You are on page 1of 135

BAGIAN PERTAMA PENGANTAR PSIKIATRI KLINIS

Sejarah dan Definisi Psikiatri Keberadaan psikiatri di dunia ilmu kedokteran telah belangsung lebih dari satu abad lamanya. Sejarah perkembangan psikiatri pada umumnya dibagi dalam tiga era: (1) era primitif atau yang dikenal juga dengan era demonologik, di mana pasien gangguan jiwa dianggap akibat pengaruh supranatural seperti kerasukan setan atau roh-roh jahat, ataupun akibat kutukan dewa; (2) era Romawi-Yunani yang disebut juga sebagai awal era humanistik dalam usaha kesehatan jiwa; dan (3) era modern, di mana pasienpasien gangguan jiwa telah diperlakukan, diobati, dan dirawat secara manusiawi. Sejak kemunculannya telah banyak terobosan yang dapat dibanggakan, baik dari segi pengembangan ilmu itu sendiri maupun dalam kaitannya dengan manfaat yang diperoleh pasien gangguan jiwa yang membutuhkannya. Sekalipun demikian, masih banyak yang tidak mengetahui lingkup peran psikiatri secara benar, baik di masyarakat awam maupun masyarakat akademis, khususnya di kalangan kedokteran sendiri. Adanya kenyataan di masyarakat yang belum dapat membedakan antara psikiatri dan, ilmu kesehatan jiwa, psikologi serta-serta ilmu-ilmu perilaku lainnya, peran psikiatri yang selalu hanya dikaitkan dengan gangguan jiwa berat, dan belum terlepasnya psikiatri di Indonesia dari bayangan stigma yang masih kuat terhadap gangguan jiwa merupakan contoh dari kurangnya pengetahuan yang benar tentang psikiatri itu sendiri sehingga dapat menghambat usaha memasyarakatkan psikiatri dalam pengertian yang sesungguhnya. Sebenarnya istilah psikiatri bersumber dari kata psyche (soul, mind kehidupan mental, baik yang sadar maupun nir-sadar) dan iatrea (healing - penyembuhan). Dalam kedudukannya sebagai bidang ilmu maka psyche berarti mind atau mental dan bukan berarti soul atau roh. Akibat dari psikiatri sering secara salah dihubungkan dengan soul atau roh sehingga masih banyak kalangan yang menghubungkannya dengan segi spiritual. Psikiatri atau Ilmu Kedokteran Jiwa perlu dibedakan dengan Kesehatan Jiwa ( Mental Health) yang masih sering digunakan secara rancu. Psikiatri dapat didefinisikan sebagai cabang spesialistik Ilmu Kedokteran yang mempelajari aspek prevensi, aspek klinis (etiologi, patogenesis, simptomatologi, doagnosis, terapi, prognosis), maupun aspek rehabilitasi gangguan jiwa dan ikhtiar

peningkatan taraf kesehatan jiwa. Penyandang profesi keahliannya disebut psikiater atau spesialis kedokteran jiwa (SpKJ). Kesehatan Jiwa (Mental Health) adalah suatu bidang yang luas yang menggambarkan segi kualitas taraf kesehatan di bidang mental. Di dalam bidang yang luas dari kesehatan jiwa inilah psikiatri menyumbangkan peran yang sangat penting, di samping disiplin ilmu dan sektor lainnya, seperti psikologi, ilmu sosial, keluarga, masyarakat, segi budaya, segi agama/spiritual, sosio-ekonomi, dan sebagainya. Hal lain yang penting diketahui pula adalah menyangkut istilah gangguan mental/jiwa dan penyakit mental/jiwa. Berbeda dengan pengertian penyakit di bidang medik lainnya, istilah yang dipergunakan untuk menggambarkan berbagai kondisi kejiwaan yang menyebabkan kendala dalam berbagai taraf kemampuan menjalankan fungsi sosial adalah gangguan mental/jiwa (mental disorder), dan bukan penyakit mental/jiwa (mental illness atau mental disease). Istilah gangguan mental/jiwa secara konsisten dapat ditemukan dalam klasifikasi internasional seperti ICD-10 (WHO, 1992) dan DSM-IV (APA, 1994), dan klasifikasi nasional seperti PPDGJ-III (DepKes, 1993). Pendekatan Eklektik-Holistik Pendekatan eklektik-holistik merupakan suatu konsep pendekatan dan penghayatan serta pemahaman gangguan jiwa yang didasarkan atas azas-azas eksistensial manusia. Pendekatan ekletik adalah upaya untuk memandang manusia sebagai makhluk yang terdiri dari aspek biologis, psikologis, dan sosial (makhluk bio-psiko-sosial). Sementara, di saat yang sama, dengan pendekatan holistik, menyadari bahwa ketiga aspek tersebut saling berinteraksi satu sama lainnya. Peranan Psikiatri di Bidang Kedokteran Dalam perjalanan sejarah psikiatri, salah satu terobosan yang sangat berarti adalah lahirnya konsep tentang psikosomatik yang diperkenalkan oleh psikiater Jerman, Heinroth (1816). Konsep psikosomatik ini kemudian dikembangkan menjadi konsep ilmiah yang sistematis oleh Frans Alexander (1934). Pada prinsipnya, istilah psikosomatik sebenarnya menekankan aspek dikotomi, yaitu seakan-akan ada gangguan penyakit yang psikis saja dan somatik saja. Dalam kenyataannya, perkembangan di bidang kedokteran kemudian menunjukkan bahwa hampir semua penderitaan sakit memiliki aspek fisik maupun psikis. Hal utama

berkaitan dengan kenyataan di atas adalah penekanan pentingnya pendekatan integratif holistik terhadap semua bentuk penderitaan pasien. Perkembangan ini selanjutnya semakin meningkat seiring dengan berbagai perubahan dan perkembangan yang mempengaruhi konsep dasar pendekatan kedokteran terhadap masalah kesehatan di akhir millenium ke 2, khususnya tentang pentingnya segi kualitas hidup sebagai tujuan akhir pengobatan. Hal ini merupakan reaksi terhadap pelayanan medis yang cenderung bergerak kembali ke aspek biomedik semata dengan kecenderungannya yang terkotak-kotak, sebagai dampak dari kemajuan iptekdok dan spesialisasisubspesialisasi ilmu kedokteran. Kecenderungan ini membuat seorang pasien direduksi menjadi berbagai onggokan organ, seperti otak, jantung, paru, hati, ginjal, tulang, dsb. dan melupakan aspek totalitas yang integratif dari pasien itu sendiri. Berdasarkan kenyataan di atas maka pendekatan kedokteran dalam menghadapi semua kondisi sakit atau penderitaan pasien seharusnya didasarkan kembali pada asas psikosomatik dalam artinya yang sesungguhnya, bukan sekedar istilah pemanis tanpa realitas. Dalam upaya membuat kesimpulan diagnosis terhadap setiap pasien, sejak 20 tahun yang lalu bidang psikiatri telah menggunakan sistem evaluasi multiaksial (dengan 5 aksis). Sistem evaluasi multiaksial dapat merupakan bentuk manifestasi yang konkrit dan terstruktur dari pendekatan eklektik-holistik (Setyonegoro, 1967) maupun pendekatan biological priority and psychological supremacy (Sabelli, 1989). Sebagai contoh: pasien dengan kasus kegawatan-kedaruratan medik seharusnya memperoleh prioritas penanganan biomedik (biological priority), namun demikian begitu keadaan pasien berangsur membaik, bila ternyata ada kecacatan fisik atau perubahan body image, masalah pasien seringkali beralih ke hal mental-emosional, di mana pasien mungkin saja menyesali penanganan medik yang telah dilakukan terhadapnya (psychological supremacy). Salah satu peran psikiatri di bidang kedokteran adalah mengembangkan, memacu, dan memelihara sikap profesional seorang calon dokter/dokter yang berorientasi kepada kedua pendekatan integratif di atas sesuai batas-batas kewenangan dan kemampuannya. Sikap profesional mana tercermin dalam proses diagnostis maupun terapi terhadap suatu atau lebih gangguan yang diderita pasien. Berkaitan dengan hal ini maka sikap pemeriksaan diagnostik dan terapi yang berlebihan yang tidak jelas indikasinya, justru semakin memperberat keluhan pasien (iatrogenik). Adanya fenomena kasus-kasus ko-morbiditas antara berbagai penyakit fisik dan gangguan mental semakin sering dijumpai dewasa ini. Seringkali keluhan fisik

merupakan manifestasi klinis dari dasar psikopatologi pasien. Sebaliknya, berbagai keluhan psikis dan psikopatologi dapat merupakan dampak situasional ataupun langsung dari penyakit medik atau efek samping obat. Fenomena ini seharusnya merupakan petanda bahwa kedua pendekatan di atas juga relevan dalam penatalaksaan pasien yang menderita ko-morbiditas. Psikiatri dan Profesionalisme Jelaslah sudah bahwa psikiatri tidak hanya berorientasi dalam pelayanan kesehatan masyarakat paripurna, baik dalam konteks komunitas maupun klinis, namun juga turut serta berperan dalam pembentukkan sikap profesionalisme calon dokter/dokter yang semestinya merupakan prasyarat sebelum yang bersangkut melakukan pelayanan kesehatan masyarakat. Berkaitan dengan ikhwal profesionalisme di atas maka perlu diingat bahwa profesi kedokteran secara langsung terkait dengan masalah etik, hukum, dan ilmuwan. Menurut Sasanto Wibisono (1999), profesionalisme mencakup banyak aspek di antaranya:

kompetensi profesional (professional competence): melaksakan tugas yang sesuai dengan profesinya, yang tentunya penting dari segi hukum; sikap professional (professional attitude): menunjukkan sikap yang benar dalam menjalankan profesi, yang tentunya akan memberikan citra yang benar mengenai profesi yang diembannya (proffesional image); identitas profesional (professsional identity): melaksanakan bidang profesi secara konsisten dengan batas kompetensi yang jelas, yang akan mengangkat jati diri profesi yang jelas; etika profesi (professional ethics): menjunjung tinggi etika profesi, yang tentunya lebih luas dari apa yang tertulis dalam kode etik profesi, merupakan hal yang penting dalam menegakkan integritas profesi (professional integrity), dan kehormatan profesi (professional dignity).

BAGIAN KEDUA

TANDA DAN GEJALA GANGGUAN PSIKIATRIK Tanda (sign) adalah temuan objektif yang diobservasi oleh dokter sedangkan gejala (symptom) adalah pengalaman subjektif yang digambarkan oleh pasien. Suatu sindrom adalah kelompok tanda dan/atau gejala yang terjadi bersama-sama sebagai suatu kondisi yang dapat dikenali yang mungkin kurang spesifik dibandingkan gangguan atau penyakit yang jelas. Dalam kenyataannya, sebagian besar kondisi psikiatrik adalah sindrom. Kemampuan mengenali tanda dan gejala spesifik memungkinkan dokter dapat mengerti dalam berkomunikasi dengan dokter lain, membuat diagnosis secara akurat, menangani pengobatan dengan berhasil, memperkirakan prognosis dengan dapat dipercaya, dan menggali masalah psikopatologi, penyebab dan psikodinamika secara menyeluruh. Secara garis besar tanda dan gejala psikiatrik mempunyai akar dalam perilaku normal dan mewakili berbagai titik dalam spektrum perilaku dari normal sampai patologis.

Kesadaran Gangguan Kesadaran: 1. Disorientasi: gangguan orientasi waktu, tempat atau orang 2. Kesaran yang berkabut: kejernihan ingatan yang tidak lengkap dengan gangguan persepsi dan sikap 3. Stupor: hilangnya reaksi dan ketidaksadaran terhadap lingkungan sekeliling 4. Delirium: kebingungan, gelisah, konfusi, reaksi disorientasi yang disertai dengan rasa takut dan halusinasi. 5. Koma: derajat ketidaksadaran yang berat 6. Koma vigil: koma dimana pasien tampak tertidur tetapi segera dapat dibangunkan (juga dikenal sebagai mutisme akinetik) 7. Keadaan temaram (twilight state): seringkali digunakan secara sinonim dengan kejang parsial kompleks atau epilepsi psikomotor 9. Somnolensi: mengantuk yang abnormal yang paling sering ditemukan pada proses organik. Gangguan Perhatian:

Perhatian adalah jumlah usaha yang dilakukan untuk memusatkan pada bagian tertentu dari pengalaman; kemampuan untuk mempertahankan perhatian pada satu aktivitas, kemampuan untuk berkonsentrasi.
1. Distraktibilitas: ketidakmampuan untuk memusatkan atensi; penarikan atensi kepada stimulasi eksternal yang tidak penting atau tidak relevan. 2. Inatensi selektif: hambatan hanya pada hal-hal yang menimbulkan kecemasan. 3. Hipervigilensi: pemusatan perhatian yang berlebihan pada semua stimulasi internal dan eksternal, biasanya merupakan akibat sekunder dari keadaan delusional atau paranoid. 4. Trance: perhatian yang terpusat dan kesadaran yang berubah, biasanya terlihat pada hipnosis, gangguan disosiatif, dan pengalaman religius yang luar biasa

Gangguan Sugesbilitas: Gangguan sugestibilitas adalah kepatuhan dan respon yang tidak kritis terhadap gagasan atau pengaruh dari luar diri pasien.
1. Folie a deux (atau folie a trois): penyakit emosional yang berhubungan antara dua (atau tiga) orang. 2. Hipnosis: modifikasi kesadaran yang diinduksi secara buatan yang ditandai dengan peningkatan sugesbilitas.

Emosi Suatu kompleks keadaan perasaan dengan komponen psikis, somatik, dan perilaku yang berhubungan dengan efek dan mood Afek: Afek adalah ekspresi emosi yang terlihat; mungkin tidak konsisten dengan emosi yang dikatakan pasien.
1. Afek yang sesuai (appropriate affect): kondisi irama emosional yang harmonis (sesuai, sinkron) dengan gagasan, pikiran atau pembicaraan yang menyertai; digambarkan lebih lanjut sebagai yang afek yang luas atau penuh, dimana rentang emosional yang lengkap 2. 3. 4. 5. diekspresikan secara sesuai Afek yang tidak sesuai (inappropriate affect): ketidak harmonisan antara irama perasaan emosional dengan gagasan, pikiran, atau pembicaraan yang menyertainya. Afek yang tumpul (blunted affect): gangguan pada afek yang dimanifestasikan oleh penurunan yang berat pada intensitas irama perasaan yang diungkapkan ke luar. Afek yang terbatas (restricted or constricted afect): penurunan intensitas irama perasaan yang kurang parah dari pada efek yang tumpul tetapi jelas menurun. Afek yang datar (flat affect): tidak adanya atau hampir tidak adanya tanda ekspresi afek; suara yang monoton, wajah yang tidak bergerak

6. Afek yang labil (labile affect): perubahan irama perasaan yang cepat dan tiba-tiba, yang tidak berhubungan dengan stimulasi eksternal

Mood: Mood adalah suatu emosi yang meresap yang dipertahankan, yang dialami secara subjektif dan dilaporkan oleh pasien dan terlihat oleh orang lain. Contohnya adalah depresi, elasi, kemarahan.
1. Mood disforik: mood yang tidak menyenangkan 2. Mood eutimik: mood dalam rentang normal, menyatakan tidak adanya mood yang tertekan atau melambung. 3. Mood yang meluap-luap (expansive mood): ekspresi perasaan seseorang tanpa pembatasan, seringkali dengan penilaian yang berlebihan terhadap kepentingan atau makna seseorang. 4. Mood yang iritabel (irritable mood): ekspresi perasaan akibat mudah diganggu atau dibuat marah. 5. Pergeseran mood (labile mood): osilasi antara euforia dan depresi atau dibuat marah.

6. Mood yang meninggi (elevated mood): suasana keyakinan dan kesenangan; suatu mood yang lebih ceria dari biasanya. 7. Euforia: elasi yang kuat dengan perasaan kebesaran. 8. kegembiraan yang luar biasa (ecstasy): perasaan kegairahan yang kuat. 9. Depresi: perasaan kesedihan yang psikopatologis 10. Anhedonia: hilangnya minat terhadap dan menarik diri dari semua aktivitas rutin dan menyenangkan, seringkali disertai dengan depresi. 11. Duka cita atau berkabung: kesedihan yang sesuai dengan kehilangan yang nyata. 12. Aleksitimia: ketidakmampuan atau kesulitan dalam menggambarkan atau menyadari emosi atau mood seseorang.

Emosi Yang Lain:


1. Kecemasan: perasaan kekhawatiran yang disebabkan oleh dugaan bahaya, yang mungkin berasal dari dalam atau luar. 2. Kecemasan yang mengambang bebas (free floating anxiety): rasa takut yang meresap dan tidak terpusatkan dan tidak terikat pada suatu gagasan tertentu. 3. Ketakutan: kecemasan yang disebabkan oleh bahaya yang dikenali secara sadar dan realistik. 4. Agitasi: kecemasan berat yang disertai dengan kegelisahan motorik 5. Ketegangan (tension): peningkatan aktifitas motorik dan psikologis yang tidak 6. 7. 8. 9. menyenangkan. Panik: Serangan kecemasan yang akut, episodik, yang kuat disertai dengan perasaan ketakutan yang melandan dan pelepasan otonomik. Apati: irama emosi yang tumpul yang disertai dengan pelepasan (detachment) atau ketidakacuhan (indifference). Ambivalensi: terdapat secara bersama-sama dua impuls yang berlawanan terhadap hal yang sama pada satu orang yang sama pada waktu yang sama. Abreaksional (abreaction): pelepasan atau pelimpahan emosional setelah mengingat pengalaman yang menakutkan.

10. Rasa malu: kegagalan membangun pengharapan diri 11. Rasa bersalah: emosi sekunder karena melakukan sesuatu yang dianggap salah.

Gangguan Psikologis Yang Berhubungan Dengan Mood: Tanda disfungsi somatik (biasanya otonomik) pada seseorang, paling sering berhubungan dengan depresi (juga disebut tanda vegetatif).
1. Anoreksia: hilangya atau menurunya nafsu makan 2. Hiperfagia: meningkatnya nafsu makan dan asupan makanan

3. Insomnia: hilangnya atau menurunya kemampuan untuk tidur 1. Awal : Kesulitan jatuh tertidur 2. Pertengahan: Kesulitan tidur sepanjang malam tanpa terbangun dan kesulitan kembali tidur 3. Terminal: terbangun pada dini hari 4. Hipersomnia: tidur yang berlebihan 5. Variasi diurnal: mood yang secara teratur terburuk pada pagi hari, segera setelah terbangun, dan membaik dengan semakin siangnya hari. 6. Penurunan libido: penurunan minat, dorongan, dan daya seksual (peningkatan libido sering disertai keadaan manik) 7. Konstipasi: ketidakmampuan atau kesulitan defekasi.

Perilaku Motorik (Konasi) Aspek jiwa yang termasuk impuls, motivasi, harapan, dorongan, instink, dan idaman, seperti yang ekspresikan oleh perilaku atau aktivitas motorik seseorang.
1. Ekopraksia: peniruan pergerakan yang patologis seseorang pada orang lain. 2. Katatonia: kelainan motorik dalam gangguan nonorganik (sebagai lawan dari gangguan kesadaran dan aktivitas motorik sekunder dari patologi organik). 1. Katalepsi: istilah umum untuk suatu posisi yang tidak bergerak yang dipertahankan terus 2. 3. 4. 5. menerus. Luapan katatonik: aktivitas motorik yang teragitasi, tidak bertujuan, dan tidak dipengaruhi oleh stimulasi eksternal Stupor katatonik: penurunan aktivitas motorik yang nyata, seringkali sampai titik imobilitas dan tampaknya tidak menyadari sekeliling. Rigiditas katatonik: penerimaan postur yang kaku yang disadari, menentang usaha untuk digerakkan. Posturing katatonik: penerimaan postur yang tidak sesuai atau kaku yang disadari, biasanya dipertahankan dalam waktu yang lama.

6. Cerea flexibilitas (fleksibilitas lilin): seseorang dapat diatur dalam suatu posisi yang kemudia dipertahankannya; jika pemeriksaan menggerakkan anggota tubuh pasien, anggota tubuh terasa seakan akan terbuat dari lilin. 3. Negativisme: tahanan tanpa motivasi terhadap semua usaha untuk menggerakkan atau terhadap semua instruksi. 4. Katapleksi: hilangnya tonus otot dan kelemahan secara sementara yang dicetuskan oleh berbagai keadaan emosional. 5. Stereotipik: pola tindakan fisik atau bicara yang terfiksasi dan berulang.

6. Mannerisme: pergerakan tidak disadari, dan bersifat habitual. 7. Otomatisme: tindakan atau tindakan-tindakan yang otomatis yang biasanya mewakili suatu aktivitas simbolik yang tidak disadari. 8. Otomatisme perintah: otomatisme mengikuti sugesti (juga disebut kepatuhan otomatik). 9. Mutisme: tidak bersuara tanpa kelainan struktural. 10. Overaktivitas: 1. Agitasi psikomotor: overaktivitas motorik dan kognitif yang berlebihan, biasanya tidak produktif dan sebagai akibat respons atas ketegangan dari dalam (inner tension). 2. Hiperaktivitas/hiperkinesis: kegelisahan, aktivitas yang destruktif, seringkali 3. 4. 5. disertai dengan dasar patologi pada otak. Tik: pergerakan motorik yang spasmodik dan tidak disadari. Tidur berjalan (somnambulisme): aktivitas motorik saat tertidur. Akathisia: perasaan subjektif terhadap ketegangan motorik sebagai akibat sekunder dari medikasi antipsikotik atau medikasi lain yang dapat menyebabkan kegelisahan; duduk dan berdiri berulang secara berganti-ganti dan berulang; dapat disalahartikan sebagai agitasi psikotik. Kompulsi: impuls yang tidak terkontrol untuk melakukan suatu tindakan secara berulang. Dipsomania: kompulsi untuk minum alkohol. Kleptomania: kompulsi untuk mencuri. Nimfomania: kebutuhan untuk koitus yang kuat dan kompulsif pada seseorang wanita. Satiriasis: kebutuhan untuk koitus yang kuat dan kompulsif pada seorang lakilaki. Trikotilomania: kompulsi untuk mencabut rambut. Ritual: aktivitas kompulsif otomatis dalam sifat, menurunkan kecemasan yang orisinil.

6. i. ii. iii. iv. v. vi.

1. Ataksia: kegagalan koordinasi otot, iregularitas gerakan otot. 2. Polifagia: makan berlebihan yang patologis. 11. Hipoaktifitas/hipokinesis: penurunan aktivitas motorik dan kognitif, seperti pada retardasi psikomotor; perlambatan pikiran, bicara dan pergerakan yang dapat terlihat. 12. Mimikri: aktivitas motorik tiruan dan sederhana pada anak-anak. 13. Agresi: tindakan yang kuat dan diarahkan tujuan yang mungkin verbal atau fisik; bagian motorik dari afek kekerasan, kemarahan, atau permusuhan.

14. Memerankan (acting out): ekspresi langsung dari suatu harapan atau impuls yang tidak disadari dalam bentuk gerakan; fantasi yang tidak disadari dihidupkan secara impulsif dalam perilaku 15. Abulia: penurunan impuls untuk bertindak dan berpikir, disertai dengan ketidak acuhan tentang akibat tindakan; disertai dengan defisit neurologis.

Berpikir Aliran gagasan, simbol, dan asosiasi yang diarahkan oleh tujuan dimulai oleh suatu masalah atau suatu tugas dan mengarah pada kesimpulan yang berorientasi kenyataan; jika terjadi urutan yang logis, berpikir adalah normal; parapraksis (tergelincir dari logis yang termotivasi secara tidak disadari juga disebut pelesetan menurut Freud) dianggap sebagai bagian dari berpikir yang normal. Gangguan Umum dalam Bentuk atau Proses Berpikir:
1. Gangguan mental: sindroma perilaku atau psikologis yang bermakna secara klinis, disertai dengan penderitaan atau ketidakmampuan, tidak hanya suatu respon yang diperkirakan dari peritiwa tertentu atau terbatas pada hubungan antara seseorang dan masyarakat. 2. Psikosis: ketidak mampuan untuk membedakan kenyataan dari fantasi; gangguan dalam kemampuan menilai kenyataan, dengan menciptakan realitas baru (berlawanan dengan neurosis: gangguan mental dimana kemampuan menilai kenyataan yang masih utuh, perilaku tidak jelas melanggar norma-norma sosial, serta relatif masih dapat bertahan lama atau rekuren tanpa pengobatan). 3. Tes kenyataan atau realitas: pemeriksaan dan pertimbangan objektif tentang dunia di luar diri. 4. Gangguan pikiran formal: gangguan dalam bentuk pikiran, malahan isi fikiran; berpikir ditandai dengan kekenduran asosiasi, neologisme, dan konstruksi yang tidak logis; proses berpikir mengalami gangguan, dan lazimnya dianggap sebagai orang yang psikotik. 5. Berpikir tidak logis: berpikir mengandung kesimpulan yang salah atau kontradiksi internal; hal ini adalah patologis jika nyata dan tidak disebabkan oleh nilai kultural atau defisit interlektual. 6. Dereisme: aktivitas mental yang tidak sesuai dengan logika atau pengalaman. 7. Berpikir autistik: preokupasi dengan dunia dalam dan pribadi; istilah digunakan agak sama dengan dereisme. 8. Berpikir magis: suatu bentuk pikiran dereistik; berpikir adalah serupa dengan fase praoperasional pada masa anak anak (Jean Piaget), dimana pikiran, kata-kata atau

tindakan mempunyai kekuatan (sebagai contohnya, mereka dapat menyebabkan atau mencegah suatu peristiwa). 9. Proses berpikir primer: istilah umum untuk berpikir yang dereistik, tidak logis, magis; normalnya ditemukan pada mimpi, abnormal pada psikosis.

Gangguan Spesifik Pada Bentuk Pikiran:


1. Neologisme: kata baru yang diciptakan oleh pasien, seringkali dengan mengkombinasikan suku kata dari kata-kata lain, untuk alasan psikologis yang aneh (idiosinkratik). 2. Word salad (gado-gado kata): campuran kata dan frasa yang membigungkan 3. Sirkumstansialitas: bicara yang tidak langsung yang lambat dalam mencapai tujuan tetapi pada akhirnya mulai lagi dari titik awal untuk mencapai tujuan yang diharapkan; ditandai dengan pemasukan detail-detail yang tidak bermakna. 4. Tangensialitas: ketidakmampuan untuk mempunyai asosiasi pikiran yang diarahkan oleh tujuan; pasien tidak pernah berangkat dari titik awal dari tujuan yang diinginkan. 5. Inkoherensi: pikiran yang, biasanya, tidak dapat dimengerti; berjalan bersama pikiran atau atau kata kata dengan hubungan yang tidak logis atau tanpa tata bahasa, yang menyebabkan disorganisasi; terputusnya asosiasi antar ide-ide yang ekstrim sehingga tidak apat dimengerti sama sekali. 6. Perseverasi: respon terhadap stimulus sebelumnya yang menetap setelah stimulus baru diberikan, sering disertai dengan gangguan kognitif. 7. Verbigerasi: pengulangan kata-kata atau frasa-frasa spesifik yang tidak mempunyai arti. 8. Ekolalia: pengulangan kata-kata atau frasa-frasa seseorang oleh seseorang lain secara psikopatologis; cenderung berulang dan menetap, dapat diucapkan dengan mengejek atau intonasi ysng terputus-putus. 9. Kondensasi: penggabungan berbagai konsep menjadi satu konsep. 10. Jawaban yang tidak relevan: jawaban yang tidak harmonis dengan pertanyaan yang di tanyakan (pasien tampaknya mengabaikan atau tidak memperhatikan pertanyaan). 11. Pengenduran asosiasi: aliran pikiran dimana gagasan-gagasan bergeser dari satu subjek ke sabjek lain dalam cara yang sama sekali tidak berhubungan; jika berat, bicara mungkin membigungkan (inkoheren). 12. Keluar dari jalur (derailment): penyimpangan yang mendadak dalam urutan pikiran tanpa penghambatan; seringkali digunakan secara sama dengan pengenduran asosiasi. 13. Lompat gagasan (flight of ideas): verbalisasi atau permainan kata-kata yang cepat dan terus menerus yang menghasilkan terus pergeseran terus menerus dari satu ide ke ide

lain; ide ide cenderung dihubungkan, dan dalam bentuk yang kurang parah pendengar mungkin mampu untuk mengikutinya. 14. Asosiasi bunyi (clang assosiation): asosiasi kata-kata yang mirip bunyinya tetapi berbeda artinya; kata tidak mempunyai hubungan logis, dapat termasuk permainan sajak dan permainan kata. 15. Penghambatan (blocking): terputusnya aliran berpikir secara tiba-tiba sebelum pikiran atau gagasan diselesaikan; setelah suatu periode terhenti singkat; orang tampak tidak teringat pada apa yang telah dikatakan atau apa yang akan dikatakan (juga dikenal sebagai pencabutan pikiran). 16. Glossolalia: ekspresi pesan-pesan yang relevan melalui kata- kata yang tidak dipahami (juga dikenal sebagai berbahasa lidah); tidak dianggap sebagai gangguan pikiran jika terjadi pada praktek keagamaan tertentu.

Gangguan Spesifik Pada Isi Pikiran:


1. Kemiskinan isi pikiran: pikiran yang memberikan sedikit informasi karena tidak ada pengertian, pengulangan kosong atau frasa yang tidak jelas. 2. Gagasan yang berlebihan: keyakinan palsu yang dipertahankan dan tidak beralasan yang dipertahankan secara kurang kuat dibandingkan dengan suatu waham. 3. Waham: keyakinan palsu, didasarkan pada kesimpulan yang salah tentang kenyataan eksternal tidak sejalan dengan inteligensia pasien dan latar belakang kultural, yang tidak dapat dikoreksi dengan suatu alasan apapun. 1. Waham yang kacau daan aneh (bizzare delusion): keyakinan palsu yang aneh, mustahil dan sama sekali tidak masuk akal (sebagai contohnya: orang dari angkasa luar telah menanamkan suatu elektroda pada otak pasien). 2. Waham tersistematisasi: keyakinan yang palsu yang digabungkan oleh suatu tema atau peristiwa tunggal (sebagai contohnya: pasien di mata-matai oleh agen rahasia, mafia atau boss). 3. Waham yang sejalan dengan mood (mood congruent delusion): waham yang sesuai dengan mood (sebagai contoh: seorang pasien depresi percaya bahwa ia bertanggung jawab untuk penghancuran dunia). 4. Waham yang tidak sejalan dengan mood (mood incongruent delusion): waham dengan isi yang tidak mempunyai hubungan dengan mood atau merupakan mood netral (sebagai contohnya, pasien depresi mempunyai waham kontrol pikiran atau siar pikiran). 5. Waham nihilistik: perasaan palsu bahwa dirinya, dan orang lain dan dunia adalah tidak ada atau berakhir.

6. Waham kemiskinan: keyakinan palsu bahwa pasien kehilangan atau akan terampas semua harta miliknya 7. Waham somatik: keyakinan yang palsu menyangkut fungsi tubuh pasien (sebagai contohnya, keyakinan bahwa otak pasien adalah berakar atau mencair) 8. Waham paranoid: termasuk waham persekutorik dan waham referensi, kontrol dan kebesaran (dibedakan dari ide paranoid, dimana kecurigaan adalah lebih kecil dari bagian waham)

i. waham persekutorik: keyakinan palsu bahwa pasien sedang diganggu, ditipu atau disiksa; sering ditemukan pada seorang pasien yang senang menuntut yang mempunyai kecenderungan patologis untuk mengambiltindakan hukum karena penganiayaan yang dibayangkan.
ii. iii. waham kebesaran: gambaran kepentingan, kekuatan, atau identitas seseorang yang berlebihan. waham referensi: keyakinan palsu bahwa perilaku orang lain ditujukan pada dirinya; bahwa peritiwa, benda-benda atau orang lain, mempunyai kepentingan tertentu dan tidak biasanya, umumnya dalam bentuk negatif, diturunkan dari idea referensi, dimana seseorang secara salah merasa bahwa ia sedang dibicarakan oleh orang lain (sebagai contohnya, percaya bahwa orang di televisi atau di radio berbicara padanya atau

membicarakan dirinya). 2. waham menyalahkan diri sendiri: keyakinan yang palsu tentang penyesalan yang dalam dan bersalah. 3. waham pengendalian: perasaan palsu bahwa kemauan, pikiran atau perasaan pasien dikendalikan oleh tenaga dari luar.

i. Penarikan pikiran (thougth withdrawal): waham bahwa pikiran pasien dihilangkan dari ingatanya oleh orang lain atau tenaga lain.
ii. Penanaman pikiran (thought insertion): waham bahwa pikiran ditanam dalam pikiran pasien oleh orang atau tenaga lain.pasien dapat didengar

oleh orang lain, seperti pikiran mereka sedang disiarkan ke udara iii. Siar pikiran (thought broadcasting): waham bahwa pikiran pasien dapat didengar oleh orang lain, seperti pikiran mereka sedang disiarkan di udara. iv. Pengendalian pikiran (thought control): waham bahwa pikiran pasien dikendalikan oleh orang atau tenaga lain. 2. Waham ketidasetiaan (waham cemburu): keyakinan palsu yang didapatkan dari kecemburuan patologis bahwa kekasih pasien adalah tidak jujur.

3. Erotomania: waham bahwa seseorang sangat mencintai dirinya; lebih sering pada perempuan; juga dikenal dengan Kompleks Cleramnault-Kandinsky). 4. Pseudologia phantastica: suatu jenis kebohongan, dimana seseorang tampaknya percaya terhadap kenyataan fantasinya dan bertindak atas kenyataan; disertai dengan sindroma Munchausen, berpura pura sakit yang berulang 4. Kecenderungan atau preokupasi pikiran: pemusatan isi pikiran pada ide tertentu, disertai dengan irama efektif yang kuat, seperti kecenderungan paranoid atau preokupasi tentang bunuh diri atau membunuh. 5. Egomania: preokupasi dengan diri sendiri yang patologis. 6. Monomania: preokupasi dengan suatu objek tunggal. 7. Hipokondria: keprihatinan yang berlebihan tentang kesehatan pasien yang didasarkan bukan pada patologi organik yang nyata, tetapi, pada interpretasi yang tidak realistik terhadap tanda atau sensasi fisik sebagai suatu yang tak normal. 8. Obsesi: pikiran kukuh (persisten) yang patologis, sekalipun tidak dikehendaki pasien, pikiran mana yang tidak dapat ditentang dan tidak dapat dihilangkan dari kesadaran oleh usaha logika; biasanya disertai dengan kecemasan. 9. Kompulsi: kebutuhan yang patologis untuk melakukan suatu tindakan yang jika ditahan, menyebabkan kecemasan; perilaku berulang sebagai respon suatu obsesi atau dilakukan menurut aturan tertentu, tanpa akhir yang sebenarnya. 10. Koprolalia: pengungkapan kompulsif dari kata kata yang cabul. 11. Fobia: rasa takut patologis yang persisten, irasional, berlebihan, dan selalu terjadi terhadap suatu jenis stimulasi atau situasi tertentsu; menyebabkan keinginan yang memaksa untuk menghindari stimulasi yang ditakuti. 1. Fobia sederhana: rasa takut yang jelas terhadap objek atau situasi yang jelas (sebagai contohnya, rasa takut terhadap laba laba atau ular). 2. Fobia sosial: rasa takut akan keramaian masyarakat, seperti rasa takut berbicara dengan masyarakat, bekerja atau makan dalam masyarakat. 3. Akrofobia: rasa takut terhadap tempar yang tinggi. 4. 5. 6. 7. Agorafobia: rasa takut terhadap tempat yang terbuka. Algofobia: rasa takut terhadap rasa nyeri. Ailurofobia: rasa takut terhadap kucing. Eritrofobia: rasa takut terhadap warna merah (merujuk terhadap rasa takut terhadap darah). 8. Panfobia: Rasa takut terhadap segala sesuatu. 9. Klaustrofobia: rasa takut terhadap tempat yang tertutup. 10. Xenofobia: rasa takut terhadap orang asing.

