You are on page 1of 5

MENGUKUR JARAK IDEAL KEMITRAAN PEMERINTAH RAKYAT: Bukan Turun Ke Masyarakat, Tapi Masuk Ke Masyarakat

Pasca pelantikan pasangan Joko Widodo Basuki Tjahja Purnama sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi DKI Jakarta, pada Senin 15 Oktober 2012 yang lalu, banyak pihak, dari kalangan pemerintah maupun masyarakat menyaksikan beberapa aksi-aksi populer pasangan Jokowi-Ahok tersebut yang dianggap langka di negeri ini, namun dinilai populis. Beberapa momentum yang ditorehkan di awal kepemimpinan Jokowi-Ahok tersebut, di antaranya: Gubernur DKI Jakarta, Joko Widodo, melantik HR Krisdianto dan Husein Murad sebagai Walikota dan Wakil Walikota Jakarta Timur pada Kamis, 20 Desember 2012. Berbeda dengan pelantikan pejabat yang biasa digelar di kantor ataupun aula gedung, Gubernur yang akrab disapa Jokowi ini melantik Walikota dan Wakil Walikota Jakarta Timur di tengah perkampungan kumuh di depan ratusan warga. Selain itu, Pelantikan Wali Kota Jakarta Selatan, Syamsudin Noor, dilakukan di Setu Babakan, Jakarta Selatan, pada Rabu, 15 Mei 2013. Lokasi ini dipilih karena merupakan tempat wisata yang masih khas mempertahankan budaya Betawi. Tidak hanya itu, lelang jabatan camat dan lurah dilakukan, dan yang tak kalah luar biasa adalah tradisi blusukan di beberapa kantongkantong pemukiman warga Jakarta. Kata blusukan berasal dari kosa kata Jawa yang berarti istilah untuk keluar masuk di tempat yang jarang dilewati atau didatangi orang. Saking populisnya pendekatan ini, Presiden RI, Soesilo Bambang Yoedhoyono turut mempopulerkannya, dengan melakukan aksi serupa, yakni blusukan ke Kampung Nelayan dan Sawah di Karawang, Jawa Barat, pada 16 April 2013. sementara itu, Wakil Presiden Boediono secara terang-terangan memuji aksi Gubernur DKI Joko Widodo yang sering melakukan blusukan untuk mengecek keadaan di lapangan dengan mata kepala sendiri. Bahkan, Boediono menyarankan kepala daerah dan institusi di daerah menyontek cara kerja Jokowi yang nyentrik tersebut. Menurut Rosihan Arsyad dalam http://www.shnews.co/kolom/periskop/detile-90-blusukan-turba-sidak.html, kegiatan blusukan bukanlah hal yang baru, tetapi sudah dikenal sejak jaman Orde Baru yang disebut Turba (Turun ke Bawah) dan sekarang juga kita mengenal istilah sidak (inspeksi mendadak). Mengamati respon publik terhadap langkah-langkah Jokowi-Ahok tersebut, muncul kesan bahwa secara umum selama ini, perilaku pejabat pemerintah cenderung menunjukkan jarak komunikasi yang jauh dengan masyarakat, selain itu konstruksi komunikasi pemerintah dan rakyat selama ini berjalan formalitas saja, hal ini ditunjukkan dengan momentum komunikasi pemerintah rakyat mengikuti kalender resmi kegiatan nasional-daerah, misalnya terjadi pada saat Musyawarah Perencanaan Pembangunan Daerah bagi pihak eksekutif beserta birokrasinya, pada saat reses bagi pihak legislatif, dan pada saat kampanye politik bagi pihak eksekutif dan legislatif. Pola komunikasi pembangunan seperti ini berjalan mekanistik dan kalaupun terbangun suasana aspiratif seringkali ditunggangi oleh kepentingan pencitraan para politisi. Bahkan tidak jarang mesin birokrasi mengenakan seragam politik (tertunggangi pesan partai tertentu). Dampak dari pola komunikasi pembangunan seperti ini menghasilkan suasana ketergantungan, bahkan jauh dari esensi pemberdayaan. Pola komunikasi pembangunan seperti ini dapat dipahami dengan jelas bilamana mencermati akar persoalannya. Akar persoalan sebenarnya terletak pada Sistem Politik yang dianut oleh negara. Sistem Demokrasi yang dianut memberikan andil yang sangat besar bagi terbentuknya suasana kemitraan palsu seperti ini. Rekruitmen politik dan kekuasaan terbangun dari cara-cara transaksional, dan memerlukan biaya sosial yang tinggi. Maka pihak yang paling mungkin melakukan kegiatan politik adalah para kapitalis atau orangorang tertentu yang dipelihara oleh para kapitalis. Jadilah sistem politik kita adalah sistem

