You are on page 1of 14

Sebenarnya, sejak usia dini naluri setiap anak sudah menunjukkan perilaku dasar mandiri.

Misalnya, pada saat masih bayi, mereka belajar untuk tengkurap, merangkak, berdiri, dan berjalan sendiri. Dalam masa itu mereka berusaha sekuat tenaga untuk bisa walaupun sering gagal dan menangis. Hal itu merupakan perilaku adaptif sesuai dengan usia anak untuk menjadi manusia yang mandiri. Hanya saja, sering kali lingkungan kurang tanggap dan kondusif terhadap proses menuju kemandirian ini sehingga anak mendapat perlakuan yang salah. Misalnya, acap kali orang tua merasa tidak tega atau kurang sabar melihat si kecil yang berusaha menautkan tali sepatunya selama beberapa saat, namun belum juga berhasil, lalu segera membantu menyelesaikan masalah tersebut. Tanpa disadari bahwa sikap semacam ini menghentikan proses menuju kemandirian yang sedang diperjuangkan sang anak. Akibatnya, anak akan terbiasa mencari orang tuanya apabila menghadapi persoalan, dan mulai tergantung pada orang lain, untuk hal-hal yang kecil sekalipun. Anak-anak yang tidak mandiri akan memberi pengaruh negatif terhadap perkembangan kepribadiannya sendiri. Apabila hal ini tidak segera diatasi, anak akan mengalami kesulitan pada perkembangan selanjutnya. Anak akan mengalami kesulitan untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Terlebih, anak yang tidak mandiri juga akan menyusahkan orang lain. Anak-anak yang tidak mandiri cenderung tidak percaya diri dan tidak mampu mengambil keputusan dengan baik. Sedangkan bentuk ketergantungan kepada orang lain dapat berupa; misalnya mulai dari persiapan berangkat sekolah, ketika di lingkungan sekolah, mengerjakan pekerjaan rumah, sampai dalam pola belajarnya. Dalam persiapan berangkat sekolah, misalnya, anak selalu ingin dimandikan orang lain, dibantu berpakaian, minta disuapi, disiapkan buku dan peralatan sekolah oleh orang lain, termasuk harus selalu diantar ke sekolah. Ketika belajar di rumah, mereka mungkin mau, asalkan semua dilayani; misalnya anak akan menyuruh orang lain untuk mengambilkan pensil, buku, serutan dan sebagainya. Beberapa hal umum yang perlu dihindari agar proses menuju kemandirian anak dapat berlangsung sesuai yang kita harapkan adalah: Kekhawatiran yang berlebihan terhadap anak. Saat anak ingin memegang gelas, sendok, atau peralatan makan, sebenarnya sudah menjadi petunjuk gejala mandiri. Sayangnya, orangtua atau pengasuh kadangkala suka melarang anak melakukan hal tersebut. Banyak alasan atas larangan itu, misalnya, karena khawatir benda yang dipegang anak akan jatuh. Tanpa disadari, larangan itu justru menghambat kesempatan anak untuk belajar mandiri. Overprotective. Tak sedikit orangtua yang takut bila anaknya yang berusia batita melakukan hal-hal tertentu. Saat anak ingin naik-turun tangga sendiri, kerap tidak diperbolehkan, bahkan langsung digendong. Akibatnya, anak jadi penakut dan tak mampu mengontrol diri sendiri. Tak ada salahnya memperbolehkan anak naik-turun tangga sendiri, tentunya dengan diawasi dan dijaga oleh orangtua maupun pengasuhnya. Setiap anak mampu mengukur, seberapa jauh ia dapat mengontrol diri sendiri. Saat

berada di ketinggian tertentu, anak mempunyai insting dasar untuk bertahan dan tidak melompat. Biarkan anak melakukan hal yang diinginkannya, tetapi tetap harus diawasi. Kasih sayang yang berlebihan. Apapun keinginan anak dipenuhi dan dilayani. Curahan kasih sayang dengan menjadikan anak sebagai tuan kecil dalam rumah merupakan penyebab anak menjadi tidak mandiri dan manja. Tetapi, tidak ada kata terlambat untuk melatih anak menjadi mandiri. Asalkan ada kesempatan bagi anak untuk menunjukkan perilaku mandirinya. Hanya saja, akan semakin sulit manakala usia anak makin bertambah karena sebelumnya anak selalu bergantung pada orangtua dan pengasuhnya. Anak akan menuntut untuk terus dilayani, diperhatikan, hingga akhirnya sulit diubah.

