You are on page 1of 22

Sistemik Lupus Eritematosus

BAB I PENDAHULUAN Lupus eritematosus sistemik atau lebih dikenal dengan nama systemic lupus erythematosus (SLE) merupakan penyakit kronik inflamatif autoimun yang belum diketahui etiologinya dengan manifestasi klinis beragam serta berbagai perjalanan klinis dan prognosisnya. Penyakit ini ditandai oleh adanya periode remisi dan episode serangan akut dengan gambaran klinis yang beragam berkaitan dengan berbagai organ yang terlibat. SLE merupakan penyakit yang kompleks dan terutama menyerang wanita usia reproduksi. Faktor genetik, imunologik, dan hormonal serta lingkungan berperan dalam proses patofisiologi. Prevalensi SLE di Amerika adalah 1:1000 dengan rasio wanita : laki-laki antara 9-14 : 1. Data tahun 2002 di RSUP Cipto Mangunkusumo Jakarta, didapatkan 1,4% kasus SLE dari total kunjungan pasien poliklinik Reumatologi. Belum terdapat data epidemiologi yang mencakup semua wilayah Indonesia, namun insidensi SLE dilaporkan cukup tinggi di Palembang. Survival rate SLE berkisar antara 85% dalam 10 tahun pertama dan 65% setelah 20 tahun menderita SLE. Mortalitas akibat penyakit SLE ini 3 kali lebih tinggi dibandingkan populasi umum. Pada tahun-tahun pertama mortalitas SLE berkaitan dengan aktivitas penyakit dan infeksi, sedangkan dalam jangka panjang berkaitan dengan penyakit vascular aterosklerotik.

Sistemik Lupus Eritematosus


BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian SLE (Systemic Lupus erythematosus) adalah penyakit autoimun dimana organ dan sel mengalami kerusakan yang disebabkan oleh tissuebinding autoantibody dan kompleks imun, yang menimbulkan peradangan dan bisa menyerang berbagai sistem organ namun sebabnya belum diketahui secara pasti, dengan perjalanan penyakit yang mungkin akut dan fulminan atau kronik, terdapat remisi dan eksaserbasi disertai berbagai macam autoantibody dalam tubuh. Pada setiap penderita, peradangan akan mengenai jaringan dan organ yang berbeda. Beratnya penyakit bervariasi mulai dari penyakit yang ringan sampai penyakit yang menimbulkan kecacatan, tergantung dari jumlah dan jenis antibodi yang muncul dan organ yang terkena. Semula SLE digambarkan sebagai suatu gangguan kulit, pada sekitar tahun 1800-an, dan diberi nama lupus karena sifat ruamnya yang berbentuk kupu-kupu, melintasi tonjolan hidung dan meluas pada kedua pipi yang menyerupai gigitan serigala (lupus adalah kata dalam bahasa Latin yang berarti serigala). Lupus diskoid adalah nama yang sekarang diberikan pada penyakit ini apabila kelainannya hanya terbatas pada gangguan kulit. SLE adalah salah satu kelompok penyakit jaringan ikat difus yang etiologinya tidak diketahui. Kelompok ini meliputi SLE, skleroderma, polimiositis, artritis reumatoid, dan sindrom Sjogren. Gangguan-gangguan ini seringkali memiliki gejala yang saling tumpang tindih satu dengan lainnya dan dapat tampil secara bersamaan, sehingga diagnosis menjadi semakin sulit untuk ditegakkan secara akurat. oleh terdapatnya

