You are on page 1of 45

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Kantor Pelayanan Pajak Pratama merupakan instansi pemerintah

yang berperan aktif dalam menjalankan kegiatan dan aktifitas masyarakat

disegala bidang dalam pembangunan ini. Pembangunan ini tentunya

membutuhkan dana yang tidak sedikit. Untuk mengatasi kebutuhan dana

tersebut, berbagai potensi yang ada diberdayakan secara maksimal baik

potensi dari intern maupun ekstern. Penerimaan dari intern dapat berasal dari

penerimaan pajak yang menjadi hal utama penerimaan negara saat ini.

Sebagai hal utama penerimaan negara, tentunya penerimaan

pajaknya harus dioptimalkan dengan tetap memperhatikan norma-norma

hukum yang ada. Dalam mengoptimalkan hal ini, tentunya juga dibutuhkan

peran aktif dari wajib pajak juga. Untuk mewujudkan peran aktif wajib pajak

ini, maka pemerintah telah mengadakan reformasi birokrasi terhadap sistem

perpajakan di Indonesia dalam bentuk pemberlakuan Self Assessment

System.

Self Assessment System ini, diberikan kepercayaan kepada wajib

pajak untuk menghitung, memperhitungkan, menyetor, dan melaporkan

besarnya pajak yang terutang sendiri. Pada dasarnya pelaksanaan Self

Assessment System tidak bersifat mutlak dan masih tetap diperlukan

pengawasan dalam prosedur pelaksanaannya. Selain itu pengawasannya juga

diperlakukan untuk mengetahui kepatuhan wajib pajak. Salah satu kepatuhan

1
2

wajib pajak ini dapat dilihat dari Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) Wajib

Pajak yang disampaikan.

Dalam SPT Tahunan Wajib Pajak Badan juga dilampiri laporan

keuangan yang merupakan dasar untuk pengisian SPT Tahunan Wajib Pajak

Badan. Laporan keuangan diambil dari pembukuan yang dilakukan Wajib

Pajak dalam suatu periode. Bagi wajib pajak yang dalam penyusunan laporan

keuangannya, sering kali Wajib Pajak Badan menyajikan laporan keuangan

yang berbeda untuk kepentingan yang berbeda pula misalnya pembedaan

antara laporan keuangan untuk perusahaan sendiri yaitu digunakan sebagai

laporan setiap akhir tahun untuk mengetahui perkembangan perusahaan itu

sendiri dan untuk pengambilan keputusan ekonomi; untuk tujuan pajak yaitu

digunakan sebagai arsip yang dilaporkan setiap akhir tahun pajak untuk

mengetahui besarnya pajak penghasilan yang terhutang. Perbedaan

pengakuan akun-akun yang dilihat dari sudut akutansi dan dari sudut pajak.

Perbedaan dari sudut akuntansi dan pajak banyak terjadi dalam

pengakuan penghasilan dan biaya-biaya, serta dari perbedaan dalam

pengakuan waktu seringkali perusahaan tidak bisa memperhatikan perbedaan

tersebut, sehingga perlu dilakukan koreksi fiskal terhadap laporan keuangan

yang dilaporkan perusahaan untuk menghitung jumlah pajaknya sesuai

dengan peraturan perpajakan yang telah ditetapkan. Berdasarkan uraian di

atas, maka penulis mencoba membahas analisa tentang rekonsiliasi laporan

keuangan serta jumlah pajak yang dilaporkan tersebut dalam judul “Tinjauan

Atas Laporan Laba Rugi Wajib Pajak Badan PT XY di KPP Pratama

Mataram Barat”.
3

1.2 Pokok Permasalahan

Untuk menghindari kemungkinan terjadinya salah penafsiran

mengenai luasnya ruang lingkup permasalahan yang akan dibahas, maka

perlu penulis kemukakan pokok permasalahan disini adalah “Bagaimanakah

Kesesuaian Atas Laporan Laba Rugi Tahun 2007 Wajib Pajak Badan PT. XY

yang ditinjau dari Undang-Undang PPh di KPP Pratama Mataram Barat”.

1.3 Tujuan dan Manfaat Laporan PKL

1.3.1 Tujuan Laporan PKL

a. Untuk memberikan kesesuaian atas laporan laba rugi pada

perusahaan PT. XY yang ditinjau dari Undang-Undang PPh di

Kantor Pelayanan Pajak Pratama Mataram Barat.

b. Untuk mengetahui cara perhitungan PPh pasal 28 A lebih bayar

dan pasal 29 kurang bayar yang sesuai dengan Undang-Undang

PPh No. 17 Tahun 2000.

c. Menerapkan dan membandingkan antara teori yang telah

dipelajari dengan praktek yang terjadi di lapangan.

1.3.2 Manfaat Laporan PKL

a. Secara Akademik untuk memenuhi salah satu syarat dalam

menyelesaikan Program Studi Diploma III pada Sekolah Tinggi

Ilmu Ekonomi AMM Mataram.

b. Diharapkan dari hasil PKL ini nantinya dapat memberikan

gambaran khususnya bagi Kantor Pelayanan Pajak Pratama


4

Mataram Barat dalam memperhatikan laporan keuangan wajib

pajaknya.

c. Sebagai sumbangan pikiran terhadap sistem yang ada dan yang

dilakukan pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama Mataram Barat

khususnya dalam meningkatkan pelayanan bagi wajib pajaknya.

1.4 Metodologi

1.4.1 Metode Pengumpulan Data

Metodologi yang digunakan dalam penelitian ini adalah

dengan menggunakan metode studi kasus yaitu metode yang

bertujuan untuk memecahkan masalah dengan mengumpulkan data,

menyusun, dan menginterpretasikan kemudian menarik kesimpulan

tersebut pada lingkup penelitian yang dilaksanakan. (Imam Asyari

Safari, Drs, 1983: 81). Dalam hal penulis akan meneliti suatu kasus

mengenai kesesuaian atas Laporan Laba Rugi Wajib Pajak Badan

tahun 2007 PT. XY yang ditinjau dari UU PPh No. 17 Tahun 2000 di

KPP Pratama Mataram Barat.

1.4.2 Tehnik Pengumpulan Data

a. Observasi yaitu dengan mengadakan pengamatan langsung pada

Kantor Pelayanan Pajak Pratama Mataram Barat dengan tujuan

untuk mengetahui secara langsung permasalahan yang dihadapi.

b. Wawancara yaitu metode pengumpulan data dengan jalan tanya

jawab secara langsung dengan pimpinan atau staf kantor.


5

1.4.3 Macam Data

a. Data kuantitatif adalah data yang dapat diukur dengan

menggunakan angka-angka yang berupa laporan laba rugi dan

rekonsiliasi fiskal PT. XY di Kantor Pelayanan Pajak Pratama

Mataram Barat.

b. Data kualitatif adalah data yang berdasarkan uraian-uraian atas

penjelasan yang merupakan hasil informasi yang diperoleh dari

lapangan yang berkaitan dengan masalah yang diteliti.

1.4.4 Sumber Data

a. Data Primer yaitu data yang langsung diperoleh dari objek praktek

kerja lapangan atau (PKL) di Kantor Pelayanan Pajak Pratama

Mataram Barat

b. Data Sekunder yaitu data yang bersumber dari beberapa literature

yang ada kaitannya dengan permasalahan dalam laporan ini.