Mendidik Agar Anak Mandiri


http://www.balita-anda.indoglobal.comKamis, 10 Mei 2007 - Dikirim oleh: kj Rubrik : Kesehatan Balita/ Anak Orang tua mana yang tidak mau melihat anaknya tumbuh menjadi anak yang mandiri. Tampaknya memang itulah salah satu tujuan yang ingin dicapai orang tua dalam mendidik anak-anaknya. Sikap mandiri sudah dapat dibiasakan sejak anak masih kecil: memakai pakaian sendiri, menalikan sepatu dan bermacam pekerjaan-pekerjaan kecil sehari-hari lainnya. Kedengarannya mudah, namun dalam prakteknya pembiasaan ini banyak hambatannya. Tidak jarang orang tua merasa tidak tega atau justru tidak sabar melihat si kecil yang berusaha menalikan sepatunya selama beberapa menit, namun belum juga memperlihatkan keberhasilan. Atau langsung memberi segudang nasehat, lengkap dengan cara pemecahan yang harus dilakukan, ketika anak selesai menceritakan pertengkarannya dengan teman sebangku. Memang masalah yang dihadapi anak sehari-hari dapat dengan mudah diatasi dengan adanya campur tangan orang tua. Namun cara ini tentunya tidak akan membantu anak untuk menjadi mandiri. Ia akan terbiasa "lari" kepada orang tua apabila menghadapi persoalan, dengan perkataan lain ia terbiasa tergantung pada orang lain, untuk hal-hal yang kecil sekalipun. Lalu upaya yang dapat dilakukan orang tua untuk membiasakan anak agar tidak cenderung menggantungkan diri pada seseorang, serta mampu mengambil keputusan? Di bawah ini ada beberapa hal yang dapat Anda terapkan untuk melatih anak menjadi mandiri. Beri kesempatan memilih Anak yang terbiasa berhadapan dengan situasi atau hal-hal yang sudah ditentukan oleh orang lain, akan malas untuk melakukan pilihan sendiri. Sebaliknya bila ia terbiasa dihadapkan pada beberapa pilihan, ia akan terlatih untuk membuat keputusan sendiri bagi dirinya. Misalnya, sebelum menentukan menu di hari itu, ibu memberi beberapa alternatif masakan yang dapat dipilih anak untuk makan siangnya. Demikian pula dalam memilih pakaian yang akan dipakai untuk pergi ke pesta ulang tahun temannya, misalnya. Kebiasaan untuk membuat keputusan - keputusan sendiri dalam lingkup kecil sejak dini

akan memudahkan untuk kelak menentukan serta memutuskan sendiri hal-hal dalam kehidupannya. Hargailah usahanya Hargailah sekecil apapun usaha yang diperlihatkan anak untuk mengatasi sendiri kesulitan yang ia hadapi. Orang tua biasanya tidak sabar menghadapi anak yang membutuhkan waktu lama untuk membuka sendiri kaleng permennya. Terutama bila saat itu ibu sedang sibuk di dapur, misalnya. Untuk itu sebaiknya otang tua memberi kesempatan padanya untuk mencoba dan tidak langsung turun tangan untuk membantu membukakannya. Jelaskan juga padanya bahwa untuk membuka kaleng akan lebih mudah kalau menggunakan ujung sendok, misalnya. Kesempatan yang anda berikan ini akan dirasakan anak sebagai penghargaan atas usahanya, sehingga akan mendorongnya untuk melakukan sendiri hal-hal kecil seperti itu. Hindari banyak bertanya Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan orang tua , yang sebenarnya dimaksudkan untuk menunjukkan perhatian pada si anak, dapat diartikan sebagai sikap yang terlalu banyak mau tahu. Karena itu hindari kesan cerewet. Misalnya, anak yang baru kembali dari sekolah, akan kesal bila diserang dengan pertanyaan - pertanyaan seperti, "Belajar apa saja di sekolah?", dan "Kenapa seragamnya kotor? Pasti kamu berkelaihi lagi di sekolah!" dan seterusnya. Sebaliknya, anak akan senang dan merasa diterima apabila disambut dengan kalimat pendek : "Halo anak ibu sudah pulang sekolah!" Sehingga kalaupun ada hal-hal yang ingin ia ceritakan, dengan sendirinya anak akan menceritakan pada orang tua, tanpa harus di dorong-dorong. Jangan langsung menjawab pertanyaan Meskipun salah tugas orang tua adalah memberi informasi serta pengetahuan yang benar kepada anak, namun sebaiknya orang tua tidak langsung menjawab pertanyaanpertanyaan yang diajukan. Sebaliknya, berikan kesempatan padanya untuk menjawab pertanyaan tersebut. Dan tugas Andalah untuk mengkoreksinya apabila salah menjawab atau memberi penghargaan kalau ia benar. Kesempatan ini akan melatihnya untuk mencari alternatif-alternatif dari suatu pemecahan masalah. Misalnya, "Bu, kenapa sih, kita harus mandi dua kali sehari? " Biarkan anak memberi beberapa jawaban sesuai dengan apa yang ia ketahui. Dengan demikian pun anak terlatih untuk tidak begitu saja menerima jawaban orang tua, yang akan diterima mereka sebagai satu jawaban yang baku. Dorong untuk melihat alternatif Sebaiknya anak pun tahu bahwa untuk nmengatasi suatu masalah , orang tua bukanlah satu-satunya tempat untuk bertanya. Masih banyak sumber-sumber lain di luar rumah yang dapat membantu untuk mengatasi masalah yang dihadapi. Untuk itu, cara yang dapat dilakukan orang tua adalah dengan memberitahu sumber lain yang tepat untuk dimintakan tolong, untuk mengatasi suatu masalah tertentu. Dengan demikian anak tidak akan hanya tergantung pada orang tua, yang bukan tidak mungkin kelak justru akan menyulitkan dirinya sendiri . Misalnya, ketika si anak datang pada orang tua dan

mengeluh bahwa sepedanya mengeluarkan bunyi bila dikendarai. Anda dapat memberi jawaban : "Coba,ya, nanti kita periksa ke bengkel sepeda." Jangan patahkan semangatnya Tak jarang orang tua ingin menghindarkan anak dari rasa kecewa dengan mengatakan "mustahil" terhadap apa yang sedang diupayakan anak. Sebenarnya apabila anak sudah mau memperlihatkan keinginan untuk mandiri, dorong ia untuk terus melakukanya. Jangan sekali-kali anda membuatnya kehilangan motivasi atau harapannya mengenai sesuatu yang ingin dicapainya. Jika anak minta ijin Anda, "Bu, Andi mau pulang sekolah ikut mobil antar jemput, bolehkan? " Tindakan untuk menjawab : "Wah, kalau Andi mau naik mobil antar jemput, kan Andi harus bangun pagi dan sampai di rumah lebih siang. Lebih baik tidak usah deh, ya" seperti itu tentunya akan membuat anak kehilangan motivasi untuk mandiri. Sebaliknya ibu berkata "Andi mau naik mobil antar jemput? Wah, kedengarannya menyenangkan, ya. Coba Andi ceritakan pada ibu kenapa andi mau naik mobil antar jemput." Dengan cara ini, paling tidak anak mengetahui bahwa orang tua sebenarnya mendukung untuk bersikap mandiri. Meskipun akhirnya, dengan alasanalasan yang Anda ajukan, keinginannya tersebut belum dapat di penuhi.

