You are on page 1of 10

THE QUALITY OF GROWTH DAN

IMPLIKASINYA TERHADAP PERENCANAAN PEMBANGUNAN

Agussalim

1. The Quality of Growth: Awal Mula Gagasan

Munculnya gagasan mengenai the quality of growth (kualitas pertumbuhan), setidaknya


dipicu oleh beberapa alasan:

Pertama, pertumbuhan ekonomi (economic growth) yang dicapai oleh sejumlah negara
selama 2-3 dekade, ternyata tidak serta-merta diiringi dengan pemerataan dan perbaikan
distribusi pendapatan. Angka (koefisien) ketimpangan distribusi pendapatan di banyak
negara cenderung tidak bergeser secara signifikan selama beberapa dekade.

Kedua, kenaikan Gross Domestic Product (GDP) dan income percapita secara konsisten
selama periode yang sama di banyak negara, ternyata gagal pula mereduksi jumlah
penduduk miskin. Bahkan angka penduduk miskin nampak lebih menunjukkan trend
yang kian meningkat daripada menurun. Bank Dunia mencatat bahwa sedikitnya 3 (tiga)
milyar penduduk bumi masih berada dalam kemiskinan (memperoleh pendapatan kurang
dari US$ 2 per hari) (WDR, 2003).

Ketiga, perhatian yang berlebihan terhadap modal, investasi, dan berbagai aspek finansial
lainnya, ternyata justru melahirkan praktek konglomerasi dan menciptakan enclave
ekonomi. Muncul gejala dalam perekonomian, dimana sumberdaya dan asset hanya
memusat pada segelintir kecil orang, kepemilikan usaha menumpuk pada jumlah orang
dengan hitungan jari, persaingan usaha tumbuh secara tidak sehat karena adanya
privilege kepada pelaku ekonomi tertentu, dan munculnya kantong-kantong ekonomi
dengan wajah dualistik: makmur vs kumuh, metropolis vs terisolir.

Keempat, keinginan untuk mengejar laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi, justru telah
mengorbankan aspek lingkungan dan merusak kehidupan ekosistem. Kita mencatat
terjadinya berbagai kerusakan lingkungan secara luas di sejumlah negara, katakanlah
kebakaran hutan tropis dan lahan gambut, banjir dan tanah longsor akibat hutan gundul,
kerusakan hutan akibat illegal logging, laut dan sungai yang tercemar oleh limbah
industri, kerusakan hutan bakau dan terumbu karang akibat illegal fishing, dan
seterusnya. Kualitas lingkungan secara global terus menunjukkan penurunan.

Kelima, pembangunan yang terlalu ekonomi-sentris, telah menyebabkan rapuhnya nilai-


nilai sosial (social values) dan memudarnya kohesi sosial (social cohesion) dalam
masyarakat. Kita dengan mudah dapat menyaksikan berbagai kerusuhan sosial (social
unrest), konflik vertikal dan horizontal, perampasan, kriminalitas, dan seterusnya. Di sisi
lain, semangat individualistik, kehidupan hedonisme, semakin menemukan bentuknya.
Semua gambaran di atas, kian menegaskan bahwa konsepsi pembangunan yang dianut
selama ini ternyata telah melahirkan sejumlah sisi buram: jumlah orang miskin tidak
menjadi berkurang, distribusi pendapatan tidak semakin merata, keadilan sosial tidak kian
terwujud, proses marginalisasi masih tetap berlangsung, kerusakan lingkungan masih
tetap marak, kehidupan sosial masih diwarnai konflik, dan lain sebagainya.

Jika ditelusuri kebelakang, selama belasan tahun, nampak jelas bahwa semua konsep,
gagasan, dan pendekatan pembangunan yang diterapkan di sejumlah negara sedang
berkembang — termasuk di Indonesia — mengacu pada ajaran neo-klasik (neoclassical
economics theory): bahwa capital stock dan investasi merupakan determinan utama
pembangunan (Solow, 1956; Ramsey, 1928; Cass, 1965; Koopmans, 1965; dan Diamond,
1965; dalam Romer, 2001). Bahwa mobilisasi kapital diyakini akan serta-merta
mendorong percepatan pembangunan. Bahwa modal merupakan titik sentral dari seluruh
aktifitas pembangunan. Singkatnya, investment is the all doctrine. Ajaran ini menjadi
salah satu mainstream dalam ilmu ekonomi dan karenanya amat dipercaya, setidaknya
oleh para developmentalism selama empat dekade terakhir.