1.4.5 Tehnik Analisa Data

a. Tehnik Analisa Kuantitatif yaitu berdasarkan hasil analisa

perhitungan pajaknya dan daftar kreditnya yang dihitung secara

fiskal dan komersil sesuai ketentuan dalam Undang-Undang PPh

No. 17 Tahun 2000 sebagai berikut :

- PPh Pasal 22 dikenakan tarif pajak sebesar 1,5 %

- PPh Pasal 23 atas Sewa Kendaraan dikenakan tarif

pajak sebesar 15 % dikalikan dengan Dasar Penetapan Pajak

sebesar 10 %.
6

- PPh Pasal 23 atas deviden dikenakan tarif pajak sebesar 15 %

- PPh Pasal 25 angsauran dihitung dalam 12 bulan.

- PPh pasal 28A lebih bayar = PPh Terhutang – (Kredit Pajak +

Angsuran PPh Pasal 25). PPh terhutangnya < kredit pajaknya.

- PPh Pasal 29 kurang bayar = PPh Terhutang – (Kredit Pajak +

Angsuran PPh Pasal 25). PPh terhutangnya > kredit pajaknya.

b. Tehnik Analisa Kualitatif yaitu berupa uraian-uraian, penjelasan-

penjelasan atas hasil analisa kuantitatif.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Pajak, Wajib Pajak dan Badan

Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terhutang oleh

orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-

Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan

untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat yang

tercantum dalam Undang-Undang No. 28 Tahun 2007 tentang Perubahan

Ketiga Atas Undang-Undang No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum

dan Tata Cara Perpajakan.

Wajib Pajak adalah Orang Pribadi atau badan yang menurut

ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan ditentukan untuk

melakukan kewajiban perpajakan, termasuk pemungutan pajak atau

pemotong pajak tertentu yang tercantum dalam Undang-Undang No. 28

Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang No. 6 Tahun

1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.

Badan adalah sekumpulan orang dan atau modal yang merupakan

kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha

yang meliputi: perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya,

badan usaha milik Negara atau Daerah dengan nama dalam bentuk apapun,

firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan,

organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi yang sejenis,

7
8

lembaga bentuk usaha tetap, dan bentuk badan lainnya yang tercantum dalam

Undang-Undang No. 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Undang-

Undang No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara

Perpajakan.

Menurut pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 36 Tahun 2008

tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1983 tentang

Pajak Penghasilan yang menyatakan bahwa yang menjadi subjek pajak

adalah :

a. 1. Orang Pribadi;
2. Warisan yang belum terbagi sebagau satu kesatuan menggantikan
yang berhak;
b. Badan;

c. Bentuk usaha tetap merupakan subjek pajak yang perlakuan

perpajakannya dipersamakan dengan subjek pajak badan.

Subjek pajak dibedakan menjadi subjek pajak dalam negeri dan

subjek pajak luar negeri.

1. Subjek Pajak Dalam Negeri.

a. Orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi

yang berada di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga)

hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, atau orang pribadi yang

dalam satu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk

bertempat tinggal di Indonesia.

b. Badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia, kecuali

unit tertentu dari badan pemerintah yang memenuhi kriteria :


9

1) Pembentukannya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-

undangan;

2) Pembiayaannya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja

Negara atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

3) Penerimaannya dimasukkan dalam anggaran Pemerintah Pusat

atau Pemerintah Daerah; dan

4) Pembukuaannya diperiksa oleh aparat pengawasan fungsional

negara.

c. Warisan yang berlum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan

yang berhak.

2. Subjek Pajak Luar Negeri

a. Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia tidak lebih

dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua

belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat

kedudukan di Indoensia, yang menjalankan usaha atau melakukan

kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia.

b. Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang

pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan

puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan dan badan

yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indoensia,

yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia

tidak dari menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk

usaha tetap di Indonesia.


10

2.2 Pengertian Pajak Penghasilan dan Dasar Hukum

Pajak Penghasilan adalah Pajak yang berkenaan dengan penghasilan

yang diterima atau diperoleh selama tahun pajak atau dapat pula dikenai

pajak untuk penghasilan dalam bagian tahun pajak apabila kewajiban pajak

subjektifnya dimulai atau berakhir dalam tahun pajak.

Pajak Penghasilan Badan merupakan salah satu jenis pajak yang

pengenaannya didasarkan pada badan usaha yang meliputi : perseroan

terbatas, perseroan komanditer, perseroaan lainnya, badan usaha milik Negara

atau badan usaha milik daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma,

kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan,

organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainya, lembaga,

dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk

usaha tetap.

Pengenaan pajaknya diatur berdasarkan Peraturan Perundang-

undangan Perpajakan yang berlaku, antara lain:

a. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan

Tata Cara Perpajakan stdd Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000, stdd

Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 perubahan ketiga tentang

Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.

b. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 stdd Undang-Undang Nomor 10

Tahun 1994 tentang Pajak Penghasilan stdd Undang-Undang Nomor 17

Tahun 2000, stdd Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 Perubahan

keempat tentang Pajak Penghasilan.


11

2.3 Surat Pemberitahuan Tahunan

Dalam pasal 1 angka 11 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007

tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983

tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan bahwa :

“Surat Pemberitahuan adalah surat yang oleh Wajib Pajak


digunakan untuk melaporkan perhitungan dan atau pembayaran
pajak, objek pajak dan atau bukan objek pajak dan atau harta dan
kewajiban, menurut ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan”.

(Peraturan Menteri Keuangan No.185/PMK.03/2007).

Pasal 4 ayat (4) yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 6

Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan stdd

Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 menyatakan bahwa pengisian Surat

Pemberitahuan Tahunan (SPT) Pajak Penghasilan oleh Wajib Pajak yang

wajib menyelenggarakan pembukuan harus dilampiri dengan laporan

keuangan berupa Neraca dan Laporan laba rugi serta keterangan-keterangan

lain yang diperlukan untuk menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak.

Pernyataan ini dipertegas dalam Pasal 2 Keputusan Direktur Jendral Pajak

Nomor KEP-214/PJ/2001 tentang keterangan dan dokumen lain yang harus

dilampirkan dalam Surat Pemberitahuan yang menyebutkan bahwa

keterangan dan atau dokumen lain yang dilampirkan dalam SPT Tahunan

Pajak Penghasilan Wajib Pajak Badan adalah :

a. Neraca dan Laporan Laba Rugi Tahun Pajak yang bersangkutan dari

Wajib Pajak itu sendiri berserta rekonsiliasi laba rugi fiskal.

b. Daftar perhitungan penyusutan atau amortisasi fiskal.


12

c. Perhitungan kompensasi kerugian dalam hal terdapat sisa kerugian tahun-

tahun sebelumnya yang masih dapat dikompensasikan.

d. Surat Setoran Pajak Penghasilan Pasal 29 yang terutang, kecuali ada izin

untuk mengangsur atau menunda pembayaran Pajak Penghasilan

pasal 29.

e. Surat Kuasa Khusus, dalam hal SPT Tahunan ditandatangani oleh bukan

Wajib Pajak.

f. Lampiran-Lampiran yang dianggap perlu untuk menjelaskan perhitungan

besarnya penghasilan kena pajak atau besarnya Pajak Penghasilan

Pasal 25.

