You are on page 1of 23

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penelitian

Indonesia merupakan negara hukum yang memiliki banyak peraturan perundang-undangan salah satunya Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Asas pokok dari hukum acara pidana adalah segala warga negara sama kedudukannya di hadapan hukum dan pemerintahan, dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Untuk mewujudkan persamaan di bidang hukum, maka di dalam proses peradilan khususnya di bidang hukum pidana, harus mengutamakan adanya kepastian hukum melalui penormaan yang baik dan jelas di dalam suatu undang-undang. Undang-undang itu harus jelas perbuatan apa saja yang dilarang atau diharuskan, kemudian jelas pula apa ancaman hukuman bagi si pelanggar apabila ketentuan yang dinormakan itu dilanggar.1

Proses peradilan dalam sistem peradilan pidana, setiap proses yang dilalui dalam penegakan hukum, bagi setiap penegak hukum baik yang langsung sebagai pelaku kekuasaan kehakiman (pengadilan), maupun pejabat yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman seperti Polri dan Jaksa, maupun advokat yang lazim disebut sebagai Catur Wangsa Penegak Hukum,

Paingot Rambe Manalu, Coky T.N. Sinambela, Laurensius Rambe Manalu, Hukum acara pidana dari segi pembelaan, Novindo pustaka mandiri, Jakarta 2010, hlm. 3.

wajib melakukan tugas dan wewenangnya sesuai dengan hukum yang berlaku, terikat pada kode etik jabatannya, mengedepankan kebenaran dan keadilan.

Dalam Buku Pedoman Pelaksanaan KUHAP disebutkan bahwa tujuan hukum acara pidana adalah:

Untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materiil, yaitu kebenaran yang selengkaplengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat dengan tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang dapat didakwakan melakukan suatu pelanggaran hukum, dan selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan dari pengadilan guna menemukan apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana telah dilakukan dan apakah orang yang didakwa itu dapat dipersalahkan2 Hal ini dapat dicapai apabila tiap-tiap unsur di dalam penegakan hukum memandang proses penyelesaian perkara pidana sebagai salah satu rangkaian kegiatan sejak dari penyidikan, penuntutan, pemutusan perkara hingga penyelesaian di tingkat Lembaga Pemasyarakatan. Konsep yang mana kita kenal dengan konsep Integrated Criminal Justice System.

Namun dalam prakteknya kerap kali ditemukan ketidaksesuaian aturan yang seharusnya (das sollen) dan kenyataan atau prakteknya (das sein). Ini dimaksudkan pada praktek peradilan pidana di Indonesia. Tidak selalu proses penyidikan dan penuntutan dapat berlangsung dan bersesuaian dengan baik. Terkadang perbedaan persepsi pun acap kali terjadi diantara penyidik dan penuntut umum.

Ansori Sabuan, Hukum Acara Pidana, Angkasa, Bandung, 1990, hlm. 65.

Pelaksana fungsi penyelidikan dan penyidikan, utamanya adalah Polri, dan di dalam tindak pidana tertentu dibebankan juga kepada Pejabat Pegawai Negeri Sipil (PNS)3, sesuai dengan bidang tugasnya masing-masing.

Pengertian penyidikan sendiri menurut Pasal 1 butir 2 Kitab Undangundang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yaitu :

Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. Adapun pengertian Penyidikan menurut Pasal 1 ke-13 Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 Tentang Polri4yaitu :

Serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. Dalam menangani suatu tindak pidana atau perkara pidana, Penyidik dibantu oleh Jaksa Penuntut Umum. Tugas dan wewenang Penuntut Umum dengan jelas diatur dalam Pasal 1 butir 1 Undang-undang No. 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan RI5 yaitu :

Jaksa adalah pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk bertindak sebagai penuntut umum dan pelaksana putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap serta wewenang lain berdasarkan undang-undang.
Undang-undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, Pasal 1 butir 1. 4 Undang-undang No. 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Republik Indonesia, Pasal 1 butir 13. 5 Undang-undang No. 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan RI, Pasal 1 butir 1.
3

Sedangkan pengertian penuntutan menurut Pasal 1 butir 7 KUHAP yaitu :

Tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan. Kinerja kedua lembaga penegak hukum tersebut terkadang sering bertabrakan satu sama lain, Penyidik Polri yang melakukan penyelidikan dan penyidikan guna mencari dan mengumpulkan alat-alat bukti dan barang bukti serta mencari pelaku tindak pidana, dalam prakteknya selalu terhalang oleh petunjuk dan pendapat dari Jaksa Penuntut Umum. Terkadang dalam hal penerapan pasal atau undang-undang yang digunakan dalam menangani suatu perkara tindak pidana atau tentang penggolongan suatu benda yang dapat dikategorikan atau dimasukkan dalam alat bukti.

