You are on page 1of 20

BAB I PENDAHULUAN 1.

1 Latar Belakang Kelainan refraksi adalah keadaan dimana bayangan tegas tidak dibentuk pada retina (makula lutea atau bintik kuning). Pada kelainan refraksi terjadi ketidakseimbangan sistem optik pada mata sehingga menghasilkan bayangan yang kabur. Pada mata normal, kornea dan lensa membelokkan sinar pada titik fokus yang tepat pada sentral retina. Keadaan ini memerlukan susunan kornea dan lensa yang sesuai dengan panjangnya bola mata. Pada kelainan refraksi sinar tidak dibiaskan tepat pada bintik kuning, akan tetapi dapat di depan atau di belakang bintik kuning dan bahkan tidak terletak pada satu titik yang tajam. Kelainan refraksi dikenal dalam bentuk miopia, hipermetropia, astigmat, dan presbiopi.1 Hipermetropia adalah keadaan mata yang tidak berakomodasi memfokuskan bayangan di belakang retina. Hipermetropia terjadi jika kekuatan yang tidak sesuai antara panjang bola mata dan kekuatan pembiasan kornea dan lensa lemah sehingga titik fokus sinar terletak di belakang retina. Hal ini dapat disebabkan oleh penurunan panjang sumbu bola mata (hipermetropia aksial), penurunan indeks biasrefraktif (hipermetropia refraktif), seperti afakia.2 Hipermetropia juga dikenal dengan istilah hyperopia atau rabun dekat. Pasien dengan hipermetropia mendapat kesukaran untuk melihat dekat akibat danakan bertambah berat dengan bertambahnya umur yang diakibatkan melemahnya otot siliar untuk akomodasi dan berkurangnya kekenyalan lensa.1 1.2 Tujuan Untuk mengetahui tentang definisi, epidemiologi, etiologi, manifestasi klinis, diagnosis, penatalaksanaan dan komplikasi dari hipermetropia 1.3 Batasan Masalah Makalah ini membahas tentang definisi, epidemiologi, etiologi, manifestasi klinis, diagnosis, penatalaksanaan dan komplikasi dari hipermetropia

1.4 Metode Penulisan Metode penulisan makalah ini berupa tinjauan pustaka yang merujuk dari berbagai literatur.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1Anatomi dan Fisiologi Penglihatan Normal

Gambar 2.1 Struktur bagian mata kanan secara vertikal, dilihat dari bagian nasal 11 Mata secara optik dapat disamakan dengan kamera fotografi biasa mempunyai kemampuan menghasilkan bayangan yang dibiaskan melalui media refraksi yaitu kornea, akuos humor, sistem diafragma yang dapat berubah-ubah (pupil), lensa, dan korpus vitreus sehingga menghasilkan bayangan terbalik yang diterima retina yang dapatdisamakan dengan film. Susunan lensa mata terdiri atas empat perbatasan refraksi:(1) perbatasan antara permukaan anterior kornea dan udara, (2) perbatasan antara permukaan posterior kornea dan udara, (3) perbatasan antara humor aqueous dan permukaan anterior lensa kristalina, dan (4) perbatasan antara permukaan posterior lensa dan humor vitreous. Masing-masing memiliki
3

indeks bias yang berbeda-beda, indek bias udara adalah 1, kornea 1.38, humor aqueous 1.33, lensa kristalinaa (rata-rata) 1.40, dan humor vitreous 1.34.5

Gambar 2.2 indeks bias mata 1 Hasil pembiasan sinar pada mata ditentukan oleh media penglihatan yang terdiri atas kornea, cairan mata, lensa, badan kaca, dan panjangnya bola mata. Pada orang normal susunan pembiasan oleh media penglihatan dan panjangnya bola mata demikian seimbang sehingga bayangan benda setelah melalui media penglihatan dibiaskan tepat di daerah makula lutea. Mata yang normal disebut sebagai mata emetropia dan akan menempatkan bayangan benda tepat di retinanya pada keadaan mata yang tidak melakukan akomodasi atau istirahat melihat jauh.2 Dikenal beberapa titik di dalam bidang refraksi, seperti Pungtum Proksimum merupakan titik terdekat dengan akomodasi maksimum bayangan masih bisa dibias pasa retina. Pungtum Remotum adalah titik terjauh tanpa akomodasi, dimana bayangan masih dibiaskan pada retina.2 Akomodasi adalah kemampuan lensa mata untuk menambah daya bias lensa dengan kontraksi otot siliar, yang menyebabkan penambahan tebal dan kecembungan lensa sehingga bayangan benda pada jarak yang berbeda-beda akan terfokus di retina. Dikenal beberapa teori akomodasi seperti : Teori akomodasi Helmholtz: zonula Zinn mengendur akibat kontraksi otot siliar sirkular, mengakibatkan lensa yang elastis mencembung. 2

