You are on page 1of 20

MAKALAH PELAYANAN KEFARMASIAN DI KLINIS

HIPERTENSI

Disusun Oleh : 1. Gary Rantetadung, S.Farm. (118115081) 2. Ika Lestari Budiningsih, S.Farm. (118115082) 3. Ika Puji Rahayu, S.Farm. (118115083) 4. Iryana Butar-Butar, S.Farm. (118115084) 5. Lusiana Dwi Aryanti, S.Farm. (118115085) 6. Lidya Valentina Guru, S.Farm. (118115086) 7. Mahendra Agil Kusuma, S.Farm. (118115087) 8. Marcella Pradita, S.Farm. (118115088) 9. Margareta Ratih Vitaningrum, S.Farm. (118115089) 10. Martina Tri Handayani, S.Farm. (118115090)

PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA 2012

A. DEFINISI 1

Tekanan darah yaitu tekanan yang dialami darah pada pembuluh arteri ketika darah di pompa oleh jantung ke seluruh anggota tubuh manusia. Tekanan darah ditentukan oleh 2 faktor utama yaitu curah jantung dan resistensi perifer (Setyawati dan Bustami, 1995). Ada dua macam tekanan darah yaitu tekanan darah sistolik dan diastolik. Tekanan darah sistolik adalah kekuatan tekanan darah tertinggi terhadap dinding arteri sewaktu jantung berkontraksi. Tekanan darah diastolik merupakan tekanan darah terendah terhadap pembuluh darah arteri sewaktu jantung istirahat diantara dua denyut (Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik,
2006).

Hipertensi adalah penyakit umum yang diartikan sebagai peningkatan tekanan darah arteri secara terus menerus sehingga melebihi batas normal (Dipiro, Talbert, Yee, Matzke, Wells and Posey, 2008). Hipertensi didefinisikan sebagai keadaan dimana kenaikan tekanan darah sistolik 140 mmHg atau lebih dan tekanan diastolik 90 mmHg atau lebih dan diukur lebih dari satu kali kesempatan (Brunton, Parker, Blumenthal and Buxton, 2010). Hipertensi merupakan masalah kesehatan besar di seluruh dunia karena prevalensinya yang tinggi dan hubungannya dengan peningkatan risiko penyakit kardiovaskular. B. EPIDEMIOLOGI HIPERTENSI Di Amerika, diperkirakan 1 dari 4 orang dewasa menderita hipertensi. Apabila penyakit ini tidak terkontrol, akan menyerang target organ, dan dapat menyebabkan serangan jantung, stroke, gangguan ginjal, serta kebutaan. Dari beberapa penelitian dilaporkan bahwa penyakit hipertensi yang tidak terkontrol dapat menyebabkan peluang 7 kali lebih besar terkena stroke, 6 kali lebih besar terkena congestive heart failure, dan 3 kali lebih besar terkena serangan jantung. Menurut World Health Organization (WHO) dan the International Society of Hypertension (ISH), saat ini terdapat 600 juta penderita hipertensi di seluruh dunia, dan 3 juta di antaranya meninggal setiap tahunnya. Tujuh dari setiap 10 penderita tersebut tidak mendapatkan pengobatan secara adekuat (Rahajeng dan Tuminah, 2009). Hipertensi merupakan penyebab kematian nomor 3 setelah stroke dan tuberkulosis, yakni mencapai 6,7% dari populasi kematian pada semua umur di Indonesia. Hipertensi merupakan gangguan sistem peredaran darah yang menyebabkan kenaikan tekanan darah di atas normal, yaitu 140/90 mmHg. Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Balitbangkes tahun 2007 menunjukan prevalensi hipertensi secara nasional mencapai 31,7% (Departemen Kesehatan RI, 2010). C. ETIOLOGI Menurut etiologinya, hipertensi digolongkan menjadi dua macam, yaitu :
2

1.