Undang-undang No. 16 tahun 2004 Tentang Kejaksaan menegaskan bahwa :

Kejaksaan yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan harus mampu mewujudkan kepastian hukum, ketertiban hukum, keadilan dan kebenaran berdasarkan hukum dan mengindahkan norma-norma keagamaan dan kesusilaan, serta wajib menggali nilai-nilai kemanusiaan, hukum dan keadilan yang hidup dalam masyarakat. Hal ini menegaskan bahwa seharusnya apabila Jaksa menemukan suatu peraturan perundang-undangan yang kurang jelas atau tidak jelas, maka Jaksa dapat melakukan penafsiran hukum pidana di dalamnya dari undang-undang yang tidak mengatur secara jelas tersebut.

Seperti halnya tentang penggunaan senjata tajam dan senjata api di Indonesia. Hal tersebut dilegalkan apabila yang bersangkutan telah memiliki izin dari lembaga yang berwenang dalam hal pemberian izin penggunaaan dan kepemilikan senjata tajam maupun senjata api. Namun kerap kali penggunaan senjata tajam secara ilegal terjadi di Indonesia. Hal ini terlihat dari maraknya tawuran ataupun kejahatan yang dilakukan geng motor di Indonesia. Dalam kegiatan razia yang dilakukan satuan polisi pun seringkali menangkap remaja atau anak di bawah umur yang kedapatan membawa senjata tajam jenis samurai, pisau belati, dan gir sepeda motor yang dimodifikasi dengan tali sabuk atau tali karet dan /atau tali rapia agar menjadi senjata tajam yang biasa disebut roti kalung tergolong berbahaya dalam perkelahian antar remaja atau geng motor. Padahal perbuatan ini diatur dalam Undang-Undang Darurat Republik Indonesia No. 12 Tahun 1951 (UU Nomor 12/Drt/1951) Tentang Senjata Api dan Bahan Peledak tepatnya pada Pasal 2 ayat (1) yang berbunyi :

Barang siapa yang tanpa hak memasukkan ke Indonesia, membuat, menerima, mencoba, memperolehnya, menyerahkan atau mencoba menyerahkan, menguasai, membawa, mempunyai persediaan padanya atau mempunyai dalam miliknya, menyimpan, mengangkut, menyembunyikan, mempergunakan atau mengeluarkan dari Indonesia sesuatu senjata pemukul, senjata penikam, atau senjata penusuk (slag-, steek-, of stootwapen), dihukum dengan hukuman penjara setinggitingginya sepuluh tahun. Jenis senjata tajam yang beredar di Indonesia saat ini sudah mulai beragam bahkan yang bukan merupakan senjata tajam yang tergolong di dalamnya pun telah dimodifikasi dan berubah fungsi menjadi senjata tajam yang berbahaya dan mematikan. Seperti halnya sabuk berkepala Gir Motor

(Motorcycle gear) yang saat ini sering digunakan oleh kalangan pelajar, remaja, ataupun Geng motor yang berkeliaran dalam perkelahian. Namun ternyata Jaksa dalam pemikirannya tidak sejalan dengan Penyidik kepolisian yang telah mengumpulkan barang bukti dari hasil penyidikan. Hal inilah yang membuat penulis tertarik untuk mengambil judul skripsi dan penelitian tentang Perbedaan Persepsi Penyidik dengan Jaksa Penuntut Umum Mengenai Penggolongan Gir Motor sebagai Barang Bukti Dihubungkan dengan Pasal 2 Ayat (1) UU No. 12/Drt/1951 Tentang Senjata Api dan Bahan Peledak .

B. Identifikasi Masalah

1.

Apakah alasan Jaksa Penuntut Umum melakukan penolakan terhadap barang bukti gir sepeda motor yang diajukan oleh Penyidik Polri dalam dugaan tindak pidana membawa senjata tajam tanpa hak oleh anggota geng motor moonraker?

2.