11. Zoofobia: rasa takut terhadap binatang. 12. Noesis: suatu wahyu dimana terjadi pencerahan yang besar sekali disertai dengan perasaan bahwa pasien telah dipilih untuk memimpin dan memerintah. 13. Unio mystica: suatu perasaan yang meluap, pasien secara mistik bersatu dengan kekuatan tang tidak terbatas; tidak dianggap suatu gangguan dalam isi pikiran jika sejalan dengan keyakinan pasien atau lingkungan kultural

Bicara Gagasan, pikiran, perasaan yang diekspresikan melalui bahasa; komunikasi verbal. Gangguan Bicara:
1. Tekanan bicara (pressure of speech): bicara cepat yaitu peningkatan jumlah dan kesulitan 2. 3. 4. 5. untuk memutus pembicaraan. Kesukaan/banyak bicara (logorrhea): bicara yang banyak sekali, bisa koheren, bisa inkoheren. Kemiskinan bicara (poverty of speech): pembatasan jumlah bicara yang digunakan; jawaban mungkin hanya satu suku kata (monosyllabic). Bicara yang tidak spontan: respon verbal yang diberikan hanya jika ditanya atau dibicarakan langsung; tidak ada bicara yang dimulai dari diri sendiri. Kemiskinan isi bicara: bicara yang adekuat dalam jumlah tetapi memberikan sedikit

informasi karena ketidakjelasan, kekosongan, atau frasa yang stereotipik. 6. Disprosodi: hilangnya irama bicara yang normal. 7. Disartria: kesulitan dalam artikulasi, bukan dalam penemuan kata atau tata bahasa. 8. Bicara yang keras atau lemah secara berlebihan: hilangnya modulasi volume bicara normal; dapat mencerminkan berbagai keadaan patologis mulai dari psikosis sampai depresi sampai ketulian. 9. Gagap (stuttering): pengulangan atau perpanjangan suara atau suku kata yang sering, menyebabkan gangguan kefasihan bicara yang jelas. 10. Cluttering: bicara yang aneh dan disritmik, yang mengandung semburan kata-kata yang cepat dan menyentak.

Gangguan Afasik: Gangguan dalam pengeluaran bahasa


1. Afasia motorik: gangguan bicara yang disebabkan oleh gangguan kognitif dimana pengertian adalah tetap tetapi kemampuan untuk bicara adalah sangat terganggu; bicara terhenti-henti, susah payah dan tidak akurat (juga dikenal sebagai afasia Broca, tidak fasih dan ekspresif).

2. Afasia sensoris: kehilangan kemampuan organik untuk mengerti arti kata; bicara adalah lancar dan spontan, tetapi membingungkan dan yang bukan-bukan (juga dikenal sebagai afasia Wernicke, fasih, dan reseptif). 3. Afasia nominal: kesulitan untuk menemukan nama yang tepat untuk suatu benda (juga dikenal sebagai afasia anomia dan amnestik). 4. Afasia sintatikal: ketidakmampuan untuk menyusun kata-kata dalam urutan yang tepat. 5. Afasia Jargon: kata-kata yang dihasilkan seluruhnya neologistik; kata-kata yang tidak masuk akal yang diulang-ulang dengan berbagai intonasi dan nada suara. 6. Afasia global: kombinasi afasia yang sangat tidak fasih dan afasia fasih yang berat.

Persepsi Proses pemindahan stimulasi fisik menjadi informasi psikologis; proses mental di mana stimulasi sensoris dibawa ke kesadaran.

Gangguan Persepsi:
1. Halusinasi: persepsi sensoris yang palsu yang terjadi tanpa stimulasi eksternal yang nyata; mungkin terdapat atau tidak terdapat interpretasi waham sehubungan dengan pengalaman halusinasi tersebut. 1. Halusinasi hipnagogik: persepsi sensoris yang palsu yang terjadi saat akan tertidur biasanya dianggap sebagai fenomena yang nonpatologis. 2. Halusinasi hipnopompik: persepsi palsu yang terjadi saat terbangun dari tidur; biasanya dianggap tidak patologis 3. Halusinasi dengar (auditoris): persepsi bunyi yang palsu, biasanya suara tetapi juga bunyi-bunyi lain, seperti musik; merupakan halusinasi yang paling sering pada gangguan psikiatrik. 4. Halusinasi visual: persepsi palsu tentang peneglihatan yang berupa citra yang berbentuk (sebagai contohnya, orang) dan citra yang tidak berbentuk (sebagai contohnya, kilatan cahaya); paling sering pada gangguan organik. 5. Halusinasi penciuman (oflaktoris): persepsi membau yang palsu; paling sering pada gangguan organik. 6. Halusinasi pengecapan (gustatoris) : persepsi tentang rasa kecap yang palsu, seperti rasa kecap yang tidak menyenangkan yang disebabkan oleh kejang; paling sering pada gangguan organik. 7. Halusinasi perabaan (taktil; haptic): persepsi palsu tentang perabaan atau sensasi permukaan, seperti dari tungkai yang teramputasi (phantom limb); sensasi adanya gerakan pada atau dibawah kulit (kesemutan). 8. Halusinasi somatik: sensasi palsu tentang sesuatu hal yang terjadi di dalam atau terhadap tubuh; paling sering berasal dari bagian viseral tubuh (juga dikenal sebagai halusinasi kenestetik). 9. Halusinasi liliput: persepsi yang palsu dimana benda-benda tampak lebih kecil ukuranya (juga dikenal sebagai mikropsia). 10. Halusinasi yang sejalan dengan mood (mood-congruent hallucination): halusinasi di mana isi halusinasi adalah konsisten dengan mood yang tertekan atau manik (sebagai contohnya, pasien yang mengalami depresi mendengar suara yang mengatakan bahwa pasien adalah orang yang jahat; serang pasien manik mendegar suara yang mengatakan bahwa pasien memiliki harga diri, kekuatan dan pengetahuan yang tinggi). 11. Halusinasi yang sejalan dengan mood (mood-incongruent hallucination): halusinasi di mana isinya tidak konsisten dengan mood yang tertekan atau manik (sebagia contohnya, pada depresi, halusinasi tidak melibatkan tema-tema tersebut

seperti rasa bersalah, penghukuman yang layak, atau ketidakmampuan; pada mania, halusinasi tidak mengandung tema-tema tersebut seperti harga diri atau kekuasaan yang tinggi). 12. Halusinosis: halusinasi, paling sering adalah halusinasi dengar, yang berhubungan dengan penyalahgunaan alkohol kronis yang terjadi dalam sensorium yang jernih, berbeda dengan delirium tremens (DTs), yaitu halusinasi yang terjadi dalam konteks sensorim yang berkabut. 13. Sinestesia: sensasi atau halusiansi yang disebabkan oleh sensasi lain, (sebagai contohnya, suatu sensasi auditoris yang disertai atau dicetuskan oleh suatu sensasi visual; suatu bunyi dialami sebagai dilihat, atau suatu penglihatan dialami sebagai didengar). 14. Trailing phenonemon: kelainan persepsi yang berhubungan dengan obat-obat halusinogenik di mana benda yang bergerak dilihat sebagai sederetan citra yang terpisah dan tidak kontinu. 2. Ilusi: mispersepsi atau misinterpretasi terhadap stimulasi eksternal yang nyata.

Gangguan Yang Berhubungan Dengan Gangguan Kognitif dan Kondisi Medik: Agnosia, ketidakmampuan untuk mengenali dan menginterpretasikan kepentingan kesan sensoris.
1. Anosognosia (ketidaktahuan tentang penyakit): adanya ketidakmampuan untuk 2. mengenali suatu defisit neurologis yang terjadi pada pasien. Somatopagnosia (ketidaktahuan tentang tubuh): adanya ketidakmampuan untuk mengenali suatu bagian tubuh sebagai milik tubuhnya sendiri (juga disebut sebagai autopagnosia) Agnosia visual: ketidakmampuan untuk mengenali benda-benda atau orang. Astereognosis: ketidakmampuan untuk mengenali benda melalui sentuhan. Prosopagnosia: ketidakmampuan mengenali wajah. Apraksia: ketidakmampuan untuk melakukan tugas tertentu. Simultagnosia: ketidakmampuan untuk mengerti lebih dari satu elemen pandangan visual

3. 4. 5. 6. 7.

pada suatu waktu atau untuk mengintegrasikan bagian- bagian menjadi keseluruhan. 8. Adiadokokinesis: adanya ketidakmampuan untuk melakukan pergerakan yang berubah dengan cepat

Gangguan Yang Berhubungan Dengan Fenomena Konversi dan Disosiatif: Terjadinya somatisasi meteri-materi yang direpresi atau berkembangnya gejala dan distorsi fisik yang melibatkan otot-otot volunter atau organ sensorik tertentu bukan dibawah kontrol volunter dan tidak dapat dijelaskan oleh karena gangguan fisik.

1. Anestesia histerikal: hilangnya modalitas sensoris yang disebabkan oleh konflik emosional. 2. Makropsia: pasien menyatakan bahwa benda-benda tampak lebih besar dari sesungguhnya; bisa berhubungan dengan kondisi organik, seperti epilepsi kejang parsial kompleks. 3. Mikropsia: pasien menyatakan bahwa benda-benda adalah lebih kecil dari sesungguhnya; bisa berhubungan dengan kondisi organik, seperti epilepsi kejang parsial kompleks. 4. Depersonalisasi: suatu perasaan subjektif merasa tidak nyata, aneh, atau tidak mengenali diri sendiri. 5. Derealisasi: suatu perasaan subjektif bahwa lingkungan adalah aneh atau tidak nyata; suatu perasaan tentang perubahan realistik. 6. Fugue: mengambil identitas baru pada amnesia identitas yang lama; seringkali termasuk berjalan-jalan atau berkelana ke lingkungan yang baru. 7. Kepribadian ganda (multiple personality): satu orang yang tampak pada waktu yang berbeda menjadi dua atau lebih kepribadian dan karakter yang sama sekali berbeda.

Daya Ingat Daya ingat merupakan fungsi di mana informasi disimpan di otak dan selanjutnya diingat kembali ke kesadaran. Ganggguan Daya Ingat:
1. Amnesia: ketidakmampuan sebagian atau keseluruhan untuk mengingat pengalaman masa lalu; mungkin berasal dari organik atau emosional. 1. Anterograd: amnesia untuk peritiwa yang terjadi setelah suatu titik waktu. 2. Retrograd: amnesia sebelum suatu titik waktu. 2. Paramnesia: pemalsuan ingatan oleh distorsi pengingatan 1. Fausse reconnaissance: pengenalan yang palsu. 2. Pemalsuan restrokpektif: ingatan secara tidak diharapkan (tidak disadari) menjadi terdistorsi saat disaring melalui keadaan emosional, kognitif, dan pengalaman pasien sekarang. 3. Konfabulasi: pengisian kekosongan ingatan secara tidak disadari oleh pengalaman yang dibayangkan atau tidak nyata yang dipercayai pasien tetapi tidak mempunyai dasar kenyataan; paling sering berhubungan dengan patologi organik. 4. Deja vu: ilusi pengenalan visual dimana situasi yang baru secara keliru dianggap sebagai suatu pengulangan ingatan sebelumnya. 5. Deja entendu: ilusi pengenalan auditoris.

3. 4. 5. 6.

6. Deja pense: ilusi bahwa suatu pikiran baru dikenali sebagai pikiran yang sebelumnya telah dirasakan atau diekspresikan. 7. Jamais vu: perasaan palsu tentang ketidak kenalan terhadap situasi nyata yang telah dialami oleh seseorang. Hipermnesia (daya ingat yang meninggi): peningkatan derajat penyimpanan dan pengingatan. Eidetic image: ingatan visual tentang kejelasan halusinasi. Screen memory: ingatan yang dapat ditoleransi secara sadar menutup ingatan yang menyakitkan. Represi: suatu mekanisme pertahanan yang ditandai oleh pelupaan secara tidak disadari

terhadap gagasan atau impuls yang tidak dapat diterima. 7. Letologika: ketidakmampuan sementara untuk mengingat suatu nama atau suatu kata benda yang tepat.

Tingkat Daya Ingat:


1. Daya ingat yang segera (immediate memory): reproduksi atau pengingatan hal-hal yang dirasakan dalam beberapa detik sampai menit. 2. Daya ingat yang baru saja (recent memory): pengingatan peristiwa yang telah lewat beberapa hari. 3. Daya ingat yang agak lama (recent past memory): pengingat peristiwa yang telah lewat selama beberapa bulan. 4. Daya ingat yang jauh (remote memory): pengingatan peristiwa yang telah lama terjadi.

Intelegensia Kemampuan untuk mengerti, mengingat, menggerakkan, dan menyatukan secara konstruktif pelajaran sebelumnya dalam menghadapi situasi yang baru.

Retardasi Mental: Kurangnya inteligensia sampai derajat di mana terdapat gangguan pada kinerja sosial dan kejuruan: ringan (IQ 50 atau 55 kira-kira 70), sedang (IQ 35 atau 40 50 atau 55), berat (IQ 20 atau 25 35- 40) atau sangat berat (IQ dibawah 20 atau 25). Istilah yang lama ialah idiot (usia mental kurang dari 3 tahun), imbesial (usia metal kira-kira 8 tahun). Demensia: Pemburukan fungsi intelektual organik dan global tanpa pengaburan kesadaran.
1. Diskalkulia (Akalkuliah): hilangnya kemampuan untuk melakukan perhitungan; bukan karena gangguan psikologis. 2. Disgrafia (Agrafia): Hilangnya kemampuan untuk menulis dalam gaya yang kursif; hilangnya struktur kata 3. Aleksia: Hilangnya kemampuan membaca yang sebelumnya dimiliki; bukan disebabkan oleh gangguan penglihatan.

Pseudodemensia: Gambaran klinis yang menyerupai demensia yang tidak disebabkan oleh suatu kondisi organik; paling sering disebabkan oleh depresi (sindroma demensia dari depresi).

Berpikir Konkret: Berpikir harafia; penggunaan kiasan yang terbatas tanpa pengertian nuansa arti; pikrian satu-dimensi. Berpikir Abstrak: Kemampuan untuk mengerti nuansa arti; berpikir multidimensional dengan kemampuan menggunakan kiasan dan hipotesis dengan tepat Tilikan (Insight) Kemampuan pasien untuk mengerti penyebab sebenarnya dan arti dari suatu situasi (seperti sekumpulan gejala). Tilikan Intelektual: Kemampuan untuk mengerti kenyataan objektif tentang suatu keadaan tanpa kemampuan untuk menerapkan pengetahuan dalam cara yang berguna untuk mengatasi situasi. Tilikan Sejati: Kemampuan untuk mengerti kenyataan objektif tentang suatu situasi, disertai dengan daya pendorong motivasi dan emosional untuk mengatasi situasi.

Tilikan Yang Terganggu: Kehilangannya kemampuan untuk mengerti kenyataan objektif dari suatu situasi. Pertimbangan (Judgement) Kemampuan untuk menilai situasi secar benar dan untuk bertindak secara tepat didalam situasi tersebut. Pertimbangan Kritis: Kemampuan untuk menilai, melihat, dan memilih berbagai pilihan didalam suatu situasi. Pertimbangan Otomatis: Kinerja refleks didalam suatu tindakan. Pertimbangan Yang Terganggu: Kehilangannya kemampuan untuk mengerti suatu situasi dengan benar dan bertindak secara tepat

BAGIAN KETIGA WAWANCARA, RIWAYAT PSIKIATRIK, PEMERIKSAAN STATUS MENTAL, DAN PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK LANJUTAN

Wawancara Psikiatrik Secara definisi, suatu wawancara psikiatrik menggambarkan dialog verbal dan nonverbal antara dokter pemeriksa dan pasien, yang perilakunya mempengaruhi gaya komunikasi masing-masing, sehingga mengakibatkan pola interaksi spesifik. Seorang dokter pemeriksa dalam wawancara berupaya untuk mencapai sasaran yang spesifik dengan mengajukan pertanyaan dan/atau pertanyaan yang perlu direspons oleh pasien. Secara garis besar, sasaran pengkajian klinis dari wawancara psikiatrik adalah untuk:
1. 2. 3. 4. 5. 6. Membina hubungan saling percaya dalam situasi terapeutik. Mengumpulkan data dasar yang valid. Mengembangkan keterlibatan dan pengertian yang empatik tentang pasien. Mengembangkan pengkajian yang dapat menghasilkan perumusan diagnosis tentatif. Mengembangkan rencana pengobatan yang sesuai. Mempengaruhi penurunan derajat ansietas pasien.

Teknik-teknik wawancara yang terdapat dalam berbagai kepustakaan umumnya di bagi atas teknik-teknik umum yang dapat digunakan pada hampir setiap kondisi, dan teknik-teknik khusus yang dikembangkan untuk situasi-situasi khusus, seperti pada pasien-pasien dengan gangguan waham, gangguan depresi berat dengan ide bunuh diri yang kuat, gangguan mental organik, dll. Idealnya setiap dokter pemeriksa perlu memiliki ketrampilan dasar untuk melakukan wawancara terhadap berbagai macam karakteristik pasien yang dihadapinya. Alasannya adalah bahwa suatu diagnosis yang akurat dan dapat dipercaya hanya dapat ditegakkan bila seorang dokter pemeriksa dapat melakukan wawancara psikiatrik yang baik, terlepas dari sulit-tidaknya karakter pasien yang dihadapinya. Nancy Andreasen dan Donald Black mengajukan 11 teknik umum yang dapat dipergunakan pada kebanyakan situasi wawancara psikiatrik, yaitu:
1. 2. 3. 4. Bangunlah rapport (hubungan dokter pemeriksa-pasien yang baik) sedini mungkin. Tentukanlah keluhan utama pasien. Manfaatkanlah keluhan utama untuk menegakkan diagnosis banding sementara. Ajukan pertanyaan yang terarah untuk menyingkirkan atau memasukkan berbagai kemungkinan diagnosis.

5. Telusuri dengan tekun setiap jawaban pasien yang masih samar-samar atau tak jelas sampai diperoleh jawaban yang akurat. 6. Ciptakanlah suasana ayang membuat pasien dapat berbicara dengan cukup bebas untuk mengobservasi bagaimana koherensi ide-ide yang terdapat dalam pikiran pasien. 7. Gunakanlah teknik wawancara terbuka dan/atau tertutup dengan mempertimbangkan kondisi dan respons pasien. 8. Beranikan diri untuk mendiskusikan topik-topik yang sulit atau memalukan, baik menurut anda atau pun pasien. 9. Tanyakanlah tentang kemungkinan adanya pikiran bunuh diri. 10. Pada akhir wawancara, berikan kesempatan kepada pasien untuk mengajukan pertanyaan atau komentar tentang isi dan proses wawancara. 11. Sebelum berpisah dengan pasien, sampaikanlah kesimpulan sementara dari wawancara awal yang telah berlangsung dengan menyatakan rasa kepercayaan dan harapan.

Waktu perlangsungan wawancara awal biasanya berkisar 30 menit hingga 1 jam, tergantung keadaan. Bagi pasien-pasien yang menderita gangguan psikotik atau penyakit fisik, wawancara sebaiknya berlangsung singkat oleh karena pasien sering merasakan wawancara tersebut sebnagai suatu hal yang menimbulkan atau menambah stres. Wawancara yang membutuhkan waktu yang cukup lama sebaiknya dilakukan di ruang gawat darurat. Wawancara terapeutik kedua dan selanjutnya umumnya berlangsung 30 menit. Pada wawancara kedua dan seterusnya perlu dilakukan koreksi terhadap berbagai informasi yang belum jelas atau keliru yang diperoleh pada wawancara sebelumnya. Akan lebih baik bila pasien diijinkan untuk memberikan komentar (perasaannya) tentang wawancara sebelumnya. Selain dengan pasien, bila memungkinkan, wawancara perlu dilakukan juga dengan keluarga pasien untuk memperoleh tambahan informasi yang akurat mengenai kondisi dan gejala pasien. Dalam hal ini, seorang dokter pemeriksa perlu berhati-hati agar tidak terdapat informasi yang salah dari keluarga tentang pasien, baik yang disengaja maupun yang tidak disengaja, atau terjadinya penolakan (resistensi) dari pasien terhadap proses terapeutik sebagai refleksi ketidaksetujuan pasien akan wawancara yang dan hasil wawancara dengan keluarganya. Bila ini terjadi maka sangat mungkin hubungan dokter pemeriksa-pasien akan mengalami hambatan. Riwayat Psikiatrik

Riwayat psikiatrik pada hakekatnya merupakan catatan kehidupan pasien yang diperlukan oleh seorang dokter pemeriksa untuk memahami siapa pasien, dari mana ia berasal, dan kemana ia tujuan hidupnya di masa mendatang. Dalam hal ini termasuk kronologi pembentukan dan riwayat psikiatrik dan medis di masa lalu, karakteristik kehidupan pasien. Perlu diingat bahwa riwayat psikiatrik berisi cerita kehidupan pasien yang diceritakan kepada dokter pemeriksa berdasarkan kata-katanya dan dari sudut pandangnya sendiri. Selain bersumber dari pasien, riwayat psikiatrik dapat pula diperoleh dari sumbersumber lain yang mengetahui kehidupan pasien. Sumber informasi tersebut dapat berasal dari keluarga pasien (orang tua, suami/isteri, kakak/adik, dan lain-lain), teman dekat pasien, dokter yang sebelumnya merawat pasien, atau pun dari catatan medik pasien). Siapa dan apa pun dapat dipertimbangkan sebagai sumber informasi riwayat psikiatrik pasien sepanjang sumber tersebut relevan dan akurat.

Secara garis besar, riwayat psikiatrik memiliki struktur sebagai berikut:


I. II. III. IV. V. Data Identitas Keluhan Utama dan Masalah Riwayat Penyakit/Gangguan Sekarang Riwayat Penyakit/Gangguan Sebelumnya Riwayat Kehidupan Pribadi 1. Masa Pranatal dan Perinatal 2. Masa Kanak Awal (sampai usia 3 tahun) 3. Masa Kanak Pertengahan (usia 3 11 tahun) 4. Masa Kanak Akhir (pubertas masa remaja) 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 6. 5. Masa Dewasa Riwayat Pekerjaan Riwayat Perkawinan Riwayat Pendidikan Riwayat Kehidupan Keagamaan (Rohani) Aktivitas Sosial Situasi Kehidupan Sekarang Riwayat Pelanggaran Hukum Riwayat Kehidupan Psikoseksual

7. Riwayat Keluarga 8. Mimpi, Khayalan, dan Nilai Hidup

Pemeriksaan Status Mental Pemeriksaan status mental menggambarkan keseluruhan observasi dan kesan yang diperoleh saat wawancara psikiatrik. Struktur pemeriksaan status mental adalah:
I. II. III. IV. V. VI. Gambaran Umum (Penampilan, Perilaku dan Aktivitas Psikomotor, dan Sikap Terhadap Pemeriksa) Mood, Afek, dan Kesesuaian Karakteristik Bicara Gangguan Persepsi Isi dan Proses Pikir Sensorium dan Kognisi 1. Kesadaran 2. Orientasi dan Memori

3. 4. 5. 6. 7.

Konsentrasi dan Perhatian Kemampuan Mermbaca dan Menulis Kemampuan Visuospasial Piliran Abstrak Kecerdasan dan Inteligensia VII. Pengendalian Impuls VIII. Pertimbangan dan Tilikan IX. Reliabilitas (Keterpercayaan)

Pemeriksaan Diagnostik Lanjutan Suatu diagnosis psikiatrik yang koprehensif tidak hanya didasarkan atas wawancara psikiatrik, riwayat psikiatrik, dan pemeriksaan status mental, akan tetapi seharusnya didukung oleh informasi lain yang bersumber dari pemeriksaan diagnostik lanjutan yang meliputi:
1. 2. 3. 4. 5. Pemeriksaan fisik umum pemeriksaan neurologis Wawancara psikiatrik diagnostik lanjutan Wawancara dengan anggota keluarga, teman, atau tetangga pasien oleh pekerja sosial Tes-tes psikologis, neurologis, laboratorium atau pemeriksaan penunjang lainnya.

Seorang dokter harus melakukan pemeriksaan fisik umum dan pemeriksaan neurologis terhadap setiap pasien psikiatrik yang dihadapinya. Hal ini tidak hanya untuk mendeteksi ada-tidaknya dasar organik sebagai penyerta dan/atau penyakit organik yang ber komorbiditas dengan gangguan jiwa, tetapi juga untuk memperoleh data dasar/awal status kesehatan pasien. Data awal ini sangat bermanfaat untuk mempertimbangkan pemberian obat psikotropik dan dalam monitoring efek samping obat psikotropik terhadap kesehatan fisik/neurologis pasien. Pemeriksaan diagnostik lanjutan lainnya umumnya dilakukan berdasarkan indikasi. Langkah Diagnostik Gangguan Jiwa & Laporan Psikiatrik Proses diagnostik gangguan jiwa pada prinsipnya tidak berbeda dengan proses penegakkan diagnosis dalam praktek kedokteran umumnya. Secara garis besar proses diagnsotik dan kerangka laporan psikiatrik adalah sebagai berikut:
I. II. III. Wawancara - Anamnesis (auto dan hetero anamnesis) Pemeriksaan (Status Mental, Fisik dan Neurologik, Diagnostik Lanjutan) Ikhtisar Penemuan Bermakna (Temuan Positif dan Negatif)

IV. V. VI. VII. VIII.

Diagnosis / Evaluasi Multiaksial Daftar Masalah (Biologik/Fisik, Psiko-edukatif, Sosial-Keluarga) Prognosis Formulasi Psikodinamika (bila memungkinakan) Anjuran-anjuran (termasuk rencana pengobatan)

PENJELASAN TAMBAHAN TENTANG RIWAYAT PSIKIATRIK DAN PEMERIKSAAN STATUS MENTAL Riwayat Psikiatrik Sebagaimana telah dijelaskan pada bagian sebelumnya bahwa riwayat psikiatrik adalah catatan kehidupan pasien yang diceritakan kepada dokter dengan kata-kata dan dari sudut pandangannya sendiri. Selain dari pasien, sumber informasi tentang pasien dapat berasal juga dari sumbersumber lain, seperti orang tua atau pasangan hidup pasien. Perlu ditekankan di sini bahwa riwayat psikiatik agak berbeda dari riwayat yang diperoleh dari ilmu kedokteran medik lainnya atau pun ilmu kedokteran bedah karena di samping menggali data yang konkrit dan aktual tentang kronologi pembentukan gejala dan riwayat psikiatik dan medis yang lalu, dokter pemeriksa berusaha untuk mendapatkan gambaran tentang riwayat karakteristik kepribadian pasien, termasuk kekuatan-kekuatan dan kelemahan-kelemahan pasien. Riwayat psikiatrik juga mencakup informasi tentang sifat hubungan pasien dengan orang yang paling dekat dengan pasien termasuk semua orang yang penting dalam kehidupan pasien di masa lalu dan saat ini. Dengan demikian, melalui riwayat psikiatrik dapat diperoleh gambaran perkembangan pasien yang menyeluruh dan tepat, dari tahun-tahun pertumbuhan dan perkembangan yang paling awal sampai saat kini. Teknik yang paling penting dalam rangka memperoleh riwayat psikiatrik adalah membiarkan pasien menceritakan keadaan dirinya dengan kata-katanya sendiri. Dengan cara ini juga pasien akan diberikan kesempatan untuk merasakan bahwa dirinya dianggap penting dan berarti oleh dokter pewawancara. Data Identifikasi.

Data identifikasi memberikan ringkasan demografik yang ringkas tentang nama pasien, usia, status perkawinan, jenis kelamin, pekerjaan, bahasa jika selain bahasa Indonesia, latar belakang etnis, dan agama, dan keadaan kehidupan sekarang ini. Informasi juga dapat menyangkut tempat dan/atau situasi saat wawancara berlangsung dan apakah gangguan sekarang ini merupakan episode pertama. Data identifikasi yang juga perlu menyatakan tentang apakah pasien datang atas keinginannya sendiri, dirujuk oleh orang lain, atau dibawa oleh orang lain.

Data identifikasi adalah alat untuk memberikan sketsa ringkas tentang karakteristik pasien yang kemungkinan penting yang dapat mempengaruhi diagnosa, prognosis, pengobatan, dan kepatuhan.

Keluhan Utama.

Keluhan utama yang dijabarkan dengan menggunakan kata-kata pasien sendiri, menyatakan alasan mengapa pasien datang atau dibawa untuk mendapatkan bantuan. Keluhan ini harus dicatat bahkan jika pasien tidak mampu untuk berbicara. Penjelasan pasien, tidak tergantung apakah relevan aatau tidaknya keluhan itu, harus dicatat kata demi kata di dalam bagian keluhan utama. Orang lain yang datang sebagai sumber informasi selanjutnya dapat memberikan masukkan menurut versi mereka sendiri tentang peristiwa yang ada di dalam bagian riwayat penyakit sekarang.

Contoh: Saya merasa seperti ada orang yang akan mencelakai saya. Saya yakin bahwa tetangga di depan rumah saya bermaksud membunuh saya saat bulan purnama tiba. Tetangga saya akan membunuh saya melalui antena TV saya saat saya menonton TV. Pasien kemudian menangis ketakutan.

Riwayat Penyakit (Gangguan) Sekarang

Riwayat penyakit/gangguan sekarang merupakan bagian yang mengungkapkan gambaran yang lengkap dan kronologis tentang peristiwa yang menyebabkan kondisi pasien seperti saat sekarang ini. Bagian ini merupakan bagian riwayat penyakit yang kemungkinan paling membantu dalam membuat suatu diagnosis: Kapan onset episode terakhir? Apakah persitiwa pencetus bersifat langsung atau hanya sebagai pemicu pemicu? Pengertian tentang riwayat penyakit sekarang membantu menjawab pertanyaan: Mengapa penyakit/gangguan itu terjadi sekarang? Mengapa pasien datang ke dokter pada saat ini? Bagaimana keadaan hidup pasien saat onset gejala atau perubahan perilaku? Mengetahui apa ciri kepribadian sebelum sakit (premorbid personality) seorang pasien akan sangat membantu memberikan wawasan dokter pemeriksa tentang keadaan pasien yang sekarang sedang menderita sakit/gangguan. Gejala yang tidak tampak atau samar-samar juga harus digambarkan. Perkembangan gejala pasien harus digambarkan dan diringkaskan di dalam cara yang tersusun dan sistimatis. Semakin terinci riwayat penyakit sekarang, semakin mungkin dokter pemeriksa membuat diagnosis yang akurat. Misalnya:

Apa peristiwa pencetus dimasa lalu yang merupakan bagian dari rantai yang menyebabkan peristiwa sekarang? Sejauh mana penyakit/gangguan tersebut berdampak pada kehidupan pasien (sebagai contohnya, pekerjaan, hubungan yang penting, waktu luang)? Bagaimana karakteristik gangguan yang dialami pasien (sebagai contoh, detail tentang tentang perubahan faktor-faktor tertentu seperti kepribadian, ingatan, bicara, dan lainlain)? Apakah terdapat gejala-tanda psikofisiologi? Bila demikian, seyogyanya gejala tersebut harus dijabarkan dalam kaitannya dengan lokasi, intensitas dan fluktuasinya. Jika terdapat hubungan antara gejala fisik dan psikologis, maka hal ini harus dicatat. Bukti-bukti adanya tujuan sekunder (secondary gain) sebagai akibat dari terjadinya suatu penyakit/gangguan harus dicatat. Bila terdapat gejala kecemasan maka perlu dijelaskan tentang apakah kecemasan tersebut umum dan tidak spesifik (mengalir bebas) atau secara spesifik berhubungan dengan situasi tertentu? Bagaimana pasien menangani kecemasan tersebut?

Riwayat Penyakit/Gangguan Sebelumnya

Riwayat penyakit/gangguan sebelumnya sebenarnya merupakan bagian yang bertujuan untuk menggambarkan peralihan dari riwayat penyakit sekarang dan riwayat pribadi pasien. Pada bagian ini juga penting untuk menggambarkan tentang episode penyakit/gangguan medik-bedah dan psikiatrik pada waktu yang lalu, termasuk di dalamnya etiologi, gejalagejala, derajat penderitaan dan hendaya (gangguan fungsi) yang ditimbulkannya, diagnosis, dan jenis dan kepatuhan serta respons pengobatan. Semua pasien harus ditanyakan tentang penggunaan alkohol dan zat lain, termasuk perincian tentang cara penggunaan, jumlah, frekuensi pemakaian, dan faktor-faktor lain yang berkaitan dengan masalah ini.

Riwayat Kehidupan Pribadi


Riwayat prenatal dan perinatal. Dalam bagian ini termasuk informasi mengenai: Apakah pasien merupakan anak yang diinginkan untuk dilahirkan? Apakah terdapat masalah dengan kehamilan dan persalinan ibu? Apakah terdapat bukti-bukti cacat atau cedera saat kelahiran? Bagaimana keadaan emosional dan fisik ibu saat pasien lahir? Apakah terdapat masalah kesehatan ibu selama kehamilan? Apakah ibu menggunakan alkohol atau zat lain selama kehamilannya?

Masa anak-anak awal (sejak lahir sampai usia 3 tahun). Periode masa anak-anak awal terdiri dari tiga tahun pertama kehidupan pasien. Informasi penting pada bagian ini menyangkut: Kualitas interaksi ibu-anak selama pemberian makanan dan toilet training. Gangguan awal didalam pola tidur dan tanda tidak terpenuhinya kebutuhan, seperti membenturkan kepala, mengguncang-guncangkan tubuh, memberikan petunjuk tentang kemungkinan penyimpangan atau ketidakmampuan perkembangan maternal. Apakah terdapat penyakit psikiatrik atau medis pada orang tua-anak? Apakah ada orang selain ibu yang merawat pasien? Bila ada, apakah pasien menunjukkan masalah kecemasan akan perpisahan atau kecemasan terhadap orang asing yang berlebihan selama periode awal? Saudara kandung pasien dan perincian hubungan pasien dengan mereka harus digali. Kepribadian yang tampak pada anak juga merupakan masalah yang penting. Apakah anak pemalu, tidak dapat diam, overaktif, menarik diri, senang belajar, senang berpegian, takut-takut, atau ramah? Bagaimana kemampuan konsentrasi, toleransi terhadap frustrasi, dan untuk menahan kegembiraan? Minat anak untuk peran aktif atau pasif di dalam permainan fisik harus juga dicatat. Apa yang merupakan permainan atau mainan kesukaan anak? Apakah anak lebih suka bermain sendirian, dengan anak lain, atau tidak sama sekali? Apakah terdapat mimpi atau fantasi yang rekuren selama periode ini?
o o

Secara sistematis perlu dijelaskan hal-hal berikut:


Kebiasaan makan: minum ASI atau susu botol, masalah makan. Perkembangan awal: berjalan, berbicara, pertumbuhan gigi, perkembangan bahasa, perkembangan motorik, tanda kebutuhan tidak terpenuhi, pola tidur, ketetapan objek, kecemasan pada orang asing, penyimpangan maternal, kecemasan akan perpisahan, pengasuh lain di rumah. Toilet training: usia berapa, sikap seorang tua, perilaku tentang hal ini. Masalah perilaku: menghisap ibu jari, temperamen pemarah, tiks, mebenturkan kepala, menggoncang badan, night terrors mimpi buruk, ngompol atau defekasi saat tidur, menggigit jari, masturbasi yang berlebihan. Gambaran kepribadiaan saat anak-anak: pemalu, tidak dapat diam, overaktif, menarik diri, persisten, senang keluar, takut-takut, ramah; pola permainan. Mimpi atau fantasi awal yang rekuren.

o o

Masa anak-anak pertengahan (usia 3 tahun sampai 11 tahun). Di dalam bagian ini penting untuk menggambarkan hal-hal berikut: Identifikasi jenis kelamin, hukuman yang digunakan di rumah, dan siapa yang menegakkan disiplin dan membentuk suara hati awal. Pengalaman sekolah awal pasien, khususnya bagaimana pasien pertama kali mentoleransi perpisahan dari ibunya. Hubungan persahabatan pasien pertama kali dan hubungan pribadi. Jumlah teman-teman pasien dan sejauh mana keakraban mereka menggambarkan apakah pasien mengambil peran sebagai pemimpin atau pengikut, dan menggambarkan popularitas sosial pasien dan peran serta di dalam aktivitas kelompok. Apakah anak mampu untuk bekerja sama dengan teman sebayanya, bersikap adil, mengerti dan mematuhi aturan, dan mengembangkan suara hati awal ? ola awal tentang ketegasan, implusive, agresi, pasivitas, kecemasan atau perilaku antisosial timbul di dalam suasana hubungan sekolah. Riwayat pelajaran membaca pasien dan perkembangan keterampilan intelektual dan motorik lainnya. Riwayat gangguan belajar, penanganannya, efeknya pada anak adalah mempunyai kepentingan khusus. Adanya mimpi malam, fobia, ngompol, kesenangan bermain apai yang sampai menimbulkan kebakaran, kekejaman pada binatang, dan masturbasi yang berlebihan.