Berdasarkan ajaran tersebut, upaya memobilisasi modal, baik melalui pembentukan


modal domestik maupun yang berasal dari luar negeri (modal asing dan pinjaman luar
negeri) kemudian menemukan relevansinya. Berbagai upaya pun dilakukan pemerintah,
baik melalui regulasi dan berbagai kebijakan maupun melalui negosiasi dengan negara-
negara donor dan lembaga keuangan internasional, yang tujuannya tidak lain agar
tersedia modal yang diperlukan bagi akselerasi pertumbuhan.

Upaya tersebut selama belasan tahun menunjukkan keberhasilan, paling tidak jika
didasarkan pada besaran angka-angka makro-ekonomi. Dalam kasus Indonesia misalnya,
laju pertumbuhan ekonomi meningkat secara konsisten rata-rata di atas 6% per tahun dan
berlangsung dalam rentang waktu yang relatif lama (baca: Orde Baru). Perubahan
struktur ekonomi juga turut menyertai proses tersebut, yang ditandai oleh kian
meningkatnya share (kontribusi) sektor industri terhadap GDP. Pendapatan per kapita
juga meningkat beberapa kali lipat. Semua keberhasilan tersebut tentu saja mengundang
pujian dari berbagai kalangan, termasuk sejumlah international agencies. Tak terkecuali
Bank Dunia dalam beberapa laporan tahunannya sebelum krisis ekonomi menerjang
Indonesia pertengahan 1997, turut memuji prestasi tersebut. Bahkan — ketika itu —
mereka menilai bahwa jika Indonesia sanggup mempertahankan momentum
pembangunannya, maka dalam beberapa tahun kemudian Indonesia dipastikan akan
masuk kedalam jajaran negara-negara industri baru (new industrial countries) menyusul
Singapura, Korea Selatan, dan Taiwan. Bahkan Indonesia di prediksi akan menjadi salah
satu kekuatan ekonomi baru dan penting di kawasan Asia Pasifik.

Tetapi apa lacur, semua prestasi makro-ekonomi tersebut ternyata tidak mencerminkan
gambaran ekonomi yang sesungguhnya. Struktur ekonomi kita terbukti sangat rentan dan
rapuh. Hanya karena sedikit goncangan eksternal (external disturbances) berupa
perubahan kurs (populer dengan istilah krisis moneter), ekonomi kita collapse dan
amburadul. Pertumbuhan ekonomi mencatat angka negatif -13,13%, inflasi bergerak naik
dengan cepat hingga mencapai 76%, pendapatan per kapita menurun drastis dari level
US$ 1.050 menjadi sekitar US$ 400.

Pada sisi yang lain, gambaran sosial-ekonomi riil masyarakat juga tidak seindah prestasi
makro-ekonomi tersebut. Kemiskinan, ketimpangan, ketidak-adilan, pengangguran, tetap
menjadi pemandangan yang lumrah. Pada tahun 1999, ILO memperkirakan angka
penduduk miskin mencapai sekitar 66% dari total penduduk. Saat ini, setelah terjadi
berbagai upaya pemulihan ekonomi (economic recovery) dan kian stabilnya sejumlah
variabel makro-ekonomi, jumlah penduduk miskin diperkirakan masih tersisa sekitar
25% dari total penduduk. Demikian pula, angka (koefisien) ketimpangan distribusi
pendapatan juga cenderung tidak bergeser secara signifikan selama beberapa dekade, atau
masih bergerak naik-turun disekitar angka 0,35. Tingkat pengangguran juga diperkirakan
masih berada di atas 15%, dan angka tersebut diperkirakan akan bergerak naik akibat
pertambahan angkatan kerja baru.

