You are on page 1of 45

BAB I

A. Dasar-dasar imunisasi
Pendahuluan Dalam lingkup pelayanan kesehatan, bidang preventif merupakan prioritas utama. Imunisasi adalah salah satu bentuk intervensi kesehatan yang sangat efektif dalam upaya menurunkan angka kematian bayi dan balita. Imunisasi merupakan hal mutlak yang perlu diberikan pada bayi. Imunisasi adalah sarana untuk mencegah penyakit berbahaya, yang dapat menimbulkan kematian pada bayi. Penurunan insiden penyakit menular telah terjadi berpuluh-puluh tahun yang lampau di negara-negara maju yang telah melakukan imunisasi dengan teratur dengan cakupan yang luas. Untuk dapat melakukan pelayanan imunisasi yang baik dan benar diperlukan pengetahuan dan keterampilan tentang vaksin ( vaksinologi ), ilmu kekebalan ( imunologi ) dan cara atau prosedur pemberian vaksin yang benar. Dengan melakukan imunisasi terhadap seorang anak, tidak hanya memberikan perlindungan pada anak tersebut tetapi juga berdampak kepada anak lainnya karena terjadi tingkat imunitas umum yang meningkat dan mengurangi penyebaran infeksi. Banyak penyakit menular yang bisa menyebabkan gangguan serius pada perkembangan fisik dan mental anak. Imunisasi bisa melindungi anak-anak dari penyakit melaui vaksinasi yang bisa berupa suntikan atau melalui mulut.

Imunisasi Upaya Pencegahan Primer Angka kematian bayi ( AKB ) dalam dua dasawarsa terakhir ini menunjukkan penurunan yang bermakna, yaitu apabila pada tahun 1971 masih sebesar 142 dan menjadi 112 per 1000 kelahiran hidup pada tahun 1980 ( memerlukan 10 tahun ). Pada tahun 1985 ke tahun 1990 ( hanya lima tahun ) dari 71 menjadi 54 per 1000 kelahiran hidup. Penurunan tersebut diikuti dengan menurunnya angka kematian BALITA atau AKABA menjadi 56 per 1000 kelahiran hidup. Keberhasilan tersebut adalah hasil teknologi tepat guna yang dilaksanakan di seluruh Indonesia sejak tahun 1977 dengan menggunakan kartu menuju sehat ( KMS ) dalam memantau tumbuh kembang anak, pemakaian cairan oralit pada anak yang menderita diare, meningkatkan pemberian ASI secara eksklusif kepada bayinya dan imunisasi sesuai Program Pembangunan Imunisasi ( PPI ). Yaitu BCG, Polio, DPT, hepatitis B dan 1

campak. Pada tahun 1990 Indonesia telah mencapai lebih dari 90% cakupan vaksinasi dasar tersebut yang dikenal sebagai Universal Child Immunization ( UCI ). Ditambah lagi dengan gerakan PIN ( Pekan Imunisasi Nasional ) terhadap penyakit polio pada tahun 1995-1996-1997-2002 secara berturut-turut dan serentak di seluruh tanah air yang kemudian karena masih ada kejadian virus polio liar di regional WHO-SEARO. Pin diulang kembali pada tahun 2002. Pada kesempatan PIN diberikan juga vaksinasi tetanus dan campak dengan harapan dapat mengurangi kesakitan dan kematian karena kedua penyakit tersebut. Seiring dengan menurunnya angka kesakitan dan kematian anak pada umumnya maka kualitas hidup bangsa angka meningkat pula. Hasil penelitian di dunia mengatakan bahwa angka kelahiran dan usia harapan hidup di suatu negara berkaitan, yaitu bahwa makin rendah angka kelahiran makin tinggi usia harapan hidup. Untuk itu pencegahan terhadap penyakit infeksi merupakan upaya yang menentukan situasi tersebut dan mutlak harus dilakukan pada anak sedini mungkin guna dapat mempertahankan kualitas hidup yang prima dalam perjalanan hidupnya . Vaksinasi atau lazim dipakai dengan istilah imunisasi merupakan suatu teknologi yang sangat berhasil di dunia kedokteran yang oleh Katz ( 1999 ) dikatakan sebagai sumbangan ilmu pengetahuan yang terbaik yang pernah dapat diberikan oleh para ilmuwan di dunia ini . Satu upaya kesehatan yang paling efektif dan efisien dibandingkan dengan upaya kesehatan lainnya. Kekebalan atau imunitas tubuh terhadap ancaman penyakit dari lingkungannya adalah tujuan utama dari pemberian vaksinasi. Imunitas tersebut sebenarnya dapat diperoleh secara alamiah yaitu terjangkit suatu penyakit dan menjadi imun maupun secara aktif dibuat oleh manusia. Pada hakekatnya pada kedua cara mendapatkan imunitas tubuh dapat diperoleh dengan cara pasif maupun aktif. Dikatakan pasif karena tidak menyangkut sama sekali sistem imun tubuh sendiri dan hanya menerima secara pasif antibodi ke dalam tubuhnya, yaitu dapat terjadi melalui plasenta ke janin dari ibu kandungnya maupun dengan memberikan antibodi melalui suntikan ke dalam tubuh anak. Pemberian antigen dengan sengaja sehingga tubuh manusia kemudian memberikan respon imun adalah prinsip dari vaksinasi.

Imunisasi dan Vaksinasi Imunisasi adalah suatu pemindahan atau transfer antibodi secara pasif, sedangkan istilah vaksinasi dimaksudkan sebagai pemberian vaksin ( antigen ) yang 2

dapat merangsang pembentukan imunitas ( antibodi ) dari sistem imun di dalam tubuh. Imunitas secara pasif dapat diperoleh dari pemberian dua macam bentuk, yaitu imunoglobulin yang non-spesifik atau disebut juga gamaglobulin dan imunoglobulin yang spesifik yang berasal dari plasma donor yang sudah sembuh atau baru saja mendapatkan vaksinasi penyakit tertentu. Imunuglobulin non-spesifik digunakan pada anak dengan defisiensi imunoglobulin sehingga memberikan perlindungan dengan segera dan cepat yang seringkali dapat terhindar dari kematian. Hanya saja perlindungan tersebut tidaklah permanen melainkan hanya berlangsung beberapa minggu saja. Selain itu cara tersebut juga mahal dan memungkinkan anak justru menjadi sakit karena secara kebetulan atau karena suatu kecelakaan serum yang diberikan tidak bersih dan masih mengandung kuman yang aktif. Sedangkan imunoglobulin yang spesifik diberikan pada anak yang belum terlindungi karena belum pernah mendapatkan vaksinasi dan kemudian terserang misalnya difteria, tetanus, hepatitis A dan B. Vaksinasi, merupakan suatu tindakan yang dengan sengaja memberikan paparan pada suatu antigen berasal dari suatu patogen. Antigen yang diberikan telah dibuat demikian rupa sehingga tidak menimbulkan sakit namun memproduksi limfosit yang peka, antibodi dan sel memori. Cara ini menirukan infeksi alamiah yang tidak menimbulkan sakit namun cukup memberikan kekebalan. Tujuannya adalah memberikan infeksi ringan yang tidak berbahaya namun cukup untuk menyiapkan respon imun sehingga apabila terjangkit penyakit yang sesungguhnya dikemudian hari anak tidak menjadi sakit karena tubuh dengan cepat membentuk antibodi dan mematikan antigen / penyakit yang masuk tersebut. Vaksinasi mempunyai keuntungan :

1. Pertahanan tubuh yang terbentuk akan dibawa seumur hidupnya. 2. Vaksinasi cost-effective karena murah dan efektif. 3. Vaksinasi tidak berbahaya. Reaksi yang serius sangat jarang terjadi, jauh lebih jarang daripada komplikasi yang timbul apabila terserang penyakit tersebut secara almiah.

Imunisasi Imunisasi adalah suatu cara untuk meningkatkan kekebalan seseorang secara aktif terhadap suatu antigen, sehingga bila kelak ia terpajan pada antigen yang serupa tidak terjadi penyakit. Dilihat dari cara timbulnya maka terdapat dua jenis kekebalan, yaitu kekebalan pasif dan kekebalan aktif. Kekebalan pasif adalah kekebalan yang diperoleh dari luar tubuh, bukan dibuat oleh individu itu sendiri. Contohnya adalah kekebalan pada janin yang diperoleh dari ibu atau kekebalan yang diperoleh setelah pemberian suntikan imunoglobulin. Kekebalan pasif tidak berlangsung lama karena akan langsung dimetabolisme oleh tubuh. Kekebalan aktif adalah kekebalan yang dibuat oleh tubuh sendiri akibat terpajan pada antigen seperti pada imunisasi, atau terpajan secara alamiah. Kekebalan aktif biasanya berlangsung lebih lama karena adanya memori imunologi. Tujuan imunisasi adalah untuk mencegah terjadinya penyakit tertentu pada seseorang, dan menghilangkan penyakit tertentu pada sekelompok masyarakat ( populasi ) atau bahkan menghilangkan penyakit tertentu dari dunia seperti pada imunisasi cacar. Respons imun adalah respons tubuh berupa suatu urutan kejadian yang kompleks terhadap antigen, untuk mengeliminasi antigen tersebut. Dikenal dua macam pertahanan tubuh yaitu : 1. mekanisme pertahanan nonspesifiik disebut juga komponen nonadaptif atau innate artinya tidak ditujukan hanya untuk satu macam antigen , tetapi untuk berbagai macam antigen. 2. mekanisme pertahanan tubuh spesifik atau komponen adptif ditujukan khusus terhadap satu jenis antigen, terbentuknya antibodi lebih cepat dan lebih banyak pada pemberian antigen berikutnya. Hal ini disebabkan telah terbentuknya sel memori pada pengenalan antigen pertama kali. Bila pertahanan nonspesifik belum dapat mengatasi invasi mikroorganisme maka imunitas spesifik akan terangsang. Mikroorganisme yang pertama kali dikenal oleh sistem imun akan dipresentasikan oleh sel makrofag ( APC = antigen presenting cel ) Pada sel T untuk antigen TD ( T dependent ) sedangkan antigen TI ( T independent ) akan langsung diperoleh oleh sel B. Mekanisme pertahanan spesifik terdiri atas imunitas selular dan imunitas humoral. Imunitas humoral akan menghasilkan antibodi bila dirangsang oleh antigen. Semua antibodi adalah protein dengan struktur yang sama yang disebut imunoglobulin ( Ig ) yang dapat dipindahkan secara pasif kepada individu yang lain 4

dengan cara penyuntikan serum. Berbeda dengan imunitas selular hanya dapat dipindahkan melalui sel, contohnya pada reaksi penolakan organ transplantasi oleh sel limfosit dan pada graft versus-host-disease.

Proses imun terdiri dari dua fase

1. Fase pengenalan, diperankan oleh sel yang mempresentasikan antigen ( APC = antigen presenting cells ), sel limfosit B, limfosit T. 2. Fase efektor, diperankan oleh antibodi dan limfosit T efektor

Keberhasilan Imunisasi Tergantung dari beberapa faktor, yaitu status imun pejamu, faktor genetik pejamu, serta kualitas dan kuantitas vaksin.