Masa anak-anak akhir (pubertas sampai masa remaja). Selama masa ini mulai terjadi proses kemandirian dari orang tuanya melalui hubungan dengan teman sebaya dan di dalam aktivitas kelompok. Dalam kaitan dengan hal ini maka dokter pemeriksa harus berusaha untuk menentukan apa dan bagaimana nilai kelompok sosial pasien dan menentukan siapa tokoh yang diidealkan oleh pasien. Informasi tersebut memberikan petunjuk yang penting tentang citra diri yang diidealkan pasien.

Selain itu perlu dicari informasi-informasi berikut:

Riwayat sekolah pasien, hubungan dengan guru, pelajaran dan minat yang paling disukai pasien, baik di sekolah maupun dibidang ekstrakurikuler. Peran serta pasien di dalam olah raga dan kegemarannya.

Apakah terdapat masalah di sekolah, termasuk pembolosan yang berlebihan atau perkelahian? Masalah emosional atau fisik yang mungkin pertama kali tampak selama fase ini, seperti identitas pribadi, penggunaan NAPZA, aktivitas seksualitas yang berlebihan. Apakah pasien interaktif dan terlibat dengan teman sebaya dan sekolah, atau apakah pasien terkucil, menarik diri, dianggap sebagai aneh oleh orang lain? Apakah pasien mempunyai harga diri yang utuh, atau apakah terdapat bukti kebencian terhadap diri sendiri yang berlebihan? Bagaimana citra tubuh (body image) pasien? Apakah terdapat episode bunuh diri? Bagaimana pasien menggunakan waktu pribadinya? Bagaimana hubungan dengan orang tua? Bagaimana perasaan tentang perkembangan karakteristik seks sekunder? Bagaimana respon terhadap menarche? Bagaimana sikap terhadap kencan, petting, keramaian, pesta, dan permainan seks?

Satu cara untuk menyusun sejumlah besar informasi yang bermacam-macam di atas adalah dengan memecahkan masa anak-anak akhir (masa pubertas sampai masa dewasa) ini ke dalam subkelompok perilaku sebagai berikut:

Hubungan sosial: sikap terhadap saudara kandung dan teman bermain, jumlah dan keakraban dengan teman, pemimpin atau pengikut, popularitas sosial, peran serta di dalam aktivitas kelompok atau gerombolan, tokoh yang diidealkan, pola agresif, pasivitas, kecemasan, perilaku antisosial. Riwayat sekolah: progresivitas dan prestasi sekolah pasien, penyesuaian diri dengan sekolah, hubungan dengan guru, kesayangan guru atau memberontak pelajaran, atau minat yang disukai, kemampuan atau bakat tertentu, aktivitas ekstra-kulikuler, olah raga, kegemaran, hubungan masalah atau gejala dengan tiap periode sosial. Perkembangan kognitif dan motorik: belajar untuk membaca dan keterampilan intelektual dan motorik lainnya, disfungsi otak minimal, ketidakmampuan belajar penatalaksanaan dan efeknya pada anak. Masalah emosional dan fisik: mimpi malam yang menakutkan, fobia, masturbasi, ngompol, melarikan diri, pelanggaran, merokok, pemakaian alkohol atau obat-obatan,

anoreksia, bulimia, masalah berat badan, perasaan inferioritas, depresi, ide dan usaha bunuh diri.

Seksualitas: o Keingintahuan awal tentang seks, masturbasi infantil, permainan seks. o Pengetahuan seksual, sikap orang tua terhadap seks, penyiksaan seksual. o Onset pubertas, perasaan tentang hal tersebut, jenis persiapan, perasaan tentang menstruasi, perkembangan karakteristik seks sekunder. o Aktivitas seksual masa remaja: keramaian, pesta, kencan, petting, masturbasi, mimpi basah (nocturnal emissions) dan sikapnya terhadap hal tersebut.
o

o o

Sikap terhadap jenis kelamin berlawanan: takut-takut, malu, agresif, kebutuhan untuk mempengaruhi, menggoda, penaklukan seksual, kecemasan. Praktek seksual: masalah seksual, parafilia, pelacuran. Orientasi seksual: pengalaman homoseksual dengan remaja heteroseksual dan homoseksual, masalah identitas jenis kelamin. Harga diri.

Masa dewasa Riwayat pekerjaan: pilihan jenis pekerjaan, konflik yang berhubungan dengan pekerjaan, ambisi serta tujuan jangka panjang, hubungan dengan teman-teman kerja; bila sebelumnya pernah bekerja di tempat lain, perlu dieksplorasi dan digambarkan tentang riwayat pekerjaan sebelumnya, alasan pindah kerja, dan perubahan status pekerjaan; apa yang akan dilakukan pasien untuk bekerja jika ia dapat bebas memilih antara dua atau lebih jenis dan tempat pekerjaan? Riwayat perkawinan dan persahabatan: gambarkan (tiap-tiap) perkawinan sah atau berdasarkan hukum adat; hubungan yang bermakna dengan orang dimana pasien hidup untuk periode waktu yang lama juga dimasukkan; riwayat perkawinan atau hubungan jangka panjang harus memberikan suatu gambaran tentang perkembangan hubungan, termasuk usia pasien saat memulai perkawinan atau hubungan jangka panjang; masalah persetujuan dan ketidaksetujuan termasuk penatalaksanaan uang, kesulitan tempat tinggal, atau peranan ipar, dan sikap dalam membesarkan anak-anak harus digambarkan; Bagaimana kualitas hubungan seksual pasien? Bagaimana pasien melihat pasangannya? Apakah pasien mampu untuk memulai suatu hubungan atau untuk mendekati seseorang yang dirasa pasien bahwa pasien tertarik atau cocok? Bagaimana pasien menggambarkan hubungan sekarang dalam kualitas positif dan negatifnya? Bagaimana pasien menerima kegagalan hubungan masa lalu dalam pengertian apa yang salah dan siapa yang disalahkan atau tidak disalahkan.

Riwayat pendidikan: latar belakang sosial dan kultural pasien, kecerdasan, motivasi, dan tiap halangan dalam pencapaian prestasai; Apa tingkat pendidikan atau kelulusan tertinggi yang dicapai pasien? Apakah pasien menyukai belajar, dan bagaimana tingkat prestasi akademik? Bagaimana sikap pasien terhadap pencapaian akademik? Keagamaan: latar belakang keagamaan kedua orang tua pasien dan bagaimana prinsipprinsip agama yang anut oleh kedua orang tuan pasien diajarkan dan diterapkan dalam rumah tangga mereka? Apakah terdapat konflik antara orang tua tentang pendidikan keagamaan anak? Apakah pasien memiliki dan aktif dalam perkumpulan keagamaan yang kuat, dan jika memiliki, bagaimana perkumpulan tersebut mempengaruhi kehidupan pasien? Apa yang dikatakan keagamaan pasien tentang pengobatan penyakit psikiatrik atau medis? Apa sikap agama terhadap bunuh diri? Aktivitas sosial: kehidupan sosial dan sifat persahabatan, dengan penekanan pada kedalaman, lama dan kualitas hubungan manusia; Apa jenis minat sosial, intelektual dan fisik yang dilakukan pasien dengan temannya? Apa jenis hubungan yang dimiliki pasien dengan orang yang berjenis kelamin sama dan berlawanan? Apakah orang tua pada dasarnya lebih menyukai isolasi? Apakah pasien lebih menyukai isolasi, atau apakah pasien terisolasi karena kecemasan dan ketakutan kepada orang lain? Situasi kehidupan sekarang: di mana pasien tinggal (termasuk lingkungan tetangga dan rumah tempat tinggal); jumlah kamar, jumlah anggota keluarga yang tinggal di rumah tersebut, dan susunan tempat tidur; Bagaimana masalah privasi ditangani, dengan penekanan khusus tentang keterbukaan orang tua dan saudara kandung dan susunan kamar mandi; sumber penghasilan keluarga dan tiap kesulitan finansial; Apakah ada bantuan finansial dari masyarakat atau institusi dan bagaimana perasaan pasien tentang hal tersebut? Jika pasien pernah dirawat di rumah sakit, bagaiamana dengan masalah kehilangan pekerjaan atau tempat tinggalnya selama pasien sakit? Siapa yang mengasuh anak anak di rumah, siapa yang mengunjungi pasien dirumah sakit, dan berapa seringnya. Riwayat hukum: Apakah pasien pernah ditangkap dan, jika demikian, karena apa? Berapa kali? Apakah pasien pernah dipenjara? Berapa lama? Apakah pasien dalam pengesahan hakim atau dibebaskan dengan jaminan? Apakah pasien diharuskan menjalani pengobatan sebagai bagian dari ketentuan hakim? Apakah pasien mempunyai riwayat penyerangan atau kekerasan? Kepada siapa? Menggunakan apa? Bagaimana sikap pasien terhadap penahanan atau penjara? Riwayat psikoseksual: banyak riwatar seksualitas infantil tidak dapat diungkapkan, walaupun banyak pasien mampu untuk mengingat keingintahuan dan permainan seksual yang dimainkan dari 3 sampai 6 tahun. Dokter harus bertanya pada pasien tentang

bagaimana pasien mempelajari tentang seks dan apa yang mereka rasakan tentang sikap orang tua mengenai perkembangan seksual mereka; Apakah pasien mengalami penyiksaan seksual selama masa anak anak? Onset pubertas dan perasaan pasien tentang kejadian tersebut adalah penting; riwayat masturbasi pada remaja, termasuk sifat fantasi pasien dan perasaan tentang hal tersebut, adalah penting; perilaku terhadap seks harus dijelaskan secara terinci; Apakah pasien merasa malu, takut takut, agresif? Ataukah pasien perlu mempengaruhi orang lain dan menyombongkan penaklukan seksual? Apakah pasien mengalami kecemasan dalam hal seksual? Apakah terdapat hubungan seksual dengan banyak orang? Apa orientasi seksual pasien?. Riwayat harus termasuk tiap gejala seksual, seperi anorgasmia, vaginismus, impotensi, ejakulasi prematur atau tertahan, tidak adanya dorongan seksual, dan parafilia (contohnya: sadisme seksual, fetihisme, veyourisme); sikap pasien terhadap fellatio, cunnilingus, dan teknik koitus harus dibicarakan. Topik penyesuaian seksual harus termasuk suatu penjelasan bagaimana aktivitas seksual biasanya dimulai. Frekuensi hubungan seksual, dan pilhan, variasi, serta teknik seksual. Biasanya tepat untuk menanyakan apakah pasien terlibat didalam hubungan di luar pernikahan, dan jika demikian, didalam situasi apa dan apakah pasangan mengetahui hubungan gelap tersebut. Jika pasangan tidak mengetahui hubungan tersebut. Dokter harus meminta kepada pasien untuk menjelaskan apa yang terjadi. Alasan dasar dari suatu hubungan diluar pernikahan adalah sama pentingnya dengan suatu pengetahuan tentang efek hubungan tersebut terhadap perkawinan. Sikap terhadap kontrasepsi dan keluarga berenaca adalah penting. Bentuk kontrasepsi apa yang digunakan pasien? Dokter harus menanyakan apakah pasien ingin menjelaskan bidang lain dari fungsi seksual dan seksualitas? Apakah pasien menyadari masalah yang terkait dalam seks yang aman? Apakah pasien mempunyai suatu penyakit menular seksual, seperti herpes atau AIDS? Apakah pasien merasa takut akan menjadi HIV-Positif? Riwayat keluarga: Pernyataan singkat tentang tiap penyakit psikiatrik, perawatan dirumah sakit, dan pengobatan anggota keluarga dekat pasien harus dimasukkan di dalam bagian laporan ini. Apakah terdapat riwayat penggunaan alkohol atau zat lain atau perilaku antisosial di dalam kelaurga? Di samping itu dalam riwayat keluarga harus memberikan gambaran tentang kpribadian dan intelegensia dari orang orang yang hidup dirumah pasien mulai dari masa anak anak sampai sekarang dan gambaran tentang berbagai rumah tangga yang tinggal dirumah tersebut. Dokter harus juga menentukan peranan yang dimainkan tiap tiap orang dalam asuhan pasien dan hubungan sekarang dengan pasien. Bagaiman etnik, kebangsaan dan tradisi keagamaan keluarga? Sumber informasi lain, selain pasien mungkin hadir dan dapat diminta untuk memberikan masukan tambahan yang bermutu tentang riwayat keluarga, dan informasi tersebut harus ditulis

dalam catatan tertulis. Seringkali, anggota keluarga yang berbeda memberikan penjelasan yang berbeda tentang orang dan peristiwa yang sama. Dokter harus menentukan sikap keluarga terhadap wawasanya tentang penyakit pasien. Apakah pasien merasa bahwa ia didukung, tidak dibebankan, destruktif? Bagaimana peranan sakit didalam keluarga? Pertanyaan lain yang memberikan informasi yang berguna didalam bagian ini adalah: bagaimana sikap pasien terhadap orang tuanya dan saudara kandungnya? Dokter harus meminta pasien untuk menggambarkan masing masing anggota keluarga. Siapa yang pertama kali disebut oleh pasien? Siapa yang tidak disebutkan pasien? Apa yang dilakukan masing masing orang tua untuk penghidupan? Apa yang dilakukan saudara kandung? Bagaimana hal tersebut dibandingkan dengan apa yang dilakukan pasien sekarang, dan bagaiman perasaan pasien tentang hal itu? Siapa yang dirasakan oleh pasien bahwa ia paling disukai di dalma keluarga dan mengapa? Mimpi, fantasi, dan nilainilai yang dianut: Mimpi yang berulang mempunyai nilai tertentu. Jika pasien mempunyai mimpi menakutkan, apa tema pengulangannya? Beberapa tema mimpi yang paling sering adalah makan, pemeriksaan, seks, keputusasaan, dan impotensi. Dapatkah pasien menggambarkan mimpi terakhir dan mendiskusikan tentang kemungkinan arti mimpi tersebut menurut dirinya? Fantasi dan mimpi disiang hari (daydreams) adalah sumber material ketidaksadaran lainnya yang bernilai. Seperti pada mimpi, dokter pemeriksa dapat menggali dan mencatat semua perincian yang bermanifestasi dan perasaan yang ada. Apa fantasi pasien tentang masa depan? Jika pasien dapat membuat perubahan didalma kehidupannya, apakah bagaimana jadinnya? Apa fantasi pasien yang paling sering dan paling disukai sekarang? Apakah pasien mengalami mimpi disiang hari? Apakah fantasi pasien didasarkan pada kenyataan, atau apakah pasien tidak mampu menceritakan perbedaan antara fantasi dan keyataan?

Dokter juga harus menanyakan tentang sistem nilai pasien baik sosial dan moral. Termasuk nilai tentang pekerjaan, uang, bermain, anak anak, orang tua, teman teman, seks, permasalahan masyarakat, dan masalah kultural. Sebagai contohnya, apakah anak anak dirasakan sebagai beban atau sebagai suatu kesenangan? Apakah pekerjaan dialami sebagai kemalangan yang harus dijalani, tugas yang dapat dihindari, atau suatu kesempatan? Apa konsep pasien tentang benar dan salah? Pemeriksaan Status Mental Pemeriksaan status mental adalah bagian dari pemeriksaan klinis yang menggambarkan jumlah total observasi pemeriksa dan kesan tentang pasien psikiatrik

saat wawancara. Walaupun riwayat pasien tetap stabil, status mental pasien dapat berubah dari hari ke hari atau dari jam ke jam. Pemeriksaan status mental adalah suatu gambaran tentang penampilan pasien, bicara, tindakan dan pikiran selama wawancara. Bahkan jika pasien membisu atau inkoheren atau menolak menjawab pertanyaan, dokter pemeriksa dapat memperoleh informasi yang banyak melalui observasi yang cermat. Walaupun format status mental agak bervariasi, format harus mengandung kategori informasi tertentu. Gambaran Umum: Penampilan: Hal ini adalah suatu gambaran tentang penampilan pasien dan kesan fisik secara keseluruhan yang disampaikan kepada dokter pemeriksa, seperti yang dicerminkan dari postur, ketenangan, pakaian, dan dandanan. Jika pasien tampaknya kacau, dokter pemeriksa dapat bertanya, Apakah seseorang pernah memberi komentar tentang bagaimana anda kelihatan? Dapatkah anda membantu saya untuk mengerti beberapa pilihan yang anda ambil dalam bagaimana anda kelihatan? Contoh hal-hal di dalam kategori penampilan adalah jenis tubuh, postur, ketenangan, pakaian, dandanan, rambut, dan kuku. Istilah umum yang digunakan untuk menggambarkan penampilan adalah tampak sehat, sakit, agak sakit,seimbang, kelihatan tua, kelihatan muda, kusut, seperti anakanak dan kacau.Tanda kecemasan dicatat: tangan yang lembab, keringat pada dahi, postur tegang, mata lebar. Perilaku dan aktivitas psikomotor: Kategori ini dimaksudkan pada aspek kuantitatif maupun kualitatif dari perilaku motorik pasien; termasuk di dalamnya adalah manerisme, tiks, gerakan isyarat, kedutan, perilaku stereotipik, echopraxia, hiperaktivitas, agitasi, melawan, fleksibilitas, rigiditas, cara berjalan, dan ketangkasan (kecekatan). Perhatikan dan catat bila ditemukan kegelisahan, meremas-remas tangan, melangkah, retardasi psikomotor, setiap aktivitas yang tidak bertujuan/tidak berarti. Sikap terhadap pemeriksa: Sikap pasien terhadap pemeriksa dapat digambarkan sebagai bekerja sama, bersahabat, penuh perhatian, tertarik, datar, menggoda, bertahan, merendahkan, kebingungan, apatis, bermusuhan, bermain-main, menyenangkan, mengelak atau berlindung. Tingkat rapport yang ditegakkan harus dicatat. Mood dan Afek:

Mood: Mood didefinisikan sebagai emosi yang meresap dan terus menerus yang mewarnai persepsi seseorang akan dunia. Dokter perlu mencari informasi tentang apakah pasien mengatakan secara sukarela (dan spontan) hal perasaannya, atau apakah perlu untuk meminta pasien mengatakan apa yang dirasakannya. Pernyataan tentang mood seorang pasien harus juga meliputi hal kedalaman, intensitas, lama dan fluktuasinya. Kata sifat yang sering digunakan untuk menggambarkan mood adalah depresi, kecewa, mudah marah, cemas, marah meluap-luap, euforik, kosong, bersalah, terpesona, sia-sia, merendahkan diri sendiri, ketakutan, dan membingungkan. Mood mungkin labil, berarti bahwa mood berfluktuasi atau berubah dengan cepat antara hal-hal yang ekstrim (sebagai contohnya, tertawa terbahak-bahak dan meluapluap pada satu waktu,menangis dan kecewa pada waktu selanjutnya). Afek: Afek didefinisikan sebagai respon emosional pasien yang tampak. Afek adalah apa yang disimpulkan oleh pemeriksa dari ekspresi wajah pasien, termasuk jumlah dan macam perilaku ekspresif. Afek mungkin sejalan dengan mood atau tidak sejalan. Afek digambarkan sebagai dalam rentang normal, terbatas, tumpul atau datar. Didalam rentang afek yang normal, terdapat variasi dalam ekspresi wajah, irama suara, penggunaan tangan dan pergerakan tubuh. Jika afek terbatas, terdapat penurunan jelas di dalam rentang dan intensitas ekspresi. Demikian juga, pada afek yang tumbul, ekspresi emosional menurun lebih jauh. Untuk mendiagnosis afek datar, dokter pemeriksa harus tidak menemukan tanda ekspresi afektif, suara pasien harus monoton, otot wajah harus tak bergerar. Tumpul, datar dan terbatas adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan kedalaman emosi yang dapat dilihat. Depresi, bangga, marah, ketakutan, cemas, bersalah, euforik, dan meluap-luap adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan mood tertentu. Dokter harus memperhatikan kesulitan pasien dalam memulai, mempertahankan, atau mengakhiri suatu respon emosional. Kesesuaian: Kesesuaian respon emosional dapat dipertimbangkan di dalam konteks masalah subjektif yang didiskusikan pasien. Pasien dengan waham yang menggambarkan penyiksaan mungkin menjadi marah atau ketakutan tentang pengalaman yang mereka percaya terjadi pada mereka. Kemarahan atau ketakutan di dalam konteks tersebut adalah suatu ekspresi yang sesuai. Beberapa dokter telah menggunakan istilah ketidaksesuaian afek untuk suatu kualitas respon yang ditemukan pada beberapa pasien skizofrenia, di mana afek pasien

adalah tidak sejalan dengan apa yang dikatakan oleh pasien (sebagai contohnya, afek yang datar sambil berbicara tentang dorongan pembunuhan). Bicara dan Cara Pembicaraan: Bagian laporan ini menggambarkan karakteristik fisik dari berbicara. Bicara dapat digambarkan di dalam kuantitasnya, kecepatan produksi bicara, dan kualitasnya. Pasien mungkin digambarkan sebagai senang berbicara, suka mengomel, fasih, pendiam, tidak spontan, atau berespon normal terhadap petunjuk dari pewawancara. Bicara mungkin cepat atau lambat, tertekan, ragu-ragu, emosional, dramatik, monoton, keras, berbisik, bersambungan, terputus-putus atau mengomel. Gangguan bicara, seperti tergagap-gagap, dimasukkan di dalam bagian ini. Irama yang tidak biasanya (disebut diprosodi) dan adanya penekanan yang mungkin ditemukan dalam pemeriksaan harus pula dicatat. Apakah pasien berbicara secara spontan atau tidak? Gangguan Persepsi: Gangguan persepsi, seperti halusinasi dan ilusi, mungkin dialami berkenaan dengan diri sendiri atau lingkungan. Sistem sensoris yang terlibat (sebagai contohnya, auditorius, visual, olfaktorius, atau taktil) dan isi pengalaman ilusi atau halusinasi harus dideskripsikan secara jelas. Keadaan saat gangguan persepsi terjadi adalah penting, karena halusinasi hipnagogik (terjadi saat orang jatuh tertidur) dan halusinasi hipnopompik (terjadi saat orang terbangun) adalah tidak seberarti jenis halusinasi lainnya. Halusinasi mungkin juga terjadi dalam waktu pasien mengaalami stres. Perasaan depersonalisasi dan derealisasi (perasaan ekstrim terlepasnya dari diri seseorang atau lingkungan) adalah contoh lain gangguan persepsi. Kesemutan (formication), perasaan adanya kutu berjalan-jalan pada atau dibawah kulit, ditemukan pada pengguna kokain. Contoh pertanyaan yang digunakan untuk mengungkapkan pengalaman halusinasi adalah: Apakah anda pernah mendengar suara atau bunyi lain yang tidak dapat didengar oleh orang lain atau saat tidak ada orang lain di sekitar anda? Apakah anda mengalami adanya sensasi aneh pada tubuh anda yang tampaknya tidak dialami oleh orang lain? Apakah anda pernah mempunyai penglihatan atau melihat sesuatu yang tampaknya tidak dilihat orang lain? Pikiran:

Pikiran dibagi menjadi proses (atau bentuk) dan isi. Proses dimaksud sebagai cara dimana seseorang menyatukan gagasan dan asosiasi, yaitu bentuk dimana seseorang berpikir. Proses atau bentuk pikiran mungkin logis dan koheren atau sama sekali tidak logis dan bahkan tidak dapat dimengerti. Isi pikiran dimaksudkan apda apa yang sesunggunya dipikirkan oleh seseorang; gagasan, keyakinan, preokupasi, obsesi. Proses berpikir (bentuk pikrian): Pasien mungkin memiliki ide yang terlalu melimpah atau kemiskinan ide. Mungkin terjadi berpikir yang cepat, yang di dalam keadaan ekstrim, disebut flight of ideas. Seorang pasien mungkin menunjukkan berpikir yang lambat atau ragu-ragu. Pikiran mungkin tidak jelas atau kosong. Apakah pasien menjawab dengan segera setelah pertanyaan diajukan, dan apakah pasien mempunyai kemampuan untuk berpikir yang diarahkan oleh tujuan? Apakah respon relevan atau tidak relevan? Apakah terdapat hubungan sebab-akibat yang jelas dalam penjelasan pasien? Apakah pasien mempunyai asosiasi longgar, (sebagai contohnya, apakah ide yang diekspresikan tampaknya tidak berhubungan satu sama lainnya, atau berhubungan secara aneh)? Gangguan kontinuitas pikiran adalah termasuk pernyataan yang tangensial, sirkumstasialitas, melantur, mengelak-elak, dan gigih. Hambatan adalah terputusnya alur pikiran sebelum ide diselesaikan; pasien mungkin menyatakan suatu ketidakmampuan untuk mengingat apa yang telah dikatakan atau akan dikatakan. Sirkumstansialitas menyatakan hilangnya kemampuan berpikir yang diarahkan oleh tujuan (goal-directed thinking); di dalam proses menjelaskan suatu data, pasien memasukkan banyak perincian yang tidak relevan dan komentar yang disisipkan tetapi akhirnya kembali ke titik awal. Tangensialitas adalah suatu gangguan dimana pasien kehilangan urutan pembicaraan dan mengikuti pikiran tangensial yang distimulasi oleh berbagai stimuli eksternal yang tidak relevan dan tidak pernah kembali ke titik awal. Gangguan proses berpikir mungkin dicerminkan oleh hubungan pikiran yang inkoheren atau tidak dapat dimengerti (gado-gado kata; word salad), clang association (asosiasi bunyi, asosiasi dengan bersajak), permainan kata-kata, dan neologisme (kata-kata baru yang diciptakan oleh pasien melalui kombinasi atau kondensasi kata lain). Isi pikiran: Gangguan isi pikiran adalah termasuk waham, preokupasi (yang mungkin melibatkan penyakit pasien), obsesi (gagasan yang mengganggu atau berulang-ulang), kompulasi (hal yang dikerjakan berulang-ulang), fobia, rencana-rencana, tujuan

gagasan berulang tentang bunuh diri atau membunuh, gejala hipokondriakal, dan dorongan antisosial spesifik. Kategori utama gangguan isi pikiran adalah waham. Waham mungkin sesuai dengan mood (mood-congruent) atau tidak sesuai dengan mood (mood incongruent). Waham adalah keyakinan yang salah dan dipertahankan oleh pasien sekalipun tidak sesuai dengan kenyataan dan telah diberikan bukti-bukti untuk menyangkalnya, serta tidak sesuai dengan latar belakang kebudayaan pasien. Isi dari sistem waham harus digambarkan, dan dokter pemeriksa harus berusaha untuk memeriksa susunannya dan keyakinan pasien akan keabsahan waham. Cara waham mempengaruhi kehidupan pasien sebaiknya digambarkan di riwayat penyakit sekarang. Waham mugkin kacau dan aneh (bizzare) dan mungkin melibatkan keyakinan tentang kontrol dari luar diri pasien (eksternal). Waham mungkin mempunyai tema yang persekutorik atau paranoid, kebesaran, cemburu, somatik, bersalah, nihilistrik, atau erotik. Pikiran hubungan (ideas of reference dan ideas of influence) harus juga digambarkan. Contoh dari ideas of reference adalah keyakinan bahwa televisi atau radio berbicara kepada atau tentang seseorang. Contoh dari ideas of influence adalah keyakinan yang melibatkan orang lain atau tenaga lain yang mengontrol suatu aspek dari perilaku seseorang. Sensorium dan Kognisi: Bagian pemeriksaan status mental ini mencari petunjuk fungsi organ organik dan intelegensia pasien, kapasitas untuk berpikir abstrak, dan tingkat tilikan dan pertimbangan. Pemeriksaan status mental singkat (Mini Mental State Examination MMSE): adalah suatu instrumen singkat yang disusun untuk menilai secara kasar fungsi kognitif. Perangkat ini menilai orientasi, daya ingat, kemampuan menghitung, kemampuan membaca dan menulis, kemampuan visuospasial, dan berbahasa. Pasien dinilai secara kuantitatif pada fungsi-fungsi tersebut. Nilai yang sempurna adalah 30. MMSE digunakan secara luas sebagai pemeriksaan yang sederhana dan cepat untuk mencari kemungkinan defisit kognitif. Kewaspadaan dan tingkat kesadaran: Gangguan kesadaran (secara kuantitatif) biasanya menyatakan adanya gangguan otak organik. Kesadaran yang berkabut (clouding of consciousness) adalah penurunan kewaspadaan terhadap lingkungan secara menyeluruh. Seorang pasien mungkin tidak mampu mempertahankan perhatiannya terhadap stimulus lingkungan atau untuk memperhankan pikiran atau

perilaku yang diarahkan oleh tujuan. Kesadaran yang berkabut atau menumpul seringkali tidak berlangsung terus menerus. Pasien tertentu menunjukkan fluktuasi tingkat kewaspadaan terhadap lingkungan sekelilingnya. Pasien yang mengalami perubahan tingkat kesadaran seringkali menunjukkan juga suatu tingkat gangguan orientasi, walaupun hal yang sebaliknya tidak selalu benar. Beberapa istilah yang digunakan untuk menggambarkan tingkat kesadaran pasien adalah kesadaran berkabut, sommnelensia, stupor, koma, letargi, kewaspadaan, dan keadaan fuga (fugue state) Orientasi dan Daya Ingat: Gangguan orientasi biasanya dibedakan menurut waktu, tempat, dan orang. Tiap gangguan orientasi biasanya tampak dalam urutan tersebut (waktu-tempat-orang). Demikian juga, saat pasien membaik, gangguan orientasi menghilang dalam urutan terbalik (orang-tempat-waktu). Dokter pemeriksa harus menentukan apakah pasien dapat mengetahu perihal tanggal dan waktu dalam hari yang sedang berlangsung.. Di samping itu, jika pasien berada di rumah sakit, apakah mereka tahu berapa lama mereka telah berada di rumah sakit? Apakah pasien berkelakuan seakan-akan mereka berorientasi dengan keadaan? Dalam bertanya tentang orientasi pasien terhadap tempat, maka adalah hal yang tidak cukup bila pasien hanya mampu menyebutkan nama dan lokasi rumah sakit dengan tepat, tetapi mereka juga harus menunjukkan sikap yang menggambarkan bahwa mereka mengetahui di mana mereka sedang berada. Dalam menilai orientasi terhadap orang, dokter pemeriksa harus bertanya pada pasien apakah mereka mengetahui nama orang di sekitar mereka dan apakah mereka mengerti peranan orang-orang tersebut, serta mengetahui siapa yang menjadi pemeriksanya? Hanya dalam kasus yang sangat berat pasien tidak mengetahui siapa dirinya sendiri. Fungsi daya ingat (memory) biasanya dibagi menjadi empat bidang: (1) daya ingat jauh (remote memory), (2) daya ingat masa lalu yang belum lama ( recent past memory), (3) daya ingat yang baru saja (recent memory), dan (4) penyimpanan dan daya ingat segera (immediate retention and recall). Daya ingat yang baru saja (recent memory) dapat diperiksa dengan bertanya pada pasien tentang bagaimana nafsu makan mereka dan selanjutnya bertanya pada pasien apa yang mereka makan sebagai sarapan atau makan malam pada kemarin malam. Meminta pasien untuk mengulangi enam angka maju dan selanjutnya mundur adalah suatu pemeriksaan untuk daya ingat segera. Daya ingat jauh dapat diperiksa dengan bertanya pada pasien tentang

informasi masa anak-anak mereka yang selanjutnya dapat diperjelas. Mintalah pasien untuk mengingat peristiwa-peristiwa baru yang penting dari beberapa bulan terakhir untuk menilai daya ingat masa lalu yang belum lama. Seringkali dalam gangguan kognitif, daya ingat yang baru saja dan daya ingat jangka pendek yang paling awal terganggu, dan daya ingat jauh atau daya ingat jangka panjang terganggu kemudian. Jika terdapat gangguan daya ingat, tanyakan apa usaha yang dilakukan pasien untuk mengatasi hal itu atau untuk menyembunyikan gangguan? Apakah penyangkalan, konfabulasi, reaksi katastropik, atau sirkumstansialitas digunakan untuk menyembunyikan gangguan? Reaksi terhadap kehilangan daya ingat dapat memberikan petunjuk penting tentang gangguan dasar dan mekanisme mengatasinya. Sebagai contohnya, seorang pasien yang tampaknya menderita gangguan daya ingat tetapi, pada kenyataannya, mengalami depresi lebih mungkin merisaukan kehilangan daya ingat dari pada seseorang yang mengalami gangguan daya ingat sekunder yang mengalami gangguan daya ingat sekunder karena demensia. Konfabulasi (membuat jawaban palsu yang tidak disadari jika daya ingat terganggu) adalah paling dekat berhubungan dengan gangguan kognitif. Konsentrasi dan perhatian: Konsentrasi pasien dapat terganggu karena berbagai alasan. Sebagai contohnya, suatu gangguan kognitif, kecemasan, depresi, dan stimuli internal, seperti halusinasi dengar, semuanya dapat berperan pada gangguan konsentrasi. Mengurangi 7 secara berurutan dari 100 adalah tugas sederhana yang memerlukan kemampuan konsentrasi dan kognitif yang utuh. Apakah pasien mampu mengurangi 7 dari 100 dan terus mengurangi 7? Jika pasien tidak dapat mengurangi 7 secara berurutan, dapatkah mengurangi 3 secara berurutan? Pemeriksa harus selalu menilai apakah kecemasan, suatu gangguan mood atau kesadaran, atau defisit belajar adalah faktor penyebab yang mendasari kesulitan tersebut. Perhatian dinilai dengan kemampuan berhitung atau dengan meminta pasien untuk mengeja huruf dari suatu kata tertentu, misalanya danai (atau yang lainnya) secara terbalik. Pasien juga dapat diminta untuk menyebutkan nama lima benda yang dimulai dengan huruf tertentu. Kemampuan membaca dan menulis: Pasien harus diminta untuk bereaksi terhadap suatu kalimat (sebagai contohnya, Tutuplah mata anda) dan selanjutnya melakukan apa yang diperintahkan oleh kalimat. Pasien harus juga diminta untuk menulis kalimat yang sederhana tetapi lengkap.

