You are on page 1of 12

Hak Sipil dan Politik adalah hak internal individu yang hanya dapat dinikmati apabila negara bersikap

pasif dan tidak melakukan intervensi terhadap individu. Hak Sipol ini juga disebut hak negatif (negative right) karena negara diharuskan untuk tidak ikut campur dan memberikan kebebasan yang seluas-luasnya kepada setiap individu di bidang sipil dan politik. Hak-hak Sipol ini antara lain: 1. Hak untuk hidup; 2. Hak untuk menentukan nasib sendiri; 3. Persamaan di hadapan hukum dan pemerintahan; 4. Hak untuk dipilih dan memilih; 5. Hak mendapat kebebasan dan keamanan pribadi; 6. Bebas dari hukum yang retroaktif; 7. Bebas dari perbudakan; 8. Bebas dari penyiksaan dan perlakuan yang tidak manusiawi; 9. Hak kebebasan berpikir dan mengeluarkan pendapat; 10. Hak untuk berserikat dan berkumpul; Namun perlu dicatat bahwa sikap negara yang pasif terhadap Hak Sipol tidak berlaku terhadap semua hal. Dalam hal-hal tertentu, negara boleh melakukan penyimpangan dengan syarat: 1. Untuk menjaga keamanan dan ketertiban 2. Untuk kepentingan kesehatan dan menjaga moralitas. 3. Demi menghormati hak dan kebebasan orang lain. 4. Tidak dilakukan secara diskriminatif. Kitaka negara melakukan pelanggaran terhadap Hak-hak Sipol, maka negara dapat dituntut di pengadilan. Hal ini yang membedakan sifatnya dengan Hak-hak Ekososbud yang tidak dapat dituntut di hadapan pengadilan. Hak Ekonomi Sosial dan Budaya adalah hak individu sebagai anggota masyarakat (sosial dan komunal) yang hanya terpenuhi apabila negara bersikap aktif dalam mengatur dan manjamin kesejahteraan masyarakat. Hak Ekososbud ini juga disebut sebagai hak positif (positive right). Hak-hak Ekososbud ini antara lain: 1. Hak mendapatkan penghidupan yang layak; 2. Hak mendapatkan upah yang adil; 3. Hak mendapatkan standar kerja yang kondusif; 4. Hak mendapatkan jaminan sosial dan asuransi bagi tenaga kerja; 5. Hak untuk mendapatkan pendidikan yang murah dan berkualitas; 6. Hak mendapatkan kesempatan berpartisipasi di bidang budaya. Menurut Karel Pasek, seorang sarjana dari Prancis, perkembangan Hak Sipol dan Ekososbud ini terdiri dari tiga tahap yaitu: 1. Generasi Pertama yaitu Generasi Hak Sipol yang lahir pada abad ke-17 sampai dengan abad 18. Lahirnya hak-hak Sipol sebagai akibat pemerintahan absolut dari raja Lois XVI yang tumbang melalui revolusi Prancis dan melahirkan pemerintahan demokratis yang menjamin dan melindungi hak-hak Sipol. 2. Generasi Kedua yaitu Generasi Hak Ekososbud yang lahir pada abad ke-19. Lahirnya hak Ekososbud dilatarbelakangi oleh euporia demokrasi liberal yang menyebabkan berkembangnya ekonomi kapitalis yang justru berdampak negatif karena terjadinya disparitas ekonomi yang terlalu jauh antara si kaya dan si miskin. Oleh karena itu muncul tuntutan rakyat agar negara ikut campur dan mengatur kehidupan ekonomi rakyat secara adil dan meninggalkan sistem ekonomi kapitalis yang laizess fiere, laizess aller dengan persaingan bebasnya (survive and the fighters),

