You are on page 1of 35

Pendahuluan

Perkataan Sejarah (History) yang kita gunakan pada masa kini berpunca daripada perkataan Arab iaitu Syajaratun yang bermaksud Pohon. Dari sudut lain pula, istilah history merupakan terjemahan dari perkataan Yunani yakni Histories yang membawa makna satu penyelidikan ataupun pengkajian. Mengikut pandangan "Bapa Sejarah" Herodotus, Sejarah ialah satu kajian untuk menceritakan satu kitaran jatuh bangunnya seseorang tokoh, masyarakat dan peradaban. Mengikut definisi yang diberikan oleh Aristotle, bahawa Sejarah merupakan satu sistem yang mengira kejadian semulajadi dan tersusun dalam bentuk kronologi. Pada masa yang sama, menurut beliau juga Sejarah adalah peristiwa-peristiwa masa lalu yang mempunyai catatan, rekod-rekod atau bukti-bukti yang kukuh. Menurut R. G. Collingwood, Sejarah ialah sejenis bentuk penyelidikan atau suatu penyiasatan tentang perkara-perkara yang telah dilakukan oleh manusia pada masa lampau. Manakala Shefer pula berpendapat bahawa Sejarah adalah peristiwa yang telah lepas dan benar-benar berlaku.Sementara itu, Drs. Sidi Gazalba cuba menggambarkan sejarah sebagai masa lampau manusia dan persekitarannya yang disusun secara ilmiah dan lengkap meliputi urutan fakta masa tersebut dengan tafsiran dan penjelasan yang memberi pengertian dan kefahaman tentang apa yang berlaku.Sebagai usaha susulan dalam memahami sejarah, Kamus Dewan Bahasa dan Pustaka telah memberikan Sejarah sebagai asal-usul, keturunan, salasilah, peristiwa yang benar-benar berlaku pada waktu yang lampau, kisah, riwayat, tambo, tawarikh dan kajian atau pengetahuan mengenai peristiwa yang telah berlaku. Sejarah dalam erti kata lain digunakan untuk mengetahui masa lampau berdasarkan fakta-fakta dan bukti-bukti yang sahih bagi membolehkan manusia memperkayakan pengetahuan supaya waktu sekarang dan akan datang menjadi lebih cerah. Dengan itu akan timbul sikap waspada (awareness) dalam diri semua kelompok masyarakat kerana melalui pembelajaran Sejarah, ia dapat membentuk sikap tersebut terhadap permasalahan yang dihadapi agar peristiwa-peristiwa yang berlaku pada masa lampau dapat dijadikan pengajaran yang berguna. Pengertian Sejarah boleh dilihat dari tiga dimensi iaitu epistomologi (kata akar), metodologi (kaedah sesuatu sejarah itu dipaparkan) dan filsafat atau pemikiran peristiwa lalu yang dianalisa secara teliti untuk menentukan sama ada ia benar atau tidak.

Kepentingan Sejarah Berulang Mengikut Pandangan Masyarakat Yunani

Masyarakat Yunani mempercayai bahawa sesuatu peristiwa yang berlaku pada suatu masa dahulu boleh berlaku kembali dalam tempoh masa berlainan dan ianya sukar diagak. Walau bagaimanapun peristiwa-peristiwa yang berlaku dianggap oleh mereka mampu memberikan pengajaran kepada mereka untuk berwaspada pada masa-masa yang akan datang serta untuk mencari langkah untuk mengelak sesuatu peristiwa yang tidak diingini. Selain itu sejarah juga dianggap oleh mereka sebagai satu petunjuk dalam mengharungi kehidupan yang penuh dengan dugaan, cabaran dan halangan. Pada masa yang sama, sejarah itu juga merupakan satu falsafah yang memberikan pengajaran melalui contoh-contoh. Sebenarnya peristiwa yang berulang-ulang itu menunjukkan kepada mereka tentang tingkah laku serta pembuatan mereka pada masa yang telah lalu dan juga perbuatan orang-orang yang terdahulu daripada mereka.

. Pengertian Sejarah Sejarah adalah kejadian yang terjadi pada masa lampau yang disusun berdasarkan peninggalan-peninggalan berbagai peristiwa. Peninggalan-peninggalan itu disebut sumber sejarah. Dalam bahasa Inggris, kata sejarah disebut history, artinya masa lampau; masa lampau umat manusia. Dalam bahasa Arab, sejarah disebut sajaratun (syajaroh), artinya pohon dan keturunan. Jika kita membaca silsilah raja-raja akan tampak seperti gambar pohon dari sederhana dan berkembang menjadi besar, maka sejarah dapat diartikan silsilah keturunan raja-raja yang berarti peristiwa pemerintahan keluarga raja pada masa lampau. Dalam bahasa Yunani, kata sejarah disebut istoria, yang berarti belajar. Jadi, sejarah adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari segala peristiwa, kejadian yang terjadi pada masa lampau dalam kehidupan umat manusia. Dalam bahasa Jerman, kata sejarah disebut geschichteyang artinya sesuatu yang telah terjadi, sesuatu yang telah terjadi pada masa lampau dalam kehidupan umat manusia. Adapun menurut Sartono Kartodirdjo, sejarah adalah rekonstruksi masa lampau atau kejadian yang terjadi pada masa lampau.
dijadikan titik tolak untuk masa yang akan datang sehingga sejarah mengandung pelajaran tentang nilai dan moral. Pada masa kini, sejarah akan dapat dipahami oleh generasiAda tiga aspek dalam sejarah, yaitu masa lampau, masa kini, dan masa yang akan datang. Masa lampau penerus dari masyarakat yang terdahulu sebagai suatu cermin untuk menuju kemajuan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Peristiwa yang terjadi pada masa lampau akan memberi kita gambaran tentang kehidupan manusia dan kebudayaannya di masa lampau sehingga dapat merumuskan hubungan sebab akibat mengapa suatu peristiwa dapat terjadi dalam kehidupan tersebut, walaupun belum tentu setiap peristiwa atau kejadian akan tercatat dalam sejarah. Sejarah terus berkesinambungan sehingga merupakan rentang peristiwa yang panjang. Oleh karena itu, sejarah mencakup:

1. masa lalu yang dilukiskan berdasarkan urutan waktu (kronologis); 2. ada hubungannya dengan sebab akibat; 3. kebenarannya bersifat subjektif sebab masih perlu adanya penelitian lebih lanjut untuk mencari kebenaran yang hakiki; 4. peristiwa sejarah menyangkut masa lampau, masakini, dan masa yang akan datang. B. Sejarah sebagai Peristiwa, Kisah, Ilmu, dan Seni 1. Sejarah sebagai peristiwa Peristiwa-peristiwa yang telah terjadi pada masa lampau menjadi sangat penting dalam pembahasan ilmu sejarah. Melalui peristiwa, ilmu sejarah mendapat gambaran tentang kehidupan manusia di masa lampau. Sejarah sebagai peristiwa yang telah terjadi pada masa lampau mengakibatkan kita tidak mungkin lagi mengamati peristiwa tersebut, yang dapat kita amati adalah sejarah sebagai kisah, yaitu penelaahan sejarah sebagai kisah suatu peristiwa. Sejarah sebagai peristiwa, maksudnya peristiwa sejarah ditempatkan sebagai fakta, kejadian, dan kenyataan yang benar-benar terjadi pada masa lampau. Kejadian masa lampau tersebut dapat dijadikan dasar untuk mengetahui dan merekonstruksi kehidupan pada masa tersebut. Dari peristiwa-peristiwa itu, dapat diketahui sebab akibat terjadinya suatu peristiwa. Tanpa memandang besar kecilnya suatu peristiwa atau kejadian-kejadian dalam ruang lingkup kehidupan manusia, ilmu sejarah berusaha menyusun rangkaian peristiwa yang terjadi dalam ruang lingkup kehidupan manusia sejak dahulu sampai sekarang, bahkan prediksi kejadian yang akan datang. 2. Sejarah sebagai kisah Semua hasil karya cipta manusia merupakan suatu bukti dari kisah manusia yang hidup dan dinamis. Membicarakan sejarah sebagai kisah tidak lepas dari peristiwaperistiwa sejarah yang terjadi pada masa lampau. Sejarah sebagai kisah adalah hasil karya, cipta, dan penelitian berbagai ahli yang kemudian menulisnya. Penulisan yang dapatdipertanggungjawabkan harus melalui penafsiran yang mendekati kebenaran peristiwa yang terjadi. Sementara itu, untuk merekonstruksi kisah sejarah harus mengikuti metode analisis serta pendekatan tertentu. Dengan kata lain, sejarah sebagai kisah adalah kejadian masa lalu yang diungkapkan kembali berdasarkan penafsiran dan interpretasi yang dapat dipertanggungjawabkan. Menyusun kisah sejarah dari suatu masyarakat, bangsa, dan negara tidaklah mudah karena jejak-jejak sejarah yang ditinggalkannya tidak sedikit. Oleh karena itu, dalam penyusunannya memerlukan penelaahan yang sangat jeli dan bijaksana serta verifikatif sehingga dapat dipertanggungjawabkan. Dalam penyusunan sejarah sebagai kisah, para sejarawan menggunakan dasar jejak-jejak yang ditinggalkan oleh sejarah sebagai peristiwa. Jejak-jejak sejarah yang berisi kehidupan rangkaian peristiwa atau kejadian dalam lingkup kehidupan manusia menjadi sumber penting dalam penulisan kisah sejarah. 3. Sejarah sebagai ilmu Sejarah dikatakan sebagai ilmu karena merupakan pengetahuan masa lampau yang disusun secara sistematis dengan metode kajian secara ilmiah untuk mendapatkan kebenaran mengenai peristiwa masa lampau. Menurut C.E. Berry, sejarah adalah suatu ilmu pengetahuan, tidak kurang dan tidak lebih. Adapun menurut York Powell, sejarah bukanlah hanya sekadar suatu cerita indah, instruktif, dan mengasyikkan, tetapi merupakan cabang ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, sebagai salah satu cabang ilmu pengetahuan harus dibuktikan secara keilmuan dengan menggunakan metode-metode dan berbagai standar ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan. Kebenaran itu dapat dibuktikan dari dokumen yang telah diuji sehingga dapat dipercaya sebagai suatu fakta sejarah. Sejarah dianggap sebagai ilmu sebab sejarah memiliki syarat-syarat ilmu, antara lain ada masalah yang

menjadi objek, ada metode, tersusun secara sistematis, menggunakan pemikiran yang rasional, dan kebenaran bersifat objektif. Jika melihat hal tersebut, sejarah sebagai ilmu dapat memenuhinya, dikarenakan: a. objek kajian sejarah ialah kejadiankejadian di masa lalu yang merupakan sebab akibat; b. adanya metode sejarah yang menghubungkan bukti-bukti sejarah; c. kisah sejarah tersusun secara sistematis dan kronologis; d. kebenaran fakta diperoleh dari penelitian sumber yang disusun secara rasional dan kritik (penilaian) yang sistematis; e. fakta bersifat subjektif karena tiap orang melihat masa lampau dengan cara yang berbeda. Kebenaran hanya "milik" peristiwa ini sendiri. Namun kebenaran fauna adalah juga objektif, maksudnya kebenaran harus diakui oleh intersubjektivitas atau diakui oleh banyak sejarawan dan masyarakat luas. 4. Sejarah sebagai seni Tokoh penganjur sejarah sebagai seni adalah George Macauly Travelyan. Ia menyatakan bahwa menulis sebuah kisah peristiwa sejarah tidaklah mudah, karena memerlukan imajinasi dan seni. Menulis sejarah merupakan seni, filsafat, polemik, dan dapat sebagai propaganda. Sejarawan abad 19 bernama Comte, Spencer, dan Mill menyebutkan bahwa metode dan sikap ilmiah pengetahuan alam dapat dipergunakan untuk mempelajari sejarah, tanpa memerlukan modifikasi lebih lanjut. Namun menurut Dithley, seorang filsuf modern, menyatakan bahwa hal tersebut adalah tidak benar, sebab sifat alami dari pengetahuan alam adalah sesuatu yang selalu nyata dan terlihat, sehingga sejarah yang bersifat abstrak tidak mudah menganalisisnya. Oleh karena itu, sejarah adalah pengetahuan tentang rasa. Dithley menambahkan bahwa pemahaman dengan cara imajinatif mampu menjadikan fakta sejarah lebih hidup dan lebih berarti. Itulah sebabnya, menurut George Macauly Travelyan dalam penulisan kisah sejarah harus menggunakan bahasa yang indah, komunikatif, menarik, dan isinya mudah dimengerti. Dengan demikian, diperlukan seni dalam penulisan sejarah sehingga tercipta suatu peristiwa sejarah yang dapat dipelajari secara urut, lengkap, menarik, dan tidak membosankan. Oleh karena itu, seorang sejarawan harus bersedia menjadi ahli seni untuk menghidupkan kembali kisah kehidupan di masa lalu, masa sekarang, dan yang akan datang. Dengan demikian selain elemen ilmiah sejarah juga mengandung elemen seni.

a. Pengertian Sumber Sejarah Sejarah dimulai dari cerita-cerita rakyat atau legenda yang mampu mengungkapkan peristiwa pada masa lampau, walaupun penuh dengan berbagai mitos yang harus diteliti lebih lanjut agar dapat digunakan sebagai sumber sejarah. Masyarakat dahulu memang memberikan informasi sejarah secara turun temurun dan mereka menganggap benar apa yang telah mereka terima dari nenek moyangnya yang terpancar dari peninggalan-peninggalan di sekitar tempat tinggalnya. Oleh karena itu, untuk mengungkapkan kembali tidak mungkin dilakukan tanpa sumber yang memadai, artinya sumber yang mendukung sehingga mampu mendekati kebenaran suatu peristiwa sejarah.

