yang jelek, sebagaimana pendapat al-Auza'i, bahwa lafatdz maksudnya

adalah ( al-Bahtsu an asy-Syai'), yaitu mencari-cari sesuatu (kejelakan orang lain), sedangkan lafadz maksudnya adalah ( al Istima' ila hadits al-Qaum wahum lahu kaarihuun), yakni mendengarkan pembicaraan suatu kaum yang tengah memperbincangkan orang yang dibenci kaum tersebut. (Isma'il
bin Katsir al-Qurasyiyyi ad-Dimisqiy, 1994: 272)

Keenam, : menjauhkan diri dari sikap dan perbuatanGhibah. Ghibah adalah menyebut-nyebut sesuatu yang melekat pada diri orang lain yang apabila orang lain itu mendengarnya ia tidak menyukainya. Dalam sebuah hadits yang bersumber dari Abu hurairah dijelaskan bahwa suatu ketika Rasulullah Saw ditanya tentang ghibah dan Rasulullah Saw menjawab bahwa ghibah itu adalah: "engkau menyebut-nyebut tentang saudaramu yang tidak disukainya", kemudian Rasulullah Saw ditanya lagi tentang bagaimana jika yang disebut-sebutkan itu suatu kebenaran, dan beliau Saw menjawab: "jika benar apa yang engkau sebut-sebutkan itu, maka engkau telah mmempergunjingkannya (ghibah), dan jika tidak benar, maka engkau telah merendahkan derajatnya". (Isma'il bin Katsir al-Qurasyiyyi ad-Dimisqiy, 1994: 272) Ghibah adalah perbuatan yang sangat diharamkan dalam Islam. Sehingga dalam surat al-Hujuraat ayat 12 ini Allah membuat perumpamaan tentang orang yang mempergunjingkan saudaranya sebagai orang yang mau memakan daging bangkai saudaranya sendiri. Tentu saja hal ini tidak akan disukainya, karena ia akan merasa jijik. Oleh karena itu pula setiap muslim tidak akan menyukai perbuatan mempergunjingkan sesamanya, karena dosanya lebih besar dari sekedar memakan daging bangkai sesama muslim. Keenam sikap dan perbuatan tersebut di atas, yakni mengolok-olok, mencela, memanggil dengan panggilan-panggilan yang buruk, berprasangka buruk, mencari-cari cela/aib, dan mempergunjingkan sesama adalah sikap dan perbuatan yang tentunya akan menyakiti pendengaran dan perasaan orang lain, yang berarti wujud dari sikap dan perbuatan yang tidak menghargai kehormatan sesama muslim. Oleh karenanya dalam upaya menjunjung tinggi kehormatan kaum muslimin, kita harus benar-benar menjauhi keeenam sikap dan perbuatan tercela tersebut di atas.##

NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK [ 2 / 4 Tulisan ]


Diposkan oleh Ibn Asnawi @ 11:01 2 Jul 2011 Label: akhlak, artikel, download,pendidikan-akhlak

(Bagian 2 dari 4 Tulisan)