Kemampuan visuospasial: Pasien harus diminta untuk mencontoh suatu gambar, seperti jam atau segi lima yang berpotongan. Berpikir abstrak: Berpikir abstrak adalah kemampuan pasien untuk berhadapan dengan ikhwal konsep-konsep. Pasien dapat menunjukkan gangguan dalam cara mengkonseptualisasikan atau mempersepsikan suatu atau lebih gagasan. Dapatkah pasien menjelaskan kemiripan-kemiripan, seperti antara buah apel dan buah pir, atau antara kebenaran dan kecantikan? Apakah arti peribahasa sederhana, seperti, kucing dalam karung dapat dimengerti? Jawaban atas pertanyaan tersebut mungkin bersifat konkrit (memberikan contoh spesifik untuk menggambarkan arti) atau terlalu abstrak (memberikan penjelasan yang terlalu umum). Kesesuaian dan cara jawaban pasien harus dicatat. Pada suatu reaksi katastropik, pasien dengan cedera otak menjadi sangat emosional dan tidak dapat berpikir secara abstrak. Informasi dan intelegensia: Jika dicurigai kemungkinan adanya suatu gangguan kognitif pada pasien maka harus ditelusuri apakah pasien menunjukkan kesulitan dalam tugas-tugas mental, seperti menghitung uang kembalian dari seribu rupiah setelah dibelanjakan barang seharga tiga ratus lima puluh rupiah? Jika tugas tersebut terlalu sulit, apakah masalah yang lebih mudah dapat dipecahkan? Misalnya: Berapa banyak permen yang dapat dibelanjakan dengan uang pecahan Rp. 500,- bila satu permen berharga lima puluh rupiah? Inteligensia pasien adalah berhubungan dengan perbendaharaan kata dan sumber pengetahuan umum. Dalam hal tingkat kesulitan isi pertanyaan, maka latar belakang pendidikan pasien (baik formal maupun belajar sendiri) dan status sosioekonomi harus diperhitungkan. Cara pasien menghadapi konsep-konsep yang sulit atau kompleks dapat mencerminkan tingkat intelegensia secara kasar, bahkan pada pasien tanpa latara belakang pendidikan formal atau sumber informasi yang luas sekalipun. Pengendalian Impuls: Apakah pasien mampu untuk mengendalikan impuls seksual, agresif, dan impuls lainnya? Pemeriksaan pengendalian impuls adalah penting untuk memastikan kesadaran pasien tentang perilaku yang sesuai secara sosial. Selain itu, hal ini penting juga untuk mengukut kemungkinan bahaya yang dapat ditimbulkan oleh pasien, baik bagi diri sendiri atau pun bagi orang lain.

Beberapa pasien mungkin tidak mampu untuk mengendalikan impuls sekunder karena gangguan kognitif, serta gangguan psikotik sekunder lainnya, atau sebagai akibat defek kronis yang karakteristik, seperti yang terlihat pada gangguan kepribadian. Pengendalian impuls dapat diperkirakan dari informasi dalam riwayat pasien sekarang dan dari perilaku yang diobservasi selama wawancara. Pertimbangan dan Tilikan: Pertimbangan (Judgement): Selama berlangsungnya eksplorasi tentang riwayat penyakit/gangguan psikiatrik, dokter pemeriksa harus mampu menilai berbagai aspek kemampuan pasien dalam hal pertimbangan sosial. Apakah pasien mengerti akibat dari perilakunya? Dapatkah pasien memperkirakan apa yang akan dilakukannya di dalam suatu situasi yang disimulasi melalui pembayangan (pengandaian yang dikhayalkan). Misalnya, apa yang akan dilakukan oleh pasien jika ia mencium bau asap di dalam ruang bioskop yang padat? Tilikan: Tilikan adalah derajat kesadaran dan pengertian pasien bahwa dirinya sedang menderita sakit/gangguan tertentu. Pasien mungkin menyangkal sama sekali bahwa dirinya menderita penyakit/gangguan; atau mungkin juga pasien menunjukkan suatu kesadaran bahwa dirinya sedang sakit/terganggu akan tetapi menuduh orang lain atau faktor eksternal (di luar dirinya) atau bahkan faktor organiklah yang menjadi penyebabnya; atau pasien mungkin mengetahui bahwa mereka menderita penyakit/gangguan tetapi menggambarkannya sebagai suatu yang tidak diketahui atau misterius di dalam diri mereka. Tilikan intelektual dikategorikan pada pasien yang menerima kenyataan bahwa dirinya sedang sakit/terganggu dan mengetahui bahwa kegagalannya untuk beradaptasi sebagian disebabkan oleh perasaan irasional yang ada dalam dirinya sendiri namun ia gagal untuk mengaplikasikan pengetahuannya tersebut dalam mengubah pengalaman-pengalaman di masa depannya. Hal inilah yang merupakan keterbatasan utama dari tilikan intelektual. Tilikan emosional yang sejati (true emotional insight) dikategorikan pada pasien yang memiliki kesadaran bahwa motif dan perasaan-perasaannya sendirilah yang dapat merubah kepribadian atau pola perilakunya. Suatu ringkasan tentang tingkat tilikan adalah sebagai berikut :

Penyangkalan penyakit sama sekali. Agak menyadari bahwa mereka sakit dan membutuhkan bantuan tetapi dalam waktu yang bersamaan menyangkal penyakitnya.

Sadar bahwa mereka adalah sakit tetapi melemparkan kesalahan pada orang lain, pada faktor eksternal, atau pada faktor organik. Sadar bahwa penyakitnya disebabkan oleh sesuatu yang tidak diketahui pada diri pasien. Tilikan intelektual: menerima bahwa pasien sakit dan bahwa gejala atau kegegalan dalam penyesuaian sosial adalah disebabkan oleh perasaan irasional atau gangguan tertentu dalam diri pasien sendiri tanpa menerapkan pengetahuan untuk pengalaman di masa depan. Tilikan emosional sejati: kesadaran emosional tentang motif dan perasaan di dalam diri pasien dan orang yang penting dalam kehidupannya, yang dapat menyebabkan perubahan dasar dalam perilaku pasien

Reliabilitas (Keterpercayaan): Bagian laporan dari pemeriksaan status mental menyimpulkan kesan dokter pemeriksa terhadap reliabilitas dan kemampuan pasien untuk melaporkan situasi dirinya secara akurat. Termasuk dalam bagian ini suatu perkiraan dokter pemeriksa tentang kebenaran atau kejujuran pasien. Sebagai contohnya, jika pasien terbuka tentang penyalahgunaan zat secara aktif atau terhadap situasi-situasi yang diketahui pasien dapat mencerminkan tindakan-tindakannya yang melawan hukum maka dokter pemeriksa dapat memperkirakan kejujuran pasien berada pada kualitas yang baik.

BAGIAN KEEMPAT
KLASIFIKASI / PEDOMAN DIAGNOSTIK

Sebagaimana yang telah dikemukakan di bagian sebelumnya bahwa diagnosis adalah kunci terapi. Penegakan diagnosis yang benar mengarahkan kepada terapi yang tepat. Di samping memilki arti klinis, diagnosis yang dibakukan dengan nomenklatur, kodifikasi, serta klasifikasinya merupakan instrumen yang sangat penting untuk komunikasi medis antar dokter dan juga untuk mempermudah pengolahan data bagi kepentingan statistik dan epidemiologi. Saat ini secara internasional dikenal beberapa alat bantu utama untuk menegakkan diagnosis gangguan jiwa yang tepat, menyeragamkan nomenklatur dengan nomor kode (alfanumerik) untuk masing-masing diagnosis, dan pengelompokan atau kategorisasi diagnosis. Instrumen-instrumen diagnosis gangguan jiwa yang dikenal secara internasional tersebut adalah:
1. The ICD-10 Classification of Mental and Behavioral Disorders: Clinical Description and Diagnostic Guidelines (WHO, 1992). Instrumen ini merupakan deskripsi klinis dan pedoman diagnostik gangguan jiwa, serta merupakan dokumen utama yang dapat digunakan olehg petugas pelayanan, pendidikan, dan penelitian di bidang kesehatan. The ICD-10 Classification of Mental and Behavioral Disorders: Conversion Tables Between ICD-8, ICD-9, and ICD-10 (WHO, 1992). Instrumen ini untuk melihat perbedaan penomoran dan nomenklatur dari ketiga versi ICD. Lexicon of Psychiatric and Mental Health Terms. (2 Ed., WHO, 1994). Instrumen ini merupakan kamus istilah yang digunakan dalam versi ICD-10, 1992. Composite International Diagnostic Interview 1.1. (CIDI) (WHO, 1993). Instrumen wawancara berstruktur ini dirancang untuk komputerisasi di dalam menegakkan diagnosis berkaitan dengan penelitian epidemiologis gangguan jiwa secara internasional. DSM-IV (Diagnostic and Statistical Manual for Mental and Behavioural Disorders) (APA, 1994). Instrumen ini khusus digunakan di Amerika Serikat namun juga digunakan di Indonesia, terutama untuk kepoentingan

2.

3.

4.

5.

pendidikan karena memuat kriteria diagnostik. DSM-IV tidak banyak berbeda dengan ICD-10. [Catatan: saat ini telah ada DSM-IV Text Revised DSM-IVTR]. 6. DCR-10 (The ICD-10 Classification of Mental and Behavioral Disorders: Diagnostic Criteria for Research) (WHO, 1994). Versi khusus ini ini disusun untuk digunakan oleh para peneliti. ICD-10:DCR-1- Pocket (Pocket Guide to the ICD-10 Classification of Mental and Behavioral Disorders with Glossary and Criteria for Research) (WHO-Churchill Livingstone, 1994). Instrumen ini digunakan untuk pegangan para peneliti dengan bentuk yang mudah di bawa, isinya merupakan gabungan antara buku 1 dan 6.

7.

Di Indonesia telah disusun suatu instrumen diagnostik yaitu Pedoman Penggolongan Diagnosis Gangguan Jiwa, Edisi Ketiga (PPDGJ-III) (Depkes, 1993). PPDGJ-III setara dengan ICD-10 (WHO,1992). Selain instrumen ini, telah disusun juga suatu Suplemen PPDGJ-III (S-PPDGJ-III) (Depkes, 1995) yanag bertujuan untuk melengkapi beberapa informasi tambahan yang berkaitan dengan diagnosis, klasifikasi, nomenklatur dengan membandingkan pula DSM-IV, ICD-9/PPDGJ-II, ICD-8/PPDGJ-I. Pada S-PPDGJ-III ini juga berisi antara lain konversi DSM-IV-ICD10/PPDGJ-III, hierarki diagnosis, diagnosis dan evaluasi multiaksial, sindrom terkait budaya, pohon/skema diagnosis, dan lain-lain. Untuk kepentingan pendidikan dan bagi mahasiswa FK Unsrat, diwajibkan untuk memiliki penguasaan secara garis besar blok diagnosis gangguan jiwa yang terdapat dalam PPDGJ-III tersebut (F00 F99) (lihat lampiran 1). Berkaitan dengan penggolongan gangguan jiwa di atas maka perlu ditekankan hal-hal berikut:
1. PPDGJ-III menggunakan pendekatan ateoretik transteoretik dan deskriptif. Artinya bahwa PPDGJ-III menganut pendekatan yang tidak mengacu pada teori tertentu berkenaan dengan etiologik atau proses patofisiologik, kecuali untuk gangguan-gangguannjiwa yang sudah jelas dan dsepakati penyebabnya, misalnya pada Gangguan Mental Organik di mana faktor organik merupakan faktor yang penting dalam terjadinya gangguan tersebut. Pendekatan ini dilakukan dengan cara mendeskripsikan (menguraikan, melukiskan) secara menyeluruh apa manifestasi gangguann jiwa (deskripsi gambaran klinis) dan jarang mengusahakan

penjelasan bagaimana timbulnya gangguan tersebut. Pengelompokan diagnosis gangguan jiwa dilakukan berdasarkan persamaan dalam gambaran klinisnya 2. PPDGJ-III tidak menganggap bahwa setiap gangguan jiwa adalah sesuatu kesatuan yang tegas dengan batas-batas yang jelas antara gangguan jiwa tertentu dengan gangguan jiwa lainnya, sebagaimana juga antara adanya gangguan jiwa dan tidak adanya gangguan jiwa. 3. PPDGJ-III tidak menggolong-golongkan orang-orang, tetapi gangguan-gangguan yang diderita oleh seseorang atai orang-orang. Atau, orang-orang yang memiliki gangguan jiwa yang sama adalah serupa dalam pelbagai hal yang penting.

BAGIAN KELIMA
HIERARKI DIAGNOSIS, POHON/SKEMA/SILSILAH DIAGNOSIS, DAN DIAGNOSIS MULTIAKSIAL

Hierarki Diagnosis Urutan hierarki adalah urutan organisasi yang bersifat vertikal dari atas ke bawah, dengan pengertia bahwa apa yang terletak di atas, mengandung unsur dari yang lebih di bawah, tetapi memiliki kelebihan yang spesifik. Dalam praktek kita mengetahui bahwa penegakkan diagnosis gangguan jiwa seringkali sukar karena: (1) banyak sekali gangguan jiwa yang mempunyai gejalagejala yang serupa, dan (2) jumlah gangguan jiwa yang sangat banyak sekali. Dalam hubungannya dengan diagnosis di bidang psikiatrik, urutan ini adalah berkenaan dengan tingkat organicity, dari diagnosis yang bersifat organik ke arah diagnosis yang bersifat non-organik. Nomor di dalam PPDGJ-III/ICD-10 disusun secara berurutan sesuai hierarki tersebut. Pendekatan berdasarkan urutan hierarki ini maka kemungkinan diagnosis banding gangguan jiwa berdasarkan kelas (kategori) akan sangat dipermudah, karena masingmasing kelas secara urutan dari atas ke bawah mempunyai keunikan khusus walaupun mempunyai persamaan gejala/keluhan dengan kelas (kategori) yang ada di bawahnya. Hal lain yang menguntungkan dengan pendekatan urutan hierarki diagnosis ini adalah mengurangi kemungkinan terhindarnya dari perhatian gangguan jiwa yang (walaupun jarang ditemukan) terletak pada urutan hierarki yang lebih di atas. Konsekuensi dari cara berpikir secara hierarkis ini adalah: suatu diagnosis atau kategori diagnosis baru dipastikan setelah kemungkinan diagnosis / diagnosis banding dalam kelas (kategori) di atasnya dapat disingkirkan secara pasti. Apabila masih ada keraguan untuk meniadakan kemungkinan diagnosis dalam kelas (kategori) yang lebih tinggi, maka untuk sementara, diagnosis dalam kelas (kategori) lebih rendah dapat ditegakkan, akan tetapi dalam pemantauan lebih lanjut tetap harus dilakukan upaya untuk memastikan atau menyingkirkan kemungkinan diagnosis dalam kelas (kategori) yang lebih tinggi itu dengan wawancara psikiatrik yang cermat, pemeriksaan fisik/neurologis serta laboratorik. Ini berarti bahwa seorang dokter diharapkan harus menguasai ciri-ciri khas masingmasing kelas (kategori) gangguan jiwa yang lebih tinggi untuk membedakannya

dengan kelas (kategori) yang lebih rendah, serta perbedaan antara kelompok gangguan jiwa dalam kelas (kategori) yang sama sebelum terburu-buru melaksanakan pemeriksaan tambahan (laboratorium khusus, EEG, CT Scan, MRI, dan sebagainya). Urutan hierarki kelas (kategori) diagnostik gangguan jiwa adalah sesuai dengan urutan blok diagnostik yang ada dalam PPDGJ-III (F00 F99). (lihat lampiran 1)
Pohon/Skema/Silsilah Diagnosis

Tujuan dari pohon/skema/silsilah diagnosis adalah untuk membantu para klinisi dalam memahami struktur organisasi dan hierarki dari klasifikasi PPDGJ-III yang sesuai dengan DSM-IV. Setiap pohon/skema/silsilah berawal dengan satu susunan gambaran klinis. Bila satu dari gambaran klinis ini merupakan bagian yang menonjol dari gambaran klinis yang ditampilkan maka klinisi dapat mengikuti serangkaian pertanyaan untuk menegakkan atau menyingkirkan berbagai diagnosis gangguan jiwa. Perhatikan bahwa berbagai pertanyaan tersebut hanyalah suatu ilustrasi yang mendekati kriteria diagnostik dan tidak dimaksudkan untuk menggantikannya. Pada lampiran 2 digambarkan tentang beberapa pohon/skema/ silsilah penegakkan diagnosis banding gangguan jiwa yang disusun menurut DSM-IV, yaitu:
1. 2. 3. 4. 5. Diagnosis banding gangguan jiwa akibat kondisi medis umum Diagnosis banding gangguan akibat zat psikoaktif Diagnosis banding gangguan psikotik Diagnosis banding gangguan suasana perasaan (mood/afektif) Diagnosis banding gangguan somatoform Diagnosis dan Evaluasi Multiaksial

Sistem diagnosis multiaksial melibatkan penilaian dalam beberapa aksis, di mana masing-masing aksis tersebut merujuk pada berbagai kelompok informasi yang dapat dipakai oleh klinisi untuk membuat rencana pengobatan dan memprediksi hasil akhir (prognosis). Dalam DSM-IV dikenal diagnosis multiaksial, yaitu: Aksis I:

Gangguan Klinis Kondisi Lainnya Yang Mungkin Merupakan Fokus Pehatian Klinis

Aksis II:

Gangguan Kepribadian

Retardasi Mental Kondisi Medis Umum Problem Psikososial dan Lingkungan Penilaian Fungsi Secara Global

Aksis III: Aksis IV: Aksis V: Penggunaan sistem multiaksial memungkinkan evaluasi yang komprehensif dan sistematik dengan memperhatikan berbagai gangguan jiwa dan kondisi medis umum, problem psikososial dan lingkungan, dan taraf fungsional, yang mungkin saja terlewatkan bila fokus perhatian hanya pada penilaian terhadap problem utama yang diungkapkan saja. Sistem multiaksial menyajikan format yang mudah untuk mengorganisasikan dan mengkomunikasikan informasi klinis, untuk menampung kompleksitas situasi klinis, dan untuk menggambarkan heterogenitas dari individu yang menampilkan diagnosis utama yang sama. Sistem multiaksial juga meningkatkan penerapan dari model bio-psiko-sosial dalam setting klinis, pendidikan, dan penelitian. Catatan: Penjelasan detail sistem multiaksial dan contoh cara pelaporannya terdapat di lampiran 3. BAGIAN KEENAM
KUMPULAN LATIHAN KASUS PSIKIATRIK DIAGNOSIS BERDASARKAN PADA ICD 10/PPDGJ -- III KASUS 1 Pasien adalah seorang ibu rumah tangga, berusia 70 tahun dengan dua anak yang sudah dewasa.

Masalah: Pasien adalah tipe orang yang selalu teratur, sehingga pada saat dia mulai mengalami gangguan daya ingat (lupa), bahkan hal-hal yang paling mendasar, maka suaminya segera menjadi khawatir. Dia membawa istrinya ke seorang dokter umum yang kemudian merujuknya ke Bagian Psikiatri di sebuah rumah sakit umum. Berdasarkan keterangan suaminya, masalah dalam daya ingat tersebut mulai tampak kira-kira 2 tahun sebelumnya, yaitu saat pasien mengeluh bahwa dia tidak dapat

mengingat namanya lagi. Suaminya memperhatikan bahwa dia kadang-kadang tidak dapat mengingat hal-hal yang terjadi dihari sebelumnya. Seiring dengan bertambah beratnya gangguan daya ingatnya, dia juga mengalami masalah dalam menghitung uang saat sedang berbelanja, dan dia seringkali pulang ke rumah tanpa membawa benda yang sebenarnya dia butuhkan. Sebelumnya dia selalu bangga akan masakannya tetapi sekarang dia selalu menumpahkan makanan. Hampir setiap saat dia menyiapkan makanan yang dibubuhkan garam yang terlalu banyak atau sebaliknya tidak sama sekali. Dia juga selalu lupa mematikan kompor atau membiarkan air leding mengalir terus. Dalam 12 bulan sebelum dirinya dirujuk ke Bagian Psikiatri, dia sudah tidak mampu lagi mengerjakan pekerjaan rumah tangga tanpa bantuan suaminya. Dia beberapa kali berkonsultasi pada dokter umum dan dokter tersebut meresepkan obat-obat neurotropik, namun tampaknya tanpa hasil yang nyata. Riwayat:
Pasien hidup dengan suaminya, seorang pensiunan guru sekolah yang berusia 72 tahun. Dahulu pasien juga adalah seorang guru sekolah etapi meninggalkan pekerjaannya saat anak pertamanya lahir dan tidak pernah melanjutkan pekerjaannya lagi. Suaminya menggambarkan sifat-sifat pasien sebagai seorang isteri yang selalu santai, suka bergaul, dan periang. Tidak ada masalah besar dalam perkawinannya atau dengan anak-anak.

Namun, selama beberapa bulan sebelum pasien dirujuk, dia menjadi pendiam, apatis, mudah tersinggung dan kadang-kadang menunjukkan sikap curiga. Ayah pasien meninggal di sebuah institusi kesehatan jiwa, dimana ia dirawat pada usia 75 tahun akibat arteriosklerosis. Pemeriksaan Status Mental: Dalam pemeriksaan pasien tampak berantakan. Dia tampak sadar tetapi terlihat jelas bahwa ia cemas dan curiga. Dia mengalami disorientasi tempat dan waktu. Dia dapat mengingat nama anak-anaknya tetapi tidak dapat mengingat usia atau tanggal lahir mereka. Juga tidak dapat mengingat usia dan tanggal lahirnya sendiri. Dia tidak tahu nama presiden negaranya. Bicaranya terartikulasi dengan baik tetapi pelan, tidak jelas dan berputar-putar. Dia kesulitan menemukan kata-kata untuk mengekspresikan dirinya. Tidak ditemukan adanya waham, halusinasi, maupun gejala depresi.

Pasien tidak dapat mengingat 3 obyek (mobil kijang, pohon beringin, dan komputer) yang telah disebutkan oleh pemeriksa selang 5 menit kemudian. Dia juga tidak dapat meniru (menggambar kembali sesuai contoh yang diberikan) gambar sebuah kubus dan gambar sebuah segi lima. Dia tidak dapat mengerjakan soal-soal hitungan, bahkan yang sangat sederhana sekalipun. Dia juga tidak dapat melakukan hitungan mundur. Dia mengerti peribahasa hanya secara harafiah. Dia tidak dapat mendeteksi kesalahan logika dalam cerita tentang kereta (Catatan: dalam cerita ini pasien diberitahu bahwa kecelakaan kereta api paling sering disebabkan oleh gerbong terakhir jadi diputuskan untuk melepaskan gerbong tersebut). Dia tidak tahu dasar masalah yang dialaminya. Pada pemeriksaan neurologi dan fisik, tidak ditemukan adanya kelainan. Tekanan darah pasien dalam kisaran normal untuk orang seusianya. Seluruh tes laboratorium dalam batas normal, tetapi hasil sken tomografi terkomputerisasi (CTScan) menunjukkan adanya tanda-tanda atropi kortikal.
KASUS 2

Pasien adalah seorang wanita berusia 75 tahun. Dia seorang janda dan hidup sendirian. Pasien dimasukkan ke rumah sakit, Bagian Ortopedi, setelah suatu kecelakaan yang menyebabkan dirinya mengalami patah tulang paha.

Masalah: Pasien sangat bingung dan gelisah dimana, pada waktu malam hari, dia berkeliling ruangan perawatan ortopedi dan mengganggu pasien lainnya. Akibatnya, dia dirujuk untuk perawatan psikiatri karena kesadaran terganggu dan tingkah laku yang hiperaktif. Dalam wawancara psikiatrik dengan keluarga pasien diperoleh keterangan bahwa satu minggu sebelumnya dia terjatuh di kamar mandi dan mengalami patah tulang kaki paha. Dia dimasukkan ke ruangan ortopedi dan menjalani operasi osteosintetik. Setelah operasi, pasien mulai tampak kebingungan. Kesadarannya melayang-layang disertai berkurangnya perhatian dan kewaspadaan. Dia tidak dapat mengingat apa yang telah terjadi padanya atau mengapa dia dirawat di rumah sakit. Selama siang hari dia menunjukkan hiperaktivitas ringan tanpa tujuan. Dia tidak mampu membaca atau menonton televisi dan selalu tidak dapat mengenal keluarga yang mengunjunginya. Dia memaksa para staf perawat menjauh saat mereka mencoba memandikan atau menjaganya. Dia terlihat bercakap-cakap dengan sosok imajinasinya dan menatap pada satu titik di langit-langit. Dia mudah tersinggung dan meledak dalam kemarahannya. Dia melempar makanannya ke lantai dan menolak minum obat apapun. Diantara serangan ledakan kemarahannya, pasien tenang dan dapat tidur sampai satu setengah jam, tetapi pada malam hari dia kelihatannya tidak dapat tidur sama sekali dan hiperaktivitasnya meningkat. Saat pasien yang lain tidur di malam hari, dia mulai mengelilingi ruangan dan membangunkan mereka lagi. Dia masuk ke dalam ruangan pasien lainnya dan mencoba naik ke tempat tidur mereka. Beberapa kali dia mencoba meninggalkan rumah sakit dalam pakaian tidurnya tetapi masih dapat digagalkan dan dibawa kembali ke kamarnya. Sebelum operasi, pasien bertingkah laku normal dan, menurut anak-anaknya, pasien tidak menunjukkan adanya kemunduran daya ingat atau konsentrasi. Riwayat: Pasien sudah hidup sendiri selama 20 tahun setelah kematian suaminya. Dia memiliki dua orang anak yang sudah dewasa. Dia tinggal di sebuah rumah kontrakan dan mampu menjaga dirinya tanpa bantuan sampai dia sakit. Hubungannya dengan para tetangga cukup baik. Dia selalu tenang dan agak tertutup tetapi di samping itu tidak terdapat hal-hal yang aneh padanya. Selain penyakit diabetes tanpa ketergantungan insulin pada lima tahun terakhir, dia sehat secara fisik. Dia tidak pernah dirawat di

rumah sakit sebelum insiden ini. Dia tidak sedang dalam pengobatan apapun dan tidak minum alkohol. Pemeriksaan Status Mental: Pada pemeriksaan pasien tampak bingung dan tampak kurang dapat memusatkan perhatiannya. Dia benar-benar mengalami disorientasi dan tidak kooperatif. Dia duduk berkomat-kamit pada dirinya sendiri dan kelihatannya tidak memperhatikan kehadiran psikiater. Dia tidak tampak depresi atau cemas. Dia tidak mampu bekerjasama dalam tes mental apapun. Pemeriksaan fisik dan neurologis, sepanjang yang dilakukan oleh pemeriksa, tidak ditemukan adanya kelainan. Pemeriksaan laboratorium menunjukkan adanya deviasi (bertaraf sedang) pada elektrolit serum pada hari pertama setelah operasi, tetapi pada saat pemeriksaan psikiatrik, elektrolit serum penderita normal. Sel darah dan tes fungsi hati normal. EKG menunjukkan pola infark minor dan sebelumnya tekanan darah di bawah normal.
KASUS 3

Pasien, seorang laki-laki, berusia 55 tahun, dan bekerja sebagai hakim di sebuah Kota propinsi.

Masalah:
Pasien pergi ke dokter umum karena dia merasa bahwa dia tidak sepenuhnya pulih setelah serangan influenza berat 3-4 minggu sebelumnya. Dia menderita sakit selama seminggu dengan temperatur tubuh sekitar 400 C disertai sakit kepala berat, mual, sakit dan nyeri di seluruh tubuhnya dan merasa lelah. Minggu berikutnya dia pulih dari gejala-gejala ini dan kembali bekerja tetapi mengalami kesulitan dalam berkonsentrasi saat membaca dan menghadiri sidang di pengadilan, dan sesudahnya tidak dapat mengingat apa yang dia baca atau dengar. Pikirannya berjalan lambat. Dia mengalami kesulitan menemukan kata atau kalimat yang tepat, dan bahkan tidak dapat membuat keputusan-keputusan yang sederhana sekalipun. Setelah beberapa hari bekerja, dia harus mengambil cuti sakit lagi. Setelah minggu berikutnya, dia merasa lebih sehat dan mencoba kembali bekerja, tetapi segera ia mengetahui bahwa perbaikan kesehatannya masih jauh dari memuaskan. Dia masih tidak dapat berkonsentrasi atau mengingat hal-hal tertentu dan dan dia mengalami kesulitan mengekspresikan dirinya dan membuat keputusan-keputusan. Dia menyadari bahwa dia tidak sepenuhnya pulih, setelah seminggu berikutnya dia berada dalam keadaan yang hampir sama jadi dia pergi mengunjungi dokter praktek umum karena dia takut ada sesuatu yang salah dengan pikirannya.

Riwayat: Pasien anak bungsu dari dua bersaudara. Ayahnya tukang kayu dan semua keluarga tinggal di ibukota propinsi. Saudara perempuannya yang lebih tua 2 tahun darinya, meninggal pada usia 33 tahun saat dia menabrakkan mobilnya pada sebatang pohon. Suami saudara perempuannya baru saja meninggalkannya sebelum kecelakaan itu dan kejadian tersebut dicurigai sebagai tindakan bunuh diri. Ayahnya meninggal pada usia 75 tahun dan ibunya meninggal pada usia 82 tahun. Tidak ada informasi tentang gangguan mental dalam keluarganya. Setelah menamatkan SMA, pasien mempelajari hukum di sebuah universitas negeri, setelah itu memilih karir di bidang hukum dan sukses menjadi hakim pada usia 43 tahun. Pada usia 28 tahun dia menikahi seorang perawat yang usianya 2 tahun lebih muda dan mereka dikaruniai 3 orang anak. Anakanak tersebut sekarang sedang belajar di universitas. Pasien adalah seorang laki-laki yang selalu beresikap tenang dan memiliki keseimbangan emosi yang baik. Dia tidak pernah mengalami perubahan suasana hati atau kelelahan yang tidak dapat dijelaskan. Dia orang yang selalu bersungguhsungguh dan pekerja keras. Kadang-kadang dia merasa tegang dan lelah, tetapi biasanya pulih setelah beberapa hari beristirahat di akhir minggu atau pada hari-hari

libur. Dia tidak pernah mengalami saat-saat yang mirip dengan yang dialaminya saat ini. Pada usia 20 tahun, pasien dirujuk ke rumah sakit untuk dilakukan apendiktomi, tetapi selain penyakit tersebut, kesehatan fisiknya baik. Pada usia 50 tahun dia menjalani pemeriksaan menyeluruh yang tidak menunjukkan adanya kelainan. Pemeriksaan Status Mental: Pasien kelihatan agak khawatir dan tegang. Dia terlihat agak pucat dan tua, tetapi tidak memperlihatkan kelelahan dan depresi dan menyangkal adanya kehilangan minat atau kapaitas dalam menikmati kesenangan atau hiburan. Dia dapat berorientasi penuh dan tidak terdapat pengaburan kesadaran atau perhatian yang terlihat. Pemeriksaan konsentrasi dan ingatannya menampakkan kesulitan ringan. Saat melakukan hitungan mundur dari 100 didapatkan dia menjadi lelah setelah beberapa hitungan dan membuat beberapa kesalahan. Dia menunjukkan kesulitan dalam mengeja kata yang terdiri dari lima huruf dari belakang. Ingatan jangka segeranya terbatas hanya pada lima digit dan dia melupakan satu dari tiga obyek setelah tiga menit. Kapasitasnya dalam membaca, menulis, menghitung sederhana dan abstraksi menunjukkan tidak ada kelemahan yang besar, tetapi dia ragu-ragu dan tegang selama pemeriksaan. Tidak ada gangguan persepsi atau waham, dan suasana hatinya terlihat netral. Dia menyatakan bahwa dia tidak minum minuman keras dan tidak pernah minum obat tanpa resep dokter apalagi obat-obatan terlarang. Selama enam bulang terakhir ini dia tidak sedang minum obat dokter. Pemeriksaan fisik termasuk pemeriksaan neurologis tidak menampakkan kelainan. Dia dirujuk untuk pemeriksaan EEG yang hasilnya normal. Pemeriksaan laboratorium termasuk hitung sel darah, fungsi tiroid, B12 dan WR tidak menunjukkan kelainan. Pasien hanya dianjurkan untuk beristirahat selama empat minggu, dan hanya melakukan aktivitas fisik ringan. Setelah satu bulan dia merasa jauh lebih baik. Kesulitan ringan dalam berkonsentrasi dan mengingat tampaknya hilang dan dia dapat membaca buku dan jurnal selama berjam-jam, meskipun dia masih mengalami kesulitan ringan dalam mengingat detail tertentu. Dia disarankan untuk beristirahat selama dua minggu lagi. Kemudian dia mulai bekerja kembali tetapi hanya paruh waktu. Setelah dua minggu berikut, dia mulai bekerja penuh waktu, akhirnya merasa pulih sepenuhnya.
KASUS 4

Pasien adalah pekerja di sebuah pabrik berusia 35 tahun. Dia sudah menikah dan memiliki 3 orang anak yang masing-masing berusia 7, 9, dan 11 tahun. Masalah: Setelah terjatuh ke lantai bawah dan mematahkan kakinya pada suatu sore, pasien dirawat di Bagian Ortopedi rumah sakit umum. Pada hari ketiga perawatannya, dia menjadi sangat gugup dan mulai gemetar. Dia ditanya tentang kebiasaan minumnya tetapi menyangkal memiliki masalah kecanduan alkohol. Dia mengatakan kepada dokter bahwa dia hanya bermaksud minum segelas bir. Selama malam hari, dia tidak dapat tidur dan para perawat prihatin karena dia berbicara tidak karuan dan tampak sangat cemas. Riwayat: Berdasarkan keterangan istrinya, pasien minum sejumlah besar bir selama lebih dari tiga tahun. Selama setahun terakhir, dia telah kehilangan pekerjaan beberapa kali dan diancam akan dipecat. Setiap hari, dia mulai minum saat pulang ke rumah dari bekerja di sore hari dan tidak berhenti sampai jatuh tertidur. Pada sore saat dia dibawa ke rumah sakit, dia pulang ke rumah seperti biasa tetapi terpeleset di tangga dan mematahkan kakinya sebelum dia mulai minum. Jadi, dia tidak minum sebelum dibawa ke rumah sakit. Istrinya merasa malu atas masalah kecanduan alkohol suaminya dan tidak memiliki keberanian untuk mengatakan hal tersebut pada ahli ortopedi saat suaminya masuk rumah sakit. Tiga hari kemudian saat dokter menanyakan hal tersebut secara langsung, dia menceritakan seluruhnya. Wanita itu berkata bahwa suaminya makan sedikit sekali selama beberapa minggu terakhir. Dia memperhatikan bahwa pada pada beberapa kesempatan dia tidak dapat mengingat bahkan terhadap kejadian-kejadian yang penting yang terjadi sehari sebelumnya. Dia mengalami kecelakaan mobil saat mabuk dua tahun yang lalu, tetapi tanpa cedera yang berarti. Pasien tidak memiliki masalah kesehatan besar lainnya di masa lalu. Hubungannya dengan istrinya menjadi sangat sulit sejak dia mulai minum alcohol dan dia serius mempertimbangkan akan bercerai. Hubungan dengan anakanaknya menjadi tegang. Dia seringkali berdebat dengan mereka tetapi belakangan ini mereka mencoba menghindari ayah mereka sesering mungkin. Berdasarkan cerita istrinya, ayah suaminya adalah seorang alkoholik kronis dan meninggal karena sirosis hepatis saat suaminya berusia 24 tahun. Pemeriksaan Status Mental:

Pada pemeriksaan cara berbicara pasien kacau dan tak karuan. Dia berpikir dia masih berada di pabriknya dan dia harus menyelesaikan pekerjaannya. Ada saat dia mengenali dokter dan perawat yang merawatnya hari-hari sebelumnya, tetapi di saat lain dia berpikir mereka adalah rekan sekerja di pabriknya. Pada beberapa kesempatan, dia menusuk serangga yang dia lihat di kain alas kasurnya. Dia kehilangan orientasi terhadap waktu dan terkejut oleh suara yang paling sayup sekalipun yang berasal dari luar ruangan. Dia berkeringat sangat banyak dan tidak dapat memegang gelas tanpa menumpahkan hampir seluruh isinya. Dia terus-menerus berusaha turun dari tempat tidur dan tampaknya tidak peduli bahwa kaki kirinya masih digips.
KASUS 5

Pasien adalah seorang sopir truk yang sudah menikah dan berusia 30 tahun. Masalah: Pasien dimasukkan ke ruang perawatan psikiatrik karena dia merasa dianiaya oleh anggota gerombolan yang ingin membunuhnya. Dia tidak dapat menjelaskan mengapa dia harus dibunuh, tetapi dia pernah mendengar pembicaraan orang yang dicurigainya sebagai pengedar obat terlarang dan mereka sementara mendiskusikan bagaimana mereka bisa menangkap dan membunuhnya. Sebelumnya, dia pernah bertemu dengan pengedar obat terlarang karena dia pernah menggunakan metamfetamin selama beberapa tahun. Saat berusia 25 tahun, salah satu temannya membujuknya mencoba obat tersebut. Setelah memngkonsumsi metamfetamin dalam jumalah yang cukup banyak, dia mulai merasa enak, merasa sangat kuat dan rasa mengantuk dan lelahnya hilang. Setelah dia mencoba metamfetamin beberapa kali, dia tidak dapat lagi berhenti menggunakan obat tersebut. Dia terus menerus berpikir bagaimana caranya mendapatkan obat dan mulai menaikkan dosis yang dia pakai. Saat dia tidak bisa mendapatkan metamfetamin dia merasa lesu dan mengantuk dan dia menjadi mudah marah dan disforik. Istrinya merasa was-was dengan kebiasaan menggunakan obatnya dan mencoba membujuknya untuk menghentikan kebiasan tersebut karena hal itu membuat mereka sulit hidup dengannya dan menyusahkan istri dan anak-anaknya. Dua bulan sebelum dia dimasukkan ke rumah sakit jiwa dia kehilangan pekerjaannya karena beberapa kali menganiaya teman sekerjanya, menyatakan bahwa mereka ikut campur dalam pekerjaannya dan mencoba menyakitinya. Dengan tidak adanya pendapatan, dia harus mengurangi konsumsi metamfetamin dari injeksi harian menjadi hanya sekali-sekali dan akhirnya tidak sama sekali setelah istrinya

mengancam akan meninggalkan dan menceraikannya. Setelah dia berhenti menggunakan obat, dia merasa sangat lelah, terlihat murung, dan sering duduk di kursinya tanpa melakukan apa-apa. Beberapa minggu kemudian dia mengatakan kepada istrinya bahwa dia tidak berani meninggalkan rumah karena dia mendengar beberapa pengedar di jalan, membicarakan dia, menggambarkan apa yang akan mereka lakukan dengan orang yang tidak berguna seperti dia. Pada saat yang sama, dia tampak tegang dan khawatir. Dia ingin pintu dan jendela ditutup dan dikunci dan dia menolak untuk makan karena dia takut makanannya itu telah diracuni. Akhirnya istrinya membawa dia ke dokter praktek umum yang kemudian merujuknya ke rumah sakit jiwa.
Riwayat:

Pasien adalah anak bungsu dari dua anak laki-laki. Ayahnya adalah seorang penjual bahan pangan. Dia berprestasi di sekolahnya dan setelah SMP dia melakukan beberapa pekerjaan sebagai tenaga kerja yang tidak terampil. Pada usia 21 tahun dia menikahi seorang wanita yang seumur dengannya, yang bekerja sebagai pelayan di sebuah restoran. Mereka pindah ke kota lain dimana ia mendapatkan pekerjaan sebagai sopir truk. Mereka memiliki tiga orang anak dan tinggal di sebuah apartemen kecil. Kehidupan mereka dapat digolongkan miskin. Kesehatan fisik pasien sebelumnya baik tetapi dalam beberapa tahun terakhir dia mengeluhkan kelemahan otot dan kesulitan berjalan. Masalah ini terjadi setelah dia memakai metamfetamin, tetapi tidak mau mengkonsultasikan hal ini pada dokter. Pemeriksaan Status Mental: Pada pemeriksaan pasien tampak diam dan menarik diri, hanya memberikan jawaban pendek. Suasana hatinya tampak normal tetapi dia merasa dianiaya oleh kelompok pengedar obat terlarang dan kadang-kadang dia dapat mendengarkan mereka berbicara tentang dirinya, menunjuk dirinya pada orang ketiga. Kesadarannya baik, orientasinya baik dan tidak menunjukkan adanya gangguan fungsi kognitif. Pemeriksaan fisik, termasuk pemeriksaan neurologi, tidak menampakkan adanya kelainan. EEG normal.
KASUS 6

Pasien adalah seorang berumur 25 tahun dan belum menikah.

Masalah: Pasien didesak oleh kakak laki-lakinya untuk mencari pertolongan di sebuah rumah sakit jiwa karena ledakan kemarahan, tindakan kekerasan dan pikiran bunuh diri. Lima minggu sebelum kunjungan, pasien menyerang ibunya tanpa peringatan, memukul ibunya sedemikian keras sampai ia dihentikan oleh kakak laki-lakinya yang lebih tua. Beberapa minggu berikutnya dia terlibat dengan sejumlah kekerasan agresif dan beberapa kali dia mengancam akan membunuh dirinya. Dia menjelaskan bahwa serangan yang dilakukannya terhadap ibunya dikarenakan ibunya mencoba melukainya dan juga akibat dia menerima perintah dari pasukan asing untuk memukulnya. Setelah serangan, dia tenggelam dalam pikirannya sendiri dan seringkali berbicara pada dirinya sendiri meskipun ada orang lain di sekitarnya. Kadang-kadang keluarganya mengira dia sedang mendengarkan suara yang tidak bisa didengar orang lain. Dia mengatakan kepada saudara laki-lakinya yang lebih tua sebenarnya dia merasa takut bahwa dia mungkin menyerang orang yang tak dikenalnya atau membunuh dirinya sendiri; dia takut kehilangan kontrol atas tindakannya sendiri.

Riwayat: Pasien dibesarkan di sebuah pedesaan. Dia adalah anak kedua dari sepuluh anak. Ayahnya memiliki sebidang tanah tetapi mengalami ketergantungan opiat (heroin) dan hampir-hampir tidak pernah bekerja untuk mencukupi kehidupan keluarganya. Ibunyalah yang membuat peternakan kecil milik keluarga tetap berjalan, menanam padi, dan bahkan memelihara beberapa binatang, dengan bantuan beberapa anaknya yang paling kecil. Pasien meninggalkan sekolahnya waktu kelas 3 SMP. Dia meninggalkan rumah dan menghabiskan tahun-tahun terakhir masa remajanya di rumah seorang musisi yang tinggal dekat kota, teman lama ayahnya, yang mengajarkannya bermain gitar. Dia belajar sangat baik dan mengembangkan minatnya terhadap musik. Dia memainkan gitarnya pada beberapa konser tetapi tidak pernah sukses mendapatkan pekerjaan tetap atau bahkan untuk mendapatkan uang yang cukup untuk menghidupi dirinya. Saudara laki-lakinya yang tertua, seorang guru, menolongnya secara finansial. Akhirnya, pada usia 23 tahun, pasien pindah dan tinggal dengannya. Mereka berdua tinggal bersama cukup lama dan kakaknya tidak banyak mengampil perhatian terhadap kesenangannya untuk menyendiri dalam waktu yang cukup lama. Sebelum pasien sakit, dia memiliki ambisi untuk musiknya. Dia asyik dengan ide menjadi musisi terkenal. Dia dapat duduk di ruangannya sendiri berjam-jam memainkan gitar. Akan tetapi dia tidak terlalu menyukai bermain gitar apabila ada orang lain, dan tampaknya dia acuh tak acuh terhadap pujian atau kritik. Ketertarikannya terhadap musik sangat besar. Dia tidak tertarik memiliki teman dekat wanita demikian halnya dengan teman dekat pria. Pemeriksaan Status Mental: Pasien pria yang tampan dan berpakaian sebagaimana layaknya pria muda. Pada pemeriksaan dia tegang, berbicara cepat dan bergairah dan cenderung melambaikanlambaikan tangannya tanpa tujuan yang jelas. Bicaranya seringkali disela oleh interpolasi hambatan dan dari waktu ke waktu dia menjadi inkoheren dan inkomprehensif. Dia tersenyum samar dan tidak pada saat yang tepat. Dia tampaknya berpura-pura tertarik, disertai kobaran kemarahan tiba-tiba saat dia berbicara tentang ibunya. Dia berkata ibunya ingin dia terbunuh. Dia menunjukkan ketakutan bahwa pikirannya akan diambil alih oleh kekuatan mahluk asing dari planet lain. Dia menjelaskan bahwa pikirannya dikendalikan oleh kekuatan yang memberikan perintah padanya untuk menyakiti orang lain. Dia berkata kekuatan itu mengatakan bahwa

ibunya menginginkan kematiannya dan memberikan instruksi kepadanya untuk membunuh ibunya. Beberapa hari terakhir sebelum datang ke rumah sakit, dia asyik dengan ide untuk membunuh dirinya sendiri untuk menghentikan kekuatan mahluk asing yang mengontrol dirinya. KASUS 7 Pasien adalah seorang pria berusia 24 tahun yang tinggal sendirian. Sampai setahun yang lalu dia bekerja sebagai pegawai pembantu di sebuah bank besar. Masalah: Pasien dirawat kembali di rumah sakit jiwa karena selama 2 bulan terakhir dia semakin depresi. Dia mengurung dirinya di kamar kontrakannya dan ketika ayahnya mengunjunginya dan menemukan seutas tali di atas meja, pasien mengaku kalau dia berencana menggantung dirinya. Ayahnya segera membawanya ke rumah sakit jiwa dan dia kemudian dirawat di sana. Lima bulan sebelumnya pasien dirawat di rumah sakit yang sama dalam tahap psikotik. Tahun sebelumnya, dia menjadi sangat tertutup dan menyendiri. Dia berkata bahwa dia merasa bahwa rekan-rekan sekerjanya di bank memata-matainya dan berbicara tentang dia di belakangnya. Dia mengalami kesulitan berkonsentrasi pada pekerjaannya dan sering pergi ke toilet pria untuk waktu yang lama. Juga saat sedang berada di jalan dia merasa orang-orang menatapnya dengan tatapan yang aneh dan berkesan seolah-olah mereka mengganggap dia seorang homoseksual. Dia merasa teleponnya disadap. Saat dia berada di kamarnya di dapat mendengar tetangganya sebelah kiri dan kanannya membicarakan apa yang ia lakukan dan pikirkan, Sekarang dia akan ke toilet lagi tentunya dia seorang homoseksual -- kita harus mencoba menyingkirkannya. Akhirnya dia berhenti seringkali mangkir kerja sehingga akibatnya dia diberhentikan dari pekerjaannya. Setelah itu, dia mengurung diri di kamarnya dan hanya keluar kamar saat hari sudah malam. Dia merasa tetangganya mencoba mengganggunya dengan mengirimkan arus listrik yang mempengaruhi alat kelaminnya, jadi akhirnya dia pindah ke sebuah rumah penginapa yang murah. Bahkan di sana dia pun masih dapat mendengar suara tetangganya dan merasakan arus listrik yang dikirim mereka, jadi akhirnya dia melaporkan hal ini kepada polisi. Mereka memanggil ayahnya yang berkata bahwa sudah lama dia sangat prihatin atas keadaan anaknya. Anaknya menjadi sangat tidak komunikatif sampai dia tidak menjawab telepon. Ayahnya membawanya ke dokter yang memasukkannya ke rumah sakit jiwa sebagai keadaan gawat darurat. Di rumah sakit, dia menerima

pengobatan dengan Haloperidol (6 mg setiap hari) dan dalam jangka waktu satu bulan keadaannya kembali lagi ke tingkat dimana pengobatannya dapat dihentikan. Selanjutnya dia dirawat sebagai pasien rawat jalan dengan Haloperidol (3 mg setiap hari) dan mampu tinggal sendiri di kamar kontrakannya yang semula. Dia masih mendengar suara-suara yang mengomentarinya hampir setiap hari tetapi sekarang menyadari bahwa hal tersebut adalah bagian dari penyakitnya dan tidak terlalu memperdulikan apa yang mereka katakan. Dia tidak menunjukkan antusiasme dan menghabiskan sebagian besar waktunya tanpa melakukan apapun, melihat ke luar jendela atau duduk sambil merokok. Secara teratur dia menepati janji kunjungan rawat jalan dan meminum obatnya sebagaimana yang diresepkan. Pada catatan pengobatan dicatat bahwa dia apatis dan tanpa ekspresi. Untuk efek samping ringan akibat obat anti psikotik dia mendapat obat Triheksifenidil HCl (4 mg per hari). Riwayat: Pasien lahir dan dibesarkan di kota dimana ayahnya bekerja sebagai seorang akuntan di sebuah perusahaan besar. Penderita adalah anak ketiga dari empat anak. Setelah tamat SMA dia memilih karir di bidang niaga dan mulai bekerja di bank. Dia tidak ambisius dan tampaknya puas meskipun hanya bekerja sebagai pegawai pembantu. Dia berprestasi di sekolah dan memiliki banyak teman yang tetap berhubungan dengannya beberapa tahun setelah tamat sekolah. Kemudian dia tampaknya menarik diri dari persahabatan dan semakin lama semakin menyendiri. Setelah tamat sekolah dia mengencani seorang wanita tapi entah bagaimana dia kemudian kehilangan minatnya. Akhirnya wanita tersebut meninggalkannya demi pria lain. Setelah itu kelihatannya dia tidak lagi berminat untuk mengenal wanita lain lebih dekat. Di bank dia adalah pekerja yang serius meskipun tidak memiliki ambisi dan minat. Dia tampaknya berkerja hampir seperti robot dan kadang-kadang pelanggan mengeluh bahwa dia tidak benar-benar mengerti apa yang mereka inginkan. Ayahnya juga memperhatikan bahwa dia mengalami perubahan dan keluarganya mencoba menariknya dari isolasi yang dibuatnya. Setelah reaksinya yang kasar, mereka meninggalkannya dalam kesendiriannya meskipun mereka masih sering berhubungan dengannya melalui telepon. Beberapa tahun terakhir pasien tinggal sendiri di sebuah kamar kontrakan dan tampaknya mampu mengurus diri sendiri. Tidak ada informasi tentang riwayat penyakit mental dalam keluarganya. Kesehatan medisnya selalu baik dan tidak pernah dirawat di rumah sakit. Pemeriksaan Status Mental:

Pada perawatan kembali tampaknya pasien berada dalam suasana hati depresi sedang. Dia menjawab pertanyaan dengan ragu-ragu dan dengan kalimat terpatah-patah, mengakui bahwa kadang-kadang dia berpikir untuk bunuh diri karena dia merasa situasinya tanpa harapan lagi. Dia tidak lagi memiliki minat terhadap apapun, tidak mengharapkan kesenangan dari apapun dan tidak memiliki rasa percaya diri sama sekali. Akhir-akhir ini tidurnya selalu terganggu, dengan bangun terlalu pagi. Selera makannya buruk dan tampaknya berat badannya turun. Dia masih mendengar suara yang membicarakan dia tetapi akhir-akhir ini tidak terlalu sering dan dia berusaha tidak terlalu memperhatikan. Dia menyadari bahwa dia menderita gangguan mental tetapi tidak terlalu memikirkannya dan tidak menggunakan hal tersebut sebagai alasan untuk merasa tidak berdaya. Pemeriksaan fisik termasuk neurologi tidak menunjukkan kelainan. Pada perawatan sebelumnya dia menjalani pemeriksaan EEG yang hasilnya normal dan dianggap penting untuk mengulangi pemeriksaan ini pada perawatan ulang. Hasil pemeriksaan laboratorik normal. KASUS 8 Pasien adalah seorang wanita yang sudah bercerai berusia 52 tahun. Dia mememiliki seorang anak perempuan dan adalah seorang guru di sekolah dasar. Status ekonominya rata-rata. Masalah: Pasien mengeluhkan kelelahan yang amat sangat karena dia harus tetap terjaga untuk mencegah orang masuk ke dalam rumahnya. Saat dia berusia 35 tahun, dia mulai mengeluh bahwa dia menjadi target diskriminasi pihak sekolah. Dia berkata bahwa guru senior melawan dia karena dia menganut agama yang berbeda. Dia merasa dimata-matai dan mereka membuat rencana untuk menyingkirkannya dari pekerjaannya sebagai guru. Beberapa tahun setelah itu dia mulai mengeluh bahwa beberapa tetangganya ingin berhubungan seks dengannya. Dia menuduh mereka menguntit dan berusaha menjebaknya agar dapat memperkosanya. Dia memiliki kunci keamanan yang terpasang di pintu dan jendelanya dan dia tidak pernah keluar di malam hari. Berangsur-angsur tingkah lakunya ditandai kecemasan dan kemarahan dan beberapa kali dia diperingatkan oleh polisi. Dia tidak berani tidur di malam hari dan menjadi lebih lelah. Riwayat:

Pasien anak kedua dari enam anak. Dia memiliki 5 saudara laki-laki dan masa kanakkanaknya dilalui tanpa masalah yang berarti. Dia menikah pada pertengahan usia dua puluhan dan bercerai saat berusia 34 tahun. Alasan perceraiannya tidak jelas. Dia memiliki satu orang anak perempuan yang tinggal dengan ayahnya. Pasien mengajar di sekolah yang sama selama lebih dari 20 tahun. Dia selalu merujuk pada Tuhan atau pada konsep-konsep religius tetapi tidak berpartisipasi secara aktif dalam komunitas religius dan jarang pergi ke tempat ibadah. Pasien selalu mengalami menstruasi yang lama dan disertai nyeri sampai baru-baru ini sama sekali berhenti (mati haid). Setelah melahirkan anak perempuannya dia mengalami episode depresi ringan dengan masalah makan berlebihan dan sulit tidur. Sekitar saat perceraiannya, dia terlihat gugup dan khawatir. Menutupi hal ini, dia berusaha keras untuk tetap tenang dan bekerja seperti biasa. Salah seorang saudara laki-laki pasien menderita kondisi mental yang aneh. Dia berhenti dari pekerjaannya, meninggalkan keluarganya untuk tinggal di tempat kerja yang dia dirikan sendiri. Dia menyatakan akan membaktikan hidupnya untuk mempelajari fisika dan menemukan mesin yang dapat bekerja tanpa bahan bakar. Pemeriksaan Status Mental: Pada saat konsultasi, pasien terlihat normal. Ucapannya masuk akal dan tepat sasaran. Dia menuduh sejumlah orang ingin menyakitinya dan berkata bahwa mereka mencari kesempatan untuk memaksanya berhubungan seks dengan mereka. Pasien menyangkal mengalami halusinasi. Dia marah apabila masalah ini dibicarakan dan tampaknya dia mengalami kelelahan karena kekhawatiran yang menetap. Dia sangat yakin apa yang dikhawatirkannya benar. Meskipun tidak pernah disakiti, dia sangat percaya bahwa dia memiliki alasan-alasan untuk menduga hal tersebut dapat terjadi. Pemeriksaan fisik hanya menunjukkan kelebihan berat badan ringan. KASUS 9 Pasien adalah seorang wanita berusia 25 tahun yang sudah menikah. Masalah: Pasien dibawa dengan ambulans ke ruang gawat darurat di kota di mana dia tinggal. Suaminya melaporkan bahwa dia sepenuhnya normal sampai malam sebelumnya saat dia kembali dari tempat kerjanya, mengeluhkan bahwa sesuatu yang aneh sedang

berlangsung di kantornya. Dia memperhatikan bahwa rekan kerjanya berbicara tentang dia dan tiba-tiba sikap mereka berubah dan mulai bersikap seolah-olah mereka sedang memainkan suatu peran. Dia yakin bahwa dia berada di bawah pengawasan seseorang dan seseorang mendengarkan percakapannya di telepon. Sepanjang hari dia merasa seolah-olah sedang bermimpi. Saat dia melihat ke dalam cermin dia merasa seolah-olah dirinya tidak nyata. Dia menjadi sangat cemas, inkoheren dan kacau sepanjang hari dan tidak dapat tidur sepanjang malam. Dia menghabiskan sebagian besar malamnya dengan mengawasi jendela. Beberapa kali dia menunjuk pada bayangan di samping pohon dan berkata pada suaminya sang burung telah datang. Di pagi hari, suaminya menemukan dia sedang berlutut seperti sedang berdoa. Dia membenturkan kepalanya berulang-ulang ke tembok dan bicara tidak teratur, mengatakan bahwa dia dipercayakan sebuah misi khusus, bahwa atasannya adalah seorang kriminal dan ada mata-mata di mana-mana dan bahwa sesuatu yang buruk akan segera terjadi. Tiba-tiba, dia menjadi tenang, tersenyum pada suaminya dan berkata padanya bahwa dia memutuskan untuk berpindah dari Katolik ke Islam. Pada tahap tersebut, dia menjadi agak gembira, mulai tertawa dan berteriak, dan menyatakan bahwa dia dan suaminya dapat berdoa pada Tuhan yang sama mulai saat ini dan seterusnya. Tidak lama sesudah itu dia kembali ketakutan dan menuduh suaminya mencoba meracuninya. Riwayat: Pasien dibesarkan di sebuah kota kecil dimana orang tuanya memiliki sebuah restoran kecil. Dia menyelesaikan sekolahnya dengan baik, masuk ke fakultas sastra. Suatu ketika dia mengikuti kursus pelatihan penerjemah. Selama pelatihannya dia bertemu dengan calon suaminya, yang datang dari ibu kota untuk melatih dirinya sebagai penerjemah. Sejak itu keduanya menjadi agnostik, fakta bahwa mereka berdua datang dari latarbelakang agama yang berbeda tidak pernah menjadi masalah. Dia bekerja di bagian administrasi yang yang berhubungan dengan masyarakat Eropa dan suaminya mendapatkan posisi di sebuah perusahaan penerjemah internasional. Pasangan ini sangat harmonis, mereka telah membeli sebuah rumah yang indah di daerah pinggiran kota di kota asalnya dan merencanakan untuk memiliki anak dalam waktu dekat. Kesehatan orang tua pasien baik. Dia memiliki seorang saudara laki-laki dan dua orang saudara perempuan. Pada usia 18 tahun saudara peremuannya yang lebih muda mengalami kerusakan saraf dan beberapa tahun berikutnya berulang kali dirawat di rumah sakit jiwa dengan diagnosis skizofrenia.

Pasien dan suaminya yang sebelumnya sering mengkonsumsi alcohol kemudian memutuskan untuk berhenti minum alkohol dan sangat menentang penggunaan obat apapun termasuk obat yang diresepkan. Suaminya menggambarkan pasien sebagai wanita yang santai, supel dan sepenuhnya normal. Dia sangat khawatir atas apa yang sedang terjadi, terlebih lagi sejak dia terlihat memiliki gejala yang menyerupai gejala yang tampak pada saudara iparnya. Pemeriksaan Status Mental: Pada pemeriksaan pasien tampak takut dan bingung tetapi tetap memiliki orientasi terhadap waktu, tempat dan orang. Dia tampak gelisah dan terus-menerus mengubah posisinya, berdiri dan duduk, berjalan-jalan mengelilingi ruangan, bersorak dan berteriak, menangis dan tertawa. Dia berbicara tidak teratur, berpindah dari satu subyek ke subyek yang lain tanpa transisi. Suatu tindak kejahatan sedang berlangsung di kantornya demikian dia berkata, dan dia mengetahui tentang adanya persengkokolan rahasia. Terdapat mikrofon tersembunyi di mana-mana, tambahnya, dan sang burung datang. Dia bertanya-tanya apakah dokter benar-benar seorang dokter atau mata-mata yang menyamar. Lalu dia berbicara tentang misi saya, menyatakan bahwa Yesus adalah nabi palsu dan Muhamad adalah nabi yang sebenarnya dan bahwa dia akan meyakinkan seluruh dunia tentang apa yang benar dan salah. Kemudian dia mulai menjelaskan bahwa kebenaran dapat ditemukan dalam angka-angka. Tiga digit melambangkan kebaikan, katanya dan 8 digit mewakili kejahatan. Kemudian dia mulai menangis, menjelaskan bahwa orang tuanya telah meninggal dan dia berharap bertemu mereka di surga. Selama hari pertama perawatan di rumah sakit, pasien terus menampakkan simtomatologi dengan perubahan yang cepat. Suasana hatinya sering bergeser dari sedih menjadi gembira dan isi wahamnya berubah dari waham curiga dan kejaran menjadi waham yang bertema mistis. Pada beberapa kesempatan, dia keluar dari ruangannya dan mengeluh bahwa dia mendengar orang-orang berbicara tentangnya, bahkan saat tidak ada orang di sekitarnya. Saat diminta menggambarkan apa yang dia dengar, dia berkata bahwa suara-suara tersebut datang dari koridor. Dia sungguh-sungguh menyangkal bahwa suara itu mungkin berasal dari dalam tubuhnya. Pemeriksaan fisik tidak menunjukkan kelainan apapun. Tes darah, termasuk fungsi tiroid, dalam batas normal, sebagaimana hasil pemeriksaan khusus lainnya seperti EEG dan sken otak.

Pasien diobati dengan 30 mg Haloperidol selama minggu pertama dan dengan setengah dosis pertama pada minggu berikutnya. Setelah dua minggu, seluruh gejala yang dialaminya hilang dan pengobatannya dihentikan. Sekali seminggu, di bulan berikutnya, dia terlihat di bagian rawat jalan, masa di mana pengobatan dikurangi secara progresif dan kemudian dihentikan sepenuhnya. Dua bulan setelah onset episode waham, pasien terus bebas dari gejala. KASUS 10 Pasien, 36 tahun, agen penjualan, sudah menikah dan memiliki dua anak. Masalah: Pasien dirawat di klinik psikiatri setelah kerusakan saraf disertai kegembiraan psikomotorik, kebingungan dan pemikiran bunuh diri. Empat minggu sebelum perawatan dia menghadiri kursus selama tujuh hari mengenai pengembangan diri, yang diadakan oleh perusahaannya. Selama kursus dia menjadi sangat gembira dan banyak bicara. Dia berdebat dengan orang-orang dalam diskusi siang dan malam dan minum berlebihan. Dia juga melakukan hubungan seksual dengan seorang peserta wanita. Saat kembali ke rumah dia mengalami kekacauan dan gelisah dan tidak berdaya dengan suasana hati yang berganti-ganti. Pada suatu saat dia merasa sangat gembira tanpa alasan yang jelas, memiliki rencana yang luar biasa, hiperaktif, berbicara dan suka ikut campur. Di saat yang lain dia merasa putus asa dan lelah dengan perasaan bersalah, pemikiran bunuh diri, dan tidak berdaya. Dia mengatakan kepada orang-orang bahwa dia mampu membaca pikiran mereka dan meramal masa depan. Dia juga berkata bahwa dia sering menerima pesan simbolik dari orang-orang di televisi, bahwa dia memiliki kemampuan telepati dan bahwa dia telah dipilih untuk melakukan misi khusus yang berarti bahwa ada musuh-musuh tertentu yang mencoba menganiayanya. Pada saat yang sama dia merasa segala sesuatu yang berada di sekitarnya tidak nyata, seperti ada panggung drama di depannya. Di malam hari dia tidak bisa tidur dengan baik. Sama halnya dengan cara dia mengerjakan pekerjaannya. Satu hari sebelum perawatannya, dia benar-benar jatuh. Di kantornya dia tampak gelisah dan terganggu. Dia memberitahu rekan-rekan kerjanya bahwa dia telah diangkat sebagai direktur perusahaan, dan mereka semua harus melakukan perjalanan keliling dunia. Akhirnya dia harus dibawa ke rumah dari tempat kerjanya dan kemudian dibawa ke klinik. Riwayat:

Pasien adalah anak tunggal. Ayahnya adalah seorang ahli pertamanan di ibukota propinsi. Setelah SMA dia dilatih sebagai agen penjualan di bidang perdagangan tekstil dan sejak usia 27 tahun bekerja di sebuah perusahaan tekstil besar. Dia menikah saat berusia 24 tahun dan memiliki dua orang anak yang pada saat perawatannya berusia 9 dan 11 tahun. Keluarga tersebut tinggal di rumah milik mereka sendiri dan keuangannya cukup baik. Dia selalu terbuka, aktif dan energik tetapi juga sangat percaya diri. Dia ambisius dan menikmati pekerjaannya. Dia adalah seorang pekerja yang efisien dan usahanya dihargai oleh perusahaan tempat dia bekerja. Pemeriksaan Status Mental: Pada perawatan pasien tampak bingung dan gelisah, tetapi berorientasi penuh. Dia banyak bicara disertai pengambangan ide dan pada suatu saat dia tampaknya menanggapi halusinasi auditorik. Hari selanjutnya dia kembali gelisah dan sangat kacau. Dia berkata bahwa dia telah dijatuhkan hukuman mati dan kehidupannya berada dalam bahaya. Seberkas cahaya yang dia lihat melalui jendela menunjukkan padanya bahwa dia berada dalam pengawasan khusus. Sebuah bintang di langit diidentifikasikan sebagai obyek terbang yang datang untuk membawanya pergi dari bumi. Ditengah-tengah keributan dalam bangsal dia dapat membedakan suara yang mengejek dan tertawa padanya. Di televisi wajah dan musik berubah bentuk. Dia merasa bahwa orang lain dapat menyelami pikirannya, memindahkan pikirannya dan membuatnya memiliki emosi dan dorongan yang bukan berasal darinya. Pada suatu saat dia mudah marah dan berkata kasar, dan tak putus-putusnya berbicara disertai pengambangan ide. Pada pengobatan dengan Haloperidol setiap hari, pasien perlahan-lahan menjadi tenang dan setelah 10 hari tidak lagi menampakkan gejala psikotik. Dia mengalami depresi ringan seminggu setelah itu, setelah keluarganya menemukan bahwa dia berada dalam tingkat pemikiran yang normal. KASUS 11 Pasien adalah wanita berusia 32 tahun yang bekerja sebagai pustakawan. Dia sudah menikah dan baru saja melahirkan seorang anak. Dia baru saja keluar dari rumah bersalin. Masalah:

Pasien diluar kemauannya dibawa ke rumah sakit jiwa karena kobaran kemarahan bersamaan dengan tingkah laku yang aneh dan tidak bertanggung jawab yang timbul setelah persalinannya, 10 hari yang lalu. Pasien telah menikah selama 5 tahun dan sangat menginginkan seorang anak. Kehamilan dan persalinannya tanpa komplikasi. Anaknya, seorang anak laki-laki, yang sempurna dan sehat, dan selama beberapa hari setelah kelahiran, semuanya tampak normal. Empat hari setelah melahirkan, pasien dipulangkan dari klinik bersalin. Saat tiba di rumah, dia tampak mudah marah. Dia menuduh suaminya mengatur temperatur rumah terlalu rendah, meskipun kenyatannya temperatur rumah agak hangat. Dia bertengkar dengan ibunya tentang bagaimana menggunakan popok dan akhirnya kehilangan kendali dan megusir ibunya saat ibunya ingin menggendong bayinya. Pasien mulai berbicara dan mengomel tak henti-hentinya dengan akibat dia hampir kehilangan suaranya. Dia terus menerus membicarakan hal-hal buruk tentang persalinannya, mencurigai kesalahan pengobatan yang mungkin terjadi. Dia menelpon teman dan keluarganya dan juga klinik bersalin, mengeluhkan pelayanan yang dia terima. Dia terus menerus bergerak dan tidak membiarkan bayinya beristirahat, mengganti bajunya dan memandikannya berulang kali. Ditengah aktivitasnya, dia mudah bingung dan meninggalkan bayinya tanpa pengawasan, tampaknya lupa apa yang sementara dia lakukan, karena ada hal lain yang menarik perhatiannya. Suatu saat dia memperlakukan bayinya dengan kasar, menghardik atau bahkan memukul bayinya saat ia menangis. Tidurnya tidak teratur dan hanya beberapa jam setiap kali tidur dan dia makan sangat sedikit karena terlalu sibuk untuk duduk dan menyelesaikan makannya. Akhirnya dia tampak sangat terganggu, mencoba membaca jam dari termometer ruangan, membakar ketel teh tanpa alasan yang jelas, dan berteriak pada penyiar di televisi. Dia tidak ingin mendengar apapun tentang gangguan mental dan menolak menemui dokter praktek umum yang dipanggil oleh suaminya. Dokter tersebut akhirnya memutuskan membawanya dengan paksa ke rumah sakit jiwa. Riwayat: Pasien lahir dan dibesarkan di sebuah kota kecil, dimana ia menamatkan SMA. Dia menyelesaikan sekolahnya dengan baik dan kemudian bekerja di sebuah perpustakaan dimana ia bekerja sampai saat ini. Suaminya bekerja sebagai pemrogram komputer dan mereka menggambarkan perkawinan mereka sebagai baik dan stabil. Suaminya menggambarkan dia sebagai orang yang santai, supel, dan dapat diandalkan, tetapi suasana hatinya mudah berubah dengan temperamen yang berubah cepat.