Apakah yang disebut dengan sumber sejarah? Sumber sejarah adalah sesuatu yang secara langsung atau tidak langsung menyampaikan kepada kita tentang sesuatu kenyataan pada masa lalu. Suatu sumber sejarah mungkin merupakan suatu hasil aktivitas manusia yang memberikan informasi tentang kehidupan manusia. Menurut Moh. Ali, yang dimaksud sumber sejarah adalah segala sesuatu yang berwujud dan tidak berwujud serta berguna bagi penelitian sejarah sejak zaman purba sampai sekarang. Sementara Muh. Yamin mengatakan bahwa sumber sejarah adalah kumpulan benda kebudayaan untuk membuktikan sejarah. Bagi sejarawan, sumber sejarah ini merupakan alat, bukan tujuan akhir. Adanya sumber sejarah merupakan bukti dan fakta adanya kenyataan sejarah. Dengan sumber sejarah inilah, sejarawan dapat mengetahui kenyataan sejarah. Tanpa adanya sumber, sejarawan tidak akan bisa berbicara apa-apa tentang masa lalu; begitu pula tanpa sentuhan sejarawan, sumber sejarah pun belum bisa banyak bicara apa-apa. Sumber sejarah sendiri bukanlah sejarah. Sejarah itu ada karena konstruksi dari sejarawan terhadap sumber sejarah.

b. Klasifikasi Sumber Sejarah Dilihat dari sifatnya, sumber sejarah dapat dikategorikan ke dalam dua bentuk yaitu sumber primer dan sumber sekunder. Sumber primer dapat berupa orang yang langsung menyaksikan kejadian suatu peristiwa atau catatan yang dibuat pada zamannya dengan bentuk tulisan, isi, dan bahan yang sezaman. Tetapi apabila orang yang tidak langsung menyaksikan suatu peristiwa tetapi ia mengetahuinya, maka termasuk sumber sekunder. Sumber sekunder dalam bentuk tertulis dapat berupa catatan tertulis yang bentuk tulisan dan bahannya tidak sezaman.

Apabila dilihat dari bentuknya, maka terdapat sumber tertulis, sumber lisan, dan sumber dalam wujud benda fisik atau artefak.

1. Sumber tertulis Sumber tertulis adalah sumber sejarah yang diperoleh melalui peninggalan-peninggalan tertulis, catatan peristiwa yang terjadi di masa lampau, misalnya prasasti, dokumen, naskah, piagam, babad, surat kabar, tambo (catatan tahunan dari Cina), dan rekaman. Sumber tertulis dibedakan menjadi dua, yaitu sumber primer (dokumen) dan sumber sekunder (buku perpustakaan).Biasanya sumber tertulis dapat memberikan informasi aspek-aspek yang akan kita teliti, misalnya aspek sosial,

ekonomi, budaya, politik, dan lain-lain. Dilihat dari segi bentuknya, sumber tertulis dapat berbentuk tulisan yang tercetak dan tulisan yang masih ditulis tangan atau manuskrip. Ada beberapa contoh sumber tertulis yang dapat dijadikan sumber penelitian sejarah, yaitu sebagai berikut.

a. Laporan-laporan Laporan-laporan dapat berupa laporan yang dibuat oleh lembaga pemerintah atau lembaga non pemerintah. Pembuatan laporan biasanya dilakukan per tahun. Jadi, kita bisa menggunakan laporan tahunan. Pada lembaga-lembaga pemerintah, biasanya suka dibuat laporan tahunan. Sedangkan laporan non pemerintah misalnya laporan perusahaan. Dengan adanya laporan tahunan perusahaan kita akan mengetahui bagaimana perkembangan perusahaan dalam periode tertentu. b. Notulen rapat Notulen rapat adalah catatan-catatan yang berisi tentang hal-hal yang menjadi materi penting dalam pembicaraan rapat. Catatan dibuat biasanya oleh salah seorang yang ditunjuk atau ditugaskan untuk menjadi pencatat atau sekretaris. Notulen rapat memberikan informasi yang berharga dalam penelitian sejarah, apalagi bila notulen rapat yang kita temukan itu masih dalam bentuk tulisan tangan si petugas penulis. Apabila kita menemukan bentuk notulen rapat yang demikian, maka itu termasuk sumber primer. Dalam notulen rapat, biasanya terdapat materi penting yang menjadi bahasan rapat. c. Surat-surat Surat-surat dapat menjadi sumber sejarah baik surat-surat pribadi maupun surat-surat resmi yang dibuat oleh pemerintah. Dalam surat kita bisa melihat tanggal, ditujukan kepada siapa, dari siapa (pembuat), dan isi dari surat itu. Isi surat ini akan memberikan suatu informasi penting apa yang terjadi pada saat itu. Surat biasanya dapat berupa tulisan yang singkat, dapat pula surat yang panjang dan ada lampirannya. Baik surat yang pendek maupun surat yang panjang merupakan sesuatu yang berharga dalam penelitian sejarah. Apabila kita menemukan surat yang ada lampirannya, maka kita kemungkinan akan menemukan banyak data atau informasi yang kita butuhkan dalam penelitian. d. Surat kabar Dalam surat kabar biasanya banyak berita yang memuat tentang hal- hal yang terjadi di masyarakat. Berita-berita tersebut merupakan sumber yang berharga bagi peneliti sejarah. Peneliti sejarah dapat menyeleksi bagian mana dari berita itu yang dapat dijadikan sumber bagi penelitiannya. Sumber tertulis ini yang banyak merekam atau mencatat kejadian- kejadian sehari-hari yang terjadi di masyarakat. Berita yang dimuat dalam surat kabar sangat beragam, ada berita ekonomi, politik, sosial dan budaya. Bagi peneliti sejarah, berita-berita tersebut dapat dijadikan sebagai sumber bahan penelitianya. Sumber yang digunakan tergantung pada tema penelitian yang ditelitinya.

Berita dari yang disajikan oleh surat kabar yang satu dengan yang lainnya, kemungkinan akan menunjukkan suatu analisis yang beragam. Perbedaan ini disebabkan oleh kepentingan dari masingmasing penerbit surat kabar. Setiap surat kabar memiliki kepentingan atau misi untuk membentuk opini atau pendapat masyarakat. Surat kabar yang diterbitkan oleh pemerintah dan nonpemerintah tentu akan memiliki perbedaan dalam menilai suatu peristiwa. e. Catatan pribadi Catatan pribadi adalah catatan yang dibuat oleh seorang individu yang menceritakan pengalamannya yang ia pandang penting untuk dicatat. Biasanya ada orang-orang tertentu yang memiliki kebiasaan untuk menulis pengalamannya. Bahkan yang ia catat bukan sekedar apa yang terjadi pada dirinya, tetapi mungkin mencatat pengalaman orang lain yang ia lihat. Catatan pribadi ini dapat memberikan informasi yang mungkin saja tidak terdapat pada laporan-laporan resmi, misalnya laporan resmi pemerintah. Ada pula dari catatan-catatan pribadi ini yang kemudian disusun oleh si pemilik catatan tersebut menjadi sebuah autobiografi atau memoar. b. Sumber Lisan Sumber lisan merupakan cara pengumpulan data yang dilakukan dengan cara metode sejarah lisan. Sejarah lisan adalah satu dari sumber sejarah yang ada pada ingtan pelaku dan atau penyaksi suatu peristiwa sejarah, yang terjadi pada zamannya, kemudian diungkapkan secara lisan oleh pelaku dan penyaksi sejarah itu sendiri. Si Pelisan atau sumber lisan bertanggung jawab atas kebenaran kejadian yang dikisahkannya, sehingga informasi lisannya itu dapat dipergunakan sebagai sumber dalam penulisan sejarah. Sumber lisan berfungsi sebagai pelengkap sumber tertulis belum memadai. Sumber lisan memiliki keterbatasan-keterbatasan dibanding dengan sumber tertulis atau artefak. Keterbatasan sumber lisan lebih disebabkan oleh faktor manusia sebagai sumber. Kemungkinan kita kehilangan sumber lisan apabila orang yang kita cari telah meninggal. Dengan demikian, kita akan memburu dengan faktor umur yang dimiliki oleh orang yang akan kita wawancarai. Daya ingat yang dimiliki, oleh manusia sangat terbatas. Hal ini dapat menjadi keterbatasan dalam sumber lisan. Semakin jauh jarak antara peristiwa yang dialami oleh seorang tokoh yang kita wawancarai kemungkinan besar orang tersebut semakin lupa. Keterbatasan memori yang dimiliki oleh tokoh yang kita wawancarai akan membuat sumber inforamsi yang kita butuhkan menjadi kurang akurat. Cara yang dilakukan untuk memperoleh sumber lisan, yaitu dengan melakukan wawancara. Sebelum melakukan wawancara terlebih dahulu kita harus memiliki persiapan yang matang. Hal yang harus dipersiapkan adalah kita harus memiliki pengetahuan tentang hal yang akan kita tanyakan.

c. Sumber benda Sumber benda adalah sumber sejarah yang diperoleh dari peninggalan benda- benda kebudayaan. Sumber benda disebut juga sebagai sumber korporal, yaitu benda-benda peninggalan masa

lampau, misalnya, alat-alat atau benda budaya, seperti kapak, gerabah, perhiasan, manik-manik, candi, dan patung.

c. Sumber Rekaman Sumber rekaman dapat berupa rekaman kaset audio dan rekaman kaset video. Banyak peristiwa sejarah yang dapat terekam, misalnya Masa Pendudukan Jepang, Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, Perang Kemerdekaan dan sebagainya.

Sumber-sumber sejarah tersebut belum tentu seluruhnya dapat menginformasikan kebenaran secara pasti. Oleh karena itu,sumber sejarah tersebut perlu diteliti, dikaji, dianalisis, dan ditafsirkan dengan cermat oleh para ahli. Untuk mengungkap sumber-sumber sejarah di atas diperlukan berbagai ilmu bantu, seperti: 1) epigrafi, yaitu ilmu yang mempelajari tulisan kuno atau prasasti; 2) arkeologi, yaitu ilmu yang mempelajari benda/peninggalan kuno; 3) ikonografi, yaitu ilmu yang mempelajari tentang patung; 4) nomismatik, yaitu ilmu yang mempelajari tentang mata uang; 5) ceramologi, yaitu ilmu yang mempelajari tentang keramik; 6) geologi, yaitu ilmu yang mempelajari lapisan bumi; 7) antropologi, yaitu ilmu yang mempelajari asal-usul kejadian serta perkembangan makhluk manusia dan kebudayaannya; 8) paleontologi, yaitu ilmu yang mempelajari sisa makhluk hidup yang sudah membatu; 9) paleoantropologi, yaitu ilmu yang mempelajari bentuk manusia yang paling sederhana hingga sekarang; 10) sosiologi, yaitu ilmu yang mempelajari sifat keadaan dan pertumbuhan masyarakat; 11) filologi, yaitu ilmu yang mempelajari tentang bahasa, kebudayaan, pranata dan sejarah suatu bangsa sebagaimana terdapat di bahan-bahan tertulis.

Pengertian Fakta Sejarah Pengertian fakta sejarah, menimbulkan banyak pendapat dari para sejarawan. Pendapat umumyang selama ini berkembang menyatakan bahwa: pertama, fakta adalah apa yang benarbenar telah terjadi dan kedua fakta sebagai bukti-bukti dari apa yang telah benar-benar terjadi.

MenurutPatrick Gerdiner, kedua pengertian itu adalah salah.Menurut Gerdiner, bukti-bukti dari apa yang telah terjadi di masa lalu itu belum merupakansuatu kebulatan gambaran tentang peristiwa masa lampau. Jadi lebih bersifat sebagai data yang berserakan yang menyebabkan kita sering ragu, apakah itu benar-benar bukti dari peristiwa yangkita cari itu. Dengan kata lain untuk bisa membuat pernyataan bulat bahwa sesuatu peirstiwa dimasa lampau benar-benar telah terjadi, diperlukan suatu proses untuk mengumpulkan dankemudian menguji bukti-bukti tersebut, melalui kegiatan kritik sumber terutama untuk menentukan kebenarannya. Hasil dari proses inilah baru bisa kita namakan sebagai fakta sejarah.Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa fakta sejarah merupakan keterangan baik itu lisan,tertulis, atau berupa benda-benda peninggalan sejarah yang kita peroleh dari sumber-sumber sejarah setelah disaring dan diuji dengan kritik sejarah.

