You are on page 1of 8

Psoriasis, hepatitis B, dan tumor necrosis factor-agen penghambatan alpha: Sebuah tinjauan dan rekomendasi untuk manajemen

Infeksi kronis dengan virus hepatitis B (HBV) adalah gangguan yang berpotensi buruk yang ditemukan pada sekitar 370 juta orang di seluruh dunia. Transmisi sering terjadi pada saat lahir atau pada anak usia dini di daerah endemik tinggi di dunia. Infeksi persisten umumnya terjadi dalam keadaan ini sebagai hasil dari pengenalan kekebalan virus yang buruk. Aktivasi imunologi terhadap HBV selama dewasa berhubungan dengan cedera hepatoseluler yang dapat bertahan selama masa individu terinfeksi. Hal ini dapat menyebabkan sirosis, gagal hati, kanker hati, dan kematian pada 15% sampai 25% pasien. Psoriasis adalah inflamasi kronis yang dimediasi kekebalan tubuh dan merupakan penyakit sistemik yang menimpa 1-2% dari populasi dunia (125 juta orang). Kira-kira 25% dari total populasi orang dengan psoriasis memiliki plak psoriasis sedang hingga berat, dengan prevalensi hepatitis B komorbid yang lebih tinggi dalam beberapa studi (odds ratio 1,34). Meskipun reaktivasi hepatitis C jarang setelah terapi imunosupresif, reaktivasi hepatitis B adalalah komplikasi yang sudah tidak asing dari terapi jenis ini. Reaktivasi hepatitis B paling sering ditemukan pada pasien yang menjalani chemotherapy kanker dan juga terjadi selama terapi tumor necrosis factor (TNF)-alpha inhibitor pada beberapa gangguan yang berbasis kekebalan tubuh, termasuk psoriasis. Pedoman psoriasis saat ini menunjukkan bahwa infeksi hepatitis B merupakan kontraindikasi relatif terhadap penggunaan agen TNF-alpha inhibitor untuk psoriasis. Pada artikel ini, kita meninjau serologi hepatitis B, patogenesis dan konsekuensi klinis reaktivasi HBV, dan apa yang diketahui tentang keamanan TNF inhibitor pada pasien dengan psoriasis dan hepatitis B. Rekomendasi yang diberikan adalah tentang cara aman untuk mengobati pasien dengan psoriasis dan profil serologis yang positif hepatitis B jika terapi TNF inhibitor diindikasikan.

Tnf-Alpha dan Hepatitis B TNF-alpha diproduksi terutama oleh makrofag dan monosit. Setelah pindah ke membran sel, molekulnya dibelah menjadi bentuk yang larut. TNF-alpha aktif setelah berikatan dengan 2 reseptor selular yang terletak pada membran plasma sel pada sebagian besar mamalia. Ikatan dengan reseptor-reseptorini akan menghasilkan produksi nuclear factor-, yang pada gilirannya memicu pelepasan sitokin proinflamasi.

Peningkatan kadar larut TNF-alpha dan reseptor TNF p75 dapat terdeteksi dalam hati dan serum pasien dengan hepatitis akut dan kronis. Ada beberapa bukti yang menunjukkan bahwa TNF-alpha berperan dalam menekan replikasi virus. Limfosit T CD8+ yang spesifik terhadap HBV dirangsang oleh TNF-alpha. Sel-sel ini juga mensekresikan TNF-alpha dan interferon (IFN)- yang bekerja secara sinergis untuk menurunkan regulasi ekspresi gen HBV. Konsep saat ini menunjukkan bahwa penekanan TNF-alpha yang selektif dengan obat penghambatan memungkinkan HBV untuk lolos dari mekanisme pertahanan antivirus endogen sehingga menyebabkan reaktivasi HBV.