2. Taubat Pendidikan akhlak tentang taubat ini terdapat dalam surat al-Hujuraat ayat 12, yaitu sebagai berikut: ".dan barang siapa yang tidak bertaubat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim". (QS. Al-Hujuraat, 49: 11) Taubat berarti penyesalan atau menyesal karena telah melakukan suatu kesalahan dengan jalan berjanji sepenuh hati tidak akan lagi melakukan dosa atau kesalahan yang sama dan kembali kepada Allah Azza wa Jalla. Taubat adalah awal atau permulaan di dalam hidup seseorang yang telah memantapkan diri untuk berjalan di jalan Allah (suluk). Taubat merupakan akar, modal, atau pokok pangkal bagi orang-orang yang berhasil meraih kemenangan (kesuksesan). (Imam Ghazali, 2006: 9) Seseorang yang telah berbuat dosa atau kesalahan, maka sudah menjadi kewajiban baginya agar segera kembali (taubat) kepada Allah SWT, sehingga ia tidak bergelimang secara terus menerus dalam jurang kemaksiatan, yang akan membuatnya semakin jauh dari rahmat Allah SWT. Dengan kembali kepada Allah SWT diharapkan ia menjadi orang yang semakin dekat dengan Sang Khaliq. Taubat itu merupakan kata yang mudah untuk diucapkan, namun sulit untuk direalisasikan. Untuk mengetahui apakah seseorang itu telah benar-benar bertaubat atau banar-benar belum bertaubat, dapat dilihat dari ucapan, sikap, dan tingkah laku orang tersebut setelah dirinya menyatakan bertaubat. Jika ia benar-benar bertaubat maka harus ada perubahan dalam hal-hal tersebut menuju ke arah yang lebih baik. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT yang berbunyi: "Sesungguhnya taubat di sisi Allah h nyalah taubat bagi orang-orang yang mengerjakan kejahatan lantaran kejahilan, yang kemudian mereka bertaubat dengan segera, Maka mereka Itulah yang diterima Allah taubatnya; dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana". (QS. An-Nisaa', 4: 17) Allah SWT memerintahkan hamba-hamba -Nya untuk bertaubat, Allah SWT pun sangat mencintai orang-orang yang mau bertaubat, dan Allah SWT berjanji kepada hamba-hamba -Nya bahwa taubat mereka akan diterima serta akan mengampuni segala dosa-dosa mereka yang telah lalu. Allah SWT berfirman: "dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, Hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung". (QS. An-Nuur, 24: 31)

"Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri".(QS. Al-Baqarah, 2: 222) "Maka Barangsiapa bertaubat (di antara pencuri-pencuri itu) sesudah melakukan kejahatan itu dan memperbaiki diri, Maka Sesungguhnya Allah menerima taubatnya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang".(QS. Al-Maa'idah, 5: 39) "dan Dialah yang menerima taubat dari hamba-hamba-Nya dan memaafkan kesalahankesalahan dan mengetahui apa yang kamu kerjakan." (Qs. Asy-Syuura, 42: 25) Taubat yang hakiki (Taubat Nasuha) bukan hanya dengan ucapan lisan saja, yakni dengan mengucapkan lafadz "Astaghfirullah al-'Adhiim", tetapi juga harus diiringi dengan penyesalan dalam hati, dan diiringi dengan meninggalkan perbuatan dosa yang telah dilakukan secara konsisten dalam keseharian. Para ulama mengemukakan beberapa persyaratan yang harus dipenuhi oleh seseorang yang mau bertaubat, agar taubatnya benar-benar sempurna, sehingga dapat diterima oleh Allah SWT, persyaratan-persyaratan tersebut adalah sebagai berikut: a. An-Nadam bi al-Qalb, yakni menyesali dalam hati segala perbuatan dosa yang telah dilakukan. b. Al-Iqla' 'an adz-Dzunuub, yakni meninggalkan perbuatan dosa yang telah dilakukan. c. Al-'Azm 'ala an Laa Ya'uud ila adz-Dzunuub maa 'Aasya, yakni bertekad untuk tidak kembali melakukan perbuatan dosa yang telah dilakukan secara konsisten sepanjang hayat. (Abdullah bin 'Alawi al-Haddaad al-Hadhrami asy-Syafi'i, 1992: 324) Orang-orang yang melakukan taubat dengan sungguh-sungguh, kemudian Allah SWT menerima taubatnya maka orang tersebut diibaratkan seperti orang yang tidak berdosa. Rasululah Saw bersabda : Artinya: "Orang yang bertaubat dari segala dosa laksana orang yang tidak mempunyai dosa". (Abdullah bin 'Alawi al-Haddaad al-Hadhrami asy-Syafi'i, 1992: 323) Setiap orang Islam harus senantiasa menjaga diri agar tidak terjerumus dalam perbuatan dosa, karena dengan melakukan perbuatan dosa berarti akan membuka pintu-pintu kehancuran yang akan menimpanya baik di kehidupan dunia lebih-lebih di kehidupan akhirat. Adapun apabila ia terjerumus dalam lembah kenistaan dosa, maka