PERSOALAN OBJEKTIVITI, SUBJEKTIVITI, PENGADILAN MORAL DAN SEBABMUSABAB DALAM PENTAFSIRAN SEJARAH Setelah menjalankan penyelidikan, akhirnya sampailah ketikanya untuk membuat pentafsiran terhadapnya. Dan masalah pertama yang harus diperhatikan adalah tentang keterlibatan (involvement) seorang sejarawan terhadap kajiannya, iaitu sama ada dia harus terikat (attached) ataupun terpisah (detached) daripada kajiannya. Dalam hal ini, kita sudah menjelaskan sebelumnya tentang hubungan antara subjek dengan objek. Sesuatu ilmu yang benar-benar tulen dikatakan perlu membuat pemisahan mutlak antara kedua-duanya, yakni antara pengkaji (subjek) dengan kajiannya (objek). Untuk mencapai taraf objektif dan saintifik, seharusnya yang didedahkan hanyalah unsur-unsur yang berkaitan dengan objek. Dengan mengetepikan unsurunsur yang berkaitan dengan subjek, maka keunggulan (virtue) itu terletak pada adanya pemisahan perasaan subjektif manusia daripada kajiannya.

Dengan memahami konsep subjek dengan objek, atau sifat subjektif dan objektif dalam ilmu, kini sampailah kepada persoalan subjektiviti dan objektiviti dalam sejarah. Dengan konsep subjektiviti di sini, ia bermaksud sejarah sebagai ditulis atau dikisahkan (histoire-recite). Dan dengan konsep objektiviti pula, ia bermakna sejarah sebagaimana terjadinya (histoire-realite). Sesuai dengan konsep dan definisi ini, timbullah dua aliran pemikiran yang cuba mempertahankan keunggulannya masing-masing, iaitu aliran sejarah subjektif dan aliran sejarah objektif.

1. Objektiviti Pertama-tama tentang aliran objektif, seperti yang disebutkan dulu, ia muncul berdasarkan tradisi empirisme John Locke dan juga positivisme Auguste Comte yang melihat adanya pemisahan

mutlak antara subjek dengan objek. Tradisi inilah yang menjadi asas kepada aliran sejarah objektif yang diperjuangkan oleh Leopold von Ranke (1795 - 1886). Bagi Ranke, matlamat pengajian sejarah adalah untuk menggambarkan kejadian-kejadian "sebagaimana sebenarnya berlaku" (wie es eigentlich gewesen), yang membiarkan fakta-fakta sejarah bercakap dengan sendirinya tanpa penglibatau sejarawan. Inilah juga yang dimaksudkan dengan historisisme, yang menurut Peter Geyl, ia bermakna menjauhkan dirt dari pengadilan, penerimaan atau pengakuan yang tidak ada darjah-darjah kecuali dari apa yang dibekalkan oleh proses sejarah sendiri.

Dengan hasrat untuk melahirkan karya sejarah objektif inilah maka pada tahun 1896 Lord Acton (1834 - 1902) melancarkan projek penulisan 'Cambridge Modern History' yang terkenal itu. Dalam katakata aluannya kepada para penyumbang projek ini, belian menegaskan bahawa "we shall avoid needless utterance of opinion or service of a cause. Contributors will understand that our Waterloo must satisly French and English, Germans and Dutch alike; that nobody can tell, without examining the list of authors, where the Bishop of Oxford laid down the pen and whether Fairbairn or Gas quet, Liebermann or Harrison, took it up". Pendeknya, biarlah gambaran para sejarawan tentang sesuatu peristiwa itu serupa sahaja dan memuaskan hati setiap pihak, tanpa sebarang perasaan subjektif atau sikap berat sehelah (bias). Pendirtan seperti ini juga didukung oleh Ratzel, Helmolt, Fustel de Coulanges, Xenopol, dan juga Langlois.

Demikianlah, berkembangnya aliran sejarah objektif adalah berasaskan kepada keyakinan tentang kemampuan memperoleh faktafakta sejarah yang muktamad. Malah kecenderungan ini berkait rapat dengan kepercayaan bahawa sejarah ialah sejenis sains, dan kerana itu mampu menghasilkan karya yang bersifat saintifik dan objektif sebagaimana dalam kajian sains tabii.

2. Subjektiviti Bagaimanapun semuanya itu tidaklah dapat diterima oleh aliran sejarah subjektif, yang sejak bermulanya penulisan sejarah sehingga kini, ia memang mempunyai pengaruh yang besar dan luas. Malah kenyataan bukan sahaja menunjukkan yang penulisan sejarah subjektif semacam tidak dapat dielakkan (inevitable), tetapi juga dianggap sebagai sesuatu yang penting dan unggul (virtue). ini kerana faktor semula jadi manusia sendiri, yang merniliki nalurt dan kecenderungan memilin dan mernihak kepada sesuatu yang diminatinya atau dianggapnya sebagai penting dan utama. Hakikat inilah yang ditegaskan oleh G. Lichtenherg, seorang filosuf Jerman, bahawa manusia selalu memihak, sekalipun ia tidak memihak, itupun merupakan suatu pilihan. Ia lalu termasuk kelompok orang yang tidak memihak.

Apakah sebab-sebab yang mendorong pembentukan aliran sejarall subjektif ini? Memang banyak sebabnya. Tetapi antaranya adalah kerana faktor nalurt atau kecenderungan semula jadi manusia

sendiri yang suka memilin (select) sesuatu yang dianggap penting dan berguna, serta mengetepikan (omit) sesuatu yang dianggapnya tidak penting dan tidak berguna. Di samping itu terdapat pula faktor agama dan ideologi yang membentuk pegangan dan tindakan seseorang. Semakin kuat komitmen manusia kepadanya, maka semakin besarlah kemungkinannya bersikap subjektif. Hasilnya, jadilah tindakan atau penulisannya itu sebagai bersifat memihak, komited dan terlibat (engaged).

Tentang Agama Islam misalnya, sudah ditenrukan bahawa manusia bukan sahaja mempunyai status sebagai Khalifah Allah (wakil Allah) di muka bumi, bahkan juga sebagai Abdullah (Hamba Allah). Sebagai wakil Allah, fungsi manusia adalah untuk melaksanakan tugas memakmurkan muka bumi ini menurut keredaanNya. Sedangkan sebagai hamba Allah, tugas manusia adalah untuk melaksanakan ibadah atau pengabdian dalam pengertian yang seluasluasnya kepada Allah. Antara tugas dan tanggungjawab manusia Muslim ialah berjihad, yakni menegakkan kalimah atau ajaran Allah di muka bumi, dan juga berdakwah, yakni menyeru manusia ke jalan Allah. Dengan itu seorang intelektual Muslim bukanlah bersifat neutral atau berkecuali, tetapi bersifat functional atau bertanggungjawab melaksanakan kewajipannya itu. Maka tidaklah mungkin seorang sejarawan Muslim yang bertaqwa atau beriman dan beramal salin akan mengabaikan kewajipan berjihad dan berdakwah ini dalam penulisan sejarahnya, walaupun akan dituduh sebagai sejarah propaganda belaka.

Adapun tentang ideologi atau aliran falsafah sekular, antara jenisnya yang banyak mempengaruhi manusia umumnya dan golongan sejarawan khususnya ialah semangat patriotisme dan nasionalisme, disamping relativisme, Marxisme dan Darwinisme (evolusionisme). Tentang nasionalisme misalnya, sebagai ciptaan Barat, ia memperjuangkan kepentingan dan prasangka nasional. Malah ia juga yang melahirkan pendekatan Asia-centric atau Malay-centric, sebagai reaksi terhadap pendekatan Euro-centric atau Anglo-centric.

Tentang relativisme, iaitu keyakinan tentang berlakunya perubahan nilai dengan berubahnya ruang dan waktu, tidaklah dapat dinafikan yang sejarawan turut dipengaruhi oleh iklim pendapat (climate of opinion) atau semangat zamannya (Zeitgeist). Dalam konteks masa kini, sikap 'present-mindedness' menjadikan seseorang sejarawan lebih menekankan keperluan dan kepentingan masa kini. Masalah ini ada kalanya disebut sebagai nunc pro tunc (masa kini untuk masa lampau). Yakni, nilai masa kini menjadi kayu ukur untuk masa lampau. Antara tokohtokoh utamanya ialah Carl L. Becker (1873 - 1945) dan Charles A. Beard (1874 - 1948). Bagi Carl Becker misalnya, beliau menganggap bahawa penulisan sejarah ditentukan oleh ahli sejarah sendiri, yang mempunyai akal fikiran, tujuan, pemilihan dan kecenderungan yang berasaskan pengalamannya pada zaman tertentu. Oleh kerana keadaan sosial sentiasa mengalami perubahan, maka kebenaran sejarah pun tidaklah mutlak tetapi relatif atau berubah-ubah. Demikian juga bagi Charles Beard, beliau turut menegaskan bahawa "sejarah ialah pemikiran sezaman mengenai masa lampau". Ia merupakan hasil penulisan ahli sejarah yang mempunyai

kepercayaan, nilai-nilai atau prasangka yang dipengaruhi oleh pengalaman zaman tertentu. Sebab itu bagi Beard, Ranke sebenarnya tidaklah menulis sejarah objektif, bahkan cuma menulis sejarah politik sahaja dan malah cuba mempertahankan kepentingan kelas-kelas konservatif yang berkuasa di Eropah.

Dalam konteks ini, Benedetto Croce (1866 - 1952) sendiri pernah menegaskan bahawa "semua sejarah ialah sejarah sezaman". Dan Collingwood yang dipengaruhi olehnya juga menganggap bahawa semua sejarah ialah sejarah pemikiran, yang memerlukan sejarawan menggambarkan kembali dalam fikirannya pengalaman-pengalaman yang lalu (re-enactment of past experience). Untuk melakukan semuanya ini, sejarawan harus memilih (select), menyisip (interpolate), dan mengkrttik (criticize). Jadi ia tidaklah boleh bergantung pada ingatan dan kewibawaan (memory and authority) fakta-fakta sejarah. Konsep sejarah seperti inilah yang disebut oleh Louis Gottschalk sebagai "contemporaneity of evidence", cuba diperoleh pengertian oleh sejarawan dengan cara mengkaji sejarah dari sudut masa kini, yang melibatkan peribadi dan pengetahuannya sendiri.

Akibat daripada sebab-sebab tersebut, maka hasilnya lahiriah penulisan sejarah yang bersifat subjektif dalam berbagai-bagai bentuk dan rupa. Pertama, dan segi tujuannya, bagi mereka yang komited terhadap agama atau ideologi tertentu, sudah pasti akan mengambil kesempatan menjalankan dakwah atau propaganda melalui karya-karya sejarah mereka. Dalam pensejarahan Kristian umpamanya, tujuannya tidak lain adalah untuk menegakkan kesucian ajaran Kristian. Dan dalam karya-karya oleh sejarawan Nazi, jelas terpancar tujuannya untuk membuktikan keunggulan bangsa Arya. Sedangkan melalui karya-karya sejarawan Komunis, ia mengandungi propaganda Marxisme dan polisi-polisi Komunisme. Apalagi bagi sejarawan yang bersemangat nasionalisme, maka penulisannya sudah tentu hanya menekankan kepentingan dan keutamaan bangsa. Pendek kata, unsur-unsur propaganda atau 'partisanship' kelibatannya semacam tidak dapat dielakkan (inevitable) sama sekali.

Memang dari suatu segi sejarah propaganda boleh menjejaskan konsep penulisan sejarah yang saintifik. Tetapi kenyataan menunjukkan bahawa karya-karya sejarah yang paling berpengaruh ialah yang bersifat propaganda. Misalnya, lihat saja karya klasik Clarendon, History of the Rebellion, atau karya Abbe Raynal, Philosophical History of the Indies, atau karya Henry Wilson, Rise and Fall of the Slave Power in America, serta biografi Frederic Masson tentang Napoleon Bonaparte. Demikian juga karya Vernon L. Parrington, Main Currents of American Thought, dan karya Winston Churchill, World Crisis.

Bukan sahaja dan segi tujuannya, bahkan juga dalam aspek-aspek lainnya, turut dipengaruhi oleh sikap subjektif sejarawan, apabila mereka memilih aspek tertentu dan mengetepikan yang lain.

Tentang pengertian sejarah misalnya, mereka yang bersikap objektif cenderung memilih pengertian sejarah sebagai kisah-kisah yang berlaku pada masa lampau. Sedangkan mereka yang beraliran subjektif dan relativis menolak takrif konvensional itu, sebaliknya menganggap sejarah sebagai suatu kajian atau penyelidikan yang dilakukan oleh sejarawan. Sebenarnya dengan memilih salah satu antara kedua-dua takrif ini, maka sejak awal-awal lagi seorang sejarawan sudah menonjolkan subjektivitinya. Sebab itulah bagi Carr, setiap percubaan untuk menjawab soalan "apakah sejarah?" maka jawapannya secara sedar atau tidak mencerminkan kedudukan kita pada sesuatu zaman, serta bagaimana tanggapan kita terhadap masyarakat dalam kehidupan kita. Inilah yang disebutkan sebagai present-mindedness seperti yang dibahaskan itu.