menuju sistem ekonomi yang berkeadilan sosial. Pada generasi ini konsep negara hukum pun berubah, dari yang semula fungsi negara hanya menjaga keamanan dan ketertiban atau sering disebut dengan negara penjaga malam (nachtwokerstaat) menjadi negara kesejahteraan (welfarestaat), dimana negara diharuskan turut campur mengatur perekonomian rakyat agar tidak terjadi kesenjangan sosial yang terlalu jauh. Jadi misi negara kesejahteraan (welfarestaat) adalah selain mewujudkan masyarakat yang aman dan tertib juga mewujudkan kesejahteraan rakyat. 3. Generasi Ketiga yaitu Generasi Solidaritas yang lahir dari akibat primordialisme sempit dan perlakuan diskriminatif terhadap kaum minoritas. Secara historis, lahirnya Konvenan Hak Sipol dan Ekososbud merupakan tindak lanjut dari Universal Declarations of Human Right PBB yang tidak lebih hanya berupa deklarasi yang tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Baru pada tahun 1966 perumusan Hak Sipol dan Ekososbud tersebut selesai. Namun konvenan tersebut baru berlaku dan mengikat setelah diratifikasi oleh minimal 35 negara sesuai dengan syarat yang tertuang di dalam konvenan tersebut yaitu pada tahun 1976. Dalam perumusan Konvenan Sipol dan Ekososbud terdapat dua pandangan yang saling bertentangan yaitu antara negara-negara dari Blok Timur yang berhaluan sosialis dan komunis dengan negara-negara Blok Barat yang berhaluan Liberal Kapitalis. Di satu pihak negara-negara Blok Timur menganggap bahwa antara Hak Sipol dan Hak Ekososbud tidak ada perbedaan, oleh karena itu cukup diatur dengan konvenan tunggal. Di lain pihak negara-negara Blok Barat menganggap bahwa antara Hak Sipol dan Hak Ekososbud memiliki karakteristik yang berbeda baik substansinya, prosedur aktualisasinya maupun penataannya, oleh karena itu dibutuhkan konvenan yang terpisah. Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dibedakan karakteristik antara Hak Sipol dan Hak Ekososbud, yaitu: Hak Sipol Hak Ekososbud 1. Negara bersikap pasif. 2. Konsekuensi hukum. 3. Biaya pelaksanaan rendah. 4. Bersifat universal. 5. Mayoritas termasuk HAM. 1. Negara bersikap aktif. 2. Konsekuensi politik. 3. Biaya pelaksanaan tinggi. 4. Tidak bersifat universal. 5. Mayoritas Hak Dasar & Hak Hukum. Desember 20, 2008 Kategori: hukum . . Penulis: akosasih

Perdebatan soal sejauh mana hak-hak ekososbud bisa disebut sebagai hak asasi sudah berlangsung sejak awal perumusan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM). Negara-negara liberal, yang umumnya kapitalis, tidak menyetujui pendapat bahwa hak-hak ekososbud adalah hak asasi. Di lain pihak, negara-negara sosialis memperjuangkannya. Akibatnya, kini ada dua konvensi atau perjanjian terpisah tentang kedua jenis hak itu, yaitu Perjanjian Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (PIHSP) dan Perjanjian Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (PIHESB). Dalam PIHESB tercantum antara lain hak atas pekerjaan, hak atas pendidikan, dan hak atas kehidupan yang layak, yang mencakup hak atas sandang, pangan, dan papan yang memadai. Ada dua keberatan atas asasinya hak-hak ekososbud. Pertama, hak-hak itu tidak langsung menyatakan adanya kebebasan manusia tertentu, dalam pengandaian, manusia itu dilahirkan bebas. Dalam hal ini jelas kelompok itu mengukur kemanusiaan hanya pada tingkat kebebasannya. Pengandaian filosofis itu lemah karena mereduksi kemanusiaan pada kebebasan saja. Selain itu, kebebasan yang dipahami adalah kebebasan ideal, bukan kebebasan kontekstual. Kedua, hak-hak ekososbud itu bukan hak yang langsung bisa dijamin pemerintah. Diperlukan suatu kewajiban positif atau inisiatif nyata guna memenuhi hak itu, dari pihak pemerintah. Hal itu berbeda dengan hak-hak sipil-politik (sipol) yang hanya mengandaikan kewajiban negatif, atau sekadar jaminan perlindungan. Dalam kacamata kelompok ini, kewajiban positif ini berlebihan. Belum tentu semua pemerintah mampu memenuhinya. Menurut mereka, hak-hak ekososbud layak disebut sebagai cita-cita yang amat penting, tetapi bukan hak asasi. Keberatan ini lebih gampang dimengerti, tetapi menyembunyikan adanya bahaya yang mungkin ditimbulkan. Kelompok penentang sifat asasinya hak-hak ekososbud dipelopori negara-negara liberal yang biasanya memuja kebebasan, termasuk kebebasan di pasar. Ada dua pengandaian yang melingkari pendapat itu. Pertama, seperti telah disebut, karena semua orang dilahirkan bebas, semua orang sederajat dan sama kuat. Kedua, hak sipol adalah hak primer, sedangkan hak-hak ekososbud sekunder, yang akan terpenuhi jika hak-hak sipol telah terjamin dengan baik. Dalam konteks sosio-ekonomis, pandangan itu sulit dipertanggungjawabkan. Dalam kenyataan, tiap orang dilahirkan lalu bertumbuh dengan kemampuan beragam. Kemampuan ekonomi adalah salah satu perbedaan mencolok. Kesamaan dan kesederajatan tiap orang hanya tampak sebagai utopia yang indah, yang sering dijadikan kedok kelompok lebih kuat untuk mengeksplorasi kebebasan mereka seluas mungkin. Tidak jarang, eksplorasi itu bisa berarti tereksploitasinya kebebasan kelompok lemah. Dalam kenyataan, pandangan tentang sifat sekundernya hak ekososbud sulit dipahami. Ketidakmampuan korban gusuran memperjuangkan hak-haknya adalah contoh bagaimana hak sipol tidak bisa terwujud tanpa sarana memungkinkan. Dengan kata lain, tanpa ada biaya cukup, hak-hak sipol