Sistemik Lupus Eritematosus


2.2. Epidemiologi Dalam 30 tahun terakhir, SLE telah menjadi salah satu penyakit reumatik utama di dunia. Prevalensi SLE di berbagai negara sangat bervariasi. Prevalensi pada berbagai populasi yang berbeda-beda bervariasi antara 2,9/100.000 - 400/100.000. SLE lebih sering ditemukan pada ras tertentu seperti bangsa negro, Cina dan mungkin juga Filipina. Faktor ekonomi dan geografik tidak mempengaruhi distribusi penyakit. Penyakit ini dapat ditemukan pada semua usia, tetapi paling banyak pada usia 15-40 tahun (masa reproduksi). Frekuensi pada wanita dibandingkan dengan frekuensi pada pria berkisar antara (5,5-9) : 1. Beberapa data yang ada di Indonesia diperoleh dari pasien yang dirawat di rumah sakit. Dari 3 peneliti di Departemen Ilmu Penyakit dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia / RS. Dr. Cipto Mangunkusumo, yang melakukan penelitian pada periode yang berbeda diperoleh data sebagai berikut : 1969-1970 ditemukan 5 kasus SLE (Ismail Ali); 1972-1976 ditemukan 1 kasus SLE dari setiap 666 kasus yang dirawat; 1988-1990 insidensi rata-rata ialah sebesar 37,7 per 10.000 perawatan.1 Insidensi di Yogyakarta antara tahun 1983-1986 ialah 10,1 per 10.000 perawatan (Purwanto, dkk). Di medan antara tahun 1984-1986 didapatkan insidensi sebesar 1,4 per 10.000 perawatan (Tarigan). 2.3. Etiologi Penyakit SLE terjadi akibat terganggunya regulasi kekebalan yang menyebabkan peningkatan autoantibody yang berlebihan. Gangguan imunoregulasi ini ditimbulkan oleh kombinasi antara faktor-faktor genetik, hormonal (sebagaimana terbukti oleh awitan penyakit yang biasanya terjadi selama usia termal). Sistem imun tubuh kehilangan kemampuan untuk membedakan antigen dari sel dan jaringan tubuh sendiri. Penyimpangan reaksi imunologi ini akan menghasilkan antibodi secara terus menerus. Antibody ini juga reproduktif) dan lingkungan (cahaya matahari, luka bakar

Sistemik Lupus Eritematosus


berperan dalam pembentukan kompleks imun sehingga mencetuskan penyakit inflamasi imun sistemik dengan kerusakan multiorgan. Dalam keadaan normal, sistem kekebalan berfungsi mengendalikan pertahanan tubuh dalam melawan infeksi. Pada lupus dan penyakit autoimun lainnya, sistem pertahanan tubuh ini berbalik melawan tubuh, dimana antibodi yang dihasilkan menyerang sel tubuhnya sendiri. Antibodi ini menyerang sel darah, organ dan jaringan tubuh, sehingga terjadi penyakit menahun. Faktor genetik memegang peranan penting dalam kerentanan serta ekspresi penyakit. Sekita 10-20% pasien SLE mempunyai kerabat dekat (first degree relative) yang juga menderita SLE. Angka terdapatnya SLE pada saudara kembar identik pasien SLE (24-69%) lebih tinggi daripada saudara kembar non identik (2-9%). Penelitian-penelitian terakhir menunjukkan bahwa banyak gen yang berperan, terutama gen yang mengkode unsur-unsur sistem imun. Kaitan dengan haplotip MHC tertentu, terutama HLA-DR2 dan HLA-DR3, serta dengan komponen komplemen yang berperan pada fase awal reaksi ikatan komplemen (yaitu C1q, C1r, C1s, C4, dan C2) telah terbukti. Gengen lain yang mulai terlihat ikut berperan ialah gen yang mengkode reseptor sel T, imunoglobulin dan sitokin. Faktor Resiko terjadinya SLE : 1. Faktor Genetik Jenis kelamin, frekuensi pada wanita dewasa 8 kali lebih sering daripada pria dewasa Umur, biasanya lebih sering terjadi pada akhir masa remaja atau awal masa dewasa Etnik, Faktor keturunan, dengan Frekuensi 20 kali lebih sering dalam keluarga yang terdapat anggota dengan penyakit tersebut 2. Faktor Resiko Hormon Hormon estrogen dan hormon prolaktin menambah resiko SLE sedangkan androgen mengurangi resiko ini.