Fakta tersebut di atas nampaknya tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga
berlangsung di sejumlah negara berkembang lainnya. Dalam World Development Report:
Sustainable Development In A Dinamic World: Transforming Institutions, Growth, and
Quality of Life yang dipublikasikan oleh Bank Dunia pada tahun 2003, terungkap bahwa
di beberapa belahan dunia, sejumlah negara telah mencatat laju pertumbuhan ekonomi
yang cukup mengesankan dan bahkan berlangsung secara konsisten dalam satu-dua
dekade. Akan tetapi, pertumbuhan ekonomi tersebut ternyata tidak serta merta mereduksi
angka kemiskinan. Kesenjangan distribusi pendapatan bahkan tetap tak terkoreksi.
Disebutkan bahwa sedikitnya 3 (tiga) milyar penduduk bumi masih berada dalam
kemiskinan (hanya memperoleh pendapatan kurang dari US$ 2 per hari). Fakta ini
menunjukkan terjadinya divergensi antara pertumbuhan ekonomi di satu sisi, dengan
perbaikan taraf hidup dan distribusi pendapatan di sisi lain. Diduga kuat, penyebabnya
adalah rendahnya tingkat aksessibilitas sebagian besar penduduk terhadap sumberdaya
(resources), asset, dan pasar (market). Bank Dunia memperkirakan bahwa jika tidak
dilakukan koreksi secara konstruktif atas fenomena ini, maka masalah kemiskinan akan
tetap menjadi persoalan pelik 30 – 50 tahun yang akan datang.

Fakta ini membuktikan bahwa apa yang diyakini oleh para developmentalism sejak awal
tahun 1950-an bahwa pertumbuhan akan serta-merta melahirkan pemerataan — dikenal
dengan paham trickle down effect — ternyata tidak sepenuhnya benar. Bahkan konsep
redistribution with growth — masih berporos pada paradigma modernisasi
(modernization paradigm) — yang diperkenalkan oleh Bank Dunia pada tahun 1970-an,
ternyata juga tidak bisa sepenuhnya dianggap berhasil. Begitu pula konsep pembangunan
berkelanjutan (sustainable development) — kelestarian lingkungan sebagai prasyarat
pembangunan — yang diperkenalkan kemudian dan populer di tahun 1990-an, mungkin
pula masih mencatat sejumlah kelemahan.

Oleh karena itu, amat beralasan jika fakta empiris di atas, telah memicu timbulnya sebuah
kesadaran baru — setidaknya di tahun-tahun awal abad 21 — untuk menggagas kembali
konsepsi pembangunan. Nampaknya muncul kesadaran kolektif bahwa telah terjadi
kekeliruan dalam “praktek” pembangunan selama ini, bukan hanya pada tataran
implementasi, tetapi juga pada tataran “bangunan” paradigma dan konsepsi-teoritis.
Karenanya, sebuah perspektif, pendekatan, konsepsi, dan paradigma baru perlu segera
diintroduksi, bukan hanya untuk sekedar memperbaiki kekeliruan, tetapi juga untuk
mewujudkan pembangunan dengan wajah yang lebih humanis, lebih ramah lingkungan,
dan lebih mensejahterakan.

2. The Quality of Growth: Substansi Dasar

Berkaitan dengan uraian di atas, sedikitnya terdapat 3 (tiga) gagasan penting yang
nampaknya akan menjadi kecenderungan paradigma pembangunan di masa depan.