Teori akomodasi Tscherning: dasarnya adalah bahwa nucleus lensa tidak dapat berubah bentuk sedang yang dapat berubah bentuk adalah bagian lensa superficial atau kortex lensa. Pada waktu akomodasi terjadi tegangan pada zonula Zinn sehingga nucleus lensa terjepit dan bagian lensa superfisial menjadi cembung. 2

2.2 Definisi Hipermetropia Hipermetropia juga dikenal dengan istilah hyperopia atau rabun dekat. Hipermetropia adalah keadaan gangguan kekuatan pembiasan mata, di mana sinar sejajar jauh tidak cukup dibiaskan sehingga titik fokusnya terletak di belakang retina.2

B Gambar 2.3 A. Mata normal, cahaya fokus tepat pada retina B. Hipermetropia, cahaya jatuh di belakang retina 4

2.3 Epidemiologi Berdasarkan penelitian Stenstrom dari Uppsala, Swedia, prevalensi kelainan refraksi adalah6: Miopia rendah (< 2 D) 29 % Miopia sedang (2-6 D) 7 % Miopia tinggi (> 6 D) 2.5 %

Emetropia dan hipermetropia 0 - 2 D 61% Hipermetropia tinggi 0.5% Sekitar 20 % orang antara usia 20 hingga 30 tahun memiliki kelainan

bias melebih +1D.7 Hipermetropia lebih umum dijumpai pada anak-anak, sebagian dikarenakan bola mata anak yang lebih pendek. Ketika lahir, rata-rata anak memiliki hipermetropia +2D. Hal ini kemudian berkurang sejalan dengan waktu di mana bola mata anak semakin panjang dan menjadi semakin emetropia. Populasi Afro-Karibia memiliki prevalensi hipermetropia yang tinggi, sementara populasi di Asia Timur memiliki prevalensi yang rendah.8 2.4 Etiologi Hipermetropia Hipermetropia terjadi jika kekuatan yang tidak sesuai antara panjang bola mata dan kekuatan pembiasan kornea dan lensa lemah sehingga titik fokus sinar terletak di belakang retina. Hal ini dapat disebabkan oleh penurunan panjang sumbu bola mata (hipermetropia aksial), seperti pada kelainan kongenital teretentu, atau penurunan indeks bias refraktif (hipermetropia refraktif), seperti pada afakia. 1 Hipermetropia dapat disebabkan: 1. Hipermetropia aksial, merupakan bentuk yang paling umum. Pada kondisi ini, indeks refraksi mata normal, namun terdapat pemendekan bola mata. Pemendekan 1 mm
9

diameter

anteroposterior

mata

mengakibatkan

hipermetropia + 3 D.

Kondisi ini dapat terjadi karena pemendekan panjang

sklera, atau sklera terdorong ke depan karena massa retrobulbar atau ablasio retina. Sebab lain pendeknya bola mata adalah karena mikroftalmus dan nanoftalmus.10 2. Hipermetropia kurvatur, kondisi di mana kurvatura kornea, lensa atau keduanya lebih datar dari normal sehingga mengakibatkan berkurangnya kekuatan pembiasan mata. Sekitar 1 mm peningkatan radius kurvatura mengakibatkan hipermetropia + 6 D.9 Berkurangnya kurvatura pada kornea
6

lebih umum dijumpai ketimbang pada lensa.