Sistemik Lupus Eritematosus


3. Sinar UV Sinar Ultra violet mengurangi supresi imun sehingga terapi menjadi kurang efektif, sehingga SLE kambuh atau bertambah berat. Ini disebabkan sel kulit mengeluarkan sitokin dan prostaglandin sehingga terjadi inflamasi di tempat tersebut maupun secara sistemik melalui peredaran pebuluh darah. 4. Imunitas Pada pasien SLE, terdapat hiperaktivitas sel B atau intoleransi terhadap sel T. 5. Obat Obat tertentu dalam presentase kecil sekali pada pasien tertentu dan diminum dalam jangka waktu tertentu dapat mencetuskan lupus obat (Drug Induced Lupus Erythematosus atau DILE). Jenis obat yang dapat menyebabkan Lupus Obat adalah : Obat yang pasti menyebabkan Lupus obat : Kloropromazin, metildopa, hidralasin, prokainamid, dan isoniazid Obat yang mungkin menyebabkan Lupus obat : dilantin, penisilamin, dan kuinidin 6. Infeksi Pasien SLE cenderung mudah mendapat infeksi dan kadang-kadang penyakit ini kambuh setelah infeksi. 7. Stres Stres berat dapat mencetuskan SLE pada pasien yang sudah memiliki kecenderungan akan penyakit ini. 2.4. Patogenesis Adanya satu atau beberapa faktor pemicu yang tepat pada individu yang mempunyai predisposisi genetik akan menghasilkan tenaga pendorong abnormal terhadap sel T CD4+, mengakibatkan hilangnya toleransi sel T terhadap self antigen. Sebagai akibatnya muncullah sel T autoreaktif yang akan menyebabkan Hubungannya belum jelas : garam emas, beberapa jenis antibiotic dan griseofulvin

Sistemik Lupus Eritematosus


induksi serta ekspansi sel B, baik yang memproduksi autoantibodi maupun yang berupa sel memori. Wujud pemicu ini masih belum jelas. Sebagian dari yang diduga termasuk di dalamnya ialah hormon seks, sinar ultraviolet dan berbagai macam infeksi. Pada SLE, autoantibodi yang terbentuk ditujukan terhadap antigen yang terutama terletak pada nukleoplasma. Antigen sasaran ini meliputi DNA, protein histon dan non histon. Kebanyakan di antaranya dalam keadaan alamiah terdapat dalam bentuk agregat protein dan atau kompleks protein-RNA yang disebut partikel ribonukleoprotein (RNA). Ciri khas autoantigen ini ialah mereka tidak tissue-specific dan merupakan komponen integral semua jenis sel. Antibodi ini secara bersama-sama disebut ANA (anti nuclear antibody). Dengan antigennya yang spesifik, ANA membentuk kompleks imun yang beredar dalam sirkulasi. Telah ditunjukkan bahwa penanganan kompleks imun pada SLE terganggu. Dapat berupa gangguan klirens kompleks imun besar yang larut, gangguan pemrosesan kompleks imun dalam hati, dan penurunan uptake kompleks imun pada limpa. Gangguan-gangguan ini memungkinkan terbentuknya deposit kompleks imun diluar sistem fagosit mononuklear. Kompleks imun ini akan mengendap pada berbagai macam organ dengan akibat terjadinya fiksasi komplemen pada organ tersebut. Peristiwa ini menyebabkan aktivasi komplemen yang menghasilkan substansi penyebab timbulnya reaksi radang. Reaksi radang inilah yang menyebabkan timbulnya keluhan gejala pada organ atau tempat yang bersangkutan seperti ginjal, sendi, pleura, pleksus koroideus, kulit dan sebagainya. Bagian yang penting dalam patogenesis ini ialah terganggunya mekanisme regulasi yang dalam keadaan normal mencegah autoimunitas patologis pada individu yang resisten. 2.5. Gejala Gejala dari penyakit lupus: - demam - lelah - merasa tidak enak badan - penurunan berat badan

Sistemik Lupus Eritematosus


- ruam kulit - ruam kupu-kupu - ruam kulit yang diperburuk oleh sinar matahari - sensitif terhadap sinar matahari - pembengkakan dan nyeri persendian - pembengkakan kelenjar getah bening - nyeri otot - mual dan muntah - nyeri dada pleuritik - kejang - psikosa. Gejala lainnya yang mungkin ditemukan: - hematuria (air kemih mengandung darah) - batuk darah - mimisan - gangguan menelan - bercak kulit - bintik merah di kulit - perubahan warna jari tangan bila ditekan - mati rasa dan kesemutan - luka di mulut - kerontokan rambut - nyeri perut - gangguan penglihatan. 2.6. Manifestasi Klinis Jumlah dan jenis antibodi pada lupus, lebih besar dibandingkan dengan pada penyakit lain, dan antibodi ini (bersama dengan faktor lainnya yang tidak diketahui) menentukan gejala mana yang akan berkembang. Karena itu, gejala dan beratnya penyakit, bervariasi pada setiap penderita.