1. Status imun pejamu Terjadinya antibodi spesifik pada pejamu terhadap vaksin yang diberikan akan mempengaruhi keberhasilan vaksinasi. Misalnya pada bayi yang semasa fetus mendapat antibodi maternal spesifik terhadap virus campak, bila vaksinasi campak diberikan pada saat kadar antibodi spesifik campak masih tinggi akan memberikan hasil yang kurang memuaskan. Demikian pula air susu ibu ( ASI ) yang mengandung IgA sekretori ( sIgA ) terhadap virus polio dapat mempengaruhi keberhasilan vaksinasi polio yang diberikan secara oral. Namun pada umumnya kadar sIgA terhadap virus polio pada ASI sudah rendah pada waktu bayi berumur beberapa bulan. Pada penelitian di Sub Bagian Alergi-Imunologi, Bagian IKA FKUI/RSCM, Jakarta ternyata sIgA polio sudah tidak ditemukan lagi pada ASI setelah bayi berumur 5 bulan. Kadar sIgA tinggi terdapat pada kolostrum. Karena itu bila vaksinasi polio diberikan pada masa pemberian kolostrum ( kurang atau sama dengan 3 hari setelah bayi lahir ), hendaknya ASI ( kolostrum ) jangan diberikan dahulu 2 jam sebelum dan sesudah vaksinasi. Keberhasilan vaksinasi memerlukan maturitas imunologik. Pada bayi neonatus fungsi makrofag masih kurang. Pembentukan antibodi spesifik terhadap antigen tertentu masih kurang. Jadi dengan sendirinya, vaksinasi pada neonatus akan memberikan hasil yang kurang dibandingkan pada anak. Maka, apabila imunisasi diberikan sebelum bayi berumur 2 bulan, jangan lupa memberikan imunisasi ulangan.

Status imun mempengaruhi pula hasil imunisasi. Individu yang mendapat obat imunosupresan, menderita defisiensi imun kongenital, atau menderita penyakit yang menimbulkan defisiensi imun sekunder seperti pada penyakit keganasan juga akan mempengaruhi keberhasilan vaksinasi. Bahkan adanya defisiensi imun merupakan kontraindikasi pemberian vaksin hidup karena dapat menimbulkan penyakit pada individu tersebut. Demikian pula vaksinasi pada individu yang menderita penyakit infeksi sistemik seperti campak, tuberkulosis milier akan mempengaruhi pula keberhasilan vaksinasi. Keadaan gizi yang buruk akan menurunkan fungsi sel sistem imun seperti makrofag dan limfosit. Imunitas selular menurun dan imunitas humoral

spesifisitasnya rendah. Meskipun kadar globulin normal atau bahkan meninggi, imunoglobulin yang terbentuk tidak dapat mengikat antigen dengan baik karena terdapat kekurangan asam amino yang dibutuhkan untuk sintesis antibodi. Kadar komplemen juga berkurang dan mobilisasi makrofag berkurang, akibatnya respons terhadap vaksin atau toksoid berkurang.

2. Faktor genetik pejamu Interaksi antara sel-sel sistem imun dipengaruhi oleh variabilitas genetik. Secara genetik respons imun manusia dapat dibagi atas responder baik, cukup, dan rendah terhadap antigen tertentu. Ia dapat memberikan respons rendah terhadap antigen tertentu, tetapi terhadap antigen lain dapat lebih tinggi. Karena itu tidak heran bila kita menemukan keberhasilan vaksinasi yang tidak 100%.

3. Kualitas dan kuantitas vaksin Vaksin adalah mikroorganisme atau toksoid yang diubah sedemikian rupa sehingga patogenisitas atau toksisitasnya hilang tetapi masih tetap mengandung sifat antigenisitas. Beberapa faktor kualitas dan kuantitas vaksin dapat menentukan keberhasilan vaksinasi, seperti cara pemberian, dosis, frekuensi pemberian ajuvan yang dipergunakan, dan jenis vaksin. Cara pemberian vaksin akan mempengaruhi respons imun yang timbul. Misalnya vaksin polio oral akan menimbulkan imunitas lokal disamping sistemik, sedangkan vaksin polio parenteral akan memberikan imunitas sistemik saja.

Dosis vaksin terlalu tinggi atau terlalu rendah juga mempengaruhi respons imun yang terjadi. Dosis terlalu tinggi akan menghambat respons imun yang diharapkan. Sedang dosis terlalu rendah tidak merangsang sel-sel imunokompeten.Dosis yang tepat dapat diketahui dari hasil uji klinis, karena itu dosis vaksin harus sesuai dengan dosis yang direkomendasikan.

Frekuensi pemberian juga mempengaruhi respons imun yang terjadi. Disamping frekuensi, jarak pemberianpun akan mempengaruhi respons imun yang terjadi. Bila pemberian vaksin berikutnya diberikan pada saat kadar antibodi spesifik masih tinggi, maka antigen yang masuk segera dinetralkan oleh antibodi spesifik yang masih tinggi tersebut sehingga tidak sempat merangsang sel imunkompaten. Bahkan dapat terjadi apa yang dinamakan reaksi arthus, yaitu bengkak kemerahan di daerah suntikan antigen akibat pembentukan kompleks antigen antibodi lokal sehingga terjadi peradangan lokal. Karena itu pemberian ulang ( booster ) sebaiknya mengikuti apa yang dianjurkan sesuai dengan hasil uji klinis.

Ajuvan adalah zat yang secara nonspesifik dapat meningkatkan respons imun terhadap antigen. Ajuvan akan meningkatkan respons imun dengan mempertahankan antigen pada atau dekat dengan tempat suntikan, dan mengaktivasi APC ( antigen presenting cells ) untuk memproses antigen secara efektif dan memproduksi interleukin yang akan mengaktifkan sel imunokompeten lainnya.

Jenis Vaksin, vaksin hidup akan menimbulkan respons imun lebih baik dibanding vaksin mati atau yang diinaktivasi ( killed atau inactivated ) atau bagian ( komponen ) dari mikroorganisme. Vaksin hidup diperoleh dengan cara atenuasi. Tujuan atenuasi adalah untuk menghasilkan organisme yang hanya dapat menimbulkan penyakit yang sangat ringan. Atenuasi diperoleh dengan memodifikasi kondisi tempat tubuh mikroorganisme, misalnya suhu yang tinggi atau rendah, kondisi anerob, atau menambah empedu pada media kultur seperti pada pembuatan vaksin BCG yang sudah ditanam selama 13 tahun. Dapat pula dipakai mikroorganisme yang virulen untuk spesies lain tetapi untuk manusia avirulen, misalnya virus cacar sapi.

Persyaratan vaksin 1. Mengaktivasi APC untuk mempresentasikan antigen dan memproduksi interleukin. 2. Mengaktivasi sel T dan sel B untuk membentuk banyak sel memori 3. Mengaktivasi sel T dan sel Tc terhadap beberapa epitop, untuk mengatasi variasi respons imun yang ada dalam populasi karena adanya polimorfisme MHC. 4. Memberi antigen yang persisten, mungkin dalam sel folikular dendrit jaringan limfoid tempat sel B memori direkrut sehingga dapat merangsang sel B sewaktu-waktu menjadi sel plasma yang membentuk antibodi terus-menerus sehingga kadarnya tetap tinggi. Vaksin yang dapat memenuhi ke empat persyaratan tersebut adalah vaksin virus hidup.

Jenis Vaksin Pada dasarnya, vaksin dibagi menjadi 2 jenis, yaitu : 1. Live attenuated ( bakteri atau virus hidup yang dilemahkan ) 2. Inactivate ( bakteri, virus atau komponenmnya dibuat tidak aktif )

1. Vaksin hidup attenuated Diproduksi di laboratorium dengan cara melakukan modifikasi virus atau bakteri penyebab penyakit. Vaksin mikroorganisme yang dihasilkan masih memiliki kemampuan untuk tumbuh menjadi banyak ( replikasi) dan menimbulkan kekebalan tetapi tidak menyebabkan penyakit. Vaksin hidup dibuat dari virus atau bakteri liar ( wild ) penyebab penyakit. Virus atau bakteri liar ini dilemahkan ( attinuated ) dilaboratorium, biasanya dengan cara pembiakan berulang-ulang. Misalnya vaksin campak yang dipakai sampai sekarang, diisolasi untuk mengubah virus liar campak menjadi virus vaksin dibutuhkan 10 tahun dengan cara melakukan penanaman pada jaringan media pembiakan secara serial dari seorang anak yang menderita penyakit campak pada tahun 1954. Supaya dapat menimbulkan respons imun, vaksin hidup atteuated harus berkembang biak ( mengadakan replikasi ) di dalam tubuh resipien.

Apapun yang merusak organisme hidup dalam botol ( misalnya panas atau cahaya ) atau pengaruh luar terhadap replikasi organisme dalam tubuh ( antibodi yang beredar ) dapat menyebabkan vaksin tersebut tidak efektif.

Respons imun terhadap vaksin hidup attenuated pada umumnya sama dengan yang diakibatkan oleh infeksi alamiah. Respons imun tidak membedakan antara suatu infeksi dengan virus vaksin yang dilemahkan dan infeksi dengan virus liar.

Vaksin virus hidup attenuated secara teoritis dapat berubah menjadi bentuk patogenik seperti semula. Hal ini hanya terjadi pada vaksin polio hidup.

Antibodi dari sumber apapun ( misalnya transplasental, transfusi ) dapat mempengaruhi perkembangan vaksin mikroorganisme dan menyebabkan tidak adanya respons ( non response ). Vaksin campak merupakan mikroorganisme yang paling sensitif terhadap antibodi yang beredar dalam tubuh. Virus vaksin polio dan rotavirus paling sedikit terkena pengaruh.

Vaksin hidup attenuated bersifat labil dan dapat mengalami kerusakan bila kena panas dan sinar, maka harus dilakukan pengelolaan dan penyimpanan dengan baik dan hati-hati.

Vaksin hidup attenuated yang tersedia Berasal dari virus hidup : Vaksin campak, gondongan ( parotitis ), rubela, polio, rotavirus, demam kuning ( yellow fever ). Berasal dari bakteri : Vaksin BCG dan demam tifoid oral.

2. Vaksin Inactivated Vaksin inactivated dihasilkan dengan cara mambiakkan bakteri atau virus dalam media pembiakan ( persemaian ), kemudian dibuat tidak aktif dengan penambahan bahan kimia ( biasanya formalin ). Vaksin inactivated tidak hidup dan tidak dapat tumbuh, maka seluruh dosis antigen dimasukkan dalam suntikan. Vaksin ini tidak menyebabkan penyakit ( walaupun pada orang dengan defisiensi imun ) dan tidak dapat mengalami mutasi menjadi bentuk patogenik. Antigen inactivated tidak dipengaruhi oleh antibodi yang beredar. Vaksin inactivated dapat diberikan saat antibodi berada di dalam sirkulasi darah.

Vaksin inactivated selalu memerlukan dosis ganda. Pada umumnya pada dosis pertama tidak menghasilkan imunitas protektif, tetapi hanya memacu atau menyiapkan sistem imun. Respons imun protektif baru timbul setelah dosis kedua atau ketiga. Hal ini berbeda dengan vaksin hidup, yang mempunyai respons imun yang mirip atau sama dengan infeksi alami, respons imun terhadap vaksin inactivated sebagian besar humoral, hanya sedikit atau tak menimbulkan imunitas selular. Titer antibodi terhadap antigen inactivated menurun setelah beberapa waktu.

Pada beberapa keadaan suatu antigen untuk melindungi terhadap penyakit masih memerlukan vaksin seluruh sel ( whole cell ), namun vaksin bakterial seluruh sel bersifat paling reaktogenik dan menyebabkan paling banyak reaksi ikutan atau efek samping. Ini disebabkan respons terhadap komponen-komponen sel yang sebenarnya tidak diperlukan untuk perlindungan ( contoh antigen pertusis dalam vaksin DPT ).