Sebab pendataran kornea

adalah: kornea plana, mikro kornea, mikroftalmus, setelah operasi dan setelah trauma. Pendataran lensa dijumpai pada buftalmus.10 3. Hipermetropia index, terjadi karena penurunan index refraksi lensa pada usia tua. Kondisi ini juga didapatkan pada penderita diabetes dalam perawatan. 9 4. Hipermetropia posisional, diakibatkan oleh letak lensa kristalina yang lebih posterior., dapat akibat trauma atau pun kongenital. 9, 10 5. Tidak adanya lensa baik kongenital atau pun didapat menyebabkan afakia kondisi dengan hipermetropia tinggi. 9 2.5 Klasifikasi 3 tipe klinis hipermetropia 9: 1. Hipermetropia sederhana atau perkembangan, merupakan bentuk yang paling umum. kurvatur. 2. Hipermetropia patologik, dapat karena kongenital atau pun didapat, di mana bola mata berada di luar variasi biologis perkembangannya. termasuk: Hipermetropia index : akibat sklerosis korteks yang didapat Bentuk ini Bentuk ini diakibatkan oleh variasi biologis normal dalam Bentuk ini termasuk hipermetropia axial dan perkembangan bola mata.

Hipermetropia posisional: akibat subluksasi posterior lensa Afakia kongenital atau pun didapat Hipermetropia konsekutif : akibat koreksi miopia yang berlebihan secara bedah

3. Hipermetropia fungsional, diakibatkan oleh paralisis akomodasi. internal.


7

Hal ini

dapat ditemukan pada pasien dengan paralisis nervus III dan oftalmoflegia

Klasifikasi hipermetropia berdasarkan derajat kelainan refraksi 11: 1. Hipermetropia rendah (< + 2 D) 2. Hipermetropia sedang (+ 2.25 D hingga + 5 D) 3. Hipermtropia tinggi (> + 5 D) Berdasarkan akomodasi, hipermetropia dibedakan secara menjadi 9: 1. Hipermetropia total, seluruh jumlah hipermetropia laten dan manifes yang didaptkan sesudah diberikan sikloplegia 2. Hipermetropia laten, jumlah hipermetropia (sekitar 1 D) yang normalnya dikoreksi oleh musculus siliaris. Derajat hipermetropia laten tinggi pada anak-anak dan secara bertahap menurun dengan bertambahnya usia. Hipermetropia laten hanya dapat diukur bila diberikan sikloplegia. 3. Hipermetropia manifes, sisa dari hipermetropia total yang tidak dikoreksi oleh musculus siliaris. Hipermetropia ini terdiri dari hipermetropia absolut dan fakultatif. Hipermetropia fakultatif, merupakan bagian yang dapat dikoreksi dengan usaha akomodasi pasien Hipermetropia absolut, merupakan sisa hipermetropia manifes yang tidak dapat dikoreksi dengan usaha akomodasi pasien 2.6 Manifestasi klinis 1) Gejala-gejala dan tanda-tanda hipermetropia adalah penglihatan dekat kabur, penglihatan jauh pada usia lanjut juga bisa kabur1, juga bisa pada anak yang derajat hipermetrop tinggi. 2) Strabismus pada anak yang mengalami hipermetrop berat,gejala bisa berhubungan dengan penggunaan mata untuk penglihatan dekat (membaca, menulis, melukis ) dan biasanya menghilang jika kerjaan itu
8

dihindari, mata dan kelopak mata bisa menjadi merah dan bengkak secara kronis, mata terasa berat bila ingin mulai membaca walaupun tidak lelah, bisa terjadi ambliopia.l 3) Tanda dan gejala orang yang terkena penyakit rabun dekat secara obyektif susah melihat jarak dekat atau penglihatan pasien akan rabun dan tidak jelas. Sakit kepala fronta, fronto-temporal semakin memburuk pada waktu mulai timbul gejala hipermetropi dan sepanjang penggunaan mata dekat2 4) Penglihatan tidak nyaman (asthenopia), lakrimasi, fotofobia, terjadi ketika harus fokus pada suatu jarak tertentu untuk waktu yang lama1 5) Akomodasi akan lebih cepat lelah terpaku pada suatu level tertentu dari ketegangan1 6) Bila 3 dioptri atau lebih, atau pada usia tua, pasien mengeluh penglihatan jauh kabur1 7) Penglihatan dekat lebih cepat suram, akan lebih terasa lagi pada keadaan kelelahan, atau penerangan yang kurang (faktor predisposisi) 8) Sakit kepala biasanya pada daerah frontal dan dipacu oleh kegiatan melihat dekat jangka panjang. Jarang terjadi pada pagi hari, cenderung terjadi setelah siang hari dan bisa membaik spontan kegiatan melihat dekat dihentikan1 9) Sensitive terhadap cahaya, kerana cahaya yang terfokus di retina divergen kerana titik focus chayanya di belakang retina 10) Spasme akomodasi, yaitu terjadinya cramp m. ciliaris diikuti penglihatan suram intermiten1 2.7 Diagnosis 1. Anamnesis Orang tua dapat mencurigai anak mengalami gangguan panglihatan apabila mata anak sering merah, teriritasi atau berair, kesulitan dengan
9