Sistemik Lupus Eritematosus


Perjalanan penyakit ini bervariasi, mulai dari penyakit yang ringan sampai penyakit yang berat. Gejala pada setiap penderita berlainan, serta ditandai oleh masa bebas gejala (remisi) dan masa kekambuhan (eksaserbasi). Pada awal penyakit, lupus hanya menyerang satu organ, tetapi di kemudian hari akan melibatkan organ lainnya. Otot dan kerangka tubuh Hampir semua penderita lupus mengalami nyeri persendian dan kebanyakan menderita artritis. Persendian yang sering terkena adalah persendian pada jari tangan, tangan, pergelangan tangan dan lutut. Kematian jaringan pada tulang panggul dan bahu sering merupakan penyebab dari nyeri di daerah tersebut. Kulit Pada 50% penderita ditemukan ruam kupu-kupu pada tulang pipi dan pangkal hidung. Ruam ini biasanya akan semakin memburuk jika terkena sinar matahari. Ruam yang lebih tersebar bisa timbul di bagian tubuh lain yang terpapar oleh sinar matahari. Manifestasi kulit yang lain berupa lesi discoid, erythema palmaris,periungual erythema, alopesia. Mucous membran lession cenderung muncul pada periode eksaserbasi pada 20% penderita juga didapatkan fenomena Raynaud. Ginjal Sebagian besar penderita menunjukkan adanya penimbunan protein di dalam sel-sel ginjal, tetapi hanya 50% yang menderita nefritis lupus (peradangan ginjal yang menetap). Pada akhirnya bisa terjadi gagal ginjal sehingga penderita perlu menjalani dialisa atau pencangkokkan ginjal. Sistem saraf Kelainan saraf ditemukan pada 25% penderita lupus. Yang paling sering ditemukan adalah disfungsi mental yang sifatnya ringan, tetapi kelainan bisa terjadi pada bagian manapun dari otak, korda spinalis maupun sistem saraf. Kejang, psikosa, sindroma otak organik dan sakit kepala merupakan beberapa kelainan sistem saraf yang bisa terjadi.

Sistemik Lupus Eritematosus


Darah Kelainan darah bisa ditemukan pada 85% penderita lupus. Bisa terbentuk bekuan darah di dalam vena maupun arteri, yang bisa menyebabkan stroke dan emboli paru. Jumlah trombosit berkurang dan tubuh membentuk antibodi yang melawan faktor pembekuan darah, yang bisa menyebabkan perdarahan yang berarti. Seringkali terjadi anemia akibat penyakit menahun. Jantung Peradangan berbagai bagian jantung bisa terjadi, seperti perikarditis, endokarditis maupun miokarditis. Nyeri dada dan aritmia bisa terjadi sebagai akibat dari keadaan tersebut. Paru-paru Pada lupus bisa terjadi pleuritis (peradangan selaput paru) dan efusi pleura (penimbunan cairan antara paru dan pembungkusnya). Akibat dari keadaan tersebut sering timbul nyeri dada dan sesak nafas.

Sistemik Lupus Eritematosus


2.7. Diagnosis Diagnosis mengacu pada kriteria yang dibuat oleh the American College of Rheumatology revisi tahun 1997. Interpretasi: Bila 4 kriteria atau lebih didapatkan, diagnosa SLE bisa ditegakkan dengan spesifitas 98% dan sensitivitas 97%. Sedangkan bila hanya 3 kriteria dan salah satunya ANA positif, maka sangat mungkin SLE dan diagnosa bergantung pada pengamatan klinis. Bila hasil tes ANA negatif, maka kemungkinan bukan SLE. Apabila hanya tes ANA positif dan gejala lain tidak ada, maka bukan SLE. : 1. Artritis, arthritis nonerosif pada dua atau lebih sendi perifer disertai rasa nyeri, bengkak, atau efusi dimana tulang di sekitar persendian tidak mengalami kerusakan 2. Tes ANA diatas titer normal = Jumlah ANA yang abnormal ditemukan dengan immunofluoroscence atau pemeriksaan serupa jika diketahui tidak ada pemberian obat yang dapat memicu ANA sebelumnya 3. Bercak Malar / Malar Rash (Butterfly rash) = Adanya eritema berbatas tegas, datar, atau berelevasi pada wilayah pipi sekitar hidung (wilayah malar) 4. Fotosensitif bercak reaksi sinar matahari = peka terhadap sinar UV / matahari, menyebabkan pembentukan atau semakin memburuknya ruam kulit 5. Bercak diskoid = Ruam pada kulit 6. Salah satu Kelainan darah; - anemia hemolitik, - Leukosit < 4000/mm, - Limfosit<1500/mm, - Trombosit <100.000/mm 7. Salah satu Kelainan Ginjal; - Proteinuria > 0,5 g / 24 jam,