yang dijamin pemerintah tidak bermakna. Pada skala tertentu, hak sipol mengandaikan terpenuhinya hak-hak ekososbud. Lebih diprioritaskannya hak-hak sipol menjadi alasan bagus bagi ketidaksediaan pemerintah untuk memenuhi tanggung jawabnya. Dalam situasi seperti itu bisa dimengerti banyak orang akan bersedia menjadi aparat pemerintah, bukan untuk mengabdikan diri bagi kepentingan umum, melainkan untuk kepentingan sendiri. Jelas jabatan itu secara sosial dan ekonomis menggiurkan, lebih-lebih karena tidak ada sanksi jelas bila tidak bisa memenuhi tanggung jawabnya. Perlu jaminan Dari alur pemikiran itu, tampak arti penting hak-hak ekososbud. Karena itu, hak-hak itu perlu dijamin. Masalahnya, bagaimana menjaminnya? UUD 1945 sudah menjamin beberapa hak ekososbud pada Pasal 31 sampai 34, tetapi masih amat minim. Beberapa UU juga sudah mulai menjabarkan bidang-bidang ekososbud, seperti UU Sisdiknas, UU Perumahan, UU Perpajakan, termasuk UU HAM. Hanya saja undang-undang itu masih dikritik kurang memperhatikan kepentingan rakyat kebanyakan. Lihat saja, di Indonesia ini persentase orang miskin absolut tidak banyak berubah. Ditambah masih terseok-seoknya dinamika hukum Indonesia, nasib rakyat kecil kian mengenaskan karena tidak ada perlindungan mencukupi bagi terpenuhinya hak-hak mereka. Oleh karena itu, dalam gelombang globalisasi yang akan menggulung orang-orang kecil tanpa perlindungan, langkah nyata diperlukan untuk menjamin hak-hak ekososbud. Apalagi jika ingin menghidupkan kembali semangat reformasi yang mulai padam, prioritas pada jaminan hak-hak ekososbud ini perlu diperhatikan. Oleh Joko Riyanto Koordinator Riset Pusat Kajian dan Penelitian Kebangsaan (Puskalitba) Solo

Dalam deklarasi Wina 1993 menekankan tanggung jawab negara untuk melindungi dan menegakkan HAM, termasuk hak-hak EKOSOB. Penyelenggara negara, baik eksekutif maupun legislatif, dituntut berperan aktif dalam melindungi dan memenuhi Hak-hak EKOSOB karena mereka yang secara efektif memiliki kewenangan menentukan alokasi sumber daya nasional. Komitmen Indonesia dalam memenuhi Hak-hak EKOSOB Pemerintah Indonesia telah meratifikasi kovenan Internasioanal tentang Hak-hak EKOSOB (International Covenant on Economic, social, and Cultural Right) pada Oktober 2005. Ratifikasi ini ditandai dengan terbitnya UU No. 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Convenant on Economic, Social and Cultural Right (Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya). Dengan demikian, negara wajib menghormati, melindungi dan memenuhi Hak-hak tersebut kepada warganya. Ada 143 negara yang meratifikasi kovenan tersebut, termasuk Indonesia. Ratifikasi menuntut kewajiban kepada negara setahun setelahnya untuk menyesuaikan semuaaturan dengan Hak-hak EKOSOB dan dalam jangka waktu dua tahun setelah ratifikasi diharapkan menyerahkan laporan kepada komisi PBB untuk EKOSOB mengenai kemauan yang dicapai. Hal-hal yang diatur dalam Kovenan ECOSOC Bagian Pertama meuat hak setiap penduduk untuk menentukan nasib sendiri dalam hal status politik yang bebas serta pembangunan ekonomi, sosial dan budaya. Bagian Kedua memuat kewajiban negara untuk melakukan semua langkah yang diperlukan dengan berdasar pada sumber daya yang ada dalam mengimplementasikan Kovenan dengan cara-cara yang efektif, termasuk mengadopsi kebijakan yang diperlukan. Bagian Ketiga meuat jaminan hak-hak warga yaitu: 1. Hak atas pekerjaan 2. Hak mendapatkan program pelatihan 3. Hak mendapatkan kenyamanan dan kondisi kerja yang baik 4. Hak membentuk serikat buruh 5. Hak menikmati jaminan sosial, termask asuransi sosial 6. Hak menikmati perlindungan pada saat dan setelah melahirkan 7. Hak atas standar hidup yang layak termasuk pangan, sandang, dan perumahan 8. Hak terbebas dari kelaparan 9. Hak menikmati standar kesehatan fisik dan mental yang tinggi

