You are on page 1of 13

BAB I PENDAHULUAN I.

1 Latar Belakang Pelayanan merupakan tugas utama yang hakiki dari sosok aparatur, sebagai abdi negara dan abdi masyarakat. Tugas ini telah jelas digariskan dalam pembukaan UUD 1945 alinea keempat, yang meliputi 4 (empat) aspek pelayanan pokok aparatur terhadap masyarakat, yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Dan diperjelas lagi dalam Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara No. 63 tahun 2003 yang menguraikan pedoman umum penyelenggaraan pelayanan publik. Pelayanan sebagai proses pemenuhan kebutuhan melalui aktivitas orang lain secara lansung, merupakan konsep yang senantiasa aktual dalam berbagai aspek kelembagaan. Bukan hanya pada organisasi bisnis, tetapi telah berkembang lebih luas pada tatanan organisasi pemerintah. Dewasa ini kehidupan masyarakat mengalami banyak perubahan sebagai akibat dari kemajuan yang telah dicapai dalam proses pembangunan sebelumnya dan kemajuan yang pesat dalam ilmu pengetahuan dan teknologi. Perubahan yang dapat dirasakan sekarang ini adalah terjadinya perubahan pola pikir masyarakat ke arah yang semakin kritis. Hal itu dimungkinkan, karena semakin hari warga masyarakat semakin cerdas dan semakin memahami hak dan kewajibannya sebagai warga. Kondisi

masyarakat yang demikian menuntut hadirnya pemerintah yang mampu

memenuhi berbagai tuntutan kebutuhan dalam segala aspek kehidupan mereka, terutama dalam mendapatkan pelayanan yang sebaik-baiknya dari pemerintah. Namun kecenderungan yang terjadi, pelayanan yang seharusnya ditujukan pada masyarakat umum kadang dibalik menjadi pelayanan masyarakat terhadap negara (Inu Kencana Syafie dalam Sinambela, 2010:4), meskipun negara berdiri sesungguhnya adalah untuk kepentingan masyarakat yang mendirikannya. Artinya birokrat seesungguhnya harus memberikan pelayanan terbaik kepada masyarakat. (Sinambela, 2010:4) Osborn dan Plastrik (Sinambela, 2010:4), mencirikan pemerintahan (birokrat) sebagaimana diharapkan diatas adalah pemerintahan milik

masyarakat, yakni pemerintahan (birokrat) yang mengalihkan wewenang kontrol yang dimilikinya kepada masyarakat. Masyarakat diberdayakan sehingga mampu mengontrol pelayanan yang diberikan birokrasi. Dengan adanya kontrol dari masyarakat pelayanan publik akan lebih baik karena mereka memiliki komitmen, sehingga pelayanan yang diberikan oleh birokrat ditafsirkan sebagai kewajiban bukan hak karena mereka diangkat untuk melayani masyarakat. Oleh karena itu harus dibangun komitmen yang kuat untuk memberikan pelayanan yang lebih responsif terhadap kebutuhan masyarakat. Namun saat ini masih sering dirasakan bahwa kualitas pelayanan publik jauh dari harapan masyarakat. Terlebih lagi kenyataan bahwa sifat public goods menjadi monopoli pemerintah khususnya dinas/instansi

pemerintah daerah dan hampir tidak ada pembanding dari pihak lain. Praktek semacam ini menciptakan kondisi yang merendahkan posisi tawar dari masyarakat sebagai penggunan jasa pelayanan dari pemerintah, sehingga

memaksa masyarakat mau tidak mau menerima dan menikmati pelayanan yang kurang memadai tanpa protes. Sehubungan kondisi ini, Sinambela (2010:43) berpendapat bahwa perlunya pemerintah menciptakan suasana yang kompetitif dalam pemberian layanan, pemerintahan yang berorientasi pada kebutuhan pasar, bukan birokratis, dan pemerintahan desentralisasi dan lebih proaktif. Pemerintah sebagai service provider (Penyedia Jasa) bagi

masyarakat dituntut untuk memberikan pelayanan yang berkualitas. Apalagi pada era otonomi daerah, kulitas dari pelayanan aparatur pemerintah akan semakin ditantang untuk optimal dan mampu menjawab tuntutan yang semakin tinggi dari masyarakat, baik dari segi kulitas maupun dari segi kuantitas pelayanan. Di negara-negara berkembang dapat kita lihat mutu pelayanan publik merupakan masalah yang sering muncul, karena pada negara berkembang umumnya permintaan akan pelayanan jauh melebihi kemampuan pemerintah untuk memenuhinya sehingga pelayanan yang diberikan pemerintah kepada masyarakat kurang terpenuhi baik dilihat dari segi kulitas maupun kuantitas. Secara mendasar, keluhan tentang rendahnya kulitas pelayanan publik sudah menjadi tema pembicaraan sehari-hari. Dalam sebuah koran Harian Analisa edisi senin, 24 november 2008 yang berjudul Indonesia peringkat 69 dalam penangan pelayanan birokrasi tertulis bahwa

