You are on page 1of 27

MODUL GEH LAKI-LAKI 23 TAHUN BERCAK MERAH DIPINGGANG KANAN BULAT, MENEBAL KELOMPOK IV

03009145 03009163 03011201 03011202 03011203 03011204 03011205 03011206 03011207 03011208 03011209 03011210 03011211

MARTHA RIANITA ODIAN NABILA SYAFIRA AUDI S MUSTAFIDAH MUTIARA FERINA MUTIARA PUTRI ELDA NABILA RAMADHINI NABILAH AHMAD M NADYA MARSHA F NAFIS SYAUQI NANCY EDISON NANI OKTAPIANI NARJAS SYAM NATASHA YUNITA W

JAKARTA JUNI 2013

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI BAB I PENDAHULUAN

BAB II LAPORAN KASUS

Identitas Nama Usia Jenis Kelamin Pekerjaan Alamat :: 23 tahun : Laki-laki : karyawan apotik :-

Anamnesis Keluhan Utama Keluhan Tambahan : bercak merah dipinggang kanan, berbentuk bulat, menebal :-

Riwayat Penyakit Sekarang : - Apakah ada rasa gatal? - bagaimana awal munculnya lesi? - Apakah ada keluhan lain? Seperti kesemutan,kelemahan otot - Kapan onset gejala yang dirasakan? - Apakah ada rasa nyeri? - Bagaimana riwayat pengobatan?

Riwayat Penyakit Dahulu -

Apakah pernah menderita penyakit kulit sebelumnya? Apakah ada riwayat alergi?

Riwayat Penyakit Keluarga -

Apakah ada anggota keluarga yang menderita gejala yang sama?

Riwayat kebiasaan - Bagaimana kebersihan diri pasien? - Apakah pakaian pasien sering dicuci?
2

Pemeriksaan

Hasil

Interpretasi Peninggian di atas permukaan kulit, permukaannya rata dan berisi zat padat dan berwarna merah Bentuk lesi teratur Sirkumskrip Hanya satu lesi Lebih besar dari pada uang logam 100 rupiah Di atasnya terdapat lapisan stratum korneum yang terlepas dari kulit. Terdapat central healing

Pemeriksaan Fisik

Plaque Eritematous

bulat, lonjong. Berbatas tegas Status dermatologis: Pada regio Thoracalis anterior dan posterior Soliter Ukurannya plakat

Diatasnya terdapat squama Di tengah bagian yang tampaknya seperti kulit normal

Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan LED Hb Hasil 52 mm/jam 14 g% Nilai normal 0-8 mm/jam 14-18 g% Interpretasi Penyakit kronis, infeksi bakteri Normal, tidak anemis Goresan pada lesi tidak ditemukan skuama yang berubah warnanya menjadi putih seperti lilin yang digores. (merupakan salah satu sifat khas pada psoriasis, jadi dapat di singgkirkan kemungkinan psoriasis) Tidak tampak serum atau darah berbintik-bintik yang di sebabkan oleh papilomatosis (merupakan salah satu sifat khas pada psoriasis, jadi dapat di singgkirkan kemungkinan psoriasis) Pada goresan tidak didapatkan autoinokulasi sepanjang goresan Tidak ada gangguan pada saraf Tidak ditemukan jamur (dapat menyingkirkan kemungkinan dermatofitosis) Ditemukan 1-10 BTA dalam 10 LP Banyak kuman yang solid (yang masih hidup)

Fenomena bercak lilin

Autpitz

Fenomena Kobner Test raba, sakit, suhu KOH 20%

+ Hipha (-) Spora (-) BTA ++

Pewarnaan ZN MI 80%

BAB III PEMBAHASAN

Identifikasi Masalah Bercak merah di pinggang kanan Bercak tersebut bulat dan menebal

Hipotesis Tinea Corporis Terdapat pada kulit tidak berambut. Tinea corporis berbentuk bulat atau lonjong, berbatas tegas, terdapat gatal, skuama, papul/vesikel. Dermatitis Pada fase akut akan terdapat eritema. Ptiriasis Rosea Predileksi dari ptriasis rosea adalah badan, terdapat eritema, berbentuk lonjong atau anular. Biasanya dimulai dengan lesi tunggal selanjutnya 2-4 hari kemudian akan timbul lesi-lesi lainnya. Psoriasis Terdapat bercak eritema dengan skuama kasar. Pediculosis Corporis Impetigo krustosa Kusta Terdapat macula kemudian akan menjadi papul atau nodul.

Diagnosis kerja

Berdasarkan anamnesis , pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang kelompok kami menegakkan diagnosis kerja adalah lepra. Menurut WHO, diagnosis lepra dapat ditegakkan jika ditemukan satu dari dua tanda kardinal berikut: Lesi pada kulit yang dicurigai lepra dan dengan kehilangan rasa rangsang sensoris yang definitif, dengan atau tidak adanya penebalan saraf. Pewarnaa kulit yang postif
5

Dengan ditemukannya kuman BTA lepra, dengan indeks morfologi +2 telah terpenuhinya satu syarat diatas yaitu ditemukannya kuman pada hapusan tahan asam kulit . Sehingga meyakinkan kelompok kami bahwa diagnosis kerja dari kasus ini adalah lepra. Patofisiologi

Penatalaksanaan 5 1. Diberikan Terapi Causal 2. Diberikan obat sistemik : Rifampicin 600mg/ bb Ofloxacin 400mg/bb Minocyclin 100 mg/bb

3. Follow Up (namun tidak dilakukan pengobatan lagi bila lesi telah hilang)

Komplikasi Pada penderita kusta, terutama yang terlambat didiagnosis dan tidak mendapatkan pengobatan mempunyai resiko tinggi untuk mendapat komplikasi yang terdapat pada beberapa tempat, yaitu : 1. Ekstremitas

Ekstremitas dapat terjadi hilangnya sensasi suhu, raba dan getar. Paling sering terjadi kerusakan nervus ulnaris yang menyebabkan posisi tangan menjadi clawing pada jari ke-4 dan ke-5. Jika terjadi kerusakan pada nervus medianus, jari dapat seperti dalam posisi mencakar dan jika kerisakan di nervus radialis, posisi tangan menjadi dropping.