10

Sistemik Lupus Eritematosus


- Sedimen seluler = adanya elemen abnormal dalam air kemih yang berasal dari sel darah merah/putih maupun sel tubulus ginjal 8. Salah satu Serositis : - Pleuritis, - Perikarditis 9. Salah satu kelainan Neurologis; - Konvulsi / kejang, - Psikosis 10. Ulser Mulut, Termasuk ulkus oral dan nasofaring yang dapat ditemukan 11. Salah satu Kelainan Imunologi - Sel LE+ - Anti dsDNA diatas titer normal - Anti Sm (Smith) diatas titer normal - Tes serologi sifilis positif palsu 2.8. Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan laboratorium dapat memberikan (1) penegakkan atau menyingkirkan suatu diagnosis; (2) untuk mengikuti perkembangan penyakit, terutama untuk menandai terjadinya suatu serangan atau sedang berkembang pada suatu organ; (3) untuk mengidentifikasi efek samping dari suatu pengobatan. 2.8.1. Pemeriksaan Autoantibodi Prevalensi, Antigen % 98 yang Clinical Utility Pemeriksaan skrining terbaik; negative Anti-dsDNA 70 DNA stranded) hasil berulang Dikenali Multiple nuclear Antibody Antinuclear antibodies (ANA)

menyingkirkan SLE (double- Jumlah yang tinggi spesifik untuk SLE dan pada beberapa pasien berhubungan dengan aktivitas 11

Sistemik Lupus Eritematosus


penyakit, Anti-Sm 25 nephritis,

dan vasculitis. Kompleks protein Spesifik untuk SLE; pada 6 jenis U1 tidak RNA klinis; ada korelasi kebanyakan

pasien juga memiliki RNP; umum pada African American dan Asia dibanding Anti-RNP 40 Kaukasia. Kompleks protein Tidak spesifik untuk pada U1 RNA SLE; jumlah besar berkaitan dengan rematik Anti-Ro (SS-A) 30 dengan gejala termasuk gejala yang overlap

SLE. Kompleks Protein Tidak spesifik SLE; pada hY RNA, berkaitan subcutaneous neonatus blok dengan dengan Sicca, lupus disertai jantung penurunan terutama 60 kDa sindrom dan 52 kDa

subakut, dan lupus

congenital; berkaitan resiko nephritis. protein Biasanya terkait dengan berkaitan menurunnya Antihistone 70 Histones dengan anti-Ro; dengan resiko

Anti-La (SS-B)

10

47-kDa

pada hY RNA

nephritis terkait Lebih sering pada DNA lupus akibat obat 12

Sistemik Lupus Eritematosus


(pada nucleosome, daripada SLE. Antiphospholipid 50 chromatin) Phospholipids,2 glycoprotein cofactor, prothrombin Tiga tes tersedia 1 ELISA sensitive prothrombin (DRVVT); merupakan predisposisi pembekuan, kematian janin, dan trombositopenia. Antierythrocyte 60 Membran eritrosit Diukur sebagai tes Coombs terbentuk Antiplatelet 30 Permukaan sitoplasmik platelet. hemolysis. dan Terkait pada namun langsung; pada dengan time untuk cardiolipin dan 2G1,

perubahan antigen trombositopenia sensitivitas dan spesifitas kurang baik; secara klinis tidak terlalu berarti Antineuronal (termasuk glutamate receptor) Antiribosomal P 20 anti60 Neuronal limfosit Protein ribosome untuk SLE dan Pada beberapa hasil lupus CNS aktif. pada Pada beberapa hasil positif terkait dengan depresi atau psikosis akibat lupus CNS

