You are on page 1of 19

Natharina Yolanda (2007-060-046)

BENIGN PROSTATIC HYPERPLASIA (BPH)

DEFINISI
Benign Prostatic Hyperplasia (BPH), dikenal juga sebagai Benign Prostatic Hypertrophy adalah diagnosis histologis yang ditandai dengan proliferasi elemen selular dan kelenjar pada prostat. Hal ini disebabkan oleh proliferasi epitel atau stroma, gangguan apoptosis, atau keduanya. Hiperplasia diduga menyebabkan pembesaran prostat yang menghambat aliran keluar urin. Hipertrofi merupakan istilah yang tidak tepat, karena perubahan utama adalah hiperplasia.

EPIDEMIOLOGI
o o o BPH hanya terjadi pada pria (wanita tidak memiliki prostat). BPH merupakan neoplasma jinak tersering pada pria di AS; dianggap sebagai bagian dari proses penuaan normal (~risiko mengalami BPH meningkat seiring usia). Perubahan histologis pada PBH dilmulai pada dekade ketiga dan umumnya bermanifestasi pada dekade kelima. Tidak semua pria dengan perubahan histologis pada prostat mengalami gejala simptomatik. Prevalensi BPH klinis sangat tinggi pada pria usia lanjut; 50% pria 60 tahun menunjukan perubahan histopatologi BPH, 90% pada usia 85 tahun. Prevalensi BPH pada orang kulit putih dan Afrika-Amerika serupa; namun BPH lebih berat dan progresif pada orang Afrika-Amerika. BPH merupakan penuakit yang mengganggu kualitas hidup sehingga sering membawa pasien berobat.

o o o

FAKTOR RISIKO
o o Tidak ada bukti bahwa merokok, vasektomi, obesitas, dan alkohol merupakan faktor risiko perkembangan BPH klinis. Faktor utama yang berperan: - USIA! - Status hormonal - Riwayat keluarga BPH - Status perkawinan (pria yang menikah berisiko lebih besar; sebab tidak diketahui)

ETIOPATOGENESIS
o o Etiologi pasti BPH tidak diketahui, namun usia telah terbukti berkolerasi sangat kuat dengan BPH. Patogenesis umumnya adalah gangguan keseimbangan antara proliferasi sel dan apoptosis yang diatur secara hormonal.

Natharina Yolanda (2007-060-046)

Hipotesis: a) Selama hidup, pria memproduksi testosterone (oleh testis) dan estrogen dalam jumlah sedikit. Seiring bertambahnya usia, produksi testosterone menurun sehingga proporsi estrogen meningkat. Efek estrogen pada prostat adalah merangsang proliferasi sel dan menghambat apoptosis. Oleh karena itu, peningkatan kadar esterogen dapat merangsang hiperplasia prostat. b) Faktor lain yang berperan adalah adanya akumulasi dihidrotestosteron (DHT) yang tinggi di prostat. DHT adalah hormon androgen utama di prostat dan berperan merangsang pertumbuhan sel dan menghambat apoptosis. DHT merupakan hasil konversi testosterone di prostat (dengan bantuan enzim 5- reduktase). Seiring bertambahnya usia, kadar testosterone di darah memang menurun, namun cenderung mengalami malfungsi katup pada v. spermatika (terkadang bermanifestasi sebagai vaicocele). Malfungsi katup pada vena ini menyebabkan hubungan langsung dengan sirkulasi prostat sehingga terjadi arus testosterone aktif yang tinggi ke prostat. Testosterone yang tinggi di prostat dikonversi menjadi DHT dan berakumulasi, menyebabkan tingginya proliferasi sel prostat dan penekanan apoptosis hiperplasia.

PATOFISIOLOGI
o o o o o Prostat adalah kelenjar berukuran kacang walnut yang merupakan bagian dari sistem reproduksi pria. Prostat terletak di depan rektum dan tepat di bawah vesika urinaria, meliputi sekeliling uretra. Prostat terdiri dari beberapa zona/lobus yang diselimuti oleh kapsul. Zona pada prostat: 1) zona sentral, 2) zona fibromuskular, 3) zona transisi, dan 4) zona perifer. BPH berasal dari zona transisi yang berada di sekitar uretra. Secara mikroskopis, gambaran BPH berupa hiperplasia yang menyebabkan pembesaran prostat sehingga menekan uretra dan menghambat aliran keluar urin.