ketika ia menyadarinya, hendaklah bersegera untuk bertaubat kepada Allah SWT, dengan berjanji dalam diri untuk tidak mengulangi perbuatan dosa tersebut, kemudian meninggalkan perbuatan dosa itu sama sekali, dan dengan sepenuh hati membenci perbuatan dosa yang baru saja ia lakukan. Dan seyogyanya pula setiap muslim untuk senantiasa bertaubat dan memperbaharui taubatnya setiap saat dan setiap waktu, hal ini dikarenakan dosa itu beragam bentuk dan macamnya, ada dosa kecil dan dosa besar, ada dosa yang tersembunyi dan dosa yang nyata, ada dosa yang dilakukan dengan penuh kesadaran dan dosa yang dilakukan tanpa disadari, dan lain-lainnya.##

NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK [ 3 / 4 Tulisan ]


Diposkan oleh Ibn Asnawi @ 11:14 2 Jul 2011 Label: akhlak, artikel, download,pendidikan-akhlak

(Bagian 3 dari 4 Tulisan) 3. Takwa Pendidikan akhlak tentang takwa terdapat dalam surat al-Hujuraat ayat 12, yaitu tersurat dalam kalimat sebagai berikut: ".. dan bertakwalah kepada Allah.". (QS. Al-Hujuraat, 49: 12) Kalimat yang pendek dan singkat tersebut ( ) adalah bentuk kalimat perintah yang mengandung makna yang mendalam lagi sangat luas, yakni perintah untuk senantiasa bertakwa kepada Allah SWT dalam segala kondisi dan situasi, baik ketika sehat maupun sakit, ketika sendiri atau pun di tengah orang-orang banyak, di desa atau pun di kota. Dalam hal ini Rasulullah Saw bersabda:

: : ( )
Artinya: Dari Abu Dzar r.a., ia berkata: Rasulullah Saw bersabda: "Bertakwalah kepada Allah SWT di mana pun engkau berada (bagaimanapun kondisi dan situasi) dan iringilah keburukan dengan kebaikan, niscaya (pahala) kebaikan akan menghapuskan (dosa)

keburukan, dan bergaullah dengan sesama manusia dengan budi pekerti yang baik". (HR. Tirmidzi) Perintah bertakwa tersebut juga berarti menuntut manusia untuk melaksanakan segala bentuk perintah-perintah Allah SWT dan meninggalkan semua laranganlarangan -Nya sebagaimana yang telah contohkan dan disampaikan oleh Rasulullah Saw melalui para penerus perjuangannya hingga sampai kepada kita. Konsekwensi sikap dan perilaku menjalankan segala perintah yang harus diiringi dengan sikap dan perilaku meninggalkan semua larangan ini senada dengan definisi takwa berikut ini:

:
Artinya:

Para Ulama r.a. mendefinisikan takwa sebagai berikut: "Takwa adalah sebuah ungkapan tentang sikap dan perilaku melaksanakan/mentaati segala perintah Allah SWT dan meninggalkan segala larangan -Nya secara dhahir dan bathin dengan diiringi perasaan ta'dhim (sikap dan perilaku mengagungkan Allah SWT), hormat, dan takut kepada -Nya".
(Abdullah bin 'Alawi al-Haddaad al-Hadhrami asy-Syafi'i, 1992: 12)

Ibnu Katsir, menafsirkan kalimat sebagai berikut: yakni(maksudnya bertakwa kepada Allah SWT) dalam hal-hal yang diperintahkan Allah kepadamu dan dalam hal-hal yang dilarang -Nya, dan hendaklah kalian mendekatkan diri kepada Allah dalam hal takwa dan takut kepada -Nya SWT.(Isma'il bin Katsir al-Qurasyiyyi adDimisqiy, 1994: 276)