Pertama, bahwa konsepsi pembangunan yang selalu menempatkan modal fisik dan
finansial (physical and financial capital), khususnya akumulasi modal fisik, sebagai
tumpuan pertumbuhan, terbukti mempunyai dampak buruk, baik secara sosial maupun
ekologis. Bahkan konsepsi pembangunan tersebut ternyata tidak sepenuhnya dapat
menjamin sustainabilitas pembangunan dan tidak memberi dampak yang luas bagi
terciptanya kualitas pertumbuhan dan pembangunan. Atas dasar itu, modal sosial dan
manusia (human and social capital), dan modal alam dan lingkungan (natural and
enviromental capital) perlu segera diinternalisasi kedalam konsepsi pembangunan karena
diyakini bahwa hanya konsepsi pembangunan yang mempertimbangkan modal manusia
dan sosial serta modal alam dan lingkungan yang mampu menjamin pertumbuhan yang
berkualitas (the quality of growth) dan berlangsungnya pembangunan yang berkelanjutan
dan berkeadilan (sustainable and equitable development). Modal sosial dan manusia
dimaksud mencakup bagaimana meningkatkan kualitas sumberdaya manusia,
membangun kepercayaan (trust), menumbuh-kembangkan nilai dan norma (values and
norms), dan membentuk jaringan kerjasama (networks) pada berbagai tipe dan level
aktor: pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat. Sedangkan modal alam dan lingkungan
mencakup bagaimana menjaga dan mempertahankan barang publik murni (pure public
goods) serta menjaga fungsi-fungsi ekologis dan kekayaan lingkungan (amenities and
ecological function). Dengan diinternalisasinya modal manusia dan sosial serta modal
alam dan lingkungan dalam konsepsi pembangunan, diharapkan: (i) dampak buruk
pembangunan dapat lebih dieliminir; (ii) kualitas pertumbuhan dan pembangunan dapat
lebih ditingkatkan; dan (iii) pembangunan dapat berlangsung secara berkelanjutan dan
berkeadilan dalam rentang waktu yang lebih panjang.

Kedua, konsepsi pembangunan (ekonomi), yang menempatkan pertumbuhan ekonomi


dan pendapatan per kapita sebagai indikator utama pembangunan, nampaknya sudah
tidak relevan lagi dan karenanya perlu dikoreksi dengan indikator-indikator yang lebih
mencerminkan kesejahteraan (welfare). Kemampuan daya beli dan konsumsi,
pembangunan manusia, kepemilikan dan akses terhadap sumberdaya dan asset,
kelestarian lingkungan, nampaknya merupakan sejumlah indikator pembangunan yang
lebih realistik karena lebih mencerminkan kualitas pembangunan yang sesungguhnya.

Ketiga, ketika pemikiran pembangunan memasuki era pragmatisme, muncul kesadaran


baru bahwa pembangunan seyogyanya menjangkau lebih dari sekedar pertumbuhan
ekonomi. Pembangunan seharusnya mampu menjangkau tujuan-tujuan sosial dengan
dimensi yang lebih luas seperti pengentasan kemiskinan, peningkatan kualitas hidup,
peluang yang lebih besar untuk memperoleh pendidikan dan kesehatan yang lebih baik,
dan berbagai tujuan sosial lainnya. Bahkan lebih jauh lagi, pembangunan juga
seyogyanya mencakup aspek kualitatif lainnya, seperti peningkatan demokrasi dan hak
asasi manusia (HAM), perluasan informasi dan pengetahuan, penghargaan atas hak
kekayaan intelektual (property rights), pengembangan research and development (R &
D), inovasi teknologi, dll. Dalam konteks itulah, nampaknya diperlukan berbagai
adjustment struktural dalam berbagai dimensi pembangunan agar sanggup bersesuaian
dengan makin meluasnya hakekat dan jangkauan pembangunan tersebut.

Gagasan mengenai konsepsi the quality of growth maupun sustainable and equitable
development mempersyaratkan sedikitnya 4 (empat) agenda penting, yaitu: (i) mengatasi
misgovernance dan korupsi (addresing misgovernance and corruption); (ii) megurangi
distorsi kebijakan (reducing distortions); (iii) mengoreksi kegagalan pasar (correcting
market failures); dan (iv) memperkuat regulasi (strengthening regulation). Keempat
agenda tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:

Pertama, fakta internasional dan historis menunjukkan bahwa sebuah negara dengan
institusi pemerintahan yang kapabel, baik, dan transparan cenderung memiliki
pertumbuhan pendapatan, kesehatan nasional, dan pencapaian prestasi sosial yang lebih
tinggi. Pendapatan, investasi, dan pertumbuhan yang lebih tinggi maupun angka harapan
hidup yang lebih panjang, dapat ditemukan di negara-negara dengan institusi pemerintah
yang efektif, jujur, meritokratis dengan regulasi yang jelas, aturan hukum yang
ditegakkan dengan adil, dan masyarakat madani (civil society) yang kuat.