2. Mata

Dapat terjadi kerusakan pada nervus kranial yang dapat bermanisfestasi bermacam-macam, seperti penurunan visus, iritis, kekeruhan kornea dan lagoftalmos.

3. Testis

Pada reaksi tipe ENL, terdapat penurunan kadar testosteron yang mengakibatkan impotensi.

4. Abses pada nervus

Abses pada nervus dapat terjadi terutama pada jenis BT terutama terjadi abses pada nervus ulnaris.

Menurut WHO, klasifikasi cacat dapat dibagi sebagai berikut : Cacat pada tangan dan kaki Tingkat 0 : Tidak ada gangguan sensibilitas, tidak ada kerusakan atau deformitas yang terlihat Tingkat 1 : Ada gangguan sensibilitas, tanpa kerusakan atau deformitas yang terlihat Tingkat 2 : Terdapat kerusakan atau deformitas

Cacat pada mata Tingkat 0 : Tidak ada kelainan/kerusakan pada mata (termasuk visus) Tingkat 1 : Ada kelainan/kerusakan pada mata, tetapi tidak terlihat, visus sedikit berkurang Tingkat 2 : Ada kelainan mata yang terlihat (misalnya lagoftalmos, iritis, kekeruhan kornea) dan atau visus sangat terganggu Pencegahan Vaksinasi BCG dapat menurunkan terjangkitnya lepra hingga 80%. Selain itu pencegahan yang lain dengan mencaga kebersihan tubuh.

Jika seseorang sudah terjangkit lepra, dilakukan pencegahan untuk mencegah komplikasi dengan cara diagnosis dini yang tepat serta pengobatan yg tepat. Jika terdapat gangguan sensibilitas,
8

diharapkan pasien menggunakan sepatu agar menghindari timbulnya luka yang menyebabkan infeksi sekunder. Selain itu memakai sarung tangan ketika ingin bekerja dengan benda tajam atau panas.

Prognosis Dengan pengobatan yang tepat prognosis Ad vitam untuk kusta adalah bonam, Karena kusta tidak mengancam hidup dan bisa di sembuhkan, Ad sanationamnya adalah bonam, dan Ad functionamnya adalah dubia ad bonam bila pengobatan terlambat dilakukan.

BAB IV TINJAUAN PUSTAKA 1. KUSTA A. DEFINISI Kusta merupakan penyakit infeksi yang kronik dan penyebabnya ialah Mycobacterium Leprae yang bersifat intraseluler obligat. Saraf perifer sebagai afinitas pertama, lalu kulit dan mukosa traktus respiratorius bagian atas, kemudian dapat ke organ lain kecuali susunan saraf pusat. B. EPIDEMIOLOGI Masalah epidemiologi masih belum bisa terpecahkan, cara penularannya belum diketahui pasti hanya berdasarkan anggapan klasik yaitu melalui kontak langsung antar kulit yang lama dan erat. Anggapan kedua secara inhalasi, sebab M.leprae masih dapat hidup beberapa hari dalam droplet. Masa tunasnya sangat bervariasi, antara 40 hari-40 tahun, umumnya beberapa tahun ratarata 3-5 tahun. Penyebaran penyakit kusta dari suatu tempat ke tempat lain sampai tersebar di seluruh dunia, tampaknya disebabkan oleh perpindahan penduduk yang terinfeksi penyakit tersebut. Masuknya kusta ke pulau-pulau malanesia termasuk Indonesia, diperkirakan terbawa oleh orang-orang cina. Distribusi penyakit ini tiap-tiap negara maupun dalam satu negara sendiri ternyata berbeda-beda. Demikian pula penyebab penyakit kusta menurun atau menghilang dalam suatu negara sampai saat ini belum jelas benar. Faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan adalah patogenesis kuman penyebab, cara penularan, keadaan sosial ekonomi dan lingkungan, varian genetik yang berhubungan dengan kerentanan, perubahan imunitas dan kemungkinan adanya reservoir diluar manusia. Penyakit kusta masa kini lain dengan kusta tempo dulu, tetapi meskipun demikian masih banyak hal-hal yang belum jelas diketahui, sehingga masih merupakan tantangan yang luas bagi para ilmuwan untuk pemecahannya. Belum ditemukan medium artifisial, mempersulit dalam mempelajari sifat-sifat M leprae. Sebagai sumber infeksi hanyalah manusia, diluar manusia. Penderita yang mengandung M.leprae jauh lebih banyak (sampai 1013 per gram jaringan), dibandingkan dengan menderita yang mengandung 107, daya penularan hanya tiga sampai sepuluh kali lebih besar. Kusta bukan penyakit keturunan. Kuman dapat ditemukan di kulit, folikel rambut, kelenjar keringat dan air susu ibu, jarang didapat dalam urin. Sputum dapat banyak
10

