You are on page 1of 17

Tinjauan Pustaka.

ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN DENGAN STROKE Elly Lilianty Sjattar Staf Dosen Program Study Ners Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin, Makassar. SUMMARY The concept of nursing care for client with stroke has been discussed by many authors. But it is always interesting to discuss it as a reference for nurse working in the hospital and nurse student who want to practice in the hospital, the practice have to do make the nursing concept. Client with stroke requires a comprehensive nursing care. The purpose of nursing care is to meet the disturbed basic human need of the client and to prevent client from further complication caused by cerebral hypoxia. RINGKASAN Konsep asuhan keperawatan klien dengan stroke sudah banyak yang telah membahasnya. Namun tidak ada salahnya diulas kembali sebagai sumber bacaan bagi perawat di Rumah Sakit dan mahasiswa yang akan praktek di Rumah Sakit, agar praktik keperawatan yang dilaksanakan dapat berdasarkan ilmu keperawatan. Klien dengan stroke memerlukan pemberian asuhan keperawatan yang komprehensif. Asuhan keperawatan terutama ditujukan untuk memenuhi kebutuhan dasar klien yang terganggu dan mencegah atau mengurangi komplikasi terutama hipoksia serebral. PENDAHULUAN Stroke atau cedera serebrovaskuler adalah hilangnya fungsi otak yang diakibatkan oleh terhentinya suplay darah ke bagian otak.

Stroke adalah masalah neurologik primer di Amerika Serikat dan di Dunia, meskipun upaya pencegahan telah menimbulkan penurunan pada insiden dalam beberapa tahun terakhir. Stroke merupakan penyebab kematian utama ke tiga di Amerika Serikat. Setiap tahun 500.000 orang Amerika mengalami stroke, 350.000 dari mereka hidup dengan kecatatan dalam berbagai tingkatan. (1) PENYEBAB STROKE 1. Trombosis Trombotik stroke biasanya terkait dengan perkembangan arterosklerosis dari dinding pembuluh darah. Tanda-tanda trombosis serebral bervariasi, beberapa pasien dapat mengalami pusing, perubahan kognitif atau kejang dan beberapa mengalami awitan yang tidak dapat dibedakan dari hemoragi intraserebral atau embolisme serebral. (2,3) 2. Embolisme serebral Emboli yang menyumbat dapat berupa serpihan-serpihan darah yang beku, tumor, lemak, bekteri atau udara. Emboli pada otak sering dihubungkan oleh penyakit jantung, karena bekuan-bekuan darah atau bakteri yang dilepaskan oleh dinding atau katup jantung dan akhirnya menyumbat sistem perdarahan otak. (2,3,4) 3. Iskemia serebral Iskemia serebral (insufisiensi suplay darah ke otak) terjadi karena kontriksi arteroma pada arteri yang mensuplai darah ke otak. (2)

4. a.

Hemoragi serebral terbagi atas Hemoragi ekstradural yang merupakan kedaruratan bedah neuro yang memerlukan perawatan segera. Ini biasanya mengikuti fraktur tengkorak dengan robekan arteri tengah atau arteri meninges lain. (2,3) b. Hemoragi subdural pada dasarnya sama dengan hemoragi epidural, kecuali bahwa hematoma subdural biasanya jembatan vena robek, karena periode pembentukan hematoma lebih lama. (2,3) c. Hemoragi subarachnoid dapat terjadi akibat trauma atau hipertensi, tetapi penyebab paling sering adalah kebocoran aneuresma pada area sirkulus willis dan malformasi arteri-vena kongenital pada otak. (2,3) d. Hemoragi intraserebral merupakan perdarahan di substansi dalam otak, paling sering dijumpai pada pasien dengan hipertensi dan arterosklerosis serebral. (2,3)