Lebih-lebih lagi tentang punca atau fakta sejarah, semakin jelaslah menonjolkan subjektiviti sejarawan. Memang bagi Ranke, kita harus percaya kepada bukti atau dokumen sejarah untuk menghasilkan sejarah objektif. Sejarah objektif akan membiarkan dokumen bercakap dengan sendirinya, tanpa memerlukan sebarang penjelasan lagi. Tetapi benarkah dokurnen berupaya menjelaskan segala-galanya, tanpa penglibatan sejarawan? Yang jelas, sejarawan bukan sahaja terpaksa menghadapi bukti sejarah yang terbatas, bahkan juga bukti-bukti yang sudah dipilih atau ditentukan coraknya sejak awal lagi. Realiti sejarah menunjukkan betapa banyaknya bukti sejarah yang telah mengalami penapisan atau kerosakan, terutama oleh golongan yang lebih berkuasa dan kuat. Samalah halnya dengan sistem politik masa kini yang tidak membenarkan penyebaran maklumat yang bertentangan dengan dasar-dasarnya atas alasan bahawa ia mengancam keselamatan negara (atau keselamatan kerajaan?). Dapatkah suasana pengawalan atau pembanterasan maklumat atau bukti-bukti sejarah seperti ini mampu menghasilkan sejarah yang objektif dan tepat menurut keadaan sebenamya?

Tidak cukup dengan bukti-bukti yang terbatas atau dibataskan itu, pengaruh subjektiviti sejarawan sendiri menjadikan hasrat melahirkan sejarah objektif semacam impian belaka. Bukti yang sama telah ditafsirkan dengan berbagai-bagai pengertian oleh para sejarawan. Misalnya, lihat sahaja tafsiran yang diberikan terhadap istilah-istilah seperti persamaan (equality) dan kebahagiaan (happiness) yang terkandung dalam Pengisytiharan Kemerdekaan Amerika tahun 1776. Demikian juga semboyan-semboyan persamaan (equality), kebebasan (liberty), dan persaudaraan yang tercetus dalam Revolusi Perancis 1789. Memang kebanyakan sejarawan cuba memberikan tafsiran terhadap istilah-istilah tersebut persis seperti yang terdapat dalam kamus, atau barangkali lebih mendalam sedikit menurut pandangan falsafah. Malangnya hampir keseluruhan tafsiran sejarawan menyeleweng belaka, lantaran tidak mengenali siapakah sebenarnya tokoh-tokoh pejuang kemerdekaan Amerika dan juga Revolusi Perancis itu. Sebenarnya hampir keseluruhan angkatan tentera Amerika dan para pemimpinnya seperti Washington, Franklin, Jefferson, John Adams dan lain-lainnya merupakan tokoh-tokoh Freemason yang aktif. Jadi bukan sahaja kelahiran Amerika digerakkan oleh tokoh-tokoh Freemason, bahkan perlembagaan dan juga struktur pentadbirannya juga ialah idea Freemason. Demikian juga tokoh-tokoh Enlightenment yang menggerakkan Revolusi Perancis, seumpama Montesqueiu dan Voltaire, semuanya adalah pendekar Freemason yang kesohor. Sebenarnya semboyan-semboyan tersebut adalah merupakan semboyan asasi Freemason sendiri (Protocols 1:

25 dan 9: 3), yang maksudnya bukanlah ditujukan kepada semua bangsa atau manusia, tetapi untuk meraih simpati orang terhadap nasib mereka yang terus-menerus dalam keadaan merempat dan tertindasan

Jelaslah bahawa tafsiran sejarawan yang berasaskan sikap subjektif dan kaca mata masa kini (present-mindedness) itu sama sekali tidak secocok dengan perjalanan sejarah yang sebenamya. Walaupun bukti-bukti dan dokumen sejarah masih tersimpan dengan sempurna sampai kini, namun ia tidaklah mampu bercakap sendiri untuk menjelaskan keadaannya yang sebenar.

Demikian juga apabila sejarawan memilih tema-tema tertentu, maka semakin sukarlah untuk mengelakkan diri daripada bersikap subjektif terhadapnya Sekali lagi faktor agama atau ideologi politik memainkan peranan yang besar dalam menentukan pemilihan atau tekanan kepada tematema tertentu. Seorang sejarawan yang beraliran politik, Whig misalnya tentu akan menekankan konsep liberal dan menentang kuasa mutlak raja. Sebab itulah Herbert Butterfield dalam bukunya, Whig Interpretation of History (1929) telah mendedahkan kesilapan konsep "history as a history of liberty" tersebut. Seorang sejarawan Marxis pula lebih tertarik kepada tema-tema seperti, keruntuhan sistem feudalisme, kebangkitan sistem kapitalisme, imperialisme moden, perjuangan kelas buruh, gerakan petani, penyamun sosial, gerakan wanita dan revolusi. Sedangkan seorang sejarawan nasionalis tentunya lebih gemar menekankan tema antikolonialisme dan gerakan nasionalisme. Atau lebin jauh dari itu, ditekankan tentang kegemilangan masa lampau bangsa pribumi sebelum kedatangan penjajah, seperti yang dilakukan oleh Abdul Hadi Hassan dalam karya besarnya, Sejarah Alam Melayu. Atau bagi sejarawan yang menyokong kerajaan nasional, tema-tema yang dipilihnya sudah tentu yang secocok dengan gagasan dan wawasan kerajaan.

Masalah tentang tema atau pokok persoalan (subject matter) dalam sejarah tidak syak lagi melibatkan unsur nilai dan falsafah hidup manusia itu sendiri. Sejarawan yang mementingkan politik sudah tentu akan menekankan persoalan politik dalam penulisannya. Demikian juga yang mementingkan ekonomi, atau kebudayaan, atau pemikiran dan sebagainya, sudah tentu turut mempengaruhi penulisan sejarahnya. Apalagi sejarawan yang mengutamakan kerohanian dan akhlak, tentu sekali akan membesar-besarkan persoalan-persoalan seperti ini.

Kedudukan ini akan menjadi semakin ketara apabila sejarawan memilih pendekatan tertentu dalam penulisannya. Seorang sejarawan Marxis terutamanya, sudah tentu lebih tertarik kepada model Marxis, samalah seperti seorang sasterawan Marxis juga akan menulis dari sudut pendekatan ini. Seperti yang disebutkan oleh E. Hobsbawm, walaupun ada sejarawan yang menggunakan teori Marx secara menyeluruh sebagai suatu model yang lengkap, tetapi kebanyakannya menggunakan unsur-unsur tertentu sahaja daripada teori Marx secara 'vulgar'

dalam kajian sejarahnya. Melalui penulisan ala-vulgar Marxis ini, maka jadilah sejarah ditafsirkan menurut falsafah Marx. Misalnya dalam persoalan penyebaban (causation) dalam sejarah, maka faktor ekonomilah yang dianggap dominan dalam menentukan perjalanan sejarah. Situasi yang sama juga berlaku bagi sejarawan yang tanpa sedar dipengaruhi oleh pendekatan vulgar Darwin, yang membahaskan perkembangan sejarah berasaskan konsep evolusi yang bermula dengan Zaman Prasejarah atau Zaman Batu. Sebaliknya bagi sejarawan yang menggunakan pendekatan Islam, walaupun faktor ekonomi tidaklah ditolak sebagai di antara sebab berlakunya sesuatu, namun sebab asasinya ialah Allah sendiri. Dan permulaan sejarah manusia pula bukannya dari pertngkat manusia-haiwan pada Zaman Batu, tetapi dan manusia istimewa yang berpangkat nabi, iaitu Adam.

Kemudiannya apabila sampai kepada persoalan pengadilan moral (moral judgement) dalam penulisan sejarah, sudah pasti golongan sejarawan yang dipengaruhi agama atau ideologi tertentu tidak dapat bersikap neutral, sebaliknya akan menjadi terlibat (involved) dan komited di dalamnya. Arnold Toynbee misalnya, walaupun merupakan seorang tokoh sejarawan moden yang terkemuka, namun tetap berpegang kuat kepada ajaran-ajaran moral Kristian. Sebab itulah dia menganggap yang penyingkiran orang-orang Arab Palestin oleh Israel itu sama ganasnya den gan pembunuhan enam juta Yahudi oleh golongan Nazi.

Demikianlah, boleh dikatakan yang sejarah subjektif atau yang bersifat terlibat itu tidak dapat dielakkan (inevitable) sama sekali. Dan dengan itu pula matlamat melahirkan sejarah objektif dan neutral hampir-hampir menjadi semacam impian (ideal) belaka. Bagaimanapun terdapat kalangan sejarawan yang tetap mempertahankan keunggulan sejarah objektif. Dalam hal ini mereka menolak konsep objektiviti seperti yang dipakai dalam falsafah atau sains tabii, yang melihat adanya pemisahan mutlak antara subjek dengan objek. Sekiranya konsep objektiviti yang ketat dalam falsafah itu dipakai dalam sejarah, sudah tentu tidak akan wujud penulisan sejarah yang objektif. Justeru itu konsep objektiviti dalam sejarah hams lebih longgar dari itu, secocok dengan kenyataan hidup dan pemakaian bahasa harian.

Ada dua aspek objektiviti yang cuba dipakal dalam sejarah. Pertama, objektif dari segi fakta sejarah, ia diukur berdasarkan ketepatau dan kejituannya. Jadi, seperti yang disarankan oleh Ranke sebelumnya, yang dikatakan sejarah objektif itu tidak lain ialah penulisan yang berdasarkan fakta atau kenyataan sejarah yang sebenarnya. Nampaknya konsep objektiviti seperti ini tidak begitu diterima oleh sejarawan kerana ia masib bertolak daripada konsep dikotomi antara subjek dengan objek. Padahal, seperti yang dijelaskan tadi, konsep pemisahan mutlak seperti yang dipakai dalam falsafah atau sains tulen itu dianggap kurang secocok dengan pemakaiannya dalam sejarah.

Dengan menolak aspek objektiviti dari segi fakta itu, lalu disarankan bahawa aspek objektiviti dalam sejarah seharusnya dilihat dari segi pentafsiran sejarawan sendiri yang bersifat adil dan jujur atau dalam erti kata yang lain, bersikap neutral atau tidak memihak dan berat sebelah. Misalnya, kalaupun seseorang sejarawan itu menganut agama atau ideologi tertentu, namun kalau pentafsirannya bersifat neutral, yakni tidak memihak kepada keyakinannya sendiri, maka itu sudah dianggap sebagai objektif. Bagaimanapun, seperti yang dihujahkan sebelumnya, alangkah sukarnya bagi sejarawan yang komited dengan agama atau ideologi tertentu itu untuk bersikap neutral dalam menghadapi isu-isu yang menyentub keyakinannya. Lagipun, bukankah neutralisme itu send in termasuk sejenis sikap subjektif juga? Seseorang yang tidak berpihak itu juga bererti memilih sikap tertentu dan menolak sikap-sikap lain. Malah neutralisme itu sduah merupakan suatu aliran faham yang tersendiri dan mandiri, samalah seperti aliran-aliran pemikiran lainnya.

Dengan anggapan bahawa sejarah subjektif sebagai tidak dapat dielakkan itu tidaklah bererti yang sejarah objektif tidak dapat dicapai sama sekali. Dalam batas-batas yang tidak bercanggah dengan agama atau ideologi yang diyakini, memang kita harus bersikap optimis untuk melahirkan penulisan sejarah yang objektif, adil dan jujur.

Pengadilan Moral Dengan menolak objektiviti dan menerima subjektiviti dalam sejarah, maka dengan sendirinya seorang sejarawan kelihatan semacam cuba memihak atau bersikap berat sebelah dalam kajiannya. Dari sinilah pula lahirnya masalah penilaian etik atau pengadilan moral (moral judgement), iaitu apabila sejarawan didapati dengan sengaja atau tidak sengaja menilai atau menghukum sesuatu, baik dengan memuji atau mengejinya, dengan menggunakan perkataanperkataan seperti balk, mulia, kejam, ganas, atau label-label yang digunakan oleh media Barat terhadap setengah golongan Muslim seperti terrorist, aggresor, extremist, separatist, fanatic, militant dan lain-lainnya. Sejauh manakah terdapat persetujuan di kalangan ahli sejarah tentang penerapan pengadilan moral dalam sejarah? Sama seperti isu-isu sebelumnya, ternyata kalangan sejarawan sekular terus berbentur pendapat dalam menghadapinya, malah sentiasa berkonflik dalam mencart kepastian tentangnya. Dan dalam hal ini, terdapat dua aliran pemikiran yang bertentangan, iaitu golongan yang menerima dan golongan yang menolak kehadiran pengadilan moral dalam sejarah.

1. Konservatif Pertama sekali bagi golongan yang menerimanya, sebagai aliran konservatif, kemunculannya boleh dikatakan bermula dengan kemunculan kesedaran tentang sejarah itu sendiri. Dan dalam hal ini, Herodotus sendiri dikatakan telah merintis jalan melakukannya, den gan cara memuji kemenangan Greek dalam pertempuran di Marathon dan Salamis, serta menganggap Athens

sebagai penyelamat negara-negara Greek. Sebaliknya dia menuduh raja-raja Farsi sebagai angkuh, kejam dan ganas kerana tindakan mereka menakiuki Greek. Bagaimanapun ada juga ketikanya dia menyesali tindakan Athens yang menyokong pemberontakan Jonia, serta memuji keberanian askar-askar Farsi sekalipun tewas dalam pertempuran Salamis. Dalam hal ini Herodotus didakwa sebagai dipengaruhi oleh tradisi epik sejak Homer, dengan menjadikan karya sejarahnya untuk memaparkan keberanian dan keperwiraan orang-orang Greek yang berjaya mempertahankan maruah dan kedaulatau mereka daripada serangan musuh yang lebih besar.