Hipertensi primer atau esensial adalah hipertensi yang tidak (belum) diketahui penyebabnya. Dari sejumlah penderita hipertensi secara umum, sebanyak 90-95% termasuk dalam golongan ini. Diduga pemicu terjadinya hipertensi primer adalah karena faktor usia, stress psikologis yang berkepanjangan, keturunan (hereditas), gangguan fungsi jantung dan pembuluh darah sehingga dapat memicu terjadinya peningkatan tekanan darah. Umumnya penderita hipertensi jenis ini tidak merasakan gejala apa apa (Suenanto dan Hardi, 2009).
Tabel I. Faktor Risiko Penyakit Kardiovaskular

(Medical Review, 2008).

2.

Hipertensi sekunder adalah hipertensi yang sudah diketahui penyebabnya. Sekitar 5-10% pasien hipertensi diketahui penyebabnya melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan laboratorium. Penyebab hipertensi sekunder disajikan pada tabel II di bawah ini.

Tabel II. Penyebab Hipertensi Sekunder

(Medical Review, 2008).


3

D. KLASIFIKASI Klasifikasi hipertensi dibedakan berdasarkan tingginya Tekanan Darah (TD), derajat kerusakan organ dan etiologinya. 1. Berdasarkan Tekanan Darah (TD) Kategori TDD (mmHg) < 85 85 89 TDS (mmHg) < 130 130 139 140 159 160 179 180 209 210
and Treatment of High

Normal Normal tinggi Hipertensi tingkat 1 (ringan) 90 99 tingkat 2 (sedang) 100 109 tingkat 3 (berat) 110 119 tingkat 4 (sangat berat) 120 *Klasifikasi baru menurut The Joint National Committee on Detection, Evaluation,
Blood Pressure, Amerika Serikat, dalam laporannya yang ke-5 pada tahun 1992.

Makin tinggi TD, makin besar risiko untuk mengalami komplikasi yang fatal dan nonfatal. Risiko komplikasi pada setiap tingkat hipertensi ini meningkat beberapa kali lipat bila telah terdapat kerusakan organ sasaran (target organ disease = TOD), perdarahan retina. 2. Berdasarkan derajat kerusakan organ Seseorang dikatakan menderita hipertensi labil, bila TD-nya tidak selalu berada dalam kisaran hipertensif. Pada hipertensi akselerasi, peningkatan TD terjadi progresif dan cepat, disertai kerusakan vaskular yang terlihat pada funduskopi sebagai perdarahan retina tetapi tanpa udem papil. Hipertensi maligna adalah hipertensi akselerasi yang disertai udem papil; pada keadaan ini TD seringkali lebih dari 200/140 mmHg. 3. Berdasarkan etiologi misalnya hipertrofi ventrikel kiri, serangan iskemia selintas (TIA), gangguan fungsi ginjal, atau

Berdasarkan etiologinya, hipertensi dibagi atas hipertensi esensial dan hipertensi sekunder. a. Hipertensi esensial Hipertensi esensial juga disebut hipertensi primer atau idiopatik, adalah hipertensi yang tidak jelas etiologinya. Lebih dari 90% kasus hipertensi termasuk dalam kelompok ini. Kelainan hemodinamik utama pada hipertensi esensial adalah peningkatan resistensi perifer. Penyebab hipertensi esensial adalah multifaktor, terdiri dari faktor genetik dan lingkungan. Faktor keturunan bersifat poligenik dan terlihat dari adanya riwayat penyakit kardiovaskular dalam keluarga. Faktor predisposisi genetik ini dapat berupa sensitivitas terhadap natrium, kepekaan terhadap stres peningkatan reaktivitas vaskular (terhadap vasokonstriktor), dan resistensi insulin. Paling sedikit ada 3 faktor lingkungan yang dapat menyebabkan hipertensi, yakni makan garam (natrium) berlebihan, stres psikis, dan obesitas. b. Hipertensi sekunder Prevalensi hipertensi sekunder ini hanya sekitar 5 8% dari seluruh penderita hipertensi. Hipertensi sekunder dapat disebabkan oleh penyakit ginjal (hipertensi renal), penyakit endokrin (hipertensi endokrin), obat, dan lain-lain. Hipertensi renal dapat berupa hipertensi renovaskular, yakni hipertensi akibat lesi pada arteri ginjal sehingga menyebabkan hipoperfulasi ginjal, misalnya stenosis arteri ginjal dan vaskulitis intrarenal. Selain itu hipertensi ini merupakan akibat lesi pada parenkim ginjal yang menimbulkan gangguan fungsi ginjal, misalnya glomerulonefritis, pielonefritis, penyakit ginjal polikistik, nefropati diabetik, dan lain-lain. Hipertensi endokrin terjadi misalnya akibat kelainan korteks adrenal (aldosteronisme primer, sindrom Cushing), tumor di medula adrenal (feokromositoma), akromegali, hipotiroidisme, hipertiroidisme, hiperparatiroidisme, dan lain-lain. Penyakit lain yang dapat menimbulkan hipertensi adalah koarktasio aorta, kelainan neurologik (tumor otak, ensefalitis, dsb), stres akut (luka bakar, bedah, dsb), polisitemia, dan lain-lain. Beberapa obat, misalnya kontrasepsi hormonal (paling amin sering), hormon fenilefrin, adrenokortikotropik, kortikosteroid, simpatomimetik (efedrin,