ktajaman penglihatan, atau didapatkan mata anak juling. Anak yang lebih tua dapat mengeluh pada orangtua atau guru mengenai gejala visual, atau ditemukan saat skrining di sekolah atau dokter anak.
12

Kebanyakan pasien presbiopia mengeluh tentang bertambah sulitnya melihat dekat. Meskipun kaburnya penglihatan dekat dan penglihatan yang tidak nyaman merupakan keluhan yang paling sering ditemukan pada pasien hipermetropia, tidak ada keluhan yang secara spesifik patognomonis untuk hipermetropia. 2. Pemeriksaan Beberapa tanda yang bisa didapatkan dari pemeriksaan pada pasien hipermetropia 9: a. Ukuran bola mata tampak kecil secara keseluruhan b. Kornea sedikit lebih kecil dari normal c. Bilik anterior relatif dangkal d. Pemeriksaan fundus menunjukkan sebuah optic disc kecil yang tampak lebih vaskuler dengan pinggir tak jelas dan bahkan dapat tampak seperti papilitis (meskipun tidak terdapat pembengkakan dari disc, sehingga disebut pseudopapillitis). Retina secara keseluruhan dapat bersinar akibat refleksi cahaya yang lebih cemerlang (shot silk appearance) e. Pembacaan USG dapat menunjukkan diameter antero posterior bola mata yang kecil. Pemeriksaan okuler yang dilakukan dalam mendiagnosis hipermetropia: a. Visual Acuity Pasien muda dengan hipermetropia fakultatif rendah sampai sedang secara umum memiliki visual acuity yang normal, namun ketika kebutuhan penglihatan meningkat, mereka dapat mengalami penglihatan kabur dan astenopia. Tes visual acuity pada pasien dengan hipermetropia
10
12

tinggi, meskipun pada pasien muda, dapat menunjukkan defisit penglihatan. Visual acuity pada pasien dengan hipermetropia laten Bagaimanapun, ketika pasien kelelahan, akan biasanya normal.

didapatkan tingkat inkonsistensi penglihatan dekat dan terkadang jauh. b. Refraksi. Retinoskopi merupakan prosedur yang digunakan secara luas untuk menilai hipermetropia secara objektif. Prosedur yang dilakukan meliputi static retinoscopy, subjective refraction dan autorefraction. Static retinoscopy Pasien dengan hipermetropia signifikan, hipermetropia laten atau esotropia akomodatif dapat menyembunyikan hipermetropianya dalam pemeriksaan retinoskopip non sikloplegik. Hipermetropia laten dapat ditemukan dengan menggunakan sikloplegik atau metode fogging. Dengan menilai warna, kecerahan dan pergerakan reflek retinoskopik, dapat dinilai akomodasi pasien, fiksasi dan aspek dinamis lain dari sistem penglihatan. 12 Retinoskopi adalah teknik untuk menentukan obyektif kesalahan bias mata (rabun dekat, rabun jauh, Silindris) dan kebutuhan untuk kacamata. Ketika cahaya tersebut akan dipindahkan secara vertikal dan horizontal di mata, pemeriksa mengamati gerakan refleks retinoskopik. Pemeriksa kemudian meletakkan lensa di depan mata sampai gerakan dinetralkan. Kekuatan lensa yang diperlukan untuk menetralkan gerakan adalah kesalahan bias mata dan menunjukkan kekuatan lensa yang diperlukan untuk mengoptimalkan penglihatan dengan kacamata dan / atau lensa kontak . 1 Pemeriksaan ini dapat dilakukan dengan cepat dan tepat, dilakukan di dalam kamar gelap. Jarak pemeriksa dengan penderita 1 meter. Sumber cahaya terletak di atas penderita agk kebelakang supaya muka penderita dalam keadaan gelap. Cahayanya ditujukan pada pemeriksa yang
11