10. Hak atas pendidikan, termasuk pendidikan dasar secara Cuma-Cuma 11 Hak untuk berperan serta dalam kehidupan budaya menikmati manfaat dari kemajuan ilmu pengetahuan dan aplikasinya Bagian Keempat memuat kewajiban negara untuk melaporkan kemajuan yang telah dicapai dalam pemenuhan Hak-hak EKOSOB ke Sekretaris Jenderal PBB dan Dewan EKOSOB. Bagian Kelima memuat Ratifikasi negara. Diantara banyak hak yang dimuat dalam Hak-hak EKOSOB, ada hak yang paling mendasar sebagai basis terpenuhinya Hak-hak EKOSOB, yakni Hak tas Pendidikan dan Kesehatan. Indikator terpenuhinya hak atas pendidkan

1. Ketersediaan lembaga, institusi bangunan dan fasilitas sekolah yang memadi dan 2. 3. 4.

program-program pendidikan untuk setiap orang. Aksesibilitas, setiap orang mempunyai akses atas lembaga, institusi dan programprogram pendidikan termasuk bisa diakses secara ekonomis. Akseptabilitas, yang berarti format, substansi pendidikan seperti kurikulum, metode pengajaran harus sesuai dengan situasi, kondisi dan budaya siswa. Adaptabilitas, pendidikan harus fleksibel atau dapat disesuaikan dengan perubahan situasi masyarakat.

Indikator terpenuhinya hak ataskesehatan Sebagaimana hak atas pendidikan, hak atas kesehatan terpenuhi apabila:

1. Availabilitas, fasilitaskesehaan seperti obat-obatan, pelayanan kesehatan

2.

3. 4.

masyarakat dan program-program kesehatan harus dapat dinikmati semua orang. Tenaga aramedis dan dokter juga hars dipenuhi hak-haknya, misanya gaji yang memadai. Aksesibilitas, semua orang dapat memenuhi hak atas kesehatanya tanpa diskriminasi, terutama bagi masyarakat adat, orang cacat, lanjut usia, maupun anak-anak dan perempuan. Selain itu, biaya kesehatan harus terjangka, ada informasi mengenai kesehatan yang memadai dan disediakannya fasilitas kesehatan untuk orang cacat. Akseptabilitas, pemenuhan hak atas kesehatan harus menghormati etika medis dan kebudayaan, seperti penghormatan budaya individu, kelompok minoritas, penduduk, komunitas dan memenuhi prinsip-prinsip sesitif gender. Kualitas, pemenuhan hak atas kesehatan mengacu pada prinsip medis dan pengetahuan yang layak dan bermutu. Ini berkaitan erat dengan keterampilan tenaga medis, dapat diuji berdasarkan ilmu pengetahuan, adanya perlengkapan puskesmas, rumah sakit dan sanitasi yang memadai, serta air bersih yang dapat diminum.

Diolah dari sumber Pattiro

Hak atas Kesehatan TINGKAT ANGKA KEMATIAN IBU MELAHIRKAN

1. Pendahuluan Kesehatan individu, sebagai konsep yang mungkin bersifat subyektif dan tidak teraba, merupakan kondisi penting kesejahteraan dan martabat seseorang sebagai manusia. Dalam hal ini, negara umumnya dianggap mengemban tanggung jawab tertentu. Sesuguhnya negara tidak dapat menjamin kesehatan yang baik, tetapi negara merupakan etntitas yang paling tepat untuk menciptakan kondisi-kondisi dasar tertentu untuk melindungi, dan bahkan meningkatkan hak individu. Kesehatan, dengan demikian, dijamin sebagai sebuah hak asasi manusia dalam beberapa instrument internasional dan nasional. Mula-mula, istilah hak atas kesehatan mungkin terdengar agak biasa. Tetapi istilah ini mungkin terdengar seperti hak untuk sehat, atau menyerupai tuntutan atas semua yang disyaratkan untuk memelihara atau mencapai kesehatan sepenuhnya. Kebijakan nasional seperti, Indonesia Sehat tahun 2010 bertarget menurunkan angka kematian ibu menjadi 125 per 100,000 kelahiran (pada tahun 2010), namun, keyataannya di tahun 2007 ini angka kematian ibu masih saja sangatlah tinggi, menurut SDKI (Sensus Demografi dan kesehatan Indonesia) yaitu 307 per 100.000 kelahiran dan angka itupun tidak memasukan beberapa angka kematian ibu di Indonesoia bagian Timur dan Naggro Aceh Darussalam. Sejujurnya mungkinkah kita mencapai angka kematian ibu seperti yang ditargetkan dalam Indonesia Sehat tahun 2010. Naik turunnya angka kematian ibu merupakan indikator kegagalan atau keberhasilan pelayanan kesehatan untuk perempuan selama kehamilan, persalinan, dan paska persalinan. Angka kematian ibu di Indonesaia selama dua dekade terahir selalu berada diatas angka 300/100.000 kelahiran hidup. Indonesia sudah meratifikasi,UU-RI nomor 9 Tahun 1960, Tentang pokok-pokok kesehatan. Menurut (Pasal 1-3) dengan jelas, tiap-tiap warganegara berhak memperoleh derajat kesehatan yang setinggi-tingginya dan perlu diikut-sertakan dalam usaha-usaha kesehatan pemerintah. Hak atas kesehatan juga diatur seperti didalam:Deklarasi DUHAM (Pasal 25), Kovenan Internasional EKOSOBB (Pasal12), Konvensi CEDAW (Pasal 12), Konvensi hak anak CRC (Pasal 24), Piagam Sosial Eropa ESC (Pasal 11 dan pasal 10) Protokol Tambahan Pada Kovenan hak asasi manusia Amerika di bidang hak Ekonomi, Sosial dan Budaya ( Protokol San Salvador, tahun 1988). Di dalam tulisan ini, akan melihat sejauh mana tanggung jawab negara, mengimp- lementasikan hak atas kesehatan. Kuhususnya, terkait angka kematian ibu melahirkan. Masih tingginya angka kematian ibu melahirkan di Indonesia, dikarenakan masih kurangnya perhatiannya tentang resiko seperti, Pendarahan, Eklampsia, Aborsi, Infeksi, Persalinan lama, Buruknya gizi perempuan dan faktor-faktor lainnya. Pelayanan dan terbatasnya informasi tentang kesehatan, dan belum optimalnya perilaku hidup sehat bagi ibu hamil. Sebagian besar ibu hamil yang berada di daerah terpencil, beranggapan nutrisi untuk janin tidak begitu perlu, serta faktor harga yang mahal.