Kemandirian anak harus dibina sejak dini. Beberapa hal di bawah ini perlu diperhatikan orang tua yang menginginkan anaknya tumbuh menjadi pribadi mandiri. Tumbuhkan rasa percaya diri. Rasa percaya diri memegang peranan penting. Rasa itu dapat tumbuh jika anak diberi kepercayaan untuk melakukan hal yang mampu dia kerjakan sendiri. Misalnya, saat bayi sudah bisa memegang botol sendiri, bantu dia supaya benar-benar bisa melakukan. Pahami risiko anak belajar. Jangan takut rumah kotor. Itu risiko yang harus dihadapi saat anak belajar makan atau berjalan. Plastik besar yang diletakkan di bawah meja makan dapat memudahkan Anda saat akan melakukan pembersihan. Beri kepercayaan. Hal terbesar yang dapat menghambat rasa percaya diri pada anak adalah kekhawatiran dan ketakutan orang tua. Perasaan takut dan khawatir sering kali membuat orang tua mengerjakan pekerjaan anak yang sebenarnya bisa mereka lakukan sendiri. Jika menginginkan anak Anda mandiri maka konsekuensinya harus benar-benar memberi kepercayaan. Tentu saja, semuanya sesuai dengan ukuran usia. Komunikasi terbuka. Sediakan waktu untuk berkomunikasi secara terbuka. Bila anak Anda tertutup, pancing dengan pertanyaan ringan tentang kegiatannya hari itu. Jangan langsung melarang bila Anda tidak setuju dengan kegiatannya. Tanyakan dulu apa alasan si anak. Kalau buah hati bertanya tentang suatu hal, beri penjelasan yang mudah dimengerti.

Kebiasaan. Salah satu peranan orang tua dalam kehidupan sehari-hari adalah membentuk kebiasaan. Kalau anak sudah terbiasa dimanja dan selalu dilayani, dia akan menjadi anak yang selalu tergantung kepada orang lain. Disiplin. Kemandirian berkaitan erat dengan disiplin. Sebelum seorang anak dapat mendisiplinkan dirinya sendiri, dia terlebih dahulu harus didisiplinkan oleh orang tuanya. Syarat utama dalam hal ini adalah pengawasan dan bimbingan yang konsisten dan konsekuen. Jika Anda bekerja, yakini betul bahwa pengasuh anak konsisten dan terampil dalam memberlakukan disiplin belajar yang Anda terapkan. Jangan terus menyuapi. Memberikan tambahan kursus belajar tambahan bukan cara yang tepat untuk mendidik anak. Guru les biasanya punya kecenderungan untuk terus menyuapi muridnya. Ingatlah, disiplin belajar harus dimulai dari rumah. Sumber : http://72.14.235.104/indika.net.id/, Thursday, June 16th, 2005

MendidikAnakUntukMandiri
Anne Kartawijaya dan Kay Kuswanto

emandirian anak harus dibina sejak anak masih bayi. Jikalau kemandirian anak diusahakan setelah anak besar, kemandirian itu akan menjadi tidak utuh. Ada orang tua yang menempatkan anaknya di tempat kos agar anak bisa hidup mandiri. Memang betul anak itu harus terpaksa mengejakan segala sesuatu sendiri, akan tetapi keadaan jiwanya tidaklah sehat. Dia mungkin akan merasa terbuang. Mendidik anak mandiri bukanlah dengan cara meninggalkan anak itu sendiri atau bersama dengan pengasuh lain. Kunci kemandirian anak sebenarnya ada di tangan orang tua. Disiplin yang konsisten dan kehadiran orang tua untuk mendukung dan menadampingi kegiatan anak akan menolong anak untuk mengerjakan segala sesuatu sendiri pada masa yang akan datang. Prinsip-prinsip disiplin yang terus menerus ditanamkan pada anak akan menajdi bagian dalam dirinya. Dengan demikian kemandirian yang dimiliki adalah kemandirian yang utuh. Beberapa hal yang dapat membentuk kemandirian anak , antara lain adalah, Pertama:RasaPercayaDiri. Rasa percaya diri terbentuk ketika anak diberikan kepercayaan untuk melakukan suatu hal yang ia mampu kerjakan sendiri. Rasa percaya diri dapat dibentuk sejak anak masih bayi. Misalnya dalam hal makan. Ketika bayi sudah mulai bisa memegang dan mengenggam, biarkan anak memegang botol atau training cup sendiri, kita hanya membantu mengarahkannya sampai dia bisa betul-betul memegang sendiri. Demikian juga ketika makan dengan sendok, kita dapat memberikannya sendok yang lainuntuk dimainkannya selagi kita menyuapinya makan. Kalau bayi sudah bisa menggunakan jari-jarinya untuk memegang makanan biarkan dia memungut makanan yang pada meja makannya. Ketika bayi mulai makn biskuit dan buah biasakan bayi makan di atas keretanya. Setelah bayi mulai bisa duduk, baisakan bayi duduk di kursi makan