permukaan antigen positif terkait dengan

13

Sistemik Lupus Eritematosus


Tabel 1. Autoantibodi yang ditemukan pada Systemic Lupus Erythematosus (SLE) Catatan: CNS = central nervous system, CSF= cerebrospinal fluid, DRVVT = dilute Russell viper venom time, ELISA= enzyme-linked immunosorbent assay. Secara diagnostik, antibodi yang paling penting untuk dideteksi adalah ANA karena pemeriksaan ini positif pada 95% pasien, biasanya pada onset gejala. Pada beberapa pasien ANA berkembang dalam 1 tahun setelah onset gejala; sehingga pemeriksaan berulang sangat berguna. Lupus dengan ANA negative dapat terjadi namun keadaan ini sangat jarang pada orang dewasa dan biasanya terkait dengan kemunculan dari autoantibodi lainnya (anti-Ro atau anti-DNA). Tidak ada pemeriksaan berstandar internasional untuk ANA; variabilitas antara pemeriksaan yang berbeda antara laboratorium sangat tinggi. Jumlah IgG yang besar pada dsDNA (bukan single-strand DNA) spesifik untuk SLE. ELISA dan reaksi immunofluorosensi pada sel dengan dsDNA pada flagel Crithidia luciliae memiliki sekitar 60% sensitivitas untuk SLE; identifikasi dari aviditas tinggi untuk anti-dsDNA pada pemeriksaan Farr tidak sensitive namun terhubung lebih baik dengan nephritis. 2.8.2. Pemeriksaan penunjang lainnya Rontgen dada menunjukkan pleuritis atau perikarditis Analisa Urine menunjukkan adanya darah atau protein Pemeriksaan darah menunjukkan adanya penurunan beberapa jenis sel darah Biopsi ginjal Pemeriksaan saraf. 2.9. Penatalaksanaan Untuk penatalaksanaan, Pasien SLE dibagi menjadi: 1. Kelompok Ringan 14

Sistemik Lupus Eritematosus


Gejala : Panas, artritis, perikarditis ringan, efusi pleura/perikard ringan, kelelahan, dan sakit kepala 2. Kelompok Berat Gejala : efusi pleura perikard masif, penyakit ginjal, anemia hemolitik, trombositopenia, lupus serebral, vaskulitis akut, miokarditis, pneumonitis lupus, dan perdarahan paru. I. Edukasi dan konseling Pada dasarnya pasien SLE memerlukan informasi yang benar dan dukungan sekitar agar dapat hidup mandiri. Pasien memrlukan edukasi mengenai cara mencegah kekambuhan antara lain dengan melindungi kulit dari paparan sinar matahari (ultra violet) dengan memakai tabir surya, payung, atau topi, melakukan latihan secara teratur, pengaturan diet agar tidak kelebihan berat badan, osteoporosis, atau dislipidemia. Diperlukan informasi akan pengawasan berbagai fungsi organ, baik berkaitan dengan aktifitas penyakit ataupun akibat pemakaian obatobatan. II. a. b. c. Latihan/program rehabilitasi Istirahat Terapi fisik Terapi dengan modalitas

III. a.

A) Pengobatan SLE Ringan Edukasi Pasien diberikan harapan yang realistic sesuai keadaannya, hindari paparan ultra violet berlebihan, hindari kelelahan, berikan pengetahuan akan gejala dan tanda kekambuhan, anjurkan agar pasien mematuhi jenis pengobatan dan melakukan konsultasi teratur. b. Obat-obatan

15

Sistemik Lupus Eritematosus


c. d. Anti analgetik Anti inflamasi non steroidal (OAINS) Glukokortikoid mengatasi ruam) Klorokuin basa 4mg/kg BB/hari Kortikosteroid prednisone Tabir surya : topikal minimum sun protection factor 15 (SPF 15) Istirahat dosis rendah < 10 mg/hari topikal potensi ringan (untuk

B) Pengobatan SLE Berat atau Mengancam Nyawa a. Glukokortikoid dosis tinggi Lupus nefritis, serebritis atau trombositopenia : 40-60 mg/hari (1mg/kg BB) Prednisone atau metilprednisolon intravena sampai 1 g/hari selama 3 hari berturut-turut. Selanjutnya diberikan oral. b. Obat imunosupresan atau sitotoksik Azatioprin, siklofosfamid, metotreksat, klorambusil, siklosporin dan nitrogen mustard. Tergantung dari berat ringannya penyakit serta organ yang terlibat, misalnya pada lupus nefritis diberikan siklofosfamid (oral/intravena) azatioprin; arthritis berat diberikan metotreksat (MTX).