2. Kerangka hukum yang mengatur hak atas kesehatan Hak atas kesehatan sudah dijamin oleh pemerintah, dengan diratifikasinya Undang-undang Nomor 9 Tahun 1960 Tentang Pokok-Pokok Kesehatan.[1] Undang undang tersebut yang mengatur tentang pokok-pokok kesehatan. Menurut Pasal 1, 2 dan 3, tiap-tiap warga negara berhak memperoleh derajat kesehatan yang setinggi-tingginya dan perlu di ikutsertakan dalam usaha-usaha kesehatan pemerintah, yang dimaksud dengan kesehatan dalam undang-undang ini ialah yang meliputi kesehatan badan, rohani (mental) dan sosial, dan bukan hanya keadaan yang bebas dari penyakit, cacat dan kelemahan. Pertumbuhan anak yang sempurna dalam lingkungan hidup yang sehat adalah penting untuk mencapai generasi yang sehat dan bangsa yang kuat. Di dalam deklarasi universal hak asasi manusia (DUHAM) Pasal 25, Setiap orang berhak atas tingkat hidup yang memadai untuk kesehatan dan kesejahteraan dirinya dan keluarganya, termasuk hak atas pangan, pakaian, perumahan dan perawatan kesehatan serta pelayanan sosial.[2] Khususnya anak-anak berhak mendapatkan perawatan dan bantuan istimewa. Semua anak-anak, baik yang dilahirkan didalam maupun di luar perkawinan, harus mendapatkan perlindungan sosial yang sama. Dan masih juga, dijamin dalam Kovenan Internasional hak-hak ekonomi, sosial dan budaya (EKOSOB). Pasal 12, setiap orang menikmati standar tinggi yang dapat dicapai atas kesehatan fisik dan mental. [3] Langkah-langkah yang akan di ambil negara pihak pada kovenan ini guna mencapai perwujudan hak ini sepenuhnya, harus meliputi hal-hal yang diperlukan untuk mengupayakan seperti: perbaikan semua aspek kesehatan, lingkungan, pencegahan, pengobatan dan pengendalian segala penyakit menular, endemik dan penyakit lainya. Penciptaan kondisi-kondisi yang akan menjamin semua pelayanan dan perhatian medis dalam hal sakitnya seseorang. Sedangkan jaminan hak atas kesehatan menurut Konvensi mengenai penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan (CEDAW) Pasal 12, negara-negar pihak wajib membuatkan peraturan-peraturan yang tepat untuk menghapus diskriminasi terhadap perempuan dibidang pemeliharaan kesehatan. Sekalipun terdapat ketentuan pada ayat (1) ini, negara-negara peserta wajib menjamin kepada perempuan pelayanan yang layak berkaitan dengan kehamilan, persalinan dan masa sesudah persalinan dengan memberikan cuma-cuma. [4] Menurut Konvensi tentang hak anak (CERD) pula dijamin hak atas kesehatan. Menurut pasal 24, negara-negara pihak mengakui hak anak atas penikmatan standar kesehatan yang paling tinggi dapat diperoleh atas berbagai fasilitas untuk pengobatan penyakit dan rehabilitasi kesehatan.[5] Negara-negara Pihak harus berusaha menjamin bahwa tidak seorang anak dapat dirampas haknya atas akses ke pelayanan kesehatan tersebut. Negara-negara pihak harus mengejar pelaksanaan hak ini sepenuhnya dan terutama mengambil langkah yang tepat untuk: Mengurangi kematian bayi/anak. Menjamin penyediaan bantuan kesehatan yang diperlukan memerangi penyakit/kekurangan gizi. Menjamin perawatan kesehatan. Menjamin bahwa bagian masyarakat orang tua dan anak di informasikan akses pendidikan dasar mengenai kesehatan. Mengembangkan perawatan kesehatan yang prevensif. Negara pihak harus mengambil semua langkah yang efektif tepat dengan tujuan menghilangkan praktek-praktek tradisional yang merusak kesehatan anak. Dan negara pihak berusaha meningkatkan kerja sama internasional dengan tujuan mencapai realisasi hak yang di akui dalam pasal ini sepenuhnya dan secara progresif. 3. Kasus-kasus angka kematian ibu di Indonesia Angka kematian ibu saat melahirkan di Indonesia memang masih sangat tinggi dalam setahun, sekitar 20,000 ibu telah meninggal karena melahirkan. Ini berati rata-rata 57-58 ibu meninggal setiap hari. Melahirkan merupakan ancaman kematian bagi sebagian kaum ibu di negeri kita ini