penanganan pelayanan birokrasi di Indonesia masih terbilang lambat. Hal ini sejalan dengan kesimpulan Bank Dunia dalam laporan World Development Report 2004 dan hasil penelitian Governance and Desentralization Survey (GDS) 2002 ternyata menggambarkan pelayanan publik di Indonesia masih

sangat rendah. Terdapat tiga masalah penting yang banyak terjadi di lapangan dalam penyelenggaraan pelayanan publik yang mendukung kesimpulan tersebut. Pertama, besarnya diskriminasi pelayanan.

Penyelenggaraan

pelayanan masih amat dipengaruhi oleh hubungan per-

konco-an, kesamaan afiliasi politik, etnis, dan agama. Fenomena semacam ini tetap marak walaupun telah diberlakukan UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dari KKN yang secara tegas menyatakan keharusan adanya kesamaan pelayanan, bukannya diskriminasi. hal ini dibuktikan dengan hasil jajak pendapat yang dilakukan oleh kompas (Maret,2005) menyatakan aparat pemerintah belum terbebas dari KKN setiap kali menjalankan kerjanya. Hanya 15 persen responden yang menilai aparatur pemerintah sudah terbebas dari praktik KKN. Untuk itu tidak salah ketika PERC (Political and Economic Risk Consultancy), menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara yang birokrasinya paling buruk di Asia. Kedua, tidak adanya kepastian biaya dan waktu pelayanan. Ketidakpastian ini sering menjadi penyebab munculnya KKN, sebab para pengguna jasa cenderung memilih menyogok dengan biaya tinggi kepada penyelenggara pelayanan untuk mendapatkan kepastian dan kualitas pelayanan. Dan ketiga, rendahnya tingkat kepuasan masyarakat terhadap pelayanan publik. Ini merupakan konsekuensi logis dari adanya diskriminasi pelayanan dan ketidak pastian. Menurut KR.Ranah dalam jurnal Pelayanan Publik yang Berbelit; Warisan Penjajah Agar Kita Tak Bisa Maju yang terbit 31 januari 2008 menyatakan ada beberapa faktor yang mempengaruhi tidak berjalannya pelayanan publik dengan baik yaitu : pertama, masalah struktural birokrasi

yang menyangkut penganggaran untuk pelayanan publik. Kedua yang mempengaruhi kualitas pelayanan publik adalah adanya kendala kultural di dalam birokrasi. Selain itu ada pula faktor dari perilaku aparat yang tidak mencerminkan perilaku melayani, dan sebaliknya cenderung menunjukkan perilaku ingin dilayani. Bahkan dalam seminar yang diadakan di Jakarta tanggal 29 Desember 2005 dengan tema Refleksi Akhir Tahun Pelayanan Publik di Indonesia, Joe Fernandes direktur Institute of Policy and Community Develovement Studies (IPCOS) mengatakan, rendahnya kualitas pelayanan publik di Indonesia karena tidak ada motivasi yang kuat dari PNS untuk melayani masyarakat. Menurut penelitian yang dilakukan IPCOS, sebagian besar orang ingin menjadi PNS karena bisa kerja santai dan aman (dalam arti tidak akan dipecat). Selain itu, dengan menjadi PNS, seseorang berpeluang mengkomersialkan tugas dan kewajiban yang diembankan negara kepadanya untuk keuntungan pribadi. Masih dalam seminar yang sama Taufiq Effendi Menteri

pendayagunaan Aparatur Negara (Periode 2004-2009), mengatakan bahwa penyelenggaraan pelayanan publik masih dihadapkan pada sistem

pemerintahan yang belum efektif dan efisien serta kualitas sumber daya manusia aparatur yang belum memadai, sehingga keluhan muncul,mulai dari prosedur pengurusan layanan yang berbelit-belit sampai soal sikap aparat yang tidak menyenangkan. Selain itu, dalam Seminar Pelayanan Publik Dalam Era Desentralisasi yang diselenggarakan oleh Bappenas, pada tanggal 18 Desember 2003, di Kantor Bappenas, Jakarta Pusat, ada beberapa permasalah yang ada dalam pelayanan publik yaitu: kurang