Kesehatan fisiknya selalu dalam keadaan baik. Dia tidak merokok, jarang minum hanya dalam acara-acara sosial dan tidak ada bukti menggunakan obat terlarang. Ayah pasien meninggal karena penyakit jantung saat dia berumur 27 tahun. Ibunya masih hidup dan sehat tetapi sementara dalam perawatan karena episode depresi yang berulang. Pasien memiliki saudara kembar laki-laki yang menderita cacat mental. Pemeriksaan Status Mental: Saat masuk, pasien sangat marah dan menolak menemui petugas pendaftaran. Dia berbicara tak henti-hentinya dengan suara yang keras dan parau. Ucapannya berteletele dan tidak berurutan, dan dia kehilangan arah pemikirannya beberapa kali. Sejak saat itu dan selanjutnya dia terganggu oleh suara atau hal-hal kecil yang mengelilinginya. Dia tidak dapat duduk diam tetapi paling sering berjalan disekitar ruangan. Dia mencoba keluar dari pintu dan menjadi agresif dan kasar saat tidak diijinkan pergi. Tidak terdapat bukti adanya waham atau persepsi abnormal, dan dia memiliki orientasi yang baik terhadap waktu, tempat dan orang. Pada pemeriksaan fisik, termasuk penyelidikan neurologi, tidak ditemukan kelainan. Dia tidak menderita demam dan berada dalam tahap puerperium normal. Tes laboratorium dan EKG, normal. Setelah beberapa saat, pasien dibujuk untuk menerima pengobatan dengan Haloperidol, 10 gram setiap hari. Dalam jangka waktu satu minggu, gejala-gejala yang dialaminya secara bertahap berkurang. Pengobatan kemudian diubah menjadi Lithium Karbonat dan setelah dua minggu dia berada dalam suasana hati normal dan benar-benar mampu merawat anaknya. Dia diberi pengobatan pemeliharaan (lanjutan) dengan Lithium. KASUS 12 Pasien adalah wanita berusia 27 tahun, sudah menikah namun tidaki memiliki anak. Dia adalah seorang perawat di sebuah unit kesehatan ibu dan anak. Masalah: Pasien dibawa ke poliklinik jiwa dewasa dari sebuah rumah sakit umum pemerintah oleh suaminya karena dia sangat menyulitkan dan banyak bicara. Setelah berdebat dengan suaminya empat hari sebelumnya, deengan marahnya dia meninggalkan rumah dan pergi ke mesjid dimana dia tinggal semalaman untuk berdoa. Saat dia kembali ke rumah di pagi hari, suaminya bertengkar dengannya dan berkata bahwa

apabila dia ingin menghabiskan seluruh malamnya di mesjid, dia dapat pergi dan tinggal di sana. Dia pergi ke rumah ibunya, di sana dia mulai semakin mengganggu. Dia sangat kacau, tidak dapat tidur, berbicara hampir tanpa henti dan menolak untuk makan. Dia melagukan doanya keras-keras tetapi dia mengacaukan beberapa kata tanpa menyadarinya. Pembicaraannya tak henti-henti terutama tentang kepercayaan dan dia menghentikan pembicaraannya hanya untuk menyanyikan doa-doa religius dimana dia menuduh beberapa orang melakukan dosa dan memerintahkan mereka untuk berdoa. Ibunya memanggil suaminya dan berkata bahwa wanita ini adalah tanggung jawabnya. Dia menolak pengobatan, sehingga suaminya membawanya dengan paksa ke rumah sakit. Riwayat: Perkawinan kedua pasien dilakukan sekitar 2 tahun sebelum masalah ini. Suaminya berusia 34 tahun, seorang muslim yang sangat taat yang bekerja di pabrik mobil. Mereka tidak memiliki anak dan hal ini sering menyebabkan ketegangan dalam perkawinan mereka. Perkawinan pertamanya, saat dia berusia 21 tahun, hanya bertahan beberapa bulan karena suaminya meninggalkannya untuk bekerja di negara tetangga dan dia tidak pernah melihat atau mendengar kabar apapun darinya sejak itu. Pada saat masuknya pasien ke rumah sakit, ayahnya berusia 54 tahun dan ibunya 56 tahun. Pasien adalah anak kelima dari keluarga yang memiliki dua saudara laki-laki dan enam saudara perempuan. Dia mulai tertarik pada agama saat masih berusia muda. Sejak berusia 7 tahun dia tekun mempelajari Al Quran dan dia dapat menghafalkan dan melafalkan sebagian besar ayat-ayat dalam kitab suci tersebut. Dia memiliki suara yang indah dan sering diundang di acara-acara sosial karena dia dapat menyanyi dengan baik. Dia adalah seorang yang pandai bergaul dan sangat mudah berteman, didukung fakta bahwa kemahirannya menyanyai dan juga menari sering membuatnya menjadi pusat perhatian. Dia adalah seorang wanita yang penuh semangat dan biasanya optimis meskipun dia mengakui kadang-kadang dia merasa depresi. Tidak ada riwayat penyakit mental dalam keluarganya. Pada usia 22 tahun dia mengalami episode depresi yang panjang setelah perkawinan pertamanya gagal. Dia merasa sedih disertai kehilangan kepercayaan diri, menyendiri dan tidak mau menyanyi atau menghadiri pesta. Dia mengalami kesulitan tidur, bangun pagi-pagi sekali dan merasa lelah disertai kehilangan selera makan dan berat badan. Dia terus melaksanakan pekerjaannya dengan beberapa hari ijin sakit. Dia

tidak menemui dokter, dan setelah sekitar 6 bulan perlahan-lahan sembuh dan memperoleh kembali suasana hati dan tingkat aktivitasnya semula. Dia terlibat dalam kecelakaan lalu lintas pada usia 7 tahun dan menderita patah lengan. Dia menderita penyakit gondok dengan nodul yang teraba di lobus kiri dari kelenjar tiroidnya. Dia tidak pernah terlibat dengan NAPZA. Pemeriksaan Status Mental: Pasien berpakaian rapi bahkan pintar memilih pakaian. Dia tampak menyulitkan, mudah marah disertai teriakan bernada menyerang. Dia banyak bicara dan ucapannya kadang-kadang sukar diikuti karena dia berbicara sangat cepat, melompat dari satu topik ke topik lain. Dia merasa lebih unggul dibanding orang lain,. Menurutnya, banyak orang iri padanya karena suaranya yang merdu dan kecantikannya. Kepandaiannya di atas rata-rata dan dia merasa tidak pernah sekuat dan sesehat saat ini. Perhatiannya sangat mudah dialihkan namun dia masih berorientasi penuh pada waktu, tempat dan orang dan dia tidak menunjukkan kelemahan daya ingat atau fungsi kognitif lain. Pemeriksaan fisik dan neurologi, EEG dan pemeriksaan laboratorium termasuk parameter tiroid, normal.
KASUS 13

Pasien adalah seorang wanita muda yang sudah menikah berusia 18 tahun. Dia tinggal dengan keluarga suaminya. Masalah: Pasien melemparkan minyak goreng panas ke wajah suaminya dan kemudian berjalan ke api yang berkobar untuk membakar dirinya sampai mati. Dia dibawa ke rumah sakit untuk pengobatan luka bakarnya dan dirujuk ke Bagian Psikiatri karena percobaan bunuh diri yang dilakukannya. Hanya tiga bulan sebelumnya, istri saudara laki-laki suaminya yang tertua bunuh diri dengan cara yang sama. Pasien menyaksikan bunuh diri kakak iparnya dan mengalami shok berat. Sejak saat itu dia kehilangan minat pada rumah dan sekelilingnya. Dia hampir tidak bicara kepada orang lain dan menyendiri sesering mungkin. Dia tampak lelah, kurang tidur dan nafsu makannya menurun. Beberapa hari sebelum melakukan percobaan bunuh diri, dia sama sekali tidak berbicara atau makan. Kejadian ini terjadi saat dia menyediakan makan, sesuatu yang selalu dilakukannya siang hari. Anggota keluarga mengatakan

dia melempar minyak pada suaminya tanpa peringatan apapun atau tanpa alasan yang jelas. Beberapa dari mereka menderita luka bakar derajat ringan karena mereka mendorongnya dengan susah payah agar menjauhi api. Riwayat: Pasien tumbuh di sebuah desa dimana ayahnya bekerja sebagai pembuat tembikar. Di sebuah rumah kecil tinggal kedua orang tuanya, nenek dari pihak ibu, ketiga saudara laki-lakinya yang lebih tua dan istri mereka. Keluarga ini hanya memiliki sedikit uang dan pendidikan formal rendah. Pada usia 17 tahun pasien menikahi seorang pria berumur lima tahun lebih tua. Suaminya, yang bekerja sebagai tukang sapu, kecanduan alcohol dan menderita penyakit hati kronis. Setelah menikah, dia pindah ke rumah suaminya yang hidup bersama kedua orang tua dan dua saudara laki-laki suaminya bersama istri mereka di desa tetangga. Pasien digambarkan sebagai orang yang santai dan terbuka dengan hubungan interpersonal yang memuaskan. Dia tidak bahagia dalam perkawinannya dan hubungan seksual dengan suaminya tidak memuaskan. Hubungannya dengan anggota keluarga yang lain baik dan dia tidak menunjukkan tingkah laku atau sikap yang aneh sebelum kematian kakak iparnya. Keluarga biologis pasien memiliki riwayat gangguan psikiatrik. Ayah dan dua saudara laki-lakinya menerima pengobatan terapi kejang listrik di sebuah rumah sakit jiwa propinsi karena episode suasana hati yang dingin dan keyakinan hipokondriakal. Salah satu paman pasien melakukan bunuh diri. Saat berumur 14 tahun, pasien luka parah digigit oleh seekor anjing dan menerima pengobatan termasuk vaksinasi rabies. Dia mengalami menstruasi dengan periode teratur sejak usia 13 tahun dan belum pernah hamil. Pemeriksaan Status Mental: Pada pemeriksaan, pasien terbaring di tempat tidur, tampak pucat dan ketakutan. Dia tidak berbicara atau bergerak dan tidak bereaksi apapun terhadap pemeriksaan kecuali mengikuti penguji dengan matanya. Pemeriksaan fisik termasuk penilaian keadaan neurologi menunjukkan tidak adanya kelainan kecuali tanda-tanda tidak terurus dan penurunan berat badan. Pasien diberi terapi kejang listrik tiga hari berturut-turut, sesudahnya dia mulai sembuh, mulai makan dan dapat berkomunikasi. Dia berkata bahwa kakak iparnya, yang bunuh diri, telah memanteranya. Setelah kematiannya, kakak iparnya tersebut mulai menggodanya. Dia dapat mendengar suara kakak iparnya berkata bahwa ia tidak baik dan dia juga harus mati. Dia akhirnya percaya bahwa dia adalah beban bagi

keluarganya dan dia pantas mati. Tingkah lakunya akhirnya menjadi semakin aneh, keras, dan merusak diri akibat mengikuti perintah yang diberikan oleh kakak iparnya yang sudah mati.
KASUS 14

Pasien adalah seorang wanita berusia 38 tahun dan sudah menikah. Dia memiliki dua orang anak berusia 6 dan 2 tahun. Masalah: Pasien mulai tidak sehat setelah kehamilannya yang kedua tiga tahun yang lalu. Kehamilan ini tidak direncanakan dan dia telah mempertimbangkan untuk mengakhirinya, tetapi suaminya membujuknya untuk tidak melakukannya. Dia merasa tertekan dan mudah marah, terus menerus mengkhawatirkan pekerjaan rumah tangga dan anak-anak. Dia merasa tidak cukup dan mampu memikul tanggung jawabnya sebagai ibu dari dua anak. Riwayat: Pasien tumbuh di sebuah ibu kota kabupaten. Masa kecilnya ditandai dengan sakit ibunya, yang diingatnya sebagai seorang yang selalu sakit. Sebagai seorang anak dia harus melakukan pekerjaan-pekerjaan di rumah dan dia benci akan hal ini karena anak yang lain tampaknya tidak melakukan pekerjaan di rumah. Saat dia berusia 12 tahun, ibunya meninggal dan dia ingat merasa sangat sedih. Ayahnya menyayanginya tetapi hampir setiap waktu dalam keadaan mabuk dan memukul ibunya. Juga ada dua orang saudara laki-laki dalam keluarga satu lebih tua dua puluh tahun dari pasien dan yang lain 12 tahun lebih tua. Setelah kematian ibu mereka, saudara laki-laki yang paling tua pindah ke rumah keluarga bersama istrinya. Istri saudara laki-lakinya membuat kehidupan pasien lebih sulit karena dia selalu menuntut dan mencelanya sebagai orang yang malas. Dia meninggalkan rumah pada usia 15 tahun dan mengambil pekerjaan tidak tetap sebagai pengasuh anak selama 2 tahun sampai dia cukup besar untuk mengikuti pelatihan perawat penjaga anak. Dua bulan sebelum akhir pelatihan, dia meninggalkan pelatihan dan tidak pernah menyelesaikannya. Dia tidak hadir pada pelatihan selama beberapa waktu karena sakit dan padanya telah dikatakan bahwa dia perlu mengulangi pelatihan tersebut secara total. Dia bertemu suaminya saat berada dalam pelatihan. Suaminya berasal dari budaya yang berbeda dan 13 tahun lebih tua darinya. Setelah mereka saling mengenal satu

sama lain selama 3 tahun mereka hidup bersama. Pria itu menolak menikahinya pada saat itu karena dia tidak dapat memenuhi kebutuhannya karena tidak memiliki pekerjaan tetap. Sebagai tambahan, keluarga pihak pria yang berada di kota yang lain berharap dia akan menikahi gadis yang berasal dari budayanya dan tidak mengetahui hubungan mereka yang sebenarnya. Dia pernah hamil pada saat itu tetapi pasangannya membujuknya melakukan aborsi, sekali lagi karena dia tidak dapat memenuhi kebutuhan anak tersebut. Setelah dia mendapatkan pekerjaan tetap, mereka menikah, tetapi orang tua suaminya tidak diberitahu mengenai hal itu selama 2 tahun. Hubungan mereka penuh liku-liku. Pasien menggambarkan suaminya sebagai orang yang baik hati tetapi keterlaluan. Dia menuntut, meninggalkan semua pekerjaan rumah tangga padanya dan tidak mau mengurus anak-anak. Pemeriksaan Status Mental: Pasien adalah wanita berbadan kurus, bersih dan rapi tetapi tampaknya tidak mengurus penampilannya secara khusus. Dia tegang dan terus menerus menangis. Ucapannya spontan dan kecepatan, nada dan bentuknya normal. Dia memberikan jawaban yang tepat atas pertanyaan yang diajukan tetapi dia berbicara secara luas. Dia terpaku pada ketakutannya bahwa dia tidak mampu mengatasi kesulitan-kesulitan hidupnya sendiri sehari-harinya, dan dia mengkhawatirkan masa depan anak-anaknya apabila dia meninggal, sebagaimana yang terjadi pada ibunya. Dia tidak memiliki waham atau persepsi yang abnormal. Tingkat kognitifnya intak dan dia berorientasi penuh. Daya ingat segera, daya ingat jangka pendek dan jangka panjangnya baik. Cara pandangnya lumayan baik, dia mengetahui bahwa dia memiliki masalah tetapi tidak dapat melihat jalan bagi orang lain untuk dapat menolongnya. Pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium tidak menunjukkan apapun abnormal. Pasien dibawa ke bagian psikiatrik untuk membebaskannya dari tekanan di rumah. Perlahan-lahan dia menjadi lebih relaks dan mulai tertarik mengurus penampilannya lagi. Karena jengkel ditekan agar kembali ke rumah, dimana suaminya mengalami kesulitan besar mengatasi anak-anak, dia tinggal di bangsal psikiatrik selama hampir dua minggu. Selama saat itu suasana hatinya mulai membaik dan dia dan suaminya mampu mendiskusikan beberapa masalah yang ada di antara mereka. Dia keluar dengan rencana bahwa dia dan suaminya akan mengikuti perawatan lanjutan di poliklinik jiwa dewasa rumah sakit tersebut. Dia dan suaminya setuju untuk saling menolong di rumah dan mengabiskan beberapa waktu bersama sendiri tanpa anakanak, setiap minggu.

KASUS 15

Pasien adalah seorang wanita berusia 33 tahun. Dia telah menikah dan bekerja sebagai seorang sekretaris di firma hukum suaminya. Masalah: Pasien mengunjungi klinik stress dan depresi swasta setelah membaca sebuah artikel majalah yang mengulas tentang hipokondriasis. Sepuluh tahun sebelumnya dia menjalani beberapa pemeriksaan medis karena dia percaya dia telah mengalami serangan jantung. Gangguan tersebut mulai setelah dia melahirkan anak satu-satunya. Saat menghadiri kelas latihan pasca kelahiran dia tiba-tiba memperhatikan peningkatan dramatik dari detak jantungnya. Dia merasakan nyeri yang sangat menusuk di dadanya dan mengalami kesulitan bernapas. Dia mulai berkeringat dan gemetar, merasa pening dan mengalami rasa yang kesemutan di lengan kirinya dan dia takut akan mati karena serangan jantung. Dia segera meninggalkan bayinya di dalam kelas dan pergi begitu saja ke ruang kesehatan untuk mencari pertolongan. Pemeriksaan elektrokardiogram, secara statis maupun dengantreadmill, dilakukan tetapi tidak terdeteksi adanya kelainan. Sejak saat itu, dia mengalami serangan yang sama dengan durasi 15-30 menit dan sekitar 4 kali sebulan. Dia biasanya memanggil pertolongan dan sering mencari advis medis. Setelah 10 tahun dia menjalani terlalu banyak pemeriksaan medis, tiap pemeriksaan itu memastikan bahwa dia tidak mengalami gangguan fisik. Setelah beberapa serangan yang pertama dia membayangkan adanya ketakutan akan mengalami serangan saat jauh dari rumah atau saat berada di suatu tempat di mana pertolongan medis tidak bisa didapatkan dengan mudah. Saat ini pasien mau meninggalkan rumah sendirian apabila dia membawa ponselnya yang memungkinkan dia menghubungi pelayanan gawat darurat apabila diperlukan. Meskipun begitu, dia menghindari tempat yang ramai seperti bank, pusat perbelanjaan, dan bioskop, dimana gerak cepatnya dapat terhambat. Serangan terus berlanjut tetapi berlangsung hanya pada situasi di mana dia sangat takut hal itu akan terjadi. Dia mengakui bahwa gejalanya dan cara pencegahan yang dilakukannya tidak masuk akal dan berlebihan, tetapi hal tersebut telah mendominasi hidupnya. Dia merasa sedikit depresi, tidak berdaya dan mengalami kesulitan tidur. Kepercayaan dirinya rendah dan juga mengalami kesulitan dalam berkonsentrasi.

Pada awalnya pasien diobati dengan beta bloker untuk jantung yang peka. Dokter keluarganya meresepkan Diazepam dan dia minum 5 mg setiap hari selama 8 tahun terakhir tetapi tidak memberikan efek yang berarti. Riwayat: Pasien tumbuh di kota besar. Ayahnya adalah seorang pegawai pemerintah dan ibunya guru sekolah. Dia memiliki saudara laki-laki yang usianya 2 tahun lebih muda dan sekarang ini bekerja sebagai ahli mesin. Dia menyelesaikan SMA dan masuk ke akademi sekretaris dan kemudian bekerja sebagai seorang sekretaris di sebuah firma hukum. Pada usia 22 tahun dia menikahi pengacara yang berusia 10 tahun lebih muda darinya dan tahun berikutnya dia melahirkan seorang anak. Karena serangan yang dialaminya, dia berhenti bekerja penuh waktu dan mulai bekerja paruh waktu untuk suaminya. Mereka memiliki sumber keuangan yang baik dan mencukupi kebutuhan hidup mereka. Pasien menggambarkan dirinya sebagai orang yang pendiam, tipe penggugup yang sering merasa tegang dan gelisah bila berada dalam situasi yang tidak biasa. Dia selalu sadar diri, sensitif terhadap kritik dan enggan terlibat dengan orang lain kecuali dia telah mengenal mereka dengan baik. Sejak masa kanak-kanak dia takut menghadapi keadaan yang berisiko dan sebagai hasilnya dia takut terbang dan mengalami kesulitan untuk mendapatkan surat ijin mengemudi. Kepercayaan dirinya selalu rendah. Suasana hatinya tidak stabil, cenderung mengarah pada reaksi depresif apabila dihadapkan dengan kekecewaan atau kritik. Ayahnya digambarkan sebagai seorang yang introvert (tertutup) dengan suasana hati datar, tetapi tidak pernah berhubungan dengan layanan psikiatrik. Salah satu saudaranya dirawat di bangsal psikiatrik karena gangguan episode depresi. Di masa kecilnya, pasien dianggap memiliki keadaan tubuh yang lemah. Dia tampak sering demam dan beberapa kali terserang influenza. Dia sering ijin sakit untuk penyakit ringan, sakit perut dan rasa tegang di leher dan punggungnya. Pemeriksaan fisik tidak pernah mendeteksi adanya gangguan somatik. Kehamilan satu-satunya dilalui tanpa komplikasi kecuali eklampsia ringan tidak lama sebelum persalinan yang diobati dengan sukses. Tekanan darahnya normal dan tidak pernah terdeteksi adanya gangguan jantung. Pemeriksaan Status Mental:

Pasien tidak tampak depresi, tetapi tampak tegang dan berbicara cepat seperti membicarakan hal penting. Dia menggambarkan keluhannya dengan gamblang dan spontan dan tampaknya memohon pertolongan penguji. Dia tampak memiliki intelegensi tinggi. Tidak dicurigai adanya gejala psikotik. Pemeriksaan fisik ternasuk penilaian neurologi, tidak menunjukkan gangguan fisik. EKG, EEG, pemeriksaan serologis menunjukkan hasil yang normal dan tidak terlihat adanya kelainan pada parameter fungsi kelenjar tiroid.
KASUS 16

Pasien adalah wanita berusia 17 tahun, pelajar SMA. Masalah: Selama 6 bulan terakhir, pasien sangat ketakutan dengan sekolah, yang membuatnya dirujuk ke klinik psikiatri anak dan remaja. Setiap kali gurunya bertanya padanya di dalam kelas, dia menjadi sangat bingung. Jantungnya berdetak kencang dan dia menjadi pusing seperti akan pingsan. Dia berhenti berpartisipasi di paduan suara sekolah. Empat bulan sebelum dirujuk dia tidak mampu bergabung bersama siswa lainnya pada saat makan siang di kantin karena dia merasa sangat cemas. Seluruh tubuhnya gemetar dan takut kehilangan kontrol buang air kecil dimana pada beberapa kesempatan sebelumnya dia harus meninggalkan kantin di tengah makan siang. Selama 2 bulan terakhir dia merasa sangat tidak bahagia dan kehilangan minatnya terhadap sekolah. Dia merasa sangat lelah, khususnya di pagi hari dan merasa sulit berkonsentrasi. Hasil pekerjaan rumahnya jelek. Dia tidak dapat tidur nyenyak, dia bangun setiap pagi dua jam sebelum waktu bangun yang seharusnya. Nafsu makannya tidak pernah besar, tetapi pada beberapa minggu terakhir memburuk bahkan lebih buruk lagi. Dia merasa masa depannya tampak suram dan pada beberapa kesempatan dia berharap dia sudah mati. Saat yang paling membahagiakannya adalah di malam hari saat semua kesulitan hari itu berakhir dan dia dapat menyendiri di kamarnya. Riwayat: Pasien lahir dan dibesarkan di sebuah desa kecil dimana ayahnya bekerja sebagai tukang bangunan. Dia tinggal dengan orang tuanya dan memiliki empat saudara lakilaki dan perempuan yang lebih muda. Dia memiliki kamar sendiri. Dia menggambarkan hubungan kedua orang tuanya sebagai harmonis, meskipun ayahnya cenderung jengkel terhadap ibunya dari waktu ke waktu karena dia merasa istrinya terlalu over-protektif terhadapnya. Anak perempuan tersebut tumbuh normal selama

masa bayi dan anak-anak, dan dia tampak bahagia dan santai sampai usia 14 tahun. Sejak usia tersebut, dia tampaknya berubah. Dia menjadi lebih sadar diri dan menikmati kepedihan dengan membayangkan apa yang dipikirkan orang lain tentangnya. Dia selalu merasa seperti bersembunyi dari orang lain. Dia merasa rendah diri, tidak percaya diri dan takut bertingkah laku aneh atau bodoh. Saat dia berusia 15 tahun, dia mulai bersekolah di SMA di ibukota propinsi dan mencapai tingkat yang layak sampai 6 bulan sebelum rujukannya ke klinik psikiatri anak dan remaja tersebut. Tepat saat dia mulai SMA, dia merasa tidak tenang bila berada bersama siswa yang lain. Dia tidak mampu menjalin persahabatan. Dia selalu tampak lebih kecil untuk orang seusianya dan tidak pernah makan banyak. Pada usia 15 tahun dia menjalani terapi hormon karena menstruasinya tidak teratur. Berdasarkan keterangan ibunya, salah satu bibi pasien juga penggugup dan pemalu dan dirawat oleh psikiater yang lain karena depresi. Pemeriksaan Status Mental: Pasien adalah gadis mungil yang lembut. Pada awal pemeriksaan, mukanya merah dan tegang, malu-malu dan pendiam. Kemudian, perlahan-lahan dia menjadi lebih percaya diri dan relaks. Dia tampak anhedonik tetapi tidak depresi. Tidak ada rasa menyalahkan diri dan tidak ada hambatan psikomotor dan tidak ada tanda gangguan berpikir atau tanda khas psikotik. Tidak ada tambahan tanda sekunder, gejala neurotik atau kecenderungan mendramatisir, yang teramati. Pasien ragu-ragu mengakui bahwa ketakutannya berlebihan.
KASUS 17

Pasien berusia 24 tahun, belum menikah dan bekerja sebagai pegawai. Dia hidup sendiri. Masalah: Selama hampir 2 tahun pasien menderita ketegangan saraf dan tidak dapat bersantai. Akhirnya dia dirujuk ke poliklinik rawat jalan psikiatrik karena ketegangan dan kekhawatiran, tidak dapat tidur dan diikuti oleh perasaan rendah diri. Kadang dia merasa gelisah, mengalami palpitasi dan mulai gemetar tanpa alasan yang jelas. Dia tidak bisa berkonsentrasi dan merasa mudah marah. Pada malam hari rasa khawatirnya yang terus menerus membuatnya tetap terjaga. Khususnya dia merasa khawatir tentang kemampuan seksualnya. Dia takut tidak mampu melakukan hubungan seksual apabila sudah menikah nanti. Pada usia 14 tahun saat mengunjungi

rumah seorang temannya, dia mengintip ke dalam kamar kakak perempuan tertua temannya saat dia sedang berganti pakaian. Melihat wanita berusia 19 tahun dalam pakaian dalam sangat membangkitkan gairahnya dan dia sering mengingat pengalaman tersebut. Mulai saat itu dan seterusnya dia melakukan apa saja untuk mengintip wanita saat mereka sedang berpakaian atau mandi. Setiap dia melakukan hal ini, gairah seksualnya bangkit dan dia bermasturbasi. Ketakutan akan tertangkap saat masturbasi membuatnya melakukan hal tersebut terburu-buru dan hal ini sebetulnya menambah gairahnya. Pada usia 22 tahun dia mengunjungi tempat pelacuran untuk pertama kalinya dan setelah itu dia melakukan hal tersebut secara teratur. Sampai satu bulan sebelum rujukannya, dia tidak mampu ereksi, yang pada awalnya membuat dirinya merasa cemas dan kemudian membuat dia merasa rendah diri. Dia merasa tidak nyaman ditemani wanita dan takut tidak bisa menikah. Dia mulai menghindari teman-temannya dan menyendiri di waktu luangnya, meskipun dia tetap terus bekerja. Riwayat: Pasien anak ketiga dari tiga anak laki-laki seorang sopir taksi. Kedua saudaranya berhasil di sekolah dan kemudian dalam karir mereka. Dia menamatkan SMA dengan nilai rata-rata dan pada umur 18 tahun mulai bekerja sebagai pegawai di sebuah perusahaan milik pamannya. Dia pindah ke kamar sewaan dan tinggal sendiri. Sebelum sakit, pasien dapat dikatakan santai dan terbuka. Di sekolah dan kemudian di tempat kerja dia memiliki hubungan yang baik dengan teman dan rekan kerjanya. Dia memiliki banyak kenalan tetapi tidak memiliki teman dekat. Secara fisik dia sehat dan tidak menderita penyakit yang serius. Tidak ada informasi apapun tentang gangguan mental atau tingkah laku dalam keluarga dekatnya. Pemeriksaan Status Mental: Pada pemeriksaan pasien tampak tegang. Dia enggan berbicara tentang tingkah laku seksualnya tetapi sebaliknya dia sopan dan kooperatif. Suasana hatinya netral dan dia mengeluarkan respons emosional yang adekuat. Tidak ada gejala psikotik yang dicurigai. Seiring dengan berkembangnya wawancara, dia menjadi lebih banyak bicara dan tetap merujuk pada rasa rendah dirinya. Dia tampaknya asyik dengan pengalaman impotensinya. Pemeriksaan fisik termasuk pemeriksaan neurologi tidak menunjukkan abnormalitas.

KASUS 18

Pasien adalah anak laki-laki muda berusia 23 tahun, belum menikah dan berkerja tanpa bayaran di peternakan milik keluarga. Masalah: Pasien dirujuk ke pelayanan psikiatrik rawat jalan oleh dokter praktek umumnya karena kelambatan yang ekstrim dan keragu-raguan. Kondisi ini perlahan-lahan lebih memburuk lima tahun terakhir. Saat itu, pasien diganggu oleh ide bahwa tanpa disadarinya mungkin dia telah melakukan sesuatu yang salah atau mungkin telah menyakiti orang lain. Dia merasa perlu menghabiskan sebagian besar waktunya memeriksa tingkah lakunya untuk memastikan bahwa dia tidak menyakiti orang lain. Pertama kalinya dia memperhatikan ide ini datang dalam pikirannya adalah saat dia belajar di sebuah akademi swasta. Dia tetap memikirkan hal tersebut saat mencuci bahwa mungkin secara kebetulan di telah mencampurkan baju beberapa siswa yang lain dengan miliknya. Dia juga khawatir kalau dia mungkin membelanjakan uang yang telah dia pinjam atau yang dia ambil dari siswa yang lain, meskipun pada kenyataannya dia tidak pernah meminjam uang dan selalu membayar apa yang harus dibayarnya. Dia merasa harus tetap memeriksa apakah dia telah menutup keran air atau mematikan lampu dan alat-alat listrik lainnya. Sebaliknya dia berpikir seseorang mungkin telah terluka atau kerusakan mungkin telah terjadi. Akhirnya dia menghabiskan banyak waktu untuk memerikasa sehingga dia hanya memiliki sedikit waktu untuk belajar dan dia meninggalkan pendidikannya tanpa ijazah. Tahun berikutnya dia didaftarkan untuk menjadi tentara (calon taruna) dimana dia diberikan banyak tugas untuk dikerjakan sehingga dia tidak punya banyak waktu untuk memeriksa kembali tingkah lakunya. Saat dia kembali ke rumah, kebutuhan untuk memeriksa segalanya kembali timbul bahkan lebih kuat dari sebelumnya. Dia hampir tidak mampu mengendarai mobil karena apabila dia melewati orang atau binatang sepanjang jalan dia akan berhenti dan memeriksa apakah mereka terluka. Dia tidak mampu menemani ayahnya berburu karena setelah setiap tembakan dia merasa harus memastikan tidak seorangpun di sisi kanan atau kiri atau bahkan di belakangnya tertembak. Dia melakukan hal ini meskipun dia tahu bahwa hal itu tidak mungkin terjadi. Kemampuan kerjanya menurun karena dia harus berpikir mengenai setiap tugasnya sebelum melakukannya. Dan tentu saja dia akan tetap memeriksanya setelah selesai. Seringkali dia ditemukan berdiri tanpa gerakan dengan pandangan ke bawah, tenggelam dalam pikirannya. Selama percakapan dia berbicara sangat sedikit karena

dia terhenti di tengah-tengah kalimat, atau bahkan di tengah-tengah kata. Apabila dia akan mengatakan sesuatu, dia harus mempertimbangkan dan mengecek kembali sebelum melanjutkan. Dia mencoba mengatasi kebutuhannya untuk mengecek segala sesuatu tetapi tidak berhasil. Perlahan-lahan dia kehilangan rasa percaya dirinya, merasa tidak bersemangat dan lelah, kehilangan segala inisiatif dan sebagan besar waktunya dihabiskan untuk beristirahat atau tidur. Dia tidak merasa dikontrol atau dipengaruhi dari luar, dan dia tidak pernah mengalami halusinasi. Riwayat: Pasien lahir dan dibesarkan di sebuah peternakan di daerah pedesaan. Dia berprestasi baik saat sekolah dan kemudian melakukan berbagai pekerjaan sebagai pembantu peternak dan menghabiskan waktunya di sebuah akademi swasta. Selama 2 tahun sebelum dirujuk oleh dokter, dia bekerja tanpa bayaran di peternakan keluarga dan tinggal di rumah keluarganya. Saat berusia 16 tahun, ibunya meninggal saat dia berada dalam keadaan depresi. Menurut dokter keluarga, dia menderita gangguan bipolar. Pada saat itu pasien tampaknya tidak memiliki masalah dalam menerima kematian ibunya. Dia memiliki saudara laki-laki dan saudara perempuan yang lebih muda yang tinggal serumah. Ayahnya menikah kembali. Hubungan istri barunya dan anak-anak cukup baik. Pemeriksaan Status Mental: Pasien tampak hati-hati dan entah bagaimana menjauh dengan gerakan kaku dan kikuk. Dia berpakaian sederhana tetapi tepat. Dia berbicara sangat pelan dan berespons terhadap pertanyaan setelah jeda yang lama. Suasana hatinya tampak terdepresi ringan dan penghargaan atas dirinya rendah. Hubungannya tanpa diwarnai emosi tetapi ucapannya tidak tampak terganggu. Tidak ditemukan gejala psikotik dan neurotik. Di akhir kunjungan pertama dia mengalami kesulitan meninggalkan ruangan, berjuang melawan dorongan untuk memeriksa apakah dia membawa sesuatu yang bukan miliknya.
KASUS 19