Vaksin Inactivated yang tersedia saat ini berasal dari -

Seluruh sel virus yang inactivated, contoh influenza, polio, rabies, hepatitis A.

Seluruh bakteri yang inactivated, contoh pertusis, tifoid, kolera, lepra. Vaksin fraksional yang masuk sub-unit, contoh hepatitis B, influenza, pertusis a-seluler, tifoid Vi, lyme disease.

Toksoid, contoh difteria, tetanus, botulinum. Polisakarida murni, contoh pneumokokus, meningokokus, dan

haemophilus influenzae tipe b. Gabungan polisakarida (haemophillus influenzae tipe B dan

pneumokokus).

10

BAB II
Tata cara pemberian imunisasi Sebelum melakukan vaksinasi, dianjurkan mengikuti tata cara sebagai berikut : 1. Memberitahukan secara rinci tentang risiko imunisasi dan risiko apabila tidak divaksinasi. 2. Periksa kembali persiapan untuk melakukan pelayanan secepatnya bila terjadi reaksi ikutan yang tidak diharapkan. 3. Baca dengan teliti informasi tentang produk ( vaksin ) yang akan diberikan dan jangan lupa mendapat persetujuan orang tua. Melakukan tanya jawab dengan orang tua atau pengasuhnya sebelum melakukan imunisasi. 4. Tinjau kembali apakah ada kontraindikasi terhadap vaksin yang diberikan. 5. Periksa identitas penerima vaksin dan berikan antipiretik bila diperlukan. 6. Periksa jenis vaksin dan yakin bahwa vaksin tersebut telah disimpan dengan baik. 7. Periksa vaksin yang akan diberikan apakah tampak tanda-tanda perubahan. Periksa tanggal kadarluwarsa dan catat hal-hal istimewa, misalnya adanya perubahan warna yang menunjukkan adanya kerusakan. 8. Yakin bahwa vaksin yang akan diberikan sesuai jadwal dan ditawarkan pula vaksin lain untuk mengejar imunisasi yang tertinggal ( catch up vaccination ) bila diperlukan. 9. Berikan vaksin dengan teknik yang benar. Lihat uraian mengenai pemilihan jarum suntik, sudut arah jarum suntik, lokasi suntikan, dan posisi bayi/anak penerima vaksin. 10. Setelah pemberian vaksin, kerjakan hal-hal sebagai berikut : Berilah petunjuk ( sebaiknya tertulis ) kepada orang tua atau pengasuh apa yang harus dikerjakan dalam kejadian reaksi yang biasa atau reaksi ikutan yang lebih berat. Catat imunisasi dalam rekam medis pribadi dan dalam catatan klinis. Catatan imunisasi secara rinci harus disampaikan kepada Dinas Kesehatan bidang Pemberantasan Penyakit Menular. Periksa status imunisasi anggota keluarga lainnya dan tawarkan vaksinasi untuk mengejar ketinggalan, bila diperlukan. 11

Penyimpanan Aturan umum untuk sebagian besar vaksin, Bahwa vaksin harus didinginkan pada temperatur 2-8C dan tidak membeku. Sejumlah vaksin ( DPT, Hib, hepatitis B, dan hepatitis A ) menjadi tidak aktif bila beku

Tempat suntikan yang dianjurkan Paha anterolateral adalah bagian tubuh yang dianjurkan untuk vaksinasi pada bayi-bayi dan anak-anak umur dibawah 12 bulan. Region deltoid adalah alternative untuk vaksinasi pada anak-anak yang lebih besar (mereka yang dapat berjalan) dan orang dewasa.

Sejak akhir 1980, WHO telah memberi rekomendasi bahwa daerah anterolateral paha adalah bagian yang dianjurkan untuk vaksinasi bayi-bayidan tidak pada pantat (daerah gluteus) untuk menghindari resiko kerusakan saraf iskhiadika (nervus ischiadicus).

Resiko kerusakan saraf ischiadika akibat suntikan di daerah gluteus lebih banyak dijumpai pada bayi karena variasi posisi saraf tersebut, masa otot lebih tebal, sehingga pada vaksinasi dengan suntikan intramuscular di daerah gluteal dengan tidak disengaja menghasilkan suntikan subkutan dengan reaksi local yang lebih berat. Vaksinasi hepatitis B dan rabies bila disuntikkan di daerah gluteal kurang imunogenik; hal ini berlaku untuk semua umur. Sedangkan untuk vaksin BCG, harus disuntik pada kulit diatas insersi otot deltoid (lengan atas), sebab suntikan-suntikan diatas puncak pundak memeberi resiko terjadinya keloid.

Posisi anak dan lokasi suntikan Alasan memilih otot vastus lateralis pada bayi dan anak umur di bawahh 12 bulan adalah: Menghindari resiko kerusakan saraf ischiadika pada suntikan daerah gluteal. Daerah deltoid pada bayi dianggap tidak cukup tebal untuk menyerap suntikan secara adekuat. Sifat imunogenesitas vaksin hepatitis B dan rabies berkurang bila disuntikkan di daerah gluteal.

12

Menghindari resiko reaksi local dan terbentuk pembengkakan ditempat suntikan yang menahun.

Menghindari lapisan lemak subkutan yang tebal pada paha bagian anterior.

Vastus lateralis, posisi anak dan lokasi suntikan Vastus lateralis adalah otot bayi yang tebal dan besar, yang mengisi bagian anterolateral paha. Vaksin harus disuntikkan ke dalam batas antara sepertiga otot bagian atas dan tengah yang merupakan bagian yang paling tebal dan padat. Jarum harus membuat sudut 450-600 terhadap permukaan kulit, dengan jarum kearah lutut, maka jarum tersebut harus menembus kulit selebar ujung jari diatas (kearah proksiimal) batas hubungan bagian atas dan sepertiga tengah otot.

Gambar 3. Diagram Lokasi Suntikan Yang Dianjurkan pada otot paha.

Gambar 4. Potongan Lintang Paha : Menunjukkan Bagian Yang Disuntik 13

Lokasi suntikan pada vastus lateralis Letakkan bayi di atas tempat tidur atau meja, bayi ditidurkan terlentang. Tungkai bawah sedikit di tekuk dengan fleksi pada lutut. Cari trochanter mayor femur dan condylus lateralis dengan cara palpasi, tarik garis yang menghubungkan kedua tempat tersebut. Tempat suntikan vaksin ialah batas sepertiga bagian atas dan tengah pada garis tersebut (bila tungkai bawah sedikit menekuk, maka lekukan yang dibuat oleh tractus iliotibialis menyebabkan garis bagian distal lebih jelas) Supaya vaksin yang disuntikkan masuk ke dalam otot pada batas antara sepertiga bagian atas dan tengah, jarumditusukkan satu jari diatas batas tersebut.

Deltoid, posisi anak dan lokasi suntikan Posisi seorang anak yang paling nyaman untuk suntikkan di daerah deltoid ialah duduk diatas pangkuan ibu atau pengasuhnya. Lengan yang akan disuntik dipegang menempel pada tubuh bayi,sementara lengan lainnya diletakkan di belaknag tubuh orang tua atau pengasuh. Lokasi deltoid yang benar adalah penting supaya vaksinasi berlangsung aman dan berhasil. Posisi yang salah akan menghasilkan suntikan subkutan yang tidak benar dan meningkatkan resiko penetrasi saraf.

Untuk mendapatkan lokasi deltoid yang baik, membuka lengan atas dari pundak ke siku. Lokasi yang paling baik adalah pada tengah otot, yaitu separuh antara akromion dan insersi pada tengah humerus. Jarum suntik ditusukkan membuat sudut 450-600 mengarah pada akromion. Bila bagian bawah deltoid yang disuntik, ada resiko trauma saraf radialis karena saraf tersebut melingkar dan muncul dari otot trisep.

Perhatian untuk suntikan subkutan Arah jarum 450 terhadap kulit. Cubit tebal untuk suntikan subkutan Aspirasi semprit sebelum vaksin disuntikkan. 14

Untuk suntikan multipel diberikan pada bagian ekstrimitas berbeda.

Gambar 5. Lokasi Penyuntikan Subkutan Pada Bayi (a) dan Anak Besar (b)

Perhatian untuk penyuntikan intramuscular Pakai jarum yang cukup panjang untuk mencapai otot. Suntik dengan arah jarum 450 600 , lakukan dengan cepat. Tekan kulit sekitar tempat suntikan dengan ibu jari dan telunjuk saat jaruum ditusukkan. Aspirasi semprit sebelum vaksin disuntikkan, untuk meyakinkan tidak masuk dalam vena. Apabila terdapat darah buang dan ulangi dengan suntikan baru. Untuk suntikan multipel diberikan pada bagian ekstremitas berbeda.

Gambar 6. Lokasi Penyuntikan intramuscular Pada Bayi (a) dan Anak Besar (b)

15

Pemberian dua atau lebih vaksin pada hari yang sama Pemberian vaksin-vaksin yang berbeda pada umur yang sesuai, boelh diberikan pada hari yang sama. Vaksin inactivated dan vaksin virus hidup, khususnya vaksin yang dianjurkan dalam jadwal imunisasi, pada umumnya dapat diberikan pada lokasi yang berbeda saat hari kunjungan yang sama. Misalnya pada kesempatan yang sama dapat diberikan vaksin-vaksin DPT, Hib, hepatitis B, dan polio.

Lebih dari satu macam vaksin virus hidup dapat diberikan pada hari yang sama, tetapi apabila hanya satu macam yang diberikan, vaksin virus hidup yang kedua tidak boleh diberikan kurang dari 2 minggu dari vaksin yang pertama, sebab respons terhadap vaksin yang kedua mungkin telah banyak berkurang. Vaksin-vaksin yang berbeda tidak boleh dicampur dalam satu semprit. Vaksin-vaksin yang berbeda yangdiberikan pada seseorang pada hari yang sama harus disuntikkan pada lokasi yang berbeda dengan menggunakan semprit yang berbeda. Keadaan Bayi atau Anak sebelum Imunisasi Orangtua atau pengantar bayi/anak dianjurkan mengingat dan

memberitahukan secara lisan atau melalui dafatr isian tentang hal-hal yang berkaitan dengan indikasi kontra atau risiko kejadian ikutan pasca imunisasi tersebut di bawah ini : Pernah mengalami kejadian ikutan pasca imunisasi yang berat ( memerlukan pengobatan khusus atau perlu perawatan di rumah sakit ). Alergi terhadap bahan yang juga terdapat di dalam vaksin ( misalnya neomisin ). Sedang mendapat pengobatan Steroid jangka panjang, radioterapi, atau kemoterapi. Tinggal serumah dengan orang lain yang imunitasnya menurun ( leukimia, kanker, HIV/AIDS ). Tinggal serumah dengan orang lain dalam pengobatan yang menurunkan imunitas ( radioterapi, kemoterapi, atau terapi steroid ). Pada bulan lalu mendapat imunisasi yang berisi vaksin virus hidup ( vaksin campak, poliomielitis, rubela ). Pada 3 bulan yang lalu mendapat imunoglobulin atau tranfusi darah. Menderita penyakit susunan syaraf pusat 16

Pencatatan Imunisasi dan Kartu Imunisasi Setiap bayi/anak sebaiknya mempunyai dokumentasi imunisasi seperti kartu imunisasi yang dipegang oleh orangtua atau pengasuhnya. Setiap dokter atau tenaga paramedis yang memberikan imunisasi harus mencatat semua data-data yang relevan pada kartu imunisasi tersebut. Orangtua/pengasuh yang membawa anak ke tenaga medis atau paramedis untuk imunisasi diharapkan senantiasa membawa kartu imunisasi tersebut.