khsusnya. Dengan demikian bayi dibiasakan untuk disiplin dalam hal makan. Setelah bayi sudah mulai bisa mengambil makanan dengan sendok, biarkan ia makan sendiri sekalipun akan berantakan sekali. Jangan takut rumah kotor karena itu memang resiko yang harus dihadapi sementara ini. Plastik besar yang diletakkan di bawah meja makandapat menolong anda dalam membersihkan makanan yang berjatuhan. Hal terbesar yang dapat menghambat rasa percaya diri anak adalah kekuatiran dan ketakutan orang tua. Perasaan takut dan kuatir pada orang tua ini dapat mmbuat orang tua cenderung untuk selalu menangani pekerjaan yang sebenarnya dapat dilakukan anak sendiri. Sebagai contoh seorang anak SMP disalah menagerti oleh gurunya di sekolah. Kesalahmengertian ini membuat dia dihukum karena dianggap sebagai pengacau. Orang tua anak ini yakin sekali bahwa kesalahan terletak pada ketidakbijaksanaan sang guru. Dan mereka bisa saja langsung menghadap sang guru untuk membahas masalah ini, akan tetapi orang tua anak ini memberikan kepercayaan kepada anaknya untuk menyelesaikan masalahnya terlebih dahulu. Dan apabila ternyata gagal, barulah orang tuanya akan turun tangan. Kedua:Kebiasaan. Salah satu peranan orang tua dalam kehidupan sehari-hari adalah membentuk kebiasaan. Jikalau anak sudah terbiasa dimanja dan selalu dilayani, ia akan menjadi anak yang selalu tergantung kepada orang lain. Salah satu contoh kebiasaan anak yang harus dibentuk sejak bayi adalah dalam hal kebiasaan tidur. Pada usia 5-6 bulan,bayi sudah harus dibiasakan tidur pada waktunya di atas tempat tidur.Kalau bukan dalam perjalanan, bayi tidak boleh dibiasakan tidur digendongan. Ketika sudah waktunya tidur, naikkan bayi ke atas tempat tidur, nyalakan musik dan temani bayi anda sampai dia tidur. Kalau sudah terbiasa sejak bayi, setelah besar sudah tidak terlalu sulit lagi. Dr, Benjamin Spock menganjurkan untuk membiasakan bayi ke dalam tempat tidurnya sendiri setiap kali sehabis makan.Kebiasaan bermain-main sehabis makan harus diubah sejak kecil. Pada waktu bayi mencapai usia 6 bulan, sebaiknya bayi dibiasakan tidur di kamar dan di temapt tidurnya sendiri tanpa ditemani (Jika tempat dan letak ruangan memungkinkan). Setelah lewat usia 9 bulan, kebiasaan ini akan sulit sekali terbentuk. 1) Ketiga:Disiplin. Kemandirinan berkaitan erat sekali dengan disiplin. Sebelum seorang anak dapat mendisiplinkan dirinya sendiri, ia terlebih dahulu harus didisiplin oleh orang tuanya. Syarat utrama dalam hal ini adalah pengawasan dan bimbingan yang konsisten dan konsekuen dari orang tua. Jikalau anda bekerja, anda harus yakin betul bahwa pengasuh anak anda konsisten dan terampil dalam memberlakukan disiplin belajar yang anda terapkan untuk anak anda. Tanpa syarat ini disiplin belajar yang anda terapkan tidaklah mungkin menajdi bagian dalam diri anak anda. Memberikan kursus belajar tambahan bukanlah untuk mendidik anak mandiri di dalam hal belajar. Disiplin belajar harus dimulai dari rumah, sebelum anak bisa menemukan sistem belajarnya sendiri di masa sekolah lanjutan nanti. Ketika anak-anak berada di SD, anda hanya perlu menemani anak belajar. Tentukan jam belajar yang rutin setiap hari. Pastikan anak anda mengerjakan PR sebelum ia bermain. Anda dapat mengerjakan hal lain di dekat meja belajar anak anda. Jangan juga terklalu kaku dengan jam belajar ini. Kadang-kadang ada hal lain yang sangat penting untuk dilakukan pada jam belajar, anda dapat menukarnya dengan jam lain, tapi harus dilakukan di bawah pengawasan anda. Sudah barang tentu, setiap anak mempunyai kemampuan belajar yang berbeda. Ada anak-anak tertentu yang perlu mendapat bimbingan yang lebih intensif dai orang tua. Ibu Lina Lukito dosen