Pasien adalah seorang sopir, berusia 32 tahun yang sebelumnya bekerja di Kuwait. Masalah: Pasien dibawa ke klinik rawat jalan dalam tingkat panik akut. Pasien bekerja di Kuwait selama 5 tahun untuk mendapatkan pendapatan tetap untuk hidup keluarganya

dan untuk membayar biaya pendidikan anak-anaknya. Selama invasi Irak ke Kuwait pasien mengalami trauma yang berat saat saudara perempuannya diperkosa di depan matanya. Dia dipenjarakan dan menjadi sasaran penyiksaan berat selama itu dimana sebatang kayu dimasukkan ke dalam anusnya. Setelah pembebasannya setelah perang teluk, dia dikembalikan ke negaranya dimana dia menjalani beberapa operasi untuk perbaikan anus. Sejak saat itu, pasien mengalami mimpi buruk dan kilas balik penyiksaan yang dialaminya di masa lalu dan perkosaan saudara perempuannya dan dia menderita serangan kecemasan dengan berteriak dan tingkah laku agresif. Serangan panik terakhir terjadi sekitar saat dia menonton dokumentasi televisi tentang perang dunia kedua. Riwayat: Perkembangan pasien normal dan catatan kerjanya memuaskan. Dia menyelesaikan sekolah dasar dan sekolah menengah pertamanya tetapi kemudian ayahnya meninggal saat operasi jantung dan dia meninggalkan sekolah untuk bekerja membantu menyokong dua saudara laki-lakinya yang lebih muda dan seorang saudara perempuannya. Dia menikah pada usia 22 tahun dan bercerai saat berusia 28 tahun. Dia memiliki 3 orang anak yang tinggal dengan ibunya saat dia berada di Kuwait. Pasien dikenal sebagai orang yang supel, santai dan suka menolong tetangganya. Saudara laki-lakinya menggambarkan dia sebagai orang yang keras kepala dan impulsif tetapi sangat baik dan pengasih. Dia telah menjadi perokok berat sejak umur 20 tahun tetapi tidak pernah memakai obat-obatan terlarang.
Pemeriksaan Status Mental: Selama wawancara suasana hati dan tingkah lakunya berubah-ubah. Suatu saat pasien sangat cemas dengan keringat yang banyak dan hiperventilasi dan dengan kobaran rasa permusuhan dan agresi yang dimanifestasikan dalam bentuk memukul meja atau meninju dinding. Saat lainnya ekspresi wajahnya kosong, dia tampak acuh tak acuh dan mengeluh kehilangan perasaan. Wajahnya menampakkan rasa putus asa. Dia berkata dia tidak bisa mengenyahkan kenangan menakutkan dan bayangan yang ditinggalkan mereka dalam pikirannya. Kenangan-kenangan tampaknya menghantuinya setiap saat dan menjadi sangat tertekan saat apapun suara, gambar atau cerita- mengingatkannya pada trauma yang sebenarnya. Dia tidak mau membicarakan apa yang dialaminya di kuwait dan menghindari segala hal yang mengingatkannya pada saat- saat yang menegangkan. Dia juga mengalami kesulitan karena tidak dapat mengingat bagian penyiksaan tertentu yang dialaminya. aku tidak dapat melengkapkan cerita dalam pikiranku. Dia merasa bersalah dan malu dan tidak dapat menatap mata seluruh keluarganya setelah dia

kembali ke rumah, karena dia tidak mampu melindungi kehormatan saudara perempuannya. Kalau bukan untuk ketiga anaknya dan keluarganya bergantung padanya, dia akan mencoba mengakhiri hidupnya. KASUS 20 Pasien adalah ibu rumah tangga berusia 43 tahun yang menikahi seorang agen penjualan waralaba. Masalah: Pasien dirujuk ke bagian psikiatri dari bagian neurologi dimana dia telah dirawat untuk melakukan pemeriksaan selama empat bulan karena dia takut kalau dia menderita kanker otak. Selama delapan bulan terakhir dia menderita sakit kepala dan pusing dan dia merasa kelelahan. Saat itulah dia dia mulai mengunjungi dokter praktek umumnya. Setelah beberapa bulan dia dirawat di bangsal neurology, pasien tiba-tiba merasa lega tetapi tidak dapat tetap tenang. Dia takut kalau menderita penyakit yang serius, mungkin kanker otak yang ganas. Dia masih mengalami sakit kepala terutama di bagian leher, dan dia berpikir mungkin pemeriksaan yang dilakukan tidak menyeluruh. Jadi sekali lagi dia mengunjungi dokter praktek umumnya yang mencoba meyakinkannya bahwa tidak ada yang salah dalam dirinya. Akhirnya dokter praktek umumnya menyerah dan merujuknya ke bagian neurologi untuk pemeriksaan ulang. Dokter ahli saraf awalnya mencoba merawatnya di poliklinik saraf tetapi dia memaksa untuk dilakukan pemeriksaan baru dan dirawat untuk pemeriksaan lebih lanjut. Sesudah itu dokter ahli saraf dengan hati-hati menjelaskan padanya bahwa tidak ada sesuatupun yang abnormal. Dia menerima kepastian ini, tetapi beberapa hari setelah keluar dia sekali lagi meragukan hasil tersebut. Sekali lagi dia sangat terpaku dengan idenya sebelumnya bahwa dia mungkin menderita tumor otak yang ganas. Dia tidak dapat berpikir apapun kecuali sakit kepala dan pusing yang diakibatkan oleh tumor yang menandakan dia akan segera mati. Pasien membuat rencanarencana untuk pemakaman dan lagu yang akan dinyanyikan nanti. Dia membuat kahidupan suami dan anak-anaknya menderita dengan terus-menerus membicarakan tentang kondisinya. Dia tidak mampu mengerjakan pekerjaan rumah tangga apapun dan dia menghabiskan sebagian besar waktunya dengan berbaring di tempat tidur. Dia tampaknya tidak terlalu mempedulikan penampilannya. Beberapa kali dalam seminggu dia menelepon dokter praktek umumnya dan meminta dokter untuk menolongnya dengan meresepkan obat penghilang rasa sakit atau apabila mungkin mengatur perawatan ulangnya di bagian neurologi. Dokter praktek umumnya mencoba membujuknya menemui psikiatrik tetapi dia menjadi sangat marah atas saran ini, menegaskan bahwa kondisinya tidak ada hubungannya sama sekali dengan saraf. Beberapa minggu terakhir sebelum perawatannya, dia menjadi sangat tertekan, kelihatannya putus harapan dan berkata

bahwa dia berencana akan bunuh diri untuk melepaskan diri dari bulan terakhir yang penuh penderitaan karena penyakitnya. Dia mengalami kesulitan tidur dan kehilangan selera makan. Satu minggu sebelum perawatannya dia tiba-tiba merasa bahwa penglihatannya menjadi kabur. Dia merasa takut dan percaya bahwa kematiannya akan datang sebentar lagi. Dengan segera dia memanggil dokternya dan lebih memaksanya agar dia dirawat di bagian neurologi untuk ketiga kalinya. Pemeriksaan yang teliti termasuk pemeriksaan optalmologis dan sken tomografi terkomputerisasi (CT scan) yang baru menunjukkan tidak ada apapun yang abnormal. Dia menangis, tampak terguncang dan akhirnya dibujuk untuk menerima pemindahannya ke bagian psikiatri. Riwayat: Pasien tumbuh di sebuah kota. Dia anak ketiga dari empat saudara kandung. Ayahnya bekerja sebagai pegawai negeri sipil dan ibunya bekerja sebagai sekretaris di perusahan swasta multinasional. Keluarga mereka tidak bahagia dan setelah selesai SMA dia ditawarkan karir akademik tetapi dia tidak tertarik. Tidak lama setelah itu dia menikahi agen penjualan waralaba yang lima tahun lebih tua darinya dan pindah ke kota lain. Pasangan ini memiliki tiga orang anak dan tinggal di rumah milik mereka sendiri dalam keadaan ekonomi yang baik. Pasien tampaknya puas dengan kehidupannya sebagai ibu rumah tangga. Dia merawat anak-anaknya dengan baik, ikut serta dalam kegiatan gereja dan aktif di klub wanita. Dia menggambarkan perkawinannya sebagai perkawinan yang harmonis, meskipun kemudian terungkap bahwa suaminya setidaknya dua kali memiliki hubungan gelap dengan wanita lain, yang terakhir hanya beberapa bulan sebelum istrinya sakit. Dua anak yang termuda masih duduk di bangku SMA dan yang tertua, seorang anak laki-laki, baru saja bekerja di sebuah bank pemerintah. Ayah pasien dan dua dari saudara laki-lakinya menerima pengobatan untuk gangguan afektif disertai dengan depresi berulang, tetapi selain itu tidak ada informasi tentang gangguan mental dalam keluarga. Kesehatan somatiknya selalu baik. Sebelumnya dia tidak pernah menderita sakit kepala atau keluhan lain. Pemeriksaan Status Mental: Pada pemeriksaan pasien tampak kecewa. Berkali-kali dia mengulangi, dia yakin rujukan ke bagian psikiatri adalah suatu kesalahan, dia yakin tidak mengalami gangguan mental. Dia dengan rasa sangat terhina menyangkal mengalami ganguan persepsi atau memiliki ide-ide yang aneh tetapi mengakui akhir-akhir ini merasa tidak bersemangat dan lelah, dan bahwa dia merasa kehilangan harapan masa depannya karena tumor otak yang dideritanya. Sebaliknya dia menyangkal mengalami gejala mental apapun. Dia memiliki orientasi yang baik dan berada dalam tingkat kesadaran penuh tanpa ada indikasi kelemahan kognitif apapun.

KASUS 21 Pasien adalah pria berusia 51 tahun, sudah menikah dan bekerja sebagai pekerja sosial.

Masalah: Pasien dirujuk untuk pemeriksaan psikiatrik karena selama tiga tahun terakhir dia merasakan kelelahan yang semakin meningkat. Dia sangat mudah lelah setelah melakukan kegiatan yang ringan sekalipun dan setelah beberapa jam bekerja dia merasa benar-benar kelelahan. Dia mengaku dapat melakukan pekerjaannya beberapa waktu yang lalu karena rekan-rekan sekerjanya yang baik membiarkannya mengerjakan pekerjaan yang mudah. Akhirnya dia diijinkan untuk merawat arsip - pekerjaan yang sangat mudah yang sebelumnya diberikan pada staf yang berada di ambang pensiun. Meskipun begitu, saat dia kembali ke rumah di malam hari dia merasa sangat lelah sehingga dia harus langsung ke tempat tidur. Bahkan demikian, dia mengalami kesulitan tidur karena sakit kepala dan rasa nyeri di leher dan punggungnya. Dia sering merasa tegang dan tidak dapat bersantai. Pada akhir minggu dia menghabiskan sebagain besar waktunya di tempat tidur. Dia mendapati dirinya sulit berkonsentrasi dan dia berhenti membaca dan mengerjakan teka-teki silang yang sebelumnya sangat dinikmatinya. Bahkan menonton televisi menjadi hal yang sulit dilakukannya. Dia menghindari rekan sekerja dan teman-temannya sebanyak mungkin karena dia takut mereka akan memintanya melakukan sesuatu atau mengundangnya. Kenyataannya, keluar di sore hari dapat membuatnya merasa lelah selama beberapa hari. Dia merasa tidak mampu melakukan pekerjaannya dan takut melakukan aktivitas harian di rumah. Empat bulan sebelum rujukan tersebut dia mengambil cuti sakit dari pekerjaannya dan mengajukan pensiun. Tetapi, menjauhkan diri dari tanggung jawab pekerjaannya tidak memperbaiki kondisinya. Dia masih kurang inisiatif dan duduk di kursinya sepanjang hari, membaca koran sambil lalu atau melihat ke luar jendela. Dia tidak merasa depresi atau tidak bahagia. Dia tampaknya berbesar hati saat dikatakan bahwa anak-anak dan cucu-cucunya akan berkunjung, tetapi kegembiraan anak-anak membuatnya merasa tegang dan mudah marah. Dia mampu menolong istrinya mengerjakan pekerjaan di rumah apabila istrinya mengatakan kepadanya apa tepatnya yang harus dikerjakannya, tetapi semuanya harus direncanakan sebelumnya karena perubahan yang tiba-tiba dapat membuatnya bingung dan cemas. Dia mengalami ketakutan yang menetap bahwa pengajuan pensiunnya mungkin ditolak dan dia harus kembali bekerja, melakukan pekerjaan yang dia rasa tidak mampu dilakukannya.

Riwayat: Pasien tumbuh di sebuah desa, di pinggiran ibukota propinsi, yang jauh dari kebisingan. Dia anak kedua dari seorang guru sekolah dasar. Dia menamatkan SMA-nya dengan nilai gemilang dan dilatih sebagai pekerja sosial. Pada usia 25 tahun dia menikahi seorang perawat yang usianya lebih muda dua tahun dari usianya. Mereka pindah ke ibukota negara di mana dia mendapat pekerjaan sebagai pekerja sosial swasta. Dia terlibat dalam perawatan sosial dan tempat perlindungan bagi penderita gangguan autisme dan di waktu luangnya dia bekerja untuk Asosiasi Keluarga Penderita Autisme. Dia juga mengambil bagian dalam aktivitas politik dan selama beberapa tahun dia menjadi pengurus dari sebuah partai politik. Pasangan ini memiliki 3 anak yang saat ini telah meninggalkan rumah dan tampaknya memiliki pekerjaan yang baik. Pasien tinggal dengan istrinya di sebuah rumah kontrakan. Keadaan ekonominya memburuk karena pengurangan pendapatannya saat situasi pekerjaannya berubah. Pasien selalu terbuka dan adalah orang yang aktif dengan energi tinggi dan suasana hati yang cerah. Dia sangat tertarik dengan pekerjaannya dan sangat memperhatikan orang yang ditolongnya. Dia selalu merasa memiliki mental yang kuat dan percaya bahwa tidak ada yang dapat menjatuhkannya. Dia selalu memiliki hubungan yang baik dengan kolega dan kliennya. Dia berhubungan baik dengan anggota keluarganya dan perkawinannya digambarkaan sebagai perkawinan yang harmonis. Dia tidak pernah mengalami suasana hati yang berubah-ubah atau episode kelelahan yang tidak terjelaskan sebelumnya. Saudara laki-laki tertuanya menderita retardasi mental tetapi selain itu tidak ada informasi gangguan mental dalam keluarganya. Pasien menjalani apendiktomi pada usia 27 tahun tetapi selain itu dia sehat. Tidak ada informasi tentang gegar otak atau infeksi virus dalam waktu yang lama. Pemeriksaan Status Mental: Pada pemeriksaan pasien tampak lebih tua dari usianya. Rambutnya berwarna abu-abu dan dia terlihat sangat lelah. Suasana hatinya netral dan tidak tampak gejala psikotik yang dicurigai. Tingkat kesadarannya baik, sangat tenang dan berorientasi terhadap waktu, tempat dan orang. Ingatannya tidak berkurang dan tidak terdeteksi adanya defisiensi kognitif. Menjelang akhir pemeriksaan dia tampak tegang dan takut tetapi selain itu tidak diamati adanya tanda-tanda yang luar biasa. Pemeriksaan fisik dan pemeriksaan neurologi tidak menunjukkan abnormalitas. Tes laboratorium termasuk fungsi tiroid dan hormon adrenal, berada dalam batas normal. EEG dan sken CT otak normal.

KASUS 22 Pasien adalah wanita muda berusia 26 tahun. Dia bekerja sebagai perawat di sebuah rumah sakit swasta dan hidup sendiri. Masalah: Pasien bangun di malam hari, pergi ke dapurnya dan mulai makan makanan apapun yang mampu diraihnya. Dia berhenti satu atau dua jam setelah dia tidak menemukan apa-apa lagi untuk dimakan. Gangguan makan berlebihan ini berlangsung selama lima tahun sampai dia berkonsultasi pada dokter praktek umumnya yang merujuknya ke seorang psikiater wanita karena depresi yang berhubungan dengan serangan makan. Serangan makan yang tidak terkontrol didahului perasaan ketegangan yang berat dan diikuti relaksasi, meskipun hal ini terangkai dengan perasaan malu dan putus asa. Selama satu tahun sebelum rujukannya frekuensi serangan makan berlebihan meningkat dua atau tiga kali seminggu. Serangan-serangan tersebut biasanya terjadi pada malam hari setelah beberapa jam tidur. Setelah makan apapun yang bisa dia temukan, dia merasa kembung tetapi tidak muntah. Dia mencoba mengeluarkan makanan tersebut dengan meminum sejumlah besar obat pencahar. Beratnya tidak stabil tetapi dia menjaganya tetap berada dalam batas normal dengan berpuasa diantara serangan makan. Dia mengganggap kegemukan sesuatu yang hina tetapi dia sendiri tidak benar-benar langsing. Gangguan makan berlebihan yang dialaminya membuatnya merasa kurang bersemangat dan putus asa. Dia lalu mempertimbangkan melakukan bunuh diri dengan minum obat tidur melebihi dosis yang diresepkan dokter praktek umumnya untuk gangguan tidurnya. Dia mengerjakan pekerjaannya dengan baik dan hanya mengambil cuti sakit selama beberapa hari. Riwayat: Pasien dibesarkan di sebuah desa di mana ayahnya bekerja sebagai guru sekolah. Setelah SMP, dia dilatih sebagai perawat dan melakukan berbagai tugas di bangsal geriatri. Dia menjadi sangat sensitif, takut kritikan dengan rasa penghargaan diri yang rendah. Dia mencoba menghidupkan pengharapannya dan merasa frustrasi oleh kritikan kecil.. Dia jatuh cinta lebih dari satu kali, tetapi dia tidak berani berpacaran karena dia takut ditolak dan mungkin karena dia takut melakukan hubungan seksual. Dia hanya memiliki beberapa teman dekat karena mengalami kesulitan menjalin hubungan dekat. Dia sering merasa tegang dan malu-malu di tempat kerja. Dia menghindari pertemuan atau pesta karena dia takut dikritik atau ditolak. Pemeriksaan Status Mental: Pada pemeriksaan pasien tampak tenang dan pendiam. Suasana hatinya terdepresi ringan dan dia menangis tanpa suara sambil menceritakan kesulitannya. Tidak ada tanda-tanda psikotik yang

dicurigai. Selain itu dia sehat dan memiliki berat badan rata-rata. Dia merasa berat badannya sedikit lebih tinggi dari yang diinginkannya. Dia berkata bahwa dia takut menjadi gemuk. KASUS 23 Pasien adalah janda berusia 58 tahun yang bekerja sebagai seorang guru di sebuah SMP. Dia memiliki empat orang anak yang sehat-satu putri dan tiga putra. Anak laki-lakinya yang tertua sudah menjadi nahkoda kapal pesiar selama 15 tahun dan baru-baru ini kembali untuk berlibur.

Masalah: Pasien tiba di klinik bersama anak-laki-lakinya yang tertua. Setiap hari dia minum obat pencahar dan tablet lain untuk pencernaannya. Kadang-kadang beberapa tablet diminumnya sekaligus. Anak laki-lakinya memperingatkan atas apa yang dianggapnya sebagai penggunaan obat yang berlebihan, jadi dia membawa ibunya ke klinik dan menjelaskan kebiasaannya. Pasien sendiri mengakui kalau dia minum tablet tetapi berkata hal ini tidak menjadi masalah baginya. Sebaliknya, obat tersebut memberikan keuntungan baginya. Dia menjelaskan bahwa dia mulai menggunakan bahan-bahan tersebut jauh sebelumnya, mungkin sejak 20 tahun yang lalu. Dia ingat pertama kali minum obat tersebut bukan karena penyakit tertentu, tapi karena dia mengalami gangguan pencernaan dan kesulitan dalam buang air besar selama dua hari. Seorang temannya menyarankan dia untuk minum beberapa tablet pencahar sebelum tidur dan satu tablet untuk pencernaannya sebelum makan setiap beberapa hari. Pasien ingat pencernaannya tidak pernah sebaik saat dia minum tabletnya yang pertama. Dia terus menggunakan tablet tersebut sampai sekarang. Tanpa tablet tersebut dia tidak merasa puas baik sesudah makan atau sesudah mengosongkan isi perutnya. Dia tidak melihat, bagaimana mungkin tablet tersebut dapat menjadi masalah sepanjang tablet tersebut bukan narkotik. Dia datang ke klinik karena anak laki-lakinya bersikeras tablet tersebut pasti mengandung zat adiktif yang membuatnya tidak mampu berhenti menggunakannya. Riwayat: Pasien memiliki 8 saudara kandung. Dia lulus dari universitas, fakultas seni dan segera menikah sesudah itu. Dia bekerja sebagai seorang guru pada sekolah yang sama sepanjang hidupnya. Dia adalah orang yang periang, optimis dan wanita yang penuh semangat dengan banyak teman dan jadwal harian dan kewajiban keluarga yang padat. Dia memiliki kehidupan perkawinan yang sukses dan bahagia sampai suaminya meninggal karena serangan jantung, saat dia berumur 53 tahun. Dia tidak pernaah memiliki masalah kesehatan yang besar ataupun menjalani operasi. Pemeriksaan Status Mental: Pasien berpakaian pantas, wanita yang ramah, yang kooperatif selama wawancara dan menjawab semua pertanyaan. Saya tidak pernah menaikkan dosisnya katanya berolok-olok. Jelaslah bahwa dia merasa geli dengan seluruh situasi ini dan dia datang ke klinik untuk menghilangkan keprihatinan anaknya dan menentramkannya. Dia tidak menampakkan bukti-bukti adanya kelianan dalam proses pikir, persepsi, orientasi atau ingatan. Bagaimanapun dia tidak siap menghadapi kemungkinan harus menghentikan minum obatnya, meskipun dia tidak merasa obat-obat tersebut sangat diperlukannya.

KASUS 24 Pasien adalah seorang wanita muda berusia 21 tahun. Belum menikah, tinggal dengan orang tua dan saudara perempuannya yang lebih muda darinya di lantai tiga sebuah rumah kontrakan dan bekerja sebagai pegawai di sebuah toko di pinggiran kota. Masalah: Setelah beradu pendapat dengan orang tuanya, pasien mengancam akan membunuh dirinya dengan melompat keluar jendela. Orang tuanya tidak tahu apa yang harus mereka lakukan dan memanggil dokter keluarganya yang merujuk mereka ke bagian psikiatri. Pasien duduk di kamarnya mendengarkan musik heavy metal rock dari stereonya. Dia memutar stereonya dengan volume tinggi dan orang tuanya datang ke kamarnya dan mengatakan kepadanya untuk mengecilkan musik gila itu. Dia menolak dan lebih membesarkan volumenya. Saat ibunya mematikan stereonya, pasien tiba-tiba membuka jendela dan mengancam akan melompat. Setelah berteriak-teriak akhirnya dia setuju dibawa ke rumah sakit. Saat berada di sana dia setuju untuk menginap hanya karena situasi di rumah sangat tidak menyenangkan. Berdasarkan keterangan orang tuanya, situasi di rumah menjadi bagaikan bencana (katastropik) selama lima tahun terakhir. Pasien dapat menjadi sangat manis pada suatu saat, tetapi marah dan suka bertengkar di saat lain, tanpa alasan yang jelas. Dia dapat terlihat senang dan puas selama satu jama atau lebih dan kemudian secara tiba-tiba dia mengeluhkan bahwa kehidupan ini tidak layak untuk dijalani. Pada beberapa kesempatan dia meninggalkan rumah dan tinggal di sebuah penginapan kecil sendirian. Tetapi dia selalu kembali bergabung bersama orang tuanya tidak lama kemudian. Dia tampaknya tidak pernah benar-benar tahu apa yang diinginkannya, kata orang tuanya. Dia sangat tidak realistis dalam rencana masa depannya, dan pada setiap kasus dia secara terus menerus mengubah rencana tersebut. Riwayat: Berdasarkan keterangan orang tuanya, pasien adalah seorang anak normal yang sehat sampai usia remaja. Pada kira-kira usia 13 tahun, dia menjadi sangat sulit. Meskipun dia seorang gadis yang pandai, dia mengalami masalah di sekolahnya. Dia mendapat peringkat yang sangat baik dalam mata pelajaran yang diminatinya tetapi benar-benar gagal dalam mata pelajaran yang tidak disukainya. Sebagai tambahan, gurunya mengeluhkan bahwa dia bersikap sangat tidak disiplin. Di rumah, dia sangat sering beradu pendapat dengan orang tua dan saudara perempuannya mengenai masalah-masalah yang sepele. Pada usia 15 tahun, dia harus pindah sekolah karena gagal naik kelas. Dia memaksa ingin memasuki sekolah teknik, yang kemudian dilakukannya. Dia adalah satu-satunya wanita di kelasnya dan setahun berikutnya dia keluar karena tidak lagi menyukai sekolah tersebut. Dia mulai mengikuti kursus seni di sekolah yang lain, tetapi keluar

dari sekolah sama sekali dan bekerja sebagai pegawai toko. Pada beberapa tahun selanjutnya dia sangat sering berganti pekerjaan. Pada tiga kesempatan dia keluar dari pekerjaannya setelah beberapa bulan. Dia mulai pekerjaan barunya empat bulan sebelum perawatannya di rumah sakit dan sudah mempertimbangkan akan berganti pekerjaan lagi. Orang tua pasien mengatakan bahwa dia tidak punya teman tetap dan dia memutuskan hubungan untuk alasan yang sepele. Hubungannya dengan sesama orang muda digambarkan sebagai dekat tetapi bersifat sementara. Dia sering bersama kelompok yang berbeda-beda yang digambarkan orang tuanya sebagi tidak diinginkan, beberapa di antara mereka menggunakan obat -obat terlarang. Tampaknya pasien tidak memakai obat-obatan. Pemeriksaan Status Mental: Pasien tampak atraktif dan berpakaian baik. Saat dia datang pertama kali di rumah sakit, dia tampak kurang ajar dan argumentatif. Setelah beberapa saat, dia menjadi lebih kooperatif. Dia mengakui bahwa dia sering merasa cemas dan depresi dan bahwa dia tidak benar-benar tahu siapa dirinya atau mengapa dia bertingkah laku seperti itu. Saat ditanya tentang kesenangan seksual, dia berkata dia tidak tahu apakah lebih tertarik pada pria atau wanita. Meskipun orang tuanya melakukan pendekatan karena dianggap anak gadis yang hilang tapi dia tidak pernah melakukan hubungan seksual dengan seorang pria atau wanita. Dia berkata bahwa dia percaya pada sihir dan okultisme dan pada suatu saat mengalami dorongan yang aneh dan menakutkan seperti keinginan meletakkan sebuah jarum di matanya atau menelan sepotong perhiasannya. Dia mengakui membuat orang tuanya mengalami masa-masa yang sulit. Meskipun dia sering mengancam akan meninggalkan rumahnya, kenyatannya dia takut diacuhkan oleh orang tuanya. Dia mengakui bahwa dahulu kadang-kadang dia mengancam akan bunuh diri setelah bertengkar sengit dengan orang tuanya. Alasan dia mengeluarkan ancaman tersebut, karena dia ingin menghukum orang tuanya. Meskipun sebetulnya dia tidak pernah mencoba mengakhiri hidupnya, dia mengatakan dia mungkin melakukannya apabila segala sesuatu dalam hidupnya menjadi sangat buruk. KASUS 25 Pasien adalah seorang laki-laki berusia 30 tahun. Masalah: Pasien dibawa ke ruang gawat darurat psikiatri oleh pekerja sosial. Pasien memanggilnya di tengah malam dan berkata padanya bahwa dia tidak bisa bertahan lebih lama lagi. Dia menangis dan berbicara tentang bunuh diri. Pekerja sosial tersebut menjelaskan bahwa kliennya tinggal

sendirian dan bahwa dia tidak mampu mengatasi masalah pasien ini dan bahwa psikoterapisnya sedang berlibur. Dia menyarankan agar pasien ini dirumah sakitkan. Pasien putus asa dan tegang dan meminta maaf untuk kesulitan yang ditimbulkannya. Dia tampak santai saat diberitahu kalau dia dapat tinggal di rumah sakit dan tidak keberatan saat diberitahu bahwa mulai saat ini dia harus berbagi ruangan dengan tiga orang pasien yang berusia lanjut. Riwayat: Pasien lahir dan dibesarkan di sebuah desa. Saat berusia lima tahun, dia kehilangan ayahnya yang meninggal dalam sebuah kecelakaan mobil. Setelah kematian ayahnya, ibunya bekerja sebagai pelayan di sebuah kafe lokal untuk memenuhi kebutuhan hidup. Pasien adalah anak tunggal yang berhasil baik di sekolahnya dan tidak pernah menyusahkan ibunya. Ibunya tidak menikah lagi. Pasien sangat dekat dengan ibunya dan melakukan apapun yang dia bisa untuk menyenangkan hati ibunya. Bahkan sebagai seorang anak dia tampaknya mengerti bahwa kehidupan ibunya tidak selalu mudah, dan dialah satu-satunya yang dimiliki oleh ibunya. Dia berperilaku baik di sekolahnya, selalu menjadi seperti apa yang diinginkan oleh gurunya, selalu bersedia melakukan tugas tambahan yang tidak ingin dikerjakan oleh teman-teman sekelasnya dan tampaknya senang menyenangkan hati orang lain. Saat berusia 16 tahun dia ingin menjadi teknisi komputer tetapi hal ini berarti meninggalkan ibunya yang memang tidak menyukai ide ini. Dia keluar dari sekolah dan bekerja di sebuah supermarket. Dia melakukan yang terbaik dalam pekerjaannya dan selalu siap menolong rekan kerjanya dan tidak pernah mengeluh apabila harus bekerja lembur. Dia dianggap sebagai pekerja yang dapat diandalkan dan akan dipromosikan beberapa kali tetapi entah bagaimana, dilewati pada tiap kesempatan. Selama usia remajanya, dia sangat ingin keluar bersama teman-temannya tetapi menghadapi kenyataan bahwa adalah tanggung jawabnya menghabiskan hampir seluruh malamnya dengan ibunya di rumah. Ibunya dengan bangga mengatakan pada tetangganya bahwa anaknya adalah "anak laki-laki yang sangat baik" . Saat berusia 29 tahun, pertama kalinya dia melawan ibunya. Dia sangat tidak setuju anaknya mengencani seorang gadis yang tidak disukainya. Saat ibunya mengatakan dia harus meninggalkan rumah apabila tetap menemui gadis itu, dia menjadi panik, memohon pacarnya agar bersabar, dan akhirnya membiarkan pacarnya meninggalkannya untuk laki-laki lain. Ibunya menyukai gadis kedua yang dibawanya ke rumah dan bahkan memaksanya menikahinya, meskipun secara pribadi dia tidak tergetar dengan ide ini. Saat istrinya meninggalkannya dua tahun kemudian, dia merasa putus asa dan segera kembali tinggal bersama ibunya. Ibunya meninggal tidak lama setelah itu karena serangan jantung. Sejak saat itu, pasien beberapa kali

dirumahsakitkan karena depresi, biasanya hanya satu dua hari. Dia menemui psikiaternya dua kali seminggu dan meminta saran pekerja sosialnya bahkan untuk hal-hal yang remeh setiap hari. Tidak diketahui riwayat gangguan mental dalam keluarga. Pemeriksaan Status Mental: Pasien berorientasi terhadap waktu, tempat dan orang. Pada pagi hari setelah perawatannya di rumah sakit, dia tidak yakin apakah akan tinggal atau pulang ke rumah dan meminta saran. Dia menjelaskan bahwa dia mengalami kepanikan malam sebelumnya dan bereaksi berlebihan tetapi saat ini dia tidak apa-apa. Dia memaksa psikiaternya mendorong dirinya untuk tidak mencari perlindungan di rumah sakit. Pekerja sosialnya, di sisi lain, sudah mengatakan kepadanya agar mencari pengobatan yang sesungguhnya saat ini dan tinggal setidaknya beberapa minggu atau bahakan bulan. Dia juga merasa depresi dan cemas, terlihat saat wawancara dan berbicara secara koheren. Saat ditanya tentang sikapnya pada orang lain, pasien menyatakan bahwa dia suka berada bersama-sama dengan orang lain. Dia berkata dia tidak suka sendirian dan kenyataannya dia merasa hilang saat sendirian. Dia tidak memiliki masalah dalam berhubungan dengan orang lain dan merasa nyaman dengan sebagian besar orang. Dia menekankan bahwa dia tidak memiliki masalah saat berkumpul dengan teman-teman yang dianggap sulit oleh orang lain. Dia sering merasa tertekan, tetapi perasaan ini selalu hilang setelah beberapa jam, khususnya apabila dia bisa berbicara dengan seseorang. Dia juga merasa panik apabila dia harus mengambil keputusan. Pada pemeriksaan dekat, perasaan ini tidak termasuk gejala kecemasan yang ditandai dengan serangan panik. Pemeriksaan fisik tidak menunjukkan kelainan. Tes darah termasuk fungsi tiroid, dalam batas normal, sebagaimana pemeriksaam EEG dan sken otak. Saat diberitahu oleh psikiater bahwa dia tidak perlu tinggal di rumah sakit tetapi akan selalu ada seseorang bersamanya saat dia merasa tidak mampu menghadapi sesuatu, pasien setuju untuk pulang. Selama dua minggu berikutnya, dia menelpon dua kali untuk bertanya tentang hal-hal yang sepele dan kemudian memulai lagi sesi dengan psikoterapisnya.