Tentang Thucydides, memang beliau dikatakan menekankan soal objektiviti dalam kajiannya, bahkan tidak pula melakukan pengadilan moral dalam karyanya itu. Bagaimanapun pendiriannya yang menyalahkan jeneral-jeneral Athens itu menimbulkan tuduhan di kalangan penulis Athens sendiri bahawa beliau adalah seorang pengkhianat negara.

Dengan kebangkitan pensejarahan Rom, unsur pengadilan moral telah dipergunakan dengan seluas-luasnya. Livy umpamanya, telah memuji zaman Rumawi kuno kerana masyarakatnya memuliakan nilalnilal utama Rumawi (virtus Romana), sebaliknya mengutuk zaman kerana masyarakatnya mengabaikan kod etika itu. Demikian juga dia memuji zaman lama yang mengamalkan sistem republik yang menjaga hak asasi rakyat. Sebaliknya Tacitus mengutuk sistem diktator yang diamalkan oleh maharaja- maharajanya. B aginya, fungsi terpenting sejarah ialah mengenang jasa-jasa daripada dilupakan, serta mengelak daripada celaan dan kutukan anak-cucu. Demikian juga Plutarch, turut menekankan persoalan moral dalam karyanya Parallel Lives, bahkan berjaya pula dalam usahanya itu. Memang jika diamati, terdapat sifat kebangsaan di kalangan sejarawan Rom itu, oleh kerana mereka gemar memuji bangsa Rom sebagai bangsa yang terbaik, dan sebaliknya mengeji atau mengecilkan bangsa-bangsa lain. Tetapi pada umumnya tindakan ini lebih merupakan cara untuk membimbing masyarakat Rom ke arah suatu keadaan atau sifat yang mulia.

Adapun tentang sejarawan Krtstian pada Zaman Pertengahan, tidak syak lagi merekalah yang paling banyak mengamalkan pengadilan moral, sejajar den gan peranan mereka sebagai tokohtokoh agama yang bertanggungjawab mengajarkan moral kepada para penganutnya.

Bagaimanakah situasinya pada Zaman Moden ini? Sebenarnya pada zaman inilah pengaruh pengadilan moral mulai dipertikaikan, walaupun kelihataunya aliran konservatif masih kuat pengaruhnya. Misalnya, tokoh-tokoh Sejarawan be sar abad ke- 18 seumpama Gibbon, Hume, Rollin, Robertson, Raynal dan Voltaire, semuanya menerima konsepsi Bolingbroke bahawa sejarah ialah pengajaran falsafah melalui teladan philosophy teaching by example), dan golongan sejarawan bertanggungjawab mengajarkannya. Malah pada abad ke-19 juga, terutama di England pada zaman Queen Victoria (1837 - 1901), ia merupakan zaman moraliti, atau moraliti

merupakan semangat zamannya (zeitgeist), hingga pengaruhnya meliputi setiap bidang kehidupan dan ilmu pengetahuan. Pada zaman inilah terkenalnya gaya Victoria (Victorian style), dengan tokoh-tokoh sejarawan yang juga merupakan pemimpin moral, yakni memainkan dua peranan sekaligus.

Antara tokoh sejarawan lnggeris pada zaman Victoria itu ialah Thomas Carlyle, yang mana seperti John L. Motley, menganggap bahawa pengadilan moral bukan sahaja merupakan kecenderungan setiap orang, bahkan merupakan kewajipan yang tertinggi. Namun tokoh yang paling jelas komitmennya kepada fungsi moral dalam sejarah ialah Lord Acton, yang pada tahun 1895 dilantik sebagai Regius Professor di Universiti Cambridge. Baginya, walaupun pendapatpendapat berubah, tabiat-tabiat berubah, kepercayaan-kepercayaan timbul dan tenggelam tetapi hukum moral telah diukirkan di atas kepingan logam yang abadi (Opinions alter, manners change, creeds rise and fall, but the moral law is written on the tablets of eternity). Bukan sahaja tokoh-tokoh tersebut, bahkan tokoh-tokoh kontemporari seumpama Isaiah Berlin, Veronica Wedgwood, dan Arnold Toynbee, semuanya menekankan kepentingan dan kewajipan moral dalam sejarah. Tentang Arnold Toynbee misalnya, baginya pengusiran orang-orang Arab dari Palestin oleh orang-orang Yahudi itu sama besar jenayahnya dengan pembunuhan enam juta orang-orang Yahudi oleh Hitler. Dan sama seperti semangat Isaiah Berlin dalam syarahannya yang berjudul "Historical Inevitability", Adrian Oldfield juga dalam rencananya yang bertajuk "Moral Judgements in Histoty" menganggap bahawa masalah pengadilan moral tidak dapat dielakkan (inevitable) dalam penulisan sejarah.

2. Progresif Sesuai dengan ciri konflik yang terdapat dalam aliran sekular tersebut, maka timbullah reaksi terhadap golongan konservatif. ini bermula dengan kemunculan konsep sejarah saintifik atau objektif yang dipopularkan oleh Leopold von Ranke (1795 - 1886) pada abad ke-19. Bagi Ranke, oleh kerana matlamat kajian sejarah adalah untuk memaparkan perkara yang sebenarnya berlaku, maka unsur pengadilan moral haruslah diketepikan kerana ia bukanlah tugas ahli-alili sejarah. Penulisan sejarah objektif tidak dapat dicapai sekiranya ahli sejarah dipengaruhi oleh pengaruh atau nilai sezaman (zeitgeist).

Sebagai aliran progresif dan pragmatik, golongan ini memang menarik perhatian sejarawan yang cuba mempertahankan sejarah sebagal suatu disipin yang tersendiri dan terpisali daripada disiplindisiplin lain. Bagi Herbert Butterfield misalnya, beliau berpendapat bahawa pengadilan moral adalah tidak bersangkut-paut dengan penyiasatau (sejarah) dan asing kepada ruang intelek sejarah saintifik. Sedangkan bagi G. Kitson Clark pula, adalah lebih balk jika ahli sejarah cuba memahami dan menjelaskan sesuatu daripada bertindak sebagai seorang hakim. Masalahmasalah moral terpisah daripada sejarah, dan kerana itu sebaiknya diserahkan sahaja kepada golongan lain, seperti ahli agama, ahli falsafah atau ahli perundangan.

Jadi berdasarkan pandangan golongan progresif tersebut, terdapat dua alasan utama kenapa mereka menolak pengadilan moral. Pertama, kita tidak dapat menerapkan pengadilan moral dalam sejarah, justem nilai-nilai adalah bersifat relatif atau berubah-ubah menurut ruang dan waktu. Kita mungkin boleli menerima sesuatu yang berasaskan fakta-fakta yang bersifat objektif, tetapi tidak dapat menerima tafsirantafsiran yang bersifat subjektif. Seperti yang dijelaskan sebelumnya, tafsiran sejarah biasanya dipengaruhi oleh nilai-nilai tertentu. Bagi golongan progresif, oleh kerana nilai-nilai ini berbeza-beza dan henibahubah, sudah tentu tidak dapat dikenakan pada setiap masa dan tempat. Lagipun, masa lampau sudahpun berlalu, dan tidak ada lagi pada masa kini untuk diadili. Yang berialu biarlali berlalu, dan tidak perlu dihakirni lagi. Lagipun, apakah faedahnya mengadili masa lampau dalam pengajian sejarah saintifik?

Yang kedua, sejarah sebagai suatu disiplin ilmu yang kbusus dan tersendiri tidak harus bercampur-aduk atau bersatu dengan bidangbidang lain, seperti agama atau moral. Biarlah masalah sejarah diserahkan kepada ahli-ahli sejarah sahaja, dan masalah agama dan moral diselesaikan oleh ahli-ahli agama dan moral. Setiap bidang mempunyai ahli-ahlinya sendiri, serta memainkan peranan dalam lingkungannya masing-masing. Dalam erti kata yang lain, hujahhujah golongan progresif ini adalah berasaskan nilai-nilai relativisme dan dual isme.

Bagaimanapun, pendirian golongan progresif ini ternyata tidak dapat bertahan. Mengenai hujab pertama uuipamanya, benarkali yang ada cuma nilal-nilal relatif? Dalam pengajian etika atau moral, kita mengetahui adanya dua sistem, iaitu etika deskrtptif dan etika normatif. Etika deskriptif merupakan kaj ian tentang berbagai-bagai Si stem moral yang wujud dalam sejarah, tanpa membuat penilaian atau pengadilan terhadapnya. Dan kerana banyaknya sistem yang ada, dan berbeza pula antara satu dengan yang lain, maka timbullah anggapan babawa nilai itu bersifat relatif. Antara sebab utama timbulnya perbezaan sistem moral ini terletak pada matlamat terakhir atau tertinggi (summum bonum) yang ingin dicapai, misalnya apakah yang dianggap paling bemilai di sisi manusia. Ada yang berpegang pada matlamat 'kelazatan' (hedonism), atau 'kegunaan' (utilitarianism), atau kemajuan progress), kesempurnaan (perfect), dan sebagainya. Pendek kata, setiap golongan atau aliran mempunyai summum bonum yang tersendiri.

Tetapi di samping etika deskrtptif yang bersifat relatif, terdapat pula etika normatif yang bersifat absolut (ethical absolutism). Berbeza daripada yang pertama, etika normatif bukan sahaja cuba menilai atau mengadili sistem-sistem moral yang ada, bahkan mencadangkan sistem moral alternatif yang dianggap terbaik, standard dan universal. Misalnya terdapat etika perubatan atau perundangan yang dipatuhi oleh para pengamal profesion ini. Ataupun ajaran-ajaran tertentu yang diterima semua agama dan ideologi, seperti ikhlas, amanah, pemurah dan sebagainya. Nilai-nilai yang absolute atau abadi inilah yang dikenali sebagai philosophia perennis, iaitu kebenaran yang abadi dan tidak berubah yang diketahui secara menyeluruh.

Bukan sahaja dalam falsafah etika, bahkan dalam agama Islam sendiri terdapat ajaran yang bersifat absolute dan juga yang bersifat relatif. Ajaran-ajaran yang absolute atau kekal itu dikenali sebagai Qat'iyyah, yakni jelas dan tegas, atau al-ma'lum mm ad-dini bi aldarurat, yakni yang dikenali dan diketahui umum. Sedangkan ajaran-ajaran yang relatif disebut sebagai Zanniyah atau ijtihadiyah yakni kurang jelas serta berbeza-beza. Sekiranya ajaran-ajaran Qat'iyyah itu berdasarkan Nas-Nas al-Quran dan Hadis secara jelas dan terang, tetapi ajaranajaran Zanniyah lebih merupakan prinsip-prinsip umum melalui ijtihad para ulama. Walaupun ia merupakan ijtihad, namun ia tetap merupakan hukum yang pasti selagi tidak terdapat ijtihad lain yang membatalkannya.

Jelaslah bahawa baik di dalam falsafah mahupun di dalam agama Islam terutamanya, terdapat pengakuan tentang wujudnya nilai atau ajaran-ajaran yang bersifat absolute dan relatif. Dan khusus dalam sejarah sendiri, Lord Acton juga menekankan kepentingannya kerana memang terdapat yang disebutnya nilai-nilai ulung atau kanun moral am. Dengan mengutuk perbuatanperbuatan jenayah, dapatlah sejarah menjadi pedoman kepada manusia dan dapat membantu mewujudkan kehidupan yang lebih sempurna.

Selain itu, konsepsi relativiti itu sendiri mengandungi unsur-unsur destruktif di dalam dirinya sendiri. Dari segi logiknya, sekiranya segala sesuatu itu bersifat relatif, maka konsep relativiti itupun seharusnya bersifat relatif juga. Sekiranya unsur absolute dalam sejarah ditolak, maka unsur relativiti yang absolute juga tertolak. Pendeknya, seperti hukum dialektika Hegel, tidak ada tesis (idea) yang kekal, kerana pasti ada antitesisnya. Dan hasilnya dalam bentuk sintesis itu sendiri merupakan tesis baru, yang akan ada pula antitesisnya. Demikianlah seterusnya. Jadi yang dikatakan doktrin relativiti itu juga dapat berubah.

Kemudiannya tentang hujah yang kedua, iaitu konsep ilmu yang bersifat dualistik atau terpisah dengan yang lain-lainnya, tidaklah dapat diterima oleh perkembangan ilmu yang semakin menuju ke arah rapprochement atau kedekatan antara satu sama lain. Berbalik kepada konsep disiplin, telah kini sudah dicabar oleh konsep inter-disiplinari. Dan yang dikatakan sifat autonomi ilmu itu kini sudah dicabar oleh sifat heterenomi ilmu. Jika semuanya ini dikaitkan dengan ajaran Islam, ternyata sifat dualisme ilmu itu tidak ada tempatnya sama sekali, oleh kerana Islam mengajarkan konsep ilmu yang bersepadu (integrated) dengan Aqidah, Syariat dan Akhlak atau moral. Jadi dalam hubungannya dengan pengadilan moral ini, sudah tentu sejarah tidak dapat dipisahkan dengan ajaran moral.