Gambar 1-1, Hemoragi serebral (A) hematoma epidural, perdarahan diantara tengkorak bagian dalam dan dura, menekan bagian bawah otak, (B) hematoma subdural

perdarahan diantara duramater dan membren arachnoid, (C) Hemoragi intraserebral perdarahan dalam otak atau jaringan dengan perubahan posisi struktur sekitar. FAKTOR RISIKO STROKE Hipertensi, kolesterol tinggi dan obesitas. Penyakit arteri koronaria, gagal jantung kongesif, hipertrofi ventrikel kiri, abnormalitas irama (khusus fibrilasi atrium), penyakit jantung kongestif dapat menyebabkan embolisme serebral. Peningkatan hematokrit meningkatkan risiko infark serebral Diabetes dikaitkan dengan aterogenesis terakselerasi Kontrasepsi oral (khususnya dengan disertai hipertensi, merokok dan kadar esterogen tinggi). Merokok, penyalahgunaan obat (khususnya kokain) dan konsumsi alkohol.
(2,4,5,7,8)

MEKANISME

TERJADINYA

EDEMA

DAN

AKHIRNYA

KEMATIAN

JARINGAN ATAU SEL-SEL OTAK PADA STROKE (4,5,6,7,8,9) Perdarahan arteri atau oklusi Vaskularisasi distal menurun Anoksia Metabolisme anaerob Metabolit asam Asidosis lokal Pompa Na gagal Iskemi Aktifitas elektrik terhenti Pompa Na dan K terganggu Edema intra sel Edema ekstra sel Pelebaran kolateral

Udem dan nekrosis jaringan

Perfusi jaringan serebral menurun

mati secara progresif PATOFISIOLOGI DANSel PENYIMPANGAN KDM NON HEMORAGIK STROKE Aliran darah ke otak menurun Suplai Oksigen dan glukosa ke otak menurun

Iskemi Nekrosis Kerusakan sel neuron Penurunan fungsi saraf Saraf motorik Kelemahan atau kelumpuhan Saraf sensorik

Hipoksia jaringan Metabolisme anaerob Penimbunan asam laktat Asidosis metabolik

Pelebaran kolateral

Vasodilatasi pembuluh darah Tekanan intrakranial meningkat Jaringan mengalami reaksi dan pergeseran sensasi nyeri Gyrus medialis temporalis bergeser ke inferior Herniasi unkus Nyeri kepala Mesensephalon tertekan Kompresi sitem pernafasan

Gangguan persepsi sensorik

Tonsil serebelum tergeser ke bawah Kompresi medula oblongata

Otot mengunyah dan menelan Gangguan pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan

immobilisasi

Gangguan mobilisasi fisik

Resiko tinggi injuri

Gangguan perfusi serebral

Fungsi pernafasan menurun

Pola nafas tidak efektif PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK Scan tomografi komputer bermanfaat untuk membandingkan lesi serebrovaskular, dan lesi non vaskuler, misalnya hemoragi subdural, abses otak, tumor atau hemoragi intraserebral dapat dilihat pada CT scan. (2,4,5,7,8,9,11) Angiografi digunakan untuk membedakan lesi serebrovaskuler dengan lesi non vaskuler. Penting untuk diketahui apakah terdapat hemoragi karena informasi ini dapat membantu dokter memutuskan dibutuhkan pemberian antikoagulan atau tidak. (2,4,5,8,11) Pencintraan resonan magnetik (MRI) dapat juga membantu dalam

membandingkan diagnosa stroke. (2,11) Pemeriksaan ultrasonografi atau doppler yang merupakan prosedur non invasif, sangat membantu dalam mendiagnosa sumbatan arteri karotis. (2,3,11) Pemeriksaan Elektrokardiografi (EKG) dapat membantu menentukan apakah terdapat disritmia, yang dapat menyebabkan stroke, dimana ditemukannya inversi gelombang T, depresi ST, dan kenaikan serta perpanjangan QT. (2,3,4,5,11) DEFISIT NEUROLOGI PADA STROKE DAN MANIFESTASI KLINIS (4,5,6,8,9,11) Defisit Neurologik Defisit Lapang Penglihatan Manifestasi Klinik Tidak menyadari orang atau objek. Mengabaikan salah satu sisi tubuh Kesulitan menilai jarak Kesulitan melihat pada malam hari