Pemulihan dari Infeksi dan Sisa dari Template Genomik HBV Pada infeksi HBV akut, protein virus (permukaan,inti, polimerase, dan X) yang diolah dan dipresentasikan kepada limfosit T sitotoksik CD8+. Hal ini merangsang respon imun seluler dan sekresi IFN- dan TNF-alpha. Sitokin ini padagilirannya akan memicu apoptosis dari hepatosit melalui jalur Fas/ligan Fas yang mengakibatkan kenaikan levelaminotransferase. Tidak seperti apa yang terjadi pada neonatus dan infeksi masa kanak-kanak, lebih dari 95% orang dewasa mengalami pemulihan imunologisepenuhnya selama infeksi akut. Dalam kasus self-limitting hepatitis B akut, antigen hepatitis B e (HBeAg) dan DNA HBV menjadi tidak terdeteksi setelah 8 minggu sejak timbulnyapenyakit dan antigen hepatitis B permukaan (HBsAg)biasanya menghilang dalam 3 sampai 4 bulan. Antibodi terhadap hepatitis B nucleocapsid core protein (anti-HBc) sering tetap terdeteksi selama seumur hidup dari individu tersebut. Antibodi terhadap HBsAg (anti-HBs) biasanya terdeteksi tak lama setelah hilangnya HBsAg dan juga dapat tetap terdeteksi untuk interval yang berkepanjangan. Anti-HBs menyediakan perlindungan jangka panjang terhadap reinfeksi dan merupakan antibodi yang terdeteksi setelah vaksinasi hepatitis B yang sukses. Sekitar 1% dari carrier HBsAg juga kehilangan HBsAg setiap tahun. Individuindividu ini tetap terdeteksi HBc positif, sering dengan tingkat anti-HBs yang rendah dalam serum.Individu tersebut hampir selalu negatif untuk DNA HBV dalam serum. Hilangnya HBsAg dalam hepatitis B akut dan kronis, bagaimanapun, tidak disertai denganeridikasi total dari DNA HBV dalam hepatosit. Sejumlah kecil covalently closed circular DNA terus bertahan dalam inti sel yang terinfeksi. Bahan ini berfungsi sebagai genom templateuntuk replikasi HBV dan memulai tahap untuk reaktivasi HBV di masa depan setiap kali kontrol imunologi terganggu.

Gradien Biologis dari Pengendalian Imun Terhadap HBV Status serologis pejamu dan tingkat DNA HBV dalam serum mencerminkan gradien biologis pengendalian sistem imunterhadap replikasi HBV dan dapat membantu dalam menentukan resiko reaktivasi. Pasien yang sembuh dari hepatitis B tidak hanya HBsAg negatif tetapi umumnya positif untuk antibodi penetral (anti-HBs) dan antibodi anti-HBc. Pasien seperti ini sangat jarang memiliki DNA HBV yang terdeteksi dalam serum dan paling mungkin untuk reaktivasi karena kontrol ketat atas kekebalan replikasi HBV . Namun, orang dengan riwayat infeksi mungkin juga positif untuk anti-HBc tanpa anti-HBs. Minoritas dari pasien (0% -10%) memiliki tingkat DNA HBV yang rendah dalam serum dan 70% terus memiliki sejumlah kecil DNA di jaringan hati, yang menjelaskan mengapa orang-orang ini menunjukkan reaktivasi HBV terutama ketika pemberianimunosupresiyang sangat agresif seperti transplantasi sumsum tulang atau setelah pemberian cyclophosphamide, adriamycin, vincristine, prednisone, dan rituximab dari limfoma sel B. Sebaliknya, setidaknya 50% dari carrierHBsAg memilikiDNA HBV yang dapat terdeteksi dalam serum, dan ini bisa terdeteksi dalam nilai yang sangat bervariasi tergantung pada tingkat kontrol imunologi oleh pejamu. Studi klinis telah menunjukkan bahwa reaktivasi terjadi paling sering pada carrierHBsAg, khususnya mereka yang memiliki viremia dalam tingkat yang tinggi (menunjukkan kontrol imunologi yang buruk).Sebaliknya, reaktivasi HBV relatif jarang terjadi pada pasien dengan pemulihan immunologisepenuhnya (anti-HBs dananti-HBc positif).Sebuah insiden pertengahan telah diamati pada pasien dengan anti-HBc saja. Misalnya, tingkat kejadian reaktivasi naik 5 sampai 8 kali lipat pada carrierHBsAg dibandingkan dengan individu yang positif untuk anti-HBc saja. Perbedaan ini telah digunakan untuk menentukan apakah profilaksis dengan terapi antivirus perlu diindikasikan selama terapi imunosupresif. Saat ini, rekomendasi resmi untuk penggunaan terapiantivirus profilaksis untuk pasien HBsAg negatif, anti-HBc positif terbatas pada situasi klinis di mana beberapa terapi imunosupresif digunakan secara sangat agresif seperti pada transplantasi sumsum tulang atau penggunaansel B inhibitor, rituximab.