Natharina Yolanda (2007-060-046)

Seiring pembesaran prostat, kapsul yang menyelimutinya menghambat pembesaran radial lebih lanjut, sehingga pembesaran prostat cenderung menekan uretra. Obstruksi uretra ini menyebabkan peningkatan resistensi pada aliran keluar urin, sehingga terjadi akumulasi urin di vesika urinaria. Vesika urinaria beradaptasi dengan meningkatkan kekuatan kontraksinysehingga dindingnya menjadi menebal (hipertrofi), bertrabekula, dan irritable (increased sensitivity); dikatakan vesika urinaria mengalami ketidakstabilan m. detrusor gejala iritatif. Mekanisme adaptasi ini termasuk fase kompensasi. Apabila keadaan berlanjut, dinding vesika urinaria melemah dan kehilangan kemampuan untuk mengosongkan isinya secara sempurna (kontraksi menurun) sehingga volume residu urin meningkat dan terjadi retensi urin (akut atau kronik) gejala obstruksi. Retensi urin merupakan sumber infeksi. Fase ini disebut fase dekompensasi.

Natharina Yolanda (2007-060-046)

MANIFESTASI
o Disfungsi berkemih akibat pembesaran prostat dan obstruksi ostium vesika urinaria (bladder outlet obstruction [BOO]) disebut sebagai gejala traktus urinarius bawah (lower urinary tract symptoms [LUTS]) atau prostatism. Perbedaan gejala obstruktif dan iritatif:

Natharina Yolanda (2007-060-046)

Gejala pada BPH: 1. Peningkatan frekuensi berkemih (urinary frequency) saat siang atau malam hari (nokturia), umumnya hanya mengeluarkan sedikit urin setiap berkemih. Menandakan berkurangnya kapasitas vesika urinaria. 2. Urgensi (urinary urgency): keinginan untuk berkemih segera yang timbul secara mendadak, disertai sensasi hampir keluarnya urin tampa kontrol. 3. Disuria 4. Hesitansi (hesitancy): kesulitan untuk mulai berkemih; pancaran lemah dan terputus-putus (interrupted). Umumnya tidak disadari sampai retensi urin menyebabkan distensi vesika urinaria dan rasa tidak nyaman. 5. Pengosongan vesika urinaria yang tidak komplit: perasaan adanya sisa urin. 6. Mengedan (straining): untuk memulai dan mepertahankan proses berkemih sampai vesika urinaria kosong perlu dibantu oleh mengedan atau push (maneuver Valsava). 7. Seiring waktu, terjadi penurunan kekuatan subjektif untuk berkemih. 8. Urin menetes saat akhir berkemih (terminal dribbling) karena lemahnya pancaran urin. 9. Overflow incontinence akibat urin yang melebihi daya tamping vesika urinaria. Gejala lain: disfungsi ereksi dan disfungi ejakulasi.

Natharina Yolanda (2007-060-046)

DIAGNOSIS
1. ANAMNESIS o BPH dapat disuspek hanya dari anamnesis saja. o Checklist Anamnesis Traktus Urogenital (Blok Urogenital): a) Menanyakan kelainan miksi: - Disuria - Polakisuria/frekuensi - Urgensi - Inkontinesia - Hesitansi - Intermitensi - Eneuresis - Nokturia - Pancaran urin b) Menanyakan kelainan dieresis: - Anuria/oligouria/poliuria c) Menanyakan kelainan urin: - Warna - Kekeruhan - Bau - Batu/berpasir d) Menanyakan sudah berapa lama keluhan berlangsung. e) Menanyakan keluhan sistemik: mual-muntah, lemah badan, edema palpebra, sembab wajah, demam, penurunan berat badan). f) Menanyakan riwayat seksual/disfungsi seksual. g) Menanyakan adanya kelainan kongenital. h) Menanyakan adanya massa di abdomen/inguinal/organ genital. i) Menanyakan riwayat trauma. j) Menanyakan riwayat operasi (tu di abdomen). k) Menanyakan adanya keluhan kolik/nyeri menjalar/nyeri menetap serta lokasinya. l) Menanyakan penyakit sistemik (DM, hipertensi, gout). m) Menanyakan riwayat keluarga (tu kelainan traktus urinarius). n) Menanyakan riwayat pemakaian obat, paparan zat kimia, merokok, alkohol.

