Professional Documents
Culture Documents
KontraS (Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan) dibentuk untuk menangani persoalan penculikan beberapa aktivis yang diduga berhubungan dengan kegiatan
politik yang mereka lakukan. Dalam perjalanannya KontraS tidak hanya menangani masalah penculikan dan penghilangan orang secara paksa tapi juga diminta oleh masyarakat korban untuk menangani berbagai bentuk kekerasan yang terjadi baik secara vertikal di Aceh dan Papua maupun secara horizontal seperti di Maluku, Sambas, Sampit dan Poso. Selanjutnya, ia berkembang menjadi organisasi yang independen dan banyak berpartisipasi dalam membongkar praktek kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia sebagai akibat dari penyalahgunaan kekuasaan. KontraS diprakarsai oleh beberapa organisasi non pemerintah dan satu organisasi mahasiswa, yakni: AJI, CPSM, ELSAM, KIPP, PIP-HAM, LPHAM, YLBHI dan PMII
Badan Pekerja: Usman, Edwin, Sri, Ndrie, Gian, Abu, Victor, Sinung, Ori, , Alam, Haris, Harits, Papang, Helmi, Chris, Silly, Yati, Nurain, Ade, Rintar, Ati, Guan Lee, Agus, Rohman, Heri, Daud.
Federasi Kontras: Mouvty dan Bustami. Asiyah (Aceh), Oslan Purba (Sumatera Utara), Pieter Ell (Papua). Edmond LS (Kontras Sulawesi) Badan Pekerja Kontras dibantu oleh relawan-relawan yang tersebar di seluruh Indonesia Redaksi Berita KontraS menerima kritik, saran dan tulisan untuk Berita KontraS
Berita KontraS Diterbitkan oleh: KontraS (Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan). Penanggung Jawab: Usman Hamid Pemimpin Redaksi: Edwin Partogi Redaktur Pelaksana: Hanny Sukmawati. Sidang Redaksi: Haris Azhar, Indria Fernida, Papang Hidayat, Abu Said Pelu, M. Harits, Sri Suparyati dan Mufti Makaarim. Design layout: BHOR_14 Alamat Redaksi: Jl. Borobudur No. 14 Menteng Jakarta Pusat 10320, Indonesia. Telp: 62-21-3926983, 62-21-3928564 Fax: 62-21-3926821 Email: kontras_98@kontras.org. website: www.kontras.org KontraS berdiri bersama para korban & keluarga korban untuk membela hak asasi manusia dan menentang segala bentuk kekerasan, menerima segala jenis bantuan yang bersifat tidak mengikat dan memiliki konsekuensi dalam bentuk apapun yang akan menghambat, mengganggu dan berakibat pada berubahnya substansi dan atau pelaksanaan visi dan misi organisasi. Bantuan dapat dikirimkan ke rekening atas nama KontraS di BII Cab. Proklamasi No. Rek. 2-072-267196. Atau dapat dikirim langsung ke alamat redaksi. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Edwin Partogi di 3926983 atau kontras_98@kontras.org
BERITA UTAMA
Penyelesaian Kasus-kasus Pelanggaran HAM
BERITA UTAMA
Menurutnya, apa yang dikerjakan Pansus ini hanya akan membuang-buang waktu saja, bila pansus kembali melakukan penyelidikan sebagaimana telah dilakukan oleh Komnas HAM. Dalam konteks ini menurut Benny, DPR akan berada pada posisi yang justru menghambat penegakan HAM di Indonesia. korban serta keluarganya. Keputusan DPR ini merupakan sikap politik yang setali tiga uang dengan sikap pemerintah cq Jaksa Agung yang selama ini menolak untuk melakukan penyidikan. Sulit mengharapkan pemerintahan SBY menyelesaikan kasus pelanggaran HAM masa lalu. Sikap ini memang bukanlah suatu yang aneh bila melihat konsfigurasi fraksi di DPR yang menolak penuntasan pelanggaran HAM masa lalu. Sebagian besar fraksi-fraksi tersebut merupakan partai-partai pendukung pemerintah. Jadi, fakta ini sesungguhnya menunjukan bahwa politik HAM parpol dan DPR sangat ditentukan oleh kepentingan untuk mempertahankan kepentingan kekuasaan, bukan konstituen. Situasi ini menjadi sebuah cermin labirin impunitas, sebuah ketidakjelasan atas ketiadaan proses penghukuman dari berbagai institusi negara yang semestinya berwenang. Ketidakjelasan ini menunjukkan negara, bahkan melalui insitusi perwakilan rakyatnya telah unwiliing (tidak berniat) and unable (tidak mampu) dalam menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM. Sungguh ironis, karena sebagai anggota Dewan HAM PBB, Indonesia harus membuktikan tercapainya penegakan dan pemenuhan HAM, khususnya menyelesaikan problem-problem pelanggaran HAM di masa lalu.
Sejak awal DPR (yang lalu maupun yang saat ini) memang tidak berkehendak untuk mendorong kasus TSS diadili secara layak dan akuntabel melalui mekanisme pengadilan HAM. Hal ini bisa dilihat dari Fungsi Jaksa Agung dua Bamus telah dua kali pada 2006 Fenomena kasus TSS merekomendasikan Komisi III untuk ini merupakan wajah Sebelumnya juga, mengenai polemik Pasal 43 UU Pengadilan HAM, KontraS sudah berkali-kali melakukan kajian atas kasus TSS. Oleh masifitas lembagamengingatkan bahwa fungsi Jaksa Agung ada dua, karenanya hasil Komisi III yang menyatakan lembaga negara yakni sebagai penyidik dan penuntut. Jaksa Agung terdapat pelanggaran HAM yang berat, untuk menghindar saat ini belum masuk dalam tahapan untuk seharusnya otomatis diterima. Bukti lainya menuntaskan kasus menyerahkan kasus ini ke pengadilan HAM. Karena adalah prosedur-prosedur DPR yang sangat pelanggaran HAM itu ada di tahap penuntutan. Saat ini kasus tersebut tidak lazim dalam membuat keputusan. yang berat. baru masuk dalam tahap penyidikan, belum Terakhir, sepertinya semua pihak dalam DPR, penuntutan. Karena itu wajib menindak lanjuti hasil Fraksi dan alat kelengkapan DPR, merasa berkepentingan untuk membahas namun akhirnya tetap penyelidikan Komnas HAM dengan melakukan penyidikan. Jika penyidikan selesai, dan Jaksa Agung hendak melakukan menolak menindak lanjuti. penuntutan, baru DPR merekomendasikan pengadilan HAM ad Padahal, semangat dari dimintanya DPR membuat hoc. Dengan begitu, alasannya lebih masuk akal. rekomendasi hanya untuk meminta ijin ketika prinsip hukum non retro aktif dilanggar dalam penegakan hukum Permintaan Jaksa Agung agar DPR lebih dulu mengusulkan atas kasus pelanggaran HAM dimasa lalu yang belum diadili pengadilan ad hoc HAM sebelum Jaksa Agung menyidik, sama secara layak. DPR bukan diminta untuk menentukan kapan? saja dengan meminta DPR kembali masuk ke ranah hukum. Jaksa Dimana? Dan layak atau tidaknya kasus tersebut diteruskan. Agung seharusnya berpegang teguh pada hukum yang memberi kewenangan kepada Komnas HAM untuk menentukan dugaan Hal ini telah menjadi tugas Komnas HAM. terjadinya pelanggaran HAM berat. Sebab bukan tidak mungkin Fenomena kasus TSS ini merupakan wajah masifitas kasus penculikan aktivis 1997/1998 akan bernasib seperti kasus lembaga-lembaga negara untuk menghindar menuntaskan Trisakti Semanggi. Terhambat karena DPR masuk ke ranah kasus pelanggaran HAM yang berat. Fakta ini justru hukum dan menganulir penyelidikan Komnas HAM. bertentangan dengan norma dan image Indonesia di Internasional. Penegakan HAM tanpa diskriminasi Hal senada diungkapkan oleh anggota Komnas HAM, Eny merupakan amanat UUD 1945. Di level internasional Soeprapto, yang dengan tegas mengatakan bahwa Komnas HAM Indonesia menduduki posisi cukup penting dalam Dewan menolak langkah DPR dalam membentuk Pansus kasus HAM PBB serta telah meratifikasi konvenan hak-hak sipil penghilangan orang atau penculikan aktivisi 1997-1998. Penolakan ini karena DPR hanya lembaga politik yang tidak dan Politik. mempunyai kewenangan menyelidiki dan menyidik. Pada posisi ini DPR juga kembali menunjukkan keberpihakannya terhadap para pelaku, dibanding upaya Menurut UU 26/2000 tentang Pengadilan HAM, DPR hanya untuk memberikan kepastian hukum dan keadilan bagi berperan mengusulkan kepada pemerintah untuk membentuk
BERITA UTAMA
pengadilan HAM ad hoc terhadap kasus pelanggaran berat HAM masa lalu. Seharusnya, DPR menyerahkan kewenangan penyelidikan dan penyidikan kepada Komnas HAM dan Kejaksaan Agung. Untuk itu, Komnas HAM akan segera melakukan rapat paripurna menyusul keputusan DPR tersebut. Putusan ini kembali menunjukkan ada begitu banyak pihak, khususnya lembaga negara yang ingin menggelapkan kasus ini, salah satunya lewat sebuah keputusan atau sebuah kebijakan yang kerap pula dipolitisir. Dalam perjalanan delapan tahun kasus-kasus pelanggaran HAM yang ada, kita bisa melihat dengan arah kebijakan yang sangat tidak memihak pada kepentingan korban oleh penguasa. Atas kekacauan penegakan Hukum HAM dan intervensi politik dalam penegakan HAM, KontraS merekomendasikan, dilevel hukum, agar sesegera mungkin Departemen Hukum dan HAM melakukan sosialisasi sistem penegakan hukum dan prinsipprinsip HAM ke anggota DPR. Tujuannya agar prinsip-prinsip hukum dan HAM dimaknai dalam aktifitas politik, sehingga terbangun politik yang konstitusional dan terpenuhinya hak korban. KontraS juga berharap Komnas HAM segera meminta pendapat dari Mahkamah Konstitusi tentang peran DPR yang terlalu jauh merasuki proses hukum. Secara politis, KontraS juga mengingatkan DPR bersiap diri menerima sanksi sosial dan moral dari masyarakat atas keputusannya. Dilevel internasional putusan ini semakin memperburuk citra Indonesia dalam penghormatan Hak Asasi Manusia dimata dunia Internasional. ***
Dukungan internasional
Di sisi lain, dengan jelas terungkap bahwa pernyataan tersebut tidak merefleksikan kondisi hak asasi manusia di tingkat nasional. Kiranya kita patut khawatir bila hal serupa akan terus didengungkan sebagai alat bagi diplomasi ditingkat internasional tanpa ada kontrol dari masyarakat sipil. Karenanya tidak salah bila kita terus memberi tekanan, agar komunitas Internasional, khususnya melalui mekanisme PBB, mendesak pemerintah Indonesia melaksanakan berbagai instrument hukum HAM internasional dan menyelesaikan masalah pelanggaran HAM yang terus berlangsung. Termasuk pula dukungan intemasional baik dari negara maupun dari Dewan HAM untuk perbaikan dan penyelesaian HAM di Indonesia. Sementara itu melihat maraknya praktek-praktek kejahatan yang dilakukan oleh perusahaan TNCs-MNCs, secara khusus kita meminta dewan ham PBB untuk berinisiatif membentuk badan pelapor khusus yang melakukan pemantauan atas kasus-kasus kejahatan korporasi yang terjadi selama ini. Sekali lagi, tak ada kata lagi, pemerintah Indonesia harus secara serius melaksanakan berbagai janji yang diucapkan baik dalam pidato high /eve/ segment maupun janji dan komitmen saat mencalonkan diri menjadi anggota Dewan HAM PBB. Secara khusus, juga meminta pemerintah segera mengundang specia/ rapporteur extrajudicia/, summary or arbitrary execution untuk kasus Munir serta specia/ rappertur of independency judiciary untuk problem impunitas yang terjadi. Terakhir, mendesak pelaksanaan RANHAM secara optimal di seluruh wilayah Indonesia.***
OPINI
Awal medio 2007, kembali mengemuka pembahasan dan debat terhadap tindak lanjut kasus-kasus pelanggaran HAM berat yang selama ini terbengkalai, kasus Trisakti Semanggi I dan II, Mei 1998 dan Penculikan Aktivis 1997/1998. Dalam Rapat Kerjanya Komisi III DPR kembali mempertanyakan penyelesaian kasus-kasus tersebut kepada Jaksa Agung maupun Komnas HAM. Komnas HAM menyatakan bahwa penyelidikan telah selesai dan prosesnya saat ini ada pada tingkat penyidikan Jaksa Agung. Sementara Jaksa Agung juga tetap bersikukuh untuk menunggu usulan DPR bagi pembentukan pengadilan HAM adhoc. Di sisi lain, dalam level proses yang sama, tak tampak pembahasan kasus Wasior 2001 dan Wamena 2003 di Papua, yang secara hukum tak memiliki hambatan untuk segera disidik. Jawaban Komnas HAM dan Jaksa Agung tetap sama seperti tahun lalu. Termasuk juga debat dan saling tuding yang mendasarkan diri pada interpretasi yang berbeda dari regulasi yang ada. Sementara Komisi III DPR tampak tak punya argumentasi yang tegas sehingga memberikan respon yang berbeda kepada Jaksa Agung dan Komnas HAM. Di sisi lain, respon penanganan terhadap penyelesaian kasus Trisakti Semanggi berbeda dengan kasus Mei 1998 dan kasus Penculikan Aktivis 1997/1998. Untuk kasus Trisakti Semanggi, DPR mendorong Jaksa Agung untuk menyidik tanpa mencabut rekomendasi politik yang dihasilkan pada periode 1999-2004 lalu, yang menyatakan tidak ada pelanggaran HAM berat untuk kasus Trisakti Semanggi I dan II. Setahun kemudian Komnas HAM, satu-satunya lembaga yang memiliki kewenangan untuk menyelidiki kasus-kasus pelanggaran HAM menyatakan adanya dugaan pelanggaran HAM berat untuk kasus ini. Jika dilihat dalam logika hukum, tentu saja keputusan politik DPR yang lahir dari bias kepentingan politik bisa diabaikan karena tidak memiliki upaya hukum yang mengikat. Apalagi tidak ada kewenangan DPR untuk melakukan tugas penyelidikan hukum. Namun ternyata hal tersebut menjadi alasan utama ditundanya penyidikan Jaksa Agung (selain tentunya alasan formil dan materil yang dikemukakan, sehingga terjadi pengembalian berkas penyelidikan berkali-kali). Sejak pertengahan Juni 2005, janji DPR untuk mencabut rekomendasi tak kunjung direalisasikan. Pembahasan dalam mekanisme internal tidak pernah masuk dalam substansi permasalahan, tetapi hanya mendelegasikan rencana
pembahasan dalam rapat internal lainnya. Alhasil, tak pernah ada langkah nyata untuk pencabutan rekomendasi tersebut. Bagi kasus Penculikan Aktivis 1997/1998 berbeda lagi. Jaksa Agung tak mau melakukan penyidikan dengan alasan pengadilan HAM adhoc belum dibentuk. Sebuah alasan yang mengada-ada karena secara institusional pengadilan HAM terdapat di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Sementara adhoc mengacu pada peristiwa serta perangkat pendukung seperti hakim adhoc dan jaksa adhoc. Selain itu, proses hukum dalam kasus tersebut saat ini ada pada tahap penyidikan Jaksa Agung, yang memiliki kewenangan untuk menggali fakta dan mencari bukti-bukti untuk memperkuat hasil penyelidikan Komnas HAM yang telah menyimpulkan dugaan terjadinya pelanggaran HAM berat. Proses penuntutan inilah yang akan menjadi landasan DPR untuk mengusulkan kepada Presiden bagi pembentukan pengadilan HAM adhoc. Di sisi lain, terdapat hal yang khusus dalam rekomendasi Komnas HAM untuk kasus ini. Berdasarkan prinsip HAM serta Konvensi tentang Perlindungan Semua Orang dari Penghilangan Paksa, sejumlah aktivis yang masih hilang harus diyakini masih hidup, sehingga dianggap sebagai kejahatan yang berkelanjutan (continuoing crimes). Oleh karenanya jurisdiksi pengadilan ada pada tahap pengadilan HAM (yang permanen). Di tengah ketidakjelasan tersebut, Komisi III DPR justru kalah berdebat dengan Jaksa Agung. Rapat Paripurna DPR memutuskan membentuk Pansus untuk kasus Penculikan Aktivis 1997/1998 sebagai alat untuk rekomendasikan pembentukan Pengadilan HAM adhoc kepada Presiden. Sebuah keputusan yang mengecewakan mengingat langkah serupa pernah diambil untuk kasus Trisakti Semanggi I dan II, yang justru menjadi penghambat hingga kini. Langkah ini juga justru memperlambat pemenuhan hak korban yang telah lama menanti keadilan. Apalagi Rapat Kerja Tripartit antara Komisi III DPR dengan Jaksa Agung dan Komnas HAM yang diusulkan oleh korban dan kelompok sipil dan diharapkan dapat menghasilkan penyelesaian yang efektif tidak berhasil mengakhiri kebuntuan ini. Tampak jelas adanya politik hitam yang kental dalam tubuh DPR yang menunjukkan keberpihakannya untuk menghambat penyelesaian kasuskasus masa lalu.
OPINI
melakukan pekerjaan lainnya, sehingga tidak memprioritaskan penyelesaian kasus ini. Selain itu Komnas HAM juga tidak mendapatkan respon serius dari aparat TNI untuk bekerja sama. Sebuah bentuk nyata minimnya kerjasama dan kemauan politik dari lembaga terkait lainnya. Hal serupa yang juga terjadi pada saat penyelidikan kasus Trisakti Semanggi I dan II, Mei 1998 maupun kasus Penculikan Aktivis 1997/1998, seperti ijin Kejaksaan Agung untuk pemeriksaan lokasi serta ijin Ketua Pengadilan Negeri untuk pemanggilan paksa. Menjelang penyelidikan selesai, upaya Komnas HAM bertemu Presiden untuk mendiskusikan hal ini juga tak terwujud. UU Otonomi Khusus di Papua dan UU Pemerintahan Aceh tak juga nyata wujudkan pengadilan HAM dan KKR sebagai upaya pemenuhan korban pelanggaran HAM. Korban ditinggalkan. Korban dilupakan.
Labirin Impunitas
Ketidakjelasan seluruh proses ketiadaan pertanggungjawaban dan penghukuman ini menunjukkan pola labirin impunitas. Seluruh insitusi negara, seakan bahu membahu saling menuding untuk melempar tanggung jawabnya, tanpa ada jalan keluar yang efektif. Tampak jelas tiadanya political Dok.Kontras will yang cukup dari pemerintah dan DPR untuk mendorong proses kebenaran (truthseeking) dari peristiwa kemanusiaan di masa lalu.
Sementara sederet kasus pelanggaran HAM berat lainnya tak juga tersentuh hukum. Negara seakan lupa bahwa telah terjadi berbagai kejahatan kemanusiaan di negeri ini. Alih-alih mengakui bertanggungjawab atas keterlibatannya, tetapi justru Pembenahan reformasi sistem dan membiarkan para korban pelanggaran HAM institusi hukum serta reformasi dalam terus menjadi korban. Hingga saat ini sektor keamanan melalui regulasi yang misalnya, korban 1965 tetap mengalami berpihak pada HAM, ratifikasi diskriminasi karena dituduh sebagai bagian berbagai konvensi hingga janji dan dari partai komunis yang diperlakukan ikrar sukarela saat menjadi anggota sebagai anak tiri di negeri ini. Jangankan Dewan HAM PBB tak cukup jika tak digelarnya penyelidikan atas fakta yang diiringi dengan pelaksanaan nyata. terjadi, berbagai regulasi yang masih Upaya itu justru menimbulkan dugaan mendeskreditkan diri mereka masih belum miring sebagai politik manis dicabut. Akibatnya, rehabilitasi sosial tak Aksi menuntut penuntasasan pemerintah dalam kancah pernah terwujud. Rekomendasi dari pelanggaran HAM internasional. Mahkamah Agung, DPR dan Komnas HAM kepada Presiden RI untuk pemenuhan Pembiaran terhadap seluruh rehabilitasi umum kepada para korban juga tak mendapatkan kebuntuan ini jelas merupakan pelanggaran konstitusional. respon yang berarti. Karena proses penegakan, perlindungan dan pemenuhan HAM Kasus Pembunuhan Munir, yang menjadi harapan bagi tonggak tercapainya keadilan kasus-kasus pelanggaran HAM lainnya juga kelam. Kepolisian tak juga menuntut pelaku konspirasi pembunuhan, walau jelas dinyatakan dalam putusan PN Pusat. Jaksa Agung belum juga membuka percakapan 41 kali antara Pollycarpus dan Muchdi PR, mantan Deputy V BIN. Sementara Presiden tetap diam. Tak juga umumkan hasil penyelidikan Tim Pencari Fakta yang secara politik semestinya dapat mendorong seluruh institusi negara untuk mengungkap pembunuhan ini. Di sisi lain harapan dari pengadilan HAM seakan pupus, melihat kenyataan bahwa pengadilan justru membebaskan para pelaku pelanggar HAM. Sungguh ironi, karena ternyata tak ada yang bertanggung jawab atas peristiwa kejahatan kemanusiaan di Timor Leste, Tanjung Priok dan Abepura. Termasuk pula tak ada langkah konkret yang dilakukan untuk pemenuhan korban-korban di masa DOM di Aceh dan Papua. adalah tanggungjawab negara. Maka sudah saatnyalah Presiden bertindak untuk mengatasinya. Dukungan politik kepada seluruh institusi negara merupakan hal yang mutlak dilakukan. Apalagi, Presiden telah menegaskan bahwa penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM adalah salah satu program utama pemerintahannya. Namun tanggung jawab negara memang tak pernah diberikan cuma-cuma. Keadilan harus direbut. Untuk itulah aksi DiamHitam-Kamisan yang dilakukan para korban pelanggaran HAM di depan Istana Presiden terus dilakukan Untuk menjaga harapan. Untuk terus mengingatkan, bahwa korban masih ada. Korban masih terus menggugat. Korban tak pernah diam. Selama tak ada pemenuhan hak yang efektif bagi korban pelanggaran HAM berupa kebenaran (truth), keadilan (justice) dan reparasi (reparation), bangsa ini akan terus terjebak hidup dalam sejarah hitam masa lalu yang selalu coba ditutupi sekalipun nyata terlihat. ***
Berdasarkan prinsip HAM serta Konvensi tentang Perlindungan Semua Orang dari Penghilangan Paksa, sejumlah aktivis yang masih hilang harus diyakini masih hidup, sehingga dianggap sebagai kejahatan yang berkelanjutan (continuoing crimes)
Menimbulkan pertanyaan
Di sisi lain, pengumuman dua tersangka baru ini oleh Kapolri menimbulkan pertanyaan dari kalangan anggota DPR dan aktivis. Mereka mempertanyakan apa sebenarnya yang mau diungkap Polri, kasus pemalsuan surat atau pembunuhan Munir. Ketua Komisi III DPR Trimedya Pandjaitan mengapresiasi perkembangan pengungkapan kasus pembunuhan Munir yang dilakukan Polri, namun dia berharap pencapaian itu bukan sekadar gula-gula menjelang diadakannya Sidang Dewan HAM PBB. Pengungkapan kasus Munir ini semestinya tidak berhenti pada dua orang tapi membongkar mata rantai sehingga mengetahui siapa sesungguhnya pembunuh Munir, lanjutnya. Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Kebangkitan Bangsa, Nursyahbani Katjasungkana, juga meminta Kapolri agar segera melakukan pengusutan dan kemudian melaporkan hasilnya ke publik. Sedangkan aktivis LSM, Amiruddin Al Raham, menduga penetapan dua tersangka baru itu terkait dengan usaha untuk mengamankan pencalonan anggota Dewan HAM PBB yang pemilihannya akan dilakukan akhir Mei 2007. Sedangkan mantan anggota TPF, Asmara Nababan mempertanyakan atas dasar apa Kapolri menyebutkan kedua
Kejakgung optimis PK
Sementara itu, Jaksa Agung yakin upaya peninjauan kembali (PK) atas Pollycarpus BP dalam kasus Munir bisa dilakukan. Ke-optimisan tersebut, menurut Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh didasarkan pada novum yang ada. Kan ada yurisprudensi, ujarnya, Rabu (18/4). PK merupakan upaya hukum luar biasa yang ditempuh oleh terpidana atau keluarganya. Ketentuan itu ada dalam Pasal 263 KUHAP. Upaya PK yang diajukan oleh jaksa tak disebutsebut dalam ketentuan itu. Mengenai aturan PK dalam KUHAP, Jaksa Agung menegaskan, upaya PK itu bisa saja dilakukan oleh jaksa. Dikatakannya, PK oleh jaksa itu sudah ada yuresprudensinya. Pada tahun 1996, MA mengeluarkan putusan kontrovesial, yang baru pertama kali terjadi di dunia hukum Indonesia, dengan mengabulkan permohonan PK dari jaksa penuntut umum. Dalam kasus kisruh buruh di Medan pada tahun 1994, di pengadilan tingkat pertama dan tingkat banding, Mochtar Pakpahan dihukum empat tahun penjara. Namun, di tingkat kasasi Mochtar dibebaskan. Atas putusan kasasi itu, jaksa Havid Latif dari Kejaksaan Negeri Medan kemudian mengajukan PK yang diterima dan dikabulkan oleh MA pada 1966 oleh majelis hakim agung Soerjono, Palti Raja Siregar, dan Sarwata. Kejagung sendiri menurut Arman, baru menerima sebagian bukti baru (novum) dari Mabes Polri pada 13 April 2007, yang akan digunakan untuk mengajukan PK. Novum yang diserahkan itu Mabes Polri itu antara lain, kesaksian seseorang yang melihat Munir bersama dengan Pollycarpus di Bandara Changi, Singapura, hasil forensik dari Seattle, Amerika Serikat,
Tak terekam
Namun, perkembangan kasus pembunuhan ini nyatanya juga mengalami hambatan. Di akhir bulan April lalu, Kapolri Jenderal Sutanto mengaku tidak bisa mengungkap isi percakapan telepon, yakni antara mantan pilot Garuda, Pollycarpus dengan mantan Deputi V BIN, Muchdi Purwopranjono. Padahal, isi percakapan itu penting karena diduga membahas rencana pembunuhan terhadap Munir. Menurut Sutanto, penyedia jasa telepon di Indonesia hanya merekam tagihan (billing) yang berisi data tanggal, jam, dan durasi percakapan. Tidak ada isi pembicaraan antara Muchdi dan Polly, ujar Kapolri (24/04). Penyidik, menurut Kapolri, sekarang bisa meminta pembicaraan telepon disadap dan direkam. Tapi itu hanya berlaku setelah adanya pembunuhan Munir. Sebelum terjadi peristiwa itu, tidak bisa dilakukan, ujar Kapolri. Sutanto menambahkan, meskipun ada indikasi komunikasi berkali-kali antara Muchdi dan Pollycarpus, polisi tidak bisa gegabah mengajukan indikasi itu sebagai bukti baru.Harus ada alat bukti yang menguatkan. Kalau tidak ada, bisa ditolak pengadilan.
Ongen, yang menurut saksi mata berbincang-bincang dengan Munir dan Pollycarpus di Bandara Udara Changi, Singapura, saat pesawat yang mereka tumpangi transit, dianggap polisi sebagai salah satu tokoh kunci untuk Berdasarkan fakta di menguak kasus pembunuhan ini.Ongen, sebelumnya lebih dikenal sebagai pengadilan, terungkap penyanyi dan pengarang lagu pada adanya 41 kali sambungan dasarwasa 1980. Ongen banyak antara telepon Polly dan menciptakan lagu top, termasuk yang telepon di ruang kerja kerja dibawakan oleh keponakannya, penyanyi Muchdi. Komunikasi terkenal, Glen Fredly.
Sebelumnya, berdasarkan hasil temuan dan setelah pembunuhan (dokumne) TPF, BI, (salah seorang yang Munir. diduga terlibat dalam kasus ini), memiliki hubungan dekat dengan Pollycarpus, pada tanggal 14 Mei 2003 dia bersama Berdasarkan fakta di pengadilan, terungkap Pollycarpus pergi ke Banda Aceh dan Lhokseumawe. adanya 41 kali sambungan antara telepon Polly dan telepon di Pollycarpus mengenal BI, karena sama-sama anggota ruang kerja kerja Muchdi. Komunikasi tersebut terjadi sebelum Persatuan Penembak Indonesia. Menurut TPF, pria tersebut dan setelah pembunuhan Munir. pernah menjadi Kepala Pos Wilayah Badan Intelijen Negara Kalimantan Selatan. Pada 25 Agustus sampai dengan 7 September 2004, terjadi 10 TPF sendiri pernah mengundang BI pada tanggal 13 Juni 2005 kali sambungan antara telepon seluler Polly dan nomor BIN. dengan mengambil tempat pertemuan di kantor Lemhanas. Adapun setelah pembunuhan Munir, tepatnya pada 17 Tapi dokter yang paham soal unsur-unsur kimia tersebut November 2004, tercatat lima kali sambungan. Pada waktu yang tidak datang. Dia juga tidak tercantum dalam manifes sama terjadi pula komunikasi 27 kali antara Polly dan Muchdi melalui ponsel atas nama Yohanes Ardian ( Vice Presiden PT pesawat Garuda yang ditumpangi Munir. Barito).Muchdi sendiri mengakui nomor telepon yang dihubungi Perkembangan penyelidikan dan langkah pihak kepolisian Polly itu miliknya. Namun, dia membantah melakukan terhadap pengungkapan kasus Munir ini ternyata sangat pembicaraan dengan Polly. dihargai oleh sejumlah perwakilan negara sahabat. Mereka menilai, pengungkapan kasus ini memiliki arti yang sangat Sedangkan Kepala BIN, Syamsir Siregar berharap polisi membuka isi percakapan teepon Polly dan Muchdi tersebut. penting dalam pertumbuhan demokrasi di Indonesia. Kan (rekaman percakapan) sudah dibawa ke Amerika. Saya Para diplomat juga mengatakan pentingnya dukungan minta polisi buka itu. Apa sulitnya, ujarnya. Sementara itu, politik Presiden SBY kepada polisi untuk menyelesaikan kasus Syamsir sendiri juga berjanji tidak akan menghalangi penyidik dalam memeriksa anggota BIN yang diduga terlibat kasus ini, ujar Rafendi Djamin dari Human Rights Working Group. Munir. Pernyataan itu diberikan setelah Rafendi bersama dengan sejumlah anggota KASUM bertemu dengan perwakilan dari Garuda harus bayar Rp 664 juta 10 negara dan Komisi Eropa di sebuah hotel di Jakarta. Pertemuan dengan agenda utama membahas perkembangan Sementara dalam gugatan terhadap PT. Garuda yang dilakukan kasus Munir ini berlangsung sekitar 1,5 jam dan bersifat oleh Suciwati, Majelis Hakim dalam putusannya menyatakan tergugat I PT. Garuda dan tergugat IX pilot GA 974 Singapuran
10
Setiap orang berhak atas kebebasan dan keamanan peribadi. Tidak seorang pun dapat ditangkap atau ditahan secara sewenang-wenang. Tidak seorang pun dapat dirampas kebebasannya kecuali berdasarkan alasan alasan yang sah, sesuai dengan prosedur yang ditetapkan oleh hukum.
(Pasal 9 (ayat 1) Konvenan Hak Sipil Politik)
11
Untuk itu, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) dan Komite Aksi Solidaritas Untuk Munir (KASUM) Laporkan kasus Munir Ke Dewan HAM didukung oleh berbagai lembaga lain membentuk Majelis Eksaminasi untuk melakukan Eksaminasi Publik atas proses Sementara itu, KASUM mengapresiasi langkah Specia! Rapporleur hukum kasus pembunuhan Munir. Hal ini dilakukan karena on Extra Judicial Execution Prof. Philips AIston yang akhir Maret lalu secara resmi melaporkan kasus Munir putusan Mahkamah Agung (3/10/06) atas ke Dewan HAM PBB. terdakwa Pollycarpus dalam perkara pembunuhan Munir dirasakan telah Dalam laporannya itu pihak Pelapor mementahkan logika hukum. Sebab, Eksaminasi ini Khusus menilai pemerintah RI terdapat kejanggalan-kejanggalan kejadian bertujuan melakukan menunjukan sikap yang Kooperatif namun dan hubungan-hubungan pihak-pihak yang tidak lengkap (cooperative but incomplete). kajian yuridis terhadap dicurigai, namun pengadilan tidak mampu Hal itu karena dari sejumlah keterangan atau proses hukum dalam memutus siapa yang bersalah dan siapa informasi yang diminta, pemerintah Indonesia yang paling bertanggungjawab. kasus ini dan tidak responsif terhadap sejumlah hal yang memberikan memerlukan klarifikasi. Eksaminasi ini bertujuan melakukan kajian rekomendasi hukum yuridis terhadap proses hukum dalam Philips Alston sebelumnya meminta kepada pihak-pihak kasus ini dan memberikan rekomendasi sejumlah informasi, terutama terkait soal hukum kepada pihak-pihak terkait. terkait. salinan laporan dan rekomendasi Tim Eksaminasi ini juga merupakan bentuk dari Pencari Fakta (TPF) Munir serta salinan pengawasan masyarakat terhadap jalannya putusan Mahkamah Agung tertanggal 3 penegakan hukum di negeri ini. Oktober 2006, yang menganulir vonis Majelis Eksaminasi terdiri dari Prof. Soetandyo pembunuhan Pollycarpus. Termasuk informasi terhadapa Wignjosoebroto MPA (Guru Besar Universitas Airlangga), individu-individu tambahan, selain Pollycalpus, dan informasi Prof. DR. Komariah Emong Sapadjaja (Guru Besar mengenai rekomendasi kunci TPF Presiden yang terlihat Universitas Padjajaran), DR. Rudy Satriyo Mukantardjo diabaikan oleh Polri dan Kejaksaan Agung. (Pakar Hukum Pidana UI), Irianto Subiakto, S.H., LL.M. (Advokat), dan Firmansyah Arifin, S.H. (Ketua Konsorsium KASUM berharap desakan itu ditanggapi serius oleh Pemerintah RI terutama Presiden SBY. Terlebih pada 7 Desember Reformasi Hukum Nasional). 2006 lalu, DPR RI telah merekomendasikan kepada Presiden Latar belakang para anggota Majelis Eksaminasi akan untuk bekerjasama dengan lembaga hak asasi manusia memperkuat kajian yuridis terhadap proses hukum kasus intemasional. pembunuhan Munir. Begitu pula halnya dengan kemandirian dan obyektifitas anggota Majelis Eksaminasi, KASUM berpendapat jika hal ini diabaikan akan semakin diharapkan dapat menunjukkan kredibilitas hasil berdampak buruk bagi citra dan kiprah RI dalam diplomasi intemasional. Hal ini juga berpotensi membuka ruang bagi eksaminasi. penggunaan mekanisme internasional dalam kasus Munir, Proses eksaminasi sendiri sudah berjalan sejak akhir Januari terlebih karena Alston merupakan pejabat kunci PBB. 2004. Didahului dengan pembentukan Majelis Eksaminasi, Penyidikan kasus Munir oleh Polri saat ini dapat berperan besar dalam menjawab desakan PBB tersebut.***
12
BERITA DAERAH
BERITA DAERAH
Menghancurkan kepercayaan
Demikian halnya dengan penganiayaan sekelompok warga terhadap anggota TNI tersebut, juga suatu hal yang salah kaprah, main hakim sendiri mengartikulasikannya dengan kekerasan adalah sebuah tindakan yang akan menghancurkan rasa kepercayaan antar para pihak. Keberadaan pasukan TNI di SD Alue Dua patut
13
BERITA DAERAH
seluruh masyarakat bahwa perdamaian ini adalah pintu masuk untuk mewujudkan cita-cita sosial yang diidamkan. Lebih jauh menilik semua permasalah yang ada tersebut, sesegera mungkin kepala pemerintahan Aceh, kepolisian, unsur pimpinan KPA, melakukan rembuk guna mencari solusi yang tepat untuk mewujudkan normalisasi dampak dari rentetan kekerasan yang terjadi. Pihak Kepolisian untuk segera menjalankan fungsinya selaku aparat penegak hukum dan pengayom masyarakat dan menyelesaikan insiden kekerasan dan tindakan kriminal. Termasuk pula mendesak TNI untuk tidak mengintervensi proses hukum kasus Alue Dua dengan memberi kewenangan sepenuhnya kepada polisi untuk mengusut kasus tersebut secara objektif. Sementara lembaga-lembaga internasional yang sedang melakukan proses rehab dan rekons di Aceh bisa menghormati proses hukum dengan tidak melibatkan TNI sebagai penjaga keamanan. Pada akhirnya, meminta semua pihak untuk menghormati MoU Helsinki, menjalankan UU No.11/2006 tentang Pemerintahan Aceh dan menjaga perdamaian di Aceh.***
Perlindungan saksi dan Korban bertujuan memberikan rasa aman kepada Saksi dan/atau Korban dalam memberikan keterangan pada setiap proses peradilan pidana
(Undang-Undang No.13 tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban)
Negara-negara pihak harus mengambil tindakan-tindakan untuk memerangi perdagangan gelap anak-anak dan tidak dipulangkan kembali anak-anak yang ada di luar negeri
(Pasal 11 (1) Konvensi Hak Anak)
14
BERITA DAERAH
15
BERITA DAERAH
Tragedi Banggai Sulawesi Tengah
16
BERITA DAERAH
Atas dasar itu, Kapolri selayaknya mengambil tindakan tegas aparatnya baik pada tingkat komando maupun pelaku dilapangan yang telah mengakibatkan jatuhnya korban dikalangan warga sipil melalui proses peradilan. Sedangkan Komnas HAM segera melakukan penyelidikan atas peristiwa ini dan mengusut tuntas serta meminta pertanggungjawaban Kapolres Banggai dan menyeret para pelaku penembakan ke pengadilan. Ada baiknya banyak kasus kekerasan polisi ini menjadi bahan bagi Presiden dan DPR meninjau kembali kewenangan Polri pada UU No.2/2002. ***
Seperti tahun 2006, dimana ada anggota Polsek Buol yang telah melakukan penembakan kepada warga sipil, kemudian juga peristiwa korban jiwa akibat peluru nyasar terjadi di Palu. Korban peluru nyasar kembali jatuh, penembakan yang dilakukan Bripda (Andri) menelan korban jiwa yang mengakibatkan korban Akbal Setyawan (27) warga Jalan Melati, Perumnas Balaroa, Kecamatan Palu Barat Meninggal dunia pada dini hari (14/1) lalu.
Polisi tidak cukup hanya mengatakan senjata yang dimiliki DPO (Daftar Pencarian Orang) berasal dari Filipina dan eks kerusuhan Ambon, tetapi juga harus menangkap aktor yang mengedarkan senjata itu,
daftar pencarian orang dan anggota kelompok bersenjata Gebangrejo lainnya adalah langkah maju untuk menyelesaikan persoalan keamanan di Poso. Sayangnya, langkah itu tidak diikuti pengusutan dari mana dan bagaimana pelaku teror itu mendapat senjata api. Polisi tidak cukup hanya mengatakan senjata yang dimiliki DPO (Daftar Pencarian Orang) berasal dari Filipina dan eks kerusuhan Ambon, tetapi juga harus menangkap aktor yang mengedarkan senjata itu, kata Edmond.
Menurut Edmond, masih cukup banyak senjata api ilegal yang beredar di Poso, sehingga bukan tidak mungkin suatu saat nanti senjata itu akan digunakan untuk melakukan kejahatan. Namun, Wakil Kepala Polda Sulteng Komisaris Besar I Nyoman Sindra mengatakan, semua senjata api yang ditemukan dan disita dari DPO telah didata dan tengah diselidiki asalnya dari mana. Pengusutan itu kami lakukan bersama-sama dengan sejumlah polda terkait, bahkan dengan Filipina dan Malaysia, kata Sindra. Akan tetapi, Sindra mengakui pengusutan itu tidak mudah sebab sebagian besar senjata api yang ditemukan di Poso nomor registrasinya telah dihapus. Pengawasan masuknya senjata api juga sulit karena banyaknya celah di sepanjang pantai Indonesia yang mudah dimasuki pengedar senjata ilegal. Menanggapi kondisi tersebut, KontraS sendiri menilai langkah awal yang seharusnya dapat dilakukan polisi, juga TNI, adalah mengaudit seluruh persenjataan (senpi) dan Amunisi disemua tingkatan Polres yang mencakup Polsek diseluruh wilayah kerja Polda Sulteng. Selanjutnya secepatnya pula melakukan kembali uji psikotes kepada semua anggota polisi yang memegang senpi, karena senpi ini merupakan jenis senjata yang sangat berbahaya dan mematikan apabila tidak diawasi penggunaannya secara ketat. Terakhir, menjatuhkan hukuman yang tegas kepada anggota kepolisian yang terbukti menyalahgunakan penggunaan senpi.***
Pemeriksaan ini harus dilakukan secara serentak dan merata pada semua tingkatan Polres di Sulteng. Dimana pemeriksaan Senpi ini juga meliputi pemeriksaan mengenai jumlah senpi dan amunisi yang sedang dipergunakan oleh anggota kepolisian maupun yang berada di dalam Gudang, karena tidak menutup kemungkinan ada yang hilang. Kemudian, mengenai administrasinya atau surat-surat kelengkapan, karena bisa jadi ada kemungkinan ada suratsuratnya yang telah hilang atau kadaluarsa. Termasuk pemeriksaan penting lainnya, yakni menyangkut psikologi pemegang senpi itu sendiri.
17
REMPAH-REMPAH
Tinta bercampur darah terus ditorehkan oleh lembaga pendidikan ini. Sejak sekolah ini didirikan pada tahun 1999, sejumlah korban yang berasal dari siswanya sendiri terus berjatuhan. Dengan dalih menanamkan kedisiplinan, institusi itu kemudian menghiasi catatan perjalanannya dengan sejumlah aksi kekerasan. Departemen Dalam Negeri mengatakan selama periode 1993-2007, tercatat 27 praja Ini adalah kebiadaban dari dunia pendidikan yang harus meninggal dalam pendidikan. dihapus sampai keakar-akarnya. Apalgi melihat Namun, katanya, hanya tiga tindakan kekerasan yang terus berulang, maka kasus kematian karena kekerasan hal itu menjadi pola, sehingga menjadi kebijakan. yang terjadi di dalam kampus. Ironisnya, dari pengakuan Penyimpangan perilaku yang dilakukan oleh Ini adalah kebiadaban seorang dosen IPDN, Inu Kencana praja bukan semata-mata karena lemahnya dari dunia pendidikan Syafei, Cliff adalah korban ke-35. kontrol yang dilakukan terhadap praja tetapi yang harus dihapus Artinya, setiap semester satu merupakan kesalahan sistematis yang dilakukan sampai keakar-akarnya. nyawa melayang di kampus yang oleh Pemerintah. Kesalahan ini bisa dilihat dari Apalagi melihat penghuninya terikat sumpah eksistensi lembaga yang bertentangan dengan menaati hukum karena berstatus UU Pendidikan Nasional (Lembaga Kedinasan tindakan kekerasan pengawai negeri ini. hanya memberikan pelatihan tambahan bukan yang terus berulang, menyelenggarakan pendidikan yang setara maka hal itu menjadi Evaluasi menyeluruh dengan SI atau Diploma), besarnya alokasi dana pola, sehingga menjadi yang diberikan setiap tahun, maupun materi ajar Agaknya Presiden terusik dengan kebijakan. yang mengakomodir penyimpanganaksi barbar yang terus terjadi di penyimpangan lain yang sangat tidak lembaga pendidikan ini. Presiden menghargai dan merendahkan harkat dan pun membentuk tim evaluasi martabat manusia. untuk membenahi lembaga ini. Salah satu kebijakan yang Sementara dengan terulangnya kembali peristiwa ini, dikeluarkan oleh Pemerintah adalah menghentikan sementara menunjukkan tidak adanya evaluasi reguler terhadap sistem penerimaan praja baru di IPDN. Kebijakan ini memang patut pendidikan yang sarat tindakan kekerasan, walaupun hampir kita dukung, namun KontraS sendiri memandang langkah itu tiap tahun ada praja yang meninggal akibat pola pendidikan tak cukup. yang menyalahi hukum dan HAM. Mengapa tak cukup? Karena tindakan tersebut harusnya juga diikuti dengan evaluasi menyeluruh terhadap bangunan sistem pendidikan serta membuat pengawasan intensif atas pelaksanaannya selama jangka waktu yang jelas. Di sisi lain, pihak kepolisian harus segera melakukan pengusutan terhadap tanggungjawab unsur pimpinan IPDN. Dan selama proses pengusutan berlangsung, pemerintah juga harus menjamin perlindungan atas para saksi yang mengungkap fakta atas peristiwa kekerasan yang telah terjadi selama ini. KontraS mendorong diterapkannya langkah-langkah khusus oleh pemerintah bagi pembenahan institusi dan sistem pendidikan di IPDN. Pemerintah harus membuka diri atas koreksi penyalahgunaan pendidikan, termasuk memberikan perlindungan bagi saksi dan korban yang membuka fakta kekerasan, baik dosen, alumni maupun pihak-pihak yang mengetahuinya. Momentum ini kembali menegaskan pentingnya Lembaga Perlindungan Saksi Korban, seperti diamanatkan oleh UU No.13 tahun 2006.***
18
REMPAH-REMPAH
13 tahun Misteri Helikopter HS 7060,
Selanjutnya akhir Maret 2007 lalu, ditemukannya kembali bangkai helikopter di tempat yang sama. Diduga kuat bangkai helikopter tersebut merupakan sisa bangkai saat ditemukan Peristiwa ini kembali mengingatkan bahwa 13 tahun yang pertama kali (1996) dan sengaja tidak dievakuasi dan lalu (22/08/1994), Helikopter HS 7060 TNI AD ini hilang. disembunyikan untuk menutupi bukti bahwa para korban Helikopter disewa oleh sebuah production house selama dua menyewa helikopter milik TNI. Ahmad Faisal, seorang fotografer jam, sejak pukul 10.30 Wib, untuk keperluan melakukan di Medan maupun Edu Sinaga, shooting udara bagi pembuatan film anggota SAR yang ikut melihat dokumenter PLN yang membawa ditemukannya bangkai kru film Burhan Piliang, seorang Dok.Pribadi keluarga helikopter pertama menyatakan fotografer Majalah Prospek yang bahwa penemuan bangkai juga ayah dari salah seorang staf kedua ada pada lokasi yang Kontras, Ori Rahman, Diaz Barlean, sama. kameramen dan mahasiswa IKJ, Temmy Setiawan, mahasiswa IKJ, Fakta lain yang menguatkan, Lettu Alt. Irawan CP, pilot helikopter, pada saat keluarga korban (6/04/ dan. Letda Czi. Asep Mulyadi, Co1996), mengambil peti berisi pilot helikopter. Saat para korban tulang-belulang para korban di akan berangkat dari Bandara Polonia rumah sakit Kodam I Bukit Medan, kru film lainnya sempat Barisan, Medan sempat mengabadikan foto-foto yang mengalami kesulitan. Keluarga menampilkan helikopter HA 7060 hanya diperlihatkan barangyang ditumpangi para korban. barang milik keluarga seperti Saat hendak melakukan perjalanan sepatu, dompet, KTP, kartu pers, Selang beberapa jam helikopter tidak kalung dan lain-lainnya untuk kembali dan dinyatakan hilang. mengenali korban. Keluarga Kelompok pencinta alam di Medan korban tidak diperkenankan serta aparat TNI melakukan pencarian selama satu bulan. untuk membuka peti tanpa disertai keterangan resmi serta tanpa Namun tidak menampakkan hasil sehingga pencarian santunan dan permintaan maaf. dihentikan. Pada (2/04/1996), empat orang masyarakat menemukan bangkai helikopter di lembah antara gunung Sibayak Tanah Karo dan gunung Pintau di daerah Dairi, Kabupateng Sidikalang, Sumatera Utara. Tim mengevakuasi tulang belulang dan selanjutnya dibawa ke RS. Bukit Barisan Medan. Salah satu dari jenazah yakni jenazah Diaz Barlean juga dikirimkan ke Jakarta, dengan hanya dimasukkan dalam tas travel dan bukan peti jenazah. Jenazah lalu diterbangkan secara sembunyi-sembunyi ke Bandung dengan menggunakan helikopter AD. Disamping itu, aparat TNI juga meminta pada keluarga korban pada saat helikopter pertama kali ditemukan tahun 1996 tidak mengungkapkan peristiwa tersebut pada media. Fakta-fakta tersebut menguatkan bahwa aparat TNI telah melakukan bisnis militer illegal dengan menyewakan helikopter pada tahun 1994. Tidak menutup kemungkinan, ketiadaan proses hukum pada saat itu justru melanggengkan bisnis sejenis hingga saat ini. Oleh karenanya dengan semangat profesionalisme TNI, KontraS mendesak aparat kepolisian untuk melakukan penyelidikan menyeluruh terhadap peristiwa misterius ini. KontraS juga meminta Mabes TNI membuka akses seluasluasnya terhadap penyelidikan yang profesional bagi terungkapnya kejelasan masalah ini. ***
Sengaja menutupi
Kontras sendiri menduga bahwa aparat TNI telah sengaja menutup-nutupi kebenaran di balik peristiwa ditemukannya bangkai pesawat, sejak penemuan pada 2 April 1996 ( yang pertama), maupun penemuan 21 Maret 2007 (yang kedua). Peristiwa ini terkait erat dengan sejumlah fakta-fakta yang ada, diantaranya sanggahan aparat TNI yang menyatakan bahwa tidak ada penyewaan helikopter milik TNI kepada sipil. Helikopter tersebut diBKO-kan kepda Kodam I/Bukit Barisan dan pemberangkatan tersebut berdasarkan pada
19
REMPAH-REMPAH
HUT IX KontraS
20
REMPAH-REMPAH
Tragedi 65
Korban dan keluarga korban tragedi 1965 bersama KontraS dan LBH Jakarta, kembali mengingatkan negara untuk segera menuntaskan persoalan pelanggaran HAM yang terjadi pada peristiwa 1965. Ironisnya, pelanggaran-pelanggaran HAM tersebut masih terjadi hingga kini. Karenanya tak ada kata lain Komnas HAM segera menunaikan kewajibannya dan secepatnya mengawali respon negara yang minim dalam kasus ini. Kita mungkin tak akan pernah lupa bagaimana peristiwa politik pada 1965 berimplikasi terhadap pelanggaran HAM atas sejumlah orang, seperti penahanan sewenang-wenang, pemenjaraan tanpa pengadilan, pembunuhan, pembantaian, pembuangan, sampai pada penerapan politik diskriminasi hak-hak sipil dan ekonomi para korban. Sementara itu, Komnas HAM berangkat dari tragedi tersebut pernah membuat pengkajian perihal atas Pelanggaran HAM dimasa Soeharto. Salah satu yang dijadikan kasus kajian adalah kasus pelanggaran HAM yang terjadi di Pulau Buru 1965-1966. Tim mulai bekerja pada (14/01/2003), kemudian diperpanjang hingga (14/05/2003) dan dalam kesimpulan laporannya menyatakan ada indikasi kuat terjadi pelanggaran HAM berat karena ditemukan serangan terhadap penduduk sipil secara meluas dan sistematik. Tim pengkajian juga mencatat jumlah korban dalam Tragedi 1965 mencapai tiga juta orang lebih, dengan enam unsur kejahatan (element of crime), sesuai dengan Undang Undang 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Berdasarkan temuan tersebut tim pengkajian merekomendasikan agar Komnas HAM segera menindaklanjuti dengan membentuk tim penyelidik projustitia dan tim pengkajian terhadap pembantaian 1965.
Sebuah Keharusan
Penuntasan kasus 1965 merupakan keharusan bagi pemerintahan Indonesia dan harus disegerakan. Ada sejumlah faktor yang membuat hal ini menjadi urgent, pertama, kondisi para korban yang masih terus tercerabik dari hak-haknya. Padahal hak-hak tersebut telah dijamin oleh UUD 1945, terutama Amandemen II (2000). Kedua, bangsa Indonesia penting untuk membongkar tentang fakta perihal yang sesungguhnya terjadi, terutama soal kekerasan atau pelanggaran HAM yang terjadi dimasa lalu maupun yang berimbas hingga kini. Ketiga, diharapkan dengan diketahuinya kebenaran atas pelanggaran HAM tersebut mampu menjadi tali pengikat (rekonsiliasi) dengan warganegara lainnya yang selama ini terdistorsi akan cerita negatif para korban 1965. Terakhir yang juga menjadi salah satu unsur yang paling penting adalah, kebenaran akan pelanggaran HAM bisa dijadikan dasar pemberian rekomendasi reparasi bagi korban dan penuntutan jika didapati pihak-pihak yang diduga terlibat dan bersalah. Kita memang harus terus mengingatkan dan kembali mengingatkan serta meminta Komnas HAM segera melakukan pengumpulan fakta ( Fact Finding) terhadap pelanggaran HAM yang berat atas kasus 1965. Selain itu, Komnas HAM harus menindak lanjuti hasil kajian Komnas HAM tentang Pulau Buru. Komnas HAM harus secepatnya juga melakukan pemeriksaan (statement taking) dari para korban dan saksi peristiwa 1965, demi mendapatkan sebuah kebenaran alternatif (Alternatif Truth). ***
Serangan Terhadap Papernas: Isue Komunis Jadi Dalih Hambat Kebebasan Berekspersi
Kita sangat menyesalkan terjadinya aksi kekerasan yang dilakukan oleh massa Front Pembela Islam (FPI) pada kelompok demonstrasi Papemas, yang terjadi (29/03), sekitar pukul 11.00 WIB di Dukuh Atas, Sudirman Jakarta. FPI berdalih bahwa Papernas sebagai embrio partai komunis. Penyerangan kepada masyarakat sipil, khususnya terhadap perempuan dan anakanak tersebut menyebabkan jatuhnya korban luka-luka dan membubarkan diri karena lari ketakutan. Sementara itu, entah mengapa, aparat kepolisian terlihat lamban dalam menghentikan aksi kekerasan yang berlangsung. Tindakan kekerasan dengan dalih untuk meredam kebebasan berekspresi dan berpendapat masyarakat sipil merupakan tindakan yang melanggar HAM dan konstitusi. Hal ini ironis, karena pada saat yang sama pemerintah sedang membicarakan upaya-upaya perlindungan HAM dan peradaban manusia dalam Dewan HAM PBB. Apa yang terjadi kali ini bukan hal pertama. Telah kesekian kali, negara melalui aparat hukumnya tidak memberikan rasa aman dalam melindungi warganya sendiri. Kita wajib mengkhawatirkan jika pengabaian terhadap jaminan keamanan masyarakat ini terus berlangsung, maka bentuk-bentuk kekerasan serupa akan semakin buruk di masa datang. Negara telah membiarkan kasus serupa terus berlangsung dengan membiarkan penyerangan, penganiayaan terhadap masyarakat yang menjalankan hak untuk mengeluarkan pendapat dan berekspresinya. KontraS sendiri mendesak aparat kepolisian untuk melakukan penyelidikan terhadap kasus ini. Penyelidikan harus berjalan secara jujur dengan melakukan pemeriksaan terhadap seluruh pelaku. KontraS juga mendesak Presiden mengambil langkah aktif untuk menghentikan aksi-aksi kekerasan serupa yang ditujukan pada kelompok-kelompok masyarakat sipil yang menyuarakan demokrasi. Sekali lagi, kita sepertinya memang tak boleh henti menghimbau, agar seluruh masyarakat menghormati konsitusi dengan saling menjamin upaya-upaya bebas untuk berekspresi.***
21
Dok.kontras
Aksi ini sengaja digelar sebagai pertanda habisnya segala artikulasi korban dan keluarga korban terhadap bebalnya penguasa negeri ini terhadap penuntasan kasus-kasus pelanggaran HAM. Meski demikian, aksi ini tetap dilakukan dengan Aksi kamisan oleh korban sebuah pengharapan, bahwa negara akan memberikan pertanggungjawaban Ironisnya, sekalipun Soeharto telah terhadap tragedi pelanggaran HAM berat lengser dari kursi kepresidenan, sisa-sisa gaya Orde Baru, terus dipratekkan. Sebagai contoh: pembunuhan yang terjadi di Indonesia. Aksi ini juga menjadi bagian dari terhadap aktivis HAM Munir pada September 2004. gerakan moral yang ingin menyebarkan tentang pentinganya arti kemanusiaan kepada masyarakat luas. Terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM itu ternyata belum ada penyelesaian yang mematuhi kaidah dalam standar hukum Pada aksi Kamisan (18/01), selain diikuti korban dan keluarga HAM nasional maupun internasional. Perwujudan Pengadilan korban, juga terlibat aktif di dalamnya Rieke Oneng Diah HAM ad hoc yang mengacu pada UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pitaloka. Dan sekali waktu, Sony Tulung pun ikut terlibat. Pengadilan HAM, hanya diperuntukkan bagi Kasus Tanjung Aksi ini memang dimaksudkan untuk merangkul dan Priok dan Kasus Timor-Timur saja, bukan untuk kasus-kasus mengajak siapapun masyarakat yang peduli, memiliki yang lain. Nyatanya, Pengadilan HAM ad hoc kedua kasus itu solidaritas dan keinginan untuk bersama bergabung menjadi pintu membebaskan orang-orang yang terlibat dari menyuarakan penegakan HAM di Indonesia. sanksi hukum, yang kebanyakan milter. Gerakan tersebut, terinspirasi dari gerakan ibu-ibu di Upaya lain untuk impunitas juga tampak dengan cara Argetina, yang anak-anaknya yang dihilangkan secara paksa mempersulit pembentukan Pengadilan HAM ad hoc untuk kasus- oleh rezim militer Argentina, dan kemudian dikenal dengan kasus seperti: Kasus Trisakti dan Semanggi I-II, Kasus Kerusuhan nama Mother Plaza De Mayo. Mereka melakukan aksi setiap Mei 98, Kasus Penculikan Aktivis 1997-1998, dan sebagainya. hari Kamis di depan Plaza De Mayo, Menuntut Demikian pula dengan pembentukan KPP HAM untuk Kasus dikembalikannya anak-anak mereka. Sampai akhirnya aksi Kejahatan Soeharto, Kasus Talangsari, Kasus 65, di mana langkah Plaza De Mayo melegenda di seluruh dunia. Sebagai simbol geraknya sengaja dihambat agar tidak mencapai kinerja yang perlawanan ibu-ibu yang terus konsisten akan perjuangan maksimal, atau sengaja diarahkan untuk berakhir tanpa ujung. demi hukum dan keadilan. Sangat disesalkan, pemerintahan baru di bawah SBY-JK, tidak memiliki greget atau niat untuk menyelesaikan secara tuntas kasus-kasus pelanggaran HAM. Hal ini dapat dilihat dari Pidato Awal Tahun 2007, di mana dalam dua tahun pemerintahannya tidak menjamah perihal penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM. Pada aksi Kamisan yang ke-10, bertepatan dengan Hari Perempuan Internasional, aksi ini menjadi sebuah momentum yang menegaskan bahwa kekerasan berbasis jender yang terjadi terhadap perempuan harus dihentikan. Kesengajaan negara menyingkirkan keadilan dan kebenaran bagi korban dan keluarga korban pelanggaran HAM berat adalah bentuk dari kekerasan terhadap perempuan. Aksi yang akan terus digelar sepanjang Kamis sore ini akan terus dilakukan oleh korban dan keluarga korban pelanggaran HAM berat beserta para simpatisan. Aksi ini akan terus digelar demi menuntut Negara untuk menuntaskan segala kasus pelanggaran HAM berat. ***
Aksi Kamisan
Dari kondisi yang ada itulah, korban dan keluarga korban dengan segenap keyakinan akan kebenaran, dan keyakinan pada kesabaran, mendatangi dan berdiam di pusat simbol kekuasaan negeri ini Istana Merdeka. Aksi ini dilakukan pada hari Kamis selama satu jam, dimulai dari pukul 16.00-17.00 Wib. Bersama
22
pelanggaran HAM yang serius, khususnya menyangkut masalah perdagangan orang, pembunuhan di luar proses hukum, penyiksaan, penghilangan orang secara paksa serta kejahatan terhadap perempuan dan anak. ungkap Hamid Awaluddin
Pada kesempatan Sidang ke-4 Dewan HAM PBB ini, KontraS juga berkontribusi lewat organisasi koalisinya, HRWG (Human Rights Working Group) dan INFID (International NGO Forum on Indonesian Development) melaporkan situasi HAM nasional untuk mempertegas komitmen internasional dalam menyikapi persoalan HAM di Indonesia. Kegiatan ini bertujuan untuk kembali menagih janji dan ikrar sukarela pemerintah sebagai anggota Dewan HAM PBB sejak Mei 2006, dalam menjalankan pemajuan dan pemenuhan HAM di Indonesia. Pemantauan atas pelaksanaan komitmen ini menjadi acuan evaluasi kinerja pemerintah bagi kelayakan untuk dapat dipilih kembali menjadi anggota Dewan HAM PBB, Mei 2007 mendatang.
Dalam pernyataan tertulisnya (written statement), kelompok masyarakat sipil melaporkan situasi HAM yang berkaitan dengan isu penghilangan paksa ( enforced disappearances) , penyiksaan ( torture) , penangkapan sewenang-wenang (arbitrary detention), kebebasan beropini dan berekspresi ( freedom of opinion and expression) , kebebasan beragama dan berkeyakinan ( freedom of religion and belief), pembela HAM (human rights defender), kekerasan terhadap perempuan (violence against women) , korporasi internasional (international corporations), serta kebijakan ekonomi, hutang dan MDGs (Debts, MDGs, and Indonesian Economic Policies). Sebagai alat kontrol politik, NGO memberi tekanan kepada pemerintah internasional lewat mekanisme PBB untuk mendesak pemerintah Indonesia agar melaksanakan berbagai instrumen HAM internasional bagi penyelesaian peristiwa pelanggaran HAM yang masih terus terjadi. NGO menegaskan bahwa penyelesaian tak cukup hanya melakukan ratifikasi atau membuat regulasiregulasi yang melindungi HAM, namun juga adanya mekanisme yang efektif untuk mengadili pihak-pihak yang melanggarnya. Secara khusus, NGO akan terus mengawal dan mendorong kerjakerja konkret pasca sidang Dewan HAM PBB dalam menuntaskan berbagai masalah dan mengambil kebijakan perbaikan kondisi HAM di Indoensia.***
23