Sebenarnya konsep ilmu yang bersepadu ini adalah bertolak daripada masalah fungsi atau tugas

sejarawan itu sendiri. Jika bertolak daripada konsep sejarah saintifik, maka tugas sejarawan tidak lebih cuma memaparkan apa yang menjadi kenyataan (is = das Sein = ma huwa al-ka 'in). Tetapi bagi golongan yang komited, mereka lebih menekankan apa yang seharusnya terjadi (ought = das Sollen = ma yajibu an-yakuna). Atau seperti yang pernah dikatakan orang, bahawa seorang ilmuan adalah terikat dengan fakta, tetapi seorang cendekiawan dapat memberi pandangan dan saranan. Menurut istilah Profesor Dr. Hamka, seorang "akademisi" (lepasan universiti) hanya berfikir apa yang ada, yakni terikat dengan fakta. Tetapi seorang "akademisu" (lepasan surau) berfikir menurut apa yang mestinya, dan terikat dengan cita-cita dan perjuangan. Jelasnya, terdapat apa yang dikatakan sebagai tanggungjawab atau kewajiban moral (moral obligation) bagi seseorang cendekiawan atau "akademisu".

Di sinilali timbulnya penentangan Herbert Butterfield terhadap pengadilan moral. Baginya, peranan ahli sejarah hanyalah mengisahkan sesuatu peristiwa itu dengan jelas sebagaimana adanya, dan terpulanglah kepada pembaca untuk mengadili baik-buruknya. Tetapi sebagaimana ditegaskan sebelumnya, konsep ilmu yang bersepadu menuntut sikap fungsional dan bukannya neutral bagi seorang ilmuan atau cendekiawan. Lebih-lebih lagi bagi cendakiawan Muslim, terdapat tugas asasi sebagai seorang pendakwah untuk melaksanakan kewajiban menyeru ke arah kebaikan dan melarang keburukan.

Sebenarnya hujah-hujah golongan yang menolak pengadilan moral itu lebih bersifat teoritikal, oleh kerana dari segi praktiknya, hampir tidak ada orang yang bebas daripada tindakan mengadili sesuatu. Mungkin pengadilan moral secara terbuka atau terang-terangan tidak dilakukannya, iaitu tidak memakai istilali-istilah seperti ganas, kejam, bijaksana, dan sebagainya. Namun ia tidak dapat mengelakkan diri daripada mengadili sesuatu secara tersembunyi iaitu melalui pemilihan tema dan persoalan, pemilihan fakta-fakta, penggunaan gaya bahasa, dan sebagainya. Pendeknya, sekiranya secara terbuka mereka mendakwa bersikap objektif, tetapi secara tersembunyi dia tetap dipengaruhi oleh sikap subjektif.

Selain itu, patut juga diperingatkan bahawa tuntutan agar pihak lain tidak melakukan pengadilan moral itu sebenarnya akan pendakyah yang memperalatkan sejarah untuk matlamat buruk mereka. Mereka cukup menyedari bahawa sejarah merupakan senjata yang paling berkesan untuk mencapai matlamat mereka. Sebab itu mereka segera mengeksploitasinya, sepertimana yang dilakukan oleh Hitler dan pembantunya, Goebbels. Jadi jikalau tidak dibantah tindakan pengadilan moral yang buruk dengan pengadilan moral yang baik, maka sudah tentu yang buruk akan terus bermaharajalela dan berpengaruh. Sudah terlalu banyak ilmu yang membawa kebinasaan, di samping banyak pula yang membawa kemanfaatan. Ilmuan yang bermoral sudah tentu akan membawa ilmunya ke arah tujuan yang bermoral pula, bukannya dengan bersikap neutral atau berkecuali yang hanya menguntungkan kaum oportunis tersebut.

Kalau benar pengadilan moral itu tidak dapat dielakkan, dan malah perlu untuk menegakkan kebaikan dan membanteras keburukan, masalahnya ialah tindakan manakah yang boleh atau perlu diadili? Pertama sekali, pengadilan moral hanya dilakukan terhadap tindakan yang disengajakan atau diniatkan, bukannya yang berlaku secara tidak sengaja. Dengan prinsip ini, tidaklah dijatuhkan pengadilan moral ke atas orang yang tidak siuman, atau orang yang dipaksa melakukannya. Unsur sengaja atau dengan kesedaran penuh ini adalah kriteria asas untuk mengadili sesuatu, iaitu sama ada dipuji atau dikeji.

Yang keduanya, pengadilan moral bukan sahaja dilakukan berdasarkan niat atau tujuannya, bahkan juga pada cara tindakannya itu. Memang dalam hal ini ada sejarawan yang tidak mementingkan niat atau tujuan yang buruk, asalkan perbuatannya itu membawa kebaikan kepada orang ramai. Demikian juga mereka cuba memaafkan cara dan tindakan seseorang yang zalim dan kejam, semata-mata kerana dikatakan niat atau tujuannya baik. Jadi asalkan salah-satunya baik, iaitu sama ada tujuan atau caranya, cukuplah untuk mendapat pujian daripada sejarawan.

Dalam menghadapi kes ini sebenarnya terdapat dua jenis pengadilan yang harus diambilkira, iaitu pengadilan sekular dan pengadilan teologi. Dalam pengadilan sekular, barangkali pujipujian seperti yang diberikan itu dapat dibenarkan. Tetapi dalam pengadilan teologi (Islam), ia melibatkan persoalan pahala dan dosa. Misalnya, walaupun pada zahirnya perbuatan seseorang itu membawa kebaikan dan kebajikan kepada orang ramai, tetapi dia tetap berdosa sekiranya niat atau tujuannya buruk, iaitu tidak dilakukan dengan ikhlas kerana Allah semata-mata, sebaliknya kerana dorongan-dorongan lain. Demikian juga, walaupun niat atau tujuannya baik, tetapi cara perbuatannya salah dan mungkar, maka dia tetap dikira berdosa. Menurut kaedah Fiqh Islam, sekadar niat yang baik tidaklah dapat menghalalkan perbuatan yang haram (al-niyat al-hasanat la-tubarir al-haram). Syariat Islam tidak membenarkan prinsip Machiavellianisme yang menghalalkan setiap cara untuk mencapai tujuan (The end justifies the means). Setiap tujuan yang baik harus dicapai dengan cara yang baik pula.

Penyebaban (Sebab-Musabab) Antara masalah besar dalam pentafsiran sejarah yang sejak lama menimbulkan kontroversi adalah tentang penyebaban (causation), iaitu tentang sebab-musabab berlakunya sesuatu kejadian tertentu. Dalam sejarah, masalah penyebaban timbul melalui usaha untuk menjelaskan lagi perjalanan sejarah secara kritis. Jelasnya, penjelasan (explanation) sejarah melibatkan kajian tentang sebab-musabab atau punca-punca terjadinya sesuatu peristiwa itu. Jadi sejarah tidak setakat penceritaan secara naratif sahaja, bahkan juga penjelasan dan analisis tentang sebabsebabnya.

Memang dari segi tertentu, tidak selalunya penjelasan sejarah melibatkan kajian sebab-musabab, walaupun kajian sebab-musabab dapat menjelaskan sejarah. Ini kerana seperti kata William H. Dray, ada kalanya kita tidak bertanya "mengapa" (yakni sebab-sebabnya) tetapi "bagaimana" sesuatu kejadian itu berlaku. Malah bagi Michael Oakeshott, semua pertanyaan mengenai sebab itu sebetulnya merupakan pertanyaan mengenai "bagaimana". Dan sama seperti Dray dan Oakeshott, D.H. Porter juga melihat penjelasan sejarah sebagai suatu jawapan terhadap pertanyaan mengenai "bagaimana" berlakunya sesuatu. Jadi yang dibangkitkan bukannya sebabsebabnya, tetapi proses atau selok-belok terjadinya sesuatu. Pendeknya, setengah pihak tidak mengambil pusing tentang sebab-musababnya, malah menganggapnya sebagai kurang penting dalam menjelaskan sesuatu.

Selain itu, ada juga pihak yang kelihatannya semacam mengambil mudah sahaja terhadap persoalan ini, dengan cara memberi jawapan yang berbentuk simplistik terhadap pertanyaan tentang sebab-musababnya. Misalnya, jawapan-jawapan yang diberikan itu dengan mudah dikatakan sebagai kebetulan (chance, accident) sahaja, tanpa memerlukan penelitian yang serius terhadapnya. Penjelasan simplistik ini pernah juga disebut oleh J.B.Bury sebagal teori hidung Cleopatra (Cleopatra's Nose) yang dikatakan cukup mengesankan bagi Mark Anthony, hingga menentukan arus sejarah. Andaikata hidungnya tidak mempersonakan, tentulah Mark Anthony tidak akan tertarik kepadanya, dan akibat Peperangan Actium serta nasib dunia keseluruhannya akan menjadi berlainan.

Bagaimanapun penjelasan simplistik ini ada kalanya juga muncul dalam bentuk ilmiah, iaitu sebagai suatu aliran pemikiran yang eksklusif. Dan yang terpenting sekali melalui teori Darwinisme atau evolusionisme, yang mengajarkan tentang kejadian-kejadian yang wujud secara kebetulan sahaja. Kemudiannya terdapat pula teori sejarah menurut Jean Paul Sartre, bahawa kewujudan sesuatu itu tidak mempunyai sebab atau alasan atau keperluan. Malah pernah juga dikatakan yang sejarawan Jerman yang terkemuka, Friedrich Meinecke, turut tertarik kepada peranan kebetulan ini dalam sejarah.

Di samping semuanya itu terdapat juga penolakan terhadap konsep penyebaban ini lantaran keakuran hubungannya dengan akibat. Yakni, hubungan di antara sebab dan akibat dianggap tidak jelas, dan malah sengaja dipenggal-penggalkan sahaja. Masa lampau sendiri tidak mengenai perbezaan-perbezaan, atau penggalan-penggalan antara sebab dan akibat. Sebab itulah tokoh sejarawan seumpama Geoffrey Barraclough sampai menyarankan agar sejarawan seharusnya tidak lagi menekankan masalah sebab-sebab, sebaliknya tumpukan sahaja kepada akibat-akibatnya. Penyebaban atau sebab-sebab adalah milik sejarah, sedangkan akibat atau natijahnya adalah milik kita kini. Penyebaban atau motif adalah tersembunyi dalam diri manusia, yang mana hanya Tuhan jua yang dapat mengetahuinya. Sedangkan kesan atau natijahnya dapat disaksikan sampai kini. Let Bygones Be Bygones.

Betapapun juga wujudnya sikap massa bodoh atau penolakan terhadap penjelasan tentang sebabmusabab ini, ternyata sekali yang ia cuma mewakili segelintir manusia sahaja. Sebetulnya manusia dalam keadaan biasa (normal) dan waras tidak akan mempertikaikan lagi tentang wujud atau tidaknya sebab-musabab sesuatu itu. Yang dipertikaikan sejak lama hanyalah pada jenis sebab-musababnya, atau sebab-sebab yang lebih penting dan utama. Di sinilah timbulnya berbagai-bagai bentuk aliran fahaman di kalangan sejarawan, yang melahirkan berbagai-bagai bentuk tafsiran pula tentang sejarah.

1. Sekular Pada umumnya terdapat dua aliran besar tentang masalah penyebaban dalam sejarah, iaitu aliran sekular dan aliran teologi. Pertama sekali mengenai aliran sekular, cirinya yang utama ialah konflik atau pertentangan pendapat tentang hierarki sebab-musababnya (hierarchy of causes). Dalam bentuknya yang ekstrim, terdapat kecenderungan untuk menonjolkan faktor tertentu sahaja sebagai faktornya yang asasi dan terpenting (linear causation). Tanpa syarat mutlak tertentu (conditio sine qua non), tidaklah akan terjadi perkara-perkara lain.

Dari segi unsur-unsurnya, penyebaban yang bercorak sekular ini menjelaskan sebab-sebab yang dikaitkan dengan alam tabii dan lebih-lebih lagi dengan manusia. Dalam hubungannya dengan alam tabii, menurut perspektif antropologi, agama primitif dikatakan bermula dengan kepercayaan animisme dan dinamisme, yang melihat gejala alam sebagai penentu baik-buruk nasib manusia. Sebagai agama alam (natural religion), ia cuba mencari keterangan dan penjelasan tentang sesuatu perkara itu pada gejala-gejala alam tabii. Jadi walaupun pada dasarnya ia merupakan agama atau kepercayaan, dan bukannya sekular, namun cara penjelasannya itu menonjolkan watak sekular.

Ciri yang sama juga dapat dibandingkan dengan kepercayaan kepada sistem geomancy, terutama geomancy China yang dikenali sebagi feng shui (angin dan air). Menurut kepercayaan tradisi ini, hidup manusia akan berada di dalam kesenangan dan kekayaan jika sentiasa dalam keadaan harmoni atau seirama (in tune) dengan alam dan persekitaran. Sebarang sikap atau tindakan yang bertentangan dengan sifat dan perialanan alam sekitar itu nescaya akan membawa kesusahan dan kesengsaraan pada manusia. Pendeknya, penjelasan tradisi China tentang sebab-musabab berlakunya sesuatu pada diri manusia mempunyai hubungan yang rapat dengan peraturan alam tabii dan persekitaran.