Sindrom Klinis Reaktivasi Hepatitis B Reaktivasi hepatitis B ditandai dengan peningkatan mendadak DNA HBV dalam serum dan peningkatan level alanine aminotransferase (ALT) dan aspartate

aminotransferase. Selama terapi imunosupresif DNA HBV dalam serum sering meningkat sejumlah beberapa log10 IU, dan hal ini dapat menyebabkan aktivasi sel efektor yang spesifik

terhadap HBV yang mencari dan menghancurkan hepatosit yang terinfeksi virus. Proses sesekali dapat menyebabkan gagal hati, terutama ketika ada fibrosis hati yang berat yang mengurangi parenkim hati. Ini cukup sama pada pasien psoriasis dengan penyakit dasar yang lebih sering, yaitu akibat perlemakan hati dan penyakit hati alkoholik. Reaktivasi hepatitis B memiliki gejala klinis denganvariasi yang luas, mulai dari tanpa gejala sampai kegagalan hati fulminan yang membutuhkan transplantasi hati atau menyebabkan kematian. Meskipun definisi standar masih kurang, di dalam literatur sering didefinisikan sebagai kenaikan sejumlah setidaknya 1-log10 dari DNA HBV atau deteksi de novo dari DNA HBV dalam serum pada seseorang yang sebelumnya ditemukan negatif dikombinasikan dengan setidaknya peningkatan 2 kali lipat dari ALT dibandingkan dengan nilai dasar. Nilai puncak untuk serum DNA HBV dalam serum seringkalilebih dari 108 IU / mL dan nilai untuk ALT dapat melebihi 1000 IU pada kasus berat. Prediktor reaktivasi HBV selama pengobatan menggunakan TNF-alpha inhibitor belum teridentifikasi namun sejumlah faktor telah terbukti berkorelasi dengan tingkat yang reaktivasi yang lebih tinggi selama kanker chemotherapy.

TNF-alpha Inhibitor dan Cedera Hati Dalam Psoriasis TNF-alpha inhibitor telah dianggap berhubungan dengan kejadian hepatotoksisitas serius yang relatif rendah. Namun, percobaan fase III dari monoterapi infliximab menunjukkan 4,9% dari pasien psoriasis memiliki kelainan ALT yang setidaknya 5 kali lebih besar dari nilai dasar, yang mengakibatkan penghentian terapi inflixirnab. Infliximab memang memiliki peringatan hepatotoksik dari US Food and Drug Administration. Dalam satu studi, infliximab lebih sering dikaitkan dengan proses kimia hati yang abnormal daripada adalimumab sementara etanercept tidak dikaitkan dengan perubahan profil hati. Hal lain yang perlu diperhatikan berhubungan dengan TNF inhibitor adalah potensi relatifnya untuk menginduksi reaktivasi HBV. Meskipun data klinis saat belum lengkap, mekanisme imunologi dari aksi TNF-alpha inhibitor telah menjadi subjek studi intensif dan dapat memberikan petunjuk tentang seberapa relatif amankah masing-masing agen pada pasien dengan hepatitis B. Infliximab menghapus semua bentuk TNF-alpha (complete washout) dari jaringan sehingga terjadi penurunan peradangan. Infliximab memiliki puncak tertinggi dan konsentrasi terendah, yang dapat memberi 2 peluang yang berbeda bagi HBV untuk aktif kembali, yaitu ketika sistem kekebalan tubuh ditekan dan ketika kemudian mengalami pemulihan.