2.4 Pembukuan

Menurut Pasal 28 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang

Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang

Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang menyebutkan bahwa:

”Pembukuan adalah suatu proses pencatatan yang dilakukan secara


teratur untuk mengumpulkan data dan informasi keuangan yang
meliputi harta, kewajiban, modal, penghasilan, dan biaya, serta
jumlah harga perolehan dan penyerahan barang atau jasa, yang
ditutup dengan menyusun laporan keuangan berupa neraca dan
laporan laba rugi pada setiap akhir tahun pajak berakhir”.

( Sophar Lumbantoruan, 1996 : 5)

Pembukuan harus dilakukan dengan prinsip taat asas dengan stelsel

akrual atau stelsel kas. Penjelasan latar belakang penggunaan prinsip taat

asas, stelsel akrual, stelsel kas dalam pembukuan perpajakan Pasal 28 ayat (5)

UU No. 28 Tahun 2007 yaitu : Prinsip taat asas adalah prinsip yang sama

digunakan dalam metode pembukuan dengan tahun-tahun sebelumnya, untuk


13

mencegah penggeseran laba rugi. Perubahan metode pembukuan masih

dimungkinkan dengan syarat telah mendapat persetujuan dari Direktur

Jendral Pajak. Perubahan metode pembukuan harus diajukan kepada Direktur

Jendral Pajak sebelum dimulainya tahun buku yang bersangkutan dengan

menyampaikan alasan-alasan yang logis dan dapat diterima serta akibat-

akibat yang mungkin timbul dari perubahan tersebut. Prinsip taat asas dalam

metode pembukuan misalnya dalam penerapan :

a. Stelsel pengakuan penghasilan ;

b. Tahun buku ;

c. Metode penilaian persediaan ;

d. Metode penyusutan dan amortisasi.

Pembukuan yang diselenggarakan dengan stelsel akrual adalah

suatu metode perhitungan penghasilan dan biaya dalam arti penghasilan

diakui pada waktu diperoleh dan biaya diakui pada waktu terutang.

Sedangkan stelsel kas adalah suatu metode yang perhitungan didasarkan atas

penghasilan yang diterima dan biaya yang dibayar secara tunai. Dalam

penggunaan stesel kas harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut :

a) Perhitungan jumlah penjualan dalam satu periode harus meliputi seluruh

penjualan, baik yang tunai maupun yang bukan. Dalam menghitung

harga pokok penjualan harus diperhitungkan seluruh pembelian dan

persediaan.
14

b) Dalam memperoleh harta yang dapat disusutkan dan hak-hak yang dapat

diamortisasi, biaya-biaya yang dikurangkan dari penghasilan hanya dapat

dilakukan melalui penyusutan dan amortisasi.

c) Pemakaian stelsel kas harus dilakukan secara taat asas.

2.5 Laporan Keuangan


a. Definisi laporan keuangan
“Laporan Keuangan merupakan bagian dari proses pelaporan
keuangan. Laporan Keuangan terdiri dari Neraca, Laporan
Laba Rugi, Laporan Perubahan Posisi Keuangan, (yang
disajikan dalam berbagai cara misalnya sebagai laporan arus
kas, atau laporan arus dana), catatan dan laporan lain serta
materi penjelasan yang merupakan bagian integral dari laporan
keuangan”.

(Ikatan Akuntansi Indonesia,SAK,2004 : 1 & 2)

Ada pun definisi lain mengenai laporan keuangan dan laporan


laba rugi dari beberapa pengarang lainnya. Salah satunya yang
menjelaskan bahwa :
“Laporan keuangan merupakan ringkasan dari suatu proses
pencatatan, merupakan suatu ringkasan dari transaksi-transaksi
keuangan yang terjadi selama tahun buku yang bersangkutan.
Sedangkan laporan laba rugi adalah suatu laporan yang
menunjukkan pendapatan-pendapatan dan biaya-biaya dari sudut
unit usaha untuk suatu periode.”
(Drs. Zaki Baridwan,Ak, 2004 : 17)

b. Tujuan Laporan Keuangan


Laporan Keuangan bertujuan untuk menyediakan informasi

yang menyangkut posisi keuangan, serta perubahan posisi

keuangan suatu perusahaan yang bermanfaat bagi sejumlah

besar pemakai dalam pengambilan keputusan ekonomi.

(Ikatan Akuntansi Indonesia, SAK, 2004, hal : 4)


15

c. Laporan Keuangan Komersil dan Laporan Keuangan Fiskal

Laporan keuangan komersial digunakan untuk kepentingan

berbagai pihak yang disusun dengan mengacu kepada Standar Akuntansi

Keuangan yang berlaku sehingga informasi nilai ekonomi perusahaan

menjadi tolak ukur, sedangkan laporan keuangan fiskal disusun

berdasarakan peraturan perundang-undangan perpajakan dan hanya

ditujukan kepada Direktorat Jendral Pajak sebagai dasar penetapan pajak.

Laporan keuangan fiskal baru dapat disusun setelah laporan keuangan

komersial selesai.

d. Perbedaan Laporan Keuangan Komersil dan Laporan Keuangan Fiskal

Perbedaan tujuan dalam penyajian laporan keuangan ini,

menyebabkan terjadinya perbedaan pada pos-pos tertentu dalam laporan

keuangan. Hal-hal yang menyebabkan terjadinya perbedaan antara

laporan keuangan komersil dan laporan keuangan fiskal dapat dibagi

menjadi dua yaitu beda tetap dan beda waktu.

“Beda tetap terjadi karena adanya perbedaan antara apa yang


dianggap penghasilan dan biaya yang boleh dikurangkan
menurut akuntansi dan peraturan perundang-undangan
perpajakan. Beda waktu merupakan perbedaan metode yang
dipakai antara komersil dan ketentuan fiskal, misalnya metode
penyusutan, metode penilaian persediaan, penyisihan piutang
tak tertagih. Beda waktu ini akan terkoreksi secara otomatis di
kemudian hari sehingga tidak ada perbedaan antara total laba
komersil dan laba fiskal.”
(Gustian Djuanda, SE.MM dan Irwansyah Lubis, SE, 2001 :
13-17)
16

2.6 Koreksi Dalam UU No. 17 Tahun 2000 Tentang Pajak Penghasilan


Berdasarkan hasil rekosiliasi fiskal yang dilakukan menurut Undang-
Undang Pajak Penghasilan maka adapun pasal-pasal yang berkaitan dengan
koreksi fiskal antara lain :
a. Pasal 4

1) Yang menjadi Objek Pajak adalah penghasilan yaitu setiap

tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh

Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar

Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk

menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama

dan dalam bentuk apapun, termasuk :

a.) Penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau

jasa yang diterima atau diperoleh termasuk gaji, upah,

tunjangan, honorarium, komisi, bonus, gratifikasi, uang

pensiun, atau imbalan dalam bentuk lainnya, kecuali

ditentukan lain dalam Undang-undang ini;

b.) Hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan, dan

penghargaan;

c.) Laba usaha;

d.) Keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta

termasuk :