Berikut adalah beberapa terapi medikamentosa pada penderita SLE : 1. NonSteroid Anti-Inflamatory Drug (NSAID): NSAID berguna karena kemampuannya sebagai analgesik, antipiretik dan antiinflamasi. Obat ini berguna untuk mengatasi SLE dengan demam dan arthralgia/arthritis. Aspirin adalah salah satu yang paling banyak diteliti kegunaannya. Ibuprofen dan indometasin cukup 16

Sistemik Lupus Eritematosus


efektif untuk mengobati SLE dengan arthritis dan pleurisi, dalam kombinasi dengan steroid dan antimalaria. Keterbatasan obat ini adalah efek samping pada saluran pencernaan terutama pendarahan dan ulserasi. Cox2 dengan efek samping yang lebih sedikit diharapkan dapat mengatasi hal ini, tetapi belum ada penelitian mengenai efektivitasnya pada SLE. Efek samping lain dari OAINS adalah : reaksi hipersensitivitas, gangguan renal, retensi cairan, meningitis aseptik. 2. Antimalaria Efektivitas antimalaria terhadap SLE yang mengenai kulit dan sendi telah lama diketahui, dan obat ini telah dianggap sebagai obat pilihan pertama untuk SLE kulit terutama LE diskoid dan LE kutaneus subakut. Obat ini bekerja dengan cara mengganggu pemrosesan antigen di makrofag dan sel penyaji antigen yang lain dengan meningkatkan pH di dalam vakuola lisosomal. Juga menghambat fagositosis, migrasi netrofil, dam metabolisme membran fosfolipid. Antimalaria dideposit didalam kulit dan mengabsorbsi sinar UV. Hidrosiklorokuin menghambat reaksi kulit karena sinar UV. Beberapa penelitian melaporkan bahwa antimalaria dapat menurunkan kolesterol total, HDL dan LDL, pada penderita SLE yang menerima steroid maupun yang tidak. Terdapat 3 obat antimalaria yang tersedia : hidroksiklorokuin (dosis 200-400mg/hari), klorokuin (250mg/hari), kuinarkrin (100mg/hari). Hidroksiklorokuin lebih efektif daripada klorokuin, dan efek sampingnya lebih ringan. Efek samping antimalaria yang paling sering adalah efek pada saluran pencernaan, kembung, mual, dan muntah; efek samping lain adalah timbulnya ruam, toksisitas retin, dan neurologis (jarang). 3. Kortikosteroid

17

Sistemik Lupus Eritematosus


Cara kerja steroid pada SLE adalah melalui mekanisme antiinflamasi dan. Dari berbagai jenis steroid, yang paling sering digunakan adalah prednison dan metilprednisolon. Pada SLE yang ringan (kutaneus, arthritis/arthralgia) yang tidak dapat dikontrol oleh NSAID dan antimalaria, diberikan prednisone 2,5 mg sampai 5 mg perhari. Dosis ditingkatkan 20% tiap 1 sampai 2 minggu tergantung dari respon klinis. Pada SLE yang akut dan mengancam jiwa langsung diberikan steroid, NSAID dan antimalaria tidak efektif pada keadaan itu. Manifestasi serius SLE yang membaik dengan steroid antara lain : vaskulitis, dermatitis berat, poliarthritis, poliserosistis, myokarditis, lupus pneumonitis, glomeruloneftritis (bentuk proliferatif), anemia hemolitik, neuropati perifer dan krisis lupus. Pada SLE aktif dan berat, terdapat beberapa regimen pemberian steroid: 1. Regimen I : daily oral short acting (prednison, prednisolon, metilprednisolon), dosis: 1-2 mg/kg BB/hari dimulai dalam dosis terbagi, lalu diturunkaan secara bertahap (tapering) sesuai dengan perbaikan klinis dan laboratoris. Regimen ini sangat cepat mengontrol penyakit ini, 5-10 hari untuk manifestasi hematologis atau saraf, serositis, atau vaskulitas; 3-10 minggu untuk glomerulonephritis. 2. Regimen II : methylprednisolone intravena, dosis: 500-1000 mg/hari, selama 3-5 hari atau 30 mg/kg BB/hari selam 3 hari. Regimen ini mungkin dapat mengontrol penyakit lebih cepat daripada terapi oral setiaap hari, tetapi efek yang menguntungkan ini hanya bersifat sementara, sehingga tidak digunakan untuk terapi SLE jangka lama. 3. Regimen III : kombinasi regimen 1 atau 2 dengan obat sitostatik azayhioprine atau cyclophosphamide.