Natharina Yolanda (2007-060-046)

Pemandu yang dapat digunakan untuk mengarahkan dan menentukan adanya gejala obstruksi akibat obstruksi prostat adalah International Prostate Symptom Score (IPSS).

Natharina Yolanda (2007-060-046)

2. PEMERIKSAAN FISIK a) Tanda-tanda vital: normal. b) Inspeksi dan palpasi genitalia eksterna (patron rambut kemaluan, penis, skrotum) untuk melihat adanya kelainan c) Inspeksi dan palpasi kadung kemih untuk memeriksa pembesaran vesika urinaria/retensi urin. d) Pemeriksaan neurologi (untuk eksklusi kelainan neurologis). e) Pemeriksaan colok dubur (rectal touch/digital rectal examination [DRE]): menggunakan jarin telunjuk tangan dominan; prostat dievaluasi secara keseluruhan dengan gerakan searah dan berlawanan jarum jam. ~pemeriksaan yang penting untuk menentukan perkiraan ukuran prostat! Evaluasi: - Tonus sfingter anus (dapat melemah pada penyakit neurologis) - Mukosa rektum - Ukuran prostat (membesar pada BPH, terutama lobus tengah) - Permukaan/kontur prostat - Konsistensi prostat - Perkiraan volume prostat (normal: 20 gr) - Ada tidaknya nodul (nodul tanda keganasan prostat) 3. PEMERIKSAAN PENUNJANG a) Pemeriksaan lab (1) Kadar prostate specific antigen (PSA) PSA disintesis oleh sel epitel prostat dan bersifat organ specific (bukan cancer specific). Dapat meperkirakan pertumbuhan volume kelenjar prostat. Jika tinggi berarti: (1) pertumbuhan volume prostat lebih cepat dari normal; (2) keluhan akibat BPH lebih jelek; (3) lebih mudah terjadi retensi urin akut. Juga untuk screening karsinoma prostat.

(2) Elektrolit, BUN, kreatinin: untuk evaluasi dan screening adanya insufisiensi renal. (3) Urinalisis: dapat ditemukan leukosituria dan hematuria (pada peradangan traktus urinarius atas). Kultur urin dapat membantu pada hasil analisis abnormal. b) Imaging (1) USG atau intravenous pyelography (IVP) abdomen, renal, transrektal untuk menentukan ukuran v. urinaria dan prostat, derajat hidronefrosis, adanya batu v. urinaria, perkiraan volume residual urin. Tidak diindikasikan untuk evaluasi awal karena hanya 10% yang menunjukkan kelainan. Dilakukan jika pada pemeriksaan awal ditemukan Hematuria ISK

Natharina Yolanda (2007-060-046)

Insufisiensi renal Riwayat urolitiasis, dan Riwayat bedah traktus urogenital.

(2) Transrectal ultrasonography (TRUS) USG prostat melalui rektum, dapat berbarengan dengan pengambilan sampel biopsi. Dapat memperkirakan ukuran prostat dengan lebih tepat dibanding rectal touch. (3) CT dan MRI tidak berperan dalam diagnosis.

c) Optional test: not required for the diagnosis or initial assessment, but may be helpful in the decision-making process. (1) Uroflometri (flow rate): Pencatatan tentang pancaran urin selama proses miksi secara elektronik. Untuk mendeteksi gejala obstruksi traktus urinarius bagian bawah. Pemeriksaan yang mudah, non-invasif, dan sering dipakai. Direkomendasikan untuk evaluasi awal dan respon terhadap terapi. Dapat diketahui: volume miksi, pancaran maksimum (Qmax), pancaran rata-rata (Qave), waktu yang dibutuhkan untuk mencapai pancaran maksimum, dan lama pancaran. (2) Pemeriksaan residual urin/postvoiding residual urine (PVR) Dapat dilakukan secara invasif menggunakan kateter atau non-invasif menggunakan USG trans-abdominal. Mengukur residu urin setelah miksi. (3) Pemeriksaan urodinamika (pressure flow study) Dapat membedakan sebab pancaran lemah, obstruksi leher v. urinaria atau kelemahan m. detrusor. (4) Uretrosistokopi Melihat langsung prostat dan v. urinaria. Indikasi: pasien yang akan dilakukan tatalaksana invasif, suspek neoplasma, atau riwayat trauma (striktur). Tidak nyaman dan komplikasi tinggi.