Pada Zaman Moden, tokoh terkenal yang menekankan kepentingan alam sebagai faktor penyebab dalam sejarah ialah Mostesquieu. Baginya, alam atau persekitaran menentukan kehidupan manusia. Demikian juga Abbe Raynal, turut menekankan kepentingannya untuk menjelaskan keterbelakangan orang-orang Amerika. Dan selepasnya ramailah para sarjana yang mendengungkan peranan besar iklim atau geografi sebagai penentu nasib manusia, seperti Alexander von Humboldt dan Henry T. Buckle, Richard Green dan Friedrich Ratzel, Frederick J. Turner dan Brooke Adams. Ratzel umpamanya, telah menulis sebuah buku yang berjudul Anthropogeography atau Outline of the Influences of the Geographical Environment upon History (1882). Dengan menyebutkan peranan alam di sini bukan sahaja dimaksudkan pada alam atau persekitaran, bahkan juga pada yang disebut sebagai "bencana-bencana alam" (natural disasters) seumpama kemarau, banjir, ribut taufan serta mala petaka yang datang daripada haiwan dan tumbuh-tumbuhan, dan sebagainya lagi. Dalam erti kata yang lain, terdapat kuasa atau tenaga "impersonal" yang memainkan peranan yang menentukan terhadap arah dan perjalanan sejarah manusia. Dan kuasa atau tenaga alam ini berlaku secara tabii, bukannya ditentukan oleh sebarang kuasa lain seperti yang diyakini oleh orang-orang agama. Yakni, ia bersifat natural, bukannya bersifat supernatural.

Dengan menyebut kuasa "impersonal" tersebut, sebenarnya ia menonjolkan realiti konflik yang terdapat di kalangan sejarawan tentang masalah penyebaban itu sendiri. ini kerana, di samping terdapatnya kalangan yang menekankan kuasa "impersonal", tidak sedikit pula yang menekankan kuasa "personal". Dalam sejarah, kontroversi antara kedua-dua pihak ini telah mewujudkan aliran-aliran yang tersendiri.

Mengenai golongan yang menekankan kuasa "personal", ia mementingkan peranan individu. Aliran individu ini dikenali sebagai teori Manusia Agung (Great Man theory), yang menekankan peranan dan ketokohan seseorang yang tertentu sebagai faktor utama yang membawa perubahan besar dalam sejarah. Teori ini dipelopori oleh Plutarch (46 - 120), seorang sejarawan Greek, tetapi dipopularkan oleh sejarawan Inggeris Thomas Carlyle (1795 - 1881). Sebagai jaguh teori kultus peribadi personality - cult) dalam sejarah, beliau menganggap sejarah adalah rangkaian biografi tokoh, terutama tokoh hero yang menentukan perjalanan sejarah. Di Amerika, aliran ini turut dikembangkan oleh Ralph Waldo Emerson (1803 - 1882).

Seperti yang sudah dijelaskan, teori "personal" itu sudah tentu ditolak oleli teori "impersonal" tersebut. Terutama di kalangan tokoh-tokoh "enviromentalist", mereka berpendapat bahawa manusia agung itu tidak lain hanyalah anak zamannya atau masyarakatnya. Tidak ada manusia atau individu besar yang mampu melawan arus semangat zamannya (zeitgeist) atau semangat tempatnya (ortgeist). Pendeknya, bukannya tokoh agung yang menggerak dan membentuk sejarah sebaliknya masyarakatlah yang membentuk tokoh agung. Antara tokoh-tokoh pendukung teori ini adalah seperti Herbert Spencer (1820-1903) dan juga Francis Galton (1822 - 1911).

Antara kedua-dua pendapat yang ekstrim itu terdapat pula aliran lain yang mendakwa sebagai bersifat pertengahan. Dan tokoh utama aliran ini ialah William James (1842 - 1910), yang berpendapat bahawa seseorang manusia agung memang dapat mempengaruhi masyarakat kalau kena pada ketikanya (timing). Tetapi kalau tidak kena masa atau ketikanya, seperti datang dulu atau kemudian, mereka tidak dapat diterima oleh masyarakat atau zamannya.

Sebenarnya soal kesesuaian masa ini lebih dulu dibayangkan oleh Leopold von Ranke (1795 1886). Ketika mengupas gerakan reformasi di Jerman, beliau menganggap bahawa kejayaan Martin Luther dalam gerakannya pada tahun 1517 itu tidaklah semata-mata kerana kehebatannya tetapi kerana kesediaan masyarakat Jerman sendiri untuk menyambut atau menyokongnya. Sebelum kemunculan Luther sendiri sudah muncul tokoh-tokoh reformasi, seumpama John Huss dan Wycliff. Tetapi semuanya gagal belaka, kerana masanya dianggap belum sesuai lagi. Bagaimanapun semangat zaman (zeitgeist) ketika kemunculan Luther sudah berubah, atau lebih tepat, sudah masak dan matang. Sebab itulah apabila Luther melancarkan gerakannya, beliau mencapai kejayaan. Jadi bagi Ranke, kejayaan Martin Luther tidaklah boleh ditafsirkan sematamata kerana kebolehannya tanpa merujuk kepada semangat zamannya.

Sepintas lalu dengan penjelasan seperti ini dapatlah diwujudkan persefahaman antara aliran individu dengan aliran masyarakat itu. Bagaimanapun, apa yang didakwa sebagai aliran pertengahan ini jelas kepalsuannya, kerana sebarang tekanan kepada aspek kesesuaian masa atau tempat itu tidak lain merupakan ciri aliran masyarakat belaka. Ketokohan seseorang itu diukur berdasarkan kerelaannya mengikut semangat masyarakat atau zamannya, bukannya berdasarkan kemampuannya mengubah masyarakat atau zamannya ke arah idealismenya. Jadi kalau tren zamannya ialah berpoya-poya atau budaya hawa nafsu (hedonistic culture), janganlah cuba berjuang untuk mengubahnya, nanti akan menghadapi kegagalan. Sebaiknya ikut sajalah tren ini agar dapat menjadi tokoh agung zamannya. Inilah "logik" kesesuaian masa yang dikatakan bersifat pertengahan itu!

Dalam konteks inilah Sidney Hook cuba membezakan apa yang disebutnya sebagai eventful man dengan event-making man. Sekiranya eventful man itu menjadi pemimpin cuma dengan cara menyesuaikan diri dengan kehendak masyarakat dan zamannya itu ke arah matlamat tertentu, tetapi event-making man menentukan arah dan matlamat serta berusaha untuk mencapainya, walaupun matlamat itu bukannya apa yang dicitakan oleh masyarakatnya.

Konflik bukan sahaja berlaku antara kuasa "personal" dan "impersonal', atau individu dan masyarakat, bahkan juga antara aliran idealis dan aliran materialis. Mengenai aliran idealis, telah

disebutkan sebelumnya tentang asal-usulnya sejak daripada Plato, sedangkan pada Zaman Modennya ja dikembangkan oleb George Berkeley. Kemudiannya aliran ini mencapai kematangannya di tangan George Hegel, yang kebetulannya merupakan tokohnya yang terbesar. Sebagai suatu aliran, ia mengajarkan kebenaran wujud idea atau akal sebagai hakikat yang tidak perlu diragukan lagi.

Bagaimanapun dalam bidang sejarah, aliran idealisme Hegel bertolak daripada proses dialektika atau perkembangan akal fikiran (mind) secara bertahap, yang disebut sebagai tesis, antitesis dan sintesis. Pada tahap pertama, terdapat fikiran subjektif (subjective mind) yang bersifat mandiri, atau belum menyatakan dirinya. Bagi pada tahap, kedua timbul fikiran objektif (objective mind), iaitu apabila fikiran merealisasikan dirinya yang terpendam itu. Akhirnya wujudlah fikiran absolute (absolute mind), dan kedua-dua tahap itu mengalami perdamaian dan kesatuan. Namun ketiga-tiga tahap ini akan menjadi tiga tahap lagi, dan demikianlah seterusnya proses dialektika ini.

Jadi bagi Hegel, perkembangan pemikiran ialah suatu proses sejarah. Atau dalam ertikata yang lain, semua sejarah ialah sejarah pemikiran (all history is the history of thought). Ia merupakan suatu proses yang rasional, seperti kata Hegel sendiri: "segala sesuatu yang rasional ialah nyata, dan segala sesuatu yang nyata ialah rasional". Pendeknya, akal fikiranlah yang menguasai dunia, yakni sejarah didasari oleh rencana yang rasional. Sebab itu proses sejarah ialah proses yang logik, bukannya kebetulan (accidental) sahaja. Bagaimanapun oleh kerana fikiran objektif muncul dalam bentuk negara, yakni negara merupakan ikarnasi fikiran objektif, maka ini bererti yang pengkajian sejarah bagi Hegel hanyalah sejarah negara atau politik. Dan bagi Hegel, negara Jerman merupakan model perwujudan pemikiran yang terakhir.

Selepas Hegel, aliran idealisme dalam sejarah turut ditekankan oleb Benedetto Croce (1866 1952), dan kemudiannya oleh penyokong Croce yang terkemuka, iaitu R.G. Collingwood (1889 1943). Seperti Hegel, Collingwood juga mencanangkan bahawa semua sejarah ialah sejarah pemikiran. Bagaimanapun idealisme Croce dan Collingwood lebih merujuk kepada masalah konsep sejarah daripada masalah penyebaban dalam sejarah.

Kalau sekiranya aliran idealis melihat dominasi pemikiran terhadap dunia, dan dengan itu mempengaruhi perjalanan sejarah, sebaliknya aliran materialis lebih menekankan asas kebendaan sebagai penggerak asasi kejadian-kejadian sejarah. Sungguhpun terdapat pertentangan yang menjolok antara kedua-dua aliran ini, namun apa yang menakjubkan ialah bahawa aliran materialisme ini tumbuh berasaskan tradisi Hegelian juga. Sebagai suatu aliran, tradisi Hegelian selepas kematiannya telah berpecah kepada dua aliran pula, iaitu Hegelianisme kanan dan Hegelianisme kiri. Hegelianisme kanan mempunyai sifat konservatif, yakni mempertahankan

sifat asalnya yang idealistik. Sebaliknya Hegelianisme kiri telah merombak dasar idealistik secara radikal, dengan menggantikannya dengan asas materialistik. Golongan ini biasanya dikenali sebagai "Young Hegelians", yang terdiri daripada Ludwig Feuerbach (1804 - 1872), Karl Marx (1818 - 1883), dan Friedrich Engels (1820 - 1895).

Secocok dengan dasar materialisrnenya, Feuerbach menegaskan babawa "manusia ialah apa yang dimakannya" (Der Mensch ist was er isst). Untuk memperbaiki kehidupan manusia, bukannya dengan cara menghebohkan masalah dosa-pahala, tetapi dengan memberikan mereka makanan yang baik. Khusus tentang Marx dan Engels, konsep sejarah kebendaan mereka pada dasarnya memang bertolak daripada proses dialektika Hegelian. Tetapi jika Hegel melihat perubahan ini dalam konteks pertentangan antara idea, sebaliknya Marx melihatnya sebagal berpunca dari keadaan kebendaan yang menyemai perasaan permusuhan antara kelas. Berdasarkan prinsip lapisan bawah (sub-structure) yang menguasai lapisan atas (super-structure), iaitti faktor ekonomilah yang menguasai dan mempengaruhi segala sesuatu, terkenallah konsep sejarah kebendaan (materialist conception of history) yang melihat unsur ekonomi sebagai faktor asasi yang menggerak dan mengubah sejarah. Malah gerakan reformasi agama yang dipimpin oleh Martin Luther itupun, bagi Engels, dilatarbelakangi oleh kepentingan ekonomi kelas-kelas yang berharta di kalangan pengikut Luther. Jadi bukannya kerana motif keagamaan seperti anggapan kebanyakan orang.

Sebenarnya konflik antara aliran idealisme dengan aliran materialisme ini dapat dibandingkan dengan teori keberkaitan (zussamenhang) Max Weber (1864-1920). Bagi Weber, konflik antara empayar Farsi dengan Yunani yang telah mencetuskan Peperangan Marathon itu tidaklah semata-mata kerana faktor fizikal (Kausalzussamenhang), bahkan juga kerana faktor mental atau pemikiran (Sinnzussamenhang). Sekiranya peperangan ini dimenangi oleh Farsi, sudah tentu pemikiran agama akan mempengaruhi Eropah, seperti pengaruhnya di Timur Tengah. Tetapi berkat kemenangan fizikal di Marathon, maka proses sekularisasi di dunia Barat tidak terhenti sehinggalah sekarang.

Sebagaimana ditegaskan sebelumnya, penjelasan tentang penyebaban yang menekankan faktor tertentu sahaja sebagai yang terpenting itu disebut sebagi linear causation. Nampaknya penjelasan yang menjurus itu mulai dipertikaikan oleh sejarawan, terutama pada masa kini. Sebagai suatu masalah yang kompleks, kejadian-kejadian dalam sejarah tidaklah tercetus kerana faktor tertentu sahaja, tetapi kerana berbagai-bagai sebab (multiple causation). Misalnya, di samping adanya faktor luaran, ada pula faktor dalaman. Atau di samping faktor jangka panjang, terdapat faktor jangka pendek atau segera. Ataupun disebut juga faktor-faktor politik, sosial, ekonomi, agama, dan sebagainya.