Data yang harus dicatat pada kartu imunisasi adalah sebagai berikut : Jenis vaksin yang diberikan, termasuk nomor batch dan nama dagang Tanggal melakukan vaksinasi Efek samping bila ada Tanggal vaksinasi berikutnya Nama tenaga medis/paramedis yang memberikan vaksin

17

BAB III IMUNISASI WAJIB


1. BCG Bacille Calmete-Guerin adalah vaksin hidup yang dibuat dari Mycobacterium Bovis yang dibiak berulang selama 1-3 tahun sehingga didapatkan basil yang tidak virulen tetapi masih mempunyai imunogenitas. Vaksinasi BCG menimbulkan sensitivitas terhadap tuberculin. Imunisasi BCG diberikan pada umur sebelum 3 bulan. Namun untuk mencapai cakupan yang lebih luas, Departemen Kesehatan menganjutkan pemberian imunisasi BCG pada umur antara 0-12 bulan. Dosis 0,05 ml untuk bayi kurang dari 1 tahun dan 0,1 ml untuk anak (>1 tahun). Vaksin BCG diberikan secara intrakutan di daerah lengan kanan atas pada insersio M.Deltoideus sesuai anjuran WHO, tidak ditempat lain (bokong, paha) . Vaksin BCG tidak dapat mencegah infeksi tuberculosis, namun dapat mencegah komplikasinya. Apabila BCG diberikan pada umur lebih dari 3 bulan, sebaiknya dilakukan uji tuberculin terlebih dahulu. Vaksin BCG diberikan apabila uji tuberculin negatif.. Efek proteksi timbul 8-12 minggu setelah penyuntikkan. Berhubungan dengan beberapa factor yaitu mutu vaksin yang dipakai, lingkungan dengan Mycobacterium atipik atau factor pejamu (umur, keadaan gizi dan lain-lain) Vaksin BCG tidak boleh terkena sinar matahari, harus disimpan pada suhu 280C, tidak boleh beku. Vaksin yang telah diencerkan harus dipergunakan dalam waktu 8 jam.

a. Kejadian ikutan pasca imunisasi vaksinasi BCG Penyuntikan BCG intradermal akan menimbulkan ulkus local yang superficial 3 minggu setelah penyuntikkan. Ulkus tertutup krusta, akan sembuh dalam 2-3 bulan, dan meninggalkan parut bulat dengan diameter 4-8 mm, apabila dosis terlalu tinggi maka ulkus yang timbul lebih besar, namun apabila penyuntikkan terlalu dalam maka parut yang terjadi tertarik ke dalam.

18

1. Limfadenitis Limfadenitis supuratif di aksila atau di leher kadang-kadang dijumpai setelah penyuntikan BCG. Limfadenitis akan sembuh sendiri, jadi tidak perlu diobati. Apabila limfadenitis melekat pada kulit atau timbul fistula maka dapat dibersihkan (drainage) dan diberikan obat anti tuberculosis oral. Pemberian obat anti tuberculosis sistemik tidak efektif.

2. BCG-itis diseminasi Jarang terjadi, seringkali berhubungan dengan imunodefisiensi berat. Komplikasi lainnya adalah eritema nodosum, iritis, lupus vulgaris dan osteomielitis. Komplikasi ini harus diobati dengan kombinasi obat anti tuberculosis.

b. Kontra indikasi BCG Reaksi uji tuberculin >5 mm. Menderita infeksi HIV atau dengan resiko tinggi infeksi HIV,

imunokompromais akibat penggunaan kortikosteroid, obat imunosupresif, mendapat pengobatan radiasi, penyakit keganasan yang mengenai sumsum tulang atau system limfe. Menderita gizi buruk. Menderita demam tinggi. Menderita infeksi kulit yang luas. Pernah sakit tuberculosis. Kehamilan.

c. Rekomendasi BCG diberikan pada bayi < 2bulan. Pada bayi yang kontak erat dengan penderita TB denagn BTA +3 sebaiknya diberikan INH profilaksis dulu, apabila pasien kontak sudah tenang bayi dapat diberi BCG.

19

2. Hepatitis B Vaksin hepatitis B (hep B) harus segera diberikan setelah lahir, mengingat vaksinasi hepB merupakan upaya pencegahan yang sangat efektif untuk memutuskan rantai penularan melalui transmisi maternal dari ibu kepada bayinya. Vaksin diberikan secara intramuscular dalam. Pada neonatus dan bayi diberikan di anterolateral paha, sedangkan pada anak besar dan dewasa, diberikan di region deltoid

a. Imunisasi aktif 1. Imunisasi hepB-1 diberikan sedini mungkin (dalam waktu 12 jam) setelah lahir. 2. Imunisasi hepB-2 diberikan setelah 1 bulan (4 minggu) dari imunisasi hepB-1 yaitu saat bayi berumur 1 bulan. Untuk mendapat respon imun optimal, interval imunisasi hepB-2 dengan hepB-3 minimal 2 bulan, terbaik 5 bulan. Maka imunisasi hepB-3 diberikan pada umur 3-6 bulan. 3. Bila sesudah dosis pertama, imunisasi terputus, segera berikan imunisasi kedua. Sedangkan imunisasi ketiga diberikan dengan jarak terpendek 2 bukan dari imunisasi kedua. 4. Bila dosis ketiga terlambat, diberikan segera setelah memungkinkan. 5. Bayi lahir dari ibu dengan Hbs-Ag yang tidak diketahui, hepB-1 harus diberikan dalam waktu 12 jam setelah lahir dan dilanjutkan pada umur 1 bulan dan 3-6 bulan. Apabila semula status Hbs-Ag ibu tidak diketahui dan ternyata dalam perjalanan selanjutnya diketahui ibu dengan Hbs-Ag positif, maka ditambahkan hepatitis B immunoglobulin (HBIg) 0,5 ml sebelum bayi berumur 7 hari. 6. Bayi lahir dari ibu dengan Hbs-Ag positif, diberikan vaksin hepB-1 dan HBIg 0,5 ml secara bersamaan dalam waktu 12 jam setelah lahir. 7. Anak dari ibu pengidap hepatitis B, yang telah memperoleh imunisasi dasar 3x pada masa bayi, maka pada saat usia 5 tahun tidak perlu imunisasi ulang (booster). Hanya dilakukan pemeriksaan kadar anti HBs 8. Apabila sampai dengan usia 5 tahun anak belum pernah memperoleh imunisasi hepatitis B, maka secepatnya diberikan imunisasi Hep B dengan jadwal 3x pemberian (catch up vaccination).

20

Catch up vaccination merupakan upaya imunisasi pada anak atau remaja yang belum pernah di imunisasi atau terlambat > 1 bulan dari jadwal yang seharusnya. Khusus pada imunisasi hepatitis B, imunisasi catch up ini diberikan dengan interval minimal 4 minggu antara dosis pertama dan kedua, sedangkan interval antara dosis kedua dan ketiga minimal 8 minggu atau 16 minggu sesudah dosis pertama. Ulangan imunisasi (hepB-4) dapat dipertimbangkan pada umur 10-12 tahun, apabila kadar pencegahan belum tercapai (anti Hbs< 10g/ml).

b. Imunisasi pasif Hepatitis B immune globulin (HBIg) dalam waktu singkat akan memeberikan proteksi meskipun hanya untuk jangka pendek (3-6 bulan). HBIg hanya diberikan pada kondisi pasca paparan. Sebaiknya HBIg diberikan bersama vaksin VHB sehingga proteksinya berlangsung lama. Pada needle stick injury maka diberikan HBIg 0,06 ml/kg maksimum 5 ml dalam 48 jam pertama setelah kontak. Pada penularan dengan cara kontak seksual HBIg diberikan 0,06 ml/kg maksimum 5 ml dalam waktu <14 hari sesudah kontak terakhir.

c. Efek samping Umumnya berupa reaksi local yang ringan dan bersigat sementara. Kadangkadang dapat menimbulkan demam ringan untuk 1-2 hari.

d. Kontra indikasi Tidak ada kontra ondikasi yang absolute.

3. DTwP (whole-cell pertussis) dan DTap (acelluler pertussis) Imunisasi DTP primer diberikan 3 kali sejak umur 2 bulan (DTP tidak boleh diberikan sebelum umur 6 minggu) dengan interval 4-8 minggu. Interval terbaik diberikan 8 minggu, jadi DTP-1 diberikan pada umur 2 bulan, DTP-2 pada umur 4 bulan dan DTP-3 padaumur 6 bulan. Ulangan booster DTP selanjutnya diberikan satu tahun setelah DTP-3 yaitu pada umur 18-24 bulan dan DTP-5 pada saat masuk sekolah umur 5 tahun. Pada booster umur 5 tahun harus tetap diberikan vaksin dengan komponen pertusis (sebaiknya diberikan DTaP untuk mengurangi demam pasca imunisasi) 21

mengingat kejadian pertusis pada dewasa muda meningkat akibat ambang proteksi telah sangat rendah sehingga dapat menjadi sumber penularan pada bayi dan anak. DT-5 diberikan pada kegiatan imunisasi di sekolah dasar. Ulangan DT-6 diberikan pada 12 tahun, mengingat masih dijumpai kasus difteria pada umur lebih dari 10 tahun. Dosis DTwP atau DTaP atau DT adalah 0,5 ml, intramuscular, baik untuk imunisasi dasar maupun ulangan. Jadwal untuk imunisasi rutin pada anak, dianjurkan pemberian 5 dosis pada usia 2,4,6,15-18 bulan dan usia 5 tahun atau saat masuk sekolah. Dosis ke 4 harus diberikan sekurang-kurangnya 6 bulan setelah dosis ke 3. kombinasi toksoid difteria dan tetanus(DT) yang mengandung 10-12 Lf dapat diberikan pada anak yang memiliki kontra indikasi terhadap pemberian yang pertusis.

a. Kejadian ikutan pasca imunisasi DTP Reaksi local kemerahan, bengkak dan nyeri pada lokasi injeksi terjadi pada separuh penerima DTP. Proporsi Demam ringan dengan reaksi local sama dan diantaranya dapat mengalami hiperpireksia. Anak gelisah dan menangis terus menerus selama beberapa jam paska suntikan (inconsolable crying). Dari suatu penelitian ditemukan adanya kejang demam sesudah vaksinasi yang dihubungkan dengan demam yang terjadi. Kejadian ikutan yang paling serius adalah terjadinya ensefalopati akut atau reaksi anafilaksis dan terbukti disebabkan oleh pemberian vaksin pertusis.

b. Kontra indikasi Saat ini didapatkan dua hal yang diyakini sebagai kontra indikasi mutlak terhadap pemberian vaksin pertusis baik whole cell maupun acelular. Yaitu : anafilaksis pada pemberian vaksin sebelumnya. Ensefalopati sesudah pemberian vaksin pertusis sebelumnya. Keadaan lain dapat dinyatakan sebagai perhatian khusus (precaution). Misalnya pemberian vaksin pertusis berikutnya bila pada pemberian pertama dijumpai riwayat hiperpireksia, keadaan hipotonik-hiporesponsif dalam 48

22

jam, anak menangis terus menerus selama 3 jam dan riwayat kejang dalam 3 hari sesudah imunisasi DTP Riwayat kejang dalam keluarga dan kejang yang tidak berhubungan dengan pemberian vaksin sebelumnya, kejadian ikutan paska imunisasi atau alergi terhadap vaksin bukanlah suatu indikasi kontra terhadap pemberian vaksin DTaP. Walaupun demikian keputusan untuk pemberian vaksin pertusis harus dipertimbangkan secara individual dengan memperhitungkan keuntungan dan resiko pemberiannya.

c. Vaksin pertusis a-seluler Vaksin pertusis aseluler adalah vaksin pertusis yang berisi komponen spesifik toksin dari Bordetellapertusis yang dipilih sebagai dasar yang berguna dalam patogenesis pertusis dan perannya dalam memicu antibody yang berguna untuk pencegahan terhadap pertusis secara klinis.