fenilpropanolamin, amfetamin), kokain, siklosporin, dan eritropoietin, juga dapat menyebabkan hipertensi.
5

E. PATOFISIOLOGI Dalam kondisi normal, tekanan darah dalam tubuh diatur oleh banyak faktor, oleh karena itu, banyak kemungkinan gangguan yang mungkin menyebabkan terjadinya kenaikan tekanan darah. Faktor-faktor pengatur tekanan darah tersebut di antaranya sistem ReninAngiotensin-Aldosterone (RAA), hormon-hormon pengatur keseimbangan natrium, kalium, dan kalsium, serta mekanisme neurologis. Sistem Renin-Angiotensin-Aldosterone (RAA). Merupakan sistem endogen pengatur keseimbangan cairan, natrium, dan kalium, yang termasuk dalam komponen regulasi tekanan darah di dalam tubuh. Sistem ini sendiri dikendalikan oleh ginjal. Pada bagian arteriola ginjal terdapat sel juxtagloerular. Di dalamnya terdapat renin, suatu enzim yang akan disekresikan jika sel juxtaglomerular menangkap sinyal berupa terjadinya penurunan tekanan darah dalam tubuh. Setelah disekresikan, renin akan mengkatalisasi konversi angintensinogen menjadi angiotensin I yang kemudian dikonversi lagi menjadi angiotensin II oleh enzim angintensin-converting-enzyme (ACE). Enzim ini memiliki beberapa reseptor di dalam tubuh yang dapat mempengaruhi tekanan darah, antara lain di otak, ginjal, myocardium, pembuluh perifer, dan di kelenjar adrenal. Dihasilkannya angiotensin II dapat menyebabkan kenaikan tekanan darah melalui beberapa mekanisme, antara lain terjadinya vasokonstriksi, peningkatan aktivitas saraf simpatik, pelepasan katekolamin, serta pelepasan aldosterone, suatu hormon yang mengatur keseimbangan cairan, natrium, dan kalium (Dipiro, et. al., 2008). Tekanan darah juga dipengaruhi oleh diameter dalam pembuluh arteri yang akan mempengaruhi nilai tahanan perifer pembuluh (tekanan darah = cardiac output x tahanan perifer). Oleh karena itu, penyempitan pembulih darah karena terbentuknya plak (endapan lipid, kalsium, sel darah) juga akan meningkatkan tekanan darah. Selain kedua gangguan di atas, hipertensi juga dapat terjadi sebagai komplikasi penyakit diabetes melitus, hipertiroid, dan sindrom Cushing (Anonim, 2010). F. GEJALA HIPERTENSI Pada kebanyakan kasus, hipertensi terdeteksi saat pemeriksaan fisik karena alasan penyakit tertentu, sehingga sering disebut sebagai silent killer. Tanpa disadari penderita mengalami komplikasi pada organ-organ vital seperti jantung, otak ataupun ginjal (Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik, 2006). Kadang-kadang orang dengan tekanan darah tinggi mengalami: a. Sakit kepala
6