(1) Keuntungan karena pengalihan harta kepada perseroan,

persekutuan, dan badan lainnya sebagai pengganti saham

atau penyertaan modal;


17

(2) Keuntungan yang diperoleh perseroan, persekutuan dan

badan lainnya karena pengalihan harta kepada pemegang

saham, sekutu, atau anggota;

(3) Keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan,

pemekaran, pemecahan, atau pengambilalihan usaha;

(4) Keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah,

bantuan atau sumbangan, kecuali yang diberikan kepada

keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat,

dan badan keagamaan atau badan pendidikan atau badan

sosial atau pengusaha kecil termasuk koperasi yang

ditetapkan oleh menteri keuangan, sepanjang tidak ada

hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan atau

penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan;

e.) Penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan

sebagai biaya;

f.) Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena

jaminan pengembalian utang;

g.) Dividen, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk

dividen dari perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan

pembagian sisa hasil usaha koperasi

h.) Royalti;

i.) Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan

harta;
18

j.) Penerimaan atau perolehan pembayaran berkala;

k.) Keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan

jumlah tertentu yang ditetapkan dengan peraturan pemerintah;

l.) Keuntungan karena selisih kurs mata uang asing;

m.) Selisih lebih karena penilaian kembali aktiva;

n.) Premi asuransi;

o.) Iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari

anggotanya yang terdiri dari wajib pajak yang menjalankan

usaha atau pekerjaan bebas;

p.) Tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang

belum dikenakan pajak.

2) Atas penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan-tabungan

lainnya, penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya di

bursa efek, penghasilan dari pengalihan harta berupa tanah dan atau

bangunan serta penghasilan tertentu lainnya, pengenaan pajaknya

diatur dengan Peraturan Pemerintah.

b. Pasal 6

1) Besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri

dan bentuk usaha tetap, ditentukan berdasarkan penghasilan bruto

dikurangi :

a.) Untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan,

termasuk biaya pembelian bahan, biaya berkenaan dengan

pekerjaan atau jasa termasuk upah, gaji, honorarium, bonus,


19

gratifikasi, dan tunjangan yang diberikan dalam bentuk uang,

bunga, sewa, royalti, biaya perjalanan, biaya pengolahan

limbah, premi asuransi, biaya administrasi, dan pajak kecuali

Pajak Penghasilan;

b.) Penyusutan atas pengeluaran untuk memperoleh harta

berwujud dan amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh

hak dan atas biaya lain yang mempunyai masa manfaat lebih

dari 1 (satu) tahun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dan

Pasal 11A;

c.) Iuran kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan

oleh Menteri Keuangan;

d.) Kerugian karena penjualan atau pengalihan harta yang dimiliki

dan digunakan dalam perusahaan atau yang dimiliki untuk

mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan;

e.) Kerugian dari selisih kurs mata uang asing;

f.) Biaya penelitian dan pengembangan perusahaan yang

dilakukan di Indonesia;

g.) Biaya bea siswa, magang, dan pelatihan;

h.) Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih, dengan syarat :

(1) Telah dibebankan sebagai biaya dalam laporan laba rugi

komersial;

(2) Telah diserahkan perkara penagihannya kepada

Pengadilan Negeri atau Badan Urusan Piutang dan


20

Lelang Negara (BUPLN) atau adanya perjanjian tertulis

mengenai penghapusan piutang/pembebasan utang antara

kreditur dan debitur yang bersangkutan;

(3) Telah dipublikasikan dalam penerbitan umum atau

khusus; dan

(4) Wajib Pajak harus menyerahkan daftar piutang yang tidak

dapat ditagih kepada Direktorat Jenderal Pajak, yang

pelaksanaannya diatur lebih lanjut dengan Keputusan

Direktur Jenderal Pajak.

2) Apabila penghasilan bruto setelah pengurangan sebagaimana

dimaksud dalam ayat (1) didapat kerugian, maka kerugian tersebut

dikompensasikan dengan penghasilan mulai tahun pajak berikutnya

berturut-turut sampai dengan 5 (lima) tahun.

3) Kepada orang pribadi sebagai Wajib Pajak dalam negeri diberikan

pengurangan berupa Penghasilan Tidak Kena Pajak sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 7."

c. Pasal 9

1) Untuk menentukan besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi

Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap tidak boleh

dikurangkan :

a.) Pembagian laba dengan nama dan dalam bentuk seperti

dividen, termasuk dividen yang dibayarkan oleh perusahaan


21

asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil

usaha koperasi;

b.) Biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan

pribadi pemegang saham, sekutu, atau anggota;

c.) Pembentukan atau pemupukan dana cadangan kecuali

cadangan piutang tak tertagih untuk usaha bank dan sewa guna

usaha dengan hak opsi, cadangan untuk usaha asuransi, dan

cadangan biaya reklamasi untuk usaha pertambangan, yang

ketentuan dan syarat-syaratnya ditetapkan dengan keputusan

menteri keuangan;

d.) Premi asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa,

asuransi dwiguna, dan asuransi bea siswa, yang dibayar oleh

wajib pajak orang pribadi, kecuali jika dibayar oleh pemberi

kerja dan premi tersebut dihitung sebagai penghasilan bagi

wajib pajak yang bersangkutan;

e.) Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau

jasa yang diberikan dalam bentuk natura dan kenikmatan,

kecuali penyediaan makanan dan minuman bagi seluruh

pegawai serta penggantian atau imbalan dalam bentuk natura

dan kenikmatan di daerah tertentu dan yang berkaitan dengan

pelaksanaan pekerjaan yang ditetapkan dengan keputusan

menteri keuangan;
22

f.) Jumlah yang melebihi kewajaran yang dibayarkan kepada

pemegang saham atau kepada pihak yang mempunyai

hubungan istimewa sebagai imbalan sehubungan dengan

pekerjaan yang dilakukan;

g.) Harta yang dihibahkan, bantuan atau sumbangan, dan warisan

sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat (3) huruf a dan

huruf b, kecuali zakat atas penghasilan yang nyata-nyata

dibayarkan oleh wajib pajak orang pribadi pemeluk agama

islam dan atau wajib pajak badan dalam negeri yang dimiliki

oleh pemeluk agama islam kepada badan amil zakat atau

lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh

pemerintah;

h.) Pajak penghasilan;

i.) Biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan

pribadi wajib pajak atau orang yang menjadi tanggungannya;

j.) Gaji yang dibayarkan kepada anggota persekutuan, firma, atau

perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham;

k.) Sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan serta

sanksi pidana berupa denda yang berkenaan dengan

pelaksanaan perundang-undangan di bidang perpajakan.

2) Pengeluaran untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara

penghasilan yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu)

tahun tidak dibolehkan untuk dibebankan sekaligus, melainkan


23

dibebankan melalui penyusutan atau amortisasi sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 11 atau Pasal 11 A."