Adapun konsekuensi dari ungkapan takwa secara lebih rinci adalah sebagaimana yang dijelaskan oleh Sa'id Hawa, yaitu bahwa sikap dan perilaku orang yang bertakwa kepada Allah SWT (al-Muttaqi) tercermin dalam hal-hal sebagai berikut: a. Beriman kepada hal-hal yang ghaib, mendirikan shalat, gemar berinfak, mengikuti tuntunan dan ajaran al-Qur'an. (QS. al-Baqarah, 2: 3) b. Beriman kepada: Allah SWT, hari akhir, malaikat-malaikat Allah SWT, kitab-kitab Allah SWT, nabi-nabi Allah SWT; memberikan harta yang disukai kepada: kerabat, anakanak yatim, orang-orang miskin, ibnu sabil, peminta/pengemis, dan untuk

memerdekakan budak; mendirikan shalat dan membayar zakat; menepati janji; sabar dalam kesempitan, penderitaan, dan dalam peperangan. (QS. al-Baqarah, 2; 177) c. Selalu memohon ampun (istighfar) kepada Allah dari segala dosa, dan memohon kepada -Nya untuk dijauhkan dari siksa neraka (QS. Ali Imran, 3: 16). d. Senantiasa berinfak baik ketika lapang ataupun sempit, mampu menahan amarah, memaafkan kesalahan orang lain, apabila berbuat keji (faahisyah) atau menganiaya diri sendiri ingat kepada Allah dan bersegera memohon ampun kepada -Nya. (QS. aliImran, 3: 134-135) e. Takut akan siksa dari Allah dan takut akan tibanya hari kiamat. (QS. al-Anbiyaa', 21: 49) f. Senantiasa berbuat baik, sedikit tidur di waktu malam (untuk shalat malam), memohon ampun kepada Allah di akhir-akhir malam, memberikan hak orang-orang miskin yang meminta-minta dan orang-orang miskin yang tidak meminta-minta dari hartanya. (QS. adz-Dzaariyat, 51: 17-19) (Sa'id Hawa, 1979: 264-311)##

NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK [ 4 / 4 Tulisan ]


Diposkan oleh Ibn Asnawi @ 11:17 2 Jul 2011 Label: akhlak, artikel, download,pendidikan-akhlak

(Bagian 4 dari 4 Tulisan) 4. Ta'aruf Pendidikan akhlak tentang ta'aruf (sikap dan perilaku untuk saling mengenal terhadap sesama) terdapat dalam surat al-hujuraat ayat 13, yaitu: "Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal.". (QS. Al-Hujuraat, 49: 13) Maha suci Dzat yang telah menciptakan manusia berbangsa-bangsa dan bersukusuku, padahal pada awalnya manusia berasal dari sumber yang sama yaitu Adam dan Hawa. Dengan kekuasaan dan kehendaknya terlahir manusia yang berbeda ras dan warna kulit, dan sudah menjadi sunah-Nya bahwa segala yang diciptakannya tidak siasia. Perbedaan semua itu adalah agar semua manusia satu sama lain melakukan ta'aruf (saling mengenal sesama). Karena pada dasarnya manusia tidak bisa hidup tanpa bermasyarakat dan bantuan orang lain. Dengan ta'aruf pula rasa saling menyayangi akan timbul di antara sesama. Hal ini senada dengan pendapat Ibnu Katsir, yaitu bahwa maksud dari lafadz pada ayat tersebut di atas adalah

( dimaksudkan untuk saling mengenal di antara mereka). (Isma'il bin Katsir alQurasyiyyi ad-Dimisyqi, 1994: 277)

Ayat tersebut semakin menegaskan bahwa diciptakannya manusia berbangsabangsa, bersuku-suku adalah untuk saling mengenal, bekerja sama (dalam kebaikan) sekaligus menafikan sifat kesombongan dan membanggakan diri yang disebabkan oleh adanya perbedaan nasab (keturunan). Ayat ini juga dapat dipahami bahwa diciptakannya manusia untuk mengenal Tuhannya.(Fahrur Razi, tt: 138) Untuk menciptakan suasana kehidupan bermasyarakat yang harmonis tidak cukup hanya berhenti pada ta'aruf (saling mengenal), akan tetapi harus ditindaklanjuti (follow up) dengan usaha dan upaya pembinaan dan pemupukkan yang berkesinambungan yang akan dapat mewujudkan keharmaonisan hubungan tersebut dapat bertahan lama (langgeng). Upaya ini dikenal dengan istilah silaturrahim. Silaturrahim artinya menyambungkan tali persaudaraan. Silaturrahim merupakan ajaran yang harus senantiasa dipupuk dan dibina agar bisa tumbuh dengan subur di tengah-tengah keluarga dan masyarakat. Selain itu, silaturrahim memiliki nilai yang luas dan mendalam, yang tidak hanya sekedar menyambungkan tali persaudaraan, lebih dari pada itu, silaturrahim juga bisa dijadikan sebagai sarana untuk mempermudah untuk membuka pintu-pintu sumber rezeki (penghidupan) dan sarana untuk menjadikan umur menjadi lebih berbarokah. Hal ini sesuai dengan sabda Nabi Saw :