DISKUSI KASUS

Kasus 1: Pasien ini mengalami penurunan daya ingat dan kemampuan intelektual lainnya yang cukup mengganggu aktivitas pribadi dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini berhubungan dengan perubahan dalam sikap sosial (apatis, suka curiga dan mudah tersinggung). Penurunan daya ingat dan fungsi intelektual lain terlihat jelas selama lebih dari enam bulan, serangan awalnya tersembunyi, dimulai setelah usia 65 dengan perkembangan biasanya bersifat progresif, lebih memburuk, dan tanpa penyebab yang spesifik. Kesadaran pasien baik. Pemeriksaan Status Mental ini membuat kami membuat diagnosis klinis yang pasti demensia pada penyakit Alzheimer dengan onset lambat (F00.1). Berdasarkan kriteria diagnosis untuk penelitian, demensia yang dialami bertaraf moderat karena pasien tidak mampu berfungsi tanpa bantuan suaminya dan membutuhkan pengawasan ketat. Tidak adanya tanda-tanda delusi, halusinasi dan depresi, memberi petunjuk terhadap penambahan karakter kelima pada kode.
[F00.10 DEMENSIA PADA PENYAKIT ALZEHEIMER DENGAN ONSET LAMBAT]

Kasus 2: Pasien ini secara khas menampakkan kasus delirium organik F05. Karena delirium yang terus berlanjut, tidak mungkin menguji kapan dia menunjukkan tandatanda awal dari suatu demensia (bila ada), tetapi berdasarkan laporan saudarasaudaranya, hal ini tidak dapat dicurigai. Tingkat delirium mulai terjadi setelah operasi dengan anastesia dimana dia sadar dalam lingkungan yang asing. Gangguan elektrolit serum mungkin memperburuk keadaannya. Tidak terdapat bukti penyebab organik lainnya atau karena alkohol atau penggunaan obat. Mengamati tahap delirium pada orang tua yang menjalani operasi besar dengan anestesia adalah hal yang khusus. Hal ini diakibatkan oleh kombinasi reaksi hormonal pada operasi, akibat anestesia dan gangguan keseimbangn elektrolit-air. Dignosis yang paling mungkin pada pasien ini adalah kasus delirium F05.8 lainnya, termasuk delirium yang penyebabnya bermacam-macam.
[F05.8 DELIRIUM LAINNYA]

Kasus 3: Pasien datang dengan kesulitan ringan dalam mengingat, belajar, berkonsentrasi dan berpikir yang berlangsung selama kurang lebih beberapa minggu. Kondisi ini mengikuti influenza berat yang diduga menyebabkan disfungsi otak sementara, yang menjelaskan gejala kognitif yang dialaminya. Kelemahan ringan didukung oleh penurunan ringan dalam penampilannya pada pemeriksaan status mental. Penurunan ini terlalu ringan untuk memenuhi kriteria demensia. Tidak ada

bukti sindrom amnesia atau tingkat delirium. Sindrom pasca ensefalitis tidak dicurigai karena hasil EEG normal. Tidak dicurigai adanya gangguan mental lainnya dan dia tidak minum alkohol atau menggunakan substansi psikoaktif. Jadi, pasien memenuhi kriteria gangguan kognitif ringan (F06.7)
[F06.7 GANGGUAN KOGNITIF RINGAN]

Kasus 4: Pasien memiliki riwayat penggunaan alkohol yang lama dan menampakkan gejala-gejala ketergantungan saat dia tidak mendapatkan alkohol. Dia menunjukkan gejala-gejala khas delirium. Gangguan kesadaran, gangguan kognisi global, agitasi psikomotor, gangguan siklus tidur-bangun (insomnia), onset cepat dan fluktuasi gejala. Kehadiran tahap keketergantungan, berhubungan dengan delirium, segera setelah konsumsi alkohol dalam jumlah besar menunjukkan tahap ketergantungan alkohol disertai delirium. Karena pasien juga tidak mengalami konvulsi, diagnosis ditegakkan berdasarkan PPDGJ-III adalah F10.40 Masalah minum minuman keras telah berlangsung setidaknya selama tiga tahun dan informasi yang disediakan oleh istrinya memberi bukti yang menunjukkan diagnosis tambahan sindrom ketergantungan alkohol. (F10.2) Masalah ingatan yang diamati oleh istrinya membenarkan bahwa pasien mengalami sindrom amnesia karena penggunaan alkohol. Deskripsi yang ada bagaimanapun tidak memberikan informasi yang cukup bagi kita untuk membuat diagnosis tambahan yang dapat dipercaya sindroma amnesia karena penggunaan alkohol (F10.6). Hal ini harus diuji setelah delirium dan gejala ketergantungan lainnya hilang, karena gangguan ingatan juga ciri yang menonjol pada delirium.
F10.40 KEADAAN PUTUS ZAT ALKOHOL DISERTAI DELIRIUM, TANPA KEJANG & F10.2 SINDROM KETERGANTUNGAN ALKOHOL

Kasus 5: Pasien menampakkan gejala seperti skizofrenia yang timbul beberapa minggu setelah menghentikan ketergantungan metamfetamin yang sudah berjalan lama dan terus menerus. Timbulnya gangguan psikotik kelihatannya berhubungan dengan ketergantungan obat yang dialaminya dan tidak terlihat seperti gangguan mental lainnya. Oleh karena itu cocok dengan kriteria gangguan psikotik onset lambat akibat penggunaan metamfetamin (F15.75)

Pasien tampaknya juga cocok dengan kriteria sindrom ketergantungan metamfetamin disertai ketergantungan, penurunan kapasitas untuk mengontrol dan gejala sisa, untuk periode lebih dari satu bulan.
F15.75 GANGGUAN PSIKOTIK ONSET LAMBAT AKIBAT PENGGUNAAN METAMFETAMIN & F15.2 SINDROM KETERGANTUNGAN METAMFETAMIN

Kasus 6: Pasien menunjukkan kumpulan gejala-gejala khas yang berhubungan dengan diagnosis skizofrenia dengan durasi penyakit lebih dari satu bulan. Gejalanya termasuk insersi pikiran, halusinasi auditorik dengan suara yang berdiskusi dengannya dan memerintahnya (commenting and commanding hallucinations), delusi penyiksaan, delusi kontrol atas pikiran dan berkomunikasi dengan kekuatan mahluk asing, dan tingkah laku katatonik dalam bentuk kegembiraan dan tindakan kekerasan. Saat halusinasi dan delusi menonjol, diagnosisnya adalah skizofrenia paranoid dengan karakter tambahan (9) untuk waktu tidak tertentu, karena periode observasi terlalu pendek. Kepribadian pasien menunjukkan pola skizoid: sedikit aktivitas memberikan dia kesenangan, dia tampak tidak tertarik terhadap pujian dan kritik, hanya memiliki sedikit ketertarikan pada pengalaman seksual, secara terus-menerus dia memilih menyendiri, dan dia tidak memiliki teman dekat. Karakteristik-karakteristik ini merupakan pokok diagnosis gangguan kepribadian skizoid, tetapi kriteria umum untuk gangguan kepribadian juga harus dipenuhi; pola disfungsi tingkah laku yang berlangsung lama terjadi sejak masa remaja, meresap sangat luas dalam situasi pribadi dan sosial, mengakibatkan penderitaan pribadi atau pengaruh buruk terhadap lingkungan sosial yang tidak dapat dijelaskan sebagai manifestasi atau konsekuensi gangguan mental lainnya. Hal tersebut tampaknya mendukung bukti yang menganggap bahwa kriteria tersebut, cocok dengan kasus ini.
F20.09 SKIZOFRENIA PARANOID, WAKTU TAK TENTU, PERIODE PENGAMATAN KURANG DARI SATU TAHUN & F60.1 GANGGUAN KEPRIBADIAN SKIZOID

Kasus 7: Pasien datang saat perawatan ulang dengan gangguan depresif yang cocok dengan kriteria episode depresif derajat sedang (moderat) disertai suasana hati depresi, kehilangan minat dan kesenangan, rasa percaya diri rendah, pemikiran bunuh diri berulang, kesulitan berpikir, gangguan tidur dan kehilangan berat badan akibat kehilangan selera makan. Episode depresif tampak lima bulan setelah perawatannya yang pertama untuk gangguan skizofrenia dengan suara yang mengomentari, mengalami ketidakpedulian somatik, delusi protektori (perlindungan diri) dan menarik

diri dari masyarakat yang perkembangannya tersembunyi lebih dari 6 bulan terakhir. Tidak ada bukti gangguan otak organik dan tidak dicurigai adanya penyalahgunaan substansi psikoaktif. Pada perawatan sebelumnya pasien memenuhi kriteria skizofrenua paranoid. Pada pengobatan dengan Haloperidol dia mengalami remisi parsial dengan suara yang berkomentar yang tetap ada dan disertai gejala negatif dalam bentuk kehilangan inisiatif, tanpa ekspresi dan menarik diri dari masyarakat. Dengan gambaran episode depresif sedang berat dalam 12 bulan yang memenuhi kriteria skizofrenia, pasien memenuhi kreteria depresi pasca skizofrenia (F20.4). Harus diingat bahwa pasien memiliki pengetahuan yang cukup luas tentang kondisi skizofrenianya dan dia tidak menganggap bahwa menderita skizofrenia adalah penyebab depresinya saat ini, yang lebih baik dilihat sebagai manifestasi penyakit skizofrenianya.
F20.4 DEPRESI PASCA SKIZOFRENIA

Kasus 8: Pasien memiliki riwayat delusi persekutorik persisten yang sudah berlangsung lama.Dia tidak mengalami halusinasi atau gejala seperti skizofrenia. Tidak ditemukan sindrom depresi yang menyertai. Tidak dicurigai penyebabnya organik atau penggunaan substansi psikoaktif. Diagnosisnya adalah gangguan delusional persisten tipe persekutorik.
F22.0 GANGGUAN WAHAM MENETAP

Kasus 9: Tanda signifikan gangguan pada pasien ini adalah delusi polimorfik akut, gangguan perubahan suasana hati yang cepat, kebingungan, depersonalisasi dan derealisasi tanpa pengaburan kesadaran dan halusinasi auditorik tertentu. Mulai timbulnya gangguan sampai pada puncaknya dalam 24 jam dan hilang dalam beberapa minggu, dengan pemulihan menyeluruh dalam 6 minggu. Pasien tidak memiliki riwayat gangguan psikiatri. Psikiater yang menangani kasus ini membuat diagnosis bouffee delirante. Konsep ini kembali ke psikiatri Prancis Magnan, yang mengikuti Legrain mengusulkan kriteria diagnosis berikut: onset gangguan akut seperti kunci dari langit pada ketidakhadiran stresor psikososial; adanya delusi polimorfik yang tidak sistematis dan berubah cepat; adanya gangguan emosional dengan perasaan cemas yang intens dan berubah-ubah, bahagia atau sedih; adanya kebingungan, depersonalisasi atau derealisasi tanpa pengaburan kesadaran dan resolusi gangguan dengan penyembuhan lengkap dalam dua bulan.

Pada PPDGJ-III, sub tipe gangguan psikotik akut dan sementara diletakkan di atas keakutan onset, adanya sindrom tipikal dan adanya stres yang berhubungan. Pada kasus pasien ini, onsetnya tiba-tiba (contohnya gejala tampak dalam kurang dari 48 jam), sindromnya bersifar polimorfik, tidak terdapat gejala skizofrenia tipikal dan onset gangguan tidak berhubungan dengan stres akut. Oleh karena itu gangguan yang dideritanya dikodekan sebagai gangguan psikotik polimorfik akut, tanpa gejala skizofrenia dan tanpa stres akut yang berhubungan (F23.00). Onset gangguan dikategorikan tiba-tiba.
F23.00 GANGGUAN PSIKOTIK POLIMORFIK AKUT, TANPA GEJALA SKIZOFRENIA, TANPA STRES AKUT YANG TERKAIT

Kasus 10: Dalam jangka waktu satu atau dua minggu, pasien mengalami gangguan psikotik dengan suasana hati yang berubah cepat dari manik menjadi depresif dan dengan berbagai delusi yang paling sering tidak sesuai dengan tingkat emosionalnya. Dia juga menarik diri dalam pikirannya dan mengalami dorongan dan emosi yang dikontrol oleh sumber-sumber dari luar, yang merupakan gejala tingkat utama skizofrenia. Gangguan yang dialaminya tampaknya berhubungan dengan perjalanan pengembangan diri yang penuh tekanan karena ambisi dan kepribadiannya yang sensitif. Salah satu diagnosis yang dipertimbangkan adalah gangguan psikotik yang akut dan sementara sub tipe polimorfik disertai gejala skizofrenia (F23.1), yang ditandai oleh kekacauan emosional, perubahan delusi dan halusinasi ditambah gejala yang memenuhi kriteria sindrom skizophrenia. Bagaimanapun, agar diagnosis ini dapat dibuat, kondisi tersebut harus memenuhi kriteria episode manik depresif. Pada kasus pasien ini, gejala manik dan depresif tampak dalam kriteria di mana episode manik dan depresif berat bertemu, meskipun dengan pergantian yang cepat yang menegakkan episode tahap afektif campuran. Perlangsungan gejala skiizophrenia yang terjadi secara bersamaan selama setidaknya dua minggu menunjukkan diagnosis gangguan skizoafektif sub tipe campuran.
F25.2 GANGGUAN SKIZOAFEKTIF, TIPE CAMPURAN

Kasus 11: Pasien menunjukkan gejala gampang marah, yang adalah gejala yang tidak spesifik yang mungkin adalah bagian dari berbagai gangguan. Bagaimanapun, wanita ini juga menunjukkan hiperaktivitas, amat suka berbicara dengan pengambangan ide, kebingungan, gelisah, menurunnya kebutuhan untuk tidur dan kehilangan inhibisi sosial yang normal dengan sikap tidak bertanggung jawab seperti kenyataan bahwa

dia tidak mampu memberikan perawatan yang layak bagi anak yang baru dilahirkannya. Gejala-gejala ini memenuhi kriteria episode manik (F30) dengan gejala utama suasanan hati yang gampang marah. Pada perawatan, episode ini hanya bertahan selama 6 hari. Sedang jangka waktu satu minggu diharuskan untuk diagnosis ini dan hal ini tidak terpenuhi, terdapat alternatif yaitu beratnya penyakit hingga membutuhkan perawatan rumah sakit, yang diaplikasikan dalam kasus ini. Gangguan psikotik yang akut dan menetap (F23) mungkin berhubungan dengan tekanan akut karena tidak terdapat bukti adanya gejala psikotik seperti delusi atau halusinasi. Lebih jauh lagi, persalinan normal dengan anak yang sangat diinginkan tidak dapat dipertimbangkan sebagai stresor psikososial. Kemungkinan gangguan manik organik (F06.30) dapat disingkirkan karena tidak terdapat bukti gangguan serebral atau fisik lainnya. Kehamilan, persalian dan nifas seluruhnya normal.
F30.1 MANIA TANPA GEJALA PSIKOTIK & O99.0 GANGGUAN JIWA DAN PENYAKIT SISTEM SARAF YANG MENYULITKAN KEHAMILAN, KELAHIRAN ANAK DAN MASA NIFAS

Kasus 12: Pada perawatan, selama 4 hari, pasien menunjukkan suasana hati yang mudah marah dan meluap-luap disertai suka berbicara, hiperaktivitas yang kacau, kesulitan tidur, dan karakter grandiositas yang nondelusional. Tidak terlihat adanya gejala psikotik. Tidak ada bukti penyebab organik dan terutama tidak ada tanda-tanda hipertiroid. Penggunaan substansi psikoaktif tidak dicurigai. Episode yang terjadi saat ini cocok dengan kriteria gejala mania tanpa sindroma psikotik, dan beratnya gejala memenuhi syarat untuk diagnosis ini meskipun durasinya kurang dari satu minggu karena dibutuhkan perawatan di rumah sakit. Terdapat episode afektif lain di masa lalu berupa depresi ringan sampai sedang.
F31.1 GANGGUAN AFEKTIF BIPOLAR, EPISODE MANIK, KINI MANIK TANPA GEJALA PSIKOTIK

Kasus 13: Pada perawatan di klinik pasien menunjukkan gejala episode depresi berat dengan stupor depresif (F23.3). Setelah stupor dipulihkan dengan pengobatan ECT dia menunjukkan gejala psikotik dengan suara halusinatorik dan ide depresif yang sama dengan suasana hatinya. Tidak terdapat bukti etiologi organik. Gejala psikotik yang dialaminya tidak memiliki karakter seperti skizofrenia. Tingkah laku destruktifnya bukan menggambarkan cara memenangkan atau menegakkan dirinya atas kekuatan atau kemauan dari luar, tetapi dengan cara dirinya sendiri mengikuti perintah yang diberikan kepadanya oleh suara halusinatorik. Tidak ada gejala lain seperti skizofrenia

yang digambarkan. Kasus ini memenuhi juga gejala-gejala gangguan trans dan kesurupan (F44.3)
F32.30 EPISODE DEPRESI BERAT DENGAN GEJALA PSIKOTIK; X76 PENGANIAYAAN DIRI DENGAN SENGAJA DENGAN API DAN NYALA API & F44.3 GANGGUAN TRANS DAN KESURUPAN

Kasus 14: Selama tiga tahun pasien merasa tertekan dan menderita karena merasa tidak mampu memikul tanggung jawabnya sebagai ibu rumah tangga. Gejala ini tidak cukup untuk menegakkan diagnosis episode depresif, bahkan untuk episode depresif derajat ringan sekalipun. Namun, selama periode konstan yang panjang atau perlangsungan depresi suasana hati yang terus menerus, sebagaimana pada kasus ini, kita dapat mempertimbangkan diagnosis distimia. Untuk menegakkan diagnosis ini, kriteria berikut harus dipenuhi: periode perlangsungan depresi yang terus menerus atau tetap untuk sekurang-kurangnya 2 tahun; selama masa tersebut tidak ada atau hanya sedikit episode depresi individual yang cukup berat atau bertahan cukup lama untuk memenuhi kriteria gangguan depresi ringan berulang dan adanya setidaknya tiga gejala dari 11 yang ada dalam daftar setidaknya pada beberapa episode depresi. Kriteria ini sebagian besar dipenuhi pada kasus ini. Seluruh gejala pasien ini, sebagaimana yang digambarkan disini, cocok dengan gambaran klinik distimia. Apabila diminta, onset dapat digolongkan sebagai onset lambat (usia antara 30-50 tahun).
F34.1 DISTIMIA (DENGAN ONSET LAMBAT)

Kasus 15: Pasien ini tidak memiliki gangguan hipokondriakal sebagaimana diduga sebelumnya. Ketakutannya akan mengalami serangan jantung sekarang ini bukan keyakinan tetap tetapi bagian dari gejala serangan panik yang terpisah dari ketakutannya akan mati karena serangan jantung, juga hadir disertai palpitasi, berkeringat dan gemetar, nyeri dada, kesulitan bernapas, rasa kesemutan dan menggelenyar. Serangan yang terjadi empat kali dalam sebulan, dimulai tiba-tiba dan dicirikan dengan durasi 15-30 menit. Jadi tampak pasien memenuhi kriteria gangguan panik (F41.0). Kadang-kadang pasien mengalami ketakutan dan menghindari tempat ramai dan berjalan-jalan tanpa ponsel. Serangan panik yang dialaminya sering terjadi pada situasi seperti itu. Jadi dia memenuhi kriteria agorafobia (F40.0). Hal ini mengganti gangguan panik, jadi diagnosisnya adalah agorafobia dengan gangguan panik. Untuk beberapa saat pasien meresa depresi ringan. Bisakah dia mengalami pengaruh gangguan depresi sebagai ganti agorafobia?. Jawabannya adalah tidak karena episode depresi, meski derajat ringan, membutuhkan setidaknya dua gejala depresi yang khas,

tetapi pasien ini hanya mengalami suasana hati depresi ringan. Jadi, meskipun dia memiliki 3 tambahan gejala depresif (rasa percaya diri rendah, tidak berdaya, dan kesulitan tidur), penyakitnya tidak dapat dikategorikan sebagai episode depresi ringan (F32.0). Penyebab organik dan penggunaan substansi psikoaktif tidak dicurigai sebagai penyebab. Pasien menggambarkan dirinya sebagai orang yang cemas dan suka menghindar tetapi sulit mencapai tingkat cukup pervasif atau tetap untuk mendukung diagnosis gangguan kepribadian
F40.01 AGORAFOBIA DENGAN GANGGUAN PANIK

Kasus 16: Pasien menderita selama setengah tahun yang mulainya ditandai dengan rasa takut menjadi pusat perhatian dan takut bertingkah laku memalukan, dengan menghindari situasi dimana hal tersebut ditakutkan akan terjadi. Dia mengalami gejala kecemasan dalam situasi yang menakutkan, seperti palpitasi, pusing, gemetar dan takut buang air kecil tanpa sadar. Gejalagejala ini adalah tanda khas serangan panik. Baagaimanapun, dalam klasifikasi PPDGJ-III, suatu serangan panik yang terjadi dalam situasi fobik yang tidak dapat dihindari dianggap sebagai ekspresi beratnya fobia, yang harus diberikan diagnosis awal. Gejala dibatasi pada situasi yang menakutkan. Pasien menderita karena gejalanya dan dia mengakui bahwa ketakutannya tidak masuk akal. Seluruh gejala ini cocok dengan diagnosis fobia sosial (F40.1)

Selama 2 bulan terakhir, gejala-gejala pasien juga cocok dengan kriteria episode depresi dengan suasana hati depresi, kehilangan kesenangan, kehilangan rasa percaya diri, pemikiran bunuh diri berulang-ulang, kesulitan dalam berkonsentrasi dan gangguan tidur. Saat sindrom terjadi secara bersamaan, mungkin diperdebatkan diagnosis mana yang lebih utama. Apabila gejala muncul serentak, mungkin prinsip hierarki dapat digunakan, untuk memberikan preseden pada diagnosis dengan jumlah kode terendah. Apabila salah satu sindrom jelas muncul lebih dulu, mulai pada saat yang berbeda sebelum sindrom yang lain (mungkin dianggap sebagai reaksi terhadap yang pertama), diagnosis sindrom primer harus digunakan sebagai diagnosis utama. Karena pasien baru berusia 17 tahun, keberadaan gangguan kepribadian kecemasan dapat dipertimbangkan. Bagaimanapun, karena kita tidak tahu apakah karakteristik kepribadian akan berlanjut sampai dewasa, diagnosis ini harus ditegakkan.
F40.1 FOBIA SOSIAL & F32.10 EPISODE DEPRESI SEDANG TANPA GEJALA SOMATIK

Kasus 17: Pasien ini cocok dengan kriteria gangguan anxietas menyeluruh (F41.1) dengan perlangsungan kekhawatiran dan ketegangan yang lama dan dengan lebih dari

empat gejala khas yang didalamnya termasuk gejala autonom. Tidak ada alasan untuk mencurigai gejalanya memiliki sebab organik atau disebabkan oleh gangguan mental atau fisik lainnya. Sejak remaja pasien menunjukkan gejala khas voyeurisme (F65.3), gangguan pilihan seksual. Hal ini akhirnya berkomplikasi dengan disfungsi seksual non organik dalam bentuk impotensi erektil (F52.2). Bahkan apabila gangguan kelainan seksual tampaknya primer dan gangguan lainnya bisa sekunder, prinsip hierarkis PPDGJ-III mendahulukan gangguan dengan nilai F yang lebih rendah; pada kasus ini gangguan kecemasan umum.
F41.1 GANGGUAN KECEMASAN UMUM; F52.2 KEGAGALAN RESPONS GENITAL & F65.3 VOYEURISME

Kasus 18: Gejala pada pasien ini memenuhi kriteria gangguan obsesif kompulsif dengan obsesi dan kompulsi yang sudah berlangsung lama, berulang dan tidak menyenangkan, mengakibatkan tekanan disertai gangguan fungssi sosial dan individual berat. Dia mengakui bahwa obsesi dan kompulsi berasal dari pikirannya sendiri dan bahwa hal tersebut berlebihan dan tidak massuk akal. Awalnya dia mencoba menolaknya tanpa hasil dan akhirnya dia menyerah. Kompulsi kelihatannya predominan, yang dicirikan melalui empat karakter kode F42.1, gangguan obsesif kompulsi, terutama tindakan kompulsif.
Gangguan disertai suasana hati terdepresi, kelelahan, hilangnya inisiatif dan hilangnya kepercayaan diri dan penghargaan diri, kelambatan dan peningkatan waktu tidur, jadi memenuhi kriteria sekurang-kurangnya episode depresi ringan (F32.0) Perlangsungan episode depresif dan gangguan obsesif kompulsif tidak sering. Suatu episode depresif sedang atau berat mungkin bersamaan dengan obsesi atau kompulsi sebagai bagian dari gangguan tersebut dan apabila seperti itu, diagnosis episode depresif diutamakan. Di sisi lain gangguan obsesif kompulsif berat dan cacat dapat berkembang menuju reaksi depresi, memenuhi kriteria episode depresif sebagai diagnosis tambahan. Pada kasus ini, gangguan obsesif kompulsif terjadi lebih dulu, dan sindrom depresif terjadi kemudian dan jelas sekunder terhadap gangguan obsesif kompulsif. Jadi diagnosisnya adalah:
F42.1 GANGGUAN OBSESIF KOMPULSIF, TERUTAMA AKSI KOMPULSIF DAN F32.0 EPISODE DEPRESI RINGAN

Kasus 19: Ini adalah kasus klasik gangguan stres pasca trauma (F43.1). Diagnosis harus digunakan kecuali ada bukti bahwa gangguan ini timbul dalam waktu 6 bulan setelah peristiwa traumatik yang luar bias berat. Pasien mengalami pengulangan, kekacauan ingatan atau menghilangkan saat yang menegangkan dalam ingatan sehari-hari atau dalam mimpi dan

menghindari stimulus yang mengingatkan dia pada trauma sehingga dia mengalami amnesia parsial.
F43.1 GANGGUAN STRES PASCA TRAUMA

Kasus 20: Pasien datang dengan riwayat selama delapan bulan yakin menderita penyakit fisik yang serius, tumor otak. Dia terpaku dengan kepercayaan dan gejala yang dialaminya sampai pada satu tingkat dimana hal ini mempengaruhi kehidupan sehari-harinya dan mengakibatkan dia menderita kesedihan yang amat sangat. Dia menolak menerima jaminan medis kecuali untuk jangka pendek. Dia selalu kembali ke dokter praktek umumnya dan ternyata dokter praktek umumnya telah 3 kali merujuknya ke bagian neurologi sebelum akhirnya dia menerima perawatan psikiatri. Jadi, pasien ini cocok dengan kriteria simptomatik gangguan hipondriakal (F45.2). Dia juga mengalami beberapa gejala depresi dengan suasana hati yang terdepresi, mengeluhkan kelelahan, kesulitan tidur dan memikirkan kematian dan bunuh diri selama beberapa minggu terakhir, jadi memenuhi kriteria episode depresi ringan. Bagaimanapun, tampak jelas hal ini merupakan sekunder dari gangguan hipokondriakal yang mendahului selama tujuh bulan. Meskipun terdapat riwayat depresi dalam keluarga bukan tidak mungkin gangguan afektif menjelaskan gejala hipokondriakal yang dialaminya adalah bagian dari episode depresif. Hal yang patut didiskusikan apakah kepercayaan hipondriakal adalah telah memenuhi kriterian waham, pada kasus yang mana dia telah memenuhi kriteria gangguan delusional persisten (F22.0) disertai waham hipokondriakal? Kepercayaannya, bagaimanapun, lebih memiliki karakter ketakutan menderita penyakit fisik tertentu dibanding keyakinan yang berciri delusional (waham). Ketakutannya tampaknya berdasarkan pada gejala somatik yang pada kenyataannya memiliki latar belakang nyata sebagai sakit kepala karena ketegangan.
F45.2 GANGGUAN HIPOKONDRIK & F32.0 EPISODE DEPRESI RINGAN

Kasus 21: Pasien memenuhi kriteria Neurastenia (F48.0) karena dia mengalami keluhan perasaan kelelahan yang menetap dan menekan sesudah melakukan pekerjaan ringan, diikuti oleh gejala tambahan seperti sakit kepala karena tegang, sakit dan nyeri otot, ketidakmampuan untuk bersantai, ganguan tidur, dan mudah marah. Gangguan berlangsung lama dan istirahat atau ijin sakit tidak membuat perubahan apapun. Tidak dicurigai adanya etiologi organik. Gangguan suasana hati depresif, tentu saja, harus dipertimbangkan. Pasien memiliki penurunan energi atau peningkatan kelelahan dan kehilangan rasa percaya diri, gangguan tidur, dan kurang konsentrasi. Dapat diperdebatkan apakah berkurangnya minat, yang sudah jelas diakibatkan oleh ketidakmampuannya mengatasi, harus dipertimbangkan sebagai kehilangan minat. Apabila

benar, dia memenuhi kriteria episode depresi ringan, meskipun diagnosis ini tampaknya tidak cocok dengan beratnya gangguan yang dialaminya.
F48.0 NEURASTENIA

Kasus 22: Wanita ini mengalami episode berulang makan berlebihan sekurang-kurangnya dua kali seminggu selama kira-kira satu tahun. Dia tidak mampu mengontrol kecanduan makanan, yang dialaminya sebagai serangan malam. Dia mencoba melawan efek penggemukan karena makanan dengan muntah yang dirangsang sendiri dan dengan periode puasa karena dia takut menjadi gemuk. Bagaimanapun, dia memiliki berat yang kira-kira normal dan tidak merasa dirinya terlalu gemuk. Jadi dia memenuhi kriteria bulimia nervosa kecuali persepsi dirinya kelebihan berat badan. Jadi, diagnosis adalah bulimia nervosa atipik. Suasana hatinya yang terdepresi, gangguan tidur, pemikiran bunuh diri, semuanya berhubungan dengan serangan makan yang dialaminya, adalah gejala depresi, tetapi tidak cukup untuk memenuhi kriteria episode depresif. Terdapat bukti tingkah laku disfungsional pervasif dalam hal berpura-pura dan hubungan interpersonal sejak usia muda. Hal ini mengakibatkan tekanan personal, disertai sensitivitas terhadap kritik, penghargaan diri yang rendah, kesulitan membangun hubungan dekat dan menghindari aktivitas sosial karena rasa takut pada kritikan dan penolakan. Jadi, dia memenuhi kriteria diagnosis tambahan gangguan kepribadian cemas (menghindar).
F50.3 BULIMIA NERVOSA TAK KHAS DAN F60.6 GANGGUAN KEPRIBADIAN CEMAS (MENGHINDAR)

Kasus 23: Berbagai jenis zat (bahan kimia), meskipun tidak diresepkan secara medis atau direkomendasikan sebagai pertolongan pertama, kadang-kadang digunakan tanpa ada gunanya atau berlebihan. Hal ini dimudahkan oleh ketersediaan zat (bahan kimia) tersebut tanpa membutuhkan resep dokter. Obat pencahar dan digestif adalah obat-obat yang sangat umum digunakan, seperti pada kasus pasien ini. Meskipun tidak ada gejala ketergantungan atau gejala withdrawal, biasanya ada motivasi yang kuat untuk menggunakan zat (bahan kimia) ini dan perlawanan yang kuat terhadap usaha apapun untuk mengurangi atau menghentikan penggunaannya.
F55.1 PENYALAHGUNAAN ZAT YANG TIDAK MENYEBABKAN KETERGANTUNGAN, PENCAHAR

Kasus 24: Pasien ini menunjukkan perilaku maladaptasi yang sudah berlangsung lama, pervasif, meliputi situasi sosial dan pribadi yang luas, bersamaan dengan tekanan pribadi dan dengan onset saat remaja. Hal ini merupakan karakteristik gangguan kepribadian. Pola tingkah lakunya juga dikarakteristik oleh kecenderungan untuk bertindak secara impulsif dan menjadi

pertengkaran, bersamaan dengan kesulitan untuk tidak segera melakukan tindakan balasan apapun, suasana hati yang tidak stabil dan berubah-ubah, ketidakpastian identitas pribadi dan seksual, liabilitas untuk terlibat dalam ketegangan hubungan yang tidak stabil dan ancaman untuk menyakiti diri sendiri berulang-ulang. Karakteristik ini sangat cocok dengan diagnosis gangguan kepribadian emosional tidak stabil, tipe ambang (F60.31). Perasaan tertekan yang berubah-ubah dianggap sebagai bagian dari gangguan kepribadiannya.
F60.31 GANGGUAN KEPRIBADIAN EMOSIONAL TIDAK STABIL, TIPE AMBANG

Kasus 25: Tanda penting gangguan pada pasien ini adalah gangguan berat dalam membuat satu keputusan hidup yang penting, menempatkan kebutuhan diri sendiri yang tidak cocok dengan harapan orang lain, lebih rendah, keterbatasan kapasitas untuk membuat keputusan sehari-hari tanpa saran yang berlebihan dari orang lain, dipenuhi ketakutan akan ditinggalkan sendirian dan merasa tidak berdaya saat sendiri. Ini adalah pola khas tingkah laku pada gangguan kepribadian dependen.
F60.7 GANGGUAN KEPRIBADIAN DEPENDEN

KEPUSTAKAAN
1. American Psychiatric Association. (1994). Diagnostic and Statistical Manual for Mental and Behavioural Disorders, ed. 4. American Psychiatric Association, Washington, 2. DepKes RI. (1993). Pedoman Penggolangan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia III. Jakarta: Departemen Kesehatan RI Direktorat Jenderal Pelayanan Medik. 3. DepKes RI. (1995). Suplemen PPDGJ III. Jakarta: Departemen Kesehatan RI Direktorat Jenderal Pelayanan Medik. 4. KaplanH.I., Sadock, B.J. (1998). Kaplan and Sadocks Synopsis of Psychiatry: Behavioural Sciences / Clinical Psychiatry, ed 8. Lippincott William & Wilkins, Philadelphia. 5. Shea, S.C. (1988). Psychiatric Interview: The Art and Understanding. W.B. Saumders Company, Philadelphia. 6. World Health Organization (1992). The ICD-10 Classification of Mental and Behavioural Disorders: Clinical Description and Diagnostic Guidelines. World Health Organization, Geneva.

Lampiran 1: BLOK DIAGNOSIS MENURUT ICD-10/PPDGJ-III

Lampiran 2: Pohon/Skema/Silsilah Diagnosis Gangguan Jiwa

Lampiran 3: Diagnosis dan Evaluasi Sistem Multiaksial (DSM-IV) Aksis I: Gangguan Klinis Kondisi Lainnya Yang Mungkin Merupakan Fokus Perhatian Klinis

F00-F09 Gangguan mental organik, termasuk gangguan mental simtomatik F10-F19 Gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan zat psikoaktif F20-F29 Skozofrenia, gangguan skizotipal dan gangguan waham kecuali gangguan kepribadian skizotipal (F21, yang harus dicatat pada Aksis II) F30-F39 Gangguan suasana perasaan (mood[afektif]) F40-F48 Gangguan neorotik, gangguan somatoform dan gangguan yang berkaitan dengan stres. F50-F59 Sindrom perilaku yang berhubungan dengan gangguan fisiologis dan faktor fisik F62-F69 Gangguan kepribadian dan perilaku masa dewasa lainnya kecuali, gangguan kepribadian khas, campuran dan lainya (F60 dan F61, yang harus dicatat pada Aksis II) F80-F89 Gangguan perkembangan psikologis F90-F98 Gangguan perilaku dan emosional dengan onset biasanya pada masa kanak dan remaja F99 Gangguan jiwa YTT Kondisi lainnya yang mungkin merupakan fokus perhatian klinis (lihat lampiran: Konversi DSM-IV-ICD-10/PPDGJ-III) Z03.2 Tak ada diagnosis R60 Diagnosis ditangguhkan Aksis II: Gangguan Keperibadian

Retardasi Mental

F21 Gangguan Kepribadian skizotipal F60 Gangguan Kpribadian Khas F61 Gangguan Kepribadian campuran dan lainnya Gambaran kepribadian maladaptif yang menonjol dan mekanisme defensi yang ditampilkan F70-F79 Retardasi mental R41.8 Fungsi intelektual ambang Z03.2 tidak ada diagnosis R46.8 Diagnosis ditangguhkan Aksis III: Kondisi Medis Utama

A00-B99 P e n y a k i t i n f e k s i d a n p a r a s i t t e r t e n t u C00-D48 N e o p l a sma D50-D53 Penyakit darah dan organ pembentukan darah dan gangguan tertentu yang menyangkut mekanisme kekebalan. E00-E90 Penyakit endokrin, nutrisi dan metabolik

G00-G99 Penyakit susunan syaraf H00-H59 Penyakit mata & Adneksa H60-H95 Penyakit telinga & proses mastoid 100-I99 Penyakit sistem sirkulasi J00-J99 Penyakit sistem pernapasan K00-K93 Penyakit sistem pencernaan L00-L99 Penyakit kulit & jaringan subkutan M00-M99 Peny. Sistem muskuloskeletal & jaringan ikat N00-N99 Penyakit sistem genitorinaria O00-O99 Kehamilan, kelahiran anak & masa nifas P00-P96 Kondisi tertentu yang bermula pada masa perinatal Q00-Q99 Malformasi kongenital, deformasi & kelainan kromosom R00-R99 Gejala, tanda & penemuan klinis dan laboratorium yang abnormal YTK S00-T98 Cedera, keracunan & akibat lain yang tertentu dari kausa eksternal V01-Y98 Kausa eksternal dari morbiditas & mortalitas Z00-Z99 Faktor yang mempengaruhi status kesehatan dan berhubungan dengan pelayanan kesehatan. Aksis IV: Prolem Psikososial dan Lingkungan Untuk memudahkan, problem psikososial dan lingkungan dikelompokkan dalam kategori sebagai berikut :

Problem dengan kelompok pendukung utama Problem yang berkaitan dengan lingkungan sosial Problem pendidikan Problem pekerjaan Problem perumahan Problem ekonomi Problem dengan akses pelayanan kesehatan Problem yang berkaitan dengan interaksi sistem hukum/kriminal Problem psikososial & lingkungan lainnya.

Aksis V: Penilaian Fungsi Secara Global 91-100 Gejala tidak ada, berfungsi maksimal,tidak ada problem yang tak tertanggulangi. 81-90 Gejala minimal, berfungsi baik, cukup puas, tidak lebih dari problem harian yang biasa. 71-80 Gejala sementara dan dapat diatasi, hendaya ringan dalam sosial, pekerjaan, sekolah, dll.

61-70 Beberapa gejala ringan dan menetap, hendaya ringan dalam fungsi, secara umum masih baik. 51-60 Gejala sedang (moderate), hendaya sedang. 41-50 Gejala berat (serious), hendaya berat. 31-40 Beberapa hendaya dalam hubungan dengan realitas dan komunikasi, hendaya berat dalam beberapa fungsi. 21-30 Hendaya berat dalam komunikasi dan daya nilai ATAU tidak mampu berfungsi hampir semua bidang. 11-20 Bahaya mencederai diri atau orang lain, hendaya sangat berat dalam komunikasi & mengurus diri. 1-10 Seperti di atas menetap/persisten & lebih serius. 0 Informasi tidak adekuat. Contoh Pelaporan / Pencatatan Diagnosis dan Evaluasi Multiaksial 1. Aksis I F32.2 Episode depresif berat tanpa gejala psikotik F10.1 Penggunaan alkohol yang merugikan (harmful) Aksis II F60.7 Gangguan kepribadian dependen; Sering menggunakan mekanisme defensi menolak (denial) Aksis III Tak ada gangguan pada aksis ini Aksis IV Ancaman kehilangan pekerjaan Aksis V GAF = 53 (mutakhir) 2. Aksis I F34.1 Distimia Aksis II F81.0 Gangguan membaca khas Aksis III H90.1 Otitis media, berulang Aksis IV Korban pelalaian anak Aksis V GAF = (mutakhir) 3. Aksis I F38.0 Gangguan suasana perasaan (mood[afektif]) tunggal lainnya akibat hipotiroidi Aksis II Z03.2 Tak ada diagnosis; Gambaran kepribadian histrionik Aksis III E02.0 Hipotiroidi Aksis IV Tak ada problem Aksis V GAF = 45 (pada saat masuk RS); GAF = 65 (pada saat permulangan) 4. Aksis I Z63.0 Problem dalam hubungan dengan pasangan Aksis II Z03.2 Tak ada diagnosis Aksis III Tak ada gangguan pada aksis ini Aksis IV Tidak ada pekerjaan Aksis V GAF = 83 (taraf tertinggi tahun terakhir)

248

You might also like