responsif, kurang informatif, kurang accessible, kurang koordinasi, birokratis, kurang mau mendengar keluhan/saran/aspirasi masyarakat, dan efisien. Hal ini sejalan dengan pendapat Agus Fanar (2009:17), dilihat dari sisi pola penyelenggaraannya, pelayanan publik di Indonesia masih memiliki beberapa kelemahan, antaranya : 1. Kurang responsif, respon terhadap berbagai keluhan, aspirasi, maupun harapan masyarakat masih sering kali lambat atau bahkan diabaikan sama sekali. 2. Kurang informatif, berbagai informasi yang seharusnya disampaikan kepada masyarakat, lambat penyampaiannya atau bahkan tidak sampai sama sekali kepada masyarakat. 3. Kurang accessible, berbagai unit pelaksana pelayanan terletak jauh dari jangkauan masyarakat sehingga menyulitkan bagi mereka yang

memerlukan pelayanan. 4. Kurang koordinasi, berbagai unit pelayanan yang terkait satu dengan yang lainnya kurang berkoordinasi. Akibatnya, sering terjadi tumpang tindih ataupun pertentangan kebijakan antara satu instansi pelayanan dengan instansi pelayanan lain yang terkait. 5. Terlalu birokratis, pelayanan pada umumnya dilakukan dengan melalui proses yang terdiri dari beberapa meja yang harus dilalui, sehingga menyebabkan penyelesaian pelayanan yang terlalu lama. Bahkan kondisi ini dimanfaatkan oleh oknum aparat untuk mengambil pungutan liar, sehingga mengakibatkan tingginya biaya pelayanan, menjamurnya korupsi di tubuh birokrasi dan ketidakpuasan masyarakat penerima layanan.

6. Kurang mau mendengarr keluhan/saran/aspirasi masyarakat, pada umumnya aparat penyedia layanan kurang peduli terhadap

keluhan/saran/aspirasi dari masyarakat. Akibatnya, pelayanan diberikan apa adanya, tanpa ada perbaikan dari waktu ke waktu. 7. Inefisien, berbagai persyaratan yang diperlukan seringkali tidak relevan dengan pelayanan yang diberikan. Dari beberapa permasalahan tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa apa yang dilakukan oleh aparat pemerintah belum sepenuhnya memberikan pelayanan yang memuaskan kepada masyarakat, apa yang dilakukan hanyalah bentuk pelayanan yang didasari oleh kewajiban sebagai pekerja pemerintah bukan sebagai abdi masyarakat. Adanya prilaku demikian menyebabkan timbulnya tudingan-tudingan negatif yang dilontarkan oleh berbagai kalangan terhadap aparatur pemerintah, seperti aparat dianggap kurang profesional, berbelit-belit (tidak efisien), disiplin kerja rendah, korupsi, lalai dalam melakukan pengawasan dalam kegiatan bisnis besar dalam melibatkan uang negara maupun masyarakat dan lain sebaginya. Semua itu merupakan bukti atas masih rendahnya kualitas pelayanan yang diberikan kepada masyarakat. Dikaitkan dengan lokasi penelitian Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Makassar, dimana salah satu tugas organisasi ini adalah menerbitkan Akta Kelahiran bagi masyarakat kota Makassar. Akta kelahiran adalah akta catatan sipil hasil pencatatan terhadap peristiwa kelahiran seseorang. Akta Kelahiran merupakan hak identitas seseorang sebagai perwujudan Konvensi Hak Anak (KHA) dan UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Akta Kelahiran merupakan simbol pengakuan negara dan

orang tua terhadap keberadaan seorang anak, sehingga dengan memiliki akta kelahiran seorang anak akan terjamin hak-haknya, baik terhadap negara maupun orang tuanya. Terdapat sejumlah manfaat atau arti penting dari kepemilikan akta kelahiran, yakni : menjadi bukti bahwa negara mengakui atas identitas seseorang yang menjadi warganya, sebagai alat dan data dasar bagi pemerintah untuk menyusun anggaran nasional dalam bidang pendidikan, kesehatan, sosial dan perlindungan anak, merupakan bukti awal

kewarganegaraan dan identitas diri pertama yang dimiliki anak, menjadi bukti yang sangat kuat bagi anak untuk mendapatkan hak waris dari orangtuanya, mencegah pemalsuan umur, perkawinan di bawah umur, tindak kekerasan terhadap anak, perdagangan anak, adopsi ilegal dan eksploitasi seksual, anak secara yuridis berhak untuk mendapatkan perlindungan, kesehatan,