Artinya:

: : ) (

Dari Anas bin Malik r.a, ia berkata: Saya telah mendengar Rasulallah Saw bersabda: "Siapa yang ingin diluaskan rezekinya dan dilanjutkan umurnya, hendaklah ia menyambung hubungan famili (kerabat)". (HR Bukhari) (Mustafa Dhaib Bigha, 1999: 291) Hadits di atas kalau dicermati dengan seksama sangatlah logis, orang yang selalu bersilaturrahim tentunya akan memiliki banyak teman relasi, sedangkan relasi merupakan salah satu faktor yang akan menunjang kesuksesan seseorang dalam membuka peluang usaha/bisnis. Selain itu dengan banyak teman, akan memperbanyak saudara dan berarti pula telah berusaha meningkatkan ketakwaan kepada Allah SWT, hal ini karena telah melaksanakan salah satu perintahnya yang menyambungkan tali silaturrahim.

Silaturrahim merupakan sifat terpuji yang harus senantiasa dibiasakan, karena memiliki banyak manfaat. Menurut al-Faqih abu Laits Samarqandi, seperti dikutip oleh Rahmat Syafi'i, keuntungan bersilaturrahim ada sepuluh, yaitu: a. Memperoleh ridha Allah SWT karena Dia yang memerintahkannya. b. Membuat gembira orang lain. c. Menyebabkan pelakunya menjadi disukai malaikat. d. Mendatangkan pujian kaum Muslimin padanya. e. Membuat marah iblis. f. Memanjangkan usia. g. Menambah barakah rezekinya. h. Membuat senang kaum kerabat yang telah meninggal, karena merek senang jika anak cucunya selalu bersilaturrahim. i. Memupuk rasa kasih sayang di antara keluarga/famili sehingga timbul semangat saling membantu ketika berhajat. j. Menambah pahala sesudah pelakunya meninggal karena ia akan selalu dikenang, dan didoakan karena kebaikannya.(Rahmat Syafe'i, 2003: 210) Seseorang yang memutuskan silaturrahim tidak akan mendapatkan kebahagiaan kelak di akhirat, yaitu bahwa ia akan diancam dengan siksa neraka yang pedih. Dalam hal ini Rasulallah SAW bersabda:

( : , : )

Artinya: Dari Abu Muhammad (Jubair) bin Muth'im ra., bahwa Rasulallah Saw bersabda: "Tidak akan masuk surga orang yang memutus (hubungan famili)". Abu Sufyan berkata, dalam suatu riwayat, yakni pemutus hubungan famili. (HR. Bukhari dan Muslim)(Musthafa Dhaib Bigha, 1999: 663) Menurut Imam Nawawi, persengketaan harus diakhiri pada hari ketiga, tidak boleh lebih. Menurut sebagian ulama, di antara sebab Islam membolehkan adanya persengketaan selama tiga hari adalah karena dalam jiwa manusia terdapat amarah dan akhlak jelek yang tidak dapat dikuasainya ketika bertengkar atau dalam keadaan

marah. Diharapkan dengan pemberian jeda atau tenggang waktu selama tiga hari akan dapat menghilangkan perasaan tersebut. 5. Berpegang teguh dan menjunjung tinggi prinsip-prinsip egaliter (persamaan derajat) Nilai pendidikan akhlak tentang persamaan derajat (egaliter) terdapat surat alHujuraat ayat 13 berikut ini: "Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal".(QS. Al-Hujuraat, 49: 13)
Isma'il bin Katsir al-Qursyiyyi ad-Dinisyqi (Ibnu Katsir)

menafsirkan ayat tersebut di atas

sebagai berikut: "maksudnya adalah salah seorang dari kalian dapat mengungguli yang lainnya di hadapan Allah SWT dengan kadar ketakwaannya dan bukan dengan nasab