Homonimus hemianopsia (kehilangan setengah lapang penglihatan) Kehilangan penglihatan perifer Diplopia

Defisit Motorik Hemiparesis atau hemiplegia

Penglihatan ganda

Kelemahan

atau

paralisis

wajah,

lengan dan kaki pada sisi yang sama Ataksia (karena lesi pada hemisfer yang

berlawanan) Disartria Disfagia Defisit Sensori Parestesia (terjadi pada sisi berlawanan dari lesi) Defisit Verbal Afasia ekspresif Kebas dan kesemutan pada bagian tubuh Afasia reseptif Kesulitan dalam propriosepsi Berjalan tidak mantap, tegak Tidak mampu menyatukan kaki. Kesulitan dalam membentuk kata Kesulitan dalam menelan

Afasia global

Tidak mampu membentuk kata yang dapat dipahami.

Defisit Kognitif

Tidak mampu memahami kata yang dibicarakan

Defisit Emosional

Kombinasi baik afasia ekspresif dan reseptif

Kehilangan memori jangka pendek

dan

panjang,

kurang

mampu

berkonsentrasi. Labilitas emosional Penurunan toleransi pada situasi yang menimbulkan stress, depresi Menarik diri, perasaan isolasi

Rasa takut, bermusuhan dan marah PERBANDINGAN STROKE HEMISFER KIRI DAN KANAN (4,5,6,8,9,11) Stroke hemisfer kiri Paralisis pada tubuh kanan Defek lapang pandang kanan Afasia (ekspresif, reseptif atau global) Perubahan kemampuan intelektual Perilaku lambat dan kewaspadaan Stroke hemisfer kanan Paralisis pada sisi kiri tubuh Defek lapang pandang kiri Defisit persepsi-khusus Peningkatan distraktibilitas Perilaku impulsif dan penilaian buruk

KOMPLIKASI 1. Hipoksia serebral Fungsi otak tergantung pada ketersediaan oksigen yang dikirim ke jaringan. Pemberian oksigen suplemen dan mempertahankan hemoglobin serta hematokrit pada tingkat dapat diterima akan membantu dalam mempertahankan oksigenasi jaringan. (2,4,5,9) 2. Aliran darah serebral Bergantung pada tekanan darah, curah jantung dan integritas pembuluh darah serebral. Hidrasi adekuat (cairan intravena) harus menjamin penurunan viskositas

darah dan memperbaiki aliran darah serebral, hipertensi atau hipotensi eksterm perlu dihindari untuk mencegah perubahan pada aliran darah serebral dan potensi meluasnya area cedera. (2,4,5,7,8) PENGOBATAN Penggunaan vasodilator dapat menimbulkan pengaruh yang merugikan aliran darah otak dengan menurunkan tekanan darah sistemik dan menurunkan aliran darah anastomosis intra serebral. (3) Antikoagulasi dapat diberikan melalui intavena dan oral, namun pemberiannya harus dipantau secara terus menerus untuk mencegah overdosis obat sehingga mengakibatkan meningkatnya resiko perdarahan intra serebral. (4,5) Jika klien mengalami sakit kepala dan nyeri pada leher biasanya diberikan obat analgesic ringan, sejenis codein dan acetaminophen. Sering dihindari pemberian obat narkotik yang kuat, karena dapat menenangkan klien dan menyebabkan pengkajian tidak akurat. (4,5) Jika klien mengalami kejang, berikan obat phenytoin (dilantin) atau

phenobarbaital. Hindari pemberian obat jenis barbiturate dan sedative lainnya. Jika klien demam berikan obat antipiretik. (4,5) DIET Klien dengan gangguan serebrovaskular beresiko tinggi terhadap aspirasi, sumbatan jalan nafas dan muntah, sehingga tidak diberikan makanan melalui oral pada 24-48 jam pertama. (4,5,7) Jika klien tidak dapat makan atau minum setelah 48 jam, maka alternative pemberian makanan dengan menggunakan selang makanan. (4,5)

ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN DENGAN STROKE A. 1. PENGKAJIAN KLIEN Aktifitas atau istirahat Gejala : Kesulitan untuk melakukan aktivitas karena kelemahan, paralisis (hemiplegia), mudah lelah, susah untuk beristirahat (nyeri/kejang otot). Tanda: Gangguan tonus otot (flaksid, spastis), paralitik dan terjadi kelemahan umum. Gangguan penglihatan dan gangguan tingkat kesadaran. (10,11,12) 2. Sirkulasi Gejala : Adanya penyakit jantung, polisitemia, riwayat hipotensi postural. Tanda: Hipertensi arterial sehubungan dengan adanya embolisme, Nadi dengan frekwensi yang bervariasi, disritmia, perubahan EKG. (10,11,12) 3. Integritas ego dan interaksi sosial Gejala : Perasaan tidak berdaya, putus asa, tidak mampu untuk berkomunikasi Tanda: Emosi labil, sedih dan gembira, kesulitan untuk mengekspresikan diri. (11) 4. Eliminasi Gejala : Inkontinensia urin, anuria, bising usus negatif (ileus paralitik). (10,11,12) 5. Makanan dan cairan Gejala : Nafsu makan hilang, mual dan muntah selama fase akut, kehilangan sensasi pada lidah, pipi dan tenggorokan, disfagia. (10,11,12) 6. Neurosensori, nyeri dan kenyamanan Gejala : Sakit kepala, pusing, kelemahan, kelumpuhan, gangguan penglihatan, gangguan pengecapan dan penciuman. Tanda: Tingkat kesadaran menurun, gangguan fungsi kognitif, paralisis, afasia. (10,11)

7.

Pernafasan Gejala : Merokok (faktor resiko). Tanda: Ketidak mampuan menelan, sumbatan jalan nafas, ronkhi (aspirasi sekret)

8.

Keamanan Tanda: Kesulitan untuk melihat objek, tidak mampu untuk mengenal objek, warna, kata dan wajah yang pernah dikenalnya dengan baik, gangguan regulasi suhu tubuh, kurang kesadaran diri dan kesulitan menelan. (10,11,12)

B.

PRIORITAS KEPERAWATAN (10,11,12) 1. Meningkatkan perfusi dan oksigenasi serebral yang adekuat 2. Mencegah atau meminimalkan komplikasi. 3. Memandirikan klien dalam melakukan aktivitas sehari-hari. 4. Memberikan dukungan terhadap proses koping. 5. Memberikan informasi tentang proses penyakit dan tindakan atau rehabilitasi.

C.

DIAGNOSA KEPERAWATAN (10,11,12) 1. Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan gangguan oklusi, hemoragi, edema serebral. Kriteria evaluasi: Tingkat kesadaran, fungsi kognitif, motorik atau sensorik membaik, tanda-tanda vital stabil, tidak ada peningkatan tekanan intra kranial. Intervensi atau tindakan. a. Pantau dan catat status neurologis sesering mungkin dan bandingkan dengan keadaan normal atau standar. Rasional: Mengetahui tingkat kesadaran dan potensial peningkatan tekanan intrakranial dan mengetahui luas dan lokasi kerusakan susunan saraf pusat.

b.

Pantau tanda-tanda vital dan catat adanya hipertensi atau hipotensi, auskultasi adanya mur-mur, hiperventilasi, cheyne-stokes. Rasional: Hipotensi dapat terjadi karena syok, bradikardi terjadi karena adanya kerusakan otak, nafas yang tidak teratur merupakan gambaran dari peningkatan tekanan intrakranial (karena edema).

c.

Catat ukuran pupil, reaksi terhadap cahaya Rasional: Reaksi pupil diatur oleh saraf kranial okulomotor dan berguna untuk menentukan apakah batang otak tersebut masih baik.

d.