b. Vertigo c. Penglihatan kabur d. Mual dan muntah, dan e. Nyeri dada dan sesak napas (Wedro, B. and Stopler, M.C., 2012). Tekanan darah tinggi dalam jangka waktu lama akan merusak endothel arteri dan mempercepat atherosklerosis. Komplikasi dari hipertensi termasuk rusaknya organ tubuh seperti: a) b) c) d) jantung mata ginjal otak (Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik, 2006). G. PENATALAKSANAAN HIPERTENSI 1. Tujuan terapi Tujuan utama terapi antihipertensi adalah mengurangi angka morbiditas dan mortalitas akibat hipertensi, yang terkait dengan kerusakan organ terutama jantung dan ginjal. Tujuan tersebut dapat dicapai melalui tekanan darah sistolik dan diastolik yang terkontrol (Dipiro, et al., 2008; NHLBI, 2003). 2. Sasaran terapi Sasaran terapi yang ingin dicapai adalah tekanan darah sistolik dan diastolik, yaitu 130/80 mmHg (NHLBI, 2003).

Gambar 1. Algoritma Terapi Hipertensi (NHLBI, 2003)

3. Terapi non-farmakologis Terapi non-farmakologis pada pasien hipertensi adalah dengan modifikasi pola hidup. Modifikasi pola hidup/lifestyle dapat mengurangi tekanan darah dengan mengurangi tekanan darah sistolik, yang secara langsung juga mengurangi tekanan darah diastolik. Selain itu modifikasi pola hidup yang meliputi mengurangi berat badan dan mengatur pola makan juga dapat meningkatkan efikasi obat-obat antihipertensi dan mengurangi risiko penyakit kardiovaskular (Dipiro, et al., 2008; NHLBI, 2003). Selain untuk terapi pada pasien hipertensi, modifikasi lifestyle dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya hipertensi.

Gambar 2. Modifikasi Lifestyle untuk Terapi Hipertensi (NHLBI, 2003)

4. Terapi farmakologis Obat-obat yang digunakan sebagai agen antihipertensi adalah golongan ACE (angiotensin converting enzyme) inhibitor, angiotensin receptor blocker (ARB), betablocker (BB), calcium channel blocker (CCB), diuretika golongan tiazid dan obat-obat yang bekerja pada reseptor . Pilihan obat untuk terapi awal tergantung pada peningkatan tekanan darah dan ada/tidaknya indikasi khusus pada pasien. Prinsipnya terapi hipertensi stage I dimulai dengan diuretika tipe tiazid, ACE inhibitor, ARB atau CCB. Untuk pasien dengan hipertensi stage II menggunakan kombinasi obat antihipertensi, dengan salah satunya adalah diuretika tipe tiazid. Terapi kombinasi sangat efektif karena dosis masingmasing obat dapat digunakan lebih rendah, selain itu efek samping tiap obat berkurang (Tjay, 2007). Menurut NICE Clinical Guideline (2011), kombinasi ACE-I dan ARB tidak disarankan untuk terapi hipertensi. Menurut European Society of Hypertension (2003), kombinasi untuk dua antihipertesi adalah sebagai berikut (garis tebal menunjukkan kombinasi yang efektif):
9

Gambar 3. Kombinasi Obat Antihipertensi (Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik, 2006)

a. Diuretika Diuretika, terutama golongan tiazid, merupakan obat antihipertensi lini pertama yang digunakan dalam terapi hipertensi. Golongan diuretika menurunkan tekanan darah dengan meningkatkan ekskresi natrium, klorida dan air sehingga mengurangi volume plasma dan cairan ekstrasel. Golongan ini dapat digunakan secara tunggal dalam penanganan hipertensi essensial ringan dan sedang, namun pada hipertensi yang lebih berat dapat digunakan kombinasi diuretika dengan obat simpatolitik dan vasodilator. Diuretika yang sering digunakan untuk terapi hipertensi antara lain furosemid dan tiazid. Diuretika dapat meningkatkan efikasi antihipertensi dalam penggunaan obat kombinasi (Katzung, 2001; NHLBI, 2003). Tiazid Mekanisme kerja tiazid (contoh Hydrochlorothiazida) adalah menghambat reabsorpsi NaCl dari sisi luminal sel apitel dalam tubulus distal. Tiazid memiliki aksi yang lebih rendah dari loop diuretika karena NaCl yang diserap oleh tubulus distal sedikit jumlahnya hanya sekitar 10% dari NaCl tersaring daripada tubulus proksimal dan cabang thick ascending limb karena sekitar 90% dari filtrasi Na+ diserap sebelum mencapai tubulus distal (Katzung, 2001). b. ACE inhibitor Mekanisme kerja ACE-I adalah dengan mengurangi pembentukan angiotensin II. Angiotensin II merupakan vasokonstriktor yang dapat meningkatkan tekanan darah dan merangsang sekresi aldosteron, hormon yang menstimulasi retensi natrium dan air. Dengan demikian ACE-I menyebabkan vasodilatasi dan menghambat
10