politik Kapitalisme atau Korporatokrasi. Pada situasi yang demikian, semangat pembangunan apapun pada akhirnya tertunggangi oleh kepentingan pencitraan dan kekuasaan. Bila mencermati bahasa komunikasi kemitraan pemerintah dan rakyat selama ini, nampak bahwa keduanya saling memandang dalam jarak vertikal, ini bisa dijumpai dalam berbagai statement pembangunan di antara keduanya, seperti mari kita turun ke masyarakat. Ungkapan verbal seperti ini bukanlah bahasa hiperbolik semata, tetapi berangkat dari mindset yang memandang rakyat berada di bawah, dan tidak jarang menganggapnya sebagai kelas bawah. Bahkan, yang paling aneh adalah kalimat mari kita terjun ke masyarakat, ungkapan ini menunjukkan mindset jarak yang sangat jauh antara pemerintah dan masyarakat, dengan itu untuk mencapai masyarakat harus dengan cara melakukan percepatan (terjun). Cara pandang vertikal dalam komunikasi kemitraan pemerintah-rakyat mempengaruhi sikap dan mental birokrasi pemerintah dalam memahami rakyatnya. Tidak jarang para pengambil kebijakan dan perencana memposisikan kapasitas masyarakat pada posisi yang rendah, baik kapasitas finansial, pengetahuan, keterampilan, bahkan sumberdaya. Dalam kacamata pandang seperti ini, jadilah mereka mencukupkan diri menyimpulkan bentuk dan jenis pembangunan masyarakat di atas meja, dan konsekuensinya cenderung mengalami deviasi dari fakta dan realitas di masyarakat. Jarak kemitraan yang dimaksud di sini bukanlah jarak spasial, tetapi merupakan jarak fungsional, dimana kedekatan bukan ditentukan oleh satuan jarak ruang, tetapi lebih pada jarak responsif feedback komunikasi dan pelayanan. Komunikasi kemitraan pemerintahrakyat yang ideal adalah cara pandang dalam jarak horisontal, bukan jarak vertikal. Cara pandang kemitraan pada jarak horisontal, memandang masyarakat dalam posisi yang setara, yang berbeda hanya tanggung jawab dan kewenangan. Jarak kemitraan horisontal ditunjukkan dengan bahasa komunikasi yang altruistik, seperti datang ke masyarakat atau masuk ke masyarakat (dukhul mujtama). Kalimat datang ke masyarakatpun belum mengindikasikan pembauran gagasan dan kerja, sedangkan kalimat masuk ke masyarakat menunjukan kebersamaan dalam emosi, ide dan unjuk kerja. Mindset yang memandang masyarakat dalam jarak horisontal, dapat membantu para perencana dan pengambil kebijakan untuk memandang masyarakat dalam jarak yang dekat, memastikan denyut jantung kehidupan masyarakat sedekat-dekatnya. Melihat bagaimana fakta dan realitas kehidupan masyarakat dalam memanfaatkan hutan, tanah, maupun air di tempat di mana masyarakat berada. Perilaku pembangunan seperti ini menunjukkan pembauran ide dan kerja pemerintah-rakyat dalam menghadapi situasi kehidupan seharihari. Komunikasi yang terbangun akan menunjukkan hubungan responsif dan solutif langsung di sekitar subyek dan obyek kehidupan masyarakat. Pertanyaannya: adakah sistem politik yang memiliki mindset dan perilaku komunikasi sedekat-dekatnya dengan rakyat? Ungkapan Allah, Swt tentang keteladanan terhadap Nabi Muhammad, Saw sebagaimana manusia terbaik se-jagad raya bukanlah pepesan kosong, Allah Swt berfirman: Sesungguhnya pada diri Rasulullah ada suri teladan

yang baik kedatangan

(QS. Al Ahzab:31), begitu pula ungkapan Allah Swt tentang umat terbaik yang ada di muka bumi, yang asbab-nya ditujukan kepada para shalafus shaleh (para sahabat rasul Muhammad Saw) merupakan sebaik-baik contoh bagi manusia setelahnya, firman Allah Swt

bagimu yang hari kiamat

mengharap dan banyak

rahmat Allah menyebut

dan Allah.