Kedua, analisis lintas-negara juga mengungkapkan adanya suatu hubungan yang lemah
antara besarnya pengeluaran publik (public expenditure) dengan hasil yang dicapai
(outcomes). Ini terjadi bukan hanya semata-mata karena alokasi pengeluaran publik yang
tidak tepat, tetapi juga karena korupsi. Sejumlah studi telah menggarisbawahi efek
korupsi terhadap alokasi keuangan publik (Klitgaard, 1988; Rose-Ackerman, 1989;
dalam Thomas, 2000). Dikatakan bahwa korupsi akan meningkatkan investasi publik
karena korupsi menciptakan peluang-peluang untuk melakukan manipulasi bagi para
pejabat negara. Korupsi juga akan mengurangi pendapatan pajak karena
mengkompromikan kemampuan pemerintah untuk memungut pajak. Efek berikutnya dari
situasi ini adalah terbatasnya penyediaan barang-barang publik, rendahnya kualitas
barang-barang publik, rusaknya keuangan publik, dll.

Ketiga, the quality of growth juga menekankan perlunya kebijakan, regulasi, dan
sumberdaya publik untuk mempromosikan pembangunan yang berorientasi pasar dan
mengurangi dampak negatif dari eksternalitas dan kegagalan pasar. Untuk maksud
tersebut, pemerintah perlu membangun struktur pengambilan kebijakan yang efektif,
kebijakan yang ramah pasar, kerangka kerja regulatif yang ringkas dan efisien, dan
mengeliminasi regulasi yang menghambat iklim usaha.
3. The Quality of Growth: Implikasinya Terhadap Perencanaan Pembangunan

Pandangan baru mengenai pembangunan ekonomi (the new economic view of


development) sebagaimana telah diuraikan di atas menyiratkan bahwa pembangunan
mencakup dimensi masalah yang amat luas, yang bukan hanya mencakup aspek ekonomi,
tetapi juga mencakup aspek sosial, politik, hukum, dan lingkungan. Bahwa pembangunan
harus merupakan proses yang bersifat multidimensional yang mencakup perubahan
utama struktur sosial, akselerasi pertumbuhan ekonomi, perbaikan distribusi pendapatan
atau ketimpangan, pengentasan kemiskinan, dan kelembagaan lokal dan nasional. Bahwa
pembangunan, secara esensial, harus merepresentasikan perubahan sistem sosial secara
menyeluruh, menyesuaikan perbedaan kebutuhan dasar dan keinginan antar kelompok
sosial dan individu di dalam sistem tersebut, bergerak dari suatu kondisi hidup yang
secara luas tidak memuaskan ke arah suatu kondisi atau situasi hidup yang lebih baik,
baik secara material maupun secara spiritual.

Jika dikaitkan dengan konteks perencanaan pembangunan, maka pandangan the quality
of growth tersebut memberi sejumlah implikasi penting, yaitu:

Pertama, kebijakan perencanaan pembangunan harus didasarkan pada prinsip holisme,


dengan mengintegrasikan dan memanifestasikan secara spasial ketiga modal (asset)
penting, yaitu modal fisik dan finansial, modal manusia dan sosial, modal alam dan
lingkungan. Kebijakan perencanaan pembangunan yang dilakukan secara parsial,
sektoral, dan jangka pendek seperti yang dipraktekkan selama ini, sudah saatnya
ditinggalkan.

Kedua, tujuan perencanaan pembangunan harus diarahkan pada tujuan-tujuan sosial


dengan spektrum yang lebih luas. Perencanaan pembangunan seyogyanya tidak lagi
bertumpu semata-mata pada aspek ekonomi dengan indikator-indikator makro yang
seringkali agak menyesatkan. Indikator-indikator sosial yang lebih bersifat mikro —
misalnya, rasio guru dengan murid, rasio paramedis dengan jumlah penduduk, persentase
murid yang lanjut ke jenjang studi lebih tinggi — sudah saatnya diintroduksi dalam
perencanaan pembangunan.

