You are on page 1of 6

PERILAKU PROSOSIAL

TERHADAP PENGEMIS JALANAN


Oleh : Joko Setiawan*

Pada dasarnya, setiap orang memiliki perasaan untuk menolong. Perilaku untuk
menolong ini biasa disebut dengan perilaku prosial. William (1981)
mengungkapkan bahwa Perilaku Prososial adalah tingkah laku seseorang yang
bermaksud merubah keadaan psikis atau fisik penerima sedemikian rupa,
sehingga si penolong akan merasa bahwa si penerima menjadi lebih sejahtera
atau puas secara material ataupun psikologis. Dilanjutkan lagi menurut Baron &
Byrne (2005) Perilaku Prososial adalah suatu tindakan menolong yang
menguntungkan orang lain tanpa harus menyediakan suatu keuntungan langsung
pada orang yang melakukan tindakan tersebut, dan bahkan mungkin melibatkan
suatu resiko bagi orang yang menolong. Nah, ternyata perilaku prososial tersebut
telah biasa kita lakukan dalam kehidupan sehari-hari, contohnya saat kita
memberikan uang recehan ataupun ribuan kepada pengemis-pengemis yang
berada di jalanan. Baik saat di dalam angkot, naik sepeda motor , maupun sedang
naik mobil kendaraan pribadi, contohnya jika ada seorang pengemis yang
menggendong anaknya yang masih bayi, akan terasa perasaan iba untuk bisa
memberikan bantuan meskipun hanya memberikan uang recehan saja.

Orang melakukan tindakan prososial dapat dipengaruhi oleh berbagai macam


faktor. Menurut para ahli, faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku prososial
antara lain :

Menurut Staub (Dayakisni & Hudaniah, 2006) terdapat beberapa faktor yang
mendasari seseorang untuk bertindak prososial, yaitu:

a. Self-gain: harapan seseorang untuk memperoleh atau menghindari kehilangan


sesuatu, misalnya ingin mendapatkan pengakuan, pujian atau takut dikucilkan.

1
b. Personal values and norms: adanya nilai-nilai dan norma sosial yang
diinternalisasikan oleh individu selama mengalami sosialisasi dan sebagian nilai-
nilai serta norma tersebut berkaitan dengan tindakan prososial, seperti
berkewajiban menegakkan kebenaran dan keadilan serta adanya norma timbal
balik.

c. Empathy: kemampuan seseorang untuk ikut merasakan perasaan atau


pengalaman orang lain.

Sedangkan menurut Faturochman (2006) faktor-faktor yang mempengaruhi


pemberian pertolongan adalah:

a. Situasi sosial. Adanya korelasi negatif antara pemberian pertolongan dengan


jumlah pemerhati, makin banyak orang yang melihat suatu kejadian yang
memerlukan pertolongan makin kecil munculnya dorongan untuk menolong.

b. Biaya menolong. Dengan keputusan memberi pertolongan berarti akan ada


cost tertentu yang harus dikeluarkan untuk menolong. Pengeluaran untuk
menolong bisa berupa materi (biaya, barang), tetapi yang lebih sering adalah
pengeluaran psikologis (memberi perhatian, ikut sedih dan lainnya).

c. Karakteristik orang-orang yang terlibat. Kesamaan antara penolong dengan


korban. Makin banyak kesamaan antara kedua belah pihak, makin besar peluang
untuk munculnya pemberian pertolongan. Ada kecenderungan orang lebih senang
memberi pertolongan pada orang yang disukai. Di samping hubungan yang tidak
langsung tersebut, ada kecenderungan bahwa orang lebih suka memberi
pertolongan pada orang yang memiliki daya tarik tinggi karena ada tujuan tertentu
di balik pemberian pertolongan tersebut.

d. Mediator internal. Mood. Ada kecenderungan bahwa orang yang baru melihat
kesedihan lebih sedikit memberi bantuan daripada orang yang habis melihat hal-

2
hal yang menyenangkan. Penelitian yang dilakukan Myers (Faturochman, 2006)
menunjukkan adanya pengaruh mood terhadap perilaku membantu. Hal itu sesuai
dengan penjelasan Forgas maupun Isen & Baron (Baron & Byrne, 2003),
disebabkan adanya hubungan yang saling mempengaruhi antara afek (suasana hati
kita saat ini) dan kognisi (cara kita memproses, menyimpan, mengingat, dan
menggunakan informasi sosial).

Empati. Ada hubungan antara besarnya empati dengan kecenderungan menolong.


Hubungan antara empati dengan perilaku menolong secara konsisten ditemukan
pada semua kelompok umur.

Arousal. Ketika melihat suatu kejadian yang membutuhkan pertolongan orang


dihadapkan pada dilema menolong atau tidak menolong. Salah satu pertimbangan
yang menjadi pertimbangan untuk menolong atau tidak menolong adalah biaya
untuk menolong dibanding biaya tidak menolong. Pertimbangan ini meliputi
situasi saat terjadinya peristiwa, karakteristik orang-orang yang ada di sekitar,
karakteristik korban, dan kedekatan hubungan antar korban dengan penolong.

e. Latar belakang kepribadian. Individu yang mempunyai orientasi sosial yang


tinggi cenderung lebih mudah memberi pertolongan, demikian juga orang yang
memiliki tanggung jawab sosial tinggi.

Dari paparan di atas, terlihat jelas bahwa perilaku prososial itu banyak
dipengaruhi oleh berbagai macam hal, begitu pula kaitannya dengan pemberian
uang recehan (sedekah) pada pengemis. Sebagai penjelasan, Menurut Staub
(Dayakisni & Hudaniah, 2006) ada tiga indikator yang menjadi tindakan
prososial, yaitu:

a. Tindakan itu berakhir pada dirinya dan tidak menuntut keuntungan pada
pihak pelaku.

b. Tindakan itu dilahirkan secara sukarela.