Kamu (umat Islam) adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, (karena kamu) menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah (Q.S Ali Imran : 110 ). Secara sistem kenegaraan, masa kepemimpinan Rasulullah

Muhammad Saw dikenal dengan Daulah Islamiyah yang berkedudukan di Madinah, sedangkan kepemimpinan para sahabat dikenal sebagai Daulah Khilafah Islamiyah. Praktek keteladanan dalam komunikasi pemerintah-rakyat yang dicontohkan oleh manusiamanusia terbaik tersebut, sebagai berikut:

1. Kepala negara (pemimpin) bertanggungjawab kepada warga negaranya tanpa memandang identitas aqidahnya, apalagi warga negara yang memerlukan santunan, karena cacat, terlebih lagi tak punya kerabat yang dapat menafkahinya. Hal ini bisa kita saksikan, bagaimana seorang Imam (Rasulullah Saw) menafkahi seorang Yahudi buta, walaupun saban hari menyanyikan hinaan dan makian kepada Rasulullah Saw. Kebiasaan seperti ini, dilanjutkan oleh Khalifah pertama, Abu Bakar As Shidiq ra, dan di suatu ketika, sang Yahudi buta tadi pada akhirnya masuk Islam, setelah mengetahui siapa yang menyantuninya selama ini. 2. Kepala negara (pemimpin) melakukan observasi mengenai kondisi umatnya pada saat tidak ada interferensi sosial, tidak diketahui oleh siapapun, dengan cara yang cermat agar memastikan langsung ketimpangan yang terjadi di negaranya. Contoh yang paling masyhur, ditunjukkan pada kisah Khalifah Umar bin Khatab di sebuah gubuk menemukan seorang ibu yang tengah menidurkan anak-anaknya yang kelaparan dengan cara membujuknya dengan memasak batu. Setelah mengetahui dengan jelas kejadian tersebut, ia lalu memikul sekarung gandum dari harta baitul maal walau malam semakin larut dan angin kencang terasa menusuk dengan perasaan bersalah yang begitu besarnya. Tidak cukup dengan itu, Umar bin Khatab tidak hanya memanggul sekarung gandum tadi, tapi beliaupun mengaduknya, memasaknya dan menghidangkannya sendiri untuk anak-anak itu. 3. Kepala negara (pemimpin) mendahulukan pelayanan kepada rakyatnya, dibandingkan dengan kebutuhan dirinya sendiri, kisah lain Umar bin Khatab : Ketika kelaparan mencapai puncaknya Umar pernah disuguhi remukan roti yang dicampur samin. Umar memanggil seorang Badui dan mengajaknya makan bersama. Umar tidak menyuapkan makanan ke mulutnya sebelum Badui itu melakukannya terlebih dahulu. Orang Badui sepertinya sangat menikmati makanan itu. Agaknya anda tidak pernah merasakan lemak? Tanya Umar. Benar, kata Badui itu. Saya tidak pernah makan dengan samin atau minyak zaitun. Saya juga sudah lama tidak menyaksikan orang-orang memakannya sampai sekarang,tambahnya. Mendengar kata-kata sang Badui, Umar bersumpah tidak akan makan lemak sampai semua orang hidup seperti biasa. Ucapannya benar-benar dibuktikan. Kata-katanya diabadikan sampai saat itu, Kalau rakyatku kelaparan, aku Negara. Kekayaan Irak dan Syam sudah berada di tangan kaum Muslimin. Tapi tidak, Umar lebih memilih makan bersama rakyatnya. Pada kesempatan lain, Umar menerima hadiah makanan lezat dari Gubernur Azerbeijan, Utbah bin Farqad. Namun begitu mengetahui makanan itu biasanya disajikan untuk kalangan elit, Umar segera mengembalikannya. Kepada utusan yang mengantarkannya Umar berpesan, Kenyangkanlah lebih dulu rakyat dengan makanan yang biasa anda makan.Sikap seperti itu tak hanya dimiliki Umar bin Khattab. Ketika mendengar dari Aisyah bahwa Madinah tengah dilanda kelaparan. Abdurrahman bin Auf yang baru pulang dari berniaga segera membagikan hartanya pada masyarakat yang sedang menderita. Semua hartanya dibagikan. 4. Di masa Umar bin Abdul azis, umat Islam pernah mengalami kejayaan. Kala itu sulit mencari mustahiq (penerima) zakat. Mereka merasa sudah mampu, bahkan harus mengeluarkan zakat. Mereka tidak terlalu kaya. Tapi, kekayaan di masa itu tidak berkumpul pada orang-orang tertentu saja. Disinilah peran zakat, infak dan shadaqah. Tak hanya untuk membersihkan harta si kaya, tapi juga menuntaskan kemiskinan. Jika ini tidak kita lakukan, kita belum menjadi mukmin sejati. Sebab, seorang Mukmin tentu takkan membiarkan tetangganya kelaparan. Rasulullah saw bersabda, Tidak beriman seseorang yang dirinya kenyang, sementara tetangganya kelaparan. (HR. Muslim) 5. Hubungan yang dekat antara pemerintah-rakyat, tidak berarti pemerintah menanggung kehidupan rakyatnya sedetil-detilnya, untuk keperluan sehari-hari dalam skala rumah