Apakah gir sepeda motor dapat digolongkan sebagai barang bukti berupa senjata tajam dihubungkan dengan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 12/Drt/1951 Tentang Senjata Api dan Bahan Peledak ?

C. Tujuan Penelitian

1.

Untuk mengetahui dan mengkaji alasan penolakan Jaksa Penuntut Umum terhadap barang bukti gir sepeda motoryang diajukan oleh Penyidik Polri

dalam dugaan tindak pidana membawa senjata tajam tanpa hak oleh anggota geng motor moonraker. 2. Untuk mengetahui dan mengkaji dapat tidaknya gir sepeda motor digolongkan sebagai barang bukti berupa senjata tajam dihubungkan dengan Pasal 2 ayat (1) Undang-undang No. 12/Drt/1951 Tentang Senjata Api dan Bahan Peledak.

D. Kegunaan Penelitian

Adapun kegunaan yang dapat diambil penulis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1.

Kegunaan teoritis

a.

Memberikan sumbangan pemikiran dalam perkembangan ilmu hukum, khususnya yang berkaitan denganpenafsiran hukum dalam perkara pidana serta dapat menambah bahan-bahan kepustakaan. Dalam penulisan hukum ini penulis mengharapkan dapat memberi sebuah masukan atau terobosan baru tentang penggolongan gir motor sebagai senjata tajam berupa senjata pemukul atau senjata penikam dalam dunia hukum, sehingga tidak ada lagi ketidakjelasan dalam pengaturan dan penggolongan gir motor sebagai barang bukti dan alat bukti di persidangan. Dan dapat bermanfaat juga memberikan ilmu kepada siapapun, kalangan manapun yang membacanya.

b.

Untuk mendalami dan mempraktekan teori-teori yang telah diperoleh penulis selama kuliah di Fakultas Hukum Universitas Pasundan Bandung.

2.

Kegunaan Praktis

a.

Untuk memberikan gambaran dalam mengkritisi permasalahan baru yang terjadi di masyarakat dalam bidang hukum khususnya mengenai Penggolongan Gir Motor sebagai Barang Bukti berupa senjata tajam dihubungkan dengan Pasal 2 ayat (1) UU No. 12/Drt/1951 Tentang Senjata Api dan Bahan Peledak.

b.

Mengembangkan penalaran, membentuk pola pikir dinamis, dan untuk mengetahui kemampuan peneliti dalam menerapkan ilmu yang diperoleh.

c.

Mencari kesesuaian antara teori yang telah didapatkan di bangku kuliah dengan kenyataan di lapangan.

d.

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pihak-pihak yang terkait dengan masalah penelitian ini.

E. Kerangka Pemikiran

Negara Indonesia adalah Negara yang berdasarkan atas hukum (Rechtsstaat) tidak berdasakan atas kekuasaan (Machtstaat) seperti yang dinyatakan secara tegas dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, maka segala sesuatunya harus berdasarkan

hukum yang berlaku sebagaimana telah dikemukakan dalam alinea keempat Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 19456 yang berbunyi :

Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan itu dalam suatu Undang-undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada: Ketuhanan Yang maha Esa, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Pembukaan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ini menjelaskan bahwa Negara melindungi segenap Bangsa Indonesia berdasarkan atas persatuan dengan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Maka segala perbuatan yang dianggap meresahkan warga atau mengancam keamanan warga negara dapat ditindak sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan yang mengatur perbuatan tersebut.

Negara hukum menjamin keadilan kepada setiap warga negaranya, keadilan merupakan syarat bagi tercapainya kebahagiaan hidup untuk warga negaranya, dan sebagai dasar dari pada keadilan itu perlu diajarkan rasa susila kepada setiap manusia agar menjadi warga negara yang baik. Ciri-ciri dari suatu Negara hukum adalah:

Republik Indonesia, Pembukaan Undang-undang Dasar 1945, Alinea Ke-empat.

10

1. Pengakuan dan perlindungan hak-hak asasi manusia yang mengandung


persamaan dalam bidang politik, hukum, sosial, ekonomi, dan kebudayaan.

2. Peradilan yang bebas dan tidak memihak serta tidak dipengaruhi oleh
sesuatu kekuasaan atau kekuatan apapun juga.

3. Legalitas7
Gir sepeda motor, atau biasa disebut gir motor disini adalah suatu alat yang terbuat dari bahan logam atau besi campuran yang bentuknya bulat, bergerigi di setiap sisinya yang ujungnya runcing dan tajam yang digunakan di dalam mesin motor yang fungsinya untuk menjalankan fungsi motor sebagaimana mestinya.