memegang cermin, oleh cermin ini cahaya dipantulkan kearah pupil penderita sehingga pemeriksa melalui lubang yang terdapat di tengahtengah cermin dapat melihat reflek fundus di pupil penderita. Kemudian cermin digerak-gerakkan, perhatikan gerakan dari reflek retinoskopik pada mata penderita. Bila reflek tersebut bergerak dalam arah yang sama, ditempatkan lensa plus di depan mata pasien, dan bila bergerak dalam arah yang berlawanan ditambahkan lensa minus sampai refleks pupil mengisi seluruh lubang pupil dan tidak lagi dideteksi adanya gerakan dikenal sebagai titik netralisasi.1 subjective refraction Prosedur ini lebih disukai untuk menentukan koreksi refraktif yang diresepkan, terutama untuk pasien dewasa dan anak yang lebih tua, karena langsung berdasarkan penerimaan pasien. Namun, pasien dengan hipermetropia dan esotropia akomodatif sering membutuhkan koreksi refraktif yang berbeda dari yang didapatkan pemeriksaan refraksi refraktif saja. Pemeriksaan refraksi subjektif dapat diikuti oleh retinoskopi sikloplegik. Pemeriksaan refraksi subjektif terdiri dari cara trial and error serta cara fogging.12 I. Cara trial and error 1 1) Perkiraan anomali refraksi dari hasil pengukuran tajam

penglihatan pakai kartu uji snellen pada jarak 5 atau 6 m 2) 3) Pasang gagang kacamata (trial frame) tutup satu mata. Coba dengan lensa plus atau minus yang kira-kira sesuai dengan kurangnya visus.contoh : visus 5/50 mulai dengan sferis minus 2 D atau plus 2 D 4) Perhalus dengan menambah atau mengurangi lagi dengan lensa +/- 0,5 D sampai visus terbaik.

12

5)

Bila visus kurang dan tak ada kelainan mata lainnya mungkin astigmat.

II. Cara pengabutan ( fogging ) 1 Untuk mencegah akomodasi, focus dengan sengaja dimajukan ke depan retina dengan memasang lensa + ( misalnya + 4 D ) . Jika pasien mengatakan kabur, kurangi sedikit-sedikit sampai menjadi tegas. Autorefraction Pemeriksaan ini memiliki reliabilitas dan validitas yang lebih rendah dari refraksi subjeketif. Masih sedikit instrumen yang ada yang dapat mengontrol akomodasi secara adekuat pada anak-anak. Pemeriksaan autorefraksi non sikloplegik kurang akurat dalam menilai hipemetropia. 12 c. Pergerakan Okuler, Pandangan Binokuler dan Akomodasi Pemeriksaan ini diperlukan karena gangguan pada fungsi visual diatas dapat menyebabkan terganggunya visus dan performa visual yang menurun. 12 d. Penilaian Kesehatan Okuler dan Skrining Kesehatan Sistemik Kesehatan okuler harus dinilai untuk menyingkirkan atau mendiagnosis penyakit lain yang dapat menyebabkan hipermetropia. Pemeriksaan ini dapat berupa respon pupil, uji konfrontasi lapangan pandang, uji penglihatan warna, pengukuran tekanan intraokuler dan pemeriksaan posterior bola mata dan adnexa. 12 2.8 Tatalaksana Pegobatan hipermetropia adalah diberikan koreksi hipermetropia

manifest , di mana tanpa siklopegia didapatkan ukuran lensa positif maksimal yang memberikan tajam penglihatan normal. Bila terdapat esotropia diberikan kacamata koreksi hipermetropia total. Bila terdapat tanda eksoforia, maka diberikan kaca mata koreksi positif kurang.2
13

Pada pasien dengan hipermetropia sebaiknya diberikan kacamata sferis positif terkuat atau lensa positif terbesar yang masih memberikan tajam penglihatan maksimal. Pada pasien di mana akomodasi masih sangat kuat , maka sebaiknya pemeriksaan dilakukan dengan memberikan sikloplegia.
2