pembentukan aldosteron, sehingga mengurangi tekanan darah. ACE-I merupakan golongan antihipertensi tahap pertama yang efektif untuk hipertensi ringan, sedang dan berat, serta merupakan obat lini pertama untuk terapi hipertensi pada pasien dengan gangguan ginjal, diabetes dan gagal jantung (Moser, 2008). Contoh obat golongan ACEI adalah sebagai berikut: kaptopril, enalapril, lisinopril, ramipril, kuinapril, perindopril, silazapril, benazepril, delapril dan fosinopril. c. Angiotensin receptor blocker Antagonis angiotensin II (ARB) mempunyai sifat yang mirip dengan ACE-I, namun obat ini tidak memecah bradikinin yang dapat memicu timbulnya batuk kering persisten yang merupakan efek samping dari penghambat ACE. Oleh karena itu, ARB menjadi alternatif bila pasien tidak dapat mentoleransi batuk kering persisten sebagai akibat penggunaan ACEI (Neal, 2005). Salah satu contoh ARB adalah Losartan. d. Calcium channel blocker Obat golongan ini bekerja dengan memperlambat pergerakan kalsium ke dalam sel jantung dan dinding arteri yang membawa darah dari jantung ke jaringan sehingga arteri menjadi relaks dan dapat menurunkan tekanan dan aliran darah di jantung (Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik, 2006). Antagonis kalsium secara kimiawi dapat dibagi ke dalam 2 kelompok, yakni derivat dihidropiridin, efek vasodilatasinya amat kuat maka digunakan sebagai obat hipertensi. Contoh obat dari kelompok ini adalah amlodipin, nifedipin, nisoldipin, felodipin. Kelompok yang kedua adalah kelompok non-dihidropiridin antara lain diltiazem dan verapamil (Anonim, 2011). e. Beta-blocker Beta-blocker menghambat respon dari reseptor beta sehingga memperlambat denyut jantung dan kontraktilitas miokardium serta mengurangi volume darah yang dipompa jantung per menit. Dengan demikian mengurangi tekanan darah (Moser, 2008). Contoh obat golongan BB adalah propanolol, nadolol, atenolol dan pindolol.

f. Antagonis Reseptor 1-Adrenergik


11

Antagonis reseptor 1-adrenergik mengurangi resistensi arteriola dan kapasitansi vena sehingga menyebabkan peningkatan refleks frekuensi jantung dana aktifitas renin plasma yang diperantai saraf simpatik. Selama terapi jangka panjang, vasodilatasi tetap terjadi, namun curah jantung, denyut jantung, dan aktivitas renin plasma kembali ke normal. Aliran darah ginjal tidak berubah selama terapi. Antagonis reseptor 1-adrenergik mengurangi konsentrasi trigliserida dan kolesterol total serta kolesterol LDL dan meningkatkan HDL. Efek ini berpotensi menguntungkan untuk mengontrol lipid ketika diberikan bersamaan diuretik tipe tiazid. Konsekuensi jangka panjang pada perubahan-perubahan kecil dalam lipid yang diinduksi oleh obat ini tidak diketahui. Contoh dari golongan ini misalnya prazosin, terazosin, dan doxazosin (Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik, 2006). g. Agonis 2 sentral Golongan ini bekerja dengan merangsang reseptor 2 di otak sehingga terjadi penurunan aliran simpatik dari pusat vasomotor di otak dan meningkatkan tonus vagal. Penurunan aktivitas simpatetik tersebut bersamaan dengan peningkatan aktivitas parasimpatetik akan menurunkan denyut jantung, cardiac output, total resistensi perifer, aktivitas plasma renin, dan reflex baroreseptor. Contoh obat golongan ini adalah klonidin dan metildopa (Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik, 2006).