pendidikan, pemukiman, dan hak-hak lainnya sebagai warga negara. Mengingat betapa pentingnya arti kepemilikan akta bagi setiap anak, menjadi sangat miris memang, kenyataan bahwa tingkat kepemilikan akta kelahiran di Indonesia masih terbilang rendah. Menurut Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2007, diantara anak balita (usia 0-4 tahun), 56.4% Belum punya akta kelahiran. Bahkan anak balita yang berasal dari 20% rumah tangga termiskin (kuintil-1) yang belum punya akta kelahiran sekitar 75.1%. sedangkan Menurut data Survei Penduduk Antar Sensus (Supas) 2005, Kepemilikan akta kelahiran di Indonesia baru mencapai 58,95%, dimana DKI Jakarta adalah provinsi yang tertinggi pencapaian akta kelahiran sebesar 83,39 % dan provinsi NAD yang paling rendah pencapaiannya sebesar 24,38%. Sedangkan Provinsi Sulawesi Selatan sendiri sebesar 46,62 %,

dengan rincian bahwa dari 258.485 anak (umur 0-4 tahun) hanya sejumlah 120.497 anak yang telah memiliki akta kelahiran. Melihat data ini, tentu saja membuat kita bertanya-tanya apa yang salah dalam proses pelayanan akta kelahiran, sehingga begitu besar jumlah persentase anak yang belum memiliki akta kelahiran khusunya di kota Makassar. Jika ditelusuru lebih lanjut setidaknya empat hal yang menjadi hambatan masyrakat dalam melakukan pengurusan akta kelahiran di Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil kota Makassar. Pertama, kesadaran masyarakat akan pentingnya kepemilikan akta kelahiran masih rendah, terlebih lagi masyarakat merasa sulit untuk melakukan pengurusan akta kelahiran. Baik karena faktor ketidak tahuan prosedur pembuatan maupun faktor kesadaran itu sendiri (kemauan untuk melakukan pengurusan). Hal ini secara langsung terkait dengan aspek prosedur dan biaya pelayanan. Kedua, faktor kerumitan prosedur pembuatan akta kelahiran. Prosedur pembuatan akta kelahiran mengharuskan melaporkan kelahiran ke Kantor Kelurahan/desa dalam 30 hari dan juga dengan syarat-syarat yang harus dipenuhi seperti KK, Surat Nikah, Surat Lahir dari Dokter/Bidan, dan lainnya. Prosedur ini cukup merumitkan bagi orang tua yang ingin mengurus sendiri akta kelahiran anaknya. Terlebih lagi bagi para orang tua yang sama sekali tidak bisa meninggalkan pekerjaan mereka, sudah barang tentu kondisi ini menjadi dilema. Kalau masyarakat kalangan atas akan sangat mudah menemukan solusinya, hanya dengan membayar orang atau pihak rumah sakit untuk diuruskan. Tapi sangat berbeda dengan masyarakat miskin, faktor kerumitan prosedur sudah barang tentu menjadi momok bagi mereka karena

akan memakan waktu yang lama dalam pengurusan, walaupun mereka menyadari akan pentingnya kepemilikan akta kelahiran bagi anak mereka, tapi disisi lain mereka harus bekerja untuk mencari nafka bagi keluarga. Sehingga terjadilah penunda-nundan hingga akhirnya sama sekali tidak melakukan pengurusan akta kelahiran bagi anak mereka. Ketiga, Faktor keterbatasan akses ke kantor pemerintahan, dalam hal ini Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil kota Makassar. Di kota Makassar khususnya, dapat dikatakan bahwa lokasi kantor Dinas Kependudukan dan Catatan sipil kota Makassar terbilang tidak strategis, karena terletak di daerah Talasalapang, yaitu perbatasan antara Makassar Gowa. Sudah barang tentu kondisi seperti ini menyulitkan bagi masyarakat kota Makassar yang ingin melakukan pengurusan akta kelahiran karena lokasinya berada di ujung kota Makassar. Terlebih bagi penduduk yang tinggal di daerah kepulauan, mereka harus menempuh perjalanan yang jauh dengan biaya yang tidak sedikit, ditambah prosedur yang rumit menyebabkan waktu pengurusan yang lama menyebabkan mereka harus bolak balik ke Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan sipil. Akumulasi dari semua ini akan menyebabkan biaya yang mahal yang harus ditanggung oleh masyarakat, yang sudah barang tentu membuat mereka berpikir dua kali untuk mengurus akta kelahiran bagi anak mereka. Keempat, faktor biaya. Sebenarnya sudah sekitar 300 Pemkab/Kota yang menggratiskan biaya pengurusan akta kelahiran, termasuk pemerintah kota Makassar. Hal ini didasarkan pada beberapa peraturan, seperti UU No 23 Tahun 2002 yang telah jelas mengatakan bahwa pemberian akta kelahiran harus secara gratis (pasal 28 ayat 3). Sejalan dengan undang-undang tersebut, Walikota dan Wakil Walikota terpilih Ilham Arief Sirajuddin dan