24

BAB III
DATA DAN PEMBAHASAN

3.1 Gambaran Umum KPP Pratama Mataram

3.1.1 Sejarah Singkat Direktorat Jendral Pajak

Organisasi Direktorat Jendral Pajak pada mulanya merupakan

perpaduan dari beberapa unit organisasi yaitu:

- Jawatan Pajak yang bertugas melaksanakan pemungutan pajak

berdasarkan perundang-undangan dan melakukan tugas

pemeriksaan kas Bendaharawan Pemerintah;

- Jawatan Lelang yang bertugas melakukan pelelangan terhadap

barang-barang sitaan guna pelunasan piutang pajak Negara;

- Jawatan Akuntan Pajak yang bertugas membantu Jawatan Pajak

untuk melaksanakan pemeriksaan pajak terhadap pembukuan

Wajib Pajak Badan; dan

- Jawatan Pajak Hasil Bumi (Direktorat Iuran Pembangunan Daerah

pada Ditjen Moneter) yang bertugas melakukan pungutan pajak

hasil bumi dan pajak atas tanah yang pada tahun 1963 dirubah

menjadi Direktorat Pajak Hasil Bumi dan Kemudian pada tahun

1965 berubah lagi menjadi Direktorat Iuran Pembangunan Daerah

(IPEDA). Dengan keputusan Presiden RI No. 12 tahun 1976

tanggal 27 Maret 1976, Direktorat Ipeda diserahkan dari

Direktorat Jendral Moneter kepada Direktorat Jendral Pajak. Pada


25

tanggal 27 Desember 1985 melalui Undang-Undang RI No. 12

tahun 1985 Direktorat IPEDA berganti nama menjadi Direktorat

Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Demikian juga unit kantor di

daerah yang semula bernama Inspeksi Ipeda diganti menjadi

Inpeksi Pajak Bumi dan Bangunan,dan Kantor Dinas Luar Ipeda

diganti menjadi Kantor Dinas Luar PBB.

Untuk mengkoordinasikan pelaksanaan tugas di daerah,

dibentuk beberapa kantor Inspektorat Daerah Pajak (ItDa) yaitu di

Jakarta dan beberapa daerah seperti di Sumatera, Jawa, Kalimantan,

dan Indonesia Timur. Inspektorat Daerah ini kemudian menjadi

Kanwil Ditjen Pajak ( Kantor Wilayah) seperti yang ada sekarang.

3.1.2 Struktur Organisasi

Sebagaimana diketahui bahwa baik instansi pemerintah atau

instansi tertentu yang sudah maju tentunya mempunyai struktur

organisasi. Struktur organisasi adalah merupakan kerangka atau

bagian yang menunjukan bagian-bagian yang ada pada instansi

tersebut. Berikut ini penulis menguraikan tugas dan tanggung jawab

yang menduduki setiap bagian yang ada guna mencapai tujuan yang

telah ditentukan secara efektif dan efisien, yang mana terlihat pada

Skema berikut ini.


26

STRUKTUR KANTOR PELAYANAN PAJAK


PRATAMA MATARAM BARAT

Sumber : Data Subbagian Umum di KPP Pratama Mataram Barat

Tugas dan Tanggung jawab :


1. Subbagian Umum

a. Tata Cara Penerimaan Dokumen Di Kantor Pelayanan Pajak

b. Tata Cara Pemrosesan dan Penatausahaan Dokumen Masuk Di

Subbagian Umum

c. Tata Cara Penyampaian Dokumen Di Kantor Pelayanan Pajak

d. Tata Cara Pembuatan Kartu Tanda Pengenal Pemeriksa

e. Tata Cara Penyusunan Laporan Atau Daftar Realisasi

Anggaran Belanja.
27

f. Tata Cara Pelaksanaan Penutupan Buku Kas Umum

g. Tata Cara Penyusunan Laporan Berkala Kantor Pelayanan

Pajak

h. Tata Cara Pembuatan Laporan Tahunan

2. Seksi Pengolahan Data dan Informasi

a. Tata Cara Pemrosesan Dan Penatausahaan Dokumen Masuk

Di Seksi Pengolahan Data dan Informasi

b. Tata Cara Pembentukan Bank Data

c. Tata Cara Pembuatan Dan Penyampaian Surat Perhitungan

(SPH) Kirim Ke Kantor Pelayanan Pajak Lain.

d. Tata Cara Peminjaman Berkas Data Atau Alat Keterangan

Oleh Seksi Pengolahan Data Dan Informasi Kepada Seksi

Terkait

e. Tata Cara Pembuatan Laporan Penerimaan PBB/BPHTB

3. Seksi Pelayanan

a. Tata Cara Penatausahaan Surat Dokumen dan Laporan Wajib

Pajak Pada Tempat Pelayanan Terpadu.

b. Tata Cara Pendaftaran NPWP


c. Tata Cara Perubahan Identitas Wajib Pajak

d. Tata Cara Penerimaan dan Pengolahan SPT Tahunan PPh

e. Tata Cara Penerimaan dan Pengolahan SPT Masa

f. Tata Cara Penerbitan Surat Ketetapan Pajak

g. Tata Cara Penyelesaian Penghapusan NPWP

h. Tata Cara Penatausahaan Dokumen Wajib Pajak


28

4. Seksi Penagihan

a. Tata Cara Pemrosesan dan Penatausahaan Dokumen Masuk di

Seksi Penagihan

b. Tata Cara Penatausahaan Surat Ketetapan Pajak dan Surat

Tagihan Pajak beserta Bukti Pembayaran.

c. Tata Cara Menjawab Konfirmasi Data Tunggakan Wajib Pajak

d. Tata Cara Penerbitan Surat Tagihan Pajak (STP) Bunga

Penagihan.

e. Tata Cara Penerbitan dan Penyampaian Surat Teguran

Penagihan.

f. Tata Cara Pemindahan Berkas dari Kantor Pelayanan Pajak ke

Kantor Pelayanan Pajak Lainnya.

5. Seksi Pemeriksaan

a. Tata Cara Pemrosesan dan Penatausahaan Dokumen Masuk di

Seksi Pemeriksaan

b. Tata Cara Penyelesaian Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan

Pajak Penghasilan Lebih Bayar.

c. Tata Cara Penyelesaian Permohonan Pengembalian Kelebihan

Pembayaran Pajak Penjualan Barang Mewah.

d. Tata Cara Pemeriksaan Kantor dan Lapangan

e. Tata Cara Pengamatan Oleh Kantor Pelayanan Pajak


29

6. Seksi Ekstensifikasi Perpajakan

a. Tata Cara Pemrosesan dan Penatausahaan Dokumen Masuk di

Seksi Ekstensifikasi Perpajakan.

b. Tata Cara Pendaftaran Objek Pajak Baru Dengan Penelitian

Kantor dan Lapangan.

c. Tata Cara Penerbitan Surat Himbauan untuk ber NPWP

d. Tata Cara Pemeliharaan Data Objek dan Subjek PBB

e. Tata Cara Penyelesaian Mutasi Seluruh Objek dan Subjek

Pajak PBB.

f. Tata Cara Penyelesaian Permohonan Surat Keterangan Nilai

Jual Objek Pajak (NJOP)

7. Seksi Pengawasan dan Konsultasi

a. Tata Cara Pemrosesan dan Penatausahaan Dokumen Masuk di

Seksi Pengawasan dan Konsultasi.

b. Tata Cara Penerbitan Surat Perintah Membayar Kelebihan

Pajak (SPMKP)

c. Tata Cara Penerbitan Surat Perintah Membayar Imbalan

Bunga (SPMIB)0004

d. Tata Cara Penyelesaian Permohonan Keberatan Pajak

Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan

Atas Barang Mewah di Kantor Pelayanan Pajak.