Pasie muda dengan hipermetropia tidak akan memberikan keluhan karena matanya masih mampu melakukan akomodasi kuat untuk melihan benda dengan jelas. Pada anak berusia dari yang baru lahir sampai 10tahun dengan hiperopia yang rendah sehingga sedang tanpa strabismus,amblopia atau gangguan visus lain,biasanya tidak diperlukan tatalaksana.tetapi yang mempunyai penurunan visual acuity, binocular anomaly atau gangguan visual, perlukan terapi lanjut. Kalau gangguan hiperopia tidak dikoreksi, anak itu mungkin alami masalah gangguan belajar disekolah, gangguan persepsi visus jadi perlu assesmen yang teliti. Pada kebanyakan anak yang hiperopia, proses emetropsi menyebabakan penurunan bertahap derajat hiperopia dalam umur 5-10 tahun.12 Ada juga anak yang tidak pernah alami proses emetropsi in dan tetap mengalami hiperopia dan dalam risiko menjadi strabismus dan ambliopia. Walaupun anak berumur di bawah 5tahun yang 3,25D, dapat keuntungan dengan koreksi optic yang awal, dengan dapat mereduksi risiko dapat strabismus dan ambilopia, satu penelitian pada hewan menunjukan pada bayi dapat menganggu proses emetropsi. Tetapi penelitian pada pediatrik menunjukan yang koreksi sebahagian hiperopia tidak menganggu emetropsi anak dari bayi sampai umur 3 tahun. Dalam satu penelitian, pada anak 2 tahun dipakai ambang +3.0D pada yang hiperopia bilateral simptomatik, manakala ada juga yang memakai ambang koreksi 5,=.0 D. koreksi hiperopia harus sejalan dengan intervensi lain ( seperti oklusi atau terapi visual aktif) bagi pasien dengan yang suspek atau yang ada amblopia atau strabismus. 12 Bagi yang dengan hiperopia sedang, dilakukan pemeriksaan periodic kerana dikatakan dalam risiko. Koreksi optikal harus bergantung dari kedua static dan siklopegik retiniskopi, akomodative dan assesmen binocular, AC/C rasio dan koreksi harusla untuk fasilitasi binocular dan compliance. Follow up yang teliti perlu, dan perlu juga tukar lensa dengan frekuensi tinggi. Kontak lensa mungkin
14

perlu untuk yang anisometropia, yang hiperopia derajat tinggi dengan atau tanpa nistagmus dan pada yang hiperopia dengan akomodatif esotropia. Screening awal untuk kelaianan refraksi, biasanya dapat deteksi hiperopia awal, tapi kerana jarang periksa awal yang menyebabkan tidak dapat deteksi sampai sudah ke strabismus. Tatalaksana termasuk dengan menggunakan kaca mata yang visual tunggal atau multifocal kacamata yang tergantung pada binokuar dan akomodatif status. Terapi alternative untuk ambilopia ialah patching dan terapi visual yang aktif. Ada juga kasus yang jarang, koreksi otik dapat merubah dari hiperopia dan akomodatif esotropia kepada eksotropia konsekutif.12 Pada kasus jarang, anak muda dengan hiperopia bilateral dapat berkembang menjadi isoametropik ambilopia kerana keadaan konstan yang kabur visual. Terapi untuk ambilopia bagi anak, memrlukan waktu beberapa tahun, tetapi dapat sembuh sempurna dengan pemakaian full-time kaca mata dan atau patching. Diantara anak yang ad gangguan secara mental dan yan yang cacat fisikal, prevalensi gangguan ocular termasuk hiperopia yang jelas daripada anak yang sehat kerana gangguan secara verbal.12 Pada pasien yang banyak menggunakan mata, terutama pada usia lanjut akan memberikan keluhan kelelahan setelah membaca. Keluhan tersebut berupa sakit kepala, mata terasa pedas dan tertekan. Pada pasien ini diberikan kacamata sferis positif terkuat yang memberikan penglihatan maksimal.2 Bagi anak yang lebih tua, umur 10 hingga 20 tahun derajat hiperopia tinggi , jarang terlewatkan dari deteksi awal. Mereka alami stress visual dan penurunan visual acuity jadi mereka banyak tergantung pada koreksi kelainan refraksi. Terapi awal spectrum luas dipakai lensa plus minimal untuk mereduksi gejala dan relaksasi akomodasinya. Lensa plus dengan kekuataan hingga 2/3 dipakai bagi pasien yang latent hiperopia dengan manifest hiperopia. Kedua koreksi kelainan optic atau visual terapi, penting dalam terapi akomodatif atau disfungsi binocular yang berhubungan dengan derajat rendah sampai sedang. 12 Pada umur 30-35 tahun, pasien yang asimptomatik, yang belum dikoreksi, mulai merasakan kekaburan jarak dekat dan ketidakselesaan visual. Hiperopia
15