3
c. Tindakan itu menghasilkan kebaikan.

Pemberian uang sedekah kepada pengemis itu merupakan tindakan yang


dilahirkan secara sukarela(poin b). Jadi tidak ada perasaan untuk mengambil
keuntungan dari penerima bantuan, hanya merasakan iba dan perasaan kasihan
kemudian diwujudkan dengan pemberian sedekah.

Lalu sebenarnya apa alasan seseorang melakukan tindakan prososial itu. Hal ini
dapat diungkapkan alasannya oleh Batson, dia menyatakan setidaknya ada empat
motif dalam perilaku menolong (Hogg dan Vaughan, 2002):
1. Egoisme. Tindakan prososial memberikan sumbangan bagi kesejahteraan si
pelaku. Seseorang membantu orang lain kemungkinan untuk mendapatkan
imbalan materi sosial ataupun untuk kepentingan diri pribadi; dan untuk
menghindari kerugian materi sosial maupun diri pribadi. Dalam hal ini seorang
kader kesehatan akan menolong seseorang dengan motivasi untuk mendapatkan
materi. Contoh : dokter dalam mengobati pasiennya.
2. Altruisme. Tindakan prososial memberikan sumbangan bagi kesejahteraan
orang lain. Melakukan perilaku altruis tidak dengan maksud mendapatkan
balasan. Motivasi prososial jenis ini berkaitan dengan harga diri yang tinggi. Hal
ini tentu berkaitan dengan tanggung jawab sosial seorang kader kesehatan
terhadap kesembuhan pasien yang ditanganinya.
3. Kolektivisme. Tindakan prososial memberikan sumbangan bagi kesejahteraan
kelompok sosial; misalnya keluarga, kelompok etnis, maupun negara. Namun
demikian, tindakan yang menguntungkan ingroup mungkin akan merugikan
oiitgroutp. Motivasi ini memberikan efek bagi seorang tenaga kesehatan yang
memiliki tanggung jawab dalam pemenuhan kebetuhan kelompok sosialnya.
Sebagai contoh, seorang dokter yang menolong pasiennya untuk memperoleh
materi guna memberikan nafkah bagi kelompok sosialnya (keluarga).
4. Prinsipalisme. Tindakan prososial mengikuti prinsip moral seorang tenaga
kesehatan itu sendiri. Walaupun korelasi antara penalaran moral dengan perilaku
prososial tidak cukup kuat, namun hasil penelitian ccnderung mcndukung
pandangan bahwa kedua proses ini setidaknya berkorelasi.

4
Berbagai macam alasan dan faktor telah disampaikana pada pemaparan di atas,
jadi memang tidak mengherankan jika orang dengan begitu mudahnya
memberikan sumbangan kepada pengemis, apalagi pengemis dengan penampilan
lusuh, tidak terawat atau bahkan pengemis yang masih anak-anak di bawah umur
5 tahun. Sebagai orang normal memang kita pasti akan mengalaminya semua.
Namun, dalam pandangan pekerja sosial, memberikan uang sedekah kepada
pengemis adalah sama saja dengan melakukan pembodohan terhadap mereka. Itu
sama juga dengan menanamkan bibit kemalasan terhadap mereka. Boleh-boleh
saja satu atau dua kali member, namun efeknya mereka akan terus melakukannya
dan berulang-ulang. Hal ini disebabkan banyaknya para pengguna jalan dan tentu
saja dengan mudahnya mereka memperoleh uang(pendapatan) dari sana. Kejadian
ini merupakan hal yang kontras dengan seorang Ibu-ibu yang menjual jamu
gendong hingga berjalan puluhan kilometer demi mendapatkan uang 20 ribu, atau
seorang bapak-bapak yang bekerja keras menjadi kuli di terik panas sinar
matahari.
Jika seseorang menginginkan penghasilan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya,
tentu saja ia harus dengan bekerja, tidak dengan meminta-minta. Allah
memberikan kesehatan jasmani dan rohani serta memberikan bekal akal kepada
manusia adalah supaya manusia berfikir untuk bisa maju dan hidup sejahtera.
Berbagai macam upaya telah dilakukan oleh DEPSOS RI maupun lembaga-
lembaga sosial lainnya untuk meluruskan perilaku prososial tersebut ke arah yang
lebih baik. Daripada memberikan uang langsung kepada pengemisnya, lebih baik
disumbangkan kepada LSM-LSM yang terkait guna dioptimalkan dana tersebut
untuk mengangkat pengemis tersebut dari jalanan dan melakukan fungsi sosialnya
kembali secara normal.
Akhirnya, perilaku prososial terhadap pengemis ini dapat dipahami sebagai hal
yang lumrah dan wajar, dan akan dialami oleh setiap orang. Namun, alangkah
baiknya jika kita semua menyadari perilaku prososial yang mengarah kepada
kebajikan dan perilaku prososial yang malah mengarah kepada pembodohan.
Demikian ulasan mengenai perilaku prososial ini semoga dapat memberikan

5
manfaat dan harapannya setelah diterbitkannya tulisan ini, akan semakin
meningkat kesadaran akan pentingnya selektif terhadap pengemis. Karena bisa
saja, seorang yang mengaku pengemis, padahal dirinya masih memiliki fisik yang
kuat untuk bekerja, tentu saja hal ini sudah jelas dia mengemis karena malas,
bukan karena tidak mampu bekerja.

You might also like