STT Bandung, selalu menanyakan bahan-bahan ulangan kepada anaknya. Menurut Ibu Lukito, pada saat anak mencapai kelas tiga SD, ia harus mulai dilatih sedikit demi sedikit untuk mempersiapkan ulangannya sendiri. Kita harus mulai mebimbingnya untuk menerima konsekuensi hasil belajarnya. Jikalau ini tidak dilakukan, anak akan terus merasa tidak siap dalam ulangan bila kita tidak menanyakannya lebih dulu. Pada saat di sekolah lanjutan, hal ini akan menjadi sulit. Ibu Alice Tong (Istri Dr, stephen Tong, pendiri Gereja Reformed Injili Indonesia) didalam kesibukannya mendampingi suami, tetap mengawasi pelajaran anak-anaknya. Beliau menerapkan pendidikan yang ketat kepada anak-anaknya. Beliau tidak banyak memberikan omelan kepada anak, akan tetapi memberikan konsekuensi hukuman yang pantas bila diperlukan. Beliau tidak segan-segan meminta guru sekolah untuk menghukum anaknya apabila anak-anaknya mendapatkan nilai rendah karena lalai belajar. Prinsip beliau adalah :"Anak harus dididik mencapai hasil sesuai dengan kemampuannya." Didalam latihan atau tes di rumah, jikalau salah satu soal saja, beliau akan minta anak-anaknya untuk belajar lagi. Selain bekerja sama dengan guru sekolah, kerjasama dengan suami merupakan hal yang penting bagi Ibu Tong. Suami dan istri harus mempunyai prinsip yang sama dalam mendidik anak belajar. Anak-anak kadang mencari lobang dari salah satu pihak untuk mendapoatkan kelonggaran disiplin. Jika suami dan istri tidak sehati, anak sulit sekali dididik untuk disiplin. Didalam latihan piano atau biola, beliau juga menerapkan disiplin yang sama. Setiap hari tiap anak harus latihan minimal satu kali, kecuali sedang sakit atau menghadapai banyak ulangan, anak-anak harus latihan sekalipun pada malam hari. Bepergian ke luar negeri untuk pelayanan bukan halangan untuk tetap menagawasi anak belajar. Beliau selalu interlokal untuk menanyakan tanggung jawab tiap anak dalam hal belajar. Dengan disiplin yang ketat di masa kecil, setelah besar anak-anak beliau sudah memiliki tuntutan untuk belajr sendiri. Tuntutan diri untuk mencapai hasil sesuai dengan kemampuannya kini menjadi milik anak-anak itu sendiri. Kemandirian yang dihasilkan dari kehadiran dan bimbingan orang tua akan menghasilkan kemandirian yang utuh. Sistem disiplin hidup akan meanjdi bagian dalam diri anak yang akan dibawa terus sampai mereka dewasa. Sebelum seseorang memiliki disiplin didalam masyarakat. Ia harus memulainya dari rumah. Disiplin dari rumah harus sedini mungkin. Terima kasih kepada Ibu Kay Kuswanto, Ibu Alice Tong, dan Ibu Lina Lukito yang telah memberikan masukan berharga untuk artikel ini. 1) Dr. Benjamin Spock, Merawat Bayi dan Mendidik Anak, (Jakarta: Penerbit Pustaka Rakyat. 1963, hal. 88-89)

Mendidik Anak Agar Mandiri

Salah satu tugas orang tua adalah mendidik anak agar menjadi mandiri. Sikap mandiri sudah dapat dibiasakan sejak anak masih kecil: memakai pakaian sendiri, memasang tali sepatu, memakai kaos kaki dan berbagai pekerjaan kecil lainnya. Kedengarannya mudah, namun dalam prakteknya pembiasaan ini banyak hambatannya. Tidak jarang orang tua merasa tidak tega atau justru tidak sabar melihat si kecil yang berusaha menalikan sepatunya selama beberapa menit, namun belum juga memperlihatkan keberhasilan. Atau langsung memberi segudang nasehat, lengkap dengan cara pemecahan yang harus dilakukan, ketika anak selesai menceritakan pertengkarannya dengan teman sebangku. Memang masalah yang dihadapi anak sehari-hari dapat dengan mudah diatasi dengan adanya campur tangan orang tua. Namun cara ini tentunya tidak akan membantu anak untuk menjadi mandiri. Ia akan terbiasa "lari" kepada orang tua apabila menghadapi persoalan, dengan perkataan lain ia terbiasa tergantung pada orang lain, untuk hal-hal yang kecil sekalipun. Lalu upaya apa yang dapat dilakukan orang tua untuk membiasakan anak agar tidak cenderung menggantungkan diri pada seseorang, serta mampu mengambil keputusan? Di bawah ini ada beberapa hal yang dapat Anda terapkan untuk melatih anak menjadi mandiri. 1. Beri kesempatan memilih Anak yang terbiasa berhadapan dengan situasi atau hal-hal yang sudah ditentukan oleh orang lain, akan malas untuk melakukan pilihan sendiri. Sebaliknya bila ia terbiasa dihadapkan pada beberapa pilihan, ia akan terlatih untuk membuat keputusan sendiri bagi dirinya. Misalnya, sebelum menentukan menu di hari itu, ibu memberi beberapa alternatif masakan yang dapat dipilih anak untuk makan siangnya. Demikian pula dalam memilih pakaian yang akan dipakai untuk pergi ke pesta ulang tahun temannya, misalnya. Kebiasaan untuk membuat keputusan - keputusan sendiri dalam lingkup kecil sejak dini akan memudahkan untuk kelak menentukan serta memutuskan sendiri hal-hal dalam kehidupannya. 2. Hargailah usahanya Hargailah sekecil apapun usaha yang diperlihatkan anak untuk mengatasi sendiri kesulitan yang ia hadapi. Orang tua biasanya tidak sabar menghadapi anak yang membutuhkan waktu lama untuk membuka sendiri kaleng permennya. Terutama bila saat itu ibu sedang sibuk di dapur, misalnya. Untuk itu sebaiknya otang tua memberi kesempatan padanya untuk mencoba dan tidak langsung turun tangan untuk membantu membukakannya. Jelaskan juga padanya bahwa untuk membuka kaleng akan lebih mudah kalau menggunakan ujung sendok, misalnya. Kesempatan yang anda berikan ini akan dirasakan anak sebagai penghargaan atas usahanya, sehingga akan mendorongnya untuk melakukan sendiri hal-hal kecil seperti itu. 3. Hindari banyak bertanya Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan orang tua , yang sebenarnya dimaksudkan untuk menunjukkan perhatian pada si anak, dapat diartikan sebagai sikap yang terlalu banyak mau tahu. Karena itu hindari kesan cerewet. Misalnya, anak yang baru kembali dari sekolah, akan kesal bila diserang dengan pertanyaan - pertanyaan seperti, "Belajar apa saja di sekolah?", dan "Kenapa seragamnya kotor? Pasti kamu berkelahi lagi di sekolah!" dan seterusnya. Sebaliknya, anak akan senang dan merasa diterima apabila disambut dengan kalimat pendek : "Halo anak ibu sudah pulang sekolah!" Sehingga kalaupun ada hal-hal yang ingin ia ceritakan, dengan sendirinya anak akan menceritakan pada orang tua, tanpa harus di dorong-dorong. 4. Jangan langsung menjawab pertanyaan Meskipun salah tugas orang tua adalah memberi informasi serta pengetahuan yang benar kepada anak, namun sebaiknya orang tua tidak langsung menjawab pertanyaanpertanyaan yang diajukan. Sebaliknya, berikan kesempatan padanya untuk menjawab pertanyaan tersebut. Dan tugas Andalah untuk mengkoreksinya apabila salah menjawab