: : ) (
Artinya: Dari Abu Dzar r.a. ia mengatakan bahwasannya Rasulullah Saw bersabda kepadanya: "Ketahuilah sesungguhnya engkau tidak lebih baik dari orang yang berkulit merah, tidak pula dari orang yang berkulit hitam, kecuali jika engkau mengunggulinya denngan kadar ketakwaan kalian kepada Allah SWT". (HR. Ahmad)(Isma'il bin Katsir al-Qurasyiyyi ad-Dimisyqi, 1994: 277) Kadar ketakwaan seseorang merupakan satu-satunya tolok ukur untuk membedakakan apakah derajat seseorang itu mulia atau tidak di hadapan Allah SWT. Tolok ukur yang digunakan manusia selama ini seperti keturunan, materi, dan kedudukan bukanlah tolok ukur yang sebenarnya, tolak ukur semacam ini bermuara pada sikap dan perilaku kesombongan. Salah satu sendi ajaran Islam yang paling agung adalah prinsip persamaan hak yang telah disyariatkan bagi umat manusia. Semua manusia sama dalam pandangan Islam. Tidak ada perbedaan antara kulit hitam dengan kulit putih, antara Si Kuning dengan Si Merah, Si Kaya dengan Si Miskin, raja dengan rakyat, pemimpin dengan yang dipimpin. Oleh karenanya tidaklah patut kalau di antara manusia terjadi kesombongan disebabkan karena bedanya pangkat maupun keturunannya. Orang yang paling mulia di sisi Allah adalah yang paling bertaqwa dan yang paling banyak amal kebaikannya. Rasulallah Saw menegaskan prinsip persamaan hak ini dan menerapkannya dalam kehidupan bermasyarakat, seperti tercermin dalam sabdanya:

(keturunan)-nya". Rasulullah Saw bersabda:

: , ) ( ,
Artinya: Dikabarkan dari Tsa'labi dari Ibnu Abbas r.a., adapun sebabnya adalah perkataan (teguran) Tsabit bin Qais kepada seseorang yang tidak melapangkan tempat duduk di sisi Nabi SAW, hai fulan! Kemudian Nabi Saw memperingatinya dengan bersabda: "Sesungguhnya Engkau tidak layak mengutamakan seseorang atas orang lain kecuali dalam hal agama dan takwa". (HR Thabrani) (Abdullah bin Ibrahim dan Abdul Aal
Sayyid Ibrahim, 1989: 514)

Dengan demikian Islam dalam ajaran syariatnya, mengukuhkan adanya penghormatan terhadap manusia, menjamin kebebasan kehidupan dan hak asasi mereka, dan kedudukan mereka di hadapan hukum adalah sama. Tidak ada ajaran untuk melebihkan satu dari yang lain di hadapan hukum, kecuali dengan mengamalkan kebaikan dan meninggalkan perbuatan dosa dan pelanggaran. Adapun bentuk dari pelaksanaan persamaan hak itu antara lain ialah penerapan hukum bagi pelaku kejahatan tanpa membeda-bedakan status sosial pelakunya. Kalau dicermati lebih jauh, bahwa salah satu penyebab kemunduran suatu bangsa adalah karena penegakkan hukum belum sepenuhnya dilaksanakan dengan baik, dalam hal ini sering kali orang dipandang berdasarkan status sosialnya. Rasulallah Saw adalah pribadi yang paling tegas dalam menegakkan keadilan, hal ini tercermin dari dari sebuah peristiwa ketika pada masa itu terjadi sebuah pencurian, beliau mengatakan seandainya yang mencuri itu adalah Fatimah maka akulah yang akan memotong tangannya. Oleh karena itu, jika suatu bangsa mengharapkan negara yang makmur, aman dan sejahtera maka salah satu cara yang perlu dilakukan adalah dengan menegakkan prinsip keadilan, dan menghukumnya bagi yang melanggar peraturan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kedudukan semua orang adalah sama, artinya siapa yang melakukan kesalahan maka baginya pantas mendapatkan hukuman yang setimpal. Dengan tidak memandang latar belakang dan jabatan yang disandangnya, karena hanya ketakwaan yang membedakan antara yang satu dengan lainnya.