Catat perubahan penglihatan (kebutaan, gangguan lapang pandang). Rasional: gangguan penglihatan yang spesifik mencerminkan daerah otak yang terkena.

e.

Kaji fungsi bicara jika pasien sadar. Rasional: perubahan dalam isi kognotif dan bicara merupakan indikator dari lokasi atau derajat gangguan serebral.

f.

Letakkan kepala dengan anatomis.

posisi agak ditinggikan dan dalam posisi

Rasional: Menurunkan tekanan arteri dengan meningkatkan drainase dan meningkatkan sirkulasi atau perfusi serebral. g. Pertahankan tirah baring (istirahat), batasi pengunjung, Rasional: Stimulasi yang kontinyu dapat meningkatkan tekanan intra kranial. h. Hindari terjadinya mengedan saat defekasi dan batuk terus-menerus. Rasional: Valsava manuver dapat meningkatkan tekanan intrakranial.

i.

Kolaborasi: berikan oksigen sesuai indikasi, obat sesuai indikasi (antikoagulasi, antifibrolitik, antihipertensi, vesodilatasi perifer, steroid, fenitoin, pelunak feses), persiapan untuk pembedahan, pemeriksaan laboratorium. Rasional: Pemberian oksigen berfungsi untuk menurunkan hipoksia, antikoagulasi untuk meningkatkan aliran darah serebral, antifibrolitik digunakan secara hati-hati pada kasus perdarahan untuk mencegah lisis, hipertensi kronis memerlukan penanganan yang hati-hati agar tidak terjadi perluasan kerusakan jaringan, Vasodilatasi perifer untuk memperbaiki sirkulasi kolateral, fenitoin digunakan untuk mengontrol kejang, pelunak feses untuk mencegah klien mengedan selama proses defekasi, pemeriksaan laboratorium untuk memberikan informasi tentang keefektifan pengobatan.

2. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kelemahan, paralisis hipotonik, paralisis spastis. Kriteria evaluasi: Tidak terdapat kontraktur, footdrop, integritas kulit elastis. Intervensi atau tindakan. a. Ubah posisi minimal tiap 2 jam . Rasional: Meminimalkan terjadinya iskemis jaringan. b. Lakukan latihan rentang gerak aktif dan pasif pada semua ekstremitas. Rasional: Meminimalkan atrofi otot, meningkatkan sirkulasi dan membantu mencegah kontraktur.

c.

Sokong ekstremitas dalam posisi fungsional (gunakan papan kaki), gunakan penyangga lengan saat klien dalam posisi tegak (sesuai indikasi), evaluasi penggunaan alat bantu untuk pengaturan posisi. Rasional: mencegah kontraktur atau footdrop, penggunaan penyangga dapat menurunkan risiko terjadinya subluksasio lengan.

d.

Tinggikan tangan dan kepala, berikan hand roll keras pada telapak tangan. Rasional: meningkatkan aliran balik vena, mencegah terbentuknya edema.

e.

Anjurkan klien keluarga untuk berpartisipasi pada latihan rentang gerak dan merubah posisi. Rasional: meningkatkan harapan pada perkembangan dan kemandirian

f.

Kolaborasi: Berikan tempat tidur khusus sesuai indikasi, konsultasikan latihan resistif dengan ahli fisioterapi. Berikan obat relaksan otot, anti sepasmodik sesuai indikasi. Rasional: tempat tidur khusus membantu meningkatkan sirkulasi dan menurunkan terjadinya vena statis, latihan resistif membantu menjaga

keseimbangan dan koordinasi, obat anti spasmodik diperlukan untuk spastisitas pada ekstremitas yang terganggu. 3. Kerusakan komunikasi verbal berhubungan dengan kerusakan sirkulasi serebral. Kriteria evaluasi: masalah komunikasi klien dapat diatasi. Intervensi atau tindakan. a. Kaji tipe atau derajat disfungsi, bedakan antara afasia dengan disartria, perhatikan kesalahan dalam komunikasi dan berikan umpan balik, tunjukkan