mengandung M.leprae yang berasal dari traktus respiratorius atas. Tempat implantasi tidak selalu menjadi lesi pertama. Dapat menyerang semua umur, anak-anak lebih rentan daripada orang dewasa. Di Indonesia penderita anak-anak di bawah umur 14 tahun didapatkan 11,39% tetapi anak dibawah umur 1 tahun jarang sekali. Saat ini usaha pencatatan penderita dibawah usia 1 tahun penting dilakukan untuk dicari kemungkinan ada tidaknya kusta kongenital.Frekuensi tertinggi terdapat pada kelompok umur antara 25-35 tahun. Kusta terdapat dimana-mana, terutama di Asia, Afrika, Amerika Latin, daerah tropis dan subtropis, serta masyarakat yang sosial ekonominya rendah. Makin rendah sosial ekonomi makin berat penyakitnya, sebaliknya faktor sosial ekonomi tinggi sangat membantu penyembuhan. Ada variasi reaksi terhadap infeksi M.leprae yang mengakibatkan variasi gambaran klinis (sprektrum dan lain-lain) di pelbagai suku bangsa. Hal ini diduga disebabkan oleh faktor genetik yang berbeda. Pada tahun 1991 World Health Assembly membuat resolusi tentang eliminasi kusta sebagai problem kesehatan masyarakat pada tahun 2000 dengan menurunkan prevalensi kusta menjadi dibawah 1 kasus per 10.000 penduduk. Di Indonesia hal ini dikenal sebagai eliminasi kusta tahun 2000 (EKT 2000) Jumlah kasus kusta di seluruh dunia selama 12 tahun terakhir ini telah menurun tajam di sebagian besar negara atau wilayah endemis. Kasus yang terdaftar pada permulaan tahun 2009 tercatat 213.036 penderita yang berasal dari 121 negara, sedangkan jumlah kasus baru tahun adalah 249.007. Di Indonesia jumlah kasus kusta yang tercatat akhir tahun 2008 adalah 22.359 orang dengan kasus baru tahun 2008 sebesar 16.668 orang. Distribusi tidak merata, yang terdiri anatara lain di Pulau Jawa, Sulawesi, Maluku dan Papua. Prevalensi pada tahun 2008 per 10.000 penduduk adalah 0,73. Kusta merupakan penyakit yang menyeramkan dan ditakuti oleh karena dapat terjadi ulserasi, mutilasi, dan deformitas. Penderita kusta bukan menderita karena penyakitnya saja, tetpi juga karena dikucilkan dari masyarakat sekitarnya. Hal ini akibat kerusakan saraf besar yang irreversibel di wajah dan ekstremitas, motorik dan sensorik serta dengan adanya kerusakan yang berulang-ulang pada daerah anastesik disertai paralisis dan atrofi otot. C. ETIOLOGI Kuman penyebab adalah Mycobacterium Leprae yang ditemukan oleh G.A HANSEN pada tahun 1874 di Norwegia, yang sampai sekarang belum juga dapat dibiakan dalam media artifisial. M.Leprae berbentuk kuman dengan ukuran 3-8 milimikron x 0,5 milimikron tahan asam dan alkohol serta positif-gram. D. PATOGENESIS Pada tahun 1960 Shepard berhasil menginokulasikan M.leprae pada kaki mencit dan berkembang biak di sekitar tempat suntikan. Dari berbagai macam spesimen, bentuk lesi maupun negara asal penderita, ternyata tidak ada perbedaan spesies. Agar dapat tumbuh diperlukan jumlah minimum M.leprae yang disuntikan dan jika melampaui jumlah maksimum tidak berarti meningkatkan perkembangbiakan. Inokulasi pada mencit yang telah diambil timusnya dengan diikuti iradiasi 900 r, sehingga kehilangan respon imun selularnya, akan menghasilkan granuloma penuh kuman terutama di bagian tubuh yang relatif dingan, yaitu hidung, cuping telinga, kaki
11

dan ekor. Kuman tersebut selanjutnya dapat diinokulasikan lagi, berarti memenuhi salah satu postulat Koch, meskipun belum seluruhnya dapat dipenuhi. Sebenarnya M.leprae mempunyai patogenitas dan daya invasi yang rendah, sebab penderita yang mengandung kuman lebih banyak belum tentu memberikan gejala yang lebih erat, bahkan dapat sebaliknya. Ketidakseimbangan antara derajat infeksi dengan derajat penyakit tidak lain disebabkan oleh respons imun yang berbeda yang menggugah timbulnya reaksi granuloma setempat atau menyeluruh yang dapat sembuh sendiri atau progresif. Oleh karena itu penyakit kusta dapat disebut sebagai penyakit imunologik. Gejala klinisnya lebih sebanding dengan tingkat reaksi selularnya daripada intensitas infeksinya. E. PENUNJANG DIAGNOSIS 1. Pemeriksaan Bakterioskopik Pemeriksaan Bakterioskopik digunakan untuk membantu menegakan diagnosis dan pengamatan pengobatan. Sediaan dibuat dari kerokan jaringan kulit atau usapan dan kerokan mukosa hidung yang diwarnai dengan pewarnaan terhadap basil tahan asam (BTA), antara lain dengan zat Ziehl-Nillsen. Bakteroskopik (-) pada seorang penderita, bukan berarti orang tersebut tidak mengandung kuman M.leprae. 2. Pemeriksaan Histopatologik Makrofag dalam jaringan yang berasal dari monosit di dalam darah ada yang mempunyai nama khusus, antara lain sel Kupffer dari hati, sel alveolar dari paru, sel glia dari otakdan yang dari kulit disebut histiosit. Salah satu tugas makrofag adalah melakukan fagositosis. Kalau ada kuman (M.leprae) masuk, akibatnya akan bergantung pada sistem Imunitas Seluler (SIS) orang itu. Apabila SISnya tinggi makrofag akan mampu memfagosit M.leprae. datangnya histiosit ke tempat kuman disebabkan karena proses imunologik dengan adanya faktor hemotaktik. Kalau datangnya berlebihan dan tidak ada lagi yang harus difagosit, makrofag akan berubah menjadi sel epiteloid yang tidak dapat bergerak dan kemudian akan dapat berubah menjadi sel datia Langerhans. Adanya masa epiteloid yang berlebihan dikelilingi oleh limfosit yang disebut tuberkel akan menjadi penyebab utama kerusakan jaringan dan cacat. Pada penderita SIS rendah atau lumpuh, histiosit tidak dapat menghancurkan M.leprae yang sudah ada didalamnya, bahkan dijadikan tempat berkembang biak dan disebut sel Virchow atau sel lepra atau sel busa dan sebagai alat angkut penyebarluasan. 3. Pemeriksaan Serologik Pemeriksaan Serologik kusta didasarkan atas terbentuknya antibodi pada tubuh seseorang yang terinfeksi oleh M.leprae. Antibodi yang terbentuk dapat bersifat spesifik terhadap M.leprae, yaitu antibodi anti phenolic glycolipid-1 (PGL-1) dan antibodi antiprotein 16kD serta 35 kD. Sedangkan antibodi yang tidak spesifik antaralain antibodi antilipoarabinomanan (LAM) yang juga dihasilkan oleh kuman M.tuberkulosis. Kegunaan pemeriksaan serologik ini ialah dapat membantu diagnosis kusta yang meragukan karena tanda klinis dan bakteriologik tidak jelas. Disamping itu dapat membantu menentukan kusta subklinis, karena tidak didapati lesi kulit, misalnya pada narakontak serumah. Macam-macam pemeriksaan serologik kusta ialah: - Uji MLPA (Mycobacterium Leprae Particle Aglutination) - Uji ELISA (Enzyme Linked Immuno-Sorbent Assay) - ML dipstick test (Mycobacterium leprae dipstick)
12