Natharina Yolanda (2007-060-046)

10

ALUR DIAGNOSIS DAN TATALAKSANA BPH

Natharina Yolanda (2007-060-046)

11

Natharina Yolanda (2007-060-046)

12

Natharina Yolanda (2007-060-046)

13

DIAGNOSIS BANDING DIAGNOSIS BANDING UTAMA:


Differential Diagnosis of BPH Conditions 1. DIABETES MELLITUS 2. CYSTITIS (Infectious, Radiation, Interstitial) 3. BLADDER CANCER (Transisional Cell Ca,
Adenocarcinoma, Squamous Cell Ca, Carcinoma In Situ)

Symptoms Frequency, normal urine flow & volume Irritative voiding symptom

4. BLADDER STONE 5. PROSTATITIS (Acute, Subacute, Chronic) 6. LARGE BLADDER DIVERTICULUM (Spinal cord injury,
Multiple cerebrovascular accident, Congenital spina bifida, Myelomeningocele, Follow radical pelvic surgery)

Irritative and obstructive voiding symptoms Obstructive voiding symptom

7. PROSTATE CANCER 8. URETHRAL STRICTURE (Post instrumentation,


Chatheterization/Cytoscopy post infectious, Nonspesific/Gonococcal)

9. BLADDER NECK STRICTURE OR CONTRACTURE

*KETERANGAN: DD of BPH
Prostate cancer Bladder cancer

Clinical Features
In advanced stages, urinary frequency may occur, along with hesitation, dribbling, nocturia, dysuria, bladder distension, perineal pain, constipation, and hard, irregularly shaped prostate. Urinary frequency, urgency, dribbling, and nocturia may develop from bladder irritation. The first sign of bladder cancer commonly is gross, painless, intermittent hematuria (often with clots). Patients with invasive lesions often have suprapubic or pelvic pain from bladder spasm. Bladder decompensation produces urinary frequency, along with urgency and nocturia. Early signs include hesitancy, tenesmus, and reduced caliber and force of the urine stream. Eventually, overflow incontinence may occur. Urinary incontinence may occur as a result of urethral obstruction from enlarged prostate. Other findings include urinary urinary frequency an urgency, dysuria, hematuria, bladder distension, persistent urethral discharge, dull perineal pain that may radiate, ejaculatory pain, and decreased libido. Baldder irritation can lead to urinary urgency and frequency, dysuria, terminal hematuria, and suprapubic pain from bladder spasm. Pain may radiate to the penis, vulva, lower back, or heel.

Urethral stricture

Prostatitis (chronic)

Bladder stone

Natharina Yolanda (2007-060-046)

14

DIAGNOSIS BANDING SECARA LUAS:

Natharina Yolanda (2007-060-046)

15

TATALAKSANA o Tujuan: mengembalikan kualitas hidup pasien. o Terapi tergantung pada derajat keluhan, keadaan pasien, dan kondisi objektif pasien yang
disebabkan penyakitnya. o Di Indonesia, TURP merupakan pilihan utama dalam pengobatan BPH. o Pilihan terapi:

OBSERVASI (watchful waiting) o Pasien tidak mendapat terapi apapun tetapi perkembangan penyakitnya tetap diawasi oleh dokter. Setiap 6 bulan dilakukan evaluasi. o Dianjurkan pada pasien BPH dengan skor IPSS <7 (keluhan ringan tidak mengganggu aktivitas sehari-hari). o Edukasi: kurangi konsumsi kopi dan alkohol, batasi obat influenza yang mengandung fenilpropanolamin, kurangi makanan pedas dan asin, serta jangan menahan kencing terlalu lama. MEDIKAMENTOSA o Diperlukan jika pasien BPH mulai mengganggu kehidupan sehari-hari pasien dan membahayakan (umumnya IPSS >7). o Tujuan terapi medikamentosa: mengurangi resistensi otot polos prostat sebagai komponen dinamik atau mengurangi volume prostat sebagai komponen statik.