10

Supomo Guntur telah melaksanakan Program Makassar Bebas, yang meliputi bebas biaya persalinan, biaya pembuatan KK, KTP, Akte Kelahiran dan Akte Kematian, bebas biaya pemakaman dan Angkutan Jenazah, bebas biaya bantuan hukum bagi penduduk miskin dan bebas biaya angkutan anak sekolah. Selain itu Penggratisan pengurusan Akta Kelahiran juga didasarkan pada Surat Keputusan (SK) Walikota Makassar Nomor 690 Tahun 2002 tentang pembebasan biaya akta kelahiran anak kurang mampu dan SK Walikota Nomor 467 Tahun 2008 tentang pembebasan biaya akta kelahiran untuk anak usia 1-60 hari. Berbagai aturan penggratisan ini merupakan langkah awal pemerintah untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik, dalam hal ini khususnya dalam pengurusan Akta Kelahiran. Namun seperti yang telah dipaparkan sebelumnya, bahwa memang biaya pembuatannya gratis, tapi tentu saja biaya transportasinya ditanggung sendiri oleh masyarakat yang bersangkutan. Sehingga dengan prosedur yang rumit menyebabkan waktu pengurusan yang lama dan pada akhirnya mengharuskan masyarakat untuk membayar biaya yang tidak bisa dikatakan murah. Terlebih lagi kenyataan bahwa masih seringnya ditemukan pungutan liar yang dilakukan oknum aparatur di Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil terhadap masyarakat yang melakukan pengurusan akta kelahiran. Sebagaimana yang dilangsir dalam Fajar Online (17 Desember 2011), bahwa masyarakat masih banyak mengeluhkan program Makassar bebas. Keluhan masyarakat salah satunya pada pelayanan dokumen kependudukan seperti kartu tanda penduduk, kartu keluarga, akta kelahiran serta kematian. Kendati pemerintah menyebut pengurusan dokumen tersebut telah digratiskan, tapi masih cukup sering ditemukan pungutan liar.

11

Bahkan dalam workshop Program Makassar Bebas di Hotel Mercure (Kamis, 15 Desember 2011), Asisten III Sekretariat Kota Makassar, Agar Jaya mengungkapkan bahwa program Makassar Bebas masih dinilai belum optimal dalam pelayanannya di masyarakat. Masih cukup sering terdengar pungutan liar yang tidak sesuai aturan dalam pelayanan administrasi kependudukan, dimana masyarakat masih dimintai biaya di luar aturan saat mengurus Kartu Keluarga, KTP, dan akta kelahiran. Biaya gratis tapi masih ada Pungli, sama saja bohong. Didasarkan pada temuan-temuan tersebut, sehingga pelayanan akta kelahiran di Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil kota Makassar masih belum dapat dikategorikan berkualitas, sehingga penulis menganggap perlu untuk mengkaji lebih lanjut melalui penelitian yang mendalam mengenai kualitas pelayanan akta kelahiran di Dinas Kependudukan dan Catatan Sipill Kota Makassar. Oleh karena itu penulis sangat tertarik untuk menulis skripsi dengan judul, Kualitas Pelayanan Akta Kelahiran di Dinas

Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Makassar. I.2 Rumusan Masalah Dari uraian latar belakang diatas, maka dapat rumusan masalah yang penelitian ini adalah : Bagaimana kualitas pelayanan Akta Kelahiran di Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil kota Makassar? I.3 Tujuan Penelitian Didasarkan pada permasalahan yang telah dipaparkan di atas, maka tujuan penelitian ini adalah : untuk menganalisis kualitas pelayanan Akta Kelahiran di Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil kota Makassar.

12

I.4 Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini adalah: 1. Manfaat Akademik Kegunaan akademik dalam penelitian ini adalah sebagai referensi bagi pihak-pihak yang berkepentingan dalam pencarian informasi terutama yang berkaitan dengan kualitas pelayanan atau menjadi acuan pada penelitian-penelitian di bidang sama di masa yang akan datang. 2. Manfafat Praktis Kegunaan praktis dalam penelitian ini, diharapkan dapat berguna sebagai sumbangan pemikiran serta informasi bagi Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil kota Makassar demi peningkatan kualitas pelayanan akta kelahiran.

13

You might also like