ML flow test (Mycobacterium leprae flow test)

F. TATALAKSANA UMUM Tujuan Pengobatan

Menyembuhkan penderita kusta dan mencegah timbulnya cacat. Pada penderita tipe Pausebasiler yang berobat lebih dini dan teratur akan mempercepat sembuh tanpa menimbulkan kecacatan. Akan tetapi pada penderita yang sudah mengalami kecacatan hanya dapat mencegah cacat yang lebih lanjut. Memutuskan mata rantai penularan dari penderita terutama tipe yang menular kepada orang lain. Pengobatan kusta ditujukan untuk mematikan kuman kusta sehingga tidak berdaya merusak jaringan tubuh, dan tanda-tanda penyakit menjadi berkurang dan akhirnya hilang. Dengan hancurnya kuman maka sumber penularan dari penderita tipe Multibasiler ke orang lain dapat terputus.

Obat-obatan Yang Digunakan

Menurut World Healty Organisation (WHO) pada tahun 1998 menambahkan 3 (tiga) obat antibiotika lain untuk pengobatan alternatif yaitu : ofloksasin, minosiklin dan klarifomisin, sedangkan obat anti kusta yang banyak dipakai saat ini adalah DDS (Diamino Diphenyl Suffone), clofazimine dan rifampizine.

1. DDS (Diamino Diphenyl Suffone)

Bentuk obat berupa tablet warna putih dengan takaran 50 mg/tab dan 100 mg/tab, sifat bakteriostatik yaitu menghalangi atau menghambat pertumbuhan kuman Mycobacterium Leprae Dosis : untuk dewasa 100 mg/ hari dan untuk anak-anak 1-2 mg/kg BB / hari. Efek samping jarang terjadi, tetapi biasa yang timbul adalah : anemia hemolitik, anoreksia, nausea, vertigo, penglihatan kabur, sulit tidur hepatitis, alergi terhadap obat DDS (Diamino Diphenl Suffone) sendiri dan Psychosis.

2. Clofazimine atau Lamprene

Berbentuk kapsul warna coklat dengan takaran 50 mg/kapsul dan 100 mg/kapsul, sifat bakteriostatiknya menghambat pertumbuhan kuman Mycobacterium Leprae dan anti
13

reaksi (menekan reaksi). Dosis yang digunakan ialah 50 mg/hari atau selang sehari, atau 3 x 100 mg setiap minggu.

Efek samping obat ini adalah warna kulit dapat kecoklatan sampai kehitam-hitaman tetapi dapat hilang bila pemberian obat distop, gangguan pencernaan dapat berupa diare dan nyeri pada lambung.

3. Rifampizin

Berbentuk kapsul atau kaplet dengan takaran 150 mg, 300 mg, 450 mg dan 600 mg, sifatnya mematikan kuman Mycobacterium Leprae (bakteriosid). Rifampizin merupakan obat kombinasi dengan DDS (Duamino Diphenyl Suffone) dengan dosis 10 mg / Kg BB, diberikan setiap hari atau setiap bulan. Rifampizin tidak boleh diberikan secara monotheraphy karena dapat memperbesar terjadinya resistensi, efek sampingnya yaitu kerusakan pada hati dan ginjal.

4. Prednison

Obat ini digunakan untuk penanganan timbulnya reaksi.

5. Sulfas Ferrosus

Obat tambahan untuk penderita kusta yang mengalami anemia berat.

6. Vitamin A

Obat ini digunakan untuk menyehatkan kulit yang bersisik (Ichthiosis) (Depkes RI, 2006).

Obat alternatif lain yaitu : 1. Ofloksasin

Ofloksasin merupakan turunan florokuinolon yang paling aktif terhadap mycobacterium leprae, efek samping terjadi mual, muntah dan gangguan saluran pernafasan lain.