fakultatif tidak bisa lagi di pertahankan dengan selesa, kerana penurunan amplitude akomodatif. Hiperopia latent perlu dicurigai bersama dengan rendahnya amplitude akomodasi untuk pasien yang berumur. Retinoskop sikloplegik bisa membantu identifikasi komponen laten. Bila usia pasien dalam pertengahan 30an, akomodasi tidak bisa lagi, fasilitasi berkurang, menyebabkan gangguan visual pada pasien yang hiperopia yang sebelumnya bebas gejala. Bagi pasien yang refraksi manifes jarak (nonsiklopegic), bisa dengan memakai kaca mata bila perlu sahaja udah mencukupi.lebih baik memakai lensa kontak daripada kaca mata kerana dapt relaksasi akomodasinya.12 Koreksi kelainan refraksi 1 1. Lensa Kaca mata Kaca mata merupakan alat koreksi yang paling banyak dipergunakan karena mudah merawatnya dan murah. Lensa gelas dan plastik pada kaca mata atau lensa kontak akan mempengaruhi pengaliran sinar. Warna akan lebih kuat terlihat dengan mata telanjang dibanding dengan kaca mata. Lensa cekung kuat akan memberikan kesan pada benda yang dilihat menjadi lebih kecil, sedangkan lensa cembung akan memberikan kesan lebih besar. Keluhan memakai kaca mata diantaranya, kaca mata tidak selalu bersih, coating kaca mata mengurangkan kecerahan warna benda yang dilihat, mudah turun dari pangkal hidung, sakit pada telinga dan kepala. 1 2. Lensa kontak Lensa kontak juga merupakan alat koreksi yang cukup banyak dipergunakan. Lensa kontak merupakan lensa tipis yang diletakkan di dataran depan kornea untuk memperbaiki kelainan refraksi dan pengobatan. Lensa ini mempunyai diameter 8-10 mm, nyaman dipakai karena terapung pada kornea seperti kertas yang terapung pada air. Agar lensa kontak terapung baik pada permukaan kornea maka permukaan belakang berbentuk sama dengan permukaan kornea. Permukaan belakang lensa atau base curve dibuat steep (cembung kuat), flat (agak datar) ataupun normal untuk dapat menempel secara longgar sesuai dengan kecembungan kornea. Perlekatan longgar ini
16

akan memberikan kesempatan air mata dengan mudah masuk diantara lensa kontak dan kornea. Air mata ini diperlukan untuk membawa makanan seperti oksigen.1 3. Bedah keratorefraktif Salah satu terapi pembedahan yang cukup populer adalah dengan cara LASIK atau bedah dengan sinar laser. Pada lasik yang diangkat adalah bagian tipis dari permukaan kornea yang kemudian jaringan bawahnya dilaser. Pada lasik dapat terjadi hal-hal berikut : kelebihan koreksi, koreksi kurang, silau, infeksi kornea, ataupun kekeruhan pada kornea. Terapi bedah lain yang dapat dilakukan antara lain penanaman lensa buatan di depan lensa mata, pengangkatan lensa, radikal keratotomi dan Automated Lamelar Keratoplasty (ALK).1 4. Lensa intra okuler Penanaman lensa intra okuler menjadi pilihan koreksi kelainan refraki pada afakia. Terdapat sejumlah rancangan, termasuk lensa lipat yang terbuat dari plastik hydro gell yang dapat disisipkan ke dalam mata melalui suatu insisi kecil; dan lensa kaku yang paling sering terdiri atas suatu optik terbuat dari polymetyle metacrilat dan lengkungan optik. 2.9 Komplikasi Komplikasi dari kelainan refraksi hipermetropia antara lain rekuren styes, blepharitis atau kalazion muncul kerana infeksi yang disebabkan kerana berulang kali mengosok mata, untuk mereduksi dari kecapekan dan kelelahan. 9 Strabismus konvergen akomodasi, bisa muncul pada anak-anak ( biasanya dalam umur 2-3 tahun) kerana penggunaan akomodasi berlebihan. Esotropia terjadi akibat pasien selamanya melakukan akomodasi.9 Amblopia bisa terjadi juga. Biasanya kerana anisometropia (dalam hipermetropia unilateral), strabismus (dalam anak yang ada juling akomodatif) atau ametropik (terlihat pada yang hipermetrop derajat tinggi bilateral). 9