atau memberi penghargaan kalau ia benar. Kesempatan ini akan melatihnya untuk mencari alternatif-alternatif dari suatu pemecahan masalah. Misalnya, "Bu, kenapa sih, kita harus mandi dua kali sehari? " Biarkan anak memberi beberapa jawaban sesuai dengan apa yang ia ketahui. Dengan demikian pun anak terlatih untuk tidak begitu saja menerima jawaban orang tua, yang akan diterima mereka sebagai satu jawaban yang baku. 5. Dorong untuk melihat alternatif Sebaiknya anak pun tahu bahwa untuk nmengatasi suatu masalah , orang tua bukanlah satu-satunya tempat untuk bertanya. Masih banyak sumber-sumber lain di luar rumah yang dapat membantu untuk mengatasi masalah yang dihadapi. Untuk itu, cara yang dapat dilakukan orang tua adalah dengan memberitahu sumber lain yang tepat untuk dimintakan tolong, untuk mengatasi suatu masalah tertentu. Dengan demikian anak tidak akan hanya tergantung pada orang tua, yang bukan tidak mungkin kelak justru akan menyulitkan dirinya sendiri . Misalnya, ketika si anak datang pada orang tua dan mengeluh bahwa sepedanya mengeluarkan bunyi bila dikendarai. Anda dapat memberi jawaban : "Coba,ya, nanti kita periksa ke bengkel sepeda." 6. Jangan patahkan semangatnya Tak jarang orang tua ingin menghindarkan anak dari rasa kecewa dengan mengatakan "mustahil" terhadap apa yang sedang diupayakan anak. Sebenarnya apabila anak sudah mau memperlihatkan keinginan untuk mandiri, dorong ia untuk terus melakukanya. Jangan sekali-kali anda membuatnya kehilangan motivasi atau harapannya mengenai sesuatu yang ingin dicapainya. Jika anak minta ijin Anda, "Bu, Andi mau pulang sekolah ikut mobil antar jemput, bolehkan? " Tindakan untuk menjawab : "Wah, kalau Andi mau naik mobil antar jemput, kan Andi harus bangun pagi dan sampai di rumah lebih siang. Lebih baik tidak usah deh, ya" seperti itu tentunya akan membuat anak kehilangan motivasi untuk mandiri. Sebaiknya ibu berkata "Andi mau naik mobil antar jemput? Wah, kedengarannya menyenangkan, ya. Coba Andi ceritakan pada ibu kenapa andi mau naik mobil antar jemput." Dengan cara ini, paling tidak anak mengetahui bahwa orang tua sebenarnya mendukung untuk bersikap mandiri. Meskipun akhirnya, dengan alasan-alasan yang Anda ajukan, keinginannya tersebut belum dapat di penuhi.

http://www.e-smartschool.com Anak Mandiri Lebih Pede dan Cerdas


Kamis, 19 Januari, 2006 oleh: Gsianturi

Anak Mandiri Lebih Pede dan Cerdas Gizi.net - Anak Mandiri Lebih Pede dan Cerdas Anak mandiri biasanya mampu mengatasi persoalan yang menghadangnya. Kemandirian itu tentu harus dilatih sejak dini. Orangtua jangan gampang berteriak tidak atau jangan, bila menginginkan anak cerdas dan penuh percaya diri. Kemandirian sangat erat terkait dengan anak sebagai individu yang mempunyai konsep diri, penghargaan terhadap diri sendiri (self esteem), dan mengatur diri sendiri (self regulation). Anak paham akan tuntutan lingkungan terhadap dirinya, dan menyesuaikan tingkah lakunya. Anak mandiri mampu memenuhi tuntutan lingkungannya. Contohnya, anak usia 3-4 tahun yang sudah bisa menggunakan alat makan, harusnya bisa makan sendiri.