2. Minosiklin

Termasuk dalam kelompok tetrasiklin, efek bakteriosidalnya lebih tinggi daripada klaritomisin tetapi lebih rendah dari rifampisin

3. Klaritomisin

14

Merupakan kelompok antibiotika mikrolid dan mempunyai aktifitas bakteriosidalnya terhadap Mycobacterium pada tikus dan manusia Rigimen pengobatan MDT di Indonesia sesuai dengan regimen pengobatan yang direkomendasikan oleh WHO regimen tersebut adalah sebagai berikut :

1.Penderita Pausi Basiler (PB) a. Penderita Pausi Lesi I diberikan dosis tunggal ROM (Rifampisin Ofloxacin Minocycli)

Dewasa 50-70 kg: 600 mg; 400 mg; 100 mg Anak 5-14 tahun: 300 mg; 200mg; 50 mg

1. Obat ditelan di depan petugas. 2. Anak kurang 5 (lima) tahun tidak diberikan ROM. 3. Ibu hamil tidak diberikan ROM.

Pemberian pengobatan sekali saja dan langsung dinyatakan RFT. Dalam program ROM tidak dipergunakan, penderita PB lesi satu diobati dengan regimen PB selama 6 (enam) bulan.

b. Penderita PB lesi 2-5

Dewasa, pengobatan bulanan : hari pertama (dosis yang diminum di depan petugas).

1. 2 kapsul rifampisin @ 300 mg (600 mg). 2. 1 tablet dapsone atau DDS 100 mg.

Pengobatan harian : hari ke 2- 28 : 1 tablet dapsone atau DDS 100 mg, 1 blister untuk 1 bulan. Lama pengobatan : 6 blister diminum selama 6-9 bulan.

2. Penderita Multi Basiler (MB)


Dewasa, pengobatan bulan : hari pertama (dosis yang diminum di depan petugas). 2 kapsul rifampisin @ 300 mg (600 mg). 3 tablet lampren @ 100 mg (300 mg). 1 tablet dapsone atau DDS 100 mg. Pengobatan harian : hari ke 2 28

15

1. 1 tablet lamprene 50 mg. 2. 1 tablet dapsone atau DDS 100 mg. 3. 1 blister untuk 1 bulan.

FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEPATUHAN PENGAMBILAN 0BAT Dukungan keluarga

Dukungan keluarga adalah dukungan antar keluarga yang bersifat suportif yang dapat berupa bantuan langsung yang berkesenimbungan dan terus menerus sepanjang kehidupan (Friedman, 1998). Di dalam suatu keluarga harus saling mendukung diantara seluruh anggota keluarga, orang yang hidup di lingkungan yang bersifat supportif kondisi kesehatan jiwa lebih baik daripada mereka yang hidup tidak adanya dukungan dari keluarga sosial dapat berefek pada adaptasi kesehatan seseorang (Friedman, 1998).

Usia

Usia adalah umur individu yang dihitung mulai saat dilahirkan sampai saat berulang tahun (Elizabeth, 1995). Semakin cukup umur tingkat kematangan seseorang akan lebih dipercaya dari pada orang yang belum cukup tinggi kedewasaannya. Jika kematangan usia seseorang cukup tinggi maka pola pikir orang tersebut akan lebih dewasa (Amiruddin, 2006)

Pendidikan

Tokoh pendidikan abad 20, Langevelt yang dikutip dari Notoatmojo (1993) mendefinisikan pendidikan adalah setiap usaha, pengaruh, perlindungan dan bantuan yang diberikan kepada anak yang tertuju kepada pendewasaan. Jadi dapat dikatakan bahwa pendidikan tersebut menuntun manusia untuk berbuat dan mengisi kehidupannya untuk mencapai keselamatan dan kebahagiaan. Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, maka pengetahuan seseorang akan bertambah (Amiruddin, 2006). Penyakit kusta sampai saat ini masih ditakuti oleh masyarakat, keluarga termasuk sebagian petugas kesehatan, hal ini disebabkan karena kurangnya pengetahuan atau pengertian masyarakat tentang kusta. Hal tersebut juga menjadi hambatan yang serius dalam pelaksanaan program pemberantasan penyakit kusta termasuk juga peran serta masyarakat (Depkes RI, 1995).

Ekonomi

Sosial ekonomi dapat menggambarkan tingkat kehidupan seseorang didalam masyarakat. Tingkat ekonomi dapat ditinjau dari kualitas keluarga yaitu suatu kondisi keluarga yang mencakup aspek pendidikan, kesehatan ekonomi dan budaya, kemandirian keluarga serta nilai agama merupakan dasar untuk mencapai keluarga sejahtera. Menurut Hendar dan
16

Kusnaedi (2002) Ekonomi adalah suatu usaha manusia dalam memenuhi kebutuhan hidup.

Ada 3 (tiga) tingkatan ekonomi yaitu : 1. Ekonomi Rendah: Adalah suatu kebutuhan yang mencakup kebutuhan primer saja yaitu : sandang, pangan dan papan. 2. Ekonomi Sedang : Adalah suatu kebutuhan yang mencakup kebutuhan primer dan sekunder. 3. Ekonomi Tinggi : Suatu kebutuhan yang mencakup kebutuhan primer, sekunder dan tersier.

Penderita kusta bukan menderita karena penyakitnya saja, tetapi juga karena masyarakatnya. Hal ini disebabkan karena kerusakan pada syaraf besar yang irreversible di muka dan di ekstremitas, motorik dan sensorik serta dengan daerah anesthesi yang disertai paralysis dan atropi otot (Juanda, 2000).