Kesehatan ibu merupakan komponen yang sangat penting dalam kesehatan reproduksi karena seluruh komponen yang lain sangat dipengaruhi oleh- kesehatan ibu. Bila ibu sehat, maka akan menghasilkan bayi sehat yang nantinya diharapka nmenjadi generasi penerus yang kuat. Selain itu, dengan ibu yang sehat juga akan menciptakan keluarga sehat dan bahagia. Contoh berikut ini dapat memberikan gambaran, tingkat angka kematian ibu melahirkan di Indonesia tinggi, dan diperkirakan paling tinggi di Asia Tenggara dengan angka rata-rata 307 per 100.000 sampai pertengahan November 2007. Tingginya angka kematian ibu ini, merupakan persoalan serius dalam perencanaan dan realisasi program kesehatan yang dijalankan pemerintah. Tingginya angka kematian ibu di Indonesia memang tertinggi di Asia Tenggara. Kita bisa membandingkannya dengan Malaysia yang tercatat angka kematian ibu 41 orang per 100.000, Singapura hanya 6 orang per 100.000, Thailand sebanyak 44 orang per 100.000, bahkan Filipina 170 orang per 100.000, perbandingan kematian ibu di Asia tenggara. Penyebab, langsung dan tidak langsungnya angka kematian ibu, ada enam penyebab seperti, Pendarahan, Eklampsia, Infeksi, Partus lama dan lain-lainnya. Penadarahan adalah penyebab paling tinggi untuk tingkat kematian ibu. Hal ini bisa terjadi karena ibu mendapatkan pertolongan dari dokter atau bidan, begitu dari proses persalinan dimulai. Pendarahan yang lama, yang biasa disebut post partum (setelah melahirkan), bisa terjadi baik setelah 24jam setelah lahir maupun pendarahan setelah waktu 24 jam. Menghentikan pendarahan, dengan berbagai sebabnya ini, hanya dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan. Pendarahan bisa berjangka panjang, misalnya bila persalinan ditolong oleh dukun yang fasilitasnya sangat minim. Angka persalinan yang ditolong oleh dukun di Indonesia, khususnya di daerah pedesaan, masih sangat tinggi. Eklamsia terjadi bila perempuan yang hamil mengalami tekanan darah tinggi (hipertensi), demam, sakit kepala yang sangat berat dan kejang-kejang. Oleh karena itu, pemeriksaan kehamilan secara berkala jadi sangatlah penting, agar ibu hamil dapat mengetahui gejala-gejala sejak awal. Aborsi tidak aman, biasanya terjadi setelah kehamilan yang tidak di inginkan, dengan berbagai sebab dan sering di akhiri dengan kematian, bila di lakukan oleh tenaga yang tidak profesional. Aborsi yang tidak aman berkontribusi paling pesar untuk angka kematian ibu saat melahirkan. Sampai saat ini belum ada solusi yang tuntas untuk melegalkan aborsi yang aman, kecuali yang diwajibkan oleh indikasi medis atau (dokter). Infeksi dalam proses kelahiran dapat terjadi karena dalam pertolongan persalinan mengunakan peralatan yang tidak steril. Hal ini, bisa terjadi bila waktu proses persalinan di tolong misalnya oleh dukun yang tidak mensterilkan alatalat bantu dalam proses persalinan. Infeksi pada proses persalinan dan masa nifas merupakan bagian dari kesakitan dan kematian ibu. Pengobatan medis harus diberikan kepada ibu melahirkan yang mengalami infeksi. Persalinan lama adalah komplikasi dalam persalinan, komplikasi ini bisa terjadi bila rumah sakit kekurangan tenaga trampil, peralatan, dan obat-obatan. Dan pelatihan dukun beranak yang sudah dilakukan sejauh ini juga belum efektif dalam menurunkan angka kematian ibu melahirkan. Sedangkan faktor lainya untuk angka kematian ibu melahirkan adalah buruknya gizi perempuan, yang dikenal dengan istilah KEK (Kekuarangan Energi Kronis). Perempuan yang menderita kekuarangan energi kronis pada umumnya usia 15-49 tahun sebesar 15 % sedangkan pada remaja putri sebesar 37%, Kondisi ini berdampak pada rendahnya tingkat LLA (Lingkaran Lengan Atas) remaja yang belum mencapai 32,5cm (terlalu kurus) jumlahnya mencapai 29%. Perempuan hamil yang mengalamai anemia jumlahnya juga masih cukup tinggi yaitu 50,3% dari total jumlah perempuan hamil. Jangan lupa, status gizi selama kehamilan adalah hal yang paling