Natharina Yolanda (2007-060-046)

16

Jenis obat yang digunakan: 1. Antagonis adrenergik reseptor yang dapat berupa: a) Preparat non-selektif: fenoksibenzamin. b) Preparat selektif masa kerja pendek: prazosin, afluzosin, dan indoramin. c) Preparat selektif dengan masa kerja panjang: doksazosin, terazosin, tamsulosin. 2. Inhibitor 5- reduktase: finasteride dan dutasteride. 3. Fitofarmaka (?).

TERAPI BEDAH o Indikasi: pada BPH yang telah menimbulkan komplikasi, seperti: Gejala sedang sampai berat yang mengganggu dan medikamentosa; Retensi urin refrakter; Infeksi traktus urinarius berulang; Batu vesika urinaria; Insufisiensi renal sekunder akibat BPH. o

refrakter

terhadap

Teknik bedah yang dianjurkan: 1. Prostatektomi terbuka - Paling tua, paling invasif, paling efisien; perbaikan gejala 98%. - Komplikasi lebih sering dibanding TURP. - Dianjurkan pada BPH dengan volume 80-100 cm3.

Natharina Yolanda (2007-060-046)

17

2. Transurethral resection of the prostate (TURP) - Terapi pilihan utama; merupakan 90% dari semua tindakan bedah prostat pada pasien BPH. - Lebih sedikit menimbulkan trauma dibanding bedah terbuka dan masa pemulihan lebih singkat. 3. Transurethral incision of the prostate (TUIP) - Insisi leher vesika urinaria; dianjurkan pada prostat ukuran kecil (< 30 cm3), tidak dijumpai pembesaran lobus medius, dan tidak ada suspek karsinoma. 4. TULP 5. Elektrovaporisasi TINDAKAN INVASIF MINIMAL 1. Transurethral microwave thermotherapy (TUMT) 2. Transurethral needle ablation (TUNA) 3. High intensity focused ultrasound (HIFU) 4. Laser Terapi simptomatik lain:

Natharina Yolanda (2007-060-046)

18

FOLLOW UP
Secara rutin dilakukan pemeriksaan IPSS, uroflometri, atau pengukuran volume residu urin pasca miksi. Pasien yang menjalani tindakan intervensi perlu dilakukan pemeriksaan kultur urin untuk melihat kemungkinan ISK Jadwal follow up (1 tahun setelah terapi):

KOMPLIKASI
1. 2. 3. 4. 5. 6. Batu vesika urinaria Infeksi traktus urinarius rekuren Insufisiensi renal Inkontinesia uri Hematuria makroskopik Retensi urin akut (akibat infeksi prostat, overdistensi vesika urinaria, intake cairan berlebih, konsumsi alkohol, aktivitas seksual) 7. Gagal ginjal atau uremia

PROGNOSIS
Setelah terapi, gejala pada sebagian besar pasien dapat membaik dan kualitas hidup meningkat. Pasien dengan risiko progresi rendah akan dapat menghentikan terapi antagonis adrenergik reseptor setelah beberapa bulan. Namu, sebagian besar pasien akan memerlukan pengobatan jangka panjang.

Natharina Yolanda (2007-060-046)

19

DAFTAR PUSTAKA
Beckman TJ, Mynderse LA. Evaluation and Medical Management of Benign Prostate Hyperplasia. Mayo Clin Proc 2005; 80(10): 1356-1362. Kumar et al. Robbins and Cotran: Pathologic Basis of Disease International Edition . Ed ke-8. Philadelphia: Saunders Elsevier. 2010. Leveilee RJ. Benign Prostate Hyperplasia. [terhubung http://emedicine.medscape.com/article/437359-overview. Pedoman Penatalaksanaan BPH di Indonesia. Professional Guide to Signs and Symptom,, 4th Ed. USA: Lippincott Williams and Wilkins. 2004. Oelke M, et al. Guidelines on Benign Prostate Hyperplasia. [diperbaharui Maret 2005]. [European Association of Urology]. Guidelines on Benign Prostate Hyperplasia. 2008. berkala, diperbaharui 18 Juni 2010].

You might also like