Namun dalam kasus ini, gir motor tersebut telah disalahgunakan fungsinya menjadi suatu alat atau senjata tajam untuk melukai seseorang atau orang lain. Gir motor yang telah dimodifikasi bentuknya, diaplikasikan suatu sabuk atau ikat pinggang dan lainnya sehingga dapat digunakan sebagai alat pemukul, penikam dan penusuk seperti yang dikatakan oleh Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 12/Drt/1951 Tentang Senjata Api dan Bahan Peledak.

Dalam sistem hukum pidana Indonesia, jaminan asas legalitas diatur secara tegas dalam Pasal 1 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang menyebutkan:
Kusnadi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan Cv Sinar Bakti, Jakarta, 1983, hlm. 162.
7

11

Tiada perbuatan yang dapat di pidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada, sebelum perbuatan dilakukan. Dapat dikatakan bahwa baik hakim maupun pembentuk undang-undang menentukan atau menetapkan hukum yang dapat diartikan dalam arti yang berbeda pula. Pembentuk undang-undang menetapkan hukum secara in abstracto. Dengan kata lain, merumuskan peraturan hukum secara umum yang berlaku bagi semua orang yang tunduk pada kekuasaan undang-undang. Lain halnya kedudukan hakim yang menetapkan hukum secara in concreto. Dalam hal ini hakim menerapkan peraturan kepada hal-hal yang nyata yang dihadapkan kepadanya untuk diadili dan diputus.8

Sesuai dengan asas legalitas pula, bahwa perbuatan membawa senjata tajam tanpa hak pun dapat dipidana seperti yang tertuang dalam UndangUndang No.12/Drt/1951 Pasal 2 ayat (1), yang bunyinya :

Barang siapa yang tanpa hak memasukkan ke Indonesia, membuat, menerima, mencoba, memperolehnya, menyerahkan atau mencoba menyerahkan, menguasai, membawa, mempunyai persediaan padanya atau mempunyai dalam miliknya, menyimpan, mengangkut, menyembunyikan, mempergunakan atau mengeluarkan dari indonesia sesuatu senjata pemukul, senjata penikam, atau senjata penusuk (slag-, steek-, of stootwapen), dihukum dengan hukuman penjara setinggitingginya sepuluh tahun. Di dalam pasal ini dijelaskan bahwa yang melanggar ketentuan dalam pasal ini dapat dikenai pidana penjara setinggi-tingginya 10 (sepuluh) tahun. Pasal 3 Undang-Undang No. 12/Drt/1951 Tentang Senjata Api dan Bahan
R. Achmad S. Soema di Pradja, Hukum Pidana Dalam Yurisprudensi, Armico, Bandung, 1987, hlm. 9.
8

12

Peledak pun menjelaskan bahwa segala perbuatan yang diatur dan dapat dihukum menurut ketentuan perundang-undangan ini dipandang sebagai kejahatan. Maka jelaslah bahwa siapapun yang membawa, memiliki, menguasai senjata tajam tanpa hak dapat dihukum menurut perundangundangan yang berlaku untuk tercapainya ketertiban dan kepastian hukum agar terciptanya keamanan dan keadilan di kehidupan bermasyarakat.

Dalam menilai kekuatan pembuktian alat-alat bukti yang ada, dikenal beberapa sistem atau teori pembuktian. Sistem atau teori pembuktian tersebut antara lain:

1. Sistem atau teori pembuktian berdasarkan undang-undang secara positif, Positief Wettelijk Bewijstheorie; Dikatakan secara positif, karena hanya didasarkan kepada undang-undang saja. Artinya jika telah terbukti suatu perbuatan sesuai dengan alat-alat bukti yang disebut oleh undangundang, maka keyakinan hakim tidak diperlukan sama sekali. Sistem ini disebut juga teori pembuktian formal atau Formale Bewijstheorie. 2. Sistem atau teori pembuktian berdasarkan keyakinan hakim; teori ini disebut juga Conviction Intime, teori ini didasarkan kepada keyakinan hati nurani hakim bahwa terdakwa telah melakukan perbuatan yang didakwakan. 3. Sistem atau teori pembuktian berdasarkan keyakinan hakim atas alasan yang logis atau Laconviction Raisonnee; menurut teori ini, hakim dapat memutuskan seseorang bersalah berdasarkan keyakinannya yang