12

Gambar 4. Kombinasi Obat Antihipertensi Menurut JNC 7 (2003)

H. MONITORING KLINIS Monitoring secara rutin yang dilakukan untuk memperkirakan perkembangan penyakit, efek dari terapi antihipertensi (efektivitas), efek samping yang tidak diinginkan (toksisitas), dan kepatuhan (adherence) diperlukan bagi seluruh pasien yang diterapi dengan obat antihipertensi. 1. Perkembangan penyakit Pasien harus dimonitoring untuk tanda dan gejala dari perkembangan penyakit organ target. Sebuah riwayat untuk nyeri dada (atau tekanan), palpitasi, kepusingan, dyspnea, orthopnea, sakit kepala, perubahan dalam pengelihatan secara tiba-tiba,
13

kelemahan pada satu sisi, berbicara dengan terbata-bata, dan kehilangan keseimbangan dapat digunakan untuk mengetahui adanya komplikasi dari hipertensi. Parameter monitoring klinis lain yang mungkin dapat digunakan untuk memprediksi penyakit pada organ target antaralain perubahan funduskopik pada pemeriksaan mata, hipertrofi ventricular kiri pada elektrokardiogram, proteinuria, dan perubahan pada fungsi ginjal. Parameter - parameter tersebut harus dimonitor secara periodik karena beberapa tanda penurunan memerlukan penaksiran dengan segera dan follow up (Dipiro, et al., 2008). 2. Efektivitas Tujuan penanganan antihipertensi adalah untuk menjaga tekanan darah arteri dibawah 140/90 mmHg guna mencegah morbiditas dan mortalitas kardiovaskuler (Sukandar, Andrajati, Sigit, Adnyana, Setiadi, dan Kusnandar, 2008). Monitoring klinis berbasis tekanan darah merupakan standar untuk memanage hipertensi. Respon tekanan darah harus dievaluasi 2 sampai 4 minggu setelah memulai atau membuat perubahan pada terapi. Apabila nilai tekanan darah tercapai, dan seandainya tidak ada tanda atau gejala adanya penyakit akut pada organ target, monitoring tekanan darah dapat dilakukan setiap 3 sampai 6 bulan. Evaluasi dengan frekuensi lebih sering dibutuhkan oleh pasien dengan riwayat kontrol yang rendah, nonadherence, perkembangan kerusakan organ target, atau gejala efek samping obat yang tidak diinginkan. Pengukuran sendiri dari tekanan darah atau monitoring tekanan darah ambulatory dapat digunakan secara efektif untuk pengontrolan 24 jam (Dipiro, et al., 2008). 3. Toksisitas Pasien harus dimonitor secara rutin untuk efek samping obat yang tidak diinginkan. Monitoring harus secara khusus dilakukan 2 sampai 4 minggu setelah memulai sebuah obat baru atau peningkatan dosis obat, dan 6 sampai 2 bulan pada pasien yang stabil. Monitoring tambahan mungkin diperlukan jika terdapat penyakit penyerta (misalnya : diabetes, dyslipidemia, dan gout). Selain itu, pasien yang diterapi dengan sebuah antagonis aldosterone (eplerenone atau spironolactone), harus memiliki perkiraan konsentrasi potassium dan fungsi ginjal dalam 3 hari dan dilakukan kembali pada 1 minggu setelah memulai pengobatan untuk mendeteksi potensial hiperkalemia. Kejadian dari sebuah efek samping obat yang tidak diinginkan mungkin memerlukan pengurangan dosis obat atau penggantian dengan obat antihipertensi lain (Dipiro, et al., 2008). 4. Kepatuhan (adherence)
14