penting, karena berdampak pada proses kehamilan dan persalinan, serta mengurangi peluang bayi berat lahir rendah. Masalah-masalah lain yang mempengaruhi tingginya angka kematian ibu melahirkan adalah, masih belum optimalnya perilaku hidup sehat bagi ibu hamil. Kurangnya memperhatikan kesehatan ibu, seperti masih banyak ibu hamil yang meremehkan pemeriksaan kehamilan pada dokter kandungan. Minimnya pengetahuan dan informasi masyarakat tentang kesehatan reproduksi. Terlalu muda usia menikah dengan usia melahirkan anak pertama masih di bawah usia 20 tahun. Masih banyak orang tua yang berpendapat banyak anak banyak rezeki. Dan terlalu dekat jarak kelahiran anak, dan terlalu tuanya usia ibu melahirkan. PENYEBAB ANGKA KEMATIAN IBU DI INDONESIA [6] 1 Pendarahan 42 % 2 Eklamapsia ( tekana darahtinggi, demam, sakit kepala yang 13 % hebat dan kejang-kejang ) 3 Karena Aborsi 11 % 4 Karena Infeksi 10 % 5 Karena Persalinan lama 9 % 4 Karena lain-lain 15 % 4. Analisis Penyebab tingginya angka kematian ibu di Indonesia adalah, masih minimnya sarana untuk kesehatan di setiap daerah, dan juga disebabkan persoalan lainnya seperti Pendarahan, Eklamsia, Aborsi, Infeksi, Persalinan lama dan masih banyaknya gizi buruk. Angka kematian ibu melahirkan di Indonesia sangatlah memprihatinkan, angka kematian pada tahun 2002 menunjukan angka 40% per 1.000 angka kelahiran, kemudian pada tahun 2003 mengalami penurunan menjadi 22,9% per 1.000 kelahiran, sedangkan pada tahun 2003 & 2004 masingmasing mengalami penurunan lagi menjadi 22,9% dan 29,4% pada tahun 2005 mengalami kenaikan yang cukup tinggi yaitu mencapai 23,68% per 1.000 kelahiran hidup, dan pada tahun 2006 menunjukan angka 25% per 1.000 kelahiran. Masih tingginya, angka kematian ibu melahirkan di Indonesia menjadi tangung jawab negara. Negara, kedepan wajib melakukan perbaikan-perbaiakan untuk pemenuhan hak atas kesehan seperti, tersedianya peralatan medis, tenaga medis, Puskesmas, Posyandu di setiap Kabupaten yang diperlukan untuk kaum ibu untuk keperluan memeriksakan kandungan. Selain itu pula, penyebab tingginya angka kematian ibu melahirkan di Indonesia, juga masih kurangnya perhatian ibu itu sendiri seperti: Masih belum optimalnya perilaku hidup sehat bagi ibu hamil, sebagaian besar ibu hamil yang berada di daerah terpencil beranggapan, nutrisi untuk janin tidak begitu perlu serta harga-harga terlalu mahal. Kurangnya memperhatikan kesehatan ibu, seperti masih banyak ibu hamil yang meremehkan pemeriksaan kehamilan pada dokter kandungan, karena merasa tidak perlu jika tidak terlalu mendesak. Minimnya pengetahuan masyarakat tentang kesehatan reproduksi, hal ini dibuktikan dengan minimnya pula informasi, sarana, dan prasarana untuk menunjang kesehatan ibu hamil. Terlalu muda usia menikah (usia melahirkan kurang dari 20 tahun), dengan usia melahirkan anak pertama di bawah usia 20 tahun memiliki risiko kematian maternal (saat melahirkan) lebih tinggi dibanding dengan kelompok usia lain. Masih banyak orang tua yang berpendapat banyak anak banyak rezeki, sehingga m asih banyak keluarga yang memiliki lebih dari 3 anak.