13

didasarkan kepada dasar-dasar pembuktian disertai dengan suatu kesimpulan (Condusie) yang berdasarkan kepada peraturan-peraturan pembuktian tertentu. Sistem atau teori pembuktian ini disebut juga pembuktian bebas karena hakim bebas untuk menyebut alasan-alasan keyakinannya (Vrijebewijstheorie). 4. Sistem atau teori pembuktian berdasarkan undang-undang secara negatif atau Negatief Wettelijk Bewijstheorie; HIR maupun KUHAP menganut sistem atau teori pembuktian berdasarkan undang-undang secara negatif atau Negatief Wettelijk. Menurut teori ini, bahwa pembuktian harus didasarkan kepada undang-undang disertai dengan keyakinan hakim.9

Seperti yang dijelaskan di atas bahwa pembuktian haruslah berdasarkan alat-alat bukti yang sah disertai dengan keyakinan hakim, maka seorang Penuntut Umum haruslah memandang dan menghargai pendapat dan persepsi dari Penyidik mengenai barang bukti dan hal lainnya yang dianggap perlu dilengkapi dalam menangani suatu tindak pidana atau perkara pidana yang sedang terjadi dan dilaporkan kepadanya, demikian pula sebaliknya.

Sesuai dengan asas koordinasi antara penegak hukum yang dalam hal ini adalah Penuntut Umum dan Penyidik Polri, Penuntut Umum memberikan bantuan pada Penyidik Polri dalam tugasnya mengumpulkan alat dan barang bukti dalam suatu tindak pidana dengan cara memberikan petunjuk dalam bentuk berkas P-18 dan/atau berkas P-19. Dalam permasalahan yang dibahas
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 1996, Edisi Revisi, hlm. 247.
9

14

penulis saat ini adalah mengenai perbedaan persepsi tentang barang bukti gir motor. Penuntut Umum bersikeras bahwa gir sepeda motor tidak dapat digolongkan ke dalam senjata tajam dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 12/Drt/1951, tetapi Penyidik sendiri tetap pada pendirian dan keyakinannya bahwa gir motor dapat digolongkan dan disebut dengan Senjata Tajam karena penyalahgunaannya tersebut. Maka disini akan dibahas apakah barang bukti gir sepeda motor dapat digolongkan sebagai senjata tajam berdasarkan Pasal 2 ayat (1) Undang-undang No. 12/Drt/1951 Tentang Senjata Api dan Bahan Peledak.

1) Barang Bukti Andi Hamzah10 mengatakan, barang bukti dalam perkara pidana adalah barang bukti mengenai mana delik tersebut dilakukan (objek delik) dan barang dengan mana delik dilakukan (alat yang dipakai untuk melakukan delik), termasuk juga barang yang merupakan hasil dari suatu delik. Ciri-ciri benda yang dapat menjadi barang bukti :

a. Merupakan objek materiil b. Berbicara untuk diri sendiri c. Sarana pembuktian yang paling bernilai dibandingkan sarana pembuktian lainnya d. Harus diidentifikasi dengan keterangan saksi dan keterangan terdakwa

10

Ibid., hlm. 254.

15

2) Penafsiran Hukum Pidana Dalam pengertian subjektif yaitu apabila ditafsirkan seperti yang dikehendaki oleh pembuat undang-undang. Dalam pengertian objektif apabila penafsirannya lepas dari pada pendapat pembuat UndangUndang dan sesuai dengan adat bahasa sehari-hari. Dalam pengertiannya secara sempit yakni apabila dalil yang ditafsirkan diberi pengertian yang sangat dibatasi. Pengertian secara luas ialah apabila dalil yang ditafsirkan diberi penafsiran seluas-luasnya. Menurut R. Soeroso, adalah mencari dan menetapkan pengertian atas dalil-dalil yang tercantum dalam UU sesuai dengan yang dikehendaki serta yang dimaksud oleh pembuat UU. Menurutnya J.H.A. Logemann adalah dalam melakukan penafsiran hukum, seorang hukum diwajibkan untuk mencari maksud dan kehendak pembuat UU sedemikian rupa sehingga tidak menyimpang dari apa yang dikehendaki oleh pembuat UU itu. F. Metode Penelitian

Metode yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Spesifikasi Penelitian
Di dalam penelitian hukum ini, penulis melakukan penelitian dengan mencari perkara pidana yang berkenaan dengan adanya perbedaan persepsi antara penyidik dan penuntut umum mengenai penggolongan gir motor

16

sebagai barang bukti , kemudian melakukan analisis terhadap hasil penelitian tersebut dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku serta literatur-literatur.