Adalimumab dapat membunuh sel karena bersifat sitotoksik seperti Infliximab. Perbedaannya dengan infliximab adalah insiden antibodi antidrug padaadalimumab lebih rendah karena berasal sepenuhnya dari manusia. Etanercept berikatan dalam jangka waktu yang lebih singkat dibandingkan dengan infliximab. Etanercept juga tidak bersifat sitotoksik. Etanercept mencapai konsentrasi yang stabil sehingga memungkinkan beberapa TNF-alpha fisiologis untuk tetap ada (tidak complete washout seperti infliximab) sehingga replikasi HBV masih bisa dikendalikan. Tingkat keberhasilan infliximab adalah 82% pada minggu ke 24 (5 mg / kg intravena setiap 8 minggu setelah dosis loading), etanercept 50% pada minggu ke 24 (50 mg subkutan dua kali seminggu dilanjutkan dengan 25 mg dua kali seminggu pada minggu ke 12), dan adalimumab 64% dan 72% pada 24 minggu dengan dosis mingguan.

Journal Summary

Pengalaman Klinis dengan TNF-alpha Inhibitor pada Pasien dengan Psoriasis dan Hepatitis B

Data tentang penggunaan terapi jangka panjang TNF-alpha inhibtor pada pasien dengan hepatitis B masih terbatas, terutama pada pasien dengan psoriasis. Beberapa seri kasus kecil tentang carrier HBsAg dengan psoriasis telah diterbitkan. Dalam satu seri, 3 pasien diobati dengan adalimumab, 3 dengan etanercept, dan 1 dengan infliximab. Semua diberi profilaksis antivirus dengan lamivudine dan tidak reaktivasi hepatitis B yang terjadi selama 6 sampai 24 bulan. Dalam laporan lain, dari 7 pasien tidak ada yang menerima profilaksis antivirus dan 3 diantaranya mengalami kenaikan setidaknya sejumlah 1-log DNA HBV dan peningkatan ringan pada ALT serum pada pengobatan yang selama rata-rata 28,9 bulan (kisaran 14 45 bulan). Ada 3 kasus seri dimana pasien psoriasis yang HBsAg negatif tetapi anti-HBc positif. Dalam 1 studi, 11 pasien yang diobati dengan etanercept tidak mengalami reaktivasi hepatitis B walau tanpa terapi anrivirus. Dalam stui yang lain, 43 pasien diberi etanercept, 10 diberi adalimumab, dan 8 diberi infliximab. Pasien-pasien tersebut tidak diberi profilaksis antivirus dan reaktivasi HBV tidak diamati selama pengobatan. Penelusuran lebih lanjut tentang resiko reaktivasi hepatitis B selama terapi TNFalpha inhibitor didapatkan dari studi retrospektif terhadap 257 pasien. Hanya 8 yang diterapi untuk psoriasis dan sisanya untuk penyakit peradangan usus, spondilitis pada pergelangan kaki, dan artritis rematik. Hampir 40% dari 89 carrier yang positif HBsAg mengalami reaktivasi HBV dalam seri ini. Termasuk 1 pasien yang diterapi dengan infliximab untuk psoriasis. Sebaliknya, hanya 5% dari 168 pasien yang negatif HBsAg dan posoitif anti-HBc mengalami reaktivasi. Sebanyak 4 kematian dilaporkan pada pasien yang diterapi dengan TNF-alpha inhibitor, dan semuanya menerima infliximab tanpa profilaksis antivirus.