Terlalu dekat jarak kelahiran anak (kurang dari dua tahun) yang menyebabkan kesehatan ibu tidak optimal untuk melahirkan anak yang selanjutnya. Terlalau tuanya usia ibu melahirkan anak (di atas 35 tahun) yang memiliki resiko kematian maternalnya meningkat, yaitu resiko terhadap kematian dan kecacatan janin.

Dalam dunia kesehatan, usia ideal melahirkan anak yang sebenarnya adalah pada usia subur, yaitu pada usia 20-35 tahun. Usia ideal melahirkan inilah yang diprioritaskan dalam berbagai program promosi kesehatan reproduksi oleh lembaga-lembaga kesehatan pada masyarakat, khususnya remaja, yang kini banyak wanita di bawah umur 20 tahun yang sudah menikah, khususnya di daerah-daerah terpencil. Informasi merupakan bagian penting dari pemahaman supaya seseorang bukan saja mengetahui akan haknya tetapi juga mengetahui kewajibannya, dalam menjaga kesehatan reproduksinya, serta bagaimana mempertahankan haknya secara benar. Informasi mengenai hak dan kesehatan reproduksi ini harus diberikan secara benar tanpa opini, memberikan informasi sehingga memungkinkan setiap orang dapat mengambil keputusan yang benar atau baik bagi dirinya. Informasi yang diberikan mencakup pengetahuan tentang apa yang terjadi pada dirinya dalam hal reproduksi, bagaimana organ dan fungsi reproduksinya akan berkembang, bagaimana ia dapat mengambil pilihan sesuai dengan keinginannya, dan dimana serta bagaimana ia dapat memperoleh pelayanan kesehatan reproduksi. Oleh karena itu ditegaskan dalam dokumen Kairo tersebut, kewajiban setiap negara untuk memenuhi kebutuhan pelayanan kesehatan. 5. Penutup Sudah ada bebera peraturan, kebijakan dan strategi yang dibuat untuk menurukan angka kematian ibu, namun angka kematian ibu tetaplah tinggi. Apakah upaya kita kurang serius, undang-undang tidak memadai, atau tetap tidak ada sistem yang menjamin pelayanan ibu hamil, melahirkan, dan paska melahirkan. Setiap setengah jam, seorang ibu di Indonesia harus meninggal dunia dengan sia-sia. Hal ini terjadi terus-menerus, dan sistematis. Bila dikaitkan dengan undang-undang hak asasi manusia, ini berarti negara telah melakukan kekerasan terhadap ibu hamil dan perempuan Indonesia. Perjuangan yang sungguh-sungguh, sebuah jihad, perlu untuk menghadapi para pembuat kebijakan, untuk menjelaskan pentingnya memberikan perlindungan dan pelayanan kesehatan reproduksi bagi perempuan, agar perlindungan seperti itu di maksukan dalam undang-undang kesehatan yang baru. Negara harus, terus berusaha untuk mentransfer pengetahuan, itulah yang hingga kini masih dirasa kurang. Pihak pemerintah sendiri yang berkewajiban dalam hal ini tampaknya biasa-biasa saja tindakannya. Sarana juga harus diperhatikan, seperti contoh kasus pelayanan PUSKESMAS dan Pos pelayanan terpadu POSYANDU, dan harus pula di tetapkan bahwa setiap Kabupaten wajib memiliki 4 atau lebih Puskesmas. Karena kini kembali dipertanyakan keberadaannya. Selain karena dianggap kurang menfasilitasi kebutuhan kesehatan ibu hamil, POSYANDU dan pelayanan PUSKESMAS kini juga dianggap kurang jelas keberadaannya. Melihat kondisi POSYANDU dan pelayanan PUSKESMAS sekarang, banyak orang lebih memilih ke dokter untuk memeriksakan kondisi kehamilannya (bagi yang mampu). Karena selain tidak terdengar lagi keberadaannya, juga masalah kenyamanan yang tidak ia dapatkan di sana. Melihat berbagai hal itu, mamang tak ada salahnya bila pemerintah sekarang mengambil langkah-langkah baru untuk menangani masalah ini. Program kesehatan yang disasarkan untuk kaum ibu, haruslah lebih terarah. Kaum ibu yang berada di wilayah republik Indonesia ini perlu mendapat prioritas sebagai sasaran program kesehatan ibu. Mereka perlu dijangkau dengan

pendekatan yang lebih terbuka, sehingga tidak perlu dipersalahkan karena faktor budaya sebagai penghalang kelancaran program ini. Sarana dan prasarana harus di prioritaskan. Untuk beberapa daerah yang lebih parah merupakan jawaban yang tepat dalam merealisasikan program kesehatan ibu. Kendati demikian, tidak berarti daerah-daerah lain diabaikan sebagai sasaran program itu. -----0------

You might also like