Berdasarkan sifatnya, penelitian ini merupakan penelitian deskriptif analitis yaitu penelitian yang dimaksudkan untuk mengumpulkan informasi mengenai status suatu gejala yang ada, yaitu keadaan gejala menurut apa adanya pada saat penelitian dilakukan (Suharsimi Arikunto : 2005). Penelitian ini bersifat deskriptif analitis karena penelitian ini dimaksudkan untuk memberikan data seteliti mungkin tentang

penggolongan gir motor sebagai barang bukti berupa senjata tajam dalam kategori Pasal 2 ayat (1) Undang-undang No. 12/Drt/1951 dan memberikan pemecahan masalah yang dihadapi Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia saat ini tentang penolakan gir motor sebagai barang bukti senjata tajam tersebut serta upaya-upaya yang dilakukan untuk mengaplikasikan efektifitas dari Undang-undang No. 12/Drt/1951 sendiri.

2. Metode Pendekatan
Metode pendekatan yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis normatif, yaitu suatu pendekatan atau penelitian hukum dengan menggunakan bahan pustaka atau data sekunder yang mencakup bahan hukum primer, sekunder, dan tersier. Sehingga dapat dilakukannya penelitian terhadap asas-asas hukum, sistematika hukum, taraf sinkronisasi

17

hukum, sejarah hukum, dan perbandingan hukum. Pada kajian permasalahan yang peniliti telaah, bahwa metode pendekatan ini dapat menemukan pemecahan masalah tentang penggolongan gir sepeda motor sebagai barang bukti berupa senjata tajam dilihat dari UU No.12/Drt/1951.

Metode pendekatan merupakan prosedur penelitian logika keilmuan hukum, maksudnya suatu prosedur pemecahan masalah yang memaparkan data yang diperoleh dan pengamatan kepustakaan, data sekunder yang kemudian disusun, dijelaskan, dan dianalisis dengan memberikan kesimpulan.

3. Tahap Penelitian
Tahap penelitian yang digunakan oleh penulis dalam penelitian hukum ini adalah:

a. Studi Kepustakaan

Melalui studi kepustakaan penulis dapat mempelajari dan meneliti sumber-sumber yang berhubungan dengan permasalahan yang di bahas guna memperjelas pembahasan dengan

mengumpulkan:

1) Bahan hukum primer : a. Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen ke empat. b. Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).

18

c. Undang-undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undangundang Hukum Acara Pidana. d. Undang-undang No. 12/Drt/1951 Tentang Senjata Api dan Bahan Peledak. e. Undang-undang No. 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. f. Undang-undang No. 2 Tahun 2001 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. g. Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2012 Tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana sebagai Pengganti Perkap Nomor12 Tahun 2009. h. Peraturan Kepala Kepolisian RI No. 10 Tahun 2010 Tentang Tata Cara Pengelolaan Barang Bukti di

Lingkungan Kepolisian Negara Republik Indonesia 2) Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang membantu penganalisaan bahan hukum primer, berupa buku-buku, makalah, artikel berita, serta karya ilmiah yang relevan dengan masalah yang diteliti. 3) Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum yang memberi penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder seperti kamus hukum seperti Blacks Law Dictionary dan Terminologi Hukum, dan Kamus Besar Bahasa Indonesia.

19

b. Studi Lapangan

Studi lapangan untuk mengumpulkan data primer yang dilakukan dengan teknik pengambilan data serta teknik wawancara dengan petugas penyidik yang mengetahui secara mendalam permasalahan yang akan diteliti. Data primer adalah data yang menunjang dan mendukung data sekunder, yang diambil langsung dari narasumber yang ada di lapangan dengan tujuan agar penelitian ini bisa mendapatkan hasil yang sebenarnya dari objek yang diteliti. Dalam hal ini data diperoleh dari Satreskrim Polres Cimahi.