e. Tata Cara Penyelesaian Permohonan Pengurangan atau

Pembatalan Ketetapan Pajak yang Tidak Benar Pajak


30

Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan

Atas Barang Mewah di Kantor Pelayanan Pajak.

f. Tata Cara Penyelesaian Permohonan Surat Keterangan Bebas

(SKB) PPh Pasal 21.

g. Tata Cara Penyelesaian Permohonan Surat Keterangan Bebas

(SKB) PPh Pasal 22 Bendaharawan, Pemungut PPh Pasal 22

Import, Pemungut PPh Pasal 22 Untuk Pedagang Pengumpul

dan Untuk Industri Tertentu, Pemungut PPh Pasal 22 Import

untuk Wajib Pajak yang penghasilannya semata-mata

dikenakan PPh yang bersifat final, dll.

h. Tata Cara Penerbitan Surat Tagihan Pajak (STP)

i. Tata Cara Penerbitan Surat Ketetapan Pajak PBB

3.1.3 Kegiatan Pokok KPP Pratama Mataram Barat

Kantor Pelayanan Pajak Pratama Mataram Barat merupakan

instansi pemerintah yang ditugaskan untuk menyelenggarakan

program pelayanan bagi wajib pajaknya. Kantor Pelayanan Pajak

Pratama Mataram Barat mempunyai tugas melaksanakan pelayanan,

pengawasan administratif dan pemeriksaan sederhana terhadap wajib

pajak dibidang PPh (Pajak Penghasilan), PPN (Pajak Pertambahan

Nilai, PBB (Pajak Bumi dan bangunan), PPnBM (Pajak Penjualan

atas Barang Mewah), BPHTB (Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan

Bangunan), dan pajak tidak langsung lainnya.


31

Disamping itu juga mempunyai tujuan untuk memberikan

pelayanan dengan sebaik-baiknya kepada masyarakat yang

membutuhkan untuk menunjang kegiatan kemajuan bangsa dan

Negara.

Berikut ini diuraikan berbagai kegiatan atau tugas-tugas

yang berhubungan dengan kegiatan pokok khususnya di seksi bagian

pelayanan, pengolahan data dan informasi sebagai berikut :

1. Memberikan pelayanan terpadu (pelaporan, surat masuk, dll)


2. Persetujuan usul penghapusan NPWP dan pencabutan PKP.
3. Perubahan identitas wajib pajak.
4. Perpindahan wajib pajak.
5. Memberikan pelayanan NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak)
kepada wajib pajak.
6. Memberikan Pelayanan Nomor Pengukuhan Pengusaha Kena
Pajak.
7. Memberikan perpanjangan jangka waktu penyampaian SPT
Tahunan.

Adapun produk-produk yang dihasilkan di kantor Pelayanan Pajak


Pratama Mataram Barat yaitu :
1. Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT).
2. Surat Setoran Pajak (SSP)
3. SPT Masa
4. Formulir Pendaftaran NPWP
5. Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak, dll
32

3.2 Hasil Praktek Kerja Lapangan

Dalam melaksanakan kegiatan PKL atau magang pada Kantor

Pelayanan Pajak Pratama Mataram Barat, penulis dihadapkan pada berbagai

aktivitas yang ada dalam Kantor Pelayanan Pajak Pratama Mataram Barat,

sehingga akan menuntut untuk dapat melaksanakan kegiatan khususnya seksi

pelayanan di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Mataram Barat tersebut.

Adapun hal-hal yang dikerjakan pada saat Praktek Kerja Lapangan

(PKL) di Kantor Pelayanan Pajak adalah sebagai berikut :

Pada Seksi Pelayanan (TPT)

a. Mengentry / menginput data Wajib Pajak di komputer dan membantu

pengisian:

1. Surat Keterangan Terdaftar Wajib Pajak

2. Daftar NPWP Wajib Pajak

3. Surat penghapusan

4. Pemindah Bukuan (Pbk)

5. Surat masuk & surat keluar

b. Merekap data-data NPWP Wajib pajak baik itu karyawan dari

perusahaan, Badan Usaha Milik Negara atau Badan Usaha Milik

Daerah, Swasta, Koperasi, dan Instansi Pemerintah berdasarkan kode

KPP yang telah ditetapkan.

c. Membantu mengetik surat pengantar untuk Wajib Pajak yang sudah

terdaftar.
33

d. Mengeposkan surat pengantar bagi Wajib Pajak dan mencatat pada

buku catatan Surat Keluar.

e. Mencetak atau membuat print out data NPWP Wajib Pajak pribadi

dan Surat Keterangan Terdaftar Wajib Pajak.

f. Mengecek dan mengelompokkan data-data NPWP Wajib Pajak sesuai

dengan jenis yaitu berdasarkan :

1. Subjek Pajak (Orang pribadi, Badan dan Bentuk Usaha Tetap)

2. Jenis Pajak (PPh pasal 21 / 26 orang pribadi/BUT, PPh pasal 22,

PPh pasal 25 (SPT Masa), PPh orang pribadi. Kurang bayar,

PPh orang pribadi lebih bayar, PBB, PPN (Industri,

Perdagangan / Pertambangan, Jasa, dll).

3. Tanggal Masuk Surat

4. Masa / Tahun Pajak

g. Memberi stempel pada surat-surat keluar.

h. Menuliskan nomor surat secara urut.

i. Mencatat surat penghapusan NPWP ke dalam buku catatan

berdasarkan:

1. Nama : -

2. Alamat : -

3. NPWP : -

4. Jenis pajak terutangnya : -


34

j. Mensteples (mengelompokkan) dan mencocokkan hasil register

dengan SPT Tahunan atau berdasarkan jenis pajaknya yang tercantum

dalam SPT.

3.3 Hasil Penelitian

Berdasarkan hasil penelitian yang penulis lakukan mengenai data-

data dari Wajib Pajak Badan yakni PT. XY di Kantor Pelayanan Pajak

Pratama Mataram Barat, bahwa untuk mengetahui kesesuaian atas Laporan

Laba Rugi PT. XY itu dapat ditinjau dari Undang-Undang Pajak Penghasilan,

hal ini tercantum dalam Undang-Undang No. 17 Tahun 2000 tentang

Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak

Penghasilan atau Undang-Undang No. 28 Tahun 2007 tentang Perubahan

Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum

dan Tata Cara Perpajakan. Artinya baik dalam hal pemeriksaan, perhitungan,

pencatatan, maupun jenis pajak yang dikenakan atas laporan PT. XY haruslah

sesuai dengan Ketentuan pasal-pasal yang terdapat dalam Undang-Undang

Pajak Penghasilan yang telah ditetapkan sedemikian rupa. Menurut

Pasal 17 Undang-Undang No. 17 Tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan,

penetapan tarif untuk Wajib Pajak Badan sebagai berikut :

NO. Lapisan Penghasilan Tarif


1. s.d. Rp. 50.000.000,- 10%
2. Diatas Rp. 50.000.000 s.d. Rp. 100.000.000 15%
3. Diatas Rp 100.000.000 30%

Sumber : Data Sekunder diolah


35

Bahwa untuk melihat kebenaran dari Surat Pemberitahuan Tahunan

(SPT) yang disampaikan oleh Wajib Pajak, maka dalam hal ini

penulis mencoba untuk melakukan analisis atas laporan yang disampaikan

oleh PT. XY sebagai berikut :

- PT. XY
Merupakan perusahaan yang bergerak dalam bidang Industri Tekstil.
Berdasarkan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) yang disampaikan
untuk akhir tahun 2007, maka perhitungan Pajak Penghasilan dapat
disajikan penulis beserta daftar kredit pajak PT. XY sebagai berikut :
Tabel 3.3.1
Perhitungan Pajak Penghasilan PT. XY Tahun 2007

Uraian Menurut Wajib Pajak (Rp.)