ingin orang pertama yang merasakannya. Kalau rakyatku kekenyangan, aku ingin orang terakhir yang menikmatinya. Padahal saat itu Umar bisa saja menggunakan fasilitas

tangga, Islam mengajarkan umatnya untuk menafkahi hidupnya dari hasil jerih payahnya sendiri, dalam sebuah hadits, Rasul Muhammad, Saw bersabda: Tangan di atas Nasai, Muslim, dan Ahmad dari Abu Harairah), dimana kewajiban menafkahi ada dipundak kerabat terdekat. Allah, Swt berfirman: Dan kewajiban ayah memberikan

(memberi) itu lebih baik dari tangan di bawah (meminta), mulailah dari orang yang menjadi tanggunganmu, dan sebaik-baik sedekah adalah dari selebihnya keperluan (HR. makan dan pakaian kepada pada ibu dengan cara yang maruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupanya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya, dan seorang ayah karena anaknya. Dan warispun berkewajiban demikian (TQS. al-Baqarah [2]: 233).

6. Ketika syariat Islam mewajibkan seseorang untuk memberi nafkah kepada diri dan keluarganya, maka syariat Islam pun mewajibkan negara untuk menyediakan lapangan pekerjaan. Dengan cara ini, setiap orang akan produktif, sehingga kemiskinan dapat teratasi. Menyediakan lapangan pekerjaan merupakan kewajiban negara. Hal ini menyandar pada keumuman hadits Rasululah saw.: Seorang imam (pemimpin) adalah

bagaikan penggembala, dan dia akan diminta pertanggungjawaban atas gembalaannya (rakyatnya). (HR. Bukhari dan Muslim). Dalam sebuah riwayat diceritakan bahwa
Rasulullah saw. pernah memberikan dua dirham kepada seseorang. Kemudian Beliau saw. bersabda: Makanlah dengan satu dirham, sisanya belikan kapak, lalu gunakan ia

7. Umar bin Abdul Aziz menerima kelebihan uang Baitul Mal secara berlimpah dari gubernur Irak. Beliau lalu mengirim surat kepada gubernur tersebut: Telitilah, barang siapa berhutang, tidak berlebih-lebihan dan foya-foya, maka bayarlah hutangnya. Kemudian gubernur itu mengirim jawaban kepada beliau: Sesungguhnya aku telah melunasi

untuk bekerja.

hutang orang-orang yang mempunyai tanggungan hutang, sehingga tidak ada seorang pun di Irak yang masih mempunyai hutang, maka apa yang harus aku perbuat terhadap sisa harta ini? Umar bin Abdul Aziz mengirimkan jawaban: Lihatlah setiap jejaka yang belum menikah, sedangkan dia menginginkan menikah, kawinkanlah dia dan bayar mas kawinnya Gubernur itu mengirimkan berita lagi bahwa dia sudah melaksanakan semua