Hipertensi merupakan penyakit yang secara relative asimptomatik, sehingga frekuensi kepatuhan terapi pasien menjadi rendah, terutama pada pasien yang baru saja menjalani terapi. Hal ini diperhitungkan hanya mencapai 50% pasien dengan diagnosis baru dari hipertensi yang melanjutkan terapinya pada 1 tahun. Oleh karenanya, penting untuk penilaian ketaatan pasien secara teratur (Dipiro, et al., 2008). Identifikasi ketidakpatuhan pasien harus ditunjang dengan edukasi secara tepat bagi pasien, konseling, dan intervensi. Regimen dosis harian lebih disukai pada sebagian besar pasien untuk meningkatkan kepatuhan. Pasien dengan terapi antihipertensi harus ditanya secara periodik tentang perubahan pada persepsi kesehatannya secara umum, tingkat energi, fungsi fisik, serta kepuasan secara kseluruhan mengenai pengobatannya. Modifikasi gaya hidup harus selalu direkomendasikan untuk menurunkan tekanan darah dan memperoleh potensial keuntungan kesehatan yang lainnya (Dipiro, et al., 2008). I. KASUS Tuan A 56 tahun adalah seorang perokok berat (25 batang perhari). Berat 90 kg, tinggi 160 cm. Ia bekerja di klub malam sebagai bartender dan juga minum alkohol dalam jumlah yang tidak sedikit. Ia mengeluhkan satu minggu terakhir ini ia mengalami sakit yang hebat di pinggang sebelah kirinya. Sebelumnya Tuan A mengkonsumsi suplemen yang mengandung Kalium atas saran dokter. Tuan A belum pernah menggunakan terapi hipertensi sebelumnya. Orang tuanya meninggal pada umur 65 tahun karena serangan jantung. Setelah dilakukan pemeriksaan terhadap pasien diperoleh data sebagai berikut: 1. Tekanan darah pasien : 180/130 2. Kreatinin serum 2.8 mg/dl (0.7-1.5) 3. Kolesterol : 230 mg/dl (s/d 220 mg/dl) 4. K serum : 4.5 mEq/L (3.5-5.2) Adapun terapi yang diterima pasien adalah 1. Captopril 12,5 mg 2 x 1 2. Bisoprolol fumarat 5 mg 11 3. Simvastatin 10 mg 11 4. Aspirin 81 mg 11 Problem: Hipertensi stage II, Penurunan fungsi ginjal Assesment:
15

Tekanan darah pasien adalah 180/130 mmHg. Menurut JNC 7, tekanan darah 160/100 merupakan hipertensi stage II. Dari hasil laboratorim pasien diketahui pula bahwa nilai kreatinin serum pasien berada di atas range normal yaitu 2,8 mg/dl. Pasien diberi kombinasi dua macam antihipertensi yaitu captopril (golongan ACE-Inhibitor) dan Bisoprolol fumarat (golongan -blocker). Selain itu pasien juga diberi Simvastatin (untuk menurunkan kadar kolesterol) dan pasien juga diberikan aspirin (sebagai anti agregasi platelet). Menurut JNC 7, untuk terapi hipertensi stage II dapat digunakan diuretika golongan tiazid atau dengan kombinasi ACEI, -blocker, ARB, atau CCB. Karena pasien menderita hipertensi stage II dan memiliki kadar kolesterol total yang tinggi serta memiliki riwayat keluarga penyakit jantung maka pasien diberikan aspirin sebagai anti-agregasi platelet untuk mencegah terbentuknya agregat platelet yang dapat menyumbat pembuluh darah dan menghambat aliran darah ke jantung. Rekomendasi: 1. Farmakologis Berdasarkan JNC 7, tatalaksana hipertensi stage II yang efektif adalah kombinasi dua antihipertensi, yaitu diuretika dan ACE inhibitor, ARB atau -blocker. Namun karena hasil pemeriksaan laboratorium menunjukkan pasien mengalami penurunan fungsi ginjal, maka obat diuretika tidak dianjurkan untuk pasien. Oleh karena itu digunakan kombinasi dua antihipertensi, yaitu golongan ACE inhibitor (captopril) dan -blocker (bisoprolol fumarat). Akan tetapi menurut Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik (2006), kombinasi terapi ACE inhibitor dan -blocker kurang efektif digunakan. -blocker efektif dikombinasikan dengan Ca-channel blocker, maka dapat diberikan amlodipin 2,5-10 mg/hari untuk Tuan A.

16

2.