Klasifikasi Penyakit Kusta Tujuan klasifikasi ini untuk menentukan regimen pengobatan dan perencanaan operasional. Untuk keperluan pengobatan kombinasi atau Multidrug Therapy (MDT) yaitu menggunakan gabungan Rifampicin, Lamprene dan DDS, maka penyakit kusta di Indonesia diklasifikasikan menjadi 2 tipe seperti klasifikasi menurut WHO (1998) yaitu: a. Tipe PB (Pausibasiler) Yang dimaksud dengan kusta tipe PB adalah penderita kusta dengan Basil Tahan Asam (BTA) pada sediaan apus, yakni tipe I (Indeterminate) TT (Tuberculoid) dan BT (Boderline Tuberculoid) menurut kriteria Ridley dan Joplin dan hanya mempunyai jumlah lesi 1-5 pada kulit. b. Tipe MB (Multi Basiler) Kusta MB adalah semua penderita kusta tipe BB (Mid Boderline), BL (Boderline lepromatous) dan LL (lepromatosa) menurut kriteria Ridley dan Joplin dengan jumlah lesi 6 atau lebih dan

17

skin smer positif. Menurut Madrid klasifikasi kusta dibagi menjadi 4 yaitu : indeterminate, tuberculoid, borderline, dan lepromatosa.

Penentuan klasifikasi berdasarkan pemeriksaan laboratorium (Bacteriological Index/BI). Lapangan Pandang dengan pembesaran 100X 1+ 1 Bacil dalam 100 lapangan pandang 2+ 1 Bacil dalam 10 lapangan pandang 3+ 1 Bacil dalam tiap lapangan pandang 4+ 10 Bacil dalam tiap lapangan pandang 5+ 100 Bacil dlam tiap lapangan pandang 6+ 1000 Bacil dalam tiap lapangan pandang Dari hasil pemeriksaan bakteri dengan mikroskop diatas maka kusta dapat di klasifikasikan menjadi : Tuberculoid Boderline Tuberculoid Boderline Boderline Boderline Lepromatosa Lepromatosa Lepromatosa Noneseen 0 3+ 3 5+ 5 6+ >6+

Cara Penularan Penyakit Kusta Penyakit kusta dapat ditularkan dari penderita kusta tipe MB kepada orang lain secara langsung. Cara penularan penyakit ini masih belum diketahui secara pasti, tetapi sebagian besar para ahli berpendapat bahwa penyakit kusta dapat ditularkan melalui saluran pernafasan dan kulit. Kusta mempunyai masa inkubasi 2-5 tahun, akan tetapi dapat juga berlangsung sampai bertahun-tahun. Meskipun cara masuk kuman M.leprae ke dalam tubuh belum diketahui secara pasti, namun beberapa penelitian telah menunujukkan bahwa yang paling sering adalah melalui kulit yang lecet pada bagian tubuh yang bersuhu dingin dan pada mukosa nasal. Selain itu penularan juga dapat terjadi apabila kontak dengan penderita dalam waktu yang sangat lama.

Diagnosa Penyakit Kusta

18

Penyakit kusta dapat menunjukkan gejala yang mirip dengan banyak penyakit lain. Sebaliknya penyakit lain dapat menunjukkan gejala yang mirip dengan penyakit kusta. Oleh karena itu dibutuhkan kemampuan untuk mendiagnosis penyakit kusta secara tepat dan membedakannya dengan berbagai penyakit lain agar tidak membuat kesalahan yang merugikan penderita. Diagnosa penyakit kusta didasarkan pada penemuan tanda kardinal (gejala utama), yaitu : a. Bercak kulit yang mati rasa Bercak hipopigmentasi atau eritematosa, mendatar (makula) atau meninggi (plakat). Mati rasa pada bercak bersifat total atau sebagian saja terhadap rasa sentuh, rasa suhu, dan rasa nyeri b. Penebalan saraf tepi Dapat disertai rasa nyeri dan juga dapat disertai atau tanpa gangguan fungsi saraf yang terkena, yaitu gangguan fungsi sensoris (mati rasa), gangguan fungsi motoris (paresis atau paralysis), dan gangguan fungsi otonom (kulit kering, retak, edema, pertumbuhan rambut yang terganggu). c. Ditemukan basil tahan asam Bahan pemeriksaan adalah hapusan kulit cuping telinga dan lesi kulit pada bagian yang aktif. Kadang-kadang bahan diperoleh dari biopsy kulit atau saraf. Untuk menegakkan penyakit kusta, paling sedikit harus ditemukan satu tanda kardinal. Bila tidak atau belum dapat ditemukan, maka kita hanya dapat mengatakan tersangka kusta dan penderita perlu diamati dan diperiksa ulang setelah 3-6 bulan sampai diagnosis kusta dapat ditegakkan atau disingkirkan.16

Menurut WHO tahun 1996 batasan istilah dalam cacat kusta adalah : a) Impairment : segala kehilangan atau abnormalitas struktur fungsi yang bersifat psikologik, fisiologik, atau anatomik. b) Disability : segala keterbatasan atau kekurangmampuan (akibat impairment) untuk melakukan kegiatan dalam batas-batas kehidupan yang normal bagi manusia. c) Handicap : kemunduran pada seorang individu (akibat impairment dan disability) yang membatasi atau menghalangi penyelesaian tugas normal yang bergantung pada umur, seks, dan faktor sosial budaya. Jenis cacat kusta dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok, yaitu : a) Kelompok cacat primer, adalah kelompok cacat yang disebabkan langsung oleh aktifitas penyakit, terutama kerusakan akibat respons jaringan terhadap M.leprae.yang termasuk cacat

19

primer adalah cacat pada fungsi saraf sensorik, fungsi saraf motorik, dan cacat pada fungsi otonom serta gangguan refleks vasodilatasi. b) Kelompok cacat sekunder, yaitu cacat yang terjadi akibat cacat primer, terutama akibat adanya kerusakan saraf. Anastesi akan memudahkan terjadinya luka akibat trauma mekanis atau termis yang dapat mengalami infeksi sekunder dengan segala akibatnya.