18

Sistemik Lupus Eritematosus


Setelah kelainan klinis menjadi tenang dosis diturunkan dengan kecepatan 2,5-5 mg/minggu sampai dicapai maintenance dose. 4. Methoreksat Methoreksat adaalah antagonis folat yang jika diberikan dalam dosis untuk penyakit rematik efek imunosupresifnya lebih lemah daripada obat alkilating atau azathrioprin. Methorekxate dosis rendah mingguan, 7,5-15 mg, efektif sebagai steroid spring agent dan dapat diterima baik oleh penderita, terutama pada manifestsi kulit dan mukulosketetal. Gansarge dkk. melakukan percobaan dengan memberikan Mtx 15 mg/minggu pada kegagalan steroid dan antimalaria. Efek samping Mtx yang paling sering dipakai adalah: lekopenia, ulkus oral, toksisitas gastrointestinal, hepatotoksisitas.untuk pemantauan efek samping diperlukan pemeriksaan darah lengkap, tes fungsi ginjal dan hepar. Pada penderita dengan efek samping gastrointestinal, pemberian asam folat 5 mg tiap minggu akan mengurangi efek tersebut. 5. Imunosupresan atau sitostatik yang lain. Azathhioprine (Imuran AZA) Cylophosphamide (chitokxan, CTX) Chlorambucil (leukeran, CHL) Cyclosporine A Tacrolimus (FK506) Fludarabine Cladribine 19

Sistemik Lupus Eritematosus


Mycophenolate mofetil 6. Terapi hormonal Dehidroxyepiandrosterone Sulfate (DHEAS) Danazol 2.10. Prognosis Bervariasi, tergantung dari komplikasi dan keparahan keradangan. Perjalanan SLE kronis dan kambuh-kambuhan seringkali dengan periode remisi yang lama. Dengan pengendalian yang baik pada fase akut awal prognosis dapat baik.

BAB III PENUTUP 3.1. Kesimpulan SLE (Systemic Lupus erythematosus) adalah penyakit autoimun dimana organ dan sel mengalami kerusakan yang disebabkan oleh tissuebinding autoantibody dan kompleks imun, yang menimbulkan peradangan dan bisa menyerang berbagai sistem organ namun sebabnya belum diketahui

20

Sistemik Lupus Eritematosus


secara pasti, dengan perjalanan penyakit yang mungkin akut dan fulminan atau kronik, terdapat remisi dan eksaserbasi disertai berbagai macam autoantibody dalam tubuh. Diagnosis mengacu pada kriteria yang dibuat oleh the American College of Rheumatology revisi tahun 1997. Bila 4 kriteria atau lebih didapatkan, diagnosa SLE bisa ditegakkan dengan spesifitas 98% dan sensitivitas 97%.: 1. Artritis 2. Tes ANA diatas titer normal 3. Bercak Malar / Malar Rash (Butterfly rash) 4. Fotosensitif 5. Bercak diskoid 6. Salah satu Kelainan darah; 7. Salah satu Kelainan Ginjal; 8. Salah satu Serositis : 9. Salah satu kelainan Neurologis; 10. Ulser Mulut, Termasuk ulkus oral dan nasofaring yang dapat ditemukan 11. Salah satu Kelainan Imunologi Penatalaksanaan penderita SLE dimulai dengan edukasi dan konseling, latihan dan program rehabilitasi, dan pengobatan/terapi baik yang bersifat konservatif maupun agresif. oleh terdapatnya

DAFTAR PUSTAKA 1 2 Sidabutar, R.P. 1995. Lupus Eritematosus Sistemikdan Nefritis Lupus. Simposium Nasional LES. Jakarta Isbagio Hary, dkk. 2006. Lupus Eritematosus Sistemik. Ilmu Penyakit Dalam jilid 2. FKUI : Jakarta. 1214-1221

21

Sistemik Lupus Eritematosus


3 A. Charter, Michael. 2005. Lupus Eritematosus Sistemik. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit volume2,edisi 6. EGC : Jakarta. 1392-1395. 1-6 4 5 American College of Rheumatology Ad Hoc Committee on systemic lupus erythematosus guidelines.Arthritis Rheum 1999;42(9):1785-96. Van Vollenhoven RF,Engleman EG ,McGuire JL.Dehydroepiandrosterone in systemic lupuserythematosus:result of a double blind,placebocontrolled,randomized clinical trial.Arthritis Rheum 1995;38:1826-31 6 Guzman J,Cardiel MH,Arce-Salinas,et al.Measurerement of disease activity in systemic lupus erythematosus .Prospective validation of 3 clinical indices.J Rheumatol 1992;19:1551-1558

22

You might also like