Peredaran Usaha 210.000.000
HPP ( 79.000.000 )
Laba Bruto Usaha 131.000.000
Jumlah Beban Usaha (105.500.000 )
Penghasilan Neto dari Usaha 25.500.000
Penghasilan Luar Usaha 25.000.000
Jumlah Penghasilan Neto 50.000.000
Kompensasi 0
Penghasilan Kena Pajak 50.500.000
PPh Terutang (Tarif Pasal 17 UU PPh)
10% x 50.000.000 = 5.000.000
15% x 500.000 = 75.000 5.075.000
Kredit Pajak (8.205.000)
Kurang (Lebih) Bayar 3.130.000

Sumber : Data Primer PPh Badan


Tabel 3.3.2
Daftar Kredit Pajak PT. XY
Nilai (Rp.) Tarif
Jumlah
No. Uraian Pajak
(Rp.)
(%)
1. PPh Pasal 22 80.000.000 1,5 1.200.000
2. PPh Pasal 23 (Sewa Kendaraan) 7.000.000 15 x 10 105.000
(DPP)
3. PPh Pasal 23 (Deviden) 6.000.000 15 900.000
4. PPh Pasal 25 (Angsuran) 500.000 12 bulan 6.000.000
Jumlah yang dapat dikreditkan 8.205.000
36

3.4 Pembahasan

Setelah diketahui data-data untuk PT. XY, maka atas rekonsiliasi

fiskal yang dilakukan dapat dijelaskan sebagai berikut :

Tabel 3.4.1
Rekonsiliasi Laba Rugi Fiskal PT. XY
Tahun Pajak 2007

Sumber : Data Primer PPh Badan


37

Keterangan :
Penjualan kotor yang dilaporkan sebesar Rp. 250.000.000,- adalah tunai.
Sedangkan penjualan yang kredit belum dilaporkan sebesar Rp.
70.000.000,-
Di dalam biaya perjalanan dinas, terdapat biaya rekreasi direktur dan
keluarga ke Bali sebesar Rp. 4.000.000,-
Biaya entertainment sebesar Rp. 2.000.000,- tidak dibuatkan daftar
nominatif.
Sumbangan sebesar Rp. 2.500.000 merupakan pemberian kepada Panitia
17 Agustus NTB;
Asuransi jiwa atas nama direktur utama Rp. 1.500.000,-
Piutang yang betul-betul dihapuskan dan tidak mendapat putusan
pengadilan adalah Rp. 2.000.000,-
Tabloid Bola untuk anak Direktur Rp. 100.000,- dan Sisanya Rp.
200.000,- tidak dapat diperinci dan tidak ada bukti kwitansi.
Pendapatan sewa gedung sebesar Rp. 2.000.000,-
Pendapatan bunga sebesar Rp. 10.000.000,- adalah pendapatan atas bunga
rekeing Giro di Bank BNI.

1. Penghasilan usaha

Berdasarkan laporan Laba Rugi Komersil (menurut Wajib

Pajak) dapat diketahui bahwa penghasilan PT. XY yang diperoleh dari

peredaran usaha yang merupakan pendapatan dari penjualan produksi

sebesar Rp. 210.000.000. Atas penghasilan tersebut dilakukan koreksi

fiskal positif yang akan menambah peredaran usaha karena ada penjualan

yang tidak dilaporkan oleh PT. XY sebesar Rp. 70.000.000.


38

Menurut Akuntansi, sebagaimana tercantum dalam Kerangka

Dasar Penyusunan dan Penyajian Laporan Keuangan (Standar Akuntansi

Keuangan).

“Penghasilan adalah kenaikan manfaat ekonomis selama satu

periode akuntansi dalam bentuk pemasukan atau penambahan

aktiva atau penurunan kewajiban yang mengakibatkan kenaikan

ekuitas yang tidak berasal dari kontribusi penenaman modal”.

(PSAK No. 46, Standar Akutansi Keuangan)

Sedangkan definisi Penghasilan menurut peraturan perundang-

undangan perpajakan sebagaimana tercantum dalam pasal 4 ayat (1)

Undang-Undang No. 17 Tahun 2000 tentang Perubahan Ketiga Atas

Undang-Undang No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, bahwa

penghasilan adalah setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima

atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia ataupun dari

luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah

kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam

bentuk apapun. Dilihat dari mengalirnya tambahan kemampuan ekonomis

kepada wajib pajak, penghasilan dapat dikelompokkan menjadi :

a. Penghasilan dari pekerjaan dalam hubungan kerja dan pekerjaan

bebas seperti : gaji, honorarium, penghasilan dari praktek dokter,

notaris, aktuaris, akuntan, pengacara, dan sebagainya.

b. Penghasilan dari usaha dan kegiatan ;


39

c. Penghasilan dari modal, yang berupa harta gerak ataupun harta tidak

gerak seperti : bunga, deviden, royalti, sewa, keuntungan penjualan

harta atau hak yang tidak dipergunakan untuk usaha, dan lain

sebagainya ;

d. Penghasilan lain-lain, seperti pembebasan utang, hadiah, dan lain

sebagainya.

Undang-undang iini menganut pengertian penghasilan yang luas

sehingga semua jenis penghasilan yang diterima atau diperoleh dalam

suatu tahun pajak digabungkan untuk mendapatkan dasar pengenaan

pajak, kecuali untuk penghasilan yang dikenakan pajak dengan tarif yang

bersifat final atau dikecualikan dari objek pajak.

2. Biaya Perjalanan Dinas

Biaya Perjalanan Dinas adalah sebesar Rp. 9.000.000. Menurut

Pasal 6 ayat (1) huruf a Undang-Undang No. 17 Tahun 2000 tentang

Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak

Penghasilan. Atas biaya tersebut dilakukan koreksi fiskal positif yang

dapat dikurangi dari penghasilan bruto sebesar Rp. 4.000.000 karena

terdapat biaya perjalanan dinas khususnya untuk rekreasi direktur dan

keluarga ke Bali yang bukan merupakan objek PPh Pasal 21 dan yang

tidak dilengkapi dengan surat tugas.

3. Biaya Entertaiment

Sesuai dengan Pasal 6 ayat (1) huruf a. Undang-Undang No. 17

Tahun 2000 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang No. 7 Tahun


40

1983 tentang Pajak Penghasilan. Berdasarkan SE-27/PJ.22/1986, biaya ini

dapat dijadikan pengurangan dengan kegiatan usaha wajib pajak serta

dibuatkan daftar nominatif yang kemudian dilampirkan dalam SPT

Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak tersebut. Biaya Entertainment

yaitu sebesar Rp. 6.000.000, maka dilakukan koreksi fiskal positif karena

tidak dibuatkan daftar nominatif sebesar Rp. 2.000.000 yang akan

mengurangi penghasilan brutonya.