Nah, ini yang dimaksud kemandirian, ujar Roslina Verauli, M.Psi., psikolog klinis anak dari Empati Development Center. Secara umum kemandirian bisa dilihat dari tingkah laku. Namun, kemandirian tidak selalu berbentuk fisik yang ditampilkan dalam tingkah laku. Ada bentuk emosional dan sosialnya. Menurut psikolog yang kerap disapa Vera ini, anak mampu berpisah dalam waktu singkat dengan orangtuanya, misalnya saat mulai bersekolah. Anak bisa masuk ke kelas dengan nyaman karena mampu mengontrol dirinya. Ini bentuk secara emosional. Kemudian secara sosial, anak tidak harus selalu berinteraksi dengan pengasuhnya. Ia bisa berhubungan dengan orang lain secara independen sebagai individu. Sejak usia dini, sekitar 2-3 tahun, anak sebetulnya sudah menunjukkan perilaku dasar mandiri. Orangtua bisa melihat keinginan mandiri itu dengan memperhatikan gejala yang ada. Perilaku dasar mandiri yang dimaksud Vera adalah perilaku adaptif, yang sesuai dengan usia anak. Di usia 3-4 tahun, anak sudah mulai makan sendiri, menggunakan celana sendiri, dan saat hendak pipis ia bisa ke toilet sendiri. Dengan kata lain, anak bisa melakukan kemampuan dasarnya. Saat berusia 3-4 tahun dan sudah mulai masuk kelompok bermain atau taman kanak-kanak, anak sudah paham bahwa ia telah mandiri secara emosional. Anak paham ibunya berada di luar kelas, sehingga ia tetap merasa nyaman. Saat merasa takut, anak bisa melihat ibunya sedang menunggu di luar. Ini berarti anak sudah bisa mengontrol dirinya. Saat anak ingin memegang gelas, sendok, atau peralatan makan, sebenarnya sudah menjadi petunjuk gejala mandiri. Saat itulah orangtua maupun pengasuh bisa melatih anak memegang peralatan makannya dan makan sendiri. Atau saat anak ingin naik tangga sendiri, orangtua sebenarnya bisa memberi kesempatan padanya untuk melakukan hal itu. Sayangnya, orangtua atau pengasuh kadangkala suka melarang anak melakukan hal tersebut. Banyak alasan atas larangan itu, misalnya, karena khawatir benda yang dipegang anak akan jatuh. Tanpa disadari, larangan itu justru menghambat kesempatan anak untuk belajar mandiri. Tak sedikit orangtua yang takut bila anaknya yang berusia batita melakukan hal-hal tertentu. Saat anak ingin naik-turun tangga sendiri, kerap tidak diperbolehkan, bahkan langsung digendong. Akibatnya, anak jadi penakut dan tak mampu mengontrol diri sendiri. Tak ada salahnya memperbolehkan anak naik-turun tangga sendiri, tentunya dengan diawasi dan dijaga oleh orangtua maupun pengasuhnya. Yang membuat anak terlambat mandiri adalah orangtua yang cenderung terlalu protektif. Mereka merasa tidak nyaman melepaskan anaknya, ungkap lulusan Fakultas Psikologi UI ini. Padahal, setiap anak mampu mengukur, seberapa jauh ia dapat mengontrol diri sendiri. Saat berada di ketinggian tertentu, anak mempunyai insting dasar untuk bertahan dan tidak melompat. Biarkan anak melakukan hal yang diinginkannya,

tetapi tetap harus diawasi, ujar Vera. Banyak orangtua dinilai Vera tergolong pencemas. Kecemasan itu sebagai bentuk kompensasi dari kesibukan atau perasaan ketidakkompetenan orangtua. Sebagai akibatnya, anak tidak kunjung mandiri. Sebaliknya, Anak malah bersikap manja. Kemanjaan itu bisa timbul karena perasaan tidak aman dalam dirinya. Perasaan ini muncul karena pola asuh orangtua yang terlalu melindungi, memanjakan, atau karena kepribadian anak yang cenderung penakut. Hal lainnya karena pengaruh lingkungan. Ada lingkungan yang membuat anak merasa terancam. Bila dibiarkan, bukan tidak mungkin anak akan menjadi manja. Anak tidak mempunyai kemampuan untuk menyadari bahwa ia bisa mengatur diri sendiri. Saat berada di kehidupan nyata, anak yang manja ini bisa terkaget-kaget. Pasalnya, tak semua orang peduli pada dirinya dan memenuhi keinginannya seperti halnya di rumah. Hal ini akan menciptakan anak yang tidak percaya diri. Anak yang manja sulit menyesuaikan diri di antara teman-temannya. Karena ia tidak paham bila berinteraksi sosial dengan orang lain ada aturan yang harus diikuti, bahwa anak harus saling berbagi, dan lain-lain, sebut Vera. Rentang toleransi anak manja biasanya rendah. Tetapi, tidak ada kata terlambat untuk melatih anak menjadi mandiri. Asalkan ada kesempatan bagi anak untuk menunjukkan perilaku mandirinya, ujarnya. Hanya saja, akan semakin sulit manakala usia anak makin bertambah karena sebelumnya anak selalu bergantung pada orangtua dan pengasuhnya. Anak akan menuntut untuk terus dilayani, diperhatikan, hingga akhirnya sulit diubah. Seberapa pun sulitnya, anak tetap bisa dilatih mandiri. Yang penting, orangtua konsisten bahwa ada hal-hal yang bisa dilakukan anak, khususnya kemampuan adaptif. Dengan dilatih mandiri, anak akan lebih percaya diri, bertanggung jawab, dan cerdas. Anak seperti ini yang Anda inginkan, bukan? @ Diana Yunita Sari Sumber: http://www.seniornews.co.id/modules.php?name=News&file=article&sid=53 Dipublikasi pada Jumat, 13 Januari 2006

Bantulah Anak Mandiri Sedini Mungkin


Posted by juliach on October 14, 2008 Hari raya Idul Fitri merupakan hari libur national bagi para pekerja rumah tangga, berarti para ibu pada pusing kepala. Pasti sudah terbayangkan bertumpuknya pekerjaan rumah tangga. Apalagi bagi mereka yang berkarir dan masih mempunyai anak balita. Di benak mereka sudah berlalu lalang banyak pikiran-pikiran: apakah si mbak bisa pulang secepatnya/tidak kembali sama sekali, ke mana anak harus dititipkan, apakah nanti anak