4. POLIO Poliomielitis atau polio, adalah penyakit paralisis atau lumpuh yang disebabkan oleh virus. Agen pembawa penyakit ini, sebuah virus yang dinamakan poliovirus (PV), masuk ke tubuh melalui mulut, mengifeksi saluran usus. Virus ini dapat memasuki aliran darah dan mengalir ke sistem saraf pusat menyebabkan melemahnya otot dan kadang kelumpuhan (paralisis).

Gambar 4.1. Anak dengan Polio 23

Poliovirus adalah virus RNA kecil yang terdiri atas tiga strain berbeda dan amat menular. Virus akan menyerang sistem saraf dan kelumpuhan dapat terjadi dalam hitungan jam. Polio menyerang tanpa mengenal usia, lima puluh persen kasus terjadi pada anak berusia antara 3 hingga 5 tahun. Masa inkubasi polio dari gejala pertama berkisar dari 3 hingga 35 hari. Anak-anak kecil yang terkena polio seringkali hanya mengalami gejala ringan dan menjadi kebal terhadap polio. Karenanya, penduduk di daerah yang memiliki sanitasi baik justru menjadi lebih rentan terhadap polio karena tidak menderita polio ketika masih kecil. Vaksinasi pada saat balita akan sangat membantu pencegahan polio di masa depan karena polio menjadi lebih berbahaya jika diderita oleh orang dewasa. Orang yang telah menderita polio bukan tidak mungkin akan mengalami gejala tambahan di masa depan seperti layu otot; gejala ini disebut sindrom postpolio. Jenis polio: 1. Polio non-paralisis 2. Polio paralisis spinal 3. Polio bulbar

a. Imunisasi Polio Vaksin efektif pertama dikembangkan oleh Jonas Salk. Salk menolak untuk mematenkan vaksin ini karena menurutnya vaksin ini milik semua orang seperti halnya sinar matahari. Namun vaksin yang digunakan untuk inokulasi masal adalah vaksin yang dikembangkan oleh Albert Sabin. Inokulasi pencegahan polio anak untuk pertama kalinya diselenggarakan di Pittsburgh, Pennsylvania pada 23 Februari 1954. Polio hilang di Amerika pada tahun 1979. Belum ada pengobatan efektif untuk membasmi polio. Penyakit yang dapat menyebabkan kelumpuhan ini, disebabkan virus poliomyelitis yang sangat menular. Penularannya bias lewat makanan/minuman yang tercemar virus polio. Bisa juga lewat percikan ludah/air liur penderita polio yang masuk ke mulut orang sehat. Imunisasi polio memberikan kekebalan aktif terhadap penyakit poliomielitis. Polio bisa menyebabkan nyeri otot dan kelumpuhan pada salah satu maupun kedua lengan/tungkai. Polio juga bisa menyebabkan kelumpuhan pada otot-otot pernafasan dan otot untuk menelan. Polio bisa menyebabkan kematian.

24

Terdapat 2 macam vaksin polio: 1. IPV (Inactivated Polio Vaccine, Vaksin Salk), mengandung virus polio yang telah dimatikan dan diberikan melalui suntikan. 2. OPV (Oral Polio Vaccine, Vaksin Sabin), mengandung vaksin hidup yang telah dilemahkan dan diberikan dalam bentuk pil atau cairan. Bentuk trivalen (TOPV) efektif melawan semua bentuk polio, bentuk monovalen (MOPV) efektif melawan 1 jenis polio.Imunisasi dasar polio diberikan 4 kali (polio I,II, III, dan IV) dengan interval tidak kurang dari 4 minggu. Imunisasi polio ulangan diberikan 1 tahun setelah imunisasi polio IV, kemudian pada saat masuk SD (5-6 tahun) dan pada saat meninggalkan SD (12 tahun). Di Indonesia umumnya diberikan vaksin Sabin. Vaksin ini diberikan sebanyak 2 tetes (0,1 mL) langsung ke mulut anak atau dengan menggunakan sendok yang berisi air gula. Dosis pertama dan kedua diperlukan untuk menimbulkan respon kekebalan primer, sedangkan dosis ketiga dan keempat diperlukan untuk meningkatkan kekuatan antibody sampai pada tingkat yang tertinggi. Kepada orang yang pernah mengalami reaksi alergi hebat (anafilaktik) setelah pemberian IPV, streptomisin, polimiksin B atau neomisin, tidak boleh diberikan IPV. Sebaiknya diberikan OPV. Kepada penderita gangguan sistem kekebalan (misalnya penderita AIDS, infeksi HIV, leukemia, kanker, limfoma), dianjurkan untuk diberikan IPV. IPV juga diberikan kepada orang yang sedang menjalani terapi penyinaran, terapi kanker, kortikosteroid atau obat imunosupresan lainnya. IPV bisa diberikan kepada anak yang menderita diare. Jika anak sedang menderita penyakit ringan atau berat, sebaiknya pelaksanaan imunisasi ditunda sampai mereka benar-benar pulih. IPV bisa menyebabkan nyeri dan kemerahan pada tempat penyuntikan, yang biasanya berlangsung hanya selama beberapa hari. Masa inkubasi virus antara 6-10 hari. Setelah demam 2-5 hari, umumnya akan mengalami kelumpuhan mendadak pada salah satu anggota gerak. Namun tak semua orang yang terkena virus polio akan mengalami kelumpuhan, tergantung keganasan virus polio yang menyerang dan daya tahan tubuh si anak. Imunisasi polio akan memberikan kekebalan terhadap serangan virus polio.

25

b. Usia Pemberian: Saat lahir (0 bulan), dan berikutnya di usia 2, 4, 6 bulan. Dilanjutkan pada usia 18 bulan dan 5 tahun. Kecuali saat lahir, pemberian vaksin polio selalu dibarengi dengan vaksin DTP.

c. Cara Pemberian: Bisa lewat suntikan (Inactivated Poliomyelitis Vaccine/IPV), atau lewat mulut (Oral Poliomyelitis Vaccine/OPV). Di tanah air, yang digunakan adalah OPV.

d. Efek Samping: Hampir tak ada. Hanya sebagian kecil saja yang mengalami pusing, diare ringan, dan sakit otot. Kasusnya pun sangat jarang. Dapat mungkin terjadi berupa kelumpuhan dan kejang-kejang.

e. Tingkat Kekebalan: Dapat mencekal hingga 90%.

f. Indikasi Kontra: Tak dapat diberikan pada anak yang menderita penyakit akut atau demam tinggi (di atas 380C); muntah atau diare; penyakit kanker atau keganasan; HIV/AIDS; sedang menjalani pengobatan steroid dan pengobatan radiasi umum; serta anak dengan mekanisme kekebalan terganggu.

5. CAMPAK (MORBILLI) Penyakit Campak (Rubeola, Campak 9 hari, measles) adalah suatu infeksi virus yang sangat menular, yang ditandai dengan demam, batuk, konjungtivitis (peradangan selaput ikat mata/konjungtiva) dan ruam kulit. Penyakit ini disebabkan karena infeksi virus campak golongan Paramyxovirus.

26

Gambar 8. Anak dengan Campak

Sebelum vaksinasi campak digunakan secara meluas, wabah campak terjadi setiap 2-3 tahun, terutama pada anak-anak usia pra-sekolah dan anak-anak SD. Jika seseorang pernah menderita campak, maka seumur hidupnya dia akan kebal terhadap penyakit ini. Tidak ada pengobatan khusus untuk campak. Anak sebaiknya menjalani tirah baring. Untuk menurunkan demam, diberikan asetaminofen atau ibuprofen. Jika terjadi infeksi bakteri, diberikan antibiotik. Vaksin campak merupakan bagian dari imunisasi rutin pada anak-anak. Vaksin biasanya diberikan dalam bentuk kombinasi dengan gondongan dan campak Jerman (vaksin MMR/mumps, measles, rubella), disuntikkan pada otot paha atau lengan atas. Jika hanya mengandung campak, vaksin diberikan pada umur 9 bulan. Dalam bentuk MMR, dosis pertama diberikan pada usia 12-15 bulan, dosis kedua diberikan pada usia 4-6 tahun. selain itu penderita juga harus disarankan untuk istirahat minimal 10 hari dan makan makanan yang bergizi agar kekebalan tubuh meningkat.

a. Imunisasi Campak Sebenarnya, bayi sudah mendapat kekebalan campak dari ibunya. Namun seiring bertambahnya usia, antibodi dari ibunya semakin menurun sehingga butuh antibody tambahan lewat pemberian vaksin campak. Apalagi penyakit campak mudah menular, dan mereka yang daya tahan tubuhnya lemah gampang sekali terserang penyakit yang disebabkan virus Morbili ini. Untungnya, campak hanya diderita sekali seumur hidup. Jadi, sekali terkena campak, setelah itu biasanya tak akan terkena lagi.

27

Imunisasi campak efektif untuk memberi kekebalan terhadap penyakit campak sampai seumur hidup. Penyakit campak yang disebabkan oleh virus yang ganas ini dapat dicegah jika seseorang mendapatkan imunisasi campak, minimal dua kali yakni semasa usia 6 59 bulan dan masa SD (6 12 tahun). Upaya imunisasi campak tambahan yang dilakukan bersama dengan imunisasi rutin terbukti dapat menurunkan kematian karena penyakit campak sampai 48%.Tanpa imunisasi, penyakit ini dapat menyerang setiap anak, dan mampu menyebabkan cacat dan kematian karena komplikasinya seperti radang paru (pneumonia); diare, radang telinga (otitis media) dan radang otak (ensefalitis) terutama pada anak dengan gizi buruk. Penularan campak terjadi lewat udara atau butiran halus air ludah (droplet) penderita yang terhirup melalui hidung atau mulut. Pada masa inkubasi yang berlangsung sekitar 10-12 hari, gejalanya sulit dideteksi. Setelah itu barulah muncul gejala flu (batuk, pilek, demam), mata kemerah-merahan dan berair, si kecil pun merasa silau saat melihat cahaya. Kemudian, di sebelah dalam mulut muncul bintikbintik putih yang akan bertahan 3-4 hari. Beberapa anak juga mengalami diare. Satudua hari kemudian timbul demam tinggi yang turun naik, berkisar 38-40,5C. Seiring dengan itu, barulah keluar bercak-bercak merah yang merupakan ciri khas penyakit ini. Ukurannya tidak terlalu besar, tapi juga tak terlalu kecil. Awalnya hanya muncul di beberapa bagian tubuh saja seperti kuping, leher, dada, muka, tangan dan kaki. Dalam waktu 1 minggu, bercakbercak merah ini akan memenuhi seluruh tubuh. Namun bila daya tahan tubuhnya baik, bercak-bercak merah ini hanya di beberapa bagian tubuh saja dan tidak banyak. Jika bercak merah sudah keluar, umumnya demam akan turun dengan sendirinya. Bercak merah pun akan berubah jadi kehitaman dan bersisik, disebut hiperpigmentasi. Pada akhirnya bercak akan mengelupas atau rontok atau sembuh dengan sendirinya. Umumnya, dibutuhkan waktu hingga 2 minggu sampai anak sembuh benar dari sisa-sisa campak. Dalam kondisi ini, tetaplah meminum obat yang sudah diberikan dokter. Jaga stamina dan konsumsi makanan bergizi. Pengobatannya bersifat simptomatis, yaitu mengobati berdasarkan gejala yang muncul. Hingga saat ini, belum ditemukan obat yang efektif mengatasi virus campak. Jika tak ditangani dengan baik campak bisa sangat berbahaya. Bisa terjadi komplikasi, terutama pada campak yang berat. Ciri-ciri campak berat, selain bercaknya di sekujur tubuh, 28

gejalanya tidak membaik setelah diobati 1-2 hari. Komplikasi yang terjadi biasanya berupa radang paru-paru (broncho pneumonia) dan radang otak (ensefalitis). Komplikasi inilah yang umumnya paling sering menimbulkan kematian pada anak.