Ketiga, menggeser dimensi “output” ke dimensi “process” dan “outcomes” dalam


formulasi perencanaan pembangunan. Pengalaman menunjukkan bahwa mengedepankan
dimensi “output” dalam perencanaan pembangunan seringkali justru melahirkan berbagai
dampak negatif, diantaranya munculnya gap antara apa yang dihasilkan dengan apa yang
dibutuhkan, alokasi pengeluaran publik yang tidak tepat sasaran, hak-hak individual
masyarakat seringkali dirampas atas nama pembangunan, mengabaikan efisiensi dan
efektifitas, dan seterusnya. Diyakini bahwa semua dampak negatif tersebut akan dapat
dielimir jika dimensi “process” dan “outcomes” lebih dikedepankan dalam keseluruhan
mata-rantai perencanaan pembangunan.

Keempat, perencanaan pembangunan harus didesain sedemikian rupa sehingga


memungkinkan tersedianya ruang bagi kelompok masyarakat miskin untuk
menyampaikan preferensinya (voice of the poor). Desain perencanaan pembangunan
harus pula sanggup menjamin peningkatan akses penduduk miskin terhadap sumberdaya,
asset, dan pasar, serta mempertimbangkan alokasi anggaran yang lebih berpihak kepada
kaum miskin (pro-poor budget). Sebagai misal, merealokasikan pengeluaran publik ke
arah pendidikan dasar dan menengah, barangkali merupakan redistribusi asset yang
paling kurang kontroversial, dan tampaknya paling bisa dilaksanakan.

Kelima, semakin disadari bahwa munculnya berbagai masalah dalam pembangunan


akibat kegagalan kelembagaan (institutional failures). The quality of growth
mempersyaratkan perlunya struktur institusional pemerintahan yang baik (get
institutional right), karena hanya itu yang dapat menjamin efektifitas dan efisiensi
birokrasi, penegakan hukum, kerangka kerja regulatif, akuntabilitas, transparansi,
partisipasi, dan penguatan masyarakat sipil. Dengan demikian, perencanaan
pembangunan hanya dapat bekerja dengan baik, jika diawali dengan penguatan
kelembagaan (institutional strengthening) institusi perencana daerah (baca: BAPPEDA).

Daftar Bacaan

Adams, Richard H. Jr, 2003. Economic Growth, Inequality, and Poverty: Finding from a
New Data Set, Policy Research Working Paper No. 2972, World Bank, February.

Agussalim, 2003. Kawasan Timur Indonesia: Konsepsi Pembangunan dan Upaya


Pencerahan, Makalah yang Disampaikan pada Seminar Sehari “Marketing Places,
A New Approach for Sustainable Development in Era of Regional Autonomy”
yang dilaksanakan oleh Indonesia Marketing Association (IMA) Chapter Sulsel,
12 April 2003, di Hotel Sahid Jaya Makassar.

Agussalim, 2003. Penguatan Institusi: Sebuah Keniscayaan, Makalah yang Disampaikan


pada Diskusi Reguler PSKMP UNHAS, Makassar, 3 Februari 2003.

Adelman, Irma, 1975. Growth, Income Distribution, and Equity-Oriented Development


Strategies, World Development 3 (2 and 3): 67-76.

Bigsten, Arne and Jorgen Levin, 2000. Growth, Income Distribution, and Poverty: A
Review, Working Paper in Economics No. 32. Departement of Economics,
Goteborg University.

Bruno, Michael, Martin Ravallion, and Lyn Squire, 1998. Equity and Growth in
Developing Countries: Old and New Perspective on the Policy Issues, Vito Tani
and Ke-Young Chu, editors, Income Distribution and High Growth, Cambridge,
MA: MIT Press.

Chenery, Hollis, et. al. , 1974. Redistribution with Growth, Published for the World Bank
and the Institute of Development Studies, Sussex, Oxford U.P.
Cornia, Giovanni A and Sampsa Kiiski, 2001. Trends in Income Dsitribution in the Post-
World War II Period: Evidence and Intrepretation, WIDER Discussion Paper No.
89, UNU/WIDER: Helsinki.