4. Teknik Pengumpulan Data


Teknik pengumpulan data yang digunakan berupa studi kepustakaan dan studi lapangan.

a. Studi Kepustakaan

Melalui studi kepustakaan penulis dapat mempelajari bukubuku atau referensi yang berkaitan dengan pembahasan, setelah itu menghubungkannya dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, Undang-Undang Nomor 12/Drt/1951 Tentang Senjata Api dan Bahan Peledak. Kemudian meneliti dan mengkaji sumber-sumber guna memperjelas pembahasan.

b. Studi Lapangan

20

Melalui studi lapangan, penulis melakukan wawancara dengan mengajukan beberapa pertanyaan kepada informan atau pihak yang memiliki pengetahuan mengenai permasalahan yang akan diteliti dan melakukan observasi dengan cara mengamati dan meninjau langsung terhadap sumber data yang menjadi objek penelitian.

5. Alat Pengumpulan Data


a. Alat pengumpul data dalam Penelitian kepustakaan

Penelitian kepustakaan meliputi pengkajian terhadap bahan-bahan pustaka atau materi yang berkaitan langsung dan tidak langsung dengan permasalahan yang sedang diteliti oleh penulis.

Alat pengumpul data yang digunakan penulis adalah alat tulis untuk mencatat bahan-bahan yang diperlukan ke dalam buku catatan dan merupakan bahan-bahan hukum yang penulis kaji, kemudian alat elektronik untuk mengetik dan menyusun bahan-bahan yang telah di dapat.

b. Alat pengumpul data dalam penelitian lapangan (Wawancara)

Alat yang digunakan dalam penelitian lapangan adalah Tape recorder atau alat perekam suara (Voice Recorder) untuk melakukan wawancara dengan pihak narasumber atau informan mengenai permasalahan yang akan diteliti. Wawancara merupakan cara yang

21

digunakan untuk memperoleh keterangan secara lisan guna mencapai tujuan tertentu.11 Dalam hal ini wawancara dilakukan dengan tujuan memperoleh keterangan-keterangan yang jelas tentang hal-hal yang berkaitan dengan adanya penggolongan gir sepeda motor sebagai barang bukti. Dalam suatu wawancara terdapat dua pihak yang mempunyai kedudukan yang berbeda, yaitu pencari informasi yang biasa disebut dengan pewancara atau interviewer, dalam hal ini adalah penulis. Dalam pihak lain adalah informan atau responden, dalam hal ini adalah Penyidik dan Penyidik Pembantu Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Teknik pelaksanaan wawancara adalah dapat berupa wawancara dengan rencana, yakni penulis dalam mengajukan pertanyaan berpatokan pada catatan yang sudah dipersiapkan terlebih dahulu, dapat pula melakukan wawancara tidak berencana (tidak berpatokan), yakni penulis dalam mengajukan pertanyaan tidak terikat pada aturan-aturan yang ketat.

6. Analisis Data
Penelitian ini menggunakan metode analisis yaitu yuridis kualitatif yang merupakan penguraian dari deskriptif analitis dan preskriptif. Menjelaskan tentang permasalahan yang terjadi, dibandingkan dengan

11

Burhan Ashshofa, Op.Cit, hlm. 95.

22

gejala yang ada, dan upaya yang dilakukan, apakah sejalan dengan hal yang seharusnya, antara das sollen dan das sein.

7. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian ditetapkan dengan tujuan agar ruang lingkup permasalahan yang akan diteliti lebih sempit dan terfokus, sehingga penelitian yang dilakukan lebih terarah. Penelitian hukum ini mengambil lokasi di:

a. Perpustakaan yaitu: 1) Perpustakaan Fakultas Hukum Unpas yang beralamat di Jalan Lengkong Besar No.6-8 Bandung. b. Instansi pemerintahan yaitu Kepolisian Negara Republik Indonesia Resort Cimahi yang beralamat di Jl. H. Amir Machmud No. 333 Cimahi.

8. Jadwal Penelitian
Rencana Kegiatan
Persiapan Judul & Acc Judul Persiapan Studi Kepustakaan Bimbingan, UP, Koreksi, Revisi, dan Acc untuk Diseminarkan Seminar UP Pelaksanaan Penelitian

Des12

Jan13

Feb13

Mar13

Apr13

Mei13

1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4

23

Penyusunan Data Bab I sampai dengan Bab V, Bimbingan, dan Acc untuk Sidang Komprehensif Sidang Komprehensif Revisi, Penjilidan dan Pengesahan

Catatan: Jadwal di atas dapat berubah sewaktu-waktu berdasarkan perkembangan situasi dan kondisi, juga disesuaikan dengan kebutuhan penelitian.

You might also like