b. Deskripsi Vaksin campak merupakan vaksin virus hidup yang dilemahkan. Setiap dosis (0,5ml) mengandung tidak kurang dari 1000 infective unit virus strain CAM 70, dan tidak lebih dari 100 mcg residu kanamycin dan 30 mcg residu erythromycin. Vaksin ini berbentuk vaksin beku kering yang harus dilarutkan hanya dengan pelarut steril yang tersedia secara terpisah untuk tujuan tersebut. Vaksin ini telah memenuhi persyaratan WHO untuk vaksin campak.

c. Indikasi Untuk Imunisasi aktif terhadap penyakit campak.

d. Komposisi Tiap dosis vaksin yang sudah dilarutkan mengandung : Virus Campak >= 1.000 CCID50, Kanamycin sulfat <= 100 mcg, Erithromycin <= 30 mcg

e. Dosis dan Cara Pemberian Imunisasi campak terdiri dari dosis 0,5 ml yang disuntikkan secara SUBKUTAN, lebih baik pada lengan atas. Pada setiap penyuntikan harus menggunakan jarum dan syringe yang steril. Vaksin yang telah dilarutkan hanya dapat digunakan pada hari itu juga (maksimum untuk 8 jam) dan itupun berlaku hanya jika vaksin selama waktu tersebut disimpan pada suhu 2-8C serta terlindung dari sinar matahari. Pelarut harus disimpan pada suhu sejuk sebelum digunakan. Satu dosis vaksin campak cukup untuk membentuk kekebalan terhadap infeksi.Di negara-negara dengan angka kejadian dan kematian karena penyakit campak tinggi pada tahun pertama setelah kelahiran, maka dianjurkan imunisasi terhadap campak dilakukan sedini mungkin setelah usia 9 bulan (270 hari). Di negaranegara yang kasus campaknya sedikit, maka imunisasi boleh dilakukan lebih dari usia tersebut.

29

Vaksin campak tetap aman dan efektif jika diberikan bersamaan dengan vaksin-vaksin DT, Td, TT, BCG, Polio, (OPV dan IPV), Hepatitis B, dan Yellow Fever.

f. Usia & Jumlah Pemberian: Sebanyak 2 kali; 1 kali di usia 9 bulan, 1 kali di usia 6 tahun. Dianjurkan, pemberian campak ke-1 sesuai jadwal. Selain karena antibodi dari ibu sudah menurun di usia 9 bulan, penyakit campak umumnya menyerang anak usia balita. Jika sampai 12 bulan belum mendapatkan imunisasi campak, maka pada usia 12 bulan harus diimunisasi MMR (Measles Mumps Rubella).

g. Efek Samping: Umumnya tidak ada. Pada beberapa anak, bisa menyebabkan demam dan diare, namun kasusnya sangat kecil. Biasanya demam berlangsung seminggu. Kadang juga terdapat efek kemerahan mirip campak selama 3 hari.

h. Kontraindikasi Terdapat beberapa kontraindikasi yang berkaitan dengan pemberian vaksin campak. Walaupun berlawanan penting untuk mengimunisasi anak yang mengalami malnutrisi. Demam ringan, infeksi ringan pada saluran nafas atau diare, dan beberapa penyakit ringan lainnya jangan dikategorikan sebagai kontraindikasi. Kontraindikasi terjadi bagi individu yang diketahui alergi berat terhadap kanamycin dan erithromycin. Karena efek vaksin virus campak hidup terhadap janin belum diketahui, maka wanita hamil termasuk kontraindikasi. Individu pengidap virus HIV (Human Immunodficiency Virus). Vaksin Campak kontraindikasi terhadap individu-individu yang mengidap penyakit immune deficiency atau individu yang diduga menderita gangguan respon imun karena leukimia, lymphoma atau generalized malignancy. Bagaimanapun penderita HIV, baik yang disertai gejala ataupun tanpa gejala harus diimunisasi vaksin campak sesuai

i. Jadwal yang ditentukan. Bagi anak-anak yang sedang sakit berat seperti diare dan demam tinggi, menurut Jane, diinstruksikan tidak perlu diimunisasi campak. Para petugas cukup 30

mencatat namanya. Apabila anak tersebut telah sembuh, petugas akan mendatangi rumahnya untuk diberi imunisasi. j. Kemasan Vaksin tersedia dalam kemasan vial 10 dosis + 5 ml pelarut dalam ampul

31

BAB IV IMUNISASI YANG DIANJURKAN


1. Imunisasi HIB Sesuai namanya, imunisasi ini bermanfaat untuk mencekal kuman HiB (Haemophyllus influenzae type B). Kuman ini menyerang selaput otak sehingga terjadilah radang selaput otak yang disebut meningitis. Meningitis sangat berbahaya karena dapat merusak otak secara permanen sampai kepada kematian. Selain mengakibatkan radang selaput otak, kuman ini juga dapat menyebabkan radang paru dan radang epiglotis. Terdapat dua jenis vaksin Hib konjungat yang beredar di Indonesia yaitu vaksin Hib yang berisi PRP-T (capsular polysaccharide polyriibosyl ribitol phosphate- konjugasi dengan protein tetanus) dan PRP-OMP (PRP berkonjugasi outer membrane protein complex). a. Jadwal imunisasi Vaksin Hib yang berisi PRT-P diberikan umur 2,4, dan 6 bulan. Vaksin Hib yang berisi PRP-OMP diberikan pada umur 2 dan 4 bulan, dosis ketiga (6 bulan) tidak diperlukan. Vaksin Hib dapat diberikan dalam bentuk vaksin kombinasi (DTwP/Hib, DTaP/Hib/IPV)

b. Dosis Satu dosis Hib berisi 0,5 ml, diberikan secara intramuscular. Tersedia vaksin kombinasi (DTwP/Hib, DTaP/Hib, DTaP/Hib/IPV (vaksin kombinasi yang beredar berisi vaksin Hib PRT-P) dalam kemasan prefilled syringe 0,5 ml.

c. Ulangan Vaksin Hib baik PRT-P ataupun PRP-OMP perlu diulang pada umur 18 bulan. Apabila anak datang pada umur 1-5 tahun, Hib hanya diberikan satu kali.

32

2. Imunisasi PCV Jenis imunisasi ini tergolong baru di Indonesia. PCV atau Pneumococcal Vaccine alias imunisasi pneumokokus memberikan kekebalan terhadap serangan penyakit IPD (Invasive Peumococcal Diseases), yakni meningitis (radang selaput otak), bakteremia (infeksi darah), dan pneumonia (radang paru). Ketiga penyakit ini disebabkan kuman Streptococcus Pneumoniae atau Pneumokokus yang penularannya lewat udara. Gejala yang timbul umumnya demam tinggi, menggigil, tekanan darah rendah, kurang kesadaran, hingga tak sadarkan diri. Penyakit IPD sangat berbahaya karena kumannya bisa menyebar lewat darah (invasif) sehingga dapat memperluas organ yang terinfeksi. Diperlukan imunisasi Pneumokukus untuk mencekal penyakit ini. Terdapat 2 jenis vaksin pneumokokus yang beredar di Indonesia, yaitu vaksin pneumokokus polisakarida berisi polisakarida murni, 23 serotipe disebut

pneumococus polysaccharide vaccine (PPV23). Vaksin pneumokokus generasi kedua berisi vaksin polisakarida konjungasi, 7 serotipe disebut pneumococcal conjungate vaccine (PCV7).

Vaksin PCV7 dikemas dalam prefilled syringe 5 ml dieberikan intramuskular. a. Dosis pertama tidak berikan sebelum umur 6 minggu b. Untuk bayi BBLR (<1500 gram) vaksin diberikan setelah umur kronologik 68 minggu, tanpa memperhatikan umur atau apabila berat badan telah mencapai.>2000 gram c. Dapat diberikan bersama vaksin lain. Untuk setiap vaksin pada sisi badan yang berbeda.

3. Imunisasi MMR Memberikan kekebalan terhadap serangan penyakit Mumps

(gondongan/parotitis), Measles (campak), dan Rubella (campak Jerman). Terutama buat anak perempuan, vaksinasi MMR sangat penting untuk mengantisipasi terjadinya rubela pada saat hamil. Sementara pada anak lelaki, nantinya vaksin MMR mencegah agar tak terserang rubella dan menulari sang istri yang mungkin sedang hamil. Penting diketahui, rubela dapat menyebabkan kecacatan pada janin.

33

Toksin MMR diberikan pada umur 15 -18 bulan minimal interval 6 bulan antara imunisasi campak (9 bulan) dan MMR. Dosis satu kali 0,5 ml secara sub kutan. MMR diberikan minimal satu bulan sebelum atau setelah penyuntikan imunisasi lain. Apabila seorang anak telah mendapat imunisasi MMR pada umur 12 -18 bulan dan 6 tahun, imunisasi campak tambahan pada umur 5-6 tahun tidak perlu diberikan. Ulangan imunisasi MMR diberikan pada umur 6 tahun.