4. Sumbangan

Sumbangan yang merupakan biaya adalah sebesar Rp. 2.500.000

ini tercantum dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a. Undang-Undang No. 17

Tahun 2000 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang No. 7 Tahun

1983 tentang Pajak Penghasilan, oleh karena sumbangan yang

pemberiannya kepada panitia 17 Agustus NTB dilakukan koreksi fiskal

sebesar Rp. 2.500.000

5. Biaya Asuransi

Menurut Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang No. 17 Tahun 2000

tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1983

Tentang Pajak Penghasilan. Terdapat pengecualian terhadap biaya

asuransi yang jika dibayar oleh pemberi kerja dan premi tersebut dihitung

sebagai penghasilan bagi wajib pajak yang bersangkutan. Biaya asuransi

sebesar Rp. 5.000.000 maka terdapat koreksi fiskal positif yang dapat

dikurangi dari penghasilan brutonya karena adanya biaya asuransi jiwa

atas nama pemberi kerja (pribadi direktur utama) sebesar Rp. 1.500.000
41

dan tidak dimasukkan sebagai penghasilan di 1721 A1/A2 Direktur

tersebut.

6. Biaya Lain-lain

Biaya lain-lain adalah sebesar Rp. 5.500.000. Dalam Pasal 6

ayat (1) dan pasal 9 ayat (1) Undang-Undang No. 17 Tahun 2000 tentang

Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1983 Tentang Pajak

Penghasilan, oleh karena itu dilakukan koreksi fiskal positif yang dapat

dikurangi dari penghasilan bruto sebesar Rp. 300.000 karena biaya lain-

lainnya untuk tabloit bola kepada anak direktur dan sisanya tidak dapat

diperinci serta tidak ada bukti kwitansi.

7. Kerugian Piutang

Kerugian Piutang yaitu sebesar Rp. 5.000.000 menurut Wajib

Pajak atau secara komersilnya. Sesuai Pasal 6 ayat (1) huruf h Undang-

Undang No. 17 Tahun 2000 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-

Undang No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, sehingga perlu

dilakukan koreksi fiskal positif sebesar Rp. 2.000.000 karena piutang

tersebut dihapuskan dan yang tidak mendapat putusan pengadilan.

8. Pendapatan Bunga Deposito

Menurut Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang No. 17 Tahun 2000

tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1983

Tentang Pajak Penghasilan bahwa penghasilan yang dapat dikenai pajak

bersifat final (PPh final). Pendapatan bunga deposito sebesar

Rp.10.000.000, maka dilakukan koreksi fiskal positif sebesar


42

Rp.10.000.000 karena terdapat pendapatan atas bunga rekening giro di

Bank BNI dan tidak termasuk objek pajak.

9. Pendapatan Sewa

Pendapatan sewa adalah sebesar Rp. 9.000.000. Menurut

Undang-Undang No. 17 Tahun 2000 tentang Perubahan Ketiga Atas

Undang-Undang No. 7 Tahun 1983 Pasal 4 ayat (1) huruf i yang

menyatakan bahwa sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan

penggunaan harta. Maka dilakukan koreksi negatif atas pendapatan sewa

tanah atau bangunan sebesar Rp. 2.000.000 karena sewa bangunan dan

atau tanah dikenakan pajak bersifat final.

Sehingga Penghitungan Pajak Penghasilannya sebagai berikut;


10% x Rp 50.000.000 = Rp. 5.000.000
15% x Rp 50.000.000 = Rp. 7.500.000
30% x Rp 20.800.000 = Rp. 6.240.000 +
Rp. 18.740.000

Pajak Penghasilan adalah sebesar Rp. 18.740.000. Dari Pajak

penghasilan yang dihitung ini akan dikurangi dengan Kredit Pajak sebesar

Rp. 8.205.000 sehingga pajak yang harus dibayar oleh PT. XY adalah

sebesar Rp. 10.535.000 yang merupakan PPh pasal 29 kurang bayar.


BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Pada kasus PT. XY, ternyata dari hasil analisis menunjukkan jumlah PPh

terutang lebih besar dari yang dilaporkan. PPh pasal 28A lebih bayar menurut

PT. XY sebesar Rp. 3.130.000. Sedangkan dari hasil analisis ternyata PPh

pasal 29 yang masih harus dibayar sebesar Rp. 10.535.000, sehingga atas PPh

pasal 29 kurang bayar tersebut akan diterbitkan Surat Ketetapan Pajak

Kurang Bayar ditambah dengan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2%

sebulan untuk selama-lamanya 24 bulan dihitung sejak saat terhutangnya

pajak atau berakhirnya masa pajak, bagian tahun pajak atau tahun pajak

sampai dengan diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar. Oleh

karena itu perhitungan menurut PT. XY belum sesuai dengan ketentuan

dalam Undang-Undang PPh No. 17 Tahun 2000.

4.2 Saran

Dari hasil uraian, saran yang bisa penulis sumbangkan adalah :

1. Perlu peningkatan ketelitian atau kecermatan karyawan pajak dalam

memeriksa laporan setiap Wajib Pajaknya, sehingga mendapatkan hasil

yang maksimal, akurat dan memuaskan, serta dapat menimbulkan

simpati dari wajib pajaknya.

43
44

2. Untuk menghindari terjadinya kesalahan dalam menangani pengisian

SPT Tahunan wajib pajak perlu diberikan sosialisasi perpajakan

terutama terhadap peraturan perpajakan yang terbaru.

3. Pentingnya pengawasan terhadap kepatuhan Wajib Pajak yaitu dapat

dengan melakukan pemeriksaan ataupun memberikan sanksi yang tegas

bagi Wajib Pajak yang tidak melaporkan SPT Tahunan dengan tepat

waktu seperti: adanya denda dengan bunga sebesar 2 % atas

keterlambatan pembayaran pajak, denda atas keterlambatan pelaporan

SPT Masa/Bulanan PPh sebesar Rp. 100.000, dan denda sebesar

Rp. 1.000.000 untuk keterlambatan pelaporan SPT Tahunan Badan

(sesuai dengan Undang-Undang PPh No. 36 Tahun 2008), serta penerapan

sanksi yang tegas akan meningkatkan kepatuhan.


45

DAFTAR PUSTAKA

Baridwan Zaki, Drs, 2004. Intermediate Accounting, Yogyakarta.

Djuanda Gustian, SE. MM dan Lubis Irwansyah, SE. 2001. Pelaporan Pajak
Penghasilan, Jakarta.

Ikatan Akuntan Indonesia, Standar Akuntansi Keuangan. 2004, Jakarta.

Lumbantoruan Sophar. 1996. Akuntasi Pajak, Jakarta.

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 185/PMK.03/2007.

Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi AMM Mataram, Buku Pedoman PKL, 2009

Undang-Undang RI No. 28 Tahun 2007 Tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-


Undang No. 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan.

Undang-Undang No. 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Atas Undang-


Undang No. 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan.

Undang-Undang No. 17 Tahun 2000 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-


Undang No. 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan.

You might also like