17

Glaukoma sudut tertutup; mata yang hipermetrop kecil dengan ruangan kamera anterior okuli yang dangkal.kerana peningkatan ukuran lensa, mata lehih rentan untuk mendapat glaucoma sudut tertutup akut. Glaukoma sekunder terjadi akibat hipertrofi otot siliar pada badan siliar yang akan mempersempit sudut bilik mata.9

18

BAB III PENUTUP 3.1 Kesimpulan Hipermetropia adalah keadaan gangguan kekuatan pembiasan mata, di mana sinar sejajar jauh tidak cukup dibiaskan sehingga titik fokusnya terletak di belakang retina. Hipermetropia terjadi jika kekuatan yang tidak sesuai antara panjang bola mata dan kekuatan pembiasan kornea dan lensa lemah sehingga titik fokus sinar terletak di belakang retina. Hal ini dapat disebabkan oleh penurunan panjang sumbu bola mata (hipermetropia aksial), lebih datarnya kurvatura kornea lensa atau keduanya (hipermetropia kurvatur), penurunan index refraksi lensa ((hipermetropia index), letak lensa kristalina yang lebih posterior (hipermetropia index) atau pun akibat tidak adanya lensa. Berdasarkan akomodasi, hipermetropia dibedakan secara klinis menjadi hipermetropia total, hipermetropia laten dan hipermetropia manifest. Hipermetropia manifes terdiri dari hipermetropia absolut dan fakultatif. Serangkaian pemeriksaan dapat dilakukan untuk mengetahui apakah seseorang mengalami kelainan hipermetropia atau tidak. Pemeriksaan refraksi terdiri atas teknik pemeriksaan secara subjektif dan objektif. Pemeriksaan secara subjektif bergantung kepada respon pasien sedangkan objektif dilakukan dengan menggunakan retinoskopi dan alat alat lainnya. Setelah ditemukan bentuk kelainan refraksi pada pasien berupa hipermetropia, maka selanjutnya penatalaksanaan dapat dilakukan dengan berbagai cara seperti penggunaan kacamata, lensa kontak, atau tindakan pembedahan. 3.1 Saran Pembahasan lebih lanjut mengenai etiologi, patofisiologi, manifestasi klinis , tatalaksaa dan komplikasi hipermetropia masih diperlukan dari lebih banyak literatur agar lebih dipahami dan dapat diaplikasikan dengan baik.

19

DAFTAR PUSTAKA 1. Riordan, Paul dan John P. Whitcher. 2007. Vaughan & Asbury Oftalmologi Umum. Jakarta: EGC 2. llyas, Sidarta. 2010. Ilmu Penyakit Mata. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 3. Gondhowiardjo, Tjahjono D dan Gilbert WS Simanjuntak. 2006. Panduan Manajemen Klinis Perdami. Jakarta: CV ONDO 4. Abercromble, Diane D, dkk. 2010. Professional Guide to Pathophysiology. Baltimore : Lippincott Williams & Wilkins 5. Guyton, Arthur C dan John E. Hall. 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC 6. Khurana, AK. 2008. Theory and Practice of Optics & Refraction. New Delhi: Elsevier 7. Lang, Gerhard K. 2007. Ophthalmology: A Pocket Textbook Atlas. New york: Thieme 8. Borooah, Shyamanga, Mark Wright & Bal Dhillon. 2012. Pocket Tutor Ophtalmology. New Delhi: JP Medical 9. Khurana, AK. 2007. Comprehensive Ophtalmology. New Delhi: Elsevier 10. Mukherjee, PK. 2005. Pediatric Ophtalmology. New Delhi: New Age International 11. Anonim. Eye Anatomy. http://www.edoctoronline.com/medical-atlas.asp? c=4&m=1&p=13&cid=1049&s= . diakses pada tanggal 7 Januari 2013 12. Moore, Bruce D, dkk. 2008. Care of the Patient with Hyperopia . , St. Louis: American Optometric Association

20

You might also like