Pembebasan tentang masalah penyebaban dalam sejarah akhirnya akan membawa kita kepada suatu masalah abadi, iaitu sama ada wujud atau tidaknya hukum am (general law) dalam sejarah. Di kalangan sejarawan sekular, masalah ini bergema melalui konflik antara aliran determinisme dengan aliran indeterminisme. Atau dalam pengertian lain, berlaku konflik antara aliran absolute dengan aliran relatif dalam masalah penyebaban. Bagi aliran determinisme, ia mempercayai bahawa sejarah manusia mempunyai sebab tertentu yang sudah ditetapkan sejak awalnya lagi, serta bersifat absolute atau tidak berubah di dalam ruang dan waktu mana sekalipun, persis konsep nasib (tyche) dalam pensejarahan Greek dulu. Apa yang sudah terjadi dan akan terjadi seolah-olah tidak dapat dielakkan (inevitable) lagi. Que sera sera! Sedangkan bagi aliran indeterminisme, ia menolak adanya sebab-sebab yang absolute atau tetap untuk setiap ruang dan waktu itu, sebaliknya menekankan unsur relatif atau berubah-ubah dan berbeza.

Sebenarnya masalah hukum am (general law) ialah masalah falsafah. Atau dalam konteks sejarah, ia adalah masalah dalam bidang falsafah sejarah (philosophy of history). ini kerana dalam falsafah, sering dibahaskan tentang masalah kebebasan (freedom, liberty), dan masalah determinisme tersebut terrnasuk dalam persoalan tentang kebebasan ini. Misalnya, sekiranya manusia itu dikatakan bebas, bagaimanakah cara penyelesaiannya dalam menghadapi ajaran determinisme yang bersifat mengikat atau membelenggu manusia? Inilah antara persoalan falsafah yang sering dibangkitkan, yang kerana itu tidaklah dikupas di sini. Demikianlah, melalui pembahasan tentang masalah penyebaban menurut aliran sekular ini, jelas menonjolkan siri-siri konflik yang tiada hujungnya. Ia bermula dengan konflik tentang perlu atau tidaknya kajian tentang sebab-musabab ini dalam sejarah. ini diikuti oleh konflik tentang sama ada perubahan sejarah dipengaruhi oleh faktor alam ataupun manusia. Dan khusus tentang manusia, terdapat konflik antara faktor "personal" dengan faktor "impersonal", atau antara aliran individu dengan aliran masyarakat, atau aliran idealisme dengan aliran materialisme dan disamping itu juga terdapat pertentangan antara golongan yang menekankan faktor tertentu sahaja, dengan golongan yang melihat berbagai-bagai faktor yang saling mempengaruhi (reciprocal causafity). Dan kalau boleh disebutkan di sini, terdapat juga konflik antara determinisme dengan indeterminisme. Pendeknya, konflik atau pertentangan pendapat dalam masalah penyebaban ini memang merupakan ciri asasi aliran sekular, yang "kebetulannya" berkembang di dunia Barat.

2. Teologi Di samping aliran sekular, sebenarnya sejak awal sejarah manusia lagi sudah terdapat aliran teologi yang "kebetulannya" pula berkembang di dunia Timur. Tetapi jika ciri utama aliran sekular ialah konflik yang berterusan tentang sebab-sebabnya yang utama atau sebenar, sebaliknya ciri asasi aliran teologi ialah kepastian tentang sebabnya yang sebenar, iaitu Tuhan (Allah). Tuhanlah yang merupakan sebab pertama (First Cause) dan utama, kemudian baru terdapat sebab-sebab sampingan yang lain. Sebenarnya sebab-sebab yang ditonjolkan oleh aliran sekular yang menimbulkan konflik itu tidaklah ditolak oleh aliran teologi. Namun semuanya itu

hanya merupakan sebab-sebab sampingan (secondary causes) belaka, sedang yang menjadi Sebab Utamanya (Primary Cause) ialah Tuhan. Golongan sekular membatasi diri mereka pada sebab-sebab alamiah (nature) dan manusia, seraya berfikiran bahawa hal-hal itu sahajalah yang merupakan penyebab-penyebab yang sebenarnya dan perubahan-perubaban apapun yang terjadi di dunia ini. Tetapi bagi golongan agama, segala sesuatil di dunia ini diciptakan oleh Tuhan, maka ia sendirilah yang merupakan Penyebab Utama dan Akhir bagi setiap kejadian di dunia ini. Pendeknya, penjelasan sejarah menurut aliran teologi adalah bersifat absolut, sedangkan menurut aliran sekular bersifat relatif.

Di samping faktor ketuhanan tersebut, tidak pula dinafikan bahawa faktor kemanusiaan (human factor) turut memainkan peranan penting dalam kejadian sejarah. Dalam teologi Islam, terkenallah mazhab-mazhab yang ekstrim seumpama mazhab Jabariah yang bersifat fatalistik, di samping mazhab Qadariah atau Muktazilah yang menekankan kebebasan kemahuan (free will) manusia. Sedangkan di tengah-tengahnya terdapat pula mazhab Ahli Sunnah wal-Jamaab yang walaupun meyakini kekuasaan mutlak Tuhan, namun manusia juga mempunyai kebebasan dalam batas-batas tertentu. Mazhab yang sederhana inilah yang menjadi pegangan kebanyakan jemaah umat Islam.

Kemudiannya dalam hubungannya dengan masalah determinisme sejarah pula, aliran teologi meyakini bahawa semua peristiwa yang terjadi di alam ini telah ditetapkan (taqdir) sejak zaman azali, yang tidak dapat ditolak atau dihindari Dan yang menetapkan atau menentukannya itu ialah Tuhan sendiri. Dengan itu penjelasannya juga bersifat absolute, berbanding dengan aliran sekular yang bersifat relatif atau berbeza dan berubah-ubah dari semasa ke semasa.

Kesimpulan Keseluruhannya, jelaslah bahawa sejarah itu tidak berulang walaupun sesetengah golongan berpendapat bahawa sejarah itu berulang. Ini kerana sejarah itu memiliki fakta yang lengkap dengan masa dan tarikh sesuatu peristiwa itu terjadi. Walaupun proses kitaran yang silih berganti itu wujud (kelahiran, perkembangan atau kejayaan dan keruntuhan) namun agak sukar bagi kita untuk melihat sesuatu fakta yang sama muncul pada zaman akan datang di mana tarikh, objek dan tempatnya adalah sama. Oleh itu, sekali lagi saya tekankan di sini bahawa sejarah hanya berulang dari segi falsafah atau fenomena yang mampu memberikan pengajaran, tunjuk ajar serta pengetahuan kepada masyarakat tetapi tidak berulang secara khusus pada zaman, waktu, tempat, pemimpin ataupun orang yang sama. Bibliografi

Carr E.H., What Is History. Pelicon Book. London. 1965. Collingwood R.G. The Ideo Of History. Oxford University Press. 1966.

Dr. Abdul Murat Mat Jan. Nota Kuliah. Pengantar Sejarah. Dr. Tengku Iskandar. Kamus Dewan Edisi Kedua. 1984. Kuala Lumpur. Dewan Bahasa dan Pustaka. Drs. Sidi Gazalba. 1966. Pengantar Sejarah Sebagai Ilmu. Jakarta. Dunia Sukan. Utusan Melayu (Malaysia). Sdn. Bhd. 1987. Herbert Butter Field. 1981. The Rise of Classical Historiography. Muhd. Yusof Ibrahim. Ilmu Sejarah, Falsafah, Pengertian dan Kaedah. Dewan Bahasa dan Pustaka. 1997. Muhd.Yusof Ibrahim. Pengertian Sejarah: Dewan Bahasa dan Pustaka. Kuala Lumpur. 1986. Shafer R.G Jones. A Guide To Historical Method. Illineis R. Suntharalingam. Pengenalan Kepada Sejarah. Merican &Sons. Sdn. Bhd. Kuala Lumpur. 1985.

1[1] Muhd. Yusof Ibrahim, 1986, Pengertian Sejarah, Beberapa Perbahasan Mengenai Teori dan Kaedah, Dewan Bahasa dan Pustaka, Kuala Lumpur, hlm. 6. [2] R. Suntralingam, Pengenalan Kepada Sejarah, Merican and Sons., Sdn. Bhd., Kuala Lumpur, 1985, hlm. 58 [3] R.G. Collingwood (terjemahan Muhd. Yusuf Ibrahim), Idea Sejarah, Dewan Bahasa danPustaka, Kuala Lumpur, hlm. 2. [4] Shafer R.G. Jones, A Guide To Historical Method, Illineis, hlm. 2 2[5] Drs. Sidi Gazalba, 1966, Pengantar Sejarah Sebagai Ilmu, Jakarta, hlm. 11. [6] Tengku Iskandar, Kamus Dewan Bahasa dan Pustaka, Kuala Lumpur, 1996, hlm. 1040.

[7] Collingwood R.G. The Idea Of History, Oxford University Press, 1966, hlm. 39. [8] Muhd. Yusof Ibrahim, Pengertian Sejarah Beberapa Perbahasan Mengenai Teori dan Kaedah, Dewan Bahasa dan Pustaka, Kuala Lumpur, hlm. 17. 3[9] Muhd. Yusof Ibrahim, Ilmu Sejarah, Falsafah, Pengertian dan Kaedah, Dewan Bahasa dan Pustaka, 1997, hlm. 41. 4[10] Muhd. Yusuf Ibrahim dan Mahayuddin Haji Yahya, Sejarahwan dan Pensejarahan, Dewan Bahasa dan Pustaka, hlm. 285. 5[11] Dunia Sukan, Disember 1987, Utusan Melayu (Malaysia), Sdn. Bhd. Hlm. 16-20.

. Pengertian Fakta Sejarah

Pengertian fakta sejarah, menimbulkan banyak pendapat dari para sejarawan. Pendapat umum yang selama ini berkembang menyatakan bahwa: pertama, fakta adalah apa yang benar-benar telah terjadi dan kedua fakta sebagai buktibukti dari apa yang telah benar-benar terjadi. Menurut Patrick Gerdiner, kedua pengertian itu adalah salah. Menurut Gerdiner, bukti-bukti dari apa yang telah terjadi di masa lalu itu belum merupakan suatu kebulatan gambaran tentang peristiwa masa lampau. Jadi lebih bersifat sebagai data yang berserakan yang menyebabkan kita sering ragu, apakah itu benar-benar bukti dari peristiwa yang kita cari itu. Dengan kata lain untuk bisa membuat pernyataan bulat bahwa sesuatu peirstiwa di masa lampau benar-benar telah terjadi, diperlukan suatu proses untuk mengumpulkan dan kemudian menguji bukti-bukti tersebut, melalui kegiatan kritik sumber terutama untuk menentukan kebenarannya. Hasil dari proses inilah baru bisa kita namakan sebagai fakta sejarah. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa fakta sejarah merupakan keterangan baik itu lisan, tertulis, atau berupa bendabenda peninggalan sejarah yang kita peroleh dari sumber-sumber sejarah setelah disaring dan diuji dengan kritik sejarah.

Pengertian fakta sejarah, menimbulkan banyak pendapat dari para sejarawan. Pendapat umum yang selama ini berkembang menyatakan bahwa: pertama, fakta adalah apa yang benar-benar telah terjadi dan kedua fakta sebagai buktibukti dari apa yang telah benar-benar terjadi. Menurut Patrick Gerdiner, kedua pengertian itu adalah salah.

Pengertian fakta sejarah, menimbulkan banyak pendapat dari para sejarawan. Pendapat umum yang selama ini berkembang menyatakan bahwa: pertama, fakta adalah apa yang benar-benar telah terjadi dan kedua fakta sebagai buktibukti dari apa yang telah benar-benar terjadi. Menurut Patrick Gerdiner, kedua pengertian itu adalah salah. Menurut Gerdiner, bukti-bukti dari apa yang telah terjadi di masa lalu itu belum merupakan suatu kebulatan gambaran tentang peristiwa masa lampau. Jadi lebih bersifat sebagai data yang berserakan yang menyebabkan kita sering ragu, apakah itu benar-benar bukti dari peristiwa yang kita cari itu. Dengan kata lain untuk bisa membuat pernyataan bulat bahwa sesuatu peirstiwa di masa lampau benar-benar telah terjadi, diperlukan suatu proses untuk mengumpulkan dan kemudian menguji bukti-bukti tersebut, melalui kegiatan kritik sumber terutama untuk menentukan kebenarannya. Hasil dari proses inilah baru bisa kita namakan sebagai fakta sejarah. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa fakta sejarah merupakan keterangan baik itu lisan, tertulis, atau berupa bendabenda peninggalan sejarah yang kita peroleh dari sumber-sumber sejarah setelah disaring dan diuji dengan kritik sejarah. nurut Gerdiner, bukti-bukti dari apa yang telah terjadi di masa lalu itu belum merupakan suatu kebulatan gambaran tentang peristiwa masa lampau. Jadi lebih bersifat sebagai data yang berserakan yang menyebabkan kita sering ragu, apakah itu benar-benar bukti dari peristiwa yang kita cari itu. Dengan kata lain untuk bisa membuat pernyataan bulat bahwa sesuatu peirstiwa di masa lampau benar-benar telah terjadi, diperlukan suatu proses untuk mengumpulkan dan kemudian menguji bukti-bukti tersebut, melalui kegiatan kritik sumber terutama untuk menentukan kebenarannya. Hasil dari proses inilah baru bisa kita namakan sebagai fakta sejarah. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa fakta sejarah merupakan keterangan baik itu lisan, tertulis, atau berupa bendabenda peninggalan sejarah yang kita peroleh dari sumber-sumber sejarah setelah disaring dan diuji dengan kritik sejarah.

You might also like