Dasgupta, Partha, 1993. An Inquiry into Well-Being and Destitution, New York: Oxford
University Press.

Deininger, Klaus and Lyn Squire, 1996. A New Data Set Measuring Income Inequality,
World Bank Economic Review 10(3): 565-91.

Dollar, David and Aart Kraay, 2002. Growth is Good for the Poor, Journal of Economic
Growth 7(3): 195-225.

Easterly, W, 1999. Life during Growth, Journal of Economic Growth, 4, 239-276.

Gore, Charles, 1984. Region In Question: Space, Development Theory and Regional
Policy, Methuen, London.
Palafox, Felino Jr, 2002. Global Trends and Revolutionary Indeas in Urban Development,
Part 3, MAPs Weekly Column in the INQUIRIR, http://www.map.com.ph,
download 13 Maret 2003.

Pardo-Beltran, 2002. Effects of Income Distribution and Growth, Center for Economics
Policy Analysis Working Paper No.16.

Ravallion, Martin, 2001. Growth, Inequality and Poverty: Looking Beyond the Averages,
World Bank Policy Research Working Paper #2558, World Bank, Januari.

Romer, David, 2001, Advanced Macroeconomics, McGraw-Hill Companies, Inc.

Sallatu, A. Madjid, 2002. Investasi, Modal Asing, dan Perekonomian Indonesia, Makalah
yang disampaikan pada Seminar Berkala PSKMP UNHAS, di Hotel Sedona
Makassar pada tanggal 25 Mei 2002.

Sen, Amartya, 1988. The Concept of Development, dalam Chenery and Srinivasan, eds.,
Handbook of Development Economics, Vol. 1, New York: Elsevier Scince
Publishers.

Sudjana, Brasukra G, 2003. The Miracle That Never Was: Revisiting Inequality and
Growth in Indonesia, UNSFIR.

Thomas, Vinod et. al., 2000. The Quality of Growth, The World Bank, Washington D.C.

Todaro, Michael P. and Stephen C. Smith, 2003. Economic Development, Eighth


Edition, The Addison-Wesley.
World Bank, 2003. Sustainable Development In A Dinamic World: Transforming
Institutions, Growth, and Quality of Life, World Development Report 2003,
Oxford University Press.

_______________, 2002, Building Institution for Markets, World Development Report


2002, The World Bank, Washington D.C.

_______________, 2000. Entering the 21st Century, World Development Report


1999/2000, The World Bank, Washington D.C.
BIODATA SINGKAT PENULIS

AGUSSALIM, lahir di Watampone (Sulsel), 17 Agustus 1967. Sehari-hari adalah Staf


Pengajar pada Fakultas Ekonomi dan Peneliti pada Pusat Studi Kebijakan dan
Manajemen Pembangunan (PSKMP) Universitas Hasanuddin. Saat ini sementara
mengikuti Program Doktoral (S3) Bidang Ekonomi di Universitas Padjadjaran Bandung.
Pernah menjabat Sekretaris Jurusan Ilmu Ekonomi & Studi Pembangunan Fakultas
Ekonomi Universitas Hasanuddin (1998-1999). Anggota delegasi Indonesia pada
pertemuan 24th Regional Conference Federation of ASEAN Economic Associations
(FAEA) di Makati, Philippines, Desember 1999. Mengikuti pelatihan Local Economic
Resource Development (LERD) di Institute of Housing and Urban Development Studies
(IHS) Rotterdam, Netherland, Agustus 2003. Salah satu dari 8 peserta South-East Asia
Youth Visiting Program, Japan, September 2003. Di organisasi profesi tercatat sebagai
Sekretaris Umum ISEI Cabang Makassar. Disamping aktif menulis di jurnal dan media
massa, juga aktif memberi advokasi kepada beberapa daerah di Provinsi Sulawesi Selatan
untuk bidang perencanaan pembangunan daerah dan otonomi daerah.
Alamat korespondensi: agus_jero@pasca.unpad.ac.id atau agus_jero@yahoo.com

You might also like