Non-farmakologis

(National Institutes of Health, 2011). Monitoring 1. 2. 3. 4. Memantau tekanan darah pasien sehingga dapat diketahui efektivitas dari antihipertensi yang digunakan. Memantau profil lipid pasien meliputi nilai LDL, HDL, kolesterol total, dan trigliserida. Memantau resiko terjadinya efek samping obat yang merugikan, seperti batuk kering persisten akibat penggunaan kaptopril. Memantau kadar kreatinin pasien untuk mengetahui fungsi ginjal. Selain hal-hal diatas, perlu dilakukan edukasi terhadap pasien dan keluarga pasien dalam membantu kelancaran penatalaksanaan terapi yang diberikan. Adapun informasi yang diberikan yaitu:

17

Aturan minum antihipertensi harus diperhatikan seperti kaptopril diminum 1 jam sebelum makan dan hidroklortiazid diminum setelah makan. Mengatur jenis makanan yang dikonsumsi seperti buah-buahan, sayuran, produk susu rendah lemak, makanan rendah lemak dan kolesterol. Cukup istirahat dan olahraga secara teratur. Mengurangi konsumsi kafein dan alkohol. Mengurangi asupan natrium.

Daftar Pustaka
18

Anonim, 2010, An Overview to Hypertension, http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/000468.htm, diakses tanggal 25 Agustus 2010 Brunton, Parker, Blumenthal, and Buxton, 2010, Goodman and Gilman Manuals of Pharmacology and Therapeutics, McGrawHill, New York, pp.507. Departemen Kesehatan RI, 2010, Hipertensi Penyebab Kematian Nomor Tiga, Departemen Kesehatan RI, Jakarta, diakses dari http://www.depkes.go.id/index.php/berita/press-release/810-hipertansi-penyebabkematian-nomor-tiga.html. Dipiro, J. T., Talbert, R. L., Yee, G. C., Matzke, G. R., Wells, B. G., and Posey, L. M., 2008, Pharmacotherapy a Pathophysiologic Approach, 7th edition, McGrawHill, New York, pp. 157-162. Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik, 2006, Pharmaceutical Care untuk Penyakit Hipertensi, Departemen Kesehatan RI, Jakarta. Katzung, B. G., 2001, Farmakologi dasar dan klinik, EGC penerbit kedokteran, Jakarta. Medical Review Hipertensi Sekunder, Vol. 21, No. 3, Edisi Juli-Sepetember 2008. Moser, M., 2008, High Blood Pressure, Yale University School of Medicine Heart Book, USA, pp. 163-165. National Heart, Lung, and Blood Institute, The Executive Committee, 2003, JNC 7 Express, The Seventh Report of the Joint National Committee on : Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure, U.S. Department of Health and Human Service, http://www.nhlbi.nih.gov/guidelines/hypertension/express.pdf. National Institute of Health and Clinical Excellence, 2011, Hypertension, NICE, London, pp. 18-20. Neal, M.J., 2005, At A Glance Farmakologi Medis, Penerbit Erlangga, Jakarta, pp.78-79. Anonim, 2011, Amlodipin, http://www.drugbank.ca/drugs/DB00381, diakses tanggal 3 Maret 2012. Rahajeng, E., dan Tuminah, S., 2009, Prevalensi Hipertensi dan Determinasinya di Indonesia, Pusat Penelitian Biomedis dan Farmasi Badan Penelitian Kesehatan, Departemen Kesehatan RI, Jakarta. Setiawati, A., dan Bustami, Z. S., 1995, Antihipertensi, dalam Farmakologi dan Terapi, Edisi IV, edited by S.G. Ganiswara, Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, pp. 315-342. Suenanto, dan Hardi, 2009, 100 Resep sembuhkan Hipertensi, Obesitas, dan Asam Urat, 3-4, Gramedia, Jakarta.
19

Sukandar, E. Y., Andrajati, R., Sigit, J. I., Adnyana, I. K., Setiadi, A. P., dan Kusnandar, 2008, ISO Farmakoterapi, PT. ISFI Penerbitan, Jakarta, hal. 133. Wedro, B. dan Stopler, M.C., 2012, High Blood Pressure Symptoms, http://www.emedicinehealth.com/high_blood_pressure/page3_em.htm , diakses tanggal 25 Februari 2012.

20

You might also like