4. Imunisasi Influenza Influenza merupakan penyakit infeksi saluran napas yang disebabkan virus. Penyakit ini dapat menular dengan mudah karena virusnya bisa menyebar lewat udara yang bila terhirup dan masuk ke saluran pernapasan kita langsung tertular. Sebenarnya, influenza tergolong ringan karena sifatnya yang self-limiting disease alias bisa sembuh sendiri tanpa diobati. Penderita hanya perlu beristirahat, banyak minum air putih, dan meningkatkan daya tahan tubuh dengan konsumsi makanan bergizi seimbang. a. Jadwal Vaksin influenza diberikan pada anak umur 6 sampai 23 bulan, baik anak sehat maupun dengan risiko (asma, penyakit jantung, penyakit sel sickle, HIV, dan Diabetes). b. Dosis tergantung umur anak, 1. Umur 6-35 bulan 0,25 ml. 2. Umur 3 tahun 0,5 ml 3. Umur 8 tahun: untuk pemberian pertama kali diperlukan 2 dosis dengan interval minimal 4 -6 minggu, pada tahun beriktunya hanya diberikan satu dosis Vaksin influenza diberikan secara intramuskular pada paha antero lateral atau deatoid

5. Imunisasi Tifoid Ada 2 jenis vaksin tifoid yang bisa diberikan ke anak, yakni vaksin oral (Vivotif) dan vaksin suntikan (TyphimVi). Keduanya efektif mencekal demam tifoid alias penyakit tifus, yaitu infeksi akut yang disebabkan bakteri Salmonella typhi. Bakteri ini hidup di sanitasi yang buruk seperti lingkungan kumuh, dan makanan34

minuman yang tidak higienis. Dia masuk melalui mulut, lalu menyerang tubuh, terutama saluran cerna. Gejala khas terinfeksi bakteri tifus adalah suhu tubuh yang berangsur-angsur meningkat setiap hari, bisa sampai 400c. Basanya di pagi hari demam akan menurun tapi lalu meningkat di waktu sore/malam. Gejala lainnya adalah mencret, mual berat, muntah, lidah kotor, lemas, pusing, dan sakit perut, terkesan acuh tak acuh bahkan bengong, dan tidur pasif (tak banyak gerak). Pada tingkat ringan atau disebut paratifus (gejala tifus), cukup dirawat di rumah. Anak harus banyak istirahat, banyak minum, mengonsumsi makanan bergizi, dan minum antibiotik yang diresepkan dokter. Tapi kalau berat, harus dirawat di rumah sakit. Penyakit ini, baik ringan maupun berat, harus diobati hingga tuntas untuk mencegah kekambuhan. Selain juga untuk menghindari terjadi komplikasi karena dapat berakibat fatal. Jenis vaksin: 1. Vaksin kapsuler Vi polisakarida Diberikan pada umur lebih dua tahun, ulangan dilakukan setiap 3 tahun. Kemasan dalam prefilled syringe 0,5 ml pemberian secara intramuskular.

2. Tifoid oral Ty21a Diberikan pada umur lebih dari 6 tahun. Dikemas dalam kapsul, diberikan 3 dosis dengan interval selang sehari (hari 1,3,5). Imunisasi ulangan diberikan setiap 3-5 tahun.

6.

Imunisasi Hepatitis A Penyebaran virus hepatitis A (VHA) sangat mudah. Penderita akan

mengeluarkan virus ini saat meludah, bersin, atau batuk. Bila virus ini menempel di makanan, minuman, atau peralatan makan, kemudian dimakan atau digunakan oleh anak lain maka dia akan tertular. Namun, untuk memastikan apakah anak mengidap VHA atau tidak, harus dilakukan tes darah. Vaksin Hep A diberikan pada umur lebih dari 2 tahun. Vaksin kombinasi HepB atau HepA diberikan pada bayi kurang dari 12 bulan. Maka vaksin kombinasi di indikasikan pada anak umur lebih dari 12 bulan terutama catch-up immunization yaitu mengejar imunisasi pada anak yang belum pernah mendapatkan imunisasi Hep B sebelumnya atau imunisasi Hep B yang tidak lengkap.

35

Kemasan liquid satu dosis/vial prefilled syringe 0,5 ml. Dosis pediatrik 720 ELISA units diberikan 2 kali dengan interval 6-12 bulan, intramuskular di daerah deltoid. Kombinasi HepB/HepA (berisi Hep B 10g dan Hep A 720 ELISA units) dalam kemasan prefilled syringe 0,5 ml intramuskular. Dosis HDosis Hep A untuk dewasa (19 tahun) 1440 ELISA units dosis 1 ml, 2 dosis, interval 6-12 bulan.

7. Imunisasi Varisela Memberikan kekebalan terhadap cacar air atau chicken pox, penyakit yang disebabkan virus varicella zooster. Termasuk penyakit akut dan menular, yang ditandai dengan vesikel (lesi/bintik berisi air) pada kulit maupun selaput lendir. Penularannya sangat mudah karena virusnya bisa menyebar lewat udara yang keluar saat penderita meludah, bersin, atau batuk. Namun yang paling potensial menularkan adalah kontak langsung dengan vesikel, yaitu ketika mulai muncul bintik dengan cairan yang jernih. Setelah bintik-bintik itu berubah jadi hitam, maka tidak menular lagi. Imunisasi varisela diberikan pada anak umur lebih dari 5 tahun. Untuk anak yang mengalami kontak dengan pasien varisela, imunisasi dapat mencegah apabila diberikan dalam kurun 72 jam setelah kontak. Dosis 0,5 ml subkutan satu kali. Untuk umur lebih dari 13 tahun atau dewasa, diberikan 2 kali dengan jarak 4-8 minggu.

KIPI yang harus dilaporkan Semua kejadian yang berhubungan dengan imunisasi seperti, 1. Abses pada tempat suntikan 2. Semua kasus limfadenitis BCG 3. Semua kematian yang diduga oleh petugas kesehatan atau masyarakat berhubungan dengan imunisasi. 4. Semua kasus rawat inap, yang diduga oleh petugas kesehatan atau masyarakat berhubungan dengan imunisasi. 5. Insiden medik berat atau tidak lazim yang diduga oleh petugas kesehatan atau masyarakat berhubungan dengan imunisasi. Lima kategori KIPI di atas kadang disebut sebagai pencetus kejadian oleh karena adanya reaksi tersebut merangsang atau mencetuskan respons.

36

BAB V
IMUNISASI PADA KELOMPOK BERISIKO Pada anak yang mempunyai risiko tinggi untuk mendapat infeksi, harus di imunisasi berdasarkan prioritas. Misalnya bayi prematur, anak dengan penyakit keganasan, anak yang mendapatkan pengobatan imunosupresi, radioterapi, anak dengan infeksi HIV, transplantasi sumsum tulang/ organ dan spelenektomi. Pada anak yang pernah menderita reaksi efek samping yang serius setelah imunisasi, harus diberikan imunisasi berikutnya di rumah sakit dengan pengawasan dokter. Penekanan respons imun dapat terjadi pada penyakit defisiensi imun kongenital dan defisiensi imun didapat seperti pada leukimia, limfoma, pasien dengan pengobatan alkilating agents, antimetabolik, radioterapi, kortikosteroid sistemik dosis tinggi dan lama. a. Pasien dengan sistim imun tertekan 1. Mendapat pengobatan kortikosteroid dosis tinggi sama atau lebih dari 20 mg sehari atau 2 mg/kg bb/ hari dengan lama pengobatan > 7 hari atau dosis 1 mg/ kg bb/ hari lama pengobatan > 1 bulan. 2. Pengobatan dengan alkylating agents, antimetabolik dan radioterapi untuk penyakit keganasan seperti leukemia dan limfoma. Pada pasien dengan sistem imun yang tertekan, tidak boleh diberikan imunisasi vaksin hidup karena akan berakibat fatal disebabkan vaksin akan bereplikasi dengan hebat karena tubuh tidak dapat mengontrolnya. Vaksin hidup misalnya vaksin polio oral, MMR, BCG. Vaksinasi dengan mikroorganisme hidup dapat diberikan setelah penghentian pengobatan minimal 3 bulan. Vaksinasi dengan mikroorganisme mati atau yang dilemahkan dapat diberikan seperti hepatitis B, hepatitis A, DPT ,influenza dan Hib, dosis sama dengan anak sehat. Respons imun yang timbul tidak sama dengan anak sehat, sehingga bila kontak dengan pasien campak harus diberikan imunisasi pasif yaitu normal immunoglobulin human dengan dosis 0,2 ml/kg bb/ intramuskular. Untuk profilaksis varisela dosis 37

lebih besar 0,4-1,0 ml/kg bb, bila mungkin sebaiknya diberikan imunisasi spesifik dengan varicella-zoster imunoglobulin namun pada saat ini belum ada di Indonesia. b. Pasien dalam pengobatan kortikosteroid Pada pasien dengan pengobatan kortikosteroid topikal atau injeksi lokal misalnya erosol untuk asma, rinitis alergi, salep kulit, mata, intra artikular, kortikosteroid dosis rendah yang diberikan setiap hari atau selang sehari, dapat diberikan imunisasi dengan vaksin hidup. Sedangkan pada pasien yang mendapat kortikosteroid sistemik dosis tinggi setiap hari atau selang sehari dan lama pemberian kurang dari 14 hari, dapat diberikan imunisasi dengan vaksin hidup segera setelah penghentian pengobataan, namun ada yang menganjurkan setelah penghentian 14 hari. Pada pasien yang mendapat kortikosteroid sistemik dosis tinggi setiap hari atau selang sehari selama >14 hari, dapat diberikan imunisasi vaksin hidup setelah penghentian pengobatan 1 bulan. Imunisasi dengan vaksin hidup dapat diberikan pada pasien yang telah menghentikan pengobatan imunosupresif selama 3 sampai 6 bulan dengan pertimbangan bahwa status imun sudah mulai membaik dan penyakit primernya sudah dalam remisi atau sudah dapat dikontrol. Keluarga pasien imunokompromais yang kontak lansung dianjurkan untuk mendapatkan imunisasi polio inaktif, varisela, dan MMR. Vaksin varisela sangat dianjurkan untuk keluarga imunokompromais, oleh karena walaupun dapat terjadi penularan transmisi virus varisela pada pasien tetapi gejala lebih ringan dari pada infeksi alamiah yang akan berakibat lebih buruk dan dapat fatal. Pengecualian unutk penderita leukemia limfosik akut dalam keadaan remisi lebih dari 1 tahun, dapat diberikan imunisasi dengan virus hidup varisela, oleh karena bila mendapat infeksi alamiah dengan varisela dapat fatal. Pasien defisiensi imun kongenital ataupun yang didapat, imunisasi tidak akan memberikan respons maksimal seperti yang diinginkan, sehingga dianjurkan memeriksa titer anitbodi serum setelah imunisasi sebagai data untuk pemberian imunisasi berikutnya.

38

c. Pasien infeksi human immunodeficiency virus (HIV) Pasien HIV mempunyai risiko lebih besar untuk mendapatkan infeksi sehingga diperlukan imunisasi, walaupun responsnya terhadap imunisasi tidak optimal atau kurang. Kapan pasien HIV harus diberi imunisasi? Apabila diberikan terlambat mungkin tidak akan berguna karena penyakit sudah lanjut dan efek imunisasi tidak ada atau kurang, namun apabila diberikan dini, vaksin hidup akan mengaktifkan sistim imun yang dapat meningkatkan replikasi virus HIV sehingga memperberat penyakit HIV. Pasien HIV dapat diimunisasi dengan mikroorganisme yang dilemahkan atau yang mati. d. Pasien transplantasi sumsum tulang (TST) Resipien transplantasi sumsum tulang alogenik akan menjadi defisiensi imun disebabkan 4 komponen: 1. Pengobatan imunsupresi terhadap penyakit primer 2. Kemoterapi dan radioterapi yang diberikan pada pejamu 3. Reaktivitas imunologi antara graft dan pejamu serta, 4. Pengobatan imunsupresi yang diberikan setelah transplantasi dilakukan Sebaiknya sebelum transplantasi dilakukan, pada resipien diberikan imunisasi terlebih dahulu. Karena terbukti setelah transplantasi imunitas terhadap virus polio, tetanus, dan difteria hampir tidak ada, maka sebaiknya pejamu diberikan imunisasi DPT dan polio sebelum transplantasi dilakukan. Penelitian klinis menunjukan bahwa bila donor diberikan imunisasi difteria dan tetanus sebelum transplantasi dilakukan kemudian segera setelah itu diberikan imunisasi pada resipien dengan antigen yang sama akan memberikan respons yang baik. Hal yang sama dapat dilakukan dengan vaksin inaktif pertusis, Hib, hepatitis B, pneumokok dan IPV. e. Bayi prematur Bayi prematur dapat diimunisasi sesuai dengan umur kronologisnya dengan dosis dan jadwal yang sama dengan bayi cukup bulan. Vaksin DPwT atau DtaP, Hib, dan OPV diberikan pada usia 2 bulan. Bila bayi masih dirawat pada usia 2 bulan sebaiknya diberikan IPV, bila akan diberikan OPV pemberian ditunda sampai saat bayi akan dipulangkan dari rumah sakit unutk menghindari penyebaran virus polio kepada bayi lain yang sedang dirawat. Pada bayi prematur, respons imun kurang bila dibandingkan bayi cukup bulan terhadap imunisasi hepatitis B, sehingga pemberian vaksin hepatitis dapat dilakukan 2 cara: 39