Dari uraian-uraian tersebut di atas penulis menyimpulkan bahwa nilai-nilai pendidikan akhlak yang terkandung dalam surat al-Hujuraat ayat 11-13 adalah sebagai berikut: 1) pendidikan akhlak tentang menjunjung tinggi kehormatan kaum muslimin, aplikasinya adalah dalam bentuk tidak bersikap atau berbuat sesuatu dengan maksud untuk memperolok-olok sesama, tidak bersikap atau berbuat sesuatu dengan maksud untuk mencela sesama, tidak memanggil atau memberi gelaran kepada sesame dengan panggilan atau gelaran yang jelek lagi tidak disukai, tidak berburuk sangka (su'udzdzon)kepada sesama, tidak mencari-cari dan atau menyebarluaskan aib/cela sesama, tidak menggunjingkan (ghiebah) sesama; 2) pendidikan akhlak tentang taubat; 3) pendidikan akhlak tentang takwa; 4) pendidikan akhlak tentang ta'aruf; dan 5) pendidikan akhlak tentang berpegang teguh dan menjunjung tinggi prinsip-prinsip persamaan derajat (egaliter). REFERENSI :
1.

Abdullah bin 'Alawi al-Haddaad al-Hadhrami asy-Syafi'i. 1992. an-Nashoo'ih adDiniyyah. Beirut: an-Nasyir. Cet. I. Abdullah bin Ibrahim dan Abdul Aal Sayyid Ibrahim. 1989. Al-Muharrarul Wajiz. Juz XIII.
Fakhrur Razi. tt. Tafsir

2.

3. 4. 5.

Fakhrur Razi. Beirut: Darul Fikr. al-Qurasyiyyi ad-Dimisyqi. 1994. Tafsir al-Qur'an al-

Imam Ghazali. 2006. Ihya Ulumuddin, terj. Purwanto. Bandung: Marja. Cet. VI. Isma'il bin Katsir 'Adhim. Riyadh : Daar as-Salaam. Juz IV.

6.

K.H.Q. Shaleh, et.al. 1976. Ayat-Ayat Hukum, Tafsir dan Uraian Perintah-Perintah dalam Al-Qur'an. Bandung: Diponegoro. Khalid Abdurrahman al-'Akk. 1994. Shofwah al-Bayaan li Ma'aani al-Qur'aan alKariim. Mesir: Daar as-Salaam. Muhammad Nasib Rifai. 2000. Kemudahan dari Allah Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir. Jakarta: Gema Insani. Jilid IV. Muhammad Sulaiman Abdullah al-Asyqar. 1988. Zubdah at-Tafsir min Fath alQadir. Kuwait: Wizarah al-Auqaaf wa asy-Syu'un al-Islamiyyah. Musthafa Dhaib Bigha.1999. Mukhtashar Shahih Bukhari. Beirut: Yamamah. Rahmat Syafe'i. 2003. Aqidah, Akhlak, Sosial dan Hukum. Bandung: Pustaka Setia. Cet. II.

7.

8.

9.

10. 11.

12.

Sa'id Hawa. 1979. Jundullah Tsaqaafatan wa Akhlaaqan. Beirut: Daar al-Kuttub alIlmiyah. Cet. III. Shalih bin Abdul Aziz. 1999. Jami'ut Tirmidzi. Riyadh: Darussalam.

13.

Faahisyah ialah dosa yang mudharatnya tidak hanya menimpa diri sendiri tetapi juga orang lain, seperti zina, riba. Adapun menganiaya diri sendiriadalah melakukan dosa yang mudharatnya hanya menimpa diri sendiri baik yang besar atau kecil. (lihat catatan kaki ke -229 Al-Qur'an dan Terjemahnya,Madinah: Mujamma' Al-Malik Fahd Li Thiba'at al-Mush-haf Asy-Syarif, 1418, h. 98)## TAMMAT ##

You might also like