perinahnya, tetapi harta masih juga tersisa. Selanjutnya Umar bin Abdul Aziz mengirimkan surat lagi kepadanya: Lihatlah orang-orang Ahlu adz-Dzimmah1 yang tidak pegawainya untuk berseru setiap hari di kerumunan khalayak ramai, untuk mencukupi kebutuhannya masing-masing. Wahai manusia! Adakah diantara kalian orang-orang yang miskin? Siapakah yang ingin kawin? Kemanakah anak-anak yatim? Ternyata, tidak seorang pun datang memenuhi seruan tersebut. 8. Umar bin Khatab ra. pernah menjumpai seorang Yahudi tua yang sedang mengemis. Ketika ditanyakan kepadanya, ternyata usia tua dan kebutuhan telah mendesaknya untuk berbuat demikian. Umar segera membawanya kepada bendahara Baitul Mal dan memerintahkan agar detapkan bagi orang itu, dan orang-orang seperti dia, sejumlah uang dari Baitul Mal yang cukup baginya dan dapat memperbaiki keadaanya. Umar berkata: Kita telah bertindak tidak adil terhadapnya, menerima pembayaran jizyah 9. Kontrol sosial dari warga negara dijamin oleh negara, siapapun dapat melakukannya. Kritikan berbasis syari (fiqih) dilakukan oleh warga negara kepada kepala negara atas berbagai kebijakan yang diadopsinya. Abu Dzar al-Ghifari, seorang sahabat Rasulullah saw. suatu ketika melakukan kritik yang cukup pedas kepada para pejabat di Madinah, namun Ustman bin Affan memindahkannya ke Syam agar tak muncul konflik. Yang

mempunyai biaya untuk menanami tanahnya, berilah dia apa-apa yang dapat mensejahterakannya. Dalam kesempatan lain, Umar bin Abdul Aziz memerintahkan

darinya kala dia masih muda, kemudian menelantarkannya kala dia sudah lajut usia.

terjadi, justru di tempat inipun ia melakukan kritik tajam pada Muawiyah bin Abu Sufyan agar menyantuni fakir miskin. Kritikuskritikus tersebut, merupakan orangorang shaleh, yang sejalan antara perkataan dan perbuatan. Muawiyah pernah mengujinya (Abu Dzar al-Ghifari) dengan mengirimkan uang. Namun ketika esok harinya uang itu ingin diambilnya kembali, ternyata Abu Dzar telah membagikannya pada fakir miskin. 10. Di hadapan hukum, status penguasa dan rakyat bahkan kafir dzimmi dalam pandangan Islam adalah sama. Sehabis memimpin Perang Shiffin, Khalifah Ali bin Abi Thalib melihat seorang Yahudi berlari setelah mengambil baju besi miliknya. Peristiwa itu disaksikan oleh Ali sendiri dan dua anaknya, Hasan dan Husen. Atas kasus pencurian tersebut, Ali melaporkan kepada penegak hukum dan akhirnya perkara itu disiidangkan oleh Hakim Suraikh. Keputusannya, hakim menolak dakwaan Ali dan membebaskan si Yahudi. Sebabnya adalah karena dua saksi yang diajukan Khalifah Ali ke persidangan adalah Hasan dan Husen, yang tak lain tak bukan adalah putranya sendiri, hakim Suraikh mengatakan keterangan saksi orang yang bertalian darah tidak mempunyai kekuatan pembuktian dalam hukum acara pidana. Ali juga tidak dapat membuktikan dalam sidang bahwa baju besi yang dijadikan barang bukti adalah miliknya. Demikianlah Islam telah mengajarkan kebenaran dan kebaikan yang hakiki dalam mengelola kehidupan bersama di bawah perlindungan lisan, dan tindakan dari para imam (pemimpin negara) teladan sepanjang masa. Lisan dan tindakan mereka adalah tidak hanya merupakan ibrah semata, tetapi menjadi keharusan untuk diikuti oleh setiap manusia yang menjadi pemimpin umat. Memperbandingan antara niat, cara, dan respon para pemimpin dewasa ini dengan apa yang dilakukan oleh para teladan umat manusia (Rasulullah, Saw, Para Shahabat, Generasi Tabiin dan Tabiut Tabiin) dalam berinteraksi dengan rakyatnya, laksana membayangkan berbedanya siang dan malam. Semoga kita, menjadi bagian dari umat ini yang meyakini kebenaran dan kebaikan itu hanya pada AlIslam ini. Sikap abainya kita terhadap Islam ini, tidak lebih menunjukkan kebodohan kita dan kesesatan kita dalam menelusuri kehidupan ini.

Wallahu alam bishowab.

You might also like