1. prematur dengan ibu HbsAg positif harus diberikan hep B bersamaan dengan HBIG pada 2 tmepat yang berlainan dalam waku 12 jam. Dosis ke 2 diberikan 1 bulan kemudian, dosis ke 3 dan ke 4 diberikan usia 6 dan 12 bulan. 2. Permatur dengan ibu HbsAg negatif pemberian imunisasi dapat dengan : o Dosis pertama saat lahir, ke II umur 2 bulan, ke II dan ke IV umur 6 dan 12 bulan. Titer diperiksa setelah imunisasi ke IV. o Dosis pertama diberikan saat bayi sudah mencapai berat badan 2000 gr atau sekitar 2 bulan. Vaksinasi hepatitis B peratama dapat diberikan bersama sama DPT, OPV (IPV) dan Hib. Dosis hepatitis B ke II diberikan 1 bulan kemudian dan ke II usia 8 bulan. Titer antibodi diperiksa setelah imuniasi ke III 3. Saat ini telah beredar vaksin kombinasi hepatitis B dengan DPT (Tritanrix, Glaxo, smith Klein). Untuk bayi berumur <6 minggu tidak dianjurkan jadi tidak dapat diberikan sebagai imuniasai pertama pada bayi baru lahir. 4. Bila status ibu tidak diketahui sebaiknya diberikan sesuai imunisasi pada bayi dengan ibu HbsAg positif. f. Air Susu Ibu dan Imunisasi Tidak terdapat kontra indikasi pada bayi yang sendan menyusui bila ibunya diberikan imunisasi baik dengan bakteri/virus hidup dan kuman yang dilemahkan. Sebaliknya, air susu ibu tidak akan menghalangi seorang bayi untuk mendapakan imunisasi.

40

BAB VI
KESIMPULAN
Pada saat seorang bayi dilahirkan ke dunia, ia sudah harus menghadapi berbagai 'musuh' yang mengancam jiwa. Virus, bakteri, dan berbagai bibit penyakit sudah siap menerjang masuk ke tubuh yang masih tampak lemah itu. Lemah? Tidak juga. Ternyata sang bayi mungil pun sudah siap untuk menghadapi kerasnya dunia. Berbekal antibodi yang diberikan ibunya, ia siap menyambut tantangan. Inilah contoh dari apa yang kita sebut sebagai daya imunitas (kekebalan) tubuh.

Penggolongan sistem kekebalan Kekebalan tubuh dapat kita kelompokkan menjadi dua golongan: 1. Kekebalan pasif 2. Kekebalan aktif

Kekebalan pasif terjadi bila seseorang mendapatkan daya imunitas dari luar dirinya. Jadi, tubuhnya sendiri tidak membentuk sistim kekebalan tersebut. Kekebalan jenis ini bisa didapat langsung dari luar, atau secara alamiah (bawaan). Keunggulan dari kekebalan pasif adalah langsung dapat dipergunakan tanpa menunggu tubuh penderita membentuknya. Kelemahannya adalah tidak berlangsung lama. Kekebalan jenis ini memang biasanya hanya bertahan beberapa minggu sampai bulan saja. Kekebalan aktif terjadi bila seseorang membentuk sistem imunitas dalam tubuhnya. Kekebalan bisa terbentuk saat seseorang terinfeksi secara alamiah oleh bibit penyakit, atau 'terinfeksi' secara buatan saat diberi vaksinasi. Kelemahan dari kekebalan aktif ini adalah memerlukan waktu sebelum si penderita mampu membentuk antibodi yang tangguh untuk melawan agen yang menyerang. Keuntungannya, daya imunitas biasanya bertahan lama, bahkan bisa seumur hidup.

41

Imunitas pasif alamiah Pada saat seorang bayi lahir ke dunia, ia dibekali dengan sistem kekebalan tubuh bawaan dari ibunya. Inilah yang kita sebut sebagai kekebalan pasif alamiah. Kekebalan jenis ini sangat tergantung pada kekebalan yang dipunyai oleh si ibu. Misalnya, bila ibu mendapat imunisasi tetanus pada saat yang tepat di masa kehamilan, maka anak mempunyai kemungkinan sangat besar untuk terlindung dari infeksi tetanus di saat kelahirannya. Bila si ibu sendiri tidak mempunyai daya imunitas terhadap tetanus, maka apa yang bisa dibekalkan untuk anaknya? Imunitas bawaan yang dibekalkan pada si buah hati antara lain imunitas terhadap difteri dan campak.

Imunitas pasif didapat Pada keadaan ini, daya imunitas diperoleh dari luar, misalnya pemberian serum antitetanus. Kelebihannya dapat langsung dipergunakan tubuh untuk melawan bibit penyakit, tapi sayangnya kekebalan jenis ini biasanya mempunyai waktu efektif yang pendek. Contoh imunitas pasif didapat: Serum antitetanus Serum antirabies Serum antibisa ular

Imunitas aktif alamiah Pada saat tubuh kita dimasuki oleh bibit penyakit, terjadi suatu mekanisme pembentukan sistem pertahanan tubuh yang spesifik terhadap bibit penyakit yang menyerang. Dengan demikian, bila bibit penyakit tersebut mencoba kembali masuk ke tubuh kita, tubuh sudah siap dengan pertahanannya.

Imunitas aktif didapat Sesungguhnya prinsip dari imunitas aktif didapat ini diambil dari imunitas aktif alamiah. Bedanya, kita 'menyajikan' bibit penyakit atau bagian daripadanya, agar tubuh dapat membentuk sistem imunitas spesifik sebelum bibit penyakit tersebut benar-benar datang. Inilah yang dikenal sebagai vaksinasi. Keuntungan dari pemberian vaksinasi adalah kita dapat mengontrol agar masuknya bibit penyakit (agen) tidak sampai menimbulkan penyakit yang parah pada 42

diri si penerima. Walau mungkin tidak bergejala, dalam keadaan normal kekebalan tetap terbentuk. Vaksin akan merangsang sistem kekebalan tubuh untuk bereaksi terhadap agen yang kita masukkan. Mungkin akan timbul sedikit keluhan pada penerima (resipien) akibat 'peperangan' yang terjadi antara sistim imunitas spesifik yang terbentuk dan agen (dalam vaksin) yang kita masukkan. Tapi setelah itu, akan terbentuk antibodi yang selalu siap untuk mengingat musuh-musuhnya. Jadi bila di belakang hari agen yang sama berusaha masuk, tubuh dengan cepat dapat melipatgandakan antibodi spesifiknya untuk membunuh agen tersebut. Vaksin mengandung substansi atau antigen yang relatif tidak berbahaya bagi tubuh penerima (resipien). Substansi atau antigen yang dipergunakan biasanya didapat dari mikroorganisme penyebab penyakit itu sendiri. Komponen yang diberikan bisa berupa: Virus yang dilemahkan Bakteri yang sudah dimatikan Toksin kuman Toksoid

Pemberian imunisasi aktif dan pasif bisa diberikan secara sendiri-sendiri ataupun bersama-sama. Contoh pemberian bersama-sama adalah pada kasus infeksi tetanus. Pemberian serum antitetanus diperlukan agar tubuh dapat segera melawan bibit penyakit, tapi vaksin antitetanus juga harus diberikan agar tubuh dapat membentuk sendiri sistem pertahanan tubuh terhadap tetanus. Pada saat daya kerja serum antitetanus telah habis, sistem kekebalan tubuh penderita telah siap menggantikannya.

Jenis-jenis imunisasi Ada berbagai ragam jenis imunisasi yang dapat diberikan. Tidak semua orang memerlukan pemberian imunisasi tersebut. Faktor epidemiologi harus

dipertimbangkan untuk menentukan imunisasi apa yang harus diberikan pada seseorang. Jenis-jenis imunisasi itu antara lain: 1. BCG 2. DPT 3. Polio 43

4. Campak 5. Hepatitis B 6. DT 7. Tetanus 8. Hemophylus influensa B 9. MMR 10. Tifoid

Komplikasi Tergantung dari jenis imunisasi yang diberikan Mendapatkan imunisasi bukan jaminan terhindar dari penyakit. Walau demikian, biasanya penyakit yang diderita menjadi lebih ringan dan cepat membaik. Yang paling penting, ancaman terhadap jiwa jauh berkurang. Kebanyakan orangtua merasa khawatir terhadap berbagai gejala klinis yang muncul, misalnya demam, setelah anak mendapat vaksinasi. Kekhawatiran ini membuat sebagian dari mereka memutuskan untuk tidak memberikan imunisasi kepada si buah hati tercinta. Bila Anda kebetulan berpikir demikian, ingatlah bahwa keputusan tersebut bisa menghadapkan anak pada bahaya yang jauh lebih besar di kemudian hari. Bila ingin memberikan imunisasi kepada si buah hati, jangan lupa mengingat waktu pemberian yang tepat. Bila Anda rajin memeriksakan si buah hati, dokter biasanya akan mengingatkan waktu pemberian imunisasi yang akan datang.

44

DAFTAR PUSTAKA
1. IGN Ranuh, Hariyono Suyitno, SRI Rezeki S Hadinegoro, Cissy B Kartasasmita. Pedoman imunisasi di Indonesia. Satgas Imunisasi Ikatan Dokter Anak Indonesia. Edisi kedua, Tahun 2005. 2. Lawrence M Tierney Jr MD, Stephen J McPhee MD, Maxine A Papadakis MD. Current Medical Diagnosis and Treatment 2002. Page 1313-1319. 3. Eric AF Simoes MD DCH and Jessie R Groothius MD. Immunization. Page 235-258. 4. Jadwal Imunisasi Anak - Rekomendasi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) 2008 [image on the Internet]. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2008 Available from : http://pediatricinfo.wordpress.com/2009/04/20/jadwal-

imunisasi-2008-idai/ 5. Ranuh IGN, Hariyono S, Pedoman Imunisasi di Indonesia, Ikatan Dokter Anak Indonesia, Edisi 3, Jakarta, 2008. 6. http://www.naila rad.net.id/detail. 7. http://www.bayisehat.com/category/uncategorized. 8. http://www.sahabatnestle.co.id/HOMEV2/main/TKSK/TKSK_ndnp. 9. http://id.wikipedia.org/wiki/jadwal_imunisasi. 10. http://www.infeksi.com/hiv/mobile/articles,php. 11. http://www.tempointeractive.com. 12. http://www.indomedia.com. 13. http://www.ismnsurizan.com. 14. http://www.indosiar.com 15. http://www.jakarta.go.id. 16. http://www.bayi.us/imunisasi.php. 17. http://www.puterakembara.org/rm/alergi.shtml. 18. http://www.groups.google.co.id. 19. http://www.sehatgroup.teb.id. 20. http://www.pikiran-rakyat.com. 21. http://www.tabloid-nakita.com. 22. http://www.yahoo.com

45

You might also like