objek dan minta klien untuk menyebutkan nama benda tersebut, anjurkan klien untuk mengucapkan kata sederhana seperti Sh atau Pus. Rasional: membantu menentukan daerah dan derajat kerusakan serebral yang terjadi dan kesulitan pada proses komunikasi, umpan balik membantu klien mengklarifikasi makna yang terkandung dalam ucapannya. b. Minta klien untuk menulis nama atau kalimat yang pendek , jika tidak dapat menulis anjurkan untuk membaca kalimat yang pendek. Rasional: Menilai kemampuan menulis (agrafia) dan membaca (aleksia). c. Berikan tanda pada tempat tidur klien tentang adanya gangguan bicara atau berikan bel khusus bila perlu. Rasional: menghilangkan kecemasan klien sehubungan dengan

ketidakmampuannya untuk berkomunikasi. d. Bicaralah pada klien dengan perlahan dan tenang, gunakan pertanyaan terbuka dengan jawaban ya atau tidak. Rasional: Menurunkan kebingungan selama proses komunikasi. e. Anjurkan keluarga atau pengunjung mempertahankan komunikasi dengan klien, hindari pembicaraan yang merendahkan klien. Rasional: Mengurangi isolasi klien dan menciptaka komunikasi yang efektif. f. Kolaborasi: konsultasi atau rujuk pada ahli terapi wicara. Rasional: pengkajian kemampuan bicara, sensorik, motorik dan kognitif berfungsi untuk mengidentifikasi kebutuhan terapi. DAFTAR RUJUKAN

1.

Carpenito, L.J, (1999): Rencana Asuhan dan Dokumentasi Keperawatan: Diagnosa Keperawatan dan Masalah Kolaboratif. Edisi 2, EGC, Jakarta, hal: 234246.

2.

Brunner and Suddarth, (2001): Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Edisi 8, Volume 3, EGC, Jakarta, hal: 2131-2133, 2135-2137.

3.

Prince, S.A and Wilson, L.M, (1995): Patofisiologi; Konsep Klinis Prosesproses Penyakit. Edisi 4, Buku II, EGC, Jakarta, P:966-970.

4.

Luckmann

and

Sorensens,

(1993):

Medical-Surgical

Nursing

Psychophysiologic Approach, 4th ed, W.B. Saunders Company, Philadelphia, Pennsylvania, P:706-711, 312-327, 714-723. 5. Luckmanns, (1996): Core Principles and Practice of Medical-Surgical Nursing, 1st ed, W.B. Saunders Company, Philadelphia, Pennsylvania, P:312-327. 6. Hudak and Gallo, (1996): Keperawatan Kritis; Pendekatan Holistik, Edisi VI, Volume II, EGC, Jakarta, hal: 252-267. 7. Ignativicius,D.D, (1991): Medical-Surgical Nursing a Nursing Process Approach, W.B. Saunders Company, Phyladelphia, P: 876-881. 8. LeMone,P. and Burke,K.M, (1996): Medical-Surgical Nursing; Critical Thinking in Client Care, Addison-WesleyNursing. A Division of the

Benjamin/Cummings Publishing Company,Inc,P: 1725-1727. 9. Nettina, S.M, (1996): The Lippincott Manual of Nursing Practice, 6th ed, Lippincott, New York, P: 378-380.

10.

Doenges, M.E., Moorhouse, M.F. and Geissler, A.C, (1993): Nursing Care Plans; Guidelines for Planning and Documenting patient Care. 3th ed, F.A. davis Company. Phyladelpia, P; 290-306.

11.

Doenges, M.E., Moorhouse, M.F. and Geissler, A.C, (1999): Rencana Asuhan Keperawatan; pedoman untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Edisi 3, EGC, Jakarta, P: 290-299.

12.

Doenges, M.E., Moorhouse, M.F. and Geissler, A.C, (2001): Rencana Asuhan Keperawatan; pedoman untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Edisi 3, EGC, Jakarta, P: 290-299.

You might also like