bisa makan tanpa si mbak, apakah setiap sore harus begadang terus menina-bobokan si kecil, dsb. Pokoknya intinya repot saja. Sebetulnya hal-hal ini tidak akan terjadi jika kita membiasakan anak-anak kita bermandiri sejak dini. Memang sih berat awal-awalnya, apalagi untuk anak pertama. Tentu saja, bagi mereka yang mempunyai anak pertama, para ibu inginnya selalu menimang-nimang si kecil terus. Kita masih memberikan perhatian penuh dan selalu was-was jikalau terjadi masalah sedikit pun. Ini sedikit tips untuk ibu-ibu (khususnya yang baru/akan berumah tangga atau akan/masih memiliki balita): 1. Sediakan kamar untuk si kecil Sebelum bayi lahir, sebaiknya kita harus menyiapkan kamar untuk si kecil. Kamar itu bakal menjadi dunianya: tempat dia bermain dan menyimpan harta benda pribadinya dan juga tempatnya untuk berkayal. Begitu si kecil lahir, kita harus membiarkannya tidur sendiri di kamarnya. Tentu saja harus di sediakan alat untuk mendengar/babyphone jika dia menangis. 2. Jangan membiasakan anak digendong-gendong Jangan salah, jika kita tidak mengendong-ngendong bayi bukan berarti tidak sayang. Kita bisa biarkan saja jika bayi terbangun dan tidak menangis. Biarkanlah dia bermain dengan bonekanya ataupun jari-jarinya sendiri. Apalagi kita/pembantu RT/baby sitter sedang mengerjakan sesuatu. Asal jangan terlalu lama. Jika sudah lebih dari 1 jam dia bermain sendiri, sebaiknya kita juga bisa bermain bersamanya. Kita bisa letakan bayi di lantai dengan/tanpa kasur. Biarkan dia lelah bermain, setelah itu kita beri susu/makan dan membiarkan tidur kembali. 3. Beradaptasi dengan perkembangan anak Bertambah usia maka anakpun berkembang pula kemampuannya. Kita pun juga harus beradaptasi dengan perkembangan kemampuan si anak. Misalnya : - Umur 6-7 bulan, saat bayi sudah bisa duduk (walaupun dengan diganjal bantal), taruhlah dia di kursi bayi ketika kita memberi makan. Jika sudah hampir selesai (tinggal sisa dikit) atau saat makan dessert, kita bisa biarkan si anak makan sendiri. Tak apalah jika berceceran ke sana ke mari.

- Umur 7-9 bulan, saat anak belajar/sudah merangkak, kita bisa ajarkan untuk turun dari tempat tidur dewasa/sofa. Caranya: telungkup, lalu kaki turun, melorot sedikit demi sedikit hingga menyentuh lantai. - Anak umur 12-18 bulan sudah harus bisa makan sendiri. Tidak perlu disuapi. Mungkin pertama kali dia tidak makan banyak, nanti jika lapar dia akan makan sendiri. Ingat 2 jam sebelum makan, jangan diberi kue/permen/susu, supaya dia benar-benar lapar dan akan lebih menghargai makanannya. - Anak umur 4 tahun, sudah harus dibiasakan menyiapkan sarapan paginya sendiri: membuat susu (tak apa jika minum susu dingin (suhu ruangan) di pagi hari), memulas roti dgn coklat sendiri, menuang air ke gelas, - Jika sudah bisa berjalan, kita bisa ajarkan anak main pelorotan. Pertama-tama harus ditemani, lama-lama sudah bisa kita awas dari jarak jauh. - Biarkan anak bermain dengan teman/saudaranya. Jika ada problem, biarkan saja dia menyelesaikan persoalannya sendiri. Kita baru turun tangan jika temannya sangat membahayakan sekali. 4. Jangan memperlihatkan wajah kawatir di depan anak Boleh saja sih jika ibu sangat kawatir terhadap anaknya, namun itu tak perlu kita perlihatkan. Karena anak sangat pandai membaca raut muka orang tua dan merekapun sangat pandai mempermainkannya. Misalnya: - Anak terjatuh dan menangis, kita tak perlu buru-buru mendekatinya. Santai saja dan bisa kita katakan kalau ini bukan pertama kali dan terakhir kali dia terjatuh. Untuk menenangkannya kita bisa berikan minum air putih/sirup/coca-cola. Lalu suruh dia bermain kembali 5. Beri rasa tanggung jawab - Sejak kecil, anak-anak harus membereskan mainan mereka sebelum pergi tidur. Ajaklah mereka memasukan mainannya ke dalam kotak. Untuk pertama kalinya tak perlu bersih-bersih sih. - Paling tidak seminggu sekali anak yang sudah agak besar diharuskan membereskan kamarnya sendiri. Hal ini orang tua harus sabar menemaninya, tetapi tidak perlu membantu, cukup mengawasinya. - Sejak umur sekitar 4 tahun, libatkan mereka dengan pekerjaan di dapur. Berikan pekerjaan-pekerjaan yang mudah. Mis: mengupas bawang putih, memotong ujung buncis, mengupas telor rebus.

- Umur 7 tahun, anak sudah harus bisa membuat nasi sendiri. Pastilah memakai rice cooker. Supaya pasti berhasil, pakailah takaran yang pasti/eksak: 1 gelas beras + 2 gelas air. - Sejak umur 7 tahun: di hari minggu kita bisa menikmati sarapan di kamar/di teras rumah. Bisa bergantian dengan anak untuk menyiapkan sarapan pagi. Mis: Ayah harus menyiapkan sarapan pagi minggu I, Ibu di minggu II, anak di minggu III. - Sejak umur 7 tahun, biasakan untuk berlibur selama beberapa hari tanpa orang tua (dengan orang lain) - Sejak umur 18 tahun, anak sudah keluar dari rumah. Ibu juga harus mendidik pembantu supaya program ini sukses. Pembantu rumah tangga itu untuk membantu tugas ibu, bukan melayani anak secara 100%. Masih banyak lagi

You might also like