Derajat cacat kusta menurut WHO (1988), di bagi menjadi tiga tingkatan, yaitu : a) Cacat pada tangan dan kaki : Tingkat 0 : tidak ada anestesi dan kelainan anatomis Tingkat 1 : ada anestesi, tetapi tidak ada kelainan anatomis Tingkat 2 : terdapat kelainan anatomis b) Cacat pada mata : Tingkat 0 : tidak ada kelainan pada mata (termasuk visus) Tingkat 1 : ada kelainan mata, tetapi tidak terlihat, visus sedikit berkurang Tingkat 2 : ada lagoftalmos dan visus sangat terganggu Upaya pencegahan cacat terdiri atas : a) Upaya pencegahan cacat primer, yang meliputi : - Pengobatan secara teratur dan adekuat - Diagnosa dini dan penatalaksanaan neuritis - Diagnosa dini dan penatalaksanaan reaksi b) Upaya pencegahan cacat sekunder, yang meliputi : - Perawatan diri sendiri untuk mencegah luka - Latihan fisioterapi pada otot yang mengalami kelumpuhan untuk mencegah terjadinya kontraktur - Bedah rekonstruksi untuk koreksi otot yang mengalami kelumpuhan agar tidak mendapat tekanan yang berlebihan - Bedah plastic untuk menguragi perluasan infeksi Perawatan mata, tangan, dan atau kaki yang anestesi atau mengalami kelumpuhan otot.

Pemeriksaan Penderita
20

1. Anamnesis a. Keluhan penderita b. Riwayat kontak dengan penderita c. Latar belakang keluarga, misalnya keadaan sosial ekonomis. 2. Inspeksi Dengan penerangan yang baik, lesi kulit harus diperhatikan dan juga kerusakan kulit. 3. Palpasi a. Kelainan kulit, nodus infiltrate, jaringan perut, ulkus, khususnya paa tangan dan kaki b. Kelainana saraf : pemeriksaan saraf, termasuk meraba dengan teliti : N.aurikularis magnus, N.ulnaris, dan N.peroneus. Petugas harus mencatat, adanya nyeri tekan dan penebalan saraf. Harus diperhatikan raut wajah si penderita, apakah kesakitan atau tidak pada waktu saraf diraba. Pemeriksaan saraf harus sistematis, meraba atau palpasi sedemikian rupa jangan sampai menyakiti atau penderita mendapat kesan kurang baik. Cara pemeriksaan saraf : Bandingkan saraf bagian kiri dan kanan. Membesar atau tidak Bentuk bulat atau oval Pembesaran regular (smooth) atau irregular, lumps, kerots Perabaan keras atau kenyal Nyeri atau tidak

Untuk mendapat kesan saraf mana yang masih normal, diperlukan pengalaman yang banyak. Cara pemeriksaan saraf tepi : 1. N. aurikularis magnus : Pasien disuruh menoleh ke samping semaksimal mungkin, maka saraf yang terlihat akan terdorong oleh otot dibawahnya sehingga sudah dapat terlihat bila membesar. Dua jari pemeriksaan diletakkan di atas persilangan jalannya saraf tersebut dengan arah otot, perabaan secara seksama akan menentukan jaringan seperti kabel atau kawat, bila ada penebalan. Jangan lupa membandingkan yang kiri dan kanan. 2. N. ulnaris : Tangan yang diperiksa harus santai, sedikit fleksi dan sebaiknya diletakkan diatas satu tangan pemeriksa. Tangan pemeriksa yang lain meraba lekukan di bawah siku (sulkus
21

nervi ulnaris) dan merasakan, apakah ada penebalan atau tidak. Perlu dibandingkan N. ulnaris kanan dan kiri untuk melihat adanya perbedaan atau tidak. 3. N. peroneus lateralis : Pasien disuruh duduk dengan kedua kaki menggantung kemudian diraba di sebelah lateral dari capitulum fibulae biasanya sedikit ada ke posterior. Bila saraf yang dicari tersentuh oleh jari pemeriksa, sering pasien merasakan seperti terkena setrum pada daerah yang dipersarafi oleh saraf tersebut. Pada keadaan neuritis akut, sedikit sentuhan sudah memberikan rasa nyeri yang hebat. 4. Tes fungsi saraf a. Tes sensoris

memeriksa perasaan dengan menyinggung kulit. Yang diperiksaharus duduk pada waktu pemeriksaan. Terlebih dahulu petugas menerangkan bahwa bila mana merasa disinggung bagian tubuhnya dengan kapas, ia harus menunjukkan kulit yang disinggung dengan jari telunjuknya dan dikerjakan dengan mata terbuka. Tanda-tanda di kulit dan bagian-bagian kulit lain yang dicurigai, diperiksa sensibilitasnya. Harus diperiksa sensibilitas kulit yang tersangka diserang kusta. Bercak-bercak di kulit harus diperiksa ditengahnya dan jangan dipinggirnya. jarum. Petugas menusuk kulit dengan ujung jarum yang tajam dan dengan pangkal tangkainya yang tumpul dan penderita harus mengatakan tusukan mana yang tumpul.