Diskusi Walau laporan-laporan tersebutmengkhawatirkan, kualitas dar data tersebut tetap kurang dari adanya penggunaan kontrol, kebanyakan retrospektif apa adanya, dan hampir semuanya memiliki jumlah pasien yang relatif kecil. Hal-hal yang memprediksi reaktivasi pada terapi TNF-alpha inhibitor juga belum teridentifikasi.

Data-data tersebut juga belum cukup untuk mengindikasikan bahwa penggunaan rutin dari terapi profilaksis adalah cost-effective, apalagi untuk jangka waktu yang panjang seperti pada penggunaan TNF-alpha inhibitor pada psoriasis dan kondisi-kondisi lainnya. Penulis menyarankan studi lebih lanjut untuk menilai apakah pengawasan DNA HBV dan ALT diperlukan untuk menentukan pemakaian terapi antivirus sebagai metode yang aman untuk menangani carrier HBsAg saat mereka dating dengan DNA HBV dalam serum yang tidak dapat tereteksi. Beberapa pertanyaan yang masih tersisa antara lain laporan tentang hepatitis B yang fulminan dan kematian telah cukup banyak dilaporkan pada infliximab. Masih dipertanyakan apakah ini akibat dari waktu paruhnya yang lebih panjang atau potensi imunologiknya yang lebih kuat. Selain itu, bagaimana pasien yang hanya positif anti-HBc harus ditangani juga masih dipertanyakan. Kesimpulannya, agen-agen TNF-alpha inhibitor sangat efektif untuk plak psoriasis sedang hingga berat dan harus diberikan bila terindikasi secara klinis pada carrier HBsAg atau mereka yang terbukti terinfeksi di masa lalu. Rekomendasi-rekomendasi ini diberikan sampai tersedia data yang lebih banyak: 1) Semua pasien yang memerlukan terapi TNF-alpha inhibitor harus diskrining untuk HBsAg dan anti-HBc sebelum memulai pengobatan. 2) Semua pasien yang positif HBsAg harus dilihat oleh seorang spesialis terlatih dalam terapi antivirus hepatitis B untuk mengambil keputusan yang tepat tentang agen akan digunakan dan kapan harus memulai terapi antivirus. 3) Pasien yang hanya positif anti-HBc beberapa kali lipat lebih kecil kemungkinannya untuk mengembangkan reaktivasi HBV. Namun, pasien ini juga harus dirujuk ke spesialis sebelum memulai terapi TNF-alpha inhibitor untuk keputusan antara memantau DNA HBV atau mempertimbangkan penggunaan terapi antivirus dini. 4) Pasien psoriatis yang negatif untuk HBsAg dan anti-HBc memiliki resiko yang dapat diabaikan untuk reaktivasi hepatitis B dan dapat diobati dengan TNF inhibitor tanpa pertimbangan untuk terapi antivirus. 5) Pasien psoriatik yang mengalami obesitas dengan peningkatan kadar aminotransferase dalam serum yang signifikan harus dievaluasi oleh seorang spesialis penyakit hati, bahkan jika negatif untuk marker HBVuntuk konseling yang tepat. 6) Setiap kali TNF-alpha inhibitor yang digunakan pada pasien dengan hepatitis B kronis, dermatologis disarankan untuk menguji peningkatan aminotransferase serum pada

interval bulanan untuk dua bulan sekali selama 6 bulan pertama pengobatan dan setidaknya tiga bulan sesudahnya. 7) Sampai lebih banyak data yang tersedia dalam kaitannya dengan keselamatan komparatif adalimumab dan etanercept, etanercept lebih dianjurkan sebagai terapi lini pertama untuk pasien psoriasis dengan hepatitis B kronis atau infeksi HBV.

You might also like