panas(sebaikn mata penderita ditutup atau menoleh ke tempat lain, lalu bergantian kedua tabung tersebut ditempelkan pada daerah kulit yang dicurigai. Bila penderita salah menyebutkan rasa pada tabung yang ditempelkan, maka dapat disimpulkan bahwa sensasi suhu di daerah tersebut terganggu. Berdasarkan adanya gangguan berkeringat di makula anestesi pada penyakit kusta, pemeriksaan lesi kulit dapat dilengkapi dengan test anhidrosis. b. Tes motoris : Voluntary muscle test (VMT) Komplikasi : dicari komplikasi
22

a. Pada mata, hidung, laring dan testis b. Reaksi : nyeri saraf, eritema nodosum leprosum, iridosiklitis, tenosinovitis. c. Kerusakan saraf sensoris d. Kerusakan saraf motoris e. Kerusakan saraf otonom f. Pemeriksaan bakterioskopik Pemeriksaan hapusan sayatan kulit (bakterioskopik) berguna untuk : a. Membantu menentukan diagnosis penyakit b. Membantu menentukan klasifikasi (tipe) penyakit kusta. c. Membantu menilai hasil pengobatan. Ketentuan untuk lokasi sediaan : a. Sediaan diambil dari kelainan kulit yang paling akut. b. Kulit muka sebaiknya dihindari karena alasan kosmetik kecuali tidak ditemukan kelainan kulit di tempat lain. c. Pada pemeriksaan ulangan dilakukan di tempat kelainan kulit yang sama dan bila perlu ditambah dengan lesi kulit yang baru timbul. d. Sebaiknya petugas yang mengambil dan memeriksa sediaan hapus dilakukan oleh orang yang berlainan. Hal ini untuk menjaga pengaruh gambaran klinis terhadap hasil pemeriksaan bakterioskopik. e. Tempat yang sering diambil untuk sediaan hapus jaringan bagi pemeriksaan M.leprae adalah : cuping telinga, lengan, punggung, bokong, dan paha. f. Jumlah pengambilan sediaan apus jaringan kulit harus minimum dilaksanakan di tiga tempat, yaitu : cuping telinga kiri, cuping telinga kanan, dan bercak yang paling aktif. g. Sediaan dari selaput lender hidung sebaiknya dihindarkan karena : tidak menyenangkan bagi penderita, positif palsu karena mikrobakterium lain, tidak pernah ditemukan M.leprae pada selaput lender hidung apabila sediaan hapus kulit negatif, pada pengobatan pemeriksaan bakterioskopis selaput lender hidung negatif lebih dahulu daripada di kulit. h. Beberapa ketentuan yang harus diambil sediaan hapus kulit : semua orang yang dicurigai menderita kusta, semua penderita baru yang didiagnosis secara klinis sebagai penderita kusta, semua penderita kusta yang diduga kambuh (relaps) atau karena tersangka kuman (resisten) kebal terhadap obat, dan semua penderita MB setahun sekali.
23

BAB V KESIMPULAN

24

Daftar Pustaka 1. Arikunto, Suharsini, (1998) Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Rineka Cipta, Jakarta 2. Andrianto Petrus, (1989), Dermanto Venerologi, EGC, Jakarta 3. Djuanda, Adhi (2000), Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, Jilid III, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta. 4. Depkes RI, (1995), Buku Pedoman Pemberantasan Penyakit Kusta, DITJEN PPM & PLP, Jakarta 5. Depkes RI, (1997), Perawatan Kesehatan Masyarakat Petunjuk Teknis Kesehatan Masyarakat Pada Sasaran Individu dan Keluarga, Jakarta. 6. Depkes RI, (1999), Buku Pedoman Kusta Nasional Untuk Sentinel Surveilans, DITJEN PPM & PLP, Jakarta. 7. Depkes RI, (2005), Buku Pedoman Eliminasi Kusta, DITJEN PPM & PLP, Jakarta. 8. Depkes RI, (2005), Buku Pedoman Nasional Pemberantasan Penyakit Kusta, Cetakan XVII, DITJEN PPM & PLP, Jakarta 9. Depkes RI, (2006), Model pelatihan Program P2 Kusta Bagi UPK, DITJEN PPM & PLP, Jakarta. 10. Harahap, Mawardi (2000), Penyakit Kulit, Hipokrates, Jakarta. 11. Friedman (1998), Perawatan Keluarga, Jakarta : EGC 12. Notoatmodjo, S, (1993), Metodologi Penelitian Kesehatan Cetakan 2, Rineka Cipta, Jakarta. 13. Nursalam, (2001), Metodologi Riset Keperawatan, Cetakan 1, Info Medika, Jakarta 14. Nursalam, (2003), Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan, Salemba Medika, Jakarta 15. Suprayitno, (2004), Asuhan Keperawatan Keluarga Aplikasi Dalam Praktek , Jakarta : EGC 16. Sutedja Endang dkk, (2003), Kusta, Edisi II Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta. 17. Handoko RP, Djuanda A, Hamzah M. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi 4. Jakarta: FKUI; 2005. P73-82. 18. M. Flint Beal, Stephen L. Hauser. Harrison's Principels of Internal Medicine. vol 1, Edisi ke-17. Penerbit Mac Graw Hill Medical: London. Halaman 1024-1026

25

19. WHO. Census 2013. Diagnosis of leprosy. Available at http://www.who.int/lep/diagnosis/en/index.html. Accessed on July. 6th 2013 20. Bagian ilmu penyakit kulit dan kelamin FKUI. Ilmu penyakit kulit dan kelamin. Jakarta: penerbit FKUI; 1994. p.79 21. Staf pengajar FK UI. Buku ajar mikrobiologi kedokteran. Jakarta: binarupa aksara; 1993.p. 200 22. Bhat RM, Prakash C.In : Romero EC, editor. Interdisciplinary Perspectives on Infectious Diseases : Leprosy: an overview of pathophysiology.Volume 2012, Article ID 181089, 6 pages. 23. Michell RN, Kumar, Abbas, Fausto. In: Tania I, Mutaqqin H, Dwijayanti L, Mahode AA, Dany F, Susanto D, et al. Buku saku dasar patologis penyakit. 7th ed. Jakarta